Operasi Madago Raya
Operasi Madago Raya, sebelumnya bernama Operasi Tinombala hingga tahun 2021,[note 1] adalah operasi militer yang dilancarkan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sejak tahun 2016 di wilayah Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Tujuannya, yaitu untuk menangkap dan menumpas jaringan Mujahidin Indonesia Timur.[10]
Operasi Madago Raya | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Bagian dari Operasi Anti-Terorisme di Indonesia | |||||||
Kedatangan 150 personel anggota TNI baru pada Januari 2016 yang menggantikan personel TNI yang ditarik setelah 5 bulan bertugas dalam upaya perburuan MIT yang waktu itu dipimpin oleh Santoso di hutan pegunungan Poso | |||||||
| |||||||
Pihak terlibat | |||||||
Indonesia
PBB |
Didukung oleh: | ||||||
Tokoh dan pemimpin | |||||||
Sekarang Joko Widodo Andika Perkasa Listyo Sigit Prabowo Farid Makruf Rudy Sufahriadi Imam Sugianto |
Sekarang Ali Kalora †[a] Sebelumnya: | ||||||
Pasukan | |||||||
|
Mujahidin Indonesia Timur Tidak ada pasukan spesifik | ||||||
Kekuatan | |||||||
± 3.000 personel |
40-an 18[5] (Juli 2016) 14[6] (Agustus 2016) 7 (Mei 2017) 10 (Desember 2018) 18 (Desember 2019) 14 (April 2020) 11 (November 2020) 9 (Maret 2021) 6 (Juli 2021) 4 (September 2021) | ||||||
Korban | |||||||
2 orang polisi tewas[7] 15 orang TNI tewas[8] 1 helikopter jatuh | 36 orang ditangkap, menyerahkan diri, maupun tewas[9] |
Operasi ini dimulai pada tanggal 10 Januari 2016[11] dan merupakan kelanjutan dari Operasi Camar Maleo IV.[12] Operasi ini melibatkan sekitar 2.000 personel.[13] Operasi Tinombala pada awalnya dijadwalkan selesai pada tanggal 9 Maret 2016, tetapi operasi ini kemudian diperpanjang selama enam bulan.[14]
Menurut TNI dan Polri, Operasi Madago Raya berhasil membatasi ruang gerak kelompok Santoso dan membuat mereka berada dalam kondisi "terjepit dan kelaparan".[12] Pada tanggal 18 Juli 2016, Santoso alias Abu Wardah tewas ditembak oleh Satuan Tugas Operasi Tinombala setelah terjadinya baku tembak di wilayah desa Tambarana.[15]
Operasi
Penyergapan Sangginora
Pada 9 Februari 2016, kontak tembak jarak dekat pertama dalam Operasi Tinombala terjadi. Sebuah mobil misterius dengan kaca tertutup berhenti di desa Sangginora, Poso Pesisir Selatan. Mereka berhenti di kios dan membeli perbekalan di luar batas kewajaran. Pemilik kios curiga dan melaporkan mobil tersebut kepada Satgas Tinombala yang terdekat. 6 orang personel gabungan TNI-Polri kemudian mendatangi mobil tersebut. Brigadir Wahyudi Saputra yang mengetuk kaca mobil, secara tiba-tiba ditembak dari dalam mobil oleh terduga teroris. Melihat Wahyudi jatuh tersungkur, 5 anggota TNI-Polri lainnya langsung menembak ke arah mobil misterius tersebut, menewaskan 2 teroris di dalamnya. Wahyudi tewas saat dilarikan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Poso akibat luka tembak di dagu kiri dan menembus leher belakang.[butuh rujukan]
Kecelakaan Helikopter TNI-AD
Pada 20 Maret 2016, Helikopter Bell 412 milik TNI-AD yang sedang dalam perjalanan menuju Kota Poso dari Watutau, tersambar petir di Kelurahan Kasiguncu, Poso Pesisir, Poso. Kecelakaan ini menewaskan Danrem 132/Tadulako Kolonel Inf. Syaiful Anwar bersama 12 penumpang dan awak lainnya yang naik di Helikopter ini.[16][17]
Kepala Pusat Penerangan TNI saat itu, Mayjen. TNI Tatang Sulaiman menyatakan bahwa saat helikopter itu jatuh, cuaca dalam kondisi hujan. Keberadaan mereka di Poso untuk melaksanakan operasi bantuan kepada Polri yang sedang memberantas kelompok teroris Santoso.[18]
Atas perintah langsung dari Presiden Joko Widodo kepada Panglima TNI, Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, seluruh korban dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata (TMPN), Jakarta Selatan. Upacara militer dilakukan untuk mengiringi prajurit yang gugur saat operasi Tinombala. Dalam upacara tersebut, belasan prajurit TNI dan Polri membentuk barisan penembak salvo. Upacara pemakaman secara militer dilaksanakan sekitar pukul 12.00 WIB. Upacara pemakaman dipimpin oleh Mayjen. TNI Muhammad Herindra untuk yang beragama Islam, dan Brigjen. TNI Benny Susianto untuk prajurit yang beragama Kristen.[8]
Selain itu, TNI memberikan santunan kepada keluarga korban dan biaya pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi kepada anak-anak prajurit TNI yang gugur di Poso, termasuk kepada keluarga Kolonel Syaiful Anwar, yang pada akhirnya pangkatnya dinaikkan menjadi Brigadir Jenderal TNI (Anumerta).[19]
Kematian Santoso
Pada 18 Juli 2016, kontak tembak terjadi di pegunungan sekitar Desa Tambarana, Poso Pesisir Utara, sekitar pukul 17.00 WITA. Dalam baku tembak yang berlangsung sekitar setengah jam itu, dua orang tewas, dan mereka adalah Santoso dan Mukhtar.[20]
Basri yang awalnya diperkirakan tewas (belakangan ternyata Mukhtar), berhasil kabur. Kepala Satuan Tugas Operasi Tinombala Kombes (Pol.) Leo Bona Lubis mengungkapkan, kepastian Santoso tewas diperoleh dari hasil identifikasi fisik luar dan dari keterangan saksi-saksi.[20]
"Saya selaku kepala operasi menyatakan bahwa hasil kontak tembak, salah satu (korban tewas) adalah DPO yang selama ini dicari, yaitu gembong teroris Santoso dan Mukhtar yang masuk dalam daftar pencarian orang." Kombes (Pol.) Leo Bona Lubis, Wakapolda Sulawesi Tengah[20]
Penyerbuan terhadap kelompok Santoso dilakukan sekitar pukul 16.00 WITA oleh anggota satgas bersandi Alfa-29 yang terdiri atas sembilan orang prajurit Yonif Raider 515/Kostrad. Saat melaksanakan patroli di pegunungan Desa Tambarana, mereka menemukan sebuah gubuk dan melihat beberapa orang tidak dikenal sedang mengambil sayur dan ubi untuk menutup jejak.[21]
Mereka juga menemukan jejak di sungai dan terlihat tiga orang di sebelah sungai namun langsung menghilang. Tim satgas ini kemudian berupaya mendekati orang-orang tak dikenal itu dengan senyap. Setelah berada dalam jarak sekitar 30 meter, mereka kemudian terlibat kontak senjata sekitar 30 menit. Setelah dilakukan penyisiran seusai baku tembak, ditemukan dua jenazah dan sepucuk senjata api laras panjang. Sedangkan tiga orang lainnya berhasil kabur.[22]
Dua jenazah, yakni Santoso dan Mukhtar, kemudian dievakuasi pada Selasa pagi ke Polsek Tambarana, Poso Pesisir Utara. Hanya beberapa menit di Polsek Tambarana, jenazah kedua buronan dalam kasus terorisme itu diterbangkan dengan sebuah helikopter menuju Bandar Udara Mutiara SIS Al-Jufrie Palu.[22]
Penangkapan Basri dan kematian anggota lainnya
Pada 14 September 2016, Basri bersama istrinya ditangkap oleh Satgas Operasi Tinombala. Mereka ditangkap tanpa melakukan perlawanan sama sekali. Dia dan istrinya kemudian di bawa ke Palu untuk diperiksa atas keterlibatannya dalam kelompok Santoso.[23]
Pada 14 September 2016, seorang terduga teroris ditemukan tewas di pinggir Sungai Puna di desa Tangkura, Poso Pesisir Selatan, sekitar pukul 9:30 pagi waktu lokal (WITA).[24] Orang tersebut kemudian diidentifikasi sebagai Andika Eka Putra, salah satu DPO.
Berdasarkan informasi dari Kapolda Sulawesi Tengah, Brigjen. Pol. Rudy Sufahriadi, Andika tewas karena kepalanya terbentur batu pada saat dia akan menyeberangi sungai. Tim satgas kemudian diturunkan ke lokasi untuk mengambil jenazah dan dibawa ke RSUD Poso.[24][25]
Pada 19 September 2016, Satgas Operasi Tinombala Charlie 16, sedang berpatroli di wilayah perkebunan Tombua dan tiba-tiba bertemu dengan Sobron, salah satu DPO. Sobron kemudian terpojok dan mengambil granat dari sakunya dan berteriak, "Allahu Akbar!" setelah dia diminta untuk menyerah. Belum sempat melempar granat tersebut, Satgas kemudian menembaknya di kepala karena dia tidak mau menyerah. Di tubuhnya ditemukan empat granat dan dua machete.[9]
Pada tanggal 10 November 2016, Yono Sayur ditembak mati oleh pasukan gabungan setelah sebelumnya mencoba melarikan diri.[26]
Pergantian nama menjadi Operasi Madago Raya
Pada 18 Februari 2021, Polri mengubah nama operasi ini menjadi "Operasi Madago Raya". Nama "Madago Raya" berasal dari bahasa Pamona yang berarti "baik hati dan dekat dengan masyarakat". Masa tugas Operasi Madago Raya berlangsung dari 1 Januari hingga 31 Maret 2021.[27]
Satuan Tugas
Pusat
Satuan Tugas Operasi Madago Raya di pusat dikoordinasikan oleh Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo bersama dengan Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa.
|
Sulawesi Tengah
Satuan Tugas Operasi Madago Raya di Sulawesi Tengah dikoordinasikan oleh Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah Irjen. Pol. Rudy Sufahriadi bersama dengan Komandan Korem 132/Tadulako Brigjen. TNI Farid Makruf.
|
Poso
Satuan Tugas Operasi Madago Raya di Poso dikoordinasikan oleh Kapolres Poso AKBP Rentrix Ryaldi Yusuf bersama dengan Dandim 1307/Poso Letkol. Inf. Gusti Nyoman Mertayasa.
|
Mantan anggota
Para perwira tinggi dan menengah TNI-Polri di bawah ini setidaknya pernah menjadi bagian dalam operasi ini.
ReaksiIndonesiaMiliter
Pengamat
ISIS
Internasional
Catatan kaki
Referensi
Pranala luar |
Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref>
untuk kelompok bernama "note", tapi tidak ditemukan tag <references group="note"/>
yang berkaitan