Orang Minangkabau
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Suku Minangkabau atau Minang (seringkali disebut Orang Padang) adalah suku yang berasal dari provinsi Sumatera Barat. Suku ini terutama terkenal karena adatnya yang matrilineal, walau orang-orang Minang sangat kuat memeluk agama Islam. Adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al Qur'an) merupakan cerminan adat Minang yang berlandaskan Islam.
Berkas:Famousminang.jpg | |
Daerah dengan populasi signifikan | |
---|---|
Sumatra Barat, Indonesia: 4,2 juta. Jabotabek, Indonesia: 1,2 juta. | |
Bahasa | |
bahasa Minang, bahasa Indonesia dan bahasa Melayu. | |
Agama | |
Islam. | |
Kelompok etnik terkait | |
Melayu. |
Suku Minang terutama menonjol dalam bidang pendidikan dan perdagangan. Kurang lebih dua pertiga dari jumlah keseluruhan anggota suku ini berada dalam perantauan. Minang perantauan pada umumnya bermukim di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Medan, Batam, Palembang, dan Surabaya. Untuk di luar wilayah Indonesia, suku Minang banyak terdapat di Malaysia (terutama Negeri Sembilan) dan Singapura. Di seluruh Indonesia dan bahkan di mancanegara, masakan khas suku ini, populer dengan sebutan masakan Padang.
Minangkabau merupakan tempat berlangsungnya perang Paderi di tahun 1821 - 1837.
Suku-suku dalam Etnik Minangkabau
Dalam etnis Minangkabau terdapat banyak lagi klan, yang oleh orang Minang sendiri hanya disebut dengan istilah suku. Beberapa suku besar mereka adalah suku Piliang, Bodi Caniago, Tanjuang, Koto, Sikumbang, Malayu, Jambak; selain terdapat pula suku pecahan dari suku-suku utama tersebut. Kadang beberapa keluarga dari suku yang sama, tinggal dalam suatu rumah yang disebut Rumah Gadang.
Di masa awal Minangkabau mengemuka, hanya ada empat suku dari dua lareh (laras) atau kelarasan . Suku-suku tersebut adalah:
Dan dua kelarasan itu adalah :
- Lareh Koto Piliang yang digagas oleh Datuk Ketumanggungan
- Lareh Bodi Caniago, digagas oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang
Perbedaan antara dua kelarasan itu adalah:
- Lareh Koto Piliang menganut sistem budaya Aristokrasi Militeristik[butuh rujukan]
- Lareh Bodi Caniago menganut sistem budaya Demokrasi Sosialis[butuh rujukan]
Dalam masa selanjutnya, muncullah satu kelarasan baru bernama Lareh Nan Panjang, diprakarsai oleh Datuk Sakalok Dunia Nan Bamego-mego.
Sekarang, suku-suku dalam Minangkabau berkembang terus dan sudah mencapai ratusan suku, yang terkadang sudah sulit untuk mencari persamaannya dengan suku induk. Di antara suku-suku tersebut adalah:
Etimologi
Nama Minangkabau berasal dari dua kata, minang (menang) dan kabau (kerbau). Nama itu berasal dari sebuah legenda. Konon pada abad ke-13, kerajaan Majapahit melakukan invasi ke Minangkabau. Untuk mencegah pertempuran, masyarakat lokal mengusulkan untuk mengadu kerbau Minang dengan kerbau Jawa. Pasukan Majapahit menyetujui usul tersebut dan menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif. Sedangkan masyarakat Minang menyediakan seekor anak kerbau yang lapar dengan diberikan pisau pada tanduknya. Dalam pertempuran, anak kerbau itu mencari kerbau Jawa dan langsung mencabik-cabik perutnya, karena menyangka kerbau tersebut adalah induknya yang hendak menyusui. Kecemerlangan masyarakat Minang tersebut yang menjadi inspirasi nama Minangkabau.
Namun dari beberapa sumber lain menyebutkan bahwa nama Minangkabau sudah ada jauh sebelum peristiwa adu kerbau itu terjadi, dimana istilah yang lebih tepat sebelumnya adalah 'Minangkabwa', 'Minangakamwa', Minangatamwan' dan 'Phinangkabhu'. Istilah 'Minangakamwa' atau Minangkamba berarti Minang (sungai) Kembar yang merujuk pada dua sungai Kampar yaitu Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan. sedangkan istilah 'Minangatamwan' yang merujuk kepada Sungai Kampar memang disebutkan dalam prasasti Kedukan Bukit dimana disitu disebutkan bahwa Pendiri Kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang melakukan migrasi massal dari Hulu Sungai Kampar (Minanga Tamwan) yang terletak di sekitar daerah Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.
Asal Usul
Suku Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2.500-2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari arah Timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar atau Minangkamwa (Minangatamwan) hingga tiba di dataran tinggi Luhak nan Tigo (darek). Kemudian dari Luhak nan Tigo inilah suku Minang menyebar ke daerah pesisir (pasisie) di pantai barat pulau Sumatera, yang terbentang dari Barus di utara hingga Kerinci di selatan.
Selain berasal dari Luhak nan Tigo, masyarakat pesisir juga banyak yang berasal dari India Selatan dan Persia. Dimana migrasi masyarakat tersebut terjadi ketika pantai barat Sumatera menjadi pelabuhan alternatif perdagangan selain Malaka, ketika kerajaan tersebut jatuh ke tangan Portugis.
Sosial Kemasyarakatan
Daerah Minangkabau terdiri atas banyak nagari. Nagari ini merupakan daerah otonom dengan kekuasaan tertinggi di Minangkabau. Tidak ada kekuasaan sosial dan politik lainnya yang dapat mencampuri adat di sebuah nagari. Nagari yang berbeda akan mungkin sekali mempunyai tipikal adat yang berbeda. Tiap Nagari dipimpin oleh sebuah dewan yang terdiri dari pemimpin-pemimpin suku dari semua suku yang ada di nagari tersebut. Dewan ini disebut dengan KAN (Kerapatan Adat Nagari). Dari hasil musyawarah dan mufakat dalam dewan inilah sebuah keputusan dan peraturan yang mengikat untuk nagari itu dihasilkan.
Minang Perantauan
Minang perantauan merupakan istilah untuk suku Minangkabau yang hidup di luar provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Etos merantau orang Minangkabau sangatlah tinggi, bahkan diperkirakan tertinggi di Indonesia. Dari hasil studi yang pernah dilakukan oleh Mohctar Naim, 1973 (Merantau, Minangkabau Voluntary Migration, University of Singapore), pada tahun 1961 terdapat sekitar 32 % orang Minang yang berdomisili di luar Sumatera Barat, tetapi pada tahun 1971, jumlah itu meningkat menjadi 44 %. Berarti hampir separuh orang Minang berada di luar Sumatra Barat. Melihat data tersebut, maka berarti ada perubahan cukup besar pada etos merantau orang Minangkabau dibanding suku lainnya di Indonesia. Sebab menurut sensus tahun 1930, perantau tertinggi di Indonesia adalah orang Bawean (35,9 %), kemudian suku Batak (14,3 %), lalu Banjar (14,2 %), sedangkan suku Minang hanya sebesar 10,5 %.
Saat ini diperkirakan jumlah Minang perantauan bisa mencapai 70 %, bahkan lebih. Hal ini berdasarkan penelitian acak, yang menyebutkan setiap keluarga di ranah Minang, dua pertiga saudaranya hidup di perantauan[butuh rujukan]. Kini wanita Minangkabau pun sudah lazim merantau. Tidak hanya karena alasan ikut suami, tapi juga karena ingin berdagang, meniti karier dan melanjutkan pendidikan.
Merantau pada etnis Minang telah berlangsung cukup lama. Migrasi besar-besaran pertama terjadi pada abad ke-14, dimana banyak keluarga Minang yang berpindah ke Negeri Sembilan, Malaysia. Kemudian gelombang migrasi berikutnya terjadi pada abad ke-19, yaitu ketika Minangkabau mendapatkan hak privelese untuk mendiami kawasan Kesultanan Riau-Lingga.
Pada masa penjajahan Belanda, migrasi besar-besaran terjadi pada tahun 1920, ketika perkebunan tembakau di Deli Serdang, Sumatera Timur dikembangkan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada masa kemerdekaan, Minang Perantauan banyak mendiami kota-kota besar di pulau Jawa. Kini, Minang Perantauan hampir tersebar di seluruh dunia.
Ada banyak penjelasan terhadap fenomena ini, salah satu penyebabnya ialah sistem kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini, penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum perempuan sedangkan hak kaum pria dalam hal ini cukup kecil. Hal inilah yang menyebabkan kaum pria Minang memilih untuk merantau.
Penjelasan lain adalah pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah. Jika dulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber utama tempat mereka hidup dapat menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam yang menjadi penghasilan utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi kebutuhan bersama, karena harus dibagi dengan beberapa keluarga. Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang Minang pergi merantau mengadu nasib di negeri orang. Untuk kedatangan pertamanya ke tanah rantau, biasanya para perantau menetap terlebih dahulu di rumah dunsanak yang dianggap sebagai induk semang. Mayoritas perantau baru ini biasanya berprofesi sebagai pedagang kecil.
Orang Minangkabau dan Pencapaiannya
(Lihat : Daftar tokoh Minangkabau)
Suku Minang terkenal sebagai suku yang terpelajar, oleh sebab itu pula mereka menyebar di seluruh Indonesia bahkan manca-negara dalam berbagai macam profesi dan keahlian, antara lain sebagai politisi, penulis, ulama, pengajar, jurnalis, dan pedagang. Berdasarkan jumlah populasi yang relatif kecil (3% dari penduduk Indonesia), Minangkabau merupakan salah satu suku tersukses dengan banyak pencapaian. Majalah Tempo dalam edisi khusus tahun 2000 mencatat bahwa 6 dari 10 tokoh penting Indonesia di abad ke-20 merupakan orang Minang.
Sejak dulu orang Minang telah merantau ke berbagai daerah di Jawa, Sulawesi, semenanjung Malaysia, Thailand, Brunei, hingga Philipina. Di tahun 1390, Raja Bagindo mendirikan Kesultanan Sulu di Philipina selatan. Pada abad ke-14 orang Minang melakukan migrasi ke Negeri Sembilan, Malaysia dan mengangkat raja untuk negeri baru tersebut dari kalangan mereka. Raja Melewar merupakan raja pertama Negeri Sembilan yang diangkat pada tahun 1773. Di akhir abad ke-16, ulama Minangkabau Dato Ri Bandang dan Dato Ri Tiro, menyebarkan Islam di Indonesia timur dan mengislamkan kerajaan Gowa.
Kedatangan reformis Muslim yang menuntut ilmu di Kairo dan Mekkah mempengaruhi sistem pendidikan di Minangkabau. Sekolah Islam modern Sumatera Thawalib dan Diniyah Putri banyak melahirkan aktivis yang banyak berperan dalam proses kemerdekaan, antara lain Djamaluddin Tamin, A.R Sutan Mansyur, dan Siradjuddin Abbas.
Pada periode 1920 - 1960 banyak politisi Indonesia yang berpengaruh berasal dari Minangkabau. Setelah kemerdekaan, empat orang Minangkabau duduk sebagai perdana menteri (Sutan Syahrir, Mohammad Hatta, Abdul Halim, Muhammad Natsir), seorang sebagai wakil presiden (Mohammad Hatta), seorang sebagai presiden Republik Indonesia dibawah RIS (Assaat), seorang menjadi pimpinan parlemen (Chaerul Saleh), dan puluhan yang menjadi menteri, diantara yang cukup terkenal ialah Agus Salim dan Muhammad Yamin. Selain di pemerintahan, di masa Demokrasi Liberal parlemen Indonesia di dominasi oleh politisi Minang. Mereka tergabung kedalam aneka macam partai dan ideologi, Islamis, Nasionalis, Komunis dan Sosialis. Disamping menjabat gubernur di propinsi Sumatera Tengah/Sumatera Barat, orang Minangkabau juga duduk sebagai gubernur di propinsi-propinsi lain di Indonesia. Mereka adalah Datuk Djamin (Jawa Barat), Muhammad Djosan and Muhammad Padang (Maluku), Anwar Datuk Madjo Basa Nan Kuniang (Sulawesi Tengah), Adenan Kapau Gani (Sumatra Selatan), Djamin Datuk Bagindo (Jambi).[1]
Penulis dan jurnalis Minang banyak mempengaruhi perkembangan bahasa Indonesia. Mereka mengembangkan bahasa Indonesia melalui berbagai macam profesi dan bidang keahlian. Marah Rusli, Abdul Muis, Sutan Takdir Alisjahbana, Idrus, Hamka, dan A.A Navis sebagai penulis novel. Chairil Anwar dan Taufik Ismail lewat puisi, serta Abdul Rivai, Djamaluddin Adinegoro, Rosihan Anwar dan Ani Idrus sebagai jurnalis. Di Indonesia dan Malaysia, disamping orang Tionghoa, orang Minang juga terkenal sebagai pengusaha ulung. Banyak pengusaha Minang sukses berbisnis di bidang perdagangan tekstil, rumah makan, perhotelan, pendidikan, dan rumah sakit.
Orang Minang juga berkontribusi besar di Malaysia dan Singapura, antara lain Yusof bin Ishak (presiden pertama Singapura), Zubir Said (komposer lagu kebangsaan Singapura Majulah Singapura), Tan Sri Abdul Samad Idris dan Adnan bin Saidi.
Literatur
- (Jerman) Astrid Kaiser: Mädchen und Jungen in einer matrilinearen Kultur. Interaktionen und Wertvorstellungen bei Grundschulkindern im Hochland der Minangkabau auf Sumatra. Kovac, Hamburg 1996 ISBN 3-86064-419-X
- (Jerman) Ute Marie Metje: Die starken Frauen. Gespräche über Geschlechterbeziehungen bei den Minangkabau in Indonesien. Campus, Frankfurt am Main und New York 1995, ISBN 3-593-35409-8
- (Jerman) Dieter Weigel: Reisemosaik bei den Minangkabau. Sumatra. Heiteres, Ernstes, Alltägliches, Unglaubliches. Jahn und Ernst, Hamburg 1998, ISBN 3-89407-208-3 (Erlebnisbericht)
- A.A. Navis, Curaian Adat Minangkabau
- Tambo Alam Minangkabau
Pranala luar
- [1] Mailing List Komunitas Minangkabau (Urang Awak)yang pertama dan terbesar di Internet (sejak 1993)
- Cimbuak.net Komunitas virtual masyarakat Minangkabau di dunia maya.
- Kaskus Regional Minang Online Komunitas masyarakat Minangkabau di dunia maya.
- (Indonesia) Ranah-Minang.Com Media online yang menyajikan berita dan informasi tentang Sumbar serta adat-istiadat dan budaya Minangkabau
- (Indonesia) Pelaminan Minang Mengupas sedikit mengenai adat istiadat dan sejarah masyarakat Minangkabau dan merupakan salah satu pelestari perkawinan adat minangkabau asli
Catatan kaki
- ^ Budaya Merantau Orang Minang (1) Kalaulah di Bulan Ada Kehidupan. http://www.posmetropadang.com. October 11st. Hapus pranala luar di parameter
|publisher=
(bantuan)