Rastafari
Rastafari, Rastafarianisme, atau gerakan Rastafari adalah sebuah agama yang berkembang di Jamaika pada dasawarsa 1930-an. Para peneliti agama menggolongkan agama Rastafari sebagai gerakan agama baru dan gerakan sosial. Tidak ada pimpinan pusat semacam Paus atau Khalifah yang mengendalikan gerakan ini, dan terdapat keanekaragaman kepercayaan di antara para penganutnya (yang dikenal dengan sebutan Rastafari, Rastafarian, atau Rasta).
Kepercayaan kaum Rasta didasarkan pada suatu penafsiran terhadap Alkitab. Unsur utama dalam agama mereka adalah monoteisme, atau kepercayaan kepada satu Tuhan yang disebut Yah, yang diyakini ada di batin setiap orang. Kaum Rasta menganggap Haile Selassie (Kaisar Etiopia yang bertakhta dari 1930 hingga 1974) sebagai tokoh yang utama. Ada yang meyakini bahwa Haile Selassie adalah Yesus yang datang untuk kedua kalinya di muka Bumi dan sebagai penjelmaan Yah, sementara ada pula Rasta yang percaya bahwa ia adalah seorang nabi yang mengakui bahwa Yah ada di batin setiap orang. Rastafari adalah agama yang Afrosentris dan memusatkan perhatiannya pada diaspora Afrika. Penganut agama ini percaya bahwa kelompok diaspora ini ditindas di masyarakat Barat yang disebut "Babilonia". Banyak Rasta yang menginginkan agar diaspora Afrika pulang ke Benua Afrika yang mereka anggap sebagai Tanah Terjanji atau "Sion". Beberapa penganut Rastafari bahkan sampai mengemban ideologi supremasi kulit hitam. Kaum Rasta menyebut praktik keagamaan mereka dengan sebutan "livity". Pertemuan komunal umat Rasta dikenal dengan julukan "groundations" dan dimeriahkan dengan musik, puji-pujian, pembahasan, dan pengisapan ganja. Kegiatan megisap ganja dianggap sebagai sakramen yang berkhasiat. Kaum Rasta juga menegaskan pentingnya hidup "secara alami" dengan mengikuti pola makan ital, menggulung rambut mereka menjadi gimbal, dan menjalani peran gender patriarkal.
Gerakan Rastafari bermula dari masyarakat Afro-Jamaika yang miskin dan tertindas di Jamaika pada dasawarsa 1930-an. Ideologi Afrosentrisnya dianggap sebagai reaksi terhadap budaya penjajahan Britania Raya pada saat itu. Gerakan ini dipengaruhi oleh Etiopianisme dan gerakan kembali ke Afrika yang didukung oleh tokoh-tokoh nasionalisme kulit hitam seperti Marcus Garvey. Gerakan ini semakin berkembang setelah beberapa pendeta Kristen Protestan, terutama Leonard Howell, menyatakan bahwa pemahkotaan Haile Selassie sebagai Kaisar Etiopia pada 1930 memenuhi salah satu nubuat Alkitab. Pada dasawarsa 1950-an, pandangan kontrabudaya Rastafari telah membuat gerakan ini berselisih dengan kelompok masyarakat Jamaika lainnya dan bahkan bentrok dengan aparat keamanan. Pada dasawarsa 1960-an dan 1970-an, agama ini semakin dihormati di Jamaika dan juga semakin dikenal di luar negeri berkat melejitnya musisi-musisi reggae yang terinspirasi oleh Rasta, khususnya Bob Marley. Antusiasme terhadap agama Rastafari mulai sirna pada dasawarsa 1980-an setelah kematian Haile Selassie dan Bob Marley, tetapi pergerakan ini masih terus bertahan dan penganutnya dapat ditemui di berbagai belahan dunia.
Rastafarianisme merupakan gerakan yang terdesentralisasi. Terdapat beberapa aliran Rastafarianisme, yang juga disebut "Mansions of Rastafari", dan aliran yang paling penting adalah Nyahbinghi, Bobo Ashanti, dan Dua Belas Suku Israel. Masing-masing aliran memiliki penafsiran yang berbeda mengenai kepercayaan Rasta. Diperkirakan terdapat 700.000 hingga 1.000.000 penganut agama Rasta di seluruh dunia. Kebanyakan kaum Rasta tinggal di Jamaika, walaupun komunitas-komunitas kecil juga dapat ditemui di kota-kota besar dunia. Penganut Rasta berasal dari berbagai kelompok etnis, meskipun sebagian besar adalah orang kulit hitam dan beberapa aliran Rasta hanya menerima orang berkulit hitam.
Pengertian
Rastafari telah disebut sebagai sebuah agama,[1] memenuhi berbagai definisi agama,[2] dan juga diakui secara resmi sebagai sebuah agama di berbagai negara.[3] Banyak peneliti agama yang menggolongkan Rastafari sebagai gerakan agama baru,[4] sedangkan beberapa pakar lainnya menganggapnya sebagai sebuah sekte,[5] kultus,[6] dan gerakan revitalisasi.[7] Sebagai agama yang lahir di Jamaika, agama ini disebut sebagai agama Afro-Jamaika[8] atau Afro-Karibia.[9] Meskipun Rastafari menjadikan Afrika sebagai bagian dari jati diri mereka, agama ini sendiri merupakan hasil dari proses kreolisasi di Benua Amerika[10] dan dideskripsikan oleh pakar kajian Hispanik Margarite Fernández Olmos dan Lizabeth Paravisini-Gebert sebagai "sebuah agama Kreol, yang mengakar dari praktik dan kepercayaan Afrika, Eropa, dan India".[11] Cendekiawan Ennis B. Edmonds juga menggagas bahwa Rastafari adalah agama dunia yang "berkembang cepat" bukan karena jumlah pengikutnya, tetapi karena persebarannya secara global.[12] Walaupun begitu, banyak Rasta yang menolak cap "agama" dan malah menyebutnya sebagai "gaya hidup"[13] "falsafah",[14] atau "spiritualitas".[15]
Dengan menyoroti gagasan-gagasan politiknya (terutama dukungannya terhadap nasionalisme Afrika dan Pan-Afrikanisme), beberapa menganggap Rastafari sebagai sebuah gerakan politik,[16] gerakan "politik-agama",[17] atau gerakan protes.[18] Ada pula yang menganggapnya sebagai gerakan sosial,[19] gerakan sosial baru,[7] atau gerakan budaya.[20] Namun, banyak Rasta atau Rastafarian yang tidak menyukai cap "gerakan".[21] Pada 1989, Pengadilan Industrial Britania menyimpulkan bahwa (sehubungan dengan Undang-Undang Hubungan Ras 1976 Rastafarian dapat dianggap sebagai sebuah kelompok etnis karena mereka memiliki warisan budaya bersama yang memiliki sejarah panjang dan juga dapat dibedakan dari kelompok lain, dan juga karena mereka memiliki tradisi, bahasa, dan agama bersama.[22]
Agama Rastafari terus menerus berubah dan berkembang,[23] dan terdapat berbagai perbedaan doktrin di antara pengikutnya tergantung pada kelompok yang mereka ikuti.[24] Rastafari bukanlah agama yang satu,[25] dan tidak terdapat pimpinan pusat seperti Paus atau Khalifah yang diikuti oleh semua penganut Rasta.[26] Maka dari itu, sulit untuk menggeneralisasi gerakan Rastafari tanpa menghilangkan keanekaragaman yang ada.[27] Peneliti agama Darren J. N. Middleton menyatakan bahwa lebih tepat menulis "aneka ragam spiritualitas Rasta" alih-alih suatu fenomena tunggal.[28]
Istilah "Rastafari" berasal dari "Ras Tafari Makonnen" yang merupakan gelar yang dimiliki oleh Haile Selassie sebelum ia berkuasa. Ia adalah mantan Kaisar Etiopia yang berperan penting dalam kepercayaan Rasta. Istilah "Ras" berarti "adipati" atau "pangeran" dalam bahasa Semitik Etiopia, sementara "Tafari Makonnen" adalah nama yang diberikan kepada Selassie.[29] Tidak diketahui mengapa kaum Rasta memutuskan untuk memakai gelar ini sebagai nama agama mereka.[30] Selain menjadi nama agama, "Rastafari" juga mengacu kepada penganutnya.[31] Banyak komentator (termasuk beberapa sumber akademis)[32] dan beberapa penganut[33] yang menyebut gerakan ini dengan istilah "Rastafarianisme".[34] Namun, istilah "Rastafarianisme" tidak disukai oleh banyak kaum Rasta yang meyakini bahwa penggunaan akhiran "-isme" berarti doktrin agama atau organisasi kelembagaan, yang merupakan hal yang ingin mereka hindari.[35]
Kepercayaan
Rasta menyebut keseluruhan dari agama dan keyakinan mereka dengan istilah "Rastalogi". Edmonds menyatakan bahwa Rastafari memiliki "falsafah dunia yang cukup berpadu".[36] Namun, cendekiawan Ernest Cashmore merasa bahwa keyakinan Rasta lebih berubah-ubah dan terbuka untuk penafsiran baru.[37] Dalam pergerakan Rasta, belum ada rangkuman keyakinan Rasta yang mendapatkan status katekismus atau kredo.[38] Rasta percaya bahwa pengalaman pribadi dan pemahaman intuitif dapat diandalkan untuk menentukan kebenaran atau keabsahan suatu keyakinan atau praktik.[39] Oleh sebab itu, tidak ada satu orang Rasta pun yang memiliki wewenang untuk menyatakan keyakinan dan praktik mana yang "benar" dan mana yang "menyimpang".[38] Menurut pakar sosiologi agama Peter B. Clarke, keyakinan bahwa Rastafari tidak memiliki dogma "sangatlah kuat sampai-sampai hal ini telah menjadi semacam dogmanya tersendiri".[40]
Rastafari sangat dipengaruhi oleh agama Yahudi-Kristen[41] dan memiliki banyak kemiripan dengan agama Kristen.[42] Cendekiawan Michael Barnett berpendapat bahwa teologi Rastafari "pada dasarnya Yahudi-Kristen" dan menunjukkan "perpaduan Kekristenan dan Yudaisme yang Afrosentris".[43] Beberapa pengikut Rasta secara terbuka menyatakan diri mereka sebagai orang Kristen.[44] Rastafari menganggap Alkitab sebagai kitab suci mereka[45] dan menafsirkan ayat-ayatnya secara harfiah.[46] Menurut antropolog Stephen D. Glazier, cara kaum Rasta memahami Alkitab menghasilkan sebuah agama dengan sikap yang sangat mirip dengan Protestanisme.[47] Rasta meyakini bahwa Alkitab mencatat sejarah orang kulit hitam Afrika dan menjelaskan kedudukan mereka sebagai bangsa pilihan Tuhan.[40] Mereka percaya bahwa Alkitab merupakan kunci untuk memahami masa lalu dan masa kini serta untuk menubuatkan masa depan.[40] Pada saat yang sama, mereka juga menjadikan Alkitab sebagai landasan untuk merancang dan menjustifikasi keyakinan dan praktik keagamaan mereka.[48] Kaum Rasta pada umumnya menganggap kitab terakhir di Alkitab, yaitu Wahyu kepada Yohanes, sebagai bagian yang paling penting, karena mereka merasa isinya sangat relevan dengan keadaan dunia saat ini.[49]
Berbeda dengan konsensus para cendekiawan yang telah mengkaji Alkitab, kaum Rasta umumnya percaya bahwa kitab ini pada mulanya ditulis di sebuah prasasti dalam bahasa Amhar dari Etiopia.[50] Mereka juga percaya bahwa makna Alkitab yang sesungguhnya telah mengalami pemutarbalikan baik itu akibat kesalahan penerjemahan ke dalam bahasa lain ataupun karena diubah secara sengaja oleh mereka yang diyakini ingin membuat orang kulit hitam Afrika lupa dengan sejarah mereka.[51] Mereka juga menganggap Alkitab sebagai sebuah kitab kriptografis, yang berarti memiliki banyak makna tersirat.[52] Selain itu, mereka percaya bahwa ajaran Alkitab yang sesungguhnya dapat diketahui melalui intuisi dan meditasi dengan "buku batin" yang memungkinkan mereka berhubungan dengan Tuhan.[40] Karena mereka menganggap isi Alkitab sudah dirusak, Rasta juga menggunakan sumber-sumber lain yang diyakini menyingkap sejarah orang kulit hitam Afrika yang sesungguhnya.[53] Naskah-naskah yang paling sering digunakan untuk hal ini meliputi The Promised Key karya Leonard Howell dari tahun 1935, Holy Piby karya Robert Athlyi Rogers dari tahun 1924, serta Royal Parchment Scroll of Black Supremacy karya Fitz Balintine Pettersburg dari tahun 1920-an.[53] Banyak kaum Rasta yang juga menganggap naskah Etiopia dari abad ke-14, Kebra Nagast, sebagai sumber yang sahih untuk menafsirkan Alkitab.[54]
Yah dan Yesus dari Nazaret
rentek Rasta memiliki kepercayaan monoteis dan hanya menyembah satu Tuhan yang disebut Yah. Istilah "Yah" merupakan singkatan dari Yehuwa di Perjanjian Lama.[55] Rastafari yakin bahwa Yah adalah Tuhan yang imanen;[56] dalam kata lain, Rasta percaya bahwa Yah ada di batin setiap orang.[57] Keyakinan ini ditunjukkan oleh pepatah Rasta "Tuhan adalah manusia dan manusia adalah Tuhan",[58] dan kaum Rasta berkata bahwa mereka "mengenal" Yah alih-alih hanya "percaya".[59] Untuk mengurangi kesenjangan antara manusia dengan Tuhan, Rastafari menganut mistisisme.[7]
Yesus adalah tokoh penting dalam agama Rastafari.[60] Namun, penganut Rastafari menolak pandangan Kristen pada umumnya mengenai Yesus, terutama penggambarannya sebagai seorang kulit putih Eropa; mereka merasa bahwa ini merupakan sebuah pemutarbalikan fakta.[61] Rasta percaya bahwa Yesus adalah seorang kulit hitam Afrika, sementara Yesus kulit putih adalah berhala.[62] Banyak Rasta yang menganggap Kekristenan sebagai ciptaan orang kulit putih;[63] mereka mencurigai agama tersebut berdasarkan keyakinan bahwa penindas (orang kulit putih Eropa) dan yang tertindas (orang kulit hitam Afrika) tidak mungkin memiliki Tuhan yang sama.[64] Banyak kaum Rasta yang meyakini bahwa Tuhan yang disembah oleh sebagian besar orang kulit putih Kristen sebenarnya adalah Iblis,[65] dan Rasta sering kali mengklaim bahwa Paus adalah Setan atau Antikristus.[66] Oleh sebab itu, Rasta menganggap pengkhotbah agama Kristen sebagai penipu[65] dan merasa bahwa agama Kristen bertanggung jawab atas penindasan terhadap diaspora Afrika.[67] Mereka bahkan menganggap agama Kristen telah melakukan "perbudakan kejiwaan".[68]
Haile Selassie
Sedari awal, Rastafari sudah terkait dengan sosok Haile Selassie, Kaisar Etiopia dari 1930 hingga 1974.[69] Ia tetap menjadi sosok utama dalam ideologi Rasta.[70] Meskipun semua Rasta menghormatinya, masing-masing memiliki penafsirannya sendiri mengenai jati diri Haile Selassie.[71] Setiap Rasta memiliki keyakinan yang berbeda mengenai keterkaitan Haile Selassie dengan Yesus.[72] Banyak Rasta (walaupun tidak semua) percaya bahwa Haile Selassie adalah Yesus yang datang kedua kalinya di muka Bumi.[73] Keyakinan ini dilandaskan pada penafsiran terhadap Pasal 19 Kitab Wahyu.[60] Dengan mengimani Haile Selassie sebagai Yesus, kaum Rasta juga menganggapnya sebagai mesias atau juru selamat yang dinubuatkan oleh Perjanjian Lama,[74] penjelmaan Tuhan dalam bentuk manusia,[71] dan "Tuhan yang hidup".[75] Beberapa penganut Rasta menganggapnya sebagai bagian dari Tritunggal Kudus bersama dengan Tuhan Pencipta dan Roh Kudus (yang disebut "Nafas di dalam kuil").[76] Rasta yang mengimani Haile Selassie sebagai Yesus menyatakan bahwa keduanya sama-sama merupakan keturunan Raja Daud dalam Alkitab.[60] Kaum Rasta juga menyoroti fakta bahwa Dinasti Makonnen (yang merupakan dinasti Haile Selassie) mengklaim sebagai keturunan tokoh Alkitab seperti Salomo dan Ratu Syeba.[77]
Ada pula penganut Rasta lain yang percaya bahwa Selassie melambangkan ajaran Yesus tetapi menolak penafsiran bahwa ia adalah penjelmaan Yesus yang sesungguhnya.[78] Sebagai contoh, anggota aliran Dua Belas Suku Israel menolak keyakinan bahwa Selassie adalah Yesus yang datang untuk kedua kalinya, karena menurut mereka peristiwa kedatangan kedua Yesus masih belum terjadi.[58] Berdasarkan sudut pandang ini, Selassie dianggap sebagai nabi atau pembawa pesan Tuhan alih-alih penjelmaan Tuhan sendiri.[79] Kaum Rasta yang menganut pandangan ini kadang-kadang menganggap pendewaan Haile Selassie sebagai suatu tindakan yang naif atau bodoh,[80] dan terkadang mereka bahkan merasa bahwa pemujaan seorang manusia sebagai Tuhan adalah suatu tindakan yang berbahaya.[81] Terdapat juga berbagai penganut Rasta yang awalnya percaya Haile Selassie adalah penjelmaan Tuhan dan Yesus yang datang kedua kalinya di muka Bumi, dan kemudian mereka meyakini bahwa Haile Selassie adalah seseorang yang berbeda.[82]
Saat dimahkotai sebagai kaisar, Haile Selassie memperoleh gelar "Raja Diraja dan Tuan dari Segala Tuan, Singa Penakluk dari Suku Yehuda".[83] Kaum Rasta menggunakan gelar ini untuk menyebut Haile Selassie bersama dengan gelar-gelar lainnya, seperti "Tuhan Mahakuasa", "Hakim dan Pembalas", "Raja Alfa dan Ratu Omega", "Mesias yang Kembali", "Pilihan Tuhan", dan "Pilihan Dirinya Sendiri".[84] Rasta juga menganggap Haile Selassie sebagai simbol afirmasi positif Afrika selaku sumber warisan spiritual dan budaya.[85]
Ketika Haile Selassie masih bertakhta, banyak orang Rasta Jamaika yang mengimani bahwa Haile Selassie tidak akan pernah wafat.[86] Penumbangan Kaisar Haile Selassie pada tahun 1974 oleh militer Etiopia dan kematiannya pada tahun 1975 memicu krisis iman di kalangan Rasta.[87] Beberapa memutuskan untuk keluar dari agama Rastafari.[88] Ada pula yang tetap teguh dengan imannya dan mengembangkan penafsiran baru untuk menjawab kabar kematian Haile Selassie. Beberapa kaum Rasta percaya bahwa Haile Selassie tidak benar-benar wafat dan kabar mengenai kematiannya hanyalah penyesatan dari Barat.[89] Untuk memperkuat argumen ini, mereka menegaskan bahwa jenazah Haile Selassie tidak pernah ditunjukkan; kenyataannya, jenazahnya sudah dikubur di bawah istananya dan belum ditemukan hingga tahun 1992.[90] Sementara itu, menurut sudut pandang Rasta yang lain, tubuh Haile Selassie sudah tiada, tetapi batinnya masih ada sebagai suatu kekuatan spiritual.[91] Menurut penafsiran ketiga, kematian Haile Selassie bukanlah suatu hal yang besar karena ia hanyalah "perwujudan" Yah dan bukan Yah sendiri.[92]
Saat masih hidup, Haile Selassie menganggap dirinya sebagai seorang Kristen yang taat.[93] Dalam sebuah wawancara dari tahun 1967, ia ditanya mengenai kepercayaan Rasta bahwa ia adalah Yesus yang datang untuk kedua kalinya di muka Bumi. Haile Selassie menjawab, "Saya pernah mendengar gagasan ini. Saya juga pernah bertemu dengan beberapa Rastafari. Saya memberitahu mereka dengan jelas bahwa saya adalah seorang manusia, bahwa saya adalah makhluk hidup, dan saya akan digantikan oleh generasi yang akan datang, dan mereka sebaiknya tidak membuat kesalahan dengan menganggap atau berpura-pura bahwa seorang manusia berasal dari suatu ketuhanan."[94] Cucunya Ermias Sahle Selassie juga mengatakan bahwa "tidak diragukan lagi Haile Selassie tidak pernah mendukung gerakan Rastafari".[95] Pengkritik agama Rastafari telah menggunakan pernyataan ini sebagai bukti bahwa kepercayaan Rastafari itu sesat.[96] Namun, beberapa Rasta menganggap jawaban Selassie sebagai bukti bahwa ia sungguh adalah penjelmaan Tuhan sesuai dengan penafsiran mereka terhadap Injil Lukas.[a][97]
Afrosentrisme dan pandangan mengenai ras
Menurut Clarke, Rastafari "paling utamanya berkaitan dengan kesadaran kulit hitam, dengan penemuan kembali jati diri, baik itu secara pribadi ataupun rasial, dari orang kulit hitam".[98] Gerakan Rastafari lahir di kalangan Afro-Jamaika yang menolak budaya imperialisme Britania yang mendominasi Jamaika pada saat itu. Mereka ingin mengganti budaya imperialis tersebut dengan jati diri baru yang diperoleh dengan mengambil kembali warisan Afrika mereka.[85] Mereka juga ingin agar pengikut Rasta tidak lagi memiliki kepercayaan mengenai inferioritas orang kulit hitam dan keunggulan orang kulit putih.[99] Oleh sebab itu, Rastafari adalah kepercayaan Afrosentris[100] yang menyamakan kulit hitam dengan Benua Afrika.[64] Kepercayaan ini juga mendukung gagasan Pan-Afrikanisme.[101]
Penganut Rastafari mengidentifikasi diri mereka sebagai Bani Israel (bangsa pilihan Tuhan dalam Perjanjian Lama). Mereka bahkan percaya bahwa orang kulit hitam secara keseluruhan atau kaum Rasta secara khusus merupakan keturunan atau reinkarnasi Bani Israel.[102] Hal ini mirip dengan keyakinan Yudaisme,[103] walaupun banyak kaum Rasta yang percaya bahwa klaim orang Yahudi saat ini sebagai keturunan Bani Israel merupakan klaim sesat.[104] Rasta pada umumnya meyakini bahwa orang kulit hitam Afrika adalah bangsa pilihan Tuhan, yang berarti bahwa mereka pernah membuat perjanjian dengan Tuhan sehingga memiliki tanggung jawab khusus.[105] Rastafari juga berpandangan bahwa jati diri ini merupakan jati diri orang kulit hitam Afrika yang sesungguhnya, tetapi hal ini sudah terlupakan dan patut dihidupkan lagi.[106]
Tidak semua penganut Rasta memiliki pandangan yang sama mengenai ras manusia.[103] Pada mulanya banyak yang menganut pandangan supremasi kulit hitam; mereka yakin bahwa terdapat suatu ras kulit hitam Afrika yang berbeda dan lebih unggul dari ras lain. Walaupun beberapa masih ada yang percaya dengan hal ini, penganut Rasta yang bukan kulit hitam kini juga diterima dalam pergerakan Rasta. [107] Akan tetapi, latar belakang ini membuat agama Rastafari menuai kritikan perihal rasisme.[108] Cashmore mengamati bahwa Rastafarianisme memiliki "potensi tersirat" akan rasisme, tetapi ia juga menyoroti bahwa rasisme bukanlah hal yang "hakiki" dalam agama Rasta.[109] Beberapa penganut Rasta mengakui bahwa pergerakan Rasta memiliki masalah rasisme, terutama terhadap orang Eropa dan Asia.[103] Namun, beberapa sekte Rasta menolak gagasan bahwa orang kulit putih Eropa bisa menjadi penganut Rasta.[103] Sekte Rasta lainnya percaya bahwa jati diri "Afrika" bukan ditentukan oleh warna kulit, tetapi oleh "sikap" atau "semangat" Afrika.[110]
Babilonia dan Sion
Menurut ajaran Rastafari, diaspora kulit hitam Afrika adalah orang dalam pembuangan di "Babilonia", yang mengacu kepada masyarakat Barat.[111] Bagi penganut Rasta, penjajahan Eropa dan kapitalisme global merupakan penjelmaan Babilonia,[112] sementara polisi dan tentara adalah kaki tangannya.[113] Istilah "Babilonia" digunakan karena terkait dengan Alkitab. Dalam Perjanjian Lama, Babilonia adalah sebuah kota di Mesopotamia, dan Bani Israel pernah dibuang ke kota tersebut antara 597 hingga 586 SM.[114] Rasta membandingkan pembuangan Bani Israel ke Mesopotamia dengan pembuangan orang kulit hitam Afrika ke luar Afrika.[115] Dalam Perjanjian Baru, "Babilonia" merupakan eufemisme untuk menyebut Kekaisaran Romawi yang dianggap bertindak secara destruktif seperti halnya bangsa Babilonia kuno.[114] Penganut Rasta merasa bahwa pembuangan orang kulit hitam Afrika ke Babilonia adalah pengalaman yang penuh dengan penderitaan,[116] dan istilah "penderitaan" memiliki kedudukan penting dalam diskursus Rasta.[117]
Penganut Rasta meyakini bahwa Babilonia bertanggung jawab atas perdagangan budak Atlantik yang membuang orang-orang Afrika dari tanah air mereka dan mengakibatkan kemiskinan yang kini menghantui diaspora Afrika.[118] Kaum Rasta menggunakan Alkitab untuk menjelaskan perdagangan budak Atlantik.[119] Mereka yakin bahwa perbudakan, pembuangan, dan eksploitasi orang kulit hitam Afrika adalah hukuman atas tindak-tanduk mereka yang tidak sejalan dengan kedudukan mereka sebagai bangsa pilihan Yah.[120] Banyak penganut Rasta (dengan semangat Pan-Afrika) yang mencerca pembagian Afrika menjadi banyak negara, karena menurut mereka hal ini didalangi oleh Babilonia untuk mengisap sumber daya di Afrika.[121] Dengan ini, mereka juga menentang pengambilan sumber daya alam Afrika oleh kapitalis global.[122] Kaum Rasta ingin menghancurkan Babilonia, dan hal ini ditunjukkan oleh pepatah "Nyanyikan Kejatuhan Babilonia" (Chant down Babylon).[118] Kaum Rasta juga memiliki ekspektasi bahwa masyarakat yang didominasi oleh orang kulit putih akan meremehkan kepercayaan mereka sebagai ajaran sesat, dan jika hal ini terjadi, bagi mereka ini memastikan kebenaran iman mereka.[123]
Rasta menganggap "Sion" sebagai ideal yang patut dicapai.[118] Seperti halnya "Babilonia", istilah ini berasal dari Alkitab dan mengacu kepada Yerusalem.[118] Rasta menggunakan istilah "Sion" untuk menyebut Etiopia secara khusus atau Afrika secara umum, dan Afrika bahkan memiliki status yang hampir mitologis dalam diskursus Rasta.[124] Banyak kaum Rasta yang menjadikan "Etiopia" sebagai sinonim untuk "Afrika";[125] sebagai contoh, kaum Rasta di Ghana mengatakan bahwa mereka sudah tinggal di "Etiopia".[126] Ada pula kaum Rasta yang menggunakan "Sion" untuk menyebut Jamaika atau suatu keadaan batin.[115]
Dengan menggambarkan Afrika sebagai "Tanah Terjanji" mereka, kaum Rasta menunjukkan hasrat mereka untuk meninggalkan penguasaan dan keburukan yang mereka alami di Babilonia.[127] Selama tiga dasawarsa pertama Rastafarianisme, pergerakan ini menekankan pentingnya kembali ke Benua Afrika.[127] Untuk itu, banyak penganut Rasta yang melobi pemerintah Jamaika dan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengawal proses ini.[127] Kaum Rasta lain mempersiapkan "kepulangan" mereka sendiri ke Afrika.[127] Pengkritik gerakan Rasta berpendapat bahwa perpindahan semua diaspora Afrika ke Benua Afrika tidak mungkin dilaksanakan, terutama karena tidak akan ada negara Afrika yang mau menerima mereka.[96]
Pada dasawarsa keempat Rastafarianisme, keinginan untuk kembali ke Afrika sudah berkurang di kalangan Rasta,[128] dan salah satu faktor yang mendorong perubahan ini adalah peristiwa kelaparan di Etiopia tahun 1983-1985.[129] Di sisi lain, banyak penganut Rasta yang percaya bahwa "kembali ke Afrika" adalah gagasan metaforis yang mengacu kepada pembaharuan kebanggaan dan kepercayaan diri sebagai keturunan kulit hitam Afrika.[130] Istilah "pembebasan sebelum kepulangan" mulai digunakan oleh pengikut Rasta.[131] Beberapa pengikut Rasta juga ingin mengubah masyarakat Barat agar mereka dapat hidup nyaman alih-alih "pulang" ke Afrika.[132] Walaupun begitu, masih banyak Rasta yang menegaskan pentingnya kembali ke Benua Afrika secara fisik.[128]
Keselamatan dan surga
Rastafari adalah sebuah gerakan milenarian,[133] yang meyakini bahwa kiamat akan tiba.[134] Banyak penganut Rastafari yang percaya bahwa pada hari Pengadilan Terakhir, Babilonia akan ditumbangkan,[135] dan kaum Rasta adalah segelintir golongan yang akan selamat dari peristiwa ini.[136] Dengan dihancurkannya Babilonia, kaum Rasta mengimani bahwa umat manusia akan memasuki "zaman baru".[137] Zaman ini diyakini merupakan zaman perdamaian, keadilan, dan kebahagiaan, dan kaum yang bajik akan hidup di Afrika yang telah menjadi surga.[138] Pada dasawarsa 1980-an, banyak kaum Rasta yang percaya bahwa kiamat akan berlangsung pada kisaran tahun 2000.[139] Pada saat itu, cukup banyak penganut Rasta yang percaya bahwa negara-negara kulit putih akan menghancurkan satu sama lain dengan menggunakan senjata nuklir.[140] Orang kulit hitam Afrika kemudian akan menguasai dunia, dan penganut Rasta percaya bahwa hal ini sudah dinubuatkan oleh Kitab Daniel.[b][140]
Kaum Rasta tidak percaya bahwa ada akhirat setelah kematian.[141] Mereka mengimani kemungkinan adanya kehidupan abadi,[65] dan hanya mereka yang tidak bajik yang akan mati.[142] Pakar agama Leonard E. Barrett mengamati beberapa penganut Rasta di Jamaika yang meyakini bahwa penganut Rasta yang mati tidak setia kepada Yah.[143] Menurut Barrett, pandangan ini mungkin diakibatkan oleh banyaknya pemuda yang menjadi anggota Rasta pada saat itu, sehingga mereka hanya pernah melihat sedikit orang Rasta yang meninggal.[144] Menurut pandangan Rasta yang lain, mereka yang bajik akan mengalami reinkarnasi,[145] dan jati diri individu tersebut akan tetap melekat setiap kali reinkarnasi.[146] Sesuai dengan kepercayaan mereka mengenai kematian, kaum Rasta tidak merayakan kematian dan menghindari pemakaman.[147] Mereka juga menolak praktik penghormatan nenek moyang yang lumrah di kalangan penganut agama tradisional Afrika.[148]
Moral, etika, dan peran gender
Peran gender dan seksualitas
Penganut Rastafari mendukung pemulihan "kejantanan kulit hitam", dan mereka juga percaya bahwa laki-laki diaspora Afrika telah dilemahkan kejantanannya oleh Babilonia.[149] Mereka menyokong gagasan-gagasan patriarkal,[150] seperti keyakinan bahwa wanita harus tunduk kepada kepemimpinan lelaki.[151] Pengamat dari luar (seperti Cashmore dan Edmonds)[152] mengklaim bahwa Rastafari menganggap wanita lebih rendah daripada lelaki.[132] Wanita Rastafari biasanya menerima kedudukan ini dan meyakini bahwa mereka wajib mematuhi lelaki mereka;[153] akademisi Maureen Rowe berpendapat bahwa wanita mau bergabung dengan agama Rastafari meskipun berkedudukan lebih rendah karena mereka menghargai kehidupan berstruktur dan berdisiplin yang ditetapkan oleh agama tersebut.[154] Diskursus Rasta sering kali menggambarkan wanita sebagai sosok yang lemah secara moral dan rentan digoda kejahatan.[155] Rastafari juga mengklaim bahwa wanita itu "najis" saat sedang menstruasi.[156] Kaum Rasta melegitimasi peran gender lelaki dan wanita dengan menggunakan ayat-ayat Alkitab, terutama dari Kitab Imamat dan tulisan-tulisan Rasul Paulus.[157]
Wanita Rasta biasanya mengenakan pakaian yang menutupi rambut mereka dan menyembunyikan lekuk tubuh mereka.[158] Mereka biasanya menghindari celana panjang[159] dan lebih memilih rok panjang.[160] Wanita diharapkan untuk menutupi rambut mereka saat berdoa,[161] dan beberapa kelompok Rasta bahkan mewajibkan mereka untuk melakukannya setiap kali berada di muka umum.[162] Menurut diskursus Rasta, wanita diharapkan berpakaian sopan agar tidak menggoda lelaki dan juga untuk menghapuskan objektifikasi seksual wanita di Babilonia.[163] Sementara itu, lelaki Rasta bebas mengenakan apa saja.[164] Walaupun laki-laki dan perempuan dapat berkumpul bersama untuk melakukan ritual Rasta, dari dasawarsa 1940-an hingga 1950-an, komunitas Rasta semakin mendukung pemisahan gender saat upacara.[165] Alasannya adalah karena wanita dianggap "najis" saat sedang menstruasi dan keberadaan mereka diyakini akan mengalihkan perhatian para lelaki.[165]
Rastafari di Jamaika tidak mendukung monogami.[166] Lelaki Rasta diperbolehkan memiliki lebih dari satu pasangan,[167] sementara wanita diharapkan untuk melakukan aktivitas seksual dengan satu pasangan saja.[168] Perkawinan biasanya tidak disahkan secara hukum, tetapi dilakukan secara kumpul kebo,[169] walaupun banyak penganut Rasta yang telah kawin secara sah.[170] Lelaki Rasta menyebut pasangan mereka "ratu",[171] atau "maharani",[172] sementara lelaki yang terikat dalam hubungan disebut "raja".[173] Rastafari sangat mementingkan kehidupan keluarga,[174] dan mereka juga menganjurkan banyak anak.[175] Menurut agama Rasta, lelaki berperan penting dalam mengasuh anak karena hal ini terkait dengan upaya pemilihan kejantanan Afrika.[176] Wanita biasanya bekerja, dan ada pula yang tetap mencari nafkah sementara suami mereka mengurus anak di rumah.[177] Rastafari biasanya menolak feminisme,[178] walaupun sejak dasawarsa 1970-an, semakin banyak wanita Rasta yang menuntut kesetaraan gender.[179] Sebagai contoh, cendekiawan Terisa E. Turner bertemu dengan feminis Kenya yang menggunakan ajaran Rastafari demi agenda politik mereka.[180] Beberapa wanita Rasta telah menunjukkan perlawanan mereka terhadap norma gender dengan mengenakan celana panjang dan tidak menutupi rambut mereka.[172]
Bagi kaum Rasta, tujuan seks adalah untuk menghasilkan keturunan, sehingga seks oral dan anal biasanya dilarang.[181] Rastafari biasanya juga mengecam kontrasepsi dan gugur kandungan;[182] dalam diskursus Rasta, cukup banyak yang mengklaim bahwa kedua hal ini merupakan ciptaan Babilonia untuk mengurangi kelahiran orang kulit hitam Afrika.[183] Kaum Rasta biasanya membenci homoseksualitas dan menganggapnya sebagai suatu hal yang keji dan melanggar kodrat;[184] hal ini dapat ditilik kembali ke ayat-ayat Alkitab mengenai seks sesama jenis.[46] Penganut Rasta yang homoseksual mungkin sekali akan menyembunyikan orientasi seksual mereka akibat penolakan dari penganut Rasta lainnya.[185] Terkait dengan semakin lumrahnya pengendalian kehamilan dan homoseksualitas di Barat, penganut Rasta biasanya menganggap kedua hal ini sebagai bukti kemerosotan Babilonia menjelang kiamat.[186]
Praktik
Kaum Rasta menyebut praktik kebudayaan dan keagamaan mereka dengan sebutan "livity".[187] Penganut Rastafari tidak menganggap penting struktur hierarki.[188] Agama Rasta tidak memiliki imam,[36] dan kaum Rasta percaya bahwa tidak perlu ada imam yang menjadi penengah antara umat dengan Tuhan.[189] Walaupun begitu, terdapat "tetua" (elders), yaitu gelar kehormatan yang diberikan kepada mereka yang memiliki reputasi yang baik di mata komunitas Rasta.[190] Para tetua adalah tokoh yang terpandang, tetapi mereka tidak selalu memiliki jabatan atau tanggung jawab administratif.[190] Mereka dapat mengawasi jalannya ritual dan sering kali juga bertanggung jawab membantu menafsirkan peristiwa terkini berdasarkan ayat-ayat Alkitab.[191] Tetua biasanya berkomunikasi dengan satu sama lain untuk merencanakan berbagai acara dan menyusun strategi.[190]
Rastafari pada masa kini
Pada akhir abad ke-20, kaum perempuan telah memainkan peranan yang lebih penting di dalam gerakan Rastafari. Pada tahun-tahun awalnya, kaum perempuan yang sedang datang bulan harus takluk kepada suami mereka dan dikeluarkan dari upacara-upacara keagamaan dan sosial. Pada umumnya, kaum perempuan merasakan kebebasan yang lebih besar sekarang dalam mengungkapkan diri mereka. Dengan demikian mereka pun menyumbangkan peranan yang lebih besar pula kepada agama ini.
Rastafari bukanlah sebuah agama yang sangat terorganisir. Malah, sebagian kaum Rasta mengatakan bahwa itu sama sekali bukan "agama", melainkan suatu "jalan Kehidupan". Kebanyakan kaum Rasta tidak mengidentifikasikan dirinya dengan sekte atau denominasi apapun, meskipun ada tiga istana Rastafari yang terkemuka: Nyahbinghi, Bobo Ashanti dan Keduabelas Suku Israel. Dengan mengklaim Yah sebagai Yesus yang datang kedua kalinya, Rastafari adalah sebuah gerakan agama baru yang muncul dari agama Kristen, seperti halnya agama Krsiten muncul dari Yudaisme.
Pada 1996, gerakan Rastafari di seluruh dunia mendapatkan status konsultatif dari Perserikatan Bangsa-bangsa.
Lihat pula
Referensi
Sumber
- Barnett, Michael (2005). "The many faces of Rasta: Doctrinal Diversity within the Rastafari Movement". Caribbean Quarterly. 51 (2): 67–78.
- Barrett, Leonard E. (1997) [1988]. The Rastafarians. Boston: Beacon Press. ISBN 9780807010396.
- Cashmore, E. Ellis (1983). Rastaman: The Rastafarian Movement in England (edisi ke-second). London: Counterpoint. ISBN 0-04-301164-0.
- Cashmore, E. Ellis (1984). "The Decline of the Rastas?". Religion Today. 1 (1). hlm. 3–4. doi:10.1080/13537908408580533.
- Chevannes, Barry (1994). Rastafari: Roots and Ideology. Utopianism and Communitarianism Series. Syracuse, New York: Syracuse University Press. ISBN 978-0815602965.
- Clarke, Peter B. (1986). Black Paradise: The Rastafarian Movement. New Religious Movements Series. Wellingborough: The Aquarian Press. ISBN 0-85030-428-8.
- Edmonds, Ennis B. (2012). Rastafari: A Very Short Introduction. Oxford University Press. ISBN 978-0199584529.
- Salter, Richard C. (2005). "Sources and Chronology in Rastafari Origins: A Case of Dreads in Rastafari". Nova Religio: The Journal of Alternative and Emergent Religions. 9 (1). hlm. 5–31. JSTOR 10.1525/nr.2005.9.1.005.
- Sibanda, Fortune (2016). "One Love, or Chanting Down Same-Sex Relations? Queering Rastafari Perspectives on Homosexuality". Dalam Adriaan van Klinken and Ezra Chitando (eds.). Public Religion and the Politics of Homosexuality in Africa. Abingdon and New York: Routledge. hlm. 180–196. ISBN 978-1317073420.
- Soumahoro, Maboula (2007). "Christianity on Trial: The Nation of Islam and the Rastafari, 1930–1950". Dalam Theodore Louis Trost (ed.). The African Diaspora and the Study of Religion. New York: Palgrave Macmillan. hlm. 35–48. ISBN 978-1403977861.
Bacaan lebih lanjut
- M.G. Smith, Roy Augier and Rex Nettleford, "The Ras Tafari Movement in Kingston, Jamaica" (Institute of Social and Economic Research, University College of the West Indies, 1960) in Caribbean Quarterly vol. 13, no. 3, (Sept 1967), pp. 3–29; and vol. 13, no. 4 (Dec 1967), pp. 3–14; online
- Lincoln Thompson, Experience, 1979
- William F. Lewis, Soul Rebels: The Rastafari, 1993
- Stephen D. Glazier, "Rastafarianism", in Patrick L. Mason (ed.), Encyclopedia of Race and Racism, 2nd edition, New York: Macmillan Reference, 2013
- Tracy Nicholas, Rastafari: A Way of Life, Frontline Books, 1966, ISBN 0-948390-16-6
- Book of Memory: A Rastafari Testimony, composed by Prince Elijah Williams, edited by Michael Kuelker, ISBN 0-9746021-0-8
Pranala luar
Cari tahu mengenai Rastafari pada proyek-proyek Wikimedia lainnya: | |
Definisi dan terjemahan dari Wiktionary | |
Gambar dan media dari Commons | |
Kutipan dari Wikiquote | |
Entri basisdata #Q101462 di Wikidata |
- Rastafari di Curlie (dari DMOZ)
- Dreadlocks Story Diarsipkan 2016-06-18 di Wayback Machine. – Dokumenter yang menelusuri hubungan spiritual tersembunyi antara Rasta Jamaika dan Sadhu India.
- Rastafari Profil di Religious Movements Homepage (Universitas Virginia)
- A Sketch of Rastafari History by Norman Reddington
- Rastamentary Diarsipkan 2012-12-25 di Wayback Machine. – Sebuah dokumenter tentang budaya dan kepercayaan Rastafari
- House of Judah Nyabinghi Rastafarian Grounation – John H. Bradley di YouTube
- Rastafari: Alternative Religion and Resistance against "White" Christianity oleh Jérémie Kroubo Dagnini untuk Études caribéennes, n° 12, 2009
- Remembering Rasta Pioneers: An Interview with Barry Chevannes oleh Jérémie Kroubo Dagnini untuk Journal of Pan African Studies, vol. 3, n° 4, 2009
- Songs of Freedom Diarsipkan 2017-02-09 di Wayback Machine. Wawancara dengan Ras Mike terhadap akar otentik dari gerakan Rastafari dan pemenuhan tujuannya
- "The True Story of Rastafari" from The New York Review of Books (6 Januari 2017)
Templat:Agama di Jamaika Templat:Topik Agama Templat:Simple living
- ^ Gjerset 1994, hlm. 75, 76; Loadenthal 2013, hlm. 3.
- ^ Chawane 2014, hlm. 216.
- ^ Mhango 2008, hlm. 223, 225–226.
- ^ Clarke 1986, hlm. 11; Edmonds 2012, hlm. 92; Sibanda 2016, hlm. 182.
- ^ Barrett 1997, hlm. viii.
- ^ Kitzinger 1969, hlm. 240; Cashmore 1983, hlm. 6.
- ^ a b c Edmonds 2012, hlm. 92.
- ^ Fernández Olmos & Paravisini-Gebert 2011, hlm. 183.
- ^ Hansing 2001, hlm. 733; Hansing 2006, hlm. 62.
- ^ Soumahoro 2007, hlm. 43.
- ^ Fernández Olmos & Paravisini-Gebert 2011, hlm. 192.
- ^ Edmonds 2012, hlm. 71–72.
- ^ Cashmore 1983, hlm. 188; Bedasse 2010, hlm. 267; Edmonds 2012, hlm. 92; Glazier 2012, hlm. 614; Chawane 2014, hlm. 214.
- ^ Loadenthal 2013, hlm. 6.
- ^ Chawane 2014, hlm. 214.
- ^ Kebede & Knottnerus 1998, hlm. 502; Loadenthal 2013, hlm. 4; Chawane 2014, hlm. 218; Williams 2017, hlm. 477.
- ^ Kitzinger 1969, hlm. 240; Watson 1973, hlm. 189; Ifekwe 2008, hlm. 106; Fernández Olmos & Paravisini-Gebert 2011, hlm. 187.
- ^ Watson 1974, hlm. 329; Salter 2005, hlm. 8.
- ^ Watson 1973, hlm. 189; Campbell 1988, hlm. 78; Kebede & Knottnerus 1998, hlm. 501; King 2002, hlm. 136.
- ^ Chevannes 1990, hlm. 143.
- ^ Lake 1994, hlm. 253.
- ^ Banton 1989, hlm. 153; Cashmore 1989, hlm. 158–160.
- ^ King 2002, hlm. 13.
- ^ Barnett 2005, hlm. 75.
- ^ Simpson 1985, hlm. 291.
- ^ Barnett 2006, hlm. 881; Fernández Olmos & Paravisini-Gebert 2011, hlm. 194.
- ^ Clarke 1986, hlm. 49; Bedasse 2010, hlm. 961.
- ^ Middleton 2006, hlm. 158.
- ^ Barrett 1997, hlm. 82; Ifekwe 2008, hlm. 111; Edmonds 2012, hlm. 32; Chawane 2014, hlm. 217.
- ^ Barrett 1997, hlm. 82.
- ^ Chawane 2014, hlm. 218.
- ^ Forsythe 1980, hlm. 64; Simpson 1985, hlm. 291; Barrett 1997, hlm. 2, 103; King 1998, hlm. 51; Middleton 2006, hlm. 152; Fernández Olmos & Paravisini-Gebert 2011, hlm. 183; Glazier 2012, hlm. 614; Chawane 2014, hlm. 218.
- ^ Barrett 1997, hlm. 187.
- ^ Cashmore 1983, hlm. 8.
- ^ Cashmore 1983, hlm. 8; Chawane 2014, hlm. 218.
- ^ a b Edmonds 2012, hlm. 32.
- ^ Cashmore 1983, hlm. v.
- ^ a b Clarke 1986, hlm. 63.
- ^ Clarke 1986, hlm. 49–50, 63.
- ^ a b c d Clarke 1986, hlm. 64.
- ^ Warner-Lewis 1993, hlm. 108; Savishinsky 1994b, hlm. 31; Barrett 1997, hlm. 111; Sibanda 2016, hlm. 183.
- ^ Chawane 2014, hlm. 231.
- ^ Barnett 2006, hlm. 882.
- ^ Bedasse 2013, hlm. 302.
- ^ Rowe 1980, hlm. 14; Cashmore 1983, hlm. 74; Barrett 1997, hlm. 127; Sibanda 2016, hlm. 184; Chawane 2014, hlm. 232.
- ^ a b Sibanda 2016, hlm. 184.
- ^ Glazier 2012, hlm. 614.
- ^ Barrett 1997, hlm. 127; Mhango 2008, hlm. 222.
- ^ Cashmore 1983, hlm. 73.
- ^ Clarke 1986, hlm. 64; Barrett 1997, hlm. 127.
- ^ Cashmore 1983, hlm. 74; Clarke 1986, hlm. 64; Barrett 1997, hlm. 127; Kebede & Knottnerus 1998, hlm. 502; Fernández Olmos & Paravisini-Gebert 2011, hlm. 195.
- ^ Cashmore 1983, hlm. 74.
- ^ a b Soumahoro 2007, hlm. 44.
- ^ Fernández Olmos & Paravisini-Gebert 2011, hlm. 193.
- ^ Cashmore 1983, hlm. 24; Rubenstein & Suarez 1994, hlm. 2; Barrett 1997, hlm. 83.
- ^ Chevannes 1990, hlm. 135.
- ^ Cashmore 1983, hlm. 6; Clarke 1986, hlm. 12; Barnett 2006, hlm. 876; Fernández Olmos & Paravisini-Gebert 2011, hlm. 196.
- ^ a b Edmonds 2012, hlm. 36.
- ^ Clarke 1986, hlm. 65.
- ^ a b c Clarke 1986, hlm. 67.
- ^ Clarke 1986, hlm. 67; Barrett 1997, hlm. 106.
- ^ Clarke 1986, hlm. 67; Warner-Lewis 1993, hlm. 110.
- ^ Chawane 2014, hlm. 232.
- ^ a b Soumahoro 2007, hlm. 39.
- ^ a b c Barrett 1997, hlm. 108.
- ^ Pereira 1998, hlm. 35; Benard 2007, hlm. 93.
- ^ Watson 1973, hlm. 191; Soumahoro 2007, hlm. 46.
- ^ Cashmore 1981, hlm. 175.
- ^ Bedasse 2010, hlm. 960; Edmonds 2012, hlm. 32.
- ^ Barnett 2005, hlm. 77; Benard 2007, hlm. 94.
- ^ a b Edmonds 2012, hlm. 34.
- ^ Bedasse 2010, hlm. 961.
- ^ Clarke 1986, hlm. 67; Bedasse 2010, hlm. 961, 964.
- ^ Clarke 1986, hlm. 15–16, 66; Barnett 2006, hlm. 876; Bedasse 2010, hlm. 966; Edmonds 2012, hlm. 32–33.
- ^ Watson 1973, hlm. 191; Clarke 1986, hlm. 65; Kebede & Knottnerus 1998, hlm. 510, 511; Mhango 2008, hlm. 222; Bedasse 2010, hlm. 264.
- ^ Kitzinger 1966, hlm. 36; Kitzinger 1969, hlm. 246.
- ^ Soumahoro 2007, hlm. 44; Bedasse 2010, hlm. 960.
- ^ Bedasse 2010, hlm. 964.
- ^ Middleton 2006, hlm. 159; Edmonds 2012, hlm. 34.
- ^ Middleton 2006, hlm. 59.
- ^ Salter 2005, hlm. 16.
- ^ Bedasse 2010, hlm. 968.
- ^ Cashmore 1983, hlm. 22.
- ^ Clarke 1986, hlm. 66.
- ^ a b Edmonds 2012, hlm. 1.
- ^ Kitzinger 1966, hlm. 36.
- ^ Cashmore 1983, hlm. 59; Edmonds 2012, hlm. 36–37.
- ^ Cashmore 1983, hlm. 63.
- ^ Cashmore 1983, hlm. 60; Edmonds 2012, hlm. 37; Middleton 2006, hlm. 158.
- ^ Edmonds 2012, hlm. 37.
- ^ Cashmore 1983, hlm. 60; Barrett 1997, hlm. 253; Edmonds 2012, hlm. 37.
- ^ Cashmore 1983, hlm. 60.
- ^ Kebede & Knottnerus 1998, hlm. 511; Edmonds 2012, hlm. 25.
- ^ MacLeod 2014, hlm. 70.
- ^ MacLeod 2014, hlm. 71.
- ^ a b Cashmore 1983, hlm. 127.
- ^ Barrett 1997, hlm. 108; Kebede & Knottnerus 1998, hlm. 511.
- ^ Clarke 1986, hlm. 17.
- ^ Barnett 2006, hlm. 864.
- ^ Barnett 2006, hlm. 882; Wittmann 2011, hlm. 152.
- ^ Campbell 1988, hlm. 78; Soumahoro 2007, hlm. 39; Bedasse 2013, hlm. 311.
- ^ Simpson 1955, hlm. 168; Cashmore 1983, hlm. 129; Clarke 1986, hlm. 17; Barrett 1997, hlm. 111; Edmonds 2012, hlm. 38.
- ^ a b c d Clarke 1986, hlm. 81.
- ^ Kitzinger 1969, hlm. 240.
- ^ Clarke 1986, hlm. 81; Barnett 2006, hlm. 885.
- ^ Clarke 1986, hlm. 13.
- ^ Simpson 1955, hlm. 169; Watson 1973, hlm. 191; Barrett 1997, hlm. 113; Kebede & Knottnerus 1998, hlm. 504.
- ^ Cashmore 1983, hlm. 149; Clarke 1986, hlm. 81.
- ^ Cashmore 1983, hlm. 150.
- ^ Clarke 1986, hlm. 82.
- ^ Eyre 1985, hlm. 145; Pereira 1998, hlm. 31; Edmonds 2012, hlm. 40.
- ^ Edmonds 2012, hlm. 38–40.
- ^ Cashmore 1983, hlm. 175–176; Edmonds 2012, hlm. 40.
- ^ a b Edmonds 2012, hlm. 38.
- ^ a b Barnett 2005, hlm. 77.
- ^ Clarke 1986, hlm. 69.
- ^ Cashmore 1983, hlm. 71.
- ^ a b c d Edmonds 2012, hlm. 40.
- ^ Clarke 1986, hlm. 19.
- ^ Clarke 1986, hlm. 69; Barrett 1997, hlm. 111.
- ^ White 2010, hlm. 317.
- ^ White 2010, hlm. 314.
- ^ Clarke 1986, hlm. 77.
- ^ Barnett 2005, hlm. 77; Edmonds 2012, hlm. 41.
- ^ Kitzinger 1969, hlm. 240; Middleton 2006, hlm. 163.
- ^ Middleton 2006, hlm. 163.
- ^ a b c d Edmonds 2012, hlm. 41.
- ^ a b Edmonds 2012, hlm. 42.
- ^ Clarke 1986, hlm. 99.
- ^ Clarke 1986, hlm. 100; Edmonds 2012, hlm. 42; Bedasse 2013, hlm. 294.
- ^ Cashmore 1983, hlm. 33; Barrett 1997, hlm. 172; Kebede & Knottnerus 1998, hlm. 511; Edmonds 2012, hlm. 42.
- ^ a b Clarke 1986, hlm. 85.
- ^ Cashmore 1983, hlm. 7–8; Simpson 1985, hlm. 286; Eyre 1985, hlm. 147; Barrett 1997, hlm. 248–249; Barnett 2006, hlm. 875; Semaj 2013, hlm. 103.
- ^ Clarke 1986, hlm. 11; Barnett 2006, hlm. 875.
- ^ Clarke 1986, hlm. 70.
- ^ Cashmore 1983, hlm. 134.
- ^ Cashmore 1983, hlm. 129.
- ^ Clarke 1986, hlm. 11, 70.
- ^ Clarke 1986, hlm. 11, 69.
- ^ a b Barrett 1997, hlm. 119.
- ^ Clarke 1986, hlm. 74.
- ^ Clarke 1986, hlm. 75; Barrett 1997, hlm. 112.
- ^ Barrett 1997, hlm. 112.
- ^ Barrett 1997, hlm. 113.
- ^ Clarke 1986, hlm. 74; Fernández Olmos & Paravisini-Gebert 2011, hlm. 186.
- ^ Clarke 1986, hlm. 76.
- ^ Kitzinger 1969, hlm. 247; Clarke 1986, hlm. 75; Chevannes 1990, hlm. 141; Barnett 2005, hlm. 72.
- ^ Clarke 1986, hlm. 73.
- ^ Cashmore 1981, hlm. 178; Edmonds 2012, hlm. 96.
- ^ Rowe 1980, hlm. 13; Clarke 1986, hlm. 87; Chevannes 1990, hlm. 142; Barrett 1997, hlm. 241; Barnett 2006, hlm. 879; Fernández Olmos & Paravisini-Gebert 2011, hlm. 199; Edmonds 2012, hlm. 95.
- ^ Fernández Olmos & Paravisini-Gebert 2011, hlm. 200; Edmonds 2012, hlm. 96.
- ^ Cashmore 1981, hlm. 178; Kebede & Knottnerus 1998, hlm. 504; Edmonds 2012, hlm. 95.
- ^ Cashmore 1981, hlm. 178.
- ^ Rowe 1980, hlm. 16.
- ^ Edmonds 2012, hlm. 97.
- ^ Rowe 1980, hlm. 15; Lake 1994, hlm. 244; Sabelli 2011, hlm. 141; Edmonds 2012, hlm. 98.
- ^ Lake 1994, hlm. 241–242; Edmonds 2012, hlm. 95, 97.
- ^ Clarke 1986, hlm. 88; Fernández Olmos & Paravisini-Gebert 2011, hlm. 200; Edmonds 2012, hlm. 98.
- ^ Lake 1994, hlm. 247; Barnett 2006, hlm. 889; Edmonds 2012, hlm. 98.
- ^ Fernández Olmos & Paravisini-Gebert 2011, hlm. 200; Edmonds 2012, hlm. 98.
- ^ Rowe 1980, hlm. 15.
- ^ Barnett 2006, hlm. 889.
- ^ Edmonds 2012, hlm. 98, 99.
- ^ Barnett 2002, hlm. 55; Edmonds 2012, hlm. 98.
- ^ a b Edmonds 2012, hlm. 95.
- ^ Kitzinger 1966, hlm. 38.
- ^ Lake 1994, hlm. 252; Edmonds 2012, hlm. 99.
- ^ Edmonds 2012, hlm. 99.
- ^ Kitzinger 1966, hlm. 38; Kitzinger 1969, hlm. 253; Clarke 1986, hlm. 88; Semaj 2013, hlm. 106.
- ^ Cashmore 1983, hlm. 78–79.
- ^ Kitzinger 1969, hlm. 253; Cashmore 1983, hlm. 79; Clarke 1986, hlm. 87; Edmonds 2012, hlm. 109.
- ^ a b Edmonds 2012, hlm. 109.
- ^ Lake 1994, hlm. 245; Edmonds 2012, hlm. 99.
- ^ Clarke 1986, hlm. 87–88.
- ^ Kitzinger 1966, hlm. 37.
- ^ Kebede & Knottnerus 1998, hlm. 504; Edmonds 2012, hlm. 103–104.
- ^ Clarke 1986, hlm. 88.
- ^ Cashmore 1981, hlm. 178–179; Clarke 1986, hlm. 87.
- ^ Clarke 1986, hlm. 87; Edmonds 2012, hlm. 107.
- ^ Turner 1991, hlm. 86.
- ^ Sabelli 2011, hlm. 141.
- ^ Kitzinger 1969, hlm. 253; Cashmore 1983, hlm. 79; Clarke 1986, hlm. 88; Barrett 1997, hlm. 209; Edmonds 2012, hlm. 99.
- ^ Kitzinger 1966, hlm. 37; Clarke 1986, hlm. 88; Edmonds 2012, hlm. 100; Sibanda 2016, hlm. 192.
- ^ Kitzinger 1966, hlm. 35; Kitzinger 1969, hlm. 254–255; Cashmore 1983, hlm. 79; Barnett 2006, hlm. 879; Sibanda 2016, hlm. 180, 181, 191.
- ^ Sibanda 2016, hlm. 192.
- ^ Cashmore 1981, hlm. 178–179.
- ^ Gjerset 1994, hlm. 71; Kebede & Knottnerus 1998, hlm. 503; Edmonds 2012, hlm. 32.
- ^ Barnett 2002, hlm. 54.
- ^ Barnett 2002, hlm. 54; Edmonds 2012, hlm. 53.
- ^ a b c Edmonds 2012, hlm. 57.
- ^ Kitzinger 1969, hlm. 262.
Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref>
untuk kelompok bernama "lower-alpha", tapi tidak ditemukan tag <references group="lower-alpha"/>
yang berkaitan