Hidangan Malagasi mencakup banyak tradisi kuliner yang beragam di pulau Madagaskar di Samudra Hindia. Makanan yang disantap di Madagaskar mencerminkan pengaruh migran Asia Tenggara, Afrika, India, Cina, dan Eropa yang telah menetap di pulau itu sejak pertama kali dihuni oleh pelaut dari Kalimantan antara tahun 100 dan 500 Masehi. Beras, bahan terpenting dalam pola makan Malagasi, dibudidayakan bersama umbi-umbian dan makanan pokok Asia Tenggara lainnya oleh para pemukim awal. Pola makan mereka dilengkapi dengan mencari makan dan berburu hewan liar yang berkontribusi pada kepunahan megafauna burung dan mamalia di pulau itu. Sumber-sumber makanan tersebut kemudian terlengkapi dengan adanya daging dari sapi zebu yang diperkenalkan ke Madagaskar oleh migran Afrika Timur sekitar tahun 1.000 Masehi.

Bottles of yellow and orange sauce
Acar lemon dan mangga (achards) secara tradisional menemani santapan di wilayah pesisir barat laut Madagaskar.[1]

Perdagangan antara pedagang Arab, India, dan transatlantik Eropa semakin memperkaya tradisi kuliner pulau itu dengan diperkenalkankannya beragam buah, sayuran, dan bumbu baru.

Hampir di seluruh pulau, hidangan kontemporer Madagaskar biasanya terdiri dari nasi yang disajikan dengan makanan pendamping, dalam dialek resmi bahasa Malagasi, nasi disebut vary ([ˈvarʲ]), sementara makanan pendampingnya disebut dengan laoka ([ˈlokə̥] ). Beragam jenis laoka kemungkinan adalah makanan vegetarian atau termasuk protein hewani, dan biasanya memiliki saus yang dibumbui dengan bahan-bahan seperti jahe, bawang merah, bawang putih, tomat, vanila, garam, bubuk kari, atau, yang lebih jarang seperti rempah-rempah atau herba lainnya. Di wilayah selatan dan barat Madagaskar yang tergolong gersang, keluarga pastoral dapat mengganti nasi dengan jagung, singkong, atau dadih yang terbuat dari susu zebu yang difermentasi.

Berbagai macam gorengan manis dan gurih serta makanan jalanan lainnya tersedia di seluruh pulau. Gorengan tersebut terbuat dari beraneka macam buah iklim tropis dan subropis. Minuman yang diproduksi secara lokal di antaranya ialah jus buah, kopi, teh, teh herbal, dan minuman beralkohol seperti rum, anggur, dan bir.

Berbagai hidangan yang disantap di Madagaskar pada abad ke-21 merefleksikan sejarah unik pulau ini dan keragaman demografisnya. Kompleksitas hidangan Malagasi berkisar dari olahan tradisional sederhana yang diperkenalkan oleh pemukim awal hingga hidangan festival yang disiapkan untuk raja abad ke-19 di pulau tersebut.

Meskipun hidangan klasik Malagasi berupa nasi dan pendampingnya tetap dominan, lebih dari satu abad setelahnya, jenis dan kombinasi makanan nyatanya telah dipopulerkan oleh penjajah Prancis dan imigran asal Cina dan India. Akibatnya, hidangan Malagasi saat ini bersifat tradisional sekaligus berbaur pengaruh dengan budaya yang baru muncul.

Sejarah

Sebelum Tahun 1650

 
Lokasi Madagaskar, negara kepulauan di sebelah timur Afrika Selatan dan pulau terbesar keempat di dunia

Pelaut Austronesia diyakini telah menjadi manusia pertama yang menetap di pulau itu dan tiba di antara tahun 100 dan 500 Masehi.[2] Menggunakan perahu cadik, mereka membawa bahan makanan pokok dari kampung halamannya, seperti beras, pisang raja, talas, dan uwi.[3] Tebu, jahe, ubi jalar, babi, dan ayam kemungkinan juga dibawa ke Madagaskar oleh para pemukim awal ini, bersama dengan dibawanya kelapa dan pisang. [3]

Populasi terpusat pertama dari pemukim manusia muncul di sepanjang pesisir tenggara pulau, meskipun pendaratan pertama kemungkinan terjadi di pesisir utara.[4] Setelah tiba, pemukim awal berlatih melakukan tavy (berladang, pertanian "tebang lalu bakar") dengan tujuan membersihkan hutan hujan primer guna keperluan budidaya tanaman. Mereka juga mengumpulkan madu, buah-buahan, telur burung, telur buaya, jamur, biji-bijian, dan edible root serta minuman beralkohol yang diseduh dari madu dan sari tebu. [5]

Dalam konsep hidangan Malagasi, hewan secara teratur diburu dan dijebak di hutan. Hewan buruan tersebut diantaranya seperti katak, ular, kadal, landak, tenrec, kura-kura, babi hutan, serangga, larva, burung, dan lemur.[6] Para pemukim awal menemukan kekayaan megafauna Madagaskar yakni lemur raksasa, burung gajah, fossa raksasa, dan kuda nil Malagasi. Masyarakat Malagasi awal mungkin telah memakan telur dan lebih jarang daging Aepyornis maximus, burung terbesar di dunia yang masih tersebar luas di seluruh Madagaskar dari abad ke-17 hingga saar ini.[7]

Sementara beberapa teori telah diajukan guna menjelaskan penurunan populasi dan kepunahan megafauna Malagasi, bukti nyata menunjukkan bahwa perburuan yang dilakukan oleh manusia dan perusakan habitat melalui praktik pertanian "tebang lalu bakar" ialah penyebab utamanya.[8][9]

Meskipun perburuan atau perdagangan spesies lemur yang tersisa sejak tahun 1964 adalah ilegal, hewan yang terancam punah ini terus diburu untuk konsumsi lokal di daerah pedesaan atau untuk memenuhi permintaan akandaging semak "bushmeat" eksotis di beberapa restoran perkotaan.[10]

 
Sawah irigasi bertingkat muncul di dataran tinggi tengah sekitar tahun 1600 Masehi. [11]

Banyaknya hutan primer yang rusak karena tavy menyebabkan masyarakat cenderung menanam dan mengolah di lahan permanen.[12] Pada 600 Masehi, kelompok pemukim awal ini kemudian pindah ke pedalaman dan mulai membuka hutan di dataran tinggi tengah.

Beras awalnya ditanam secara kering atau dibudidayakan di daerah dataran rendah berawa dengan hasil produksi yang rendah. Sementara itu, sawah irigasi diterapkan di dataran tinggi sekitar tahun 1600 Masehi dengan lokasi pertama yang terletak di negara Betsileo (bagian selatan) dan berlanjut ke negara Imerina (bagian utara).[11] Kemunculan sawah bertingkat di pusat Madagaskar dalam kurun waktu lebih dari satu abad ini [11] lantas menyebabkan lenyapnya sebagian besar tutupan hutan asli daerah tersebut. Dampaknya adalah desa-desa yang tersebar dan dikelilingi oleh sawah dan ladang tanaman menjadi ditinggalkan dan menyisakan dataran luas dengan rerumputan yang tandus.[2]

Zebu, sejenis sapi berpunuk, diperkenalkan ke pulau Madagaskar sekitar tahun 1000 Masehi oleh pemukim asal Afrika Timur. Zebu dibawa bersamaan dengan sorgum, kambing, kacang tanah Bambara, dan sumber makanan lainnya. Karena ternak ini mewakili entitas kekayaan di Afrika Timur dan budaya Malagasi, oleh sebab itu masyarakat Malagasi jarang mengonsumsinya, khususnya pada saat setelah ritual pengorbanan, seperti momen pemakaman.[2] Di lain sisi, susu zebu segar dan dadihnya justru menjadi bagian utama dari pola makan para penggembala.[13]

Zebu dipelihara dalam kawanan besar di selatan dan barat Afrika. Namun, sebagai anggota individu, ia membebaskan diri dari kawanannya dan bereproduksi sehingga membentuk populasi besar zebu liar yang bermukim di dataran tinggi. Sejarah lisan Merina menceritakan bahwa masyarakat dataran tinggi tidak menyadari bahwa zebu dapat dimakan sebelum pemerintahan Raja Ralambo (memerintah pada 1575-1612 Masehi). Bukti arkeologi yang menyatakan bahwa zebu terkadang diburu dan dikonsumsi di dataran tinggi sebelum periode pemerintahan Ralambo lebih dianggap mungkin dengan dugaan bahwa kawanan liar zebu dijinakkan dan disimpan dalam kandang selama periode tertentu yang berkorespondensi pada kemunculan kompleksitas, strukturisasi, dan praktek politik di dataran tinggi.[2]

 
Kios daging di Antananarivo yang menjual sosis, henan-kisoa (babi) dan kitoza (daging sapi kering atau asap)

Hidangan Malagasi biasanya disiapkan dengan cara direbus dalam air (pada mulanya menggunakan bambu hijau sebagai wadah, dan kemudian panci tanah liat atau besi), [14] dipanggang di atas api, batu atau bara panas.[6] Sementara, proses fermentasi digunakan untuk membuat dadih dari susu, meningkatkan cita rasa umbi kering atau segar, dan menghasilkan minuman beralkohol dari madu, sari tebu atau tanaman lokal lainnya.[5]

Teknik-teknik pengawetan matahari langsung (pengeringan), pengasapan dan pengasinan digunakan untuk mengawetkan berbagai makanan selama proses transportasi, penjualan hingga konsumen akhir. Banyak makanan yang disiapkan dengan cara seperti ini, misalnya saja daging asap kering yang disebut kitoza ([kiˈtuzə̥]) dan ikan asin kering, yang mana keduanya masih dimakan dalam bentuk yang sama hingga saat ini di Madagaskar.[15]

 
Ikan diawetkan melalui metode tradisional seperti pengeringan, pengasapan dan penggaraman.[15]

Pada abad ke-16, sistem kerajaan terpusat telah muncul di wilayah pesisir barat, di antara Sakalava dan di dataran tinggi tengah antara Merina. Para penguasa Merina merayakan tahun baru dengan upacara Merina kuno yang disebut Pemandian Kerajaan (fandroana). Untuk upacara ini, daging sapi confit dan disebut dengan jaka ([ˈdzakə̥]) disiapkan dengan cara menempatkan daging sapi dalam toples tanah liat dekoratif, menyegelnya dengan lemak, dan menyimpannya di lubang bawah tanah selama satu tahun. Jaka kemudian akan dibagikan dengan teman-teman di festival tahun berikutnya. Sebagai hidangan penutup, orang-orang yang bersuka ria akan makan nasi yang direbus dalam susu dan disiram dengan madu yang dikenal sebagai tatao ([taˈtau̯]).

Menurut sejarah lisan, Raja Ralambo adalah pencetus tradisi kuliner ini di Imerina.[16] Ayah Ralambo, Raja Andriamanelo, dikreditkan sebagai seseorang yang memperkenalkan tradisi pernikahan vodiondry ([vudiˈuɳɖʳʲ]) atau "rump of the sheep", yakni sebuah tradisi di mana pengantin pria mempersembahkan potongan daging bagian belakang kepada orang tua calon pengantin wanita pada saat upacara pertunangan.[17]

Dalam masyarakat Malagasi kontemporer, tradisi tersebut tetaplah terjaga. Namun, saat ini, banyak keluarga yang menggunakan koin simbolis sebagai ganti persembahan makanan.[18]

Periode 1650–1800

Maraknya perdagangan budak trans-Atlantik meningkatkan perdagangan maritim di pelabuhan Malagasi, termasuk juga bahan makanan. Pada tahun 1696, kapal dagang dengan tujuan akhir ke koloni-koloni Amerika dilaporkan membawa persediaan beras lokal Malagasi menuju Charleston, Carolina Selatan- sebuah kota di Amerika Serikat yang menjadikan biji-bijian sebagai basis industri perkebunan.[19] Kapal dagang tersebut membawa hasil bumi dari Amerika—seperti ubi jalar, tomat, jagung, kacang tanah, tembakau, dan kacang lima— menuju Madagaskar pada abad ke-16 dan 17.[2] Sementara itu, komoditas singkong baru memasuki Madagaskar, tepatnya di dekat Pulau Réunion selepas tahun 1735 dan dibawa oleh koloni Prancis.[20]

Bahan-bahan makanan ini pertama kali dibudidayakan di daerah pesisir terdekat dari pelabuhan kedatangan. Namun, bahan tersebut segera menyebar ke seluruh pulau dan dataran tinggi tengah hanya dalam rentang waktu 100 tahun pasca pengenalan.[21] Demikian pula, buah nanas dan jeruk (lemon, limau, dan jeruk) yang diperkenalkan di pelabuhan pesisir Malagasi. Buah kaya vitamin C tersebut awalnya dikonsumsi oleh pelaut untuk menangkal penyakit skorbut dalam perjalanan panjang lintas Atlantik. Setelah perjalanan itu, buah bervitamin C tersebut barulah mulai dibudidayakan oleh masyarakat lokal.[22]

Kaktus pir berduri atau raketa ([raˈketə̥] ), juga dikenal di Madagaskar selatan sebagai sakafon-drano ([saˈkafuˈɳɖʳanʷ] ) atau "makanan air", dibawa dari Amerika Serikat ke pemukiman Prancis di Fort Dauphin pada tahun 1769 oleh Count Dolisie de Maudave dari Prancis. Tanaman ini menyebar ke seluruh bagian selatan pulau dan menjadi komoditas pangan bagi penggembala Mahafaly dan Bara. Enam atau lebih buah dari tanaman ini dikonsumsi terlebih dahulu sebelum ternak zebu meminum air. Setelah duri dihilangkan, cladodes pada tanaman ini akan menutrisi dan menghidrasi ternak yang penggembala pelihara. Kehadiran tanaman ini memungkinkan penggembala wilayah selatan untuk tinggal menetap dan efisien. Sehingga, meningkatkan kepadatan penduduk dan jumlah ternak di wilayah tersebut.[23]

Periode 1800–1896

 
Pasar Zebu di Ambalavao, Madagaskar

Abad ke-18 di dataran tinggi tengah ditandai dengan meningkatnya kepadatan penduduk dan kejadian kelaparan, yang diperparah oleh peristiwa peperangan antar kerajaan-kerajaan di Imerina.

Pada peralihan abad ke-19, Raja Andrianampoinimerina (1787–1810) berhasil menyatukan kelompok-kelompok Merina yang terpecah di bawah pemerintahannya. Raja Andrianampoinimerina kemudian menggunakan kelompok-kelompok tersebut sebagai budak dan buruh kerja paksa atas penggantian pajak yang tidak dapat dibayarkan. Secara sistematis, mereka bekerja untuk sawah irigasi di sekitar Antananarivo. Dengan cara ini, Antananarivo memastikan bahwa surplus biji-bijian dapat secara konsisten memberi makan seluruh penduduk dan mendukung upaya ekspor ke wilayah lain di pulau tersebut. Pasar didirikan di seluruh pulau guna dijadikan sebagai titik pusat perdagangan komoditas yang ditunjuk, seperti makanan laut, daging asap dan kering, jagung kering, garam, singkong kering, dan berbagai buah-buahan.[24] Kue beras, termasuk mofo gasy ([ˈmufʷˈɡasʲ]) dan menakely ([menə̥ˈkelʲ]) juga dijual oleh pedagang pasar.[25]

Selama periode ini, hidangan pesisir juga telah berevolusi. Di awal abad ke-19, para pengembara melaporkan temuan hidangan di le Sainte-Marie yang disiapkan dengan bubuk kari (nasi berbumbu yang menyerupai biryani) dan minuman berupa kopi serta teh.[26] Anak laki-laki Andrianampoinimerina yang bernama Radama I berhasil menyatukan hampir seluruh pulau di bawah kekuasaannya dan mendirikan Kerajaan Madagaskar. Garis keturunan kerajaan Merina terus memerintah pulau itu sampai masa kolonisasi Prancis pada tahun 1896.[27]

 
Wanita Malagasi menyortir vanili di Sambava, Madagaskar

Di bawah Kerajaan Madagaskar, perkebunan didirikan untuk memproduksi tanaman yang diekspor ke pasar luar negeri, seperti Inggris dan Prancis. Mulanya pada tahun 1803, cengkih diimpor dan ditanam. Sementara itu, kelapa yang merupakan komoditas langka di pulau itu dibudidayakan di perkebunan untuk menghasilkan minyak. Demikian pula, kopi yang terdiri dari empat sampai lima pohon ditanam di petak-petak masyarakat hingga awal abad ke-19. Setelah periode itu, barulah penanaman kopi secara intensif dilakukan untuk keperluan ekspor.[28]

Vanili juga merupakan tanaman ekspor utama Madagaskar. Vanili diperkenalkan oleh pengusaha Prancis pada tahun 1840 dan ditanam di hutan hujan pesisir timur. Tiga puluh tahun setelahnya diiperkenalkanlah teknik penyerbukan mekanis atau hand pollination yang digunakan untuk menaikkan jumlah produksi vanili.[29] Kendati demikian, vanili tetap menjadi tanaman marjinal hingga akhir masa kerajaan.[30]

 
Ravitoto

Selama festival kerajaan Merina, hidangan hanim-pito loha ([amˈpitʷˈlu]) disuguhkan.[31] Hidangan ini merupakan tujuh sajian yang disebut-sebut paling didambakan di dunia. Hidangan tersebut terdiri dari voanjobory ([vwandzˈburʲ], kacang tanah bambara), amalona ([aˈmalnə̥], belut), vorivorinkena ([vurvurˈkenə̥], babat sapi ), Ravitoto ([ravˈtutʷ], parutan daun singkong) dan vorontsiloza ([vurntsʲˈluzə̥], kalkun) yang masing-masing bahannya dimasak bersama dengan daging babi, jahe, bawang putih, bawang merah, dan tomat. Sementara, hidangan <i>romazava</i> ([rumaˈzavə̥]) (terdiri dari rebusan daging sapi dan sayuran hijau) dan varanga ([vaˈraŋɡə̥] (abon sapi panggang) juga melengkapi sajian festival tersebut.[32]

Kolonisasi Madagaskar oleh Prancis menandakan berakhirnya sistem kerajaan Malagasi dan pesta perjamuan yang cukup rumit. Namun, tradisi hidangan yang elegan ini tetap dipertahankan di rumah dan dimakan secara terus-menerus. Hidangan ini bahkan disajikan di banyak restoran di seluruh pulau.[31]

Periode 1896–1960

Pemerintahan kolonial Prancis dimulai pada tahun 1896 dan memperkenalkan sejumlah inovasi hidangan lokal. Hidangan-hidangan baru tersebut diberi nama dari Bahasa Prancis, yang kemudian menjadikannya bahasa yang dominan di negara bagian [33]. Baguette dipopulerkan di kalangan urban kosmopolitan. Seperti halnya beragam kue dan hidangan penutup ala Prancis, yakni cream horns, mille-feuille, croissant, dan chocolat chaud (cokelat panas).

Kolonial Prancis mengenalkan foie gras yang saat ini telah diproduksi secara lokal.[34] Mereka juga mempopulerkan hidangan dataran tinggi yang disebut dengan composé yakni salad makaroni dingin dengan campuran sayuran rebus yang terinspirasi dari hidangan Prancis macédoine de légumes.Templat:Sfm

Kolonial Prancis kemudian mendirikan perkebunan untuk keperluan penanaman beragam tanaman komersial. Dalam hal ini, mereka tak hanya menanam tanaman yang telah dieksploitasi pada abad ke-19 saja, tetapi mereka juga menanam beragam buah-buahan, sayuran, dan ternak yang sebelumnya belum pernah ada dan dibudidayakan dengan berbagai tingkat keberhasilan. Teh, kopi, vanili, minyak kelapa, dan rempah-rempah adalah komoditas ekspor terkuatnya.[35] Kelapa menjelma sebagai bahan umum dalam hidangan pesisir, sementara vanili mulai digunakan dalam campuran saus pada hidangan berbasis unggas maupun boga bahari.[36]

 
Baguette Prancis dijual di toko di Tollara

Meskipun sejumlah kecil pemukim Cina telah tiba di Madagaskar menjelang akhir pemerintahan Ratu Ranavalona III, gelombang besar pertama migran Cina terjadi di masa Jenderal Joseph Gallieni. Gallieni adalah gubernur jenderal koloni pertama di Madagaskar yang memerintahkan 3.000 buruh Cina untuk membangun jalur rel utara yang menghubungkan Antananarivo dan Toamasina.[37]

Di wilayah Madagaskar dengan komunitas Tionghoa yang besar, migran Cina selanjutnya memperkenalkan sejumlah hidangan khasnya. Misalnya, riz cantonais (nasi goreng Cina), soupe chinoise (sup mie ala Cina), misao (mie goreng), pao (hum bao),[38] dan nems (telur gulung goreng).[39]

Sementara itu, di tahun 1880-an, sebuah komunitas yang terdiri dari sekitar 200 pedagang India telah bermukim di Mahajanga- sebuah pelabuhan di pesisir barat laut Madagaskar yang terletak di dekat Teluk Bembatoka di muara Sungai Betsiboka.[40] Tiga puluh tahun kemudian, populasi orang India di Madagaskar telah meningkat menjadi lebih dari 4.000 orang dan terkonsentrasi di sepanjang pelabuhan dagang di pesisir barat laut.[41]

Komunitas awal India ini mempopulerkan hidangan kari dan biryani di seluruh wilayah. Ada juga, "khimo" atau makanan khas Mahajanga yang terinspirasi dari hidangan keema di India.[42] Selain itu, ada samosa India (sambos) yang menjadi makanan jalanan populer di sebagian besar Madagaskar, di mana hidangan itu juga dikenal dengan sebutan tsaky telozoro ([ˈtsakʲteluˈzurʷ] yang berarti "camilan tiga sudut").[43]

Sementara inovasi kolonial Prancis memperkaya hidangan Madagaskar dalam banyak hal, tetapi tidak setiap inovasi tersebut menguntungkan. Sejak diperkenalkannya kaktus pir berduri Prancis pada abad ke-18, gaya hidup penggembala wilayah selatan menjadi semakin bergantung pada tanaman. Tanaman diperuntukkan untuk makanan dan air bagi zebu, sedangkan buah dan air untuk diri mereka sendiri selama musim kemarau pada bulan Juli hingga Desember. Ketika tahun 1925, seorang kolonis Prancis ingin membasmi kaktus pada tanahpropertinya yang terletak di barat daya kota Toliara. Ia lantas memperkenalkan cochineal yakni serangga yang dikenal sebagai parasit pada tanaman. Dalam kurun waktu lima tahun, hampir seluruh tanaman kaktus pir berduri di Madagaskar selatan telah musnah akibat serangga tersebut. Musnahnya kaktus pir berduri menyebabkan kelaparan masif dari tahun 1930–1931.[44] Meskipun masyarakat lokal telah beradaptasi dengan berbagai cara, periode kelaparan ini secara luas dikenang sebagai masa berakhirnya gaya hidup tradisional selepas kedatangan orang asing di tanah mereka.[44]

Hidangan Kontemporer

 
Menu harian di hotel Madagaskar

Sejak Madagaskar memperoleh kemerdekaan dari pemerintahan kolonial Prancis pada tahun 1960, hidangan Malagasi telah mencerminkan variasi budaya dan pengaruh sejarah pulau tersebut. Di seluruh Madagaskar, beras dianggap sebagai bahan makanan pokok dan utama di seluruh wilayah, kecuali daerah paling kering di selatan dan barat.[45] Hidangan pendamping yang disajikan dengan nasi bervariasi menurut ketersediaan bahan dan norma budaya setempat.

Di luar rumah, hidangan Malagasi disajikan di warung pinggir jalan (gargottes) atau di restoran hotel. Makanan ringan dan makanan berbahan dasar nasi juga dapat dibeli dari pedagang kaki lima. Restoran kelas atas menawarkan variasi masakan asing dan hidangan Malagasi yang lebih luas dengan pengaruh Prancis dan pengaruh luar lainnya dalam teknik persiapan, bahan, dan presentasi.[32]

Nasi (vary)

Nasi (vary) adalah basis pola makan Madagaskar dan biasanya dikonsumsi setiap waktu makan.[46] Kata kerja "to eat a meal" dalam bahasa Madagaskar adalah mihinam-bary, yang secara harfiah berarti makan nasi.[46] Nasi dapat disiapkan dengan berbagai jumlah air untuk menghasilkan nasi kering yang lembut (vary maina ,[ˌvarʲ ˈmajnə̥]) yang dimakan dengan semacam pelengkap berupa laoka dalam saus. Sementara untuk beras yang disiapkan dengan air berjumlah ekstra akan menghasilkan bubur nasi kental yang disebut vary sosoa ([ˌvarʲ suˈsu]. Vary sosoa biasanya disantap sebagai sarapan atau makanan bagi orang yang sakit.[47] Vary sosoa dapat disertai dengan laoka kering seperti kitoza dan potongan daging zebu asap.[48] Hidangan nasi populer lainnya adalah vary amin'anana ([ˈvarʲ ˌjamʲˈnananə̥]), yakni bubur tradisional yang dibuat dari beras, daging, dan sayuran cincang.[49]

Selama famadihana (upacara penguburan) di dataran tinggi, jenis olahan nasi khusus yang disebut vary be menaka ([ˈvarʲ beˈmenakə̥] atau "nasi dengan banyak lemak") adalah nasi yang disajikan dengan potongan daging sapi berlemak atau potongan daging babi yang sangat berlemak.[32]

Hidangan Pendamping (laoka)

Dua jenis laoka: voanjobory sy henakisoa (kacang tanah Bambara yang dimasak dengan daging babi, kiri) [50] dan ravimbomanga sy patsamena (daun ubi jalar yang direbus dengan udang kering, kanan).[51]

Laoka dalam dialek masyarakat dataran tinggi,[46] versi aslibahasa Malagasi berarti hidangan lauk-pauk dan pelengkap yang disajikan bersama nasi. Laoka kerap disajikan dalam beberapa jenis saus. Di dataran tinggi, saus ini umumnya berbahan dasar tomat; sedangkan di daerah pesisir sering ditambahkan santan saat proses memasak.[32] Di wilayah Madagaskar selatan dan barat yang tergolong gersang, menggembala zebu adalah pola tradisional, di mana susu zebu segar atau yang dikentalkan (menjadi dadih) sering ditambahkan dalam laoka berupa hidangan sayur.[52]

Laoka memiliki beragam variasi. Seperti misalnya, laoka yang dibuat dari kacang tanah Bambara dengan daging babi, sapi atau ikan; parutan daun singkong dengan kacang tanah, daging sapi atau babi; hidangan henan'omby dengan daging zebu, hidangan trondro gasy ([ˌtʂundʐʷ ˈɡasʲ]) dengan berbagai ikan air tawarnya; hidangan akoho ([aˈkuː]) berupa ayam yang ditumis dengan jahe dan bawang putih atau direbus dalam puree bumbunya. Laoka dibuat dari berbagai jenis boga bahari yang lebih mudah tersedia di sepanjang pantai atau di pusat kota besar.[53] [54]

Berbagai sayuran lokal seperti anamamy (Morele greens), anamafaitra (Martin greens), dan khususnya anamalao (paracress) dibedakan berdasarkan efek analgesik ringan yang dihasilkan daun dan bunga setelah proses perebusan. Biasanya sayuran hijau itu dijual bersama dengan sayuran lain seperti, anandrano (selada air) dan anatsonga (bok choy ).[55]

Di wilayah selatan dan barat yang gersang, seperti wilayah yang didiami masyarakat etnis Bara atau Tandroy, makanan pokoknya meliputi ubi jalar, talas, akar talas, singkong, millet, dan jagung. Bahan pokok tersebut umumnya diolah dengan cara direbus dengan air dan terkadang disajikan dengan susu utuh atau dibumbui dengan kacang yang dihancurkan.[56]

Bawang putih, bawang merah, jahe, tomat, kari halus, dan garam adalah bahan yang paling umum digunakan untuk membumbui hidangan Malagasi. Sementara itu, di daerah pesisir juga ditambahkan bahan lain, seperti santan, vanili, cengkih atau kunyit.[57] Alih-alih mencampurkan bumbu-bumbu tersebut saat proses memasak, berbagai bumbu itu disajikan di samping menu utama dan dicampur ke dalam nasi atau laoka sesuai dengan selera masing-masing individu.[58] Untuk bumbu yang paling umum dan dasar ialah sakay ([saˈkai̯]). Sakay sendiri merupakan bumbu pedas yang terbuat dari cabai merah atau hijau.[59]

Bumbu ala India yang terbuat dari acar mangga, lemon, dan buah-buahan lainnya (dikenal sebagai achards atau lasary) menjadi menu khas di pesisir;[1]. Sedangkan, di wilayah dataran tinggi, lasary seringkali merujuk pada hidangan salad yang terdiri dari kacang hijau, kubis, wortel, dan bawang dengan saus vinaigrette. Lasary pesisir ini sangat populer sebagai lauk atau isian sandwich baguette.[60]

Ro ([ru], kaldu) dapat disajikan sebagai laoka utama atau sebagai tambahan untuk membumbui dan melembabkan nasi. Ro-mangazafy ([rumaŋɡaˈzafʲ]) adalah kaldu yang kaya dan beraroma yang dibuat dari campuran daging sapi, tomat, dan bawang putih, serta sering melengkapi laoka kering.[61] Sebaliknya, Romatsatso ([rumaˈtsatsʷ]) adalah kaldu yang ringan dan relatif tanpa rasa yang terbuat dari bawang bombai, tomat, dan sayuran anamamy yang disajikan dengan daging atau unggas berlemak.[62] Sedangkan ron-akoho ([runaˈku]) ialah kaldu yang dibuat dari ayam dan jahe serta biasanya digunakan sebagai obat rumahan untuk penyakit flu ringan.[62] Sementara itu, rompatsa ([rumˈpatsə̥]) ialah kaldu yang terbuat dari udang kering kecil, daging sapi, daun ubi jalar, dan kentang. Secara tradisional, rompatsa dikonsumsi oleh ibu baru untuk mendukung proses menyusui.[51]

Kemudian, hidangan nasional Madagaskar ialah kaldu yang disebut dengan romazava. Dalam bentuk yang paling sederhana, romazava terbuat dari daging sapi dengan sayuran anamalao, anantsonga atau anamamy. Hidangan romazava dapat dibedakan berdasarkan bunga anamalao yang dimasukkan. Bunga anamalo akan menghasilkan efek analgesik ringan saat kaldu dikonsumsi. Sementara itu, untuk romazava versi kompleks dan beraroma maka ditambahkan bahan-bahan umum, seperti tomat, bawang merah dan jahe.[63]

Makanan Jalanan

 
Pedagang kaki lima yang menjual keripik kentang segar dan kaka pizon

Berbagai kue dan gorengan secara kolektif dikenal sebagai mofo ([ˈmuf], yang berarti "roti") dan tersedia di kios-kios yang terletak di kota-kota besar dan kecil di seluruh Madagaskar.[64] Yang paling sering dijumpai adalah mofo gasy atau "roti Malagasi" yang terbuat dari adonan tepung beras ketan yang dituangkan ke dalam cetakan melingkar yang telah dilumuri minyak dan dimasak di atas arang.

Mofo gasy adalah sarapan populer yang sering dimakan dengan kopi dan dijual di kios-kios.[65] Di wilayah pesisir, mofo dibuat dari santan dan dikenal dengan nama mokari ([muˈkarʲ]).[66] Mofo dengan rasa manis antara lain ialah donat goreng bernama menakely[67], bola goreng yang disebut dengan mofo baolina ([ˌmuf ˈbolː]),[68] dan berbagai gorengan dengan isian buah, seperti nanas dan pisang.[69]

Sedangkan, mofo dengan rasa gurih antara lain ialah ramanonaka ([ˌramaˈnunakə̥]), mofo gasy asin yang digoreng dengan lemak babi,[70] dan mofo sakay ([ˌmuf saˈkai̯], "roti pedas") yang terbuat dari sayuran cincang, bawang bombai, tomat, dan cabai.[71]

Di pasar dan pom bensin, orang dapat menjumpai penjaja koba akondro ([kubaˈkundʐʷ]). Koba akondro merupakan manisan yang dibuat dengan cara membungkus adonan yang berisi kacang tanah, pisang yang telah ditumbuk, madu, dan tepung jagung ke dalam daun pisang dan mengukus atau merebusnya sampai adonan mengeras.[32] [72]

Rempeyek kacang, pisang kering, bola-bola pasta asam yang digulung dengan gula berwarna, dan adonan sejenis pangsit goreng bernama kaka pizon ([kaka pizõ], atau yang berarti "kotoran merpati"), serta homemade yogurt juga biasa dijajakan dan dimakan di sekitaran Pulau Reunion.[73] Sementara itu, masyarakat di wilayah pedesaan biasa mengonsumsi singkong atau ubi jalar kukus yang kadangkala dipadukan dengan susu segar atau susu kental manis.[72]

Hidangan Penutup

 
Penjual di Antananarivo menjual koba, makanan manis yang terbuat dari kacang tanah, gula, dan tepung beras

Secara tradisional, buah segar dikonsumsi oleh orang Madagaskar setelah menyantap hidangan utama, sehingga disebut sebagai hidangan penutup.[74] Begitu pula, tebu segar yang bisa dijadikan camilan dengan cara dikunyah.[75] Selain itu, berbagai buah-buahan iklim sedang dan tropis juga ditanam oleh penduduk lokal dan dapat dinikmati secara langsung atau dengan tambahan taburan gula.

Buah beriklim sedang yang ditemukan di Madagaskar di antaranya adalah apel, lemon, labu, semangka, jeruk, ceri, stroberi, dan masih banyak lagi.

Sedangkan, buah tropis yang umum dikonsumsi oleh orang Madagaskar antara lain ialah kelapa, asam jawa, mangga, nanas, alpukat, markisa, dan biwa, yang dalam bahasa lokal disebut dengan pibasy ([piˈbasʲ]). Terdapat juga buah jambu biji, lengkeng, leci, kesemek dan "pok-pok" (juga disebut voanantsindrana[vunˈtsinɖʳanə̥] ), buah yang mirip dengan physalis. Untuk wilayah pesisir barat, buah pohon baobab biasa dikonsumsi ketika periode singkat menjelang akhir musim hujan.[76]

Sementara itu, Madagaskar juga terkenal sebagai negara pengekspor kakao [77] dan vanili.[78] Di daerah pesisir Madagaskar atau di restoran pedalaman kelas atas, vanili dapat digunakan untuk membuat saus gurih saat memasak hidangan berbahan unggas.[79]

Koban-dravina ([ˌkubanˈɖʳavʲnə̥]) atau koba ([ˈkubə̥]) adalah makanan khas Malagasi yang dibuat dengan cara menggiling kacang tanah dan gula merah, kemudian membungkus campuran tersebut ke dalam pasta tepung beras guna membentuk buntalan silinder. Buntalan tersebut dibungkus menggunakan daun pisang dan direbus selama 24 hingga 48 jam atau lebih guna memastikan gula berubah menjadi karamel dan kacang bertekstur lunak. Koba yang telah jadi selanjutnya disajikan dalam bentuk irisan tipis.

Bonbon coco adalah permen populer Madagaskar yang terbuat dari kelapa parut dan dimasak dengan cara mengkaramelisasikan gula yang kemudian dibentuk menjadi bola atau roti kenyal. Sementara itu, ada juga kue godro-godro ([ɡuɖʳˈɡuɖʳʷ] ) atau sejenis puding santan kental khas Madagaskar yang sangat populer dan dapat ditemukan di Komoro.[80]

Kemudian, masuknya budaya Prancis dalam hidangan penutup Madagaskar dapat dilihat dari banyaknya Patiseri yang menjual kue kering dan olahan roti khas Prancis baik di kota besar maupun wilayah kecil di seantero Madagaskar.[81]

Minuman

 
Homemade rhum arrangé dihasilkan dengan cara menambahkan buah-buahan atau rempah-rempah ke dalam racikan rum Malagasi. Gambar berikut menampilkan varian rasa kayu manis, jahe, dan lemon.

Ranon'ampango ([ˌranʷnamˈpaŋɡʷ])[82] dan ranovola ([ranʷˈvulə̥] )[83] adalah minuman paling umum dan tradisional di Madagaskar. Keduanya merupakan minuman yang dibuat setelah proses menanak nasi. Cara pembuatannya ialah lapisan tipis nasi yang dibakar dibiarkan di bagian bawah panci dan dipanaskan bersama dengan air. Minuman ini disebut memiliki efek kuratif dan menawarkan alternatif rasa pada air yang tawar.[74]

Selain itu, terdapat berbagai minuman lain yang diproduksi secara lokal.[84] Kopi misalnya, ditanam di bagian timur pulau dan telah menjadi standar minuman manakala sarapan. Kopi yang disajikan ini biasanya berupa kopi hitam murni atau dengan tambahan susu kental manis dan dijajakan di sepanjang jalan.

Sementara untuk teh yang paling populer di Madagaskar ialah teh hitam murni atau yang terkadang diracik dengan vanili dan teh herbal khususnya yang terbuat dari serai dan lemon bush (ravin'oliva[ˌravʲnoˈlivə̥]. Sedangkan jus ala Madagaskar biasanya terbuat dari jambu biji, markisa, nanas, asam jawa, baobab, dan buah lainnya.

Kemudian, untuk minuman berbasis susu yang kaya akan kalsium, penduduk Madagaskar mengonsumsi antara lain ialah susu segar, yogurt yang diproduksi secara lokal, es krim atau susu kental manis yang dicampur dengan air panas.

Sementara itu, minuman ringan Madagaskar terdiri dari cola dan soda jeruk yang diproduksi secara lokal. Misalnya, Bonbon Anglais, soda lemon lokal yang memiliki cita rasa manis dan produk Coca-Cola yang sangat populer dan telah dikonsumsi di seluruh pulau.[85]

Selanjutnya, ada banyak minuman beralkohol yang diproduksi untuk keperluan konsumsi lokal dan ekspor terbatas.[65] Contohnya saja, produk lokal Pilsner dan Three Horses Beer yang sangat populer dan ada di mana-mana. Produksi wine dilakukan di dataran tinggi selatan sekitar kota Fianarantsoa. Sementara, rum (toaka gasy[ˌtokə̥ ˈɡasʲ]) diproduksi secara luas dan dapat diminum secara murni, ditambahkan perasa dari buah-buahan dan rempah-rempah eksotis guna menghasilkan rhum arrangé, dan atau dicampur dengan santan untuk membuat koktail coco punch.[85] Bentuk rum paling tradisional disebut dengan "betsabetsa" dan terbuat dari sari tebu yang difermentasi. Rum disajikan untuk keperluan ritual di banyak wilayah Madagaskar. Di mana tradisinya dilakukan dengan cara membuang tutup pertama dari botol rum yang baru dibuka ke sudut timur laut ruangan sebagai persembahan dan tanda penghormatan kepada arwah leluhur.[86]

Pada pertemuan sosial, minuman beralkohol biasanya juga disajikan bersama dengan camilan goreng dengan rasa gurih yang dikenal secara kolektif sebagai tsakitsaky. Tsakitsaky.biasanya terdiri dari kacang goreng, keripik kentang, nems, sambos, dan kaka pizon.[87]

Lihat pula

  • Masakan Afrika
  • Pertanian di Madagaskar
  • Daftar masakan Afrika

Catatan kaki

  1. ^ a b Espagne-Ravo (1997), pp. 79–83
  2. ^ a b c d e Gade (1996), p. 105
  3. ^ a b Blench (1996), pp. 420–426
  4. ^ Campbell (1993), pp. 113–114
  5. ^ a b Sibree (1896), p. 333
  6. ^ a b Stiles, D. (1991). "Tubers and Tenrecs: the Mikea of Southwestern Madagascar". Ethnology. 30 (3): 251–263. doi:10.2307/3773634. JSTOR 3773634. 
  7. ^ Presenter: David Attenborough; Director: Sally Thomson; Producer: Sally Thomson; Executive Producer: Michael Gunton (March 2, 2011). BBC-2 Presents: Attenborough and the Giant Egg. BBC. 
  8. ^ Virah-Sawmy, M.; Willis, K.J.; Gillson, L. (2010). "Evidence for drought and forest declines during the recent megafaunal extinctions in Madagascar". Journal of Biogeography. 37 (3): 506–519. doi:10.1111/j.1365-2699.2009.02203.x. 
  9. ^ Perez, V.R.; Godfrey, L.R.; Nowak-Kemp, M.; Burney, D.A.; Ratsimbazafy, J.; Vasey, N. (2005). "Evidence of early butchery of giant lemurs in Madagascar". Journal of Human Evolution. 49 (6): 722–742. doi:10.1016/j.jhevol.2005.08.004. PMID 16225904. 
  10. ^ Butler, Rhett (July 17, 2005). "Lemur hunting persists in Madagascar: Rare primates fall victim to hunger". mongabay.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal April 25, 2011. Diakses tanggal January 7, 2011. 
  11. ^ a b c Campbell (1993), p. 116
  12. ^ Olson, S. (1984). "The robe of the ancestors: Forests in the history of Madagascar". Journal of Forest History. 28 (4): 174–186. doi:10.2307/4004807. JSTOR 4004807. 
  13. ^ Linton (1928), p. 386
  14. ^ Linton (1928), p. 367
  15. ^ a b Grandidier (1899), p. 521
  16. ^ Raison-Jourde, Françoise (1983). Les Souverains de Madagascar (dalam bahasa Prancis). Antananarivo, Madagascar: Karthala Editions. hlm. 29. ISBN 978-2-86537-059-7. 
  17. ^ Kent, Raymond (1970). Early Kingdoms in Madagascar: 1500–1700. New York: Holt, Rinehart and Winston. hlm. 93. ISBN 978-0-03-084171-2. 
  18. ^ Bloch, Maurice (1997). Placing the dead: tombs, ancestral villages and kinship organization in Madagascar. London: Berkeley Square House. hlm. 179–180. ISBN 978-0-12-809150-0. 
  19. ^ Campbell (1993), pp. 131
  20. ^ Jones, William (1957). "Manioc: An example of innovation in African economies". Economic Development and Cultural Change. 5 (2): 97–117. doi:10.1086/449726. 
  21. ^ Campbell (1993), p. 117
  22. ^ Campbell (1993), pp. 127, 142
  23. ^ Kaufmann, J.C. (2000). "Forget the Numbers: The Case of a Madagascar Famine". History in Africa. 27: 143–157. doi:10.2307/3172111. JSTOR 3172111. 
  24. ^ Campbell (1993), p. 125
  25. ^ Sibree, James (1885). The Antananarivo annual and Madagascar magazine. Volume 3. Antananarivo, Madagascar: London Missionary Society Press. hlm. 405. 
  26. ^ Robinson, Heaton (1831). Narrative of Voyages to Explore the Shores of Africa, Arabia, and Madagascar. Volume 1. New York: J & J Harper. hlm. 112. 
  27. ^ Mutibwa, P.M.; Esoavelomandroso, F.V. (1989). "Madagascar: 1800–80". Dalam Ade Ajayi, Jacob Festus. General History of Africa VI: Africa in the Nineteenth Century until the 1880s . Paris: UNESCO. hlm. 412–447. ISBN 978-0-520-06701-1. 
  28. ^ Campbell (2005), p. 107
  29. ^ Karner, Julie (2006). The Biography of Vanilla. New York: Crabtree Publishing Company. hlm. 22. ISBN 978-0-7787-2490-2. 
  30. ^ Wildeman, Emile (1902). Les plantes tropicales de grande culture (dalam bahasa Prancis). Paris: Maison d'édition A. Castaigne. hlm. 147–148. 
  31. ^ a b Auzias et al (2009), p. 150
  32. ^ a b c d e Bradt (2011), p. 312
  33. ^ Spolsky, Bernard (2004). Language Policy. Cambridge, United Kingdom: Cambridge University Press. hlm. 137. ISBN 978-0-521-01175-4. 
  34. ^ Auzias et al 2009, hlm. 92.
  35. ^ Campbell (2005), pp. 107–111
  36. ^ Donenfeld (2007), p. xix
  37. ^ McLean Thompson, Virginia; Adloff, Richard (1965). The Malagasy Republic: Madagascar today . Stanford, California: Stanford University Press. hlm. 271. ISBN 978-0-8047-0279-9. 
  38. ^ Andrew, David; Blond, Becca; Parkinson, Tom; Anderson, Aaron (2008). Madagascar & Comoros. Melbourne, Australia: Lonely Planet. hlm. 44. ISBN 978-1-74104-608-3. 
  39. ^ Savoir Cuisiner (2004), p. 5
  40. ^ Oliver (1885), p. 115
  41. ^ Martin, Frederick (1916). "Madagascar". The Statesman's Year-book: Statistical and Historical Annual of the States of the World for the Year 1916. London: St. Martin's Press. hlm. 905–908. 
  42. ^ Espagne-Ravo (1997), p. 97
  43. ^ Espagne-Ravo (1997), pp. 21–27
  44. ^ a b Middleton, Karen (1997). "Death and Strangers". Journal of Religion in Africa. 27 (4): 341–373. doi:10.1163/157006697x00199. 
  45. ^ Faublée (1942), p. 157
  46. ^ a b c Sibree, James (1915). A Naturalist in Madagascar. London: J.B. Lippincott Company. hlm. 106. 
  47. ^ Boissard (1997), p. 30
  48. ^ Savoir Cuisiner (2004), p. 26
  49. ^ Savoir Cuisiner (2004), pp. 30–31
  50. ^ Savoir Cuisiner (2004), p. 46
  51. ^ a b Ficarra, Vanessa; Thiam, Aminata; Vololonirina, Dominique (2006). Universalisme du lien mère-enfant et construction culturelle des pratiques de maternage (PDF). Cours OIP-505A Semiotique de la culture et communication interculturelle (dalam bahasa Prancis). INALCO-CFI/OIPP. hlm. 51. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal January 16, 2011. Diakses tanggal January 16, 2011. 
  52. ^ Faublée (1942), pp. 194–196
  53. ^ Espagne-Ravo (1997)
  54. ^ Savoir Cuisiner (2004)
  55. ^ Savoir Cuisiner (2004), p. 7
  56. ^ Faublée (1942), pp. 192, 194–196
  57. ^ Jacob, Jeanne; Michael, Ashkenazi (2006). The World Cookbook for Students. Volume 3, Iraq to Myanmar. Westport, Connecticut: Greenwood Press. hlm. 128–133. ISBN 978-0-313-33454-2. 
  58. ^ Chan Tat Chuen (2010), pp. 37–38
  59. ^ Chan Tat Chuen (2010), p. 42
  60. ^ Chan Tat Chuen (2010), p. 39
  61. ^ Boissard (1997), p. 32
  62. ^ a b Boissard (1997), p. 34
  63. ^ Boissard (1997), pp. 36–40
  64. ^ Boissard (1997), p. 80
  65. ^ a b Bradt (2011), pp. 101–102
  66. ^ Donenfeld (2007), p. 7
  67. ^ Chan Tat Chuen (2010), pp. 97–98
  68. ^ Savoir Cuisiner (2004), pp. 18–19
  69. ^ Espagne-Ravo (1997), pp. 131–132
  70. ^ Jeanguyot, Michelle; Ahmadi, Nour (2002). Grain de riz, grain de vie (dalam bahasa Prancis). Paris: Editions Quae. hlm. 87. ISBN 978-2-914330-33-6. 
  71. ^ Ranaivoson, Dominique (2007). 100 mots pour comprendre Madagascar (dalam bahasa Prancis). Paris: Maisonneuve & Larose. hlm. 18–19. ISBN 978-2-7068-1944-5. 
  72. ^ a b Weber, Katharine (2010). True Confections. New York: Random House. hlm. 149. ISBN 978-0-307-39586-3. 
  73. ^ Pitcher, Gemma; Wright, Patricia (2004). Madagascar & Comoros. Melbourne, Australia: Lonely Planet. hlm. 37. ISBN 978-1-74104-100-2. 
  74. ^ a b Sandler, Bea (2001). The African Cookbook. New York: Citadel Press. hlm. 85–94. ISBN 978-0-8065-1398-0. Diarsipkan dari versi asli tanggal April 25, 2011. Diakses tanggal January 7, 2011. 
  75. ^ Faublée (1942), p. 174
  76. ^ Janick, Jules; Paull, Robert E., ed. (2008). "Bombacaceae: Adansonia Digitata Baobab". The Encyclopedia of Fruit & Nuts. Cambridge, Massachusetts: Cabi Publishing. hlm. 174–176. ISBN 978-0-85199-638-7. 
  77. ^ Motavalli, Jim (November–December 2007). "Sweet Dreams: Fair trade cocoa company Theo Chocolate". E: The Environmental Magazine. hlm. 42–43. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-07-08. Diakses tanggal November 13, 2010. 
  78. ^ Ecott, Tim (2004). Vanilla: Travels in search of the Luscious Substance. London: Penguin Books. hlm. 222. ISBN 978-0-7181-4589-7. 
  79. ^ Chan Tat Chuen (2010), p. 62
  80. ^ Nativel & Rajaonah (2009), p. 152
  81. ^ Bradt & Austin (2007), pp. 165–166
  82. ^ Espagne-Ravo (1997), p. 39
  83. ^ Savoir Cuisiner (2004), p. 27
  84. ^ Bradt & Austin (2007), p. 115
  85. ^ a b Bradt & Austin (2007), p. 114
  86. ^ Nativel & Rajaonah (2009), p. 165
  87. ^ Chan Tat Chuen (2010), pp. 49–57

Referensi