Ekonomi biru
Ekonomi Biru "Blue Economy" merupakan konsep optimalisasi sumber daya perairan yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui berbagai kegiatan yang inovatif dan kreatif dengan tetap menjamin keberlanjutan usaha dan kelestarian lingkungan. Istilah ekonomi biru pertama kali diperkenalkan pada tahun 2010 oleh Gunter Pauli melalui bukunya yang berjudul “The Blue Economy: 10 years – 100 innovations – 100 million jobs”. Ekonomi biru menerapkan logika ekosistem, yaitu ekosistem selalu bekerja menuju tingkat efisiensi lebih tinggi untuk mengalirkan nutrien dan energi tanpa limbah untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi semua kontributor dalam suatu sistem. Selanjutnya, ekonomi biru menitikberatkan pada inovasi dan kreativitas yang meliputi variasi produk, efisiensi sistem produksi, dan penataan sistem manajemen sumber daya. [1]
Konsep blue ekonomi mengedepankan dan menitikberatkan pada efisiensi. Efisiensi mendorong adanya pengembangan investasi dan bisnis perikanan dengan tetap menjaga lingkungan tetap lestari. Inti utama dari blue economy ini adalah kegiatan yang pro ekosistem. Segala limbah keluaran dari kegiatan perikanan harus berada dalam kondisi yang tidak mencemari tanah maupun perairan umum. Limbah, baik limbah kimia maupun limbah organik secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh pada habitat dan kehidupan ekosistem, oleh sebab itu, maka perlu ada ilmu dan teknologi dalam keluaran limbah. Jika hal ini dapat terwujud maka blue economy yang terintegrasi dengan program industrialisasi perikanan akan semakin berhasil dan memajukan sektor perikanan.
Sejarah Ekonomi Biru
Semenjak diratifikasinya United Nation Convention on the Law of the Sea melalui Undang-undang No.17 tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa. Kebijakan pengembangan ekonomi kelautan sebagai Pengembangan Ekonomi Kelautan dengan Model Ekonomi Biru bagi Terwujudnya Indonesia sebagai Negara Kepulauan yang Mandiri, Maju, Kuat dan Berbasiskan Kepentingan Nasional. Ekonomi biru kemudian berkembang dan sering dikaitkan dengan pengembangan daerah pesisir. Konsep ekonomi biru sejalan dengan konsep ekonomi hijau yang ramah lingkungan dan difokuskan pada negara-negara berkembang dengan wilayah perairan (laut), yang biasa dikenal dengan Small Island Development States (SIDS). Ekonomi biru dalam hal ini ditujukan untuk mengatasi kelaparan, mengurangi kemiskinan, menciptakan kehidupan laut yang berkelanjutan, mengurangi risiko bencana di daerah pesisir, dan mitigasi serta adaptasi perubahan iklim. Implementasi ekonomi biru secara global dianggap krusial mengingat 72 persen dari total permukaan bumi merupakan lautan. Disamping itu, laut berfungsi sebagai salah satu sumber penyedia makanan dan pengatur iklim dan suhu bumi sehingga kelestariannya perlu dijaga. Penerapan Ekonomi Biru membutuhkan keterlibatan multisektor dengan arah dan platform yang jelas untuk Lautan Berkelanjutan. Untuk itu, pemerintah terbuka untuk bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan, khususnya untuk lebih meningkatkan implementasi ekonomi kelautan Indonesia yang berkelanjutan.
Program Ekonomi Biru
Program lainnya yang akan mulai dicanangkan sebagai bagian dari terciptanya ekonomi biru untuk menjadikan laut sebagai sumber kesejahteraan, yaitu Program Infrastruktur Kawasan Terumbu Karang dan Mangrove LAUTRA (Laut Sejahtera). Program ini bertujuan untuk meningkatkan pengelolaan terumbu karang dan ekosistem mangrove serta kawasan konservasi, dengan menyediakan sarana dan prasarana pengelolaan, serta memperbaiki kondisi sosial ekonomi untuk meningkatkan keberlanjutan sumber daya alam dan kesejahteraan masyarakat. [2]
Potensi Perairan Laut Indonesia
Berdasarkan Statistik Perikanan dan Akuakultur Tahun 2012 dari Food and Agriculture Organization (FAO), Indonesia menduduki peringkat kedua dalam produksi perikanan tangkap dan peringkat keempat dalam produksi perikanan budidaya. Sekitar 75 persen dari total wilayah kedaulatan Indonesia merupakan wilayah perairan yang terdiri dari laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan laut 12 mil. Indonesia juga tercatat sebagai negara kedua terbanyak dalam hal jumlah kapal yang dimiliki setelah Tiongkok. Dari sisi penyerapan tenaga kerja, sektor perikanan tercatat menampung 2.748.908 tenaga kerja pada tahun 2012, menduduki peringkat keempat dunia. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa sektor perikanan, walaupun hanya menyumbang sekitar 2 persen dari total PDB Indonesia pada tahun 2013 namun memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi dari laju pertumbuhan PDB secara keseluruhan, yaitu sebesar 6,86 persen. Laju pertumbuhan sektor perikanan ini lebih tinggi dibandingkan sektor pertambangan, industri manufaktur, konstruksi, dan jasa. Hal ini menunjukkan potensi yang dapat dikembangkan di masa yang akan datang. Kekayaan bawah laut merupakan salah satu modal Indonesia untuk menarik wisatawan, baik asing maupun lokal. Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat terdapat 108 kawasan konservasi perairan dengan luas 15,78 juta ha, yang diharapkan dapat meningkat menjadi 20 juta ha pada tahun 2020. Keindahan bawah laut di beberapa provinsi di Indonesia juga sudah sangat mendunia dan menjadi spot menyelam yang wajib dikunjungi para divers, seperti Bunaken (Sulawesi Utara), Raja Ampat (Papua Barat), dan Wakatobi (Sulawesi Tenggara).
Tantangan Ekonomi Biru
Fakta bahwa Indonesia memiliki berbagai potensi bahari yang besar dan melimpah sayangnya tidak tercermin dalam kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir. Banyak nelayan yang hidup di bawah garis kemiskinan dengan kondisi lingkungan yang mengkhawatirkan. Terbatasnya kemampuan dan akses menuju pekerjaan yang lebih baik merupakan beberapa alasan para nelayan tetap bertahan. Ditambah lagi, bantuan pemerintah berupa kapal Inka Mina, misalnya, banyak mengalami kendala dalam operasionalisasinya. Hasil tangkapan para nelayan tradisional juga sangat terbatas mengingat minimnya peralatan yang digunakan jika dibandingkan dengan perusahaan penangkap ikan yang memiliki kapal dan peralatan lebih canggih. Kalah bersaing, beberapa nelayan kemudian memutuskan untuk berhenti mencari ikan dan menjadi buruh nelayan pada perusahaan ikan yang secara ekonomi tidak membuat mereka lebih baik. Dengan keterbatasan pengetahuan dan ditambah lagi dengan tekanan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari menyebabkan aspek ekologi menjadi terabaikan. Penggunaan sarana dan prasarana penangkapan ikan, seperti bom, potas, dan pukat harimau, cenderung merusak keanekaragaman hayati dan biota laut.
Pendekatan ekonomi biru menitikberatkan pada investasi kreatif dan inovatif yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Jenis usaha dan lapangan kerja baru sebenarnya dapat diterapkan di sekitar daerah pesisir. Bisnis daur ulang sampah, misalnya, dapat menjadi alternatif solusi membersihkan lingkungan sekitar pantai, menciptakan lapangan kerja baru, dan mengurangi sampah (zero waste). Untuk dapat mendukung implementasi ekonomi biru yang berorientasi pada kreativitas dan inovasi, pemerintah perlu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat pesisir sehingga mampu “bereksperimen” dengan limbah, by-product, dan produk ikutan hasil laut. Dengan peningkatan inovasi dan sosialisasi iptek pertanian dan kelautan diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penangkapan dan budidaya hasil laut. Infrastruktur yang mendukung efisiensi kegiatan maritim, seperti pelabuhan, aspek pengolahan dan pemasaran hasil perikanan juga perlu mendapat perhatian lebih. Dengan memelihara kualitas keanekaragaman hayati laut, ekonomi biru diharapkan dapat mendukung pembangunan berkelanjutan. [3]
Referensi
- ^ Ilma Nijma, Ajeng Faizah. "Keseimbangan Perspektif Ekonomi dan Lingkungan". jurnal.uns.ac.id.
- ^ "Hadapi Era Ekonomi Biru, Pelestarian dan Peningkatan Kesejahteraan di Sektor Kelautan dan Perikanan Menjadi Prioritas". maritim.go.id. 25 Maret 2021. Diakses tanggal 2 Febuari 2022.
- ^ "Ekonomi Biru untuk Maritim Indonesia yang Berkelanjutan". kemenkeu.go.id. 09 Desember 2014. Diakses tanggal 2 Febuari 2022.