Ekonomi biru

Revisi sejak 4 Februari 2022 06.17 oleh Kayla Aghita (bicara | kontrib) (menambahkan isi)

Ekonomi Biru "Blue Economy" adalah konsep optimalisasi sumber daya air yang bertujuan untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui berbagai kegiatan yang inovatif dan kreatif dengan tetap menjamin keberlangsungan usaha dan kelestarian lingkungan.  Istilah ekonomi biru pertama kali diperkenalkan pada tahun 2010 oleh Gunter Pauli melalui bukunya yang berjudul “The Blue Economy: 10 years – 100 innovations – 100 million jobs”. Ekonomi biru menerapkan logika ekosistem, yaitu ekosistem ekosistem selalu bekerja menuju tingkat efisiensi yang lebih tinggi untuk mengalirkan nutrien dan energi tanpa limbah untuk memenuhi kebutuhan dasar semua kontributor dalam suatu sistem.  Selanjutnya, ekonomi biru berfokus pada inovasi dan kreativitas yang meliputi keragaman produk, efisiensi sistem produksi, dan penataan sistem manajemen sumber daya.[1]

Ekonomi biru mengutamakan dan menitikberatkan pada efisiensi.  Efisiensi mendorong investasi dan bisnis perikanan dengan tetap menjaga lingkungan tetap lestari. Inti utama dari blue economy ini adalah kegiatan yang pro ekosistem. Segala limbah keluaran dari kegiatan perikanan harus berada dalam kondisi yang tidak mencemari lingkungan tanah maupun perairan umum. Limbah, baik limbah kimia maupun limbah organik secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh pada habitat dan kehidupan ekosistem. Oleh sebab itu, maka perlu ada ilmu dan teknologi dalam keluaran limbah. Jika hal ini dapat terwujud maka blue economy yang terintegrasi dengan program industrialisasi perikanan akan semakin berhasil dan memajukan sektor perikanan.

Sejarah Ekonomi Biru

Sejak diratifikasinya United Nations Convention on the Law of the Sea melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa. Kebijakan pembangunan ekonomi kelautan sebagai Pembangunan Ekonomi Kelautan dengan Model Ekonomi Biru Demi Terwujudnya Indonesia sebagai Negara Kepulauan yang Mandiri, Maju, Kuat, dan Berbasis Kepentingan Nasional. Ekonomi biru selanjutnya berkembang dan selalu dikaitkan dengan pengembangan wilayah pesisir. Konsep ekonomi biru sama dengan konsep ekonomi hijau yaitu ramah lingkungan dengan berfokus kepada negara berkembang yang memiliki wilayah laut, yang biasa disebut dengan Small Island Development States (SIDS). Dalam hal ini ekonomi biru diarahkan untuk menanggulangi masalah kelaparan, mengurangi kemiskinan, menciptakan biota laut yang berkelanjutan, mengurangi risiko bencana di wilayah pesisir, serta mitigasi dan adaptasi dalam perubahan iklim. Penerapan ekonomi biru secara global dinilai krusial mengingat 72 persen dari total permukaan bumi adalah lautan. Selain itu, laut berfungsi sebagai sumber penyedia makanan dan mengatur iklim dan suhu bumi sehingga perlu terjaganya kelestarian. Untuk menerapkan Ekonomi Biru membutuhkan keterlibatan multi-sektor melalui arah dan platform yang jelas untuk Lautan yang Berkelanjutan. Dengan begitu, pemerintah terbuka untuk menjalin kerjasama dengan berbagai pemangku kepentingan, khususnya untuk lebih meningkatkan implementasi ekonomi kelautan Indonesia yang berkelanjutan.

Program Ekonomi Biru

Program lainnya yang akan mulai dirancangkan sebagai bagian dari terciptanya ekonomi biru untuk menjadikan laut sebagai sumber kesejahteraan, yaitu Program Infrastruktur Kawasan Terumbu Karang dan Mangrove LAUTRA (Laut Sejahtera). Program tersebut bertujuan untuk peningkatan pengelolaan terumbu karang dan ekosistem mangrove beserta kawasan konservasi, dengan adanya penyediaan sarana dan prasarana pengelolaan, serta memperbaiki kondisi sosial ekonomi untuk meningkatkan keberlangsungan sumber daya alam dan kesejahteraan masyarakat. [2]

Potensi Perairan Laut Indonesia

Berdasarkan Statistik Perikanan dan Akuakultur Tahun 2012 dari Food and Agriculture Organization (FAO), Indonesia menduduki peringkat kedua dalam produksi perikanan tangkap dan peringkat keempat dalam produksi perikanan budidaya. Dari total wilayah kedaulatan Indonesia Sekitar 75 persen merupakan wilayah perairan yang terdiri dari laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan laut 12 mil. Indonesia juga tercatat sebagai negara kedua terbanyak dalam hal jumlah kapal yang dimiliki setelah Tiongkok. Dari sisi penyerapan tenaga kerja, sektor perikanan mencatat tenaga kerja pada tahun 2012 menampung 2.748.908 dan menduduki peringkat keempat dunia. Pada tahun 2013 Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa sektor perikanan, hanya menyumbang sekitar 2 persen namun memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan laju pertumbuhan PDB secara keseluruhan, yaitu sebesar 6,86 persen. Laju pertumbuhan pada sektor perikanan ini lebih tinggi dibandingkan sektor pertambangan, industri manufaktur, konstruksi, dan jasa. Dengan ini memperlihatkan potensi yang akan dikembangkan di masa mendatang. Kekayaan bawah laut adalah salah satu modal Indonesia dalam menarik wisatawan, baik asing ataupun lokal. Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat terdapat 108 kawasan konservasi perairan dengan luas 15,78 juta ha, yang diinginkan akan meningkat menjadi 20 juta ha di tahun 2020. Keindahan bawah laut di beberapa provinsi di Indonesia juga sudah terkena; di seluruh dunia dan menjadi spot menyelam yang wajib dikunjungi para divers, seperti Bunaken (Sulawesi Utara), Raja Ampat (Papua Barat), dan Wakatobi (Sulawesi Tenggara).

Tantangan Ekonomi Biru

Fakta bahwa Indonesia memipunyai berbagai potensi bahari yang sangat besar dan melimpah namun tidak tercermin dalam kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir. Terdapat banyak nelayan yang hidup di bawah garis kemiskinan dengan kondisi lingkunganya yang mengkhawatirkan. Terbatasnya kapasitas untuk akses pekerjaan yang lebih baik merupakan alasan beberapa para nelayan yang tetap ingin bertahan. Ditambah lagi, bantuan pemerintah berupa kapal Inka Mina, misalnya, banyak masalah kendala dalam operasionalisasinya. Hasil tangkapan para nelayan tradisional juga sangat terbatas karena minimnya peralatan yang dipakai dibandingkan dengan perusahaan penangkap ikan yang mempunyai kapal dan peralatan lebih canggih yang membuat nelayan tradisional kalah dalam bersaing, beberapa nelayan kemudian memutuskan untuk berhenti mencari ikan dan menjadi buruh nelayan pada perusahaan ikan yang secara ekonomi tidak membuat mereka lebih baik. Dengan keterbatasan pengetahuan dan dengan ditambah tekanan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari menyebabkan aspek ekologi menjadi terabaikan. Penggunaan sarana dan prasarana penangkapan ikan, seperti bom, potas, dan pukat harimau, cenderung merusak keanekaragaman hayati dan biota laut.

Pendekatan ekonomi biru berfokus pada investasi kreatif dan inovatif yang akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan. Berbagai jenis usaha dan lapangan kerja baru sebenarnya bisa diterapkan di sekitar daerah pesisir. Bisnis daur ulang sampah, misalnya, dapat menjadi alternatif solusi membersihkan lingkungan sekitar pantai, menciptakan lapangan kerja baru, dan mengurangi sampah (zero waste). Untuk bisa mendukung pelaksanaan ekonomi biru yang berfokus pada kreativitas dan inovasi, pemerintah harus meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat pesisir sehingga dapat “bereksperimen” melalui limbah, by-product, dan produk ikan hasil laut. Dengan meningkatnya inovasi dan sosialisasi iptek pertanian dan kelautan diharapkan bisa meningkatkan efisiensi penangkapan dan budidaya hasil laut. Infrastruktur yang mendorong efisiensi kegiatan maritim, seperti pelabuhan, aspek pengolahan dan pemasaran hasil perikanan juga harus dapat diperhatian lebih. Dengan menjaga kualitas keanekaragaman hayati laut, ekonomi biru diharapkan bisa mendukung pembangunan berkelanjutan. [3]



Referensi

  1. ^ Ilma Nijma, Ajeng Faizah. "Keseimbangan Perspektif Ekonomi dan Lingkungan". jurnal.uns.ac.id. 
  2. ^ "Hadapi Era Ekonomi Biru, Pelestarian dan Peningkatan Kesejahteraan di Sektor Kelautan dan Perikanan Menjadi Prioritas". maritim.go.id. 25 Maret 2021. Diakses tanggal 2 Febuari 2022. 
  3. ^ "Ekonomi Biru untuk Maritim Indonesia yang Berkelanjutan". kemenkeu.go.id. 09 Desember 2014. Diakses tanggal 2 Febuari 2022.