Kesultanan Gowa

kerajaan di Asia Tenggara
Revisi sejak 28 Januari 2023 11.20 oleh Oppezer (bicara | kontrib)

Gowa (juga dieja Goa) atau Bate Salapang (bahasa Makassar: ᨅᨈᨙᨔᨒᨄ Baté Salapang “Sembilan Panji”) adalah sebuah kerajaan dan kesultanan yang berpusat di daerah Sulawesi Selatan, tepatnya di jazirah selatan dan pesisir barat semenanjung yang mayoritasnya didiami oleh suku Makassar. Wilayah inti bekas kerajaan ini sekarang berada di bawah Kabupaten Gowa, Kotamadya Makassar dan Kabupaten Takalar saat ini.

Kesultanan Gowa

1320–1905
1936–1957
Bendera Kesultanan Gowa
Bendera
Wilayah kekuasaan Federasi Kesultanan Gowa-Tallo pada abad ke-17
Wilayah kekuasaan Federasi Kesultanan Gowa-Tallo pada abad ke-17
Ibu kotaTamalate
(1320–1548)
Somba Opu
(1548–1670)
Kalegowa
(1670–1680)
Ujung Tanah
(1680–1684)
Mangallekana
(1684–1692)
Kalegowa
(1692–1702)
Balla Kiria
(1702–1720)
Katangka
(1720–1722)
Pabineang
(1722–1727)
Mallengkeri
(1727–1753)
Kalegowa
(1753–1895)
Jongaya
(1895–1906)
Sungguminasa
(1936–Sekarang)
Bahasa yang umum digunakanMakassar.
Agama
1320-1607: Tolotang 1607 : Islam
PemerintahanMonarki
Sultan 
Sejarah 
• Didirikan
1320
• Sultan Alauddin dan karaeng matoaya masuk islam
1605
• Sultan Hasanuddin naik takhta
1653
• Perjanjian Bungaya antara Gowa dan VOC
1667
• Kesultanan Gowa ditaklukkan sepenuhnya oleh Belanda
1905
• Kesultanan Gowa kembali dihidupkan dan dinaikkan statusnya menjadi setingkat swapraja
1936[1]
• Wilayahnya dijadikan Kabupaten Gowa
1957
Didahului oleh
Digantikan oleh
Gowa dan Tallo
Hindia Belanda
Republik Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini
Istana Tamalate yang berada di Sungguminasa, Gowa, Sulawesi Selatan

Berawal dari chiefdom atau banua yang didirikan pada awal abad ke-14, Kerajaan Gowa mencapai puncak kejayaannya bersama Kerajaan Tallo sekitar tahun 1511 hingga 1669, ketika kerajaan ini memegang hegemoni militer dan perdagangan atas wilayah timur Nusantara, termasuk di antaranya sebagian besar Sulawesi, beberapa bagian dari Maluku dan Nusa Tenggara, serta pesisir timur Kalimantan. Dalam prosesnya menjadi kekaisaran maritim, Kerajaan Gowa mengembangkan berbagai inovasi dalam bidang pemerintahan, ekonomi dan militer. Perubahan sosial budaya yang drastis juga terjadi seiring mengeratnya hubungan antara Kerajaan Gowa dan dunia luar, terutama setelah Kerajaan Gowa mengadopsi Islam sebagai agama resmi pada awal 1607.

Kekalahan Kerajaan Gowa dalam Perang Makassar yang terjadi pada tahun1669 mengakibatkan lepasnya wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa di luar Sulawesi Selatan, sementara sebagian kecil wilayahnya diberikan kepada VOC. Meski begitu, Kerajaan Gowa tetap bertahan sebagai negeri merdeka hingga awal abad ke-20, ketika pemerintah kolonial Belanda mengalahkan Gowa dalam Ekspedisi Sulawesi Selatan dan menjadikannya daerah jajahan.

Warisan Kesultanan Gowa

Kapal Palari, Pelabuhan Paotere, kota Makassar, Sulawesi selatan, Kapal Phinisi,Aksara Lontara, Benteng Somba Opu, Benteng Ujung Pandang (Rotterdam), Tari Pakarena, Sinrilik, Tunrung Pakanjara'

Sejarah

Sejarah awal

 
Catatan sejarah Gowa yang ditulis dalam bahasa dan aksara Makassar

Naskah Lontara Patturioloang Gowa menyebutkan bahwa keturunan penguasa Kerajaan/Kesultanan Gowa berawal dari perkawinan Tumanurung yang secara harafiah dapat diartikan orang tidak diketahui asal muasalnya secara pasti dengan seorang bangsawan yang hanya dikenali dengan Karaeng Bayo",[2][3] sebagai perkawinan antara wanita bangsawan setempat dan penguasa.[4][5] Bangsawan-bangsawan Bate Salapanga di Gowa pun bersepakat membentuk negeri dan mengangkat mereka berdua suami-istri sebagai penguasa.[6] Bukti genealogis dan arkeologis mengisyaratkan bahwa pembentukan negeri Gowa terjadi pada sekitar tahun 1320 Masehi.[7][8] Para ahli mengaitkan kemunculan Kerajaan Gowa dan negeri-negeri di Sulawesi Selatan lainnya dengan intensifikasi pertanian dan pemusatan pemerintahan besar-besaran pada abad ke-14, yang dipicu oleh naiknya permintaan luar bagi beras Sulawesi Selatan.[9][10][11] Kepadatan penduduk turut meningkat seiring dengan pergantian dari budaya meladang kepada budi daya padi lahan basah secara intensif. Hutan-hutan di pedalaman semenanjung pun dibuka untuk memberi tempat bagi pemukiman-pemukiman agraris baru,[12] termasuk Gowa yang awalnya juga merupakan chiefdom pedalaman yang berbasiskan budi daya padi.[8]

Dalam perang tahta antara dua putra "Sombaya ri Gowa" atau Raja di Kerajaan Gowa yang ke-enam pada akhir abad ke-15, Batara Gowa Tuniawanga ri Parallakkenna mengalahkan saudaranya Karaeng Loe ri Sero'. Karaeng Loe ri Sero' kemudian menuju ke muara Sungai Tallo dan mendirikan negeri baru yang dikemudian hari dinamakan Tallo,[13][14] yang kemudian berkembang menjadi negara maritim berbasis niaga.[15][16] Hingga abad ke-16, bagian barat Sulawesi Selatan terdiri dari negeri-negeri sama kuat yang saling bersekutu dan bersaing satu sama lain, tanpa ada satu pun yang mampu menguasai keseluruhannya.[17] Putra Batara Gowa, Karaeng Tumapaʼrisiʼ Kallonna (berkuasa sekitar 1511–1546), memecahkan keadaan status quo ini dengan menaklukkan pesisir Garassi' serta menyerang setidaknya tiga belas negeri bersuku Makassar lainnya.[18][19][20] Pada akhir 1530-an atau awal 1540-an, Kerajaan Gowa memenangkan perang melawan Kerajaan Tallo dan sekutu-sekutunya.[21][22] Kerajaan Gowa pun menjadi negeri paling dominan di tanah suku Makassar dan diakui sebagai saudara tua oleh Kerajaan Tallo.[23][24] Sombaya Tumapaʼrisiʼ Kallonna mengembangkan birokrasi kerajaan dengan menunjuk Daeng Pamatteʼ sebagai sabannaraʼ (syahbandar) pertama.[25] Penyusunan catatan sejarah serta hukum tertulis kerajaan juga dimulai pada masa pemerintahannya.[26][18] Ia juga kemungkinan merupakan penguasa Kerajaan Gowa yang pertama kali membangun benteng Somba Opu.[27][28]

Penguasa Kerajaan Gowa berikutnya, Karaeng Tunipalangga (memerintah sekitar 1546–1565) memperluas pengaruh Kerajaan Gowa melalui serangkaian agresi militer. Ia juga melakukan inovasi dalam bidang teknologi persenjataan dan pertahanan.[29][30][28] Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Gowa mengalahkan seluruh pesaingnya di pesisir barat dan memperluas pengaruhnya hingga ke wilayah Sulawesi Tengah.[31][32] Sombaya Tunipalangga juga menerima orang-orang Melayu dan Nusantara Barat lainnya untuk bermukim dan sekaligus berniaga di negerinya.[33] Ia bahkan mengadakan perjanjian dengan salah satu pemimpin mereka dan memperbolehkan mereka untuk tinggal secara permanen di dalam wilayah Kerajaan Gowa tanpa harus mengikuti hukum adat setempat.[34][35][36] Para pedagang ini kemungkinan juga turut terlibat dalam reformasi ekonomi yang berkontribusi pada kemajuan pesat Kerajaan Gowa sebagai bandar persinggahan utama di Nusantara bagian timur kala itu.[37] Sombaya Tunipalangga juga mengembangkan birokrasi Keraiaan Gowa lebih lanjut dengan menciptakan jabatan Tumilalang atau Tumailalang yang artinya "orang di dalam" (menteri dalam negeri???[38]) untuk mengambil alih tugas-tugas nondagang sabannaraʼ,[39][40] serta mengangkat Tumakkajannangngang atau kepala pengrajin yang bertugas mengawasi pekerjaan ??? (Dari versi lain, jabatan "Tumakkajannangngang" atau lengkapnya "Anrongguru Lompona Tukkajannangnganga" adalah jabatan Panglima Angkatan perang Kerajaan/Kesultanan Gowa yang di masa pemerintahan Raja (Sultan) atau Sombaya ri Gowa ke 15, jabatan tersebut diduduki oleh putra Beliau yaitu I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin Tumenanga ri Balla'pangkana yang dijuluki oleh admiral VOC Cornelius Spellman dengan julukan De Haantjes van Het Osten atau Ayam Jantan dari Timur, dalam bahasa Makassarnya; Jangang Pallakina Butta Irayayya, dan juga pada masa akhir Kesultanan Gowa para masa pemerintahan Sombaya ri Gowa XXXVI Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aiduddin Tumenanga ri Jongaya yang dijabat oleh salah satu kerabatnya yang bernama Andi Laoddanriu Karaeng Bontonompo) serikat-serikat pengrajin di Makassar.[41][42]

Perluasan pengaruh Kerajaan Gowa di pesisir barat memicu respons agresif dari Kerajaan Bone di sebelah timur. Perang meletus pada awal 1560-an, dan baru berakhir pada 1565 dengan kekalahan Gowa. Karaeng Tunibatta, saudara dan penerus Sombaya Tunipalangga, mati dipenggal (Nibatta) oleh musuh.[43][44][45] Selepas kematian Tunibatta, penguasa Kerajaan Tallo I Mappatakangkang Tana Daeng Padulung Tumenanga ri Makkoayang naik sebagai Tuma'bicara butta atau juru bicara negeri (perdana menteri???) pertama Gowa??? dan mengangkat Karaeng Tunijalloʼ, putra Karaeng Tunibatta, sebagai penguasa Gowa.[46][47] Sejak saat itu, penguasa Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo berbagi posisi dalam memimpin keseluruhan negeri Gowa dan negeri Tallo secara bersama-sama.[48][49] Karaeng Tunijalloʼ mengakhiri peperangan dengan menandatangani Perjanjian Caleppa atau "Ulu Kanaya ri Caleppa" antara Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone,[44][45] yang mempertahankan kedamaian di semenanjung selama kurang lebih enam belas tahun berikutnya.[50] Selama itu pula, Sombaya Tunijalloʼ dan Karaeng Tumenanga ri Makkoayang melanjutkan kebijakan-kebijakan pro-perniagaan penguasa sebelumnya dan mengikat persahabatan dengan negeri-negeri lain di Nusantara.[51][52][53]

Masa kesultanan

 
Gambar Sultan Hasanuddin dalam perangko yang diterbitkan tahun 2006.

Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, VOC berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil di Sulawesi, tetapi belum berhasil menundukkan Kesultanan Gowa. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik tahta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan VOC (Kompeni).

Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667 bersedia mengadakan Perjanjian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu Sultan Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan tentara ke Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Sultan Hasanuddin memberikan perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan pasukan VOC, hingga akhirnya Kompeni berhasil menerobos benteng terkuat milik Kesultanan Gowa yaitu Benteng Somba Opu pada tanggal 12 Juni 1669. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari tahta kerajaan dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670.

Kesultanan Gowa telah mengalami pasang surut dalam perkembangan sejak Raja Gowa ke-1, Tumanurung, hingga mencapai puncak keemasannya pada abad ke-17, hingga kemudian mengalami masa penjajahan di bawah kekuasaan Belanda. Dalam pada itu, sistem pemerintahan mengalami transisi pada masa Raja Gowa ke-36, Andi Idjo Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin, menyatakan Kesultanan Gowa bergabung menjadi bagian Republik Indonesia yang merdeka dan bersatu, dan berubah bentuk dari kerajaan menjadi Daerah Tingkat II Kabupaten Gowa. Sehingga dengan perubahan tersebut, Andi Idjo pun tercatat dalam sejarah sebagai Raja Gowa terakhir dan sekaligus Bupati Kabupaten Gowa pertama.

Budaya dan masyarakat

 
Deretan kapal Pinisi di Pelabuhan Paotere.

Sebagai negara maritim, maka sebagian besar masyarakat Gowa adalah nelayan dan pedagang. Mereka giat berusaha untuk meningkatkan taraf kehidupannya, bahkan tidak jarang dari mereka yang merantau untuk menambah kemakmuran hidupnya. Walaupun masyarakat Gowa memiliki kebebasan untuk berusaha dalam mencapai kesejahteraan hidupnya, tetapi dalam kehidupannya mereka sangat terikat dengan norma adat yang mereka anggap sakral. Norma kehidupan masyarakat diatur berdasarkan adat dan agama Islam yang disebut Pangadakkang. Dan masyarakat Gowa sangat percaya dan taat terhadap norma-norma tersebut.

Di samping norma tersebut, masyarakat Gowa juga mengenal pelapisan sosial yang terdiri dari lapisan atas yang merupakan golongan bangsawan dan keluarganya disebut dengan Anakarung atau Karaeng, sedangkan rakyat kebanyakan disebut to Maradeka dan masyarakat lapisan bawah disebut dengan golongan Ata.[54]

Dari segi kebudayaan, maka masyarakat Gowa banyak menghasilkan benda-benda budaya yang berkaitan dengan dunia pelayaran. Mereka terkenal sebagai pembuat kapal. Jenis kapal yang dibuat oleh orang Gowa dikenal dengan nama Pinisi dan Lombo. Kapal Pinisi dan Lombo merupakan kebanggaan rakyat Sulawesi Selatan dan terkenal hingga mancanegara.

Ekonomi

Kerajaan Makassar adalah kerajaan Maritim dan berkembang sebagai pusat perdagangan di wilayah Indonesia bagian Timur. Hal ini ditunjang oleh beberapa faktor yaitu : letak yang strategis, mempunyai pelabuhan yang baik jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511 yang menyebabkan banyak pedagang yang pindah ke Indonesia Timur.

Sebagai pusat perdagangan. Makassar berkembang menjadi pelabuhan internasional yang banyak disinggahi pedagang asing seperti Portugis, Inggris, Denmark dan sebagainya yang datang untuk berdagang di Makassar.

Daftar penguasa

 
I Mangngimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo Sultan Muhammad Thahir Muhibuddin Tumenanga ri Sungguminasa (bertahta 1936-1946) mendengarkan pidato pengangkatan pejabat gubernur Celebes, Tn. Bosselaar (awal tahun 1930-an).
 
Istana Balla Lompoa di Sungguminasa, Kabupaten Gowa pada tahun 2013.
  1. Tumanurung Bainea (±1300)
  2. Tumassalangga Barayang
  3. I Puang Loe Lembang
  4. I Tuniata Banri
  5. Karampang ri Gowa
  6. Tunatangka'/Tunarangka' Lopi (±1400)
  7. Batara Gowa Tuniawanga ri Parallakkenna
  8. I Pakere Tau Tunijallo ri Passukki
  9. I Daeng Matanre Karaeng Manguntungi Tumapa'risi' Kallonna (1510-1546)
  10. I Manriwagau' Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipalangga (1546-1565)
  11. I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatta
  12. I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo' (1565-1590)
  13. I Tepukaraeng Daeng Parabbung Tunipasulu' (1590-1593)
  14. I Mangnga'rangi Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna; Berkuasa mulai tahun 1593 - wafat tanggal 15 Juni 1639, merupakan penguasa Kesultanan Gowa pertama yang memeluk agama Islam
  15. I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung, Muhammad Said Sultan Malikussaid Tumenanga ri Papang Batunna; Lahir 11 Desember 1605, berkuasa mulai tahun 1639 hingga wafatnya 6 November 1653
  16. I Mallombasi Daeng Mattawang Muhammad Baqir Karaeng Bonto Mangngape Sultan Hasanuddin Tumenanga ri Balla'pangkana; Lahir tanggal 12 Januari 1631, berkuasa mulai tahun 1653 sampai 1669, dan wafat pada 12 Juni 1670 , diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden No. 087/TK/1973, tanggal 6 November 1973.
  17. I Mappasomba Daeng Uraga Sultan Amir Hamzah Tumammalianga ri Allu Lahir 31 Maret 1656, berkuasa 29 Januari 1669 hingga wafatnya 7 Mei 1674.
  18. I Mappaosong Daeng Mangngewai Karaeng Bisei 𝐒𝐮𝐥𝐭𝐚𝐧 𝐌𝐮𝐡𝐚𝐦𝐦𝐚𝐝 𝐀𝐥𝐢 Tumatea ri Jakattara; Lahir 29 November 1654, berkuasa mulai 3 Oktober 1674 sampai 27 Juli 1677 (di kudeta oleh VOC Belanda bersama Sekutu nya), diasingkan ke Batavia 16 September 1678 dan wafat 15 Maret 1681.
  19. I Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone 𝐒𝐮𝐥𝐭𝐚𝐧 𝐀𝐛𝐝𝐮𝐥 𝐉𝐚𝐥𝐢𝐥 Tumamenanga ri Lakiung. Berkuasa pada 27 Juli 1677- hingga wafatnya 17- September 1709.
  20. La Pareppa Tosappewalie Karaeng Anak Moncong Sultan Ismail Muhtajuddin Tumenanga ri Somba Opu. Berkuasa 16 Februari 1710, di keluarkan sebagai Raja di Gowa 24 Agustus 1712.
  21. I Mappau'rangi Karaeng Boddia Sultan Sirajuddin Tumenanga ri Pasi. Berkuasa 31 Agustus 1712.
  22. I Manrabbia Sultan Najamuddin
  23. I Mappaurangi Karaeng Boddia Sultan Sirajuddin Tumenanga ri Pasi; Menjabat untuk kedua kalinya pada tahun 1735
  24. I Mallawagau Sultan Abdul Chair Al Manshur (1735-1742)
  25. I Mappaba'basa' Sultan Abdul Quddus (1742-1753)
  26. Amas Madina Sultan Usman Fakhruddin Batara Gowa (diasingkan oleh Belanda ke Sri Lanka) (1747-1795)
  27. I Mallisujawa Daeng Riboko Arungmampu Sultan Imaduddin Tumenanga ri Tompobalang (1767-1769)
  28. I Temassongeng I Makkaraeng Karaeng Katangka Sultan Zainuddin Tumenanga ri Mattoanging (1770-1778)
  29. I Mannawarri I Sumaele Karaeng Bontolangkasa Karaeng Mangasa Sultan Abdul Hadi Tumenanga ri Lambusu'na atau ri Sambungjawa (1778-1810)
  30. I Mappatunru' I Manginnyarrang Karaeng Lembangparang Sultan Abdul Rauf Tumenanga ri Katangka (1816-1825)
  31. I La Oddanriu' Daeng Mangngeppe Karaeng Katangka Sultan Abdul Rahman Tumenanga ri Suangga (1825-1826)
  32. I Kumala Daeng Parani Karaeng Lembangparang Sultan Abdul Kadir Muhammad Aidid Tumenanga ri Kakoasanna (1826 - wafat 30 Januari 1893)
  33. I Malingkaang Daeng Nyonri' Karaeng Katangka Sultan Muhammad Idris Tumenanga ri Kalabbiranna (1893 - wafat 18 Mei 1895)
  34. I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembangparang Sultan Husain Tumenanga ri Bundu'na atau Somba Ilanga ri Lampanna; Memerintah sejak tanggal 18 Mei 1895 - 1906, di Mahkotai di Makassar pada tanggal 5 Desember 1895.
  35. I Mangngimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo Sultan Muhammad Thahir Muhibuddin Tumenanga ri Sungguminasa (1936 - 1946)
  36. Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aiduddin Tumenanga ri Jongaya (1956 - 1978) sekaligus raja Gowa terakhir [55]dan menjadi bupati pertama kabupaten Gowa saat bergabung menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Lihat pula

Rujukan

Sitiran

  1. ^ Akbar, Adil (2019). Jaringan Pelayaran dan Perdagangan Beras di Sulawesi Selatan pada Tahun 1946-1950 (Tesis). hlm. 47. 
  2. ^ Cummings (2002), hlm. 25, 149–153.
  3. ^ Abidin (1983).
  4. ^ Bulbeck (1992), hlm. 32–34.
  5. ^ Bulbeck (2006), hlm. 287.
  6. ^ Cummings (2002), hlm. 25.
  7. ^ Bulbeck (1992), hlm. 34, 231, 473, 475, antara lain.
  8. ^ a b Bulbeck (1993).
  9. ^ Bulbeck & Caldwell (2000), hlm. 107.
  10. ^ Druce (2009), hlm. 34–36.
  11. ^ Pelras (1996), hlm. 100–103.
  12. ^ Pelras (1996), hlm. 98–100.
  13. ^ Cummings (2007b), hlm. 100–105.
  14. ^ Bulbeck (1992), hlm. 430–432.
  15. ^ Reid (1983).
  16. ^ Cummings (2007a), hlm. 2–5, 83–85.
  17. ^ Bulbeck (1992), hlm. 123–125.
  18. ^ a b Cummings (2007a), hlm. 32–33.
  19. ^ Druce (2009), hlm. 241–242.
  20. ^ Bulbeck (1992), hlm. 125.
  21. ^ Bulbeck (1992), hlm. 117–118.
  22. ^ Cummings (2000), hlm. 29.
  23. ^ Cummings (2014), hlm. 215–218.
  24. ^ Bulbeck (1992), hlm. 127–131.
  25. ^ Bulbeck (1992), hlm. 105–107.
  26. ^ Cummings (2002), hlm. 216.
  27. ^ Cummings (2007a), hlm. 57.
  28. ^ a b Bulbeck (1992), hlm. 126.
  29. ^ Cummings (2007a), hlm. 33–36, 56–59.
  30. ^ Andaya (1981), hlm. 25–26.
  31. ^ Druce (2009), hlm. 232–235, 244.
  32. ^ Bougas (1998), hlm. 92.
  33. ^ Sutherland (2004), hlm. 79.
  34. ^ Cummings (2007a), hlm. 34.
  35. ^ Andaya (1981), hlm. 27.
  36. ^ Cummings (2014), hlm. 219–221.
  37. ^ Andaya (2011), hlm. 114–115.
  38. ^ Gibson (2007), hlm. 45.
  39. ^ Cummings (2002), hlm. 112.
  40. ^ Bulbeck (1992), hlm. 107.
  41. ^ Gibson (2005), hlm. 45.
  42. ^ Bulbeck (2006), hlm. 292.
  43. ^ Cummings (2007a), hlm. 36.
  44. ^ a b Pelras (1996), hlm. 131–132.
  45. ^ a b Andaya (1981), hlm. 29.
  46. ^ Reid (1981).
  47. ^ Bulbeck (1992), hlm. 102.
  48. ^ Cummings (1999), hlm. 109–110.
  49. ^ Cummings (2007a), hlm. 86.
  50. ^ Druce (2014), hlm. 152.
  51. ^ Cummings (2007a), hlm. 41.
  52. ^ Cummings (2002), hlm. 22.
  53. ^ Pelras (1994), hlm. 139.
  54. ^ "Kerajaan Gowa-Tallo / Kesultanan Makassar (Lengkap)". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-06-10. Diakses tanggal 2015-08-10. 
  55. ^ "SEJARAH KABUPATEN GOWA – Website Resmi Pemerintah Kabupaten Gowa" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-11-01. 

Daftar pustaka

Abidin, Andi' Zainal (1983). "The Emergence of Early Kingdoms in South Sulawesi: A Preliminary Remark on Governmental Contracts from the Thirteenth to the Fifteenth Century". Southeast Asian Studies. 20 (4): 1–39. doi:10.14724/jh.v2i1.14. 
Andaya, Leonard Y. (1981). The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century. Ann Arbor: University of Michigan. ISBN 9789024724635. 
——— (2011). "Chapter 6: Eastern Indonesia: A Study of the Intersection of Global, Regional, and Local Networks in the 'Extended' Indian Ocean". Dalam Halikowski Smith, Stephan C. A. Reinterpreting Indian Ocean Worlds: Essays in Honour of Kirti N. Chaudhuri. Cambridge Scholars Publishing. hlm. 107–141. ISBN 9781443830447. 
Bougas, Wayne A. (1998). "Bantayan: An Early Makassarese Kingdom, 1200–1600 A.D.". Archipel. 55 (1): 83–123. doi:10.3406/arch.1998.3444. 
Bulbeck, Francis David (992). A Tale of Two Kingdoms: The Historical Archaeology of Gowa and Tallok, South Sulawesi, Indonesia (Tesis Ph.D.). Australian National University. 
——— (1993). "New Perspectives on early South Sulawesi History". Baruga: Sulawesi Research Bulletin. 9: 10–18. 
———; Caldwell, Ian (2000). Land of iron: the Historical Archaeology of Luwu and the Cenrana valley : Results of the Origin of Complex Society in South Sulawesi Project (OXIS). University of Hull Centre for South-East Asian Studies. ISBN 9780903122115. 
——— (2006). "Chapter 13: The Politics of Marriage and the Marriage of Polities in Gowa, South Sulawesi, During the 16th and 17th Centuries". Dalam Fox, James J. Origins, Ancestry and Alliance: Explorations in Austronesian Ethnography. Canberra: ANU Press. hlm. 283–319. ISBN 9781920942878. 
Cummings, William P. (2000). "Reading the Histories of a Maros Chronicle". Bijdragen Tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 156 (1): 1–31. doi:10.1163/22134379-90003851. JSTOR 27865583. 
——— (2002). Making Blood White: Historical Transformations in Early Modern Makassar. Honolulu: University of Hawaii Press. ISBN 9780824825133. 
——— (2007a). A Chain of Kings: The Makassarese Chronicles of Gowa and Talloq. Leiden: KITLV Press. ISBN 9789067182874. 
——— (2007b). "Islam, Empire and Makassarese Historiography in the Reign of Sultan Ala'uddin (1593–1639)". Journal of Southeast Asian Studies. 38 (2): 197–214. doi:10.1017/S002246340700001X. JSTOR 20071830. 
——— (2014). "Chapter 10: Re-evaluating state, society, and the dynamics of expansion in precolonial Gowa". Dalam Wade, Geoff. Asian Expansions: The Historical Experiences of Polity Expansion in Asia. Routledge. hlm. 214–232. ISBN 9781135043537. 
Druce, Stephen C. (2009). The Lands West of the Lakes: A History of the Ajattappareng Kingdoms of South Sulawesi, 1200 to 1600 CE. Leiden: Brill. ISBN 9789004253827. 
——— (2014). "Dating the tributary and domain lists of the South Sulawesi kingdoms". Dalam Ampuan Haji Brahim bin Ampuan Haji Tengah. Cetusan minda sarjana: Sastera dan budaya. Bandar Seri Begawan: Dewan Bahasa dan Pustaka. hlm. 145–156. ISBN 9789991709604. 
Gibson, Thomas (2005). And the Sun Pursued the Moon: Symbolic Knowledge and Traditional Authority among the Makassar. Honolulu: University of Hawaii Press. ISBN 9780824828653. 
——— (2007). Islamic Narrative and Authority in Southeast Asia: From the 16th to the 21st century. New York: Springer Publishing. ISBN 9780230605084. 
Pelras, Christian (1994). "Religion, Tradition and the Dynamics of Islamization in South-Sulawesi". Indonesia. 57 (1): 133–154. 
——— (1996). The Bugis. Oxford: Blackwell Publishers. ISBN 9780631172314. 
Reid, Anthony (1981). "A Great Seventeenth-Century Indonesian Family: Matoaya and Pattingalloang of Makassar". Masyarakat Indonesia. 8 (1): 1–28. 
Sutherland, Heather (2004). "The Makassar Malays: Adaptation and Identity, c.1660–1790". Dalam Barnard, Timothy. Contesting Malayness: Malay Identity Across Boundaries. NUS Press. hlm. 76–106. ISBN 9789971692797. 

[1]

  1. ^ (Indonesia)Kerajaan Islam di Pulau Sulawesi