Suku Karo

kelompok etnik Batak

Suku Karo (tulisen Karo: ᯂᯒᯨ atau ᯂᯒᯭ, Latin: Karo) atau lazim juga disebut Batak Karo (tulisen Karo: ᯆᯗᯂ᯳ ᯂᯒᯨ atau ᯆᯗᯂ᯳ ᯂᯒᯭ, Latin: Batak Karo) adalah suku bangsa atau kelompok etnik yang mendiami wilayah Sumatra Utara dan sebagian Aceh; meliputi Kabupaten Karo, sebagian Kabupaten Aceh Tenggara, sebagian Kabupaten Langkat (Langkat Hulu), Sebagian Kabupaten Dairi, sebagian Kabupaten Simalungun, dan sebagian Kabupaten Deli Serdang serta juga dapat ditemukan di kota Medan dan Kota Binjai. Suku ini merupakan salah satu suku terbesar di Sumatra Utara. Nama suku ini dijadikan sebagai nama salah satu Kabupaten di Sumatra Utara yaitu Kabupaten Karo. Suku ini memiliki bahasa yang disebut Bahasa Karo atau Cakap Karo. Pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasan emas. Konon, Kota Medan didirikan oleh seorang tokoh Karo yang bernama Guru Patimpus Sembiring Pelawi.

Orang Karo

Kalak Karo
ᯂᯞᯂ᯳ ᯂᯒᯭ
Jumlah populasi
± 1.100.000 (2010)
Bahasa
Karo, Indonesia, Melayu, Batak Simalungun, Batak Toba, Batak Pakpak
Agama
Kelompok etnik terkait

Sejarah dan etimologi

Suku Karo adalah suku yang mendiami dataran tinggi Karo, Kota Medan, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Simalungun, dan Kabupaten Aceh Tenggara. Suku ini memiliki bahasa yang disebut bahasa Karo dan memiliki salam khas yaitu Mejuah-juah. Adapun rumah tradisional masyarakat Karo atau yang dikenal dengan nama Siwaluh Jabu yang berarti rumah untuk delapan keluarga, yaitu rumah yang terdiri dari delapan bilik yang masing-masing bilik dihuni oleh satu keluarga. Tiap keluarga yang menghuni rumah itu memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda sesuai dengan pola kekerabatan masing-masing.

 
Seorang Wanita Karo mengenakan kain (Gatip Ampar) di atas bahunya dan anting-anting (padung perak), dan seorang Pria Karo kemungkinan mengenakan Julu Berjongkit atau Ragi Santik sebagai penutup pinggul. Foto diambil di salah satu desa di Kabupaten Karo, sekitar tahun 1914-1919.

SEJARAH SINGKAT MARGA-MARGA KARO

Dalam masyarakat Karo terdapat 5 (lima) kelompok besar Marga (merga- bhs Karo) yaitu marga : Karo Karo, Sembiring, Ginting, Perangin Angin dan Tarigan yang setiap kelompoknya mempunyai beberapa cabang atau sub-marga yaitu sebagai berikut :

KARO KARO

1. SEKALI, marga dan penghuni pertama Taneh Karo serta pendiri kampung Siberaya, Lau Gendek, dan Taneh Jawa.

2. KEMIT, saudara Karokaro Ujung.

3. SAMURA

4. SITEPU,

Marga Sitepu menurut legenda berasal dari Sihotang (Toba) kemudian pindah ke si Ogungogung, terus ke Beras Tepu, Naman, Beganding, dan Sukanalu. Merga Sitepu di Naman sebagian disebut juga dengan nama Sitepu Pande Besi, sedangkan Sitepu dari Toraja (Ndeskati) disebut Sitepu Badiken. Sitepu dari Suka Nalu menyebar ke Nambiki dan sekitar Sei Bingai. Demikian juga Sitepu Badiken menyebar ke daerah Langkat, seperti Kuta Tepu.

5. SINULINGGA

Marga Sinulingga berasal dari marga Lingga di Lingga Raja Suak Pegagan tanah Pakpak, di sana mereka telah menemui marga Munthe Pakpak. Sebagian dari marga Lingga telah berpindah ke tanah Karo sekarang dan mendirikan kampung Lingga dan menyandang marga Sinulingga. Marga ini juga terdapat di Gayo yang disebut dengan Linge.

6. SINURAYA

Marga Sinuraya berasal dari marga Angkat di Suak Keppas tanah Pakpak dan bersaudara dengan Sinuhaji keduanya lahir kembar. Marga ini mendirikan kampung Bunuraya dan Singgamanik. Sinuraya Bunuraya sebagian pindah ke Mulawari dan Sigenderang, sedang Sinuraya Singgamanik sebagian pindah ke Kandibata dan Jeraya.

7. SINUHAJI

Marga Sinuhaji, bersaudara dengan marga Sinuraya

8. SINUKABAN

Marga Sinukaban, mendiami kampung Kaban di Tanah Karo.

9. SURBAKTI

Marga Surbakti, membagi diri menjadi Surbakti dan Gajah. Merga ini juga kemudian sebagian menjadi marga Torong. Ada yang meyakini leluhur marga ini awalnya adalah marga Gajah di tanah Pakpak dan hal itulah yang melatarbelakangi keturunannya yang pindah ke tanah Karo mendirikan kampung bernama Gajah.

10. KACARIBU

Marga Kacaribu pecahan dari marga Sinulingga. Marga ini mendirikan kampung Kacaribu.

11. BARUS

Marga Barus, menurut cerita berasal dari Barus (Tapanuli Tengah). Nenek moyangnya Simbelang Pinggel (atau Simbelang Cuping) yang berarti si telinga lebar. Ia pergi mengungsi dari Barus akibat diusir oleh warga sekampungnya karena kawin sumbang (incest). Sebelum sampai ke tanah Karo, ia sempat singgah dan menetap di Kuta Usang dan dijadikan anak angkat oleh Manik Siketang. Dari sana ia lalu meneruskan perjalanan ke tanah Karo, daerah yang pertama ia masuki adalah Aji Nembah, salah seorang keturunannya diangkat saudara oleh merga Purba karena mengawini impal merga Purba yang disebut Piring-piringen Kalak Purba. Itulah sebabnya mereka sering pula disebut Suka Piring.

12. KABAN

Marga Kaban, pecahan dari marga Sinulingga. Mereka mendiami Bintang Meriah dan Pernantin.

13. SINUBULAN.

14. UJUNG

Marga Ujung dari marga Ujung di Suak Keppas tanah Pakpak,oleh Darwan-Darwin Prinst marga ini dianggap bersaudara dengan Karokaro Kemit, mereka mendirikan kampung Mulawari.

15. PURBA

Marga Purba dari marga Purba Pakpak di Kerajaan Purba yang berpusat di Pamatang Purba, Simalungun. Marga ini mendirikan Kabanjahe, Berastagi, Kandibata, Bandar Purba, Pancur Batu, dan Lau Cih. Marga ini membagi diri menjadi Purba Rumah Kaban Jahe dan Rumah Berastagi.

16. KETAREN

Marga Ketaren, dahulu merga Karo-Karo Purba memakai marga Karo-Karo Ketaren. Ini terbukti karena Penghulu Rumah Galoh di Kabanjahe, dahulu juga memakai marga Ketaren. Menurut budayawan Karo, M. Purba, dahulu yang memakai marga Purba adalah Pa Mbelgah. Nenek moyang merga Ketaren bernama Togan Raya dan Batu Maler (referensi K.E. Ketaren).

17. MANIK

MaRGA Manik, di Buluh Duri (Karo Baluren) berasal dari Manik Siketang di Suak Pegagan tanah Pakpak.

18. GURUSINGA.

19. TORONG

Marga Torong, pecahan marga Surbakti.

20. PAROKA

Marga Paroka, keturunan dari Kerajaan Sriwijaya.

21. BUKIT


SEMBIRING

GOLONGAN SIMANTANGKEN BIANG/ SINGOMBAK :

Golongan Simantangken Biang atau Singombak (yang mengharamkan makan daging anjing) yang berasal dari Hindu Tamil adalah kelompok marga Sembiring yang menghanyutkan abu-abu jenasah keluarganya yang telah meninggal dunia dalam perahu kecil melalui Lau Biang (Sungai Wampu). Adapun kelompok merga Sembiring Singombak tersebut adalah sebagai berikut:

1. MILALA

Marga Milala, berasal dari pegunungan Malayalam di India, mereka masuk ke tanah Karo melalui pantai timur dekat Teluk Haru. Di tanah Karo penyebarannya dimulai dari Beras Tepu. Nenek moyang mereka bernama Pagit pindah ke Sari Nembah. Merka umumnya tinggal di kampung-kampung Sari Nembah, Raja Berneh, Kidupen, Munte, Naman, dan lain-lain. Pecahan dari marga ini adalah Sembiring Pande Bayang.

2. TEKANG

Marga Tekang, berasal dari pegunungan Teykaman di India marga ini bersaudara dengan Sembiring Milala. Di Buah Raya, Sembiring Tekang ini juga menyebut dirinya Sembiring Milala. Kedekatan kedua merga ini juga terlihat dari nama Rurun anak-anak mereka. Rurun untuk merga Milala adalah Jemput (laki-laki di Sari Nembah) / Sukat (laki-laki di Beras Tepu) dan Tekang (wanita). Sementara Rurun Sembiring Tekang adalah Jambe (laki-laki) dan Gadong (perempuan). Kuta pantekennya adalah Kaban, merga ini tidak boleh kawin-mengawin dengan merga Sinulingga, dengan alasan ada perjanjian, karena anak merga Tekang diangkat anak oleh merga Sinulingga.

3. PELAWI

Marga Pelawi, berasal dari kerajaan Pallawa di India. Pusat kekuasaan merga Pelawi di wilayah Karo dahulu di Bekancan. Di Bekancan terdapat seorang Raja, yaitu Sierkilep Ngalehi, menurut cerita, daerahnya sampai ke tepi laut di Berandan, seperti Titi Pelawi dan Lau Pelawi. Di masa penjajahan Belanda daerah Bekancan ini masuk wilayah Pengulu Bale Nambiki. Kampung-kampung merga Sembiring Pelawi adalah Ajijahe, Kandibata, Perbesi, Perbaji, Bekancan, dan lain-lain.

4. DEPARI

Marga Depari, saudara dari Pelawi. Menurut cerita menyebar dari Seberaya, Perbesi sampai ke Bekancan (Langkat). Mereka ini masuk ke dalam Sembiring Singombak, di tanah Karo nama kecil (Gelar Rurun) anak laki-laki disebut Kancan, yang perempuan disebut Tajak. Sembiring Depari kemudian pecah menjadi Sembiring Busuk. Sembiring Busuk ini terjadi baru tiga generasi yang lalu. Sembiring Busuk terdapat di Lau Perimbon dan Bekancan.

5. BUSUK

Marga Busuk, saudara dari Pelawi, Bunuh Aji, dan Depari.

6. BUNUH AJI

Marga Bunuh Aji, saudara dari Pelawi, Depari, dan Busuk. Marga ini

terdapat di Kuta Tengah dan Beganding.

7. MUHAM

Marga Muham, marga ini juga berasal dari India, dalam banyak praktek kehidupan sehari-hari merga ini sembuyak dengan Sembiring Brahmana, Guru Kinayan, Colia, dan Pandia. Mereka inilah yang disebut Sembiring Lima Bersaudara dan itulah asal kata nama kampung Limang. Menurut ahli sejarah Karo. Pogo Muham, nama Muham ini lahir, ketika diadakan Pekewaluh di Seberaya karena perahunya selalu berdempet (Muham).

8. PANDEBAYANG

Marga Pandebayang, pecahan dari Sembiring Milala.

9. BRAHMANA

Marga Brahmana, menurut cerita lisan Karo, nenek moyang merga Berahmana ini adalah seorang keturunan India yang bernama Megit dan pertama kali tinggal di Talun Kaban. Anak-anak dari Megit adalah, Mecu Brahmana yang keturunannya menyebar ke Bulan Julu, Namo Cekala, dan Kaban Jahe. Mbulan Brahmana menjadi cikal bakal kesain Rumah Mbulan Tandok Kabanjahe yang keturunannya kemudian pindah ke Guru Kinayan dan keturunannya menjadi Sembiring Guru Kinayan. Di desa Guru Kinayan ini merga Brahmana memperoleh banyak sekali keturunan. Dari Guru Kinayan, sebagian keturunananya kemudian pindah ke Perbesi dan dari Perbesi kemudian pindah ke Limang.

10. PANDIA

Marga Pandia, berasal dari kerajaan Pandia di India dan bersaudara dengan Sembiring Berahmana, Muham, Colia dan Guru Kinayan. Dewasa ini mereka umumnya tinggal di Payung.

11. COLIA

Marga Colia, keturunan Raja Chola saat melakukan penaklukan ke Sriwijaya, Panai, dan Nagur. Marga ini mendirikan kamppung Kubu Colia. Kalau di Simalungun dikenal dengan Damanik Sola.

12. GURUKINAYAN

Marga GuruKinayan, saudara dari Colia dan Pandia. Marga ini terbentuk di Guru Kinayan, yakni ketika salah seorang keturunan dari Mbulan Berahmana menemukan pokok bambo bertulis (Buloh Kanayan Ersurat). Daun bambu itu bertuliskan aksara Karo yang berisi obat-obatan. Di kampung itu menurut cerita dia mengajar ilmu silat (Mayan) dan dari situlah asal kata Guru Kinayan (Guru Ermayan). Keturunannya kemudian menjadi Sembiring GuruKinayan.

13. SINUKAPUR

MARGA Sinukapur, berasal dari keturunan marga Kapoor dari bangsa Tamil. Marga ini tinggal di Pertumbuken, Sidikalang, dan Sarintonu.

14. KELING

Marga Keling, menurut cerita lisan Karo mengatakan, bahwa Sembiring Keling telah menipu Raja Aceh dengan mempersembahkan  seekor Gajah Putih. Untuk itu Sembiring Keling telah mencat seekor kerbau dengan tepung beras. Akan tetapi naas, hujan turun dan lunturlah tepung beras itu, karenanya terpaksalah Sembiring Keling bersembunyi dan melarikan diri. Sembiring Keling sekarang ada di Raja Berneh dan Juhar.

GOLONGAN SI MAN BIANG :

Golongan Si Man Biang (yang menghalalkan makan daging anjing), menurut Pustaka Kembaren, asal-usul merga ini terdiri dari Kuala Ayer Batu, kemudian pindah ke Pagaruyung terus ke Bangko di Jambi dan selanjutnya ke Kutungkuhen di Alas. Nenek moyang mereka bernama Kenca Tampe Kuala, berangkat bersama rakyatnya menaiki perahu dengan membawa pisau kerajaan bernama Pisau Bala Bari. Keturunannya kemudian mendirikan kampung Silalahi, Paropo, Tumba dan Martogan. Dari sana kemudian menyebar ke Liang Melas, seperti Kuta Mbelin, Sampe Raya, Pola Tebu, Ujong Deleng, Negerijahe, Gunong Meriah, Longlong, Tanjong Merahe, Rih Tengah dan lain-lain. Merga ini juga tersebar luas di Kab. Langkat seperti Lau Damak, Batu Erjong-Jong, Sapo Padang, Sijagat, dll.

15. SINULAKI

Marga Sinulaki, marga ini berasal dari Silalahi. Marga ini di Toba masuk ke dalam kelompok marga Si Pitu Turpuk yang meliputi Loho Raja (Sihaloho), Tungkir Raja (Situngkir), Batu Raja (Pintu Batu), Sondi Raja (Ruma Sondi), Debang Raja (Sidebang), Bariba Raja (Sinabariba), dan Butar Raja (Sinabutar).

16. SINUPAYUNG

Marga Sinupayung, marga ini juga ada di Simalungun yang dikenal dengan Sipayung dan di Alas jadi Sepayung. Di tanah Karo, mereka mendiami Juma Raja dan Negeri.

17. KELOKO

Marga Keloko, marga ini di Pakpak disebut Kaloko, di Toba disebut Sihaloho dan di Simalungun Haloho. Di tanah Karo marga ini tinggal di Rumah Tualang, sebuah desa yang sudah ditinggalkan antar Pola Tebu dengan Sampe Raya. Merga ini sekarang terbanyak tinggal di Pergendangen, beberapa keluarga di Buah Raya dan Limang.

18. KEMBAREN

Marga Kembaren sama dengan marga Keloko yang bersaudara dengan Sinulaki dan Sinupayung.

19. MAHA

Marga Maha berasal dari marga Maha di Tanah Pakpak yang bersaudara dengan marga Sambo dan Pardosi.

GINTING

Di Suak Kelasen, Tanah Pakpak, terdapat sejumlah marga seperti Kesogihen atau Hasugian, Berasa, dan Bako. Ketiga marga ini kemudian berpindah ke Samosir, lalu menjalin persaudaraan dengan marga Simarmata, terus ke Sitinjo dan kemudian ke Guru Benua, di sana kelima marga ini melahirkan marga Suka, Jadibata, Guru Patih, Bukit, dan Ajar Tambun, di kemudian hari kelompok marga ini dikenal dengan Siwah Sada Ginting. Berikut nama-nama mereka:

1. SUKA

2. SUGIHEN

Marga Sugihen, keturunan marga Kesogihen atau Hasugian di Suak Kelasen tanah Pakpak dan di Alas juga disebut Sugihen.

3. JANDIBATA

4. GARAMATA, keturunan marga Simarmata dari Toba.

5. GURU PATIH

6. BUKIT

7. BERAS

Marga Beras, keturunan marga Berasa dari tanah Pakpak.

8. AJAR TAMBUN

9. BABO

Marga Babo, keturunan marga Bako dari tanah Pakpak

Kesembilan orang merga Ginting ini mempunyai seorang saudara perempuan bernama Bembem br Ginting, yang menurut legenda tenggelam ke dalam tanah ketika sedang menari di Tiga Bembem atau sekarang Tiga Sukarame, Kecamatan Munte.

10. PASE

Marga Pase, berasal dari Kerajaan Samudera Pasai. Sedang menurut cerita lisan Karo, Ginting Pase dulunya mempunyai kerajaan di Pase dekat Sari Nembah sekarang. Konon anak perempuan (puteri) Raja Pase dijual oleh bengkila (pamannya) ke Aceh dan itulah cerita cikal bakal kerajaan Samudera Pasai di Aceh.

11. MANIK

Marga Manik, berasal dari marga Manihuruk di Tongging keturunan dari Nai Ambaton. Dari Tongging mereka menyebar ke Aji Nembah, ke Munthe, dan Kuta Bangun.

12. MUNTHE

Marga Munthe, berasal dari marga Tamba keturunan Nai Ambaton di Toba. Sedang menurut cerita lisan Karo, marga ini berasal dari Tongging, kemudian ke Becih dan Kuta Sanggar serta kemudian ke Aji Nembah dan terakhir ke Munthe. Sebagian dari merga Ginting Munthe telah pergi ke Toba (Neumann 1972 : 10), kemudian sebagian dari merga Munthe dari Toba ini kembali lagi ke Karo. Ginting Muthe di Kuala pecah menjadi Ginting Tampune.

13. TAMPUNE

Marga Tampune, pecahan marga Munthe di Kuala.

14. JAWAK

Marga Jawak, berasal dari marga Saragih Sidajawak di Simalungun, saudara mereka di Toba adalah marga Sijabat. Marga ini hanya sedikit saja di tanah Karo.

15. SERAGIH

Marga Seragih, keturunan dari seorang penjual kuda bermarga Saragih dari Simalungun. Marga ini ditemukan di sekitar Namo Pecawir, Perteguhen, Juma Raja, Surbakti, dan Lingga Julu.

16. TUMANGGER

Marga Tumangger, berasal dari marga Tumangger atau Tumanggor dari Suak Kelasen tanah Pakpak. Di tanah Pakpak, marga ini bersaudara dengan marga Maharaja, Tinambunan, Pinayungan, Turuten, dan Anak Ampun yang disebut dengan Si Enem koden.

17. CAPAH

Marga Capah, berasal dari marga Capah di Suak Keppas tanah Pakpak. Di tanah Pakpak, marga ini bersaudara dengan marga Ujung, Angkat, Kudadiri, Bintang, Sinamo, dan Gajah Manik yang merupakan keturunan dari Raja Pako di Naga Jambe raja Sicikecike.

18. SINUSINGA

Marga Sinusinga, pecahan marga Manik di kampung Singa.

PERANGIN ANGIN

1. SUKATENDEL

Marga Perangin Angin Sukatendel, datang dari Simalungun, menurut cerita lisan leluhur marga ini dahulu menguasai daerah Pamatang Siantar hingga ke Binjai. Kemudian bergerak ke arah pegunungan dan sampai di Sukatendel. Dari marga ini lahir Peranginangin Kuta Buluh, Jinabun, dan Jambur Beringin.

2. KUTABULUH

Marga Perangin Angin Kuta Buluh, marga ini mendiami kampung Kuta Buloh, Buah Raja, Kuta Talah (sudah mati), dan Kuta Buloh Gugong serta sebagian ke Tanjung Pura (Langkat) dan menjadi Melayu.

3. JINABUNG

Marga Perangin Angin Jinabun, marga ini juga mendirikan kampung Jinabun. Ada cerita yang mengatakan mereka berasal dari keturunan nahkoda (pelaut) yang dalam bahasa Karo disebut Anak Koda Pelayar. Di kampung ini sampai sekarang masih ada hutan (kerangen) bernama Koda Pelayar, tempat pertama nahkoda tersebut tinggal.

4. JAMBUR BERINGEN

Marga Perangin Angin Jambur Beringen, marga ini mendirikan, kampung-kampung, Lau Buloh, Mburidi, dan Belingking. Sebagian menyebar ke Langkat mendirikan kampung Kaperas, Bahorok, dan lain-lain.

5. BANGUN

Bangun, berasal dari marga Damanik di kampung Bangun, dekat Kota Pematang Siantar, Simalungun. Alkisah Peranginangin Bangun dari Pematang Siantar datang ke Bangun Mulia. Disana mereka telah menemui Peranginangin Mano. Di Bangun Mulia terjadi suatu peristiwa yang dihubungkan dengan Guru Pak-pak Pertandang Pitu Sedalanen. Di mana dikatakan Guru Pak-pak menyihir (sakat) kampung Bangun Mulia sehingga rumah-rumah saling berantuk (ersepah), kutu anjing (kutu biang) mejadi sebesar anak babi. Mungkin pada waktu itu terjadi gempa bumi di kampung itu. Akibatnya penduduk Bangun Mulia pindah. Dari Bangun Mulia mereka pindah ke Tanah Lima Senina, yaitu Batu Karang, Jandi Meriah, Selandi, Tapak, Kuda dan Penampen. Bangun Penampen ini kemudian mendirikan kampung di Tanjung. Di Batu Karang, merga ini telah menemukan merga Menjerang dan sampai sekarang silaan di Batu Karang bernama Sigenderang. Marga ini pecah jadi Beliter dan Keliat. Di kemudian hari sebagian keturunan Sinaga Simanjorang yang pindah ke tanah Karo juga berafiliasi dengan marga Bangun.

6. KELIAT

Marga Keliat, menurut budayawan Karo, Paulus Keliat, merga Keliat merupakan pecahan dari rumah Mbelin di Batu Karang. Merga ini pernah memangku kerajaan di Barus Jahe, sehingga sering juga disebut Keliat Sibayak Barus Jahe.

7. BELITER

Marga Beliter, di dekat Nambiki (Langkat), ada satu kampung bernama Beliter dan penduduknya menamakan diri Peranginangin Beliter. Menurut cerita, mereka berasal dari merga Bangun. Di daerah Kuta Buluh dahulu juga ada kampung bernama Beliter tetapi tidak ditemukan hubungan anatara kedua nama kampung tersebut. Penduduk kampung itu di sana juga disebut Peranginangin Beliter.

8. PENCAWAN

Marga Pencawan, nama Pencawan berasal dari Tawan, ini berkaitan dengan adanya perang urung dan kebiasaan menawan orang pada waktu itu. Mereka pada waktu itu sering melakukan penawanan-penawanan dan akhirnya disebut Pincawan.

9. NAMOHAJI.

10. LIMBENG

Marga Limbeng, berasal dari marga Limbong di Toba dan di Pakpak disebut dengan Lembeng. Marga ini ditemukan di sekitar Pancur Batu.

11. SINURAT

Marga Sinurat, menurut cerita yang dikemukakan oleh budayawan Karo bermarga Sinurat seperti Karang dan Dautta, merga ini berasal dari Peranginangin Kuta Buluh. Ibunya beru Sinulingga, dari Lingga bercerai dengan ayahnya lalu kawin dengan merga Pincawan. Sinurat dibawa ke Perbesi menjadi juru tulis merga Pincawan (Sinurat). Kemudian merga Pincawan khawatir merga Sinurat akan menjadi Raja di Perbesi, lalu mengusirnya. Pergi dari Perbesi, ia mendirikan kampung dekat Limang dan diberi nama sesuai perladangan mereka di Kuta Buloh, yakni Kerenda.

12. SEBAYANG

Marga Sebayang, nenek Moyang marga ini bernama Raja Lambing Solin, yang datang dari Natam di Suak Simsim tanah Pakpak yang pindah ke Perbesi dan kemudian mendirikan kampung Kuala, Kuta Gerat, Pertumbuken, Tiga Binanga, Gunung, Besadi (Langkat), dan lain-lain. Merga Sebayang juga terdapat di Gayo/Alas. Saudara mereka di tanah Alas adalah marga Selian.

13. PINEM

Marga Pinem, keturunan Raja Enggang Solin saudara kandung dari Raja Lambing. Kampung asalnya yaitu Tanah Pinem. Sebagian keturunan Sinaga Simanjorang yang pindah ke tanah Karo ada juga yang menyatu dengan marga Pinem.

14. BENJERANG

Marga Benjerang, berasal dari marga Sinaga Simanjorang di Simalungun, di tanah Pakpak juga dikenal dengan Menjerang dan masuk ke tanah Karo melalui Sikodonkodon.

15. KACINAMBUN

Marga Kacinambun, berasal dari marga Sinaga Simanjorang, marga ini datang melalui Sikodon-Kodon.

16. SINGARIMBUN

Marga Singarimbun, menurut cerita budayawati Karo, Seh Ate br Brahmana, marga ini berasal dari kampung Simarimbun di Simalungun. Ia pindah dari sana berhubung berkelahi dengan saudaranya. Singarimbun kalah adu ilmu dengan saudaranya tersebut lalu sampailah ia di Tanjung Rimbun (Tanjung Pulo) sekarang. Disana ia menjadi gembala dan kemudian menyebar ke Temburun, Mardingding, dan Tiga Nderket.

17. LAKSA

Marga Laksa, menurut cerita datang dari Tanah Pinem dan kemudian menetap di Juhar. Di Dairi terdapat kampung bernama Laksa.

18. MANO

Marga Mano, marga ini tadinya berdiam di Bangun Mulia. Namun, Peranginangin Mano sekarang berdiam di Gunung.

19. PENGGARUNG

Marga Penggarun, penggarun berarti mengaduk, biasanya untuk mengaduk nila (suka/telep) guna membuat kain tradisional suku Karo.

20. PERASIH

Marga Perasih, menurut budayawan Karo Paulus Keliat, merga ini berasal dari Aceh, dan disahkan menjadi Peranginangin ketika orang tuanya menjadi Pergajahen di Sibiru-biru.

21. JAB

Marga Jab, keturunan pasukan Majapahit saat melakukan ekspedisi ke Sumatera Timur.

22. UWIR

23. TANJUNG

24. ULUNJANDI

25. PERBESI


TARIGAN

1. TAMBAK

Marga Tambak, menurut naskah kuno Partingkian Bandar Hanopan yang pernah diterjemahkan oleh taalambtenaar (ahli bahasa) Belanda Dr. Petrus Voorhoeve, leluhur marga ini bernama Jigou yang datang dari Pagaruyung kemudian merantau ke Simalungun dan menjadi Pangulu Tambak Bawang. Keturunannya bernama Tuan Sindar Lela kemudian mendapat tempat di Kerajaan Silou dan menjabat sebagai Raja Goraha Silou atas bantuan Puteri Hijau. Ia memiliki 2 orang putera yaitu Tuan Toriti yang pindah ke Silou Buntu dan mendirikan partuanon di sana, keturunannya disebut dengan Purba Tambak Tualang. Sementara adiknya Tuan Timbangan Raja mendirikan Partuanon Silou Dunia. Di kemudian hari 2 orang putera Tuan Timbangan Raja bersengketa, yaitu Raja Rubun pindah ke Dolog Masihol, di mana pasca runtuhnya Kerajaan Silou akibat perang saudara, keturunannya kemudian mendirikan Kerajaan Dolog Silou yang menggunakan marga Purba Tambak Lombang. Sedang adiknya Tuan Suha Bolak pindah ke sekitar Tiga Runggu dan mendirikan Huta Suha Bolak yang kemudian menjadi cikal bakal Kerajaan Panei dan memakai marga Purba Sidasuha. Keturunan Purba Tambak yang menyebar ke tanah Karo menjadi Tarigan Tambak yang kemudian terbagi lagi menjadi Tarigan Tambak Pekan dan Cingkes. Di tanah Karo, marga ini mendiami daerah daerah Kebayaken dan Sukanalu.

2. T U A

Marga Tua, berasal dari Purba Tua di Silimakuta, Simalungun. Marga ini merupakan saudara dari Purba Tanjung di Sipinggan, simpang Haranggaol. Sebagian keturunannya meyakini leluhur marga ini adalah Purba Tambak. Sebagian keturunannya pindah ke tanah Karo menjadi Tarigan Tua.

3. SILANGIT

Marga Silangit, berasal dari Purba Silangit pendiri kampung Sinembah dan Gunung Mariah. Menurut cerita lisan di Simalungun, leluhur marga ini awalnya berdiam di sekitar Dolog Tinggi Raja. Akibat bencana alam daerah mereka porak poranda yang mengakibatkan keturunannya menyebar ke sejumlah daerah seperti Gunung Mariah, Sinombah, Dolog Silou, Silou Kahean, Raya, dan tanah Karo. Di tanah Karo mereka menjadi Tarigan Silangit.

4. TENDANG

Marga Tendang, berasal dari Purba Tondang di Huta Tanoh, Simalungun dan saudara dari Purba Tambun Saribu. Sebagian keturunannya meyakini leluhurnya berasal dari Purba Parhorbo di Humbang (Toba).

5. TAMBUN

Marga Tambun, berasal dari Purba Tambun Saribu di Harangan Silombu dan Binangara, Simalungun. Marga ini bersaudara dengan Purba Tondang yang menurut sebagian keturunannya meyakini leluhur mereka berasal dari Purba Parhorbo di Humbang (Toba).

6. GERNENG

Marga Gerneng, berasal dari Purba Sigumondrong di Lokkung yang kemudian menyebar ke Cingkes, Marubun, Togur, dan Raya, Simalungun. Marga ini merupakan keturunan dari Purba Tambak yang lahir dari boru Simarmata. Keturunannya yang pindah ke tanah Karo beralih menjadi Tarigan Gerneng.

7. PURBA CEKALA / TARIGAN PURBA

Marga Purba Cekala atau Tarigan Purba, berasal dari Purba Sihala di Purba Hinalang, Simalungun pecahan dari Purba Pakpak. Marga ini mendiami Cingkes dan Tanjung Purba.

8. SIBERO

Marga Sibero, marga ini datang dari Purba Sigulang Batu di Humbang (Toba) lalu pindah ke Tungtung Batu, sebagian keturunannya merantau ke Juhar menjadi Tarigan Sibero dan di Simalungun menjadi Purba Siboro dan di Tanah Gayo menjadi Ceberou. Di Juhar, marga ini membagi diri menjadi Tarigan Sibayak dan Tarigan Jambor Lateng. Tarigan Sebayak mempunyai nama rurun Batu (laki-laki) dan Pagit (perempuan). Sementara nama rurun Tarigan Jambor Lateng adalah Lumbung (laki-laki) dan Tarik (perempuan). Kemudian datang pulalah Tarigan Rumah Jahe dengan nama rurun Kawas (laki-laki) dan Dombat (wanita). Marga ini menyebar mendiami daerah Juhar, Kuta Raja, Keriahen, Munte, Tanjung Beringen, Selakar, dan Lingga.

9. GERSANG

arga Gersang, marga ini bersaudara dengan Siboro yang sama-sama datang dari Purba Sigulang Batu lalu merantau ke Bukit Lehu dan menikah dengan beru Manik puteri dari Raja Mandida Manik di Suak Pegagan. Salah seorang keturunannya ada yang memiliki keahlian meramu obat sehingga dikenal juga dengan sebutan Datu Parulas dan menyumpit burung yang juga digelari dengan Pangultop. Dalam perburuannya ia sampai ke Naga Mariah tanah ulayat marga Sinaga, di mana pada masa itu Tuan Naga Mariah tengah mendapat ancaman dari musuh yang datang dari Kerajaan Siantar, berkat bantuan si Girsang musuh dari Siantar dapat diatas. Atas jasanya, Tuan Naga Mariah kemudian menikahkannya dengan puterinya dan menyerahkan kekuasaan padanya. Adapun penduduk asli tempat itu yaitu marga Sinaga banyak yang mengungsi ke Batu Karang dan menjadi marga Peranginangin Bangun. Di tempat itu, Si Girsang kemudian mendirikan kampung Naga Saribu sebagai ibukota Kerajaan Silima Huta dengan menggabungkan lima kampung yaitu Rakutbesi, Dolog Panribuan, Saribu Jandi, Mardingding, dan Nagamariah. Marga ini terbagi lagi menjadi Girsang Jabu Bolon, Girsang Na Godang, Girsang Parhara, Girsang Rumah Parik, dan Girsang Rumah Bolon. Sebagian keturunannya pindah ke tanah Karo menjadi Tarigan Gersang. Adapun keturunan Purba Silangit ada juga yang menggabungkan diri dengan marga ini yang disebut dengan Girsang Silangit.

10. TEGUR

Marga Tegur, pecahan Purba Tambak atau Purba Sigumondrong yang berasal dari Huta Togur di Dolog Silou. Marga ini mendiami daerah Suka.

11. CINGKES

Marga Cingkes, pecahan Tarigan Tambak di Cingkes (Tingkos) di Dolog Silou.

12. SAHING

Marga Sahing, pecahan Tarigan Girsang dari Huta Saing di Dolog Silou. Di tanah Karo marga ini mendirikan kampung Sinaman.

13. PEKAN

Marga Pekan, pecahan Tarigan Tambak. Di tanah Karo, marga ini mendiami daerah Sukanalu dan Namo Enggang.

14. GANAGANA

Marga Ganagana, marga ini ditemukan di sekitar Batu Karang.

15. BONDONG

Marga Bondong, marga ini banyak ditemukan di Lingga.

16. JAMPANG

Marga Jampang, marga ini mendiami daerah Pergendangen.

17. KERENDEM

Marga Kerendam, menurut Brahma Putro adalah pecahan dari Tarigan Tua, marga ini pindah ke Kuala Pulo Berayan dan salah seorang keturunannya yang bernama Si Nuan Kata pindah ke Siak dan menjadi Sultan disana.

sumber :

1. Brahma Putro, Karo Dari Zaman Ke Zaman

2. Darwan-Darwin Prinst, Kebudayaan Karo

3. Pustaka Alim Kembaren

4. J.H. Neumann: Batak-Karo Stammen

5. Keputusan Kongres Kebudayaan Karo, 3 Desember 1995

6. Naskah Kuno Partingkian Bandar Hanopan

Wilayah Karo

Siwaluh Jabu
(Rumah tradisional masyarakat Karo)
Siwaluh Jabu tempo dulu di Kabanjahe
Siwaluh Jabu di Desa Dokan

Sering terjadi kekeliruan dalam percakapan sehari-hari dimana wilayah Karo hanya diidentikkan dengan Kabupaten Karo. Padahal, Taneh Karo (Tanah Karo) jauh lebih luas daripada Kabupaten Karo meliputi:

Kabupaten Karo

 
Tanah Karo (1917)

Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi Karo. Wilayah yang terkenal di kabupaten ini adalah Berastagi dan Kabanjahe. Berastagi merupakan salah satu kota turis di Sumatra Utara yang sangat terkenal dengan produk pertaniannya yang unggul. Salah satunya adalah buah jeruk dan produk minuman yang terkenal, jus markisa. Mayoritas suku Karo bermukim di daerah pegunungan ini, tepatnya di daerah Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak yang sering disebut sebagai atau "Taneh Karo Simalem". Banyak keunikan-keunikan terdapat pada masyarakat Karo, baik dari geografis, alam, maupun bentuk masakan. Masakan Karo, salah satu yang unik adalah trites. Trites ini disajikan pada saat pesta budaya, seperti pesta pernikahan, pesta memasuki rumah baru, dan pesta tahunan yang dinamakan -kerja tahun-. Trites ini bahannya diambil dari isi lambung sapi/kerbau, yang belum dikeluarkan sebagai kotoran. Bahan inilah yang diolah sedemikian rupa dicampur dengan bahan rempah-rempah sehingga aroma tajam pada isi lambung berkurang dan dapat dinikmati. Masakan ini merupakan makanan istimewa yang di suguhkan kepada yang dihormati.

Kota Medan

Pendiri Kota Medan adalah seorang putra Karo yaitu Guru Patimpus Sembiring Pelawi. Sebagian sejarawan dan pemerhati budaya juga memercayai bahwa asal mula nama Kota Medan berasal dari bahasa Karo, madan yang berarti "obat". Namun pendapat ini masih menjadi pro dan kontra karena terdapat beberapa versi mengenai asal mula nama Medan.

Kota Binjai

Kota Binjai merupakan daerah yang memiliki interaksi paling kuat dengan Kota Medan disebabkan oleh jaraknya yang relatif sangat dekat dari Kota Medan sebagai ibu kota Provinsi Sumatra Utara. Nama "Binjai" juga dipercaya berasal dari gabungan kedua kosakata bahasa Karo, ben dan i-jei yang artinya "bermalam di sini". Hal tersebut kemudian diucapkan "Binjei" dan menjadi "Binjai" hingga sekarang.

Kabupaten Langkat

Orang Karo di Kabupaten Langkat mendiami daerah hulu, seperti Bahorok, Kutambaru, Sei Bingai, Kuala, Salapian, Selesai, Batang Serangan, dan Serapit. Teluk Aru yang berada di Langkat Hilir juga pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Aru, kerajaan bercorak Karo-Melayu yang dimana menjadi leluhur dari raja dan sultan Melayu Sumatera Timur.

Kabupaten Dairi

Wilayah Kabupaten Dairi pada umumnya subur dengan kemakmuran masyarakatnya melalui perkebunan kopinya yang berkualitas. Sebagian Kabupaten Dairi yang merupakan bagian Taneh Karo adalah:

Kabupaten Aceh Tenggara

Taneh Karo di Kabupaten Aceh Tenggara meliputi:

Kabupaten Deli Serdang

Kabupaten Simalungun

Marga

Suku Karo memiliki sistem kemasyarakatan atau adat yang dikenal dengan nama merga silima, tutur siwaluh, dan rakut sitelu. Merga disebut untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan disebut beru. Merga atau beru ini disandang di belakang nama seseorang. Merga dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok utama (marga inti/pokok), yang disebut dengan merga silima. Kelima merga tersebut adalah:

 
Marga Utama (merga silima)
Ginting Karo-karo Perangin-angin Sembiring Tarigan
Sub-marga Ajartambun Barus Bangun Brahmana Bondong
Babo Bukit Benjerang Bunuhaji Gana-Gana
Beras Gurusinga Kacinambun Busok Gersang
Guru Patih Kaban Keliat Colia Gerneng
Garamata Kacaribu Laksa Depari Jampang
Jandibata Karosekali Limbeng Gurukinayan Kerendam
Jawak Kemit Mano Keling Purba
Manik Ketaren Namohaji Keloko Pekan
Munte Manik Pencawan Kembaren Sibero
Pase Paroka Penggarus Maha Silangit
Seragih Purba Perbesi Meliala/Milala Tambun
Suka Samura Pinem Muham Tambak
Sugihen Sinubulan Sebayang Pandia Tegur
Sinusinga Sinuhaji Singarimbun Pandebayang Tendang
Tumangger Sinukaban Sinurat Pelawi Tua
Sinulingga Sukatendel Sinukapar
Sinuraya Tanjung Sinulaki
Sitepu Ulunjandi Sinupayung
Surbakti Uwir Tekang
Torong
Ujung

Kelima marga Karo tersebut mempunyai sub-marga masing-masing, dimana setiap orang Karo mempunyai salah satu dari merga tersebut. Marga diperoleh secara turun termurun dari ayah, marga ayah juga merga anak. Orang yang mempunyai merga atau beru yang sama, dianggap bersaudara dalam arti mempunyai nenek moyang yang sama. Jikalau laki-laki bermarga sama, maka mereka disebut (b)ersenina. Demikian juga antara perempuan dengan perempuan yang mempunyai beru yang sama, maka mereka disebut juga (b)ersenina. Namun antara seorang laki-laki dengan perempuan yang bermerga sama, mereka disebut erturang, sehingga dilarang melakukan perkawinan, kecuali pada merga Sembiring (Sembiring Kembaren).

Falsafah kemasyarakatan

 
Pasangan pengantin pria dan wanita menikah dengan pakaian adat Karo lengkap dengan Uis dan tudung Karo untuk perempuan, serta bekabuluh untuk laki-laki

Hal lain yang penting dalam susunan masyarakat Karo adalah rakut sitelu, yang artinya secara metaforik adalah Tungku Nan Tiga, yang berarti Ikatan yang Tiga. Arti rakut sitelu tersebut adalah Sangkep Nggeluh (Kelengkapan Hidup) bagi orang Karo. Kelengkapan yang dimaksud adalah lembaga sosial yang terdapat dalam masyarakat Karo yang terdiri dari tiga kelompok, yaitu :

  1. Kalimbubu
  2. Anak Beru
  3. Sembuyak
  • Kalimbubu dapat didefinisikan sebagai keluarga pemberi istri.
  • Anak Beru yaitu keluarga yang mengambil atau menerima istri.
  • Sembuyak adalah keluarga satu galur keturunan merga atau keluarga inti.

Orang Karo mempunyai salam khas yaitu Mejuah-juah atau lengkapnya adalah mejuah-juah kita kerina yang memiliki arti sehat-sehat kita semua, baik-baik kita semua, kedamaian, kesehatan, kebaikan untuk kita semua.

Sistem kekerabatan

 
Kedua mempelai dari suku Karo berbusana adat Karo

Tutur Siwaluh adalah konsep kekerabatan masyarakat Karo, yang berhubungan dengan penuturan, yaitu terdiri dari delapan golongan:

  1. Puang Kalimbubu
  2. Kalimbubu
  3. Senina
  4. Sembuyak
  5. Senina Sipemeren
  6. Senina Sepengalon/Sedalanen
  7. Anak Beru
  8. Anak Beru Menteri

Dalam pelaksanaan upacara adat, Tutur Siwaluh ini masih dapat dibagi lagi dalam kelompok-kelompok lebih khusus sesuai dengan keperluan dalam pelaksanaan upacara yang dilaksanakan, yaitu sebagai berikut :

  1. Puang Kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu seseorang
  2. Kalimbubu adalah kelompok pemberi istri kepada keluarga tertentu. Kalimbubu ini dapat dikelompokkan lagi menjadi :
    • Kalimbubu Bena-bena atau Kalimbubu Tua, yaitu kelompok pemberi istri kepada kelompok tertentu yang dianggap sebagai kelompok pemberi istri adalah dari keluarga tersebut. Misalnya A bermerga Sembiring bere-bere Tarigan, maka Tarigan adalah Kalimbubu Si A. Jika A mempunyai anak, maka merga Tarigan adalah Kalimbubu Bena-bena / Kalimbubu Tua dari anak A. Jadi Kalimbubu Bena-bena atau Kalimbubu Tua adalah kalimbubu dari ayah kandung.
    • Kalimbubu Simada Dareh adalah berasal dari ibu kandung seseorang. Kalimbubu Simada Dareh adalah saudara laki-laki dari ibu kandung seseorang. Disebut Kalimbubu Simada Dareh karena mereka yang dianggap mempunyai keturunan sedarah, karena sedarah maka itu juga yang terdapat dalam diri keponakannya.
    • Kalimbubu Iperdemui, yaitu yang berarti kalimbubu yang dijadikan kalimbubu oleh karena seseorang mengawini putri dari satu keluarga untuk pertama kalinya. Maka seseorang itu yang menjadi kalimbubu adalah berdasarkan perkawinan.
  3. Senina, yaitu mereka yang bersaudara karena mempunyai merga dan submerga yang sama.
  4. Sembuyak, yaitu secara harfiah artinya adalah satu dan Mbuyak yang artinya adalah kandungan. Maka artinya adalah orang-orang yang lahir dari kandungan atau rahim yang sama. Namun dalam masyarakat Karo istilah ini digunakan untuk senina yang berlainan sub-merga juga, dalam bahasa Karo disebut Sindauh Ipedeher (Yang jauh menjadi dekat).
  5. Sipemeren, yaitu orang-orang yang ibu-ibu mereka bersaudara kandung. Bagian ini didukung lagi oleh pihak Siparibanen, yaitu orang-orang yang mempunyai istri yang bersaudara.
  6. Senina Sepengalon atau Sendalanen, yaitu orang yang bersaudara karena mempunyai anak-anak yang memperistri dari beru yang sama.
  7. Anak beru, yang berarti pihak yang mengambil istri dari suatu keluarga tertentu untuk diperistri. Anak beru dapat terjadi secara langsung karena mengawini wanita keluarga tertentu, dan secara tidak langsung melalui perantaraan orang lain, seperti Anak Beru Menteri dan Anak Beru Singikuri. Anak beru ini terdiri lagi sebagai berikut :
    • Anak Beru Tua, adalah anak beru dalam satu keluarga turun temurun. Paling tidak tiga generasi telah mengambil istri dari keluarga tertentu (Kalimbubu-nya). Anak Beru Tua adalah anak beru yang utama, karena tanpa kehadirannya dalam suatu upacara adat yang dibuat oleh pihak kalimbubu-nya, maka upacara tersebut tidak dapat dimulai. Anak Beru Tua juga berfungsi sebagai Anak Beru Singerana (sebagai pembicara), karena fungsinya dalam upacara adat sebagai pembicara dan pemimpin keluarga dalam keluarga kalimbubu dalam konteks upacara adat.
    • Anak Beru Cekoh Baka Tutup, yaitu anak beru yang secara langsung dapat mengetahui segala sesuatu di dalam keluarga kalimbubu-nya. Anak Beru Cekoh Baka Tutup adalah anak saudara perempuan dari seorang kepala keluarga. Misalnya Si A seorang laki-laki, mempunyai saudara perempuan Si B, maka anak Si B adalah Anak Beru Cekoh Baka Tutup dari Si A. Dalam panggilan sehari-hari anak beru disebut juga Bere-bere Mama.
  8. Anak Beru Menteri, yaitu anak berunya si anak beru. Asal kata Menteri adalah dari kata Minteri yang berarti meluruskan. Jadi anak beru minteri mempunyai pengertian yang lebih luas sebagai petunjuk, mengawasi serta membantu tugas kalimbubu-nya dalam suatu kewajiban dalam upacara adat. Ada pula yang disebut Anak Beru Singkuri, yaitu anak beru-nya si Anak Beru Menteri. Anak beru ini mempersiapkan hidangan dalam konteks upacara adat.

Bahasa dan Aksara

 
Ukiran dari sebuah tulisan ratapan Karo (Bilang-bilang) menggunakan aksara Karo pada media bambu

Bahasa Karo merupakan bahasa Austronesia dan digolongkan dalam Rumpun Bahasa Batak bagian utara[6] yang utamanya dituturkan oleh masyarakat Karo di wilayah Kabupaten Karo, Kabupaten Langkat, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Dairi, dan Kota Medan.

Aksara yang digunakan oleh orang Karo adalah tulisen Karo yang merupakan varian dari Surat Batak. Aksara ini adalah aksara kuno yang dipergunakan oleh masyarakat Karo, akan tetapi pada saat ini penggunaannya sangat terbatas bahkan hampir tidak pernah digunakan lagi.

Kalender Karo

Nama-nama bulan

Adapun nama-nama bulan dan binatang atau benda apa yang bersamaan dengan bulan bersangkutan adalah sebagai berikut:

  • Bulan Sipaka sada merupakan bulan kambing
  • Bulan Sipaka dua merupakan bulan lembu
  • Bulan Sipaka telu merupakan bulan gaya (cacing)
  • Bulan Sipaka empat merupakan bulan padek (katak)
  • Bulan Sipaka lima merupakan bulan arimo (harimau)
  • Bulan Sipaka enem merupakan bulan kuliki (elang)
  • Bulan Sipaka pitu merupakan bulan kayu
  • Bulan Sipaka waluh merupakan bulan tambok (kolam)
  • Bulan Sipaka siwah merupakan bulan gayo (kepiting)
  • Bulan Sipaka sepuluh merupakan bulan belobat, baluat atau balobat (sejenis alat musik tiup)
  • Bulan Sipaka sepuluh sada merupakan bulan batu
  • Bulan Sipaka sepuluh dua merupakan bulan binurung (ikan)

Nama-nama hari

Nama-nama hari pada suku Karo apabila diperhatikan banyak miripnya dengan kata-kata bahasa Sanskerta. Setiap hari dari tanggal itu mempunyai makna atau pengertian tertentu. Oleh karena itu apabila seseorang hendak merencanakan sesuatu, misalnya keberangkatan ke tempat jauh, berperang ke medan laga, memasuki rumah baru dan berbagai kegiatan lainnya. selalu dilihat harinya yang dianggap paling cocok. Di sinilah besarnya peranan "guru si beloh niktik wari" (dukun/orang tua yang pintar melihat hari dan bulan yang baik dan serasi), yang dengan perhitungannya secara saksama, ia menyarankan agar suatu acara yang direncanakan dilakukan pada hari X.

Adapun nama yang 30 dalam satu bulan adalah sebagai berikut:

  1. Aditia
  2. Suma
  3. Nggara
  4. Budaha
  5. Beras pati
  6. Cukra enem
  7. Belah naik
  8. Aditia naik
  9. Sumana siwah
  10. Nggara sepuluh
  11. Budaha ngadep
  12. Beras pati tangkep
  13. Cukera dudu (lau)
  14. Belah purnama raya
  15. Tula
  16. Suma cepik
  17. Nggara enggo tula
  18. Budaha gok
  19. Beras pati
  20. Cukra si 20
  21. Belah turun
  22. Aditia turun
  23. Sumana mate
  24. Nggara simbelin
  25. Budaha medem
  26. Beras pati medem
  27. Cukrana mate
  28. Mate bulan ngulak
  29. Dalan bulan
  30. Sami sara

Budaya dan Kesenian

 
Museum Pusaka Karo di Berastagi

Orang Karo mempunyai beberapa kebudayaan tradisional, mulai dari kesenian (sastra), dan tari tradisional. Beberapa tari tradisional Karo adalah:

  • Piso Surit
  • Tari Lima Serangkai
  • Tari Terang Bulan
  • Tari Baka
  • Tari Ndikkar
  • Tari Ndurung
  • Tari Tongkat
  • Tari Sigundari
  • Tari Mbuah Page
  • Tari Tiga Sibolangit
  • Pantun
  • Petatah petitih
  • Petuah
  • Syair (bersyair)
  • Senandung/nandung (dendang)
  • Gendang
  • Guro Aron-aron
  • Gurindam
  • Anding-andingen
  • Kuan-kuanen
  • Bilang-bilang (ratapan)
  • Cakap Lumat
  • Dengang Duka
  • Gundala Gundala
  • Tari sambut/tari penyambutan/tari persembahan (Tari Mejuah-juah)

Seni bela diri (Silat Karo)

Seni bela diri orang karo merupakan Silat Karo yang dalam bahasa Karo disebut ndikar. Kata tersebut mulai jarang digunakan masyarakat Karo sehingga kini asing terdengar. Masyarakat Karo dewasa ini cenderung menyebutnya dengan nama Silat Karo saja.

Kata ndikar untuk penamaan bela diri/silat dalam bahasa Karo kadang kerap disamakan dengan kata pandikar. Kata ndikar hanya untuk menyebut silat/bela diri, sedangkan pandikar merupakan seseorang yang mempunyai ilmu bela diri yang tinggi atau bisa juga orang yang mendalami ilmu bela diri dan memiliki ilmu bela diri.

Seni Musik

 
Instrumen alat-alat musik tradisional Karo.

Alat musik tradisional suku Karo adalah Gendang Karo. Biasanya disebut Gendang “Lima Sedalinen” yang artinya seperangkat gendang tari yang terdiri dari lima unsur.

Unsur disini terdiri dari beberapa alat musik tradisional Karo seperti kulcapi, balobat, surdam, keteng-keteng, murhab, serune, gendang si ngindungi, sendang si nganaki, penganak dan gung. Alat tradisional ini sering digunakan untuk menari, menyanyi dan berbagai ritus tradisi.

Jadi gendang Karo sudah lengkap (lima sedalinen) jika sudah ada serune, gendang si ngindungi, gendang si nganaki, penganak dan gung dalam mengiringi sebuah upacara atau pesta.

Seni Tari

 
Pasangan Karo menari

Tari dalam bahasa Karo disebut "landek". Pola dasar tari Karo adalah posisi tubuh, gerakan tangan, gerakan naik turun lutut (endek) disesuaikan dengan tempo gendang dan gerak kaki. Pola dasar tarian itu ditambah dengan variasi tertentu sehinggga tarian tersebut menarik dan indah.

Tarian berkaitan adat misalnya memasuki rumah baru, pesta perkawinan, upacara kematian dan lain-lain. Tarian berkaitan dengan ritus dan religi biasa dipimpin oleh guru (dukun). Misalnya tari mulih-mulih, tari tungkat, erpangir ku lau, tari baka, tari begu deleng, tari muncang, dan lain-lain.

Tarian berkaitan dengan hiburan digolongkan secara umum. Misalnya tari gundala-gundala, tari ndikkar dan lain-lain. Sejak tahun 1960 tari Karo bertambah dengan adanya tari kreasi baru. Misalnya tari lima serangkai yang dipadu dari lima jenis tari yaitu tari morah-morah, tari perakut, tari cipa jok, tari patam-patam lance dan tari kabang kiung. Setelah itu muncul pula tari piso surit, tari terang bulan, tari roti manis dan tari tanam padi.

Seni Ukir/Pahat

Keragaman seni pahat dan ukir suku Karo terlihat dari corak ragam bangunannya. Dulu orang yang ahli membuat bangunan Karo disebut "Pande Tukang".

Hal ini terlihat dari jenis-jenis bangunan Karo seperti rumah Siwaluh Jabu, Geriten, Jambur, Batang, Lige-lige, Kalimbaban, Sapo Gunung, dan Lipo. Seni ukir yang menjadi kekayaan kesenian Karo terlihat pada setiap ukiran bangunannya seperti Ukir Cekili Kambing, Ukir Ipen-Ipen, Ukir Embun Sikawiten, Ukir Lipan Nangkih Tongkeh, Ukir Tandak Kerbo Payung, Ukir Pengeretret, dan Ciken.

Suku Karo juga memiliki drama tradisional yang disebut dengan Gundala-Gundala.

Kegiatan Kebudayaan dan Adat-istiadat

  • Merdang Merdem = "Kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".
  • Mahpah = "Kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".
  • Mengket Rumah Mbaru - Pesta perayaan memasuki rumah (adat/ibadat) baru.
  • Mbesur-mbesuri - "Mengenyangkan" memberi makan untuk wanita yang hamil 7 bulan, dengan harapan memenuhi keinginannya sebelum melahirkan.
  • Cawir Metua = Upacara adat/ritual kematian
  • Ndilo Udan - Memanggil hujan.
  • Rebu-rebu - Mirip dengan pesta "kerja tahun".
  • Ngumbung - Hari jeda "aron" (kumpulan pekerja di desa).
  • Erpangir Ku Lau - Penyucian diri (untuk membuang sial).
  • Raleng Tendi - "Ngicik Tendi" , yaitu memanggil jiwa setelah seseorang kurang tenang karena terkejut secara suatu kejadian yang tidak disangka-sangka.
  • Motong Rambai - Pesta kecil keluarga - handai taulan untuk memanggkas habis rambut bayi (balita) yang terjalin dan tidak rapih.
  • Ngaloken Cincin Upah Tendi - Upacara keluarga pemberian cincin permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere atau dari Bibi ke Permain).
  • Manok Sangkepi
  • Mbaba Belo Selambar (MBS) - rangkaian ritus Pernikahan adat Karo
  • Ngaloken Rawit - Upacara keluarga pemberian pisau (tumbuk lada) atau belati atau clurit kecil yang berupa permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere) - keponakan laki-laki.

Kuliner khas

Makanan

 
Rumah makan babi panggang karo di Tigapanah

Kuliner Karo banyak ragamnya, salah satu yang terkenal adalah babi panggang karo, sering disingkat sebagai BPK. Babi panggang karo dibuat dengan cara memanggang babi yang sebelumnya telah diberi bumbu khas, yang di dalamnya terdapat tuba atau andaliman. Umumnya orang Karo yang menjual babi panggang karo di warung makan ataupun restoran, namun tidak jarang juga ditemukan orang non-Karo yang juga menjual hidangan tersebut seperti orang Batak Toba, Nias, dan lain-lain.

Kuliner Karo lainnya meliputi: kidu-kidu, manuk getah, arsik nurung mas, cimpa, unung-unung, cincang bohan, pagit-pagit, trites, gule kuta-kuta (gulai ayam kampung), tasak telu, mi keling, bihun bebek, bika ambon, lemang Karo, cipera, anyang pakis, gule bulung gadung, dan lain-lain.

Minuman

Selain makanan, minuman khas Karo pun banyak macam ragamnya. Minuman yang terkenal adalah susu kitik, yaitu teh susu telur khas Karo. Minuman ini umumnya disajikan di warung kopi di daerah Karo.

Lagu daerah

Beberapa lagu yang berasal dari daerah Karo adalah:

  • Piso Surit
  • Mbiring Manggis
  • Mejuah-juah
  • Famili Teksi
  • Sora Mido
  • Tengguli Laneng
  • Pincala
  • Si Lampas Melumang
  • O Taneh Karo
  • Deleng Sinabung

Agama (kepercayaan)

 
Gereja GBKP dan masjid yang berhadapan di Perteguhen

Mayoritas orang Karo memeluk agama Kristen Protestan (57.5%), Kristen Katolik (18.7%), Islam (21.3%), dan Pemena (1.1%). Lalu ada sebagian kecil yang beragama Hindu dan Buddha yaitu sekitar 1.4%.

Sebagian kecil orang Karo di Dusun Pintu Besi menganut agama Hindu yang dimana memiliki kemiripan dengan agama Hindu Bali mulai dari tempat ibadah berupa pura hingga upacara keagamaan.[7]

Umumnya pemeluk agama Pemena (agama awal dan agama asli Karo) berada di desa yang berada di dekat atau di kaki Gunung Sinabung.

Pemeluk agama tradisional/kepercayaan lama lainnya dapat ditemui di pedalaman dan mereka nyaris punah. Agama lainnya pun terutama agama Buddha dapat ditemui di perkotaan namun jumlahnya sangat sedikit.

Gereja yang didominasi suku Karo

 
Gereja GBKP Kabanjahe

Tokoh

Galeri

Referensi

  1. ^ Ginting, Ray Brema (2016). "Kristen di Dataran Tinggi Karo Tahun 1890-1906". Kristen di Dataran Tinggi Karo Tahun 1890-1906. Repositori Institusi Universitas Sumatera Utara (RI-USU). 
  2. ^ Ginting, Dewi (2012-08-08). "SEJARAH BERKEMBANGNYA AGAMA ISLAM DI TANAH KARO SUMATERA UTARA PADA TAHUN 1980- 2010". Ginting, Dewi (2012) SEJARAH BERKEMBANGNYA AGAMA ISLAM DI TANAH KARO SUMATERA UTARA PADA TAHUN 1980- 2010. Undergraduate thesis, UNIMED. UNIMED. 
  3. ^ "Katolik di Tanah Karo: Kabanjahe, 1942-1970an". jurnal.ugm.ac.id. Jurnal Lembaran Sejarah, Vol. 11, No. 2, Oktober 2014 | Mahasiswa S1 Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada. Oktober 2014. 
  4. ^ Rasmamana, Edi Putra (2016-09-03). "PENYEBARAN AGAMA BUDDHA PADA MASYARAKAT KARO DI KABUPATEN LANGKAT". Rasmamana, Edi Putra (2016) PENYEBARAN AGAMA BUDDHA PADA MASYARAKAT KARO DI KABUPATEN LANGKAT. Undergraduate thesis, UNIMED. UNIMED. 
  5. ^ Voice of Nature, Volumes 85-95. Yayasan Indonesia Hijau. 1990. hlm. 45. 
  6. ^ https://petabahasa.kemdikbud.go.id/provinsi.php?idp=Sumatra%20Utara
  7. ^ [1]

Bacaan lanjutan terkait

  • Perangin-angin, Martin. (2004). Orang Karo Diantara Orang Batak. Pustaka Sora Mido

Pranala luar