Ali bin Abi Thalib
Artikel ini menggunakan kata-kata yang berlebihan dan hiperbolis tanpa memberikan informasi yang jelas. |
‘Alī bin Abī Thālib (bahasa Arab: علي بن أﺑﻲ طالب, bahasa Persia: علی پسر ابو طالب) (lahir sekitar 13 Rajab 23 SH/599 M – meninggal 21 Ramadan 40 H/661 M) adalah khalifah keempat yang berkuasa . Dia termasuk golongan pemeluk Islam pertama dan salah satu sahabat utama Nabi Muhammad. Secara silsilah, Ali adalah sepupu dari Nabi Muhammad. Pernikahan Ali dengan Fatimah az-Zahra juga menjadikannya sebagai menantu Muhammad.
Ali bin Abi Thalib علي بن أبي طالب | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Khalifah Kekhalifahan Rasyidin ke-4 | |||||||||
Berkuasa | 20 Juni 656 – 29 Januari 661 (4 tahun, 224 hari) | ||||||||
Pendahulu | Utsman bin 'Affan | ||||||||
Penerus | Hasan bin Ali (khalifah Kekhalifahan Hasan) | ||||||||
Imam sudut pandang Syi'ah | |||||||||
Berkuasa | 632–661 | ||||||||
Penerus | Hasan bin Ali | ||||||||
Kelahiran | 15 September 601 (13 Rajab 21 SH) Ka'bah, Makkah, Jazirah Arab[1] | ||||||||
Kematian | 29 Januari 661 (21 Ramadan 40 H) (usia 59)[2][3] Kufah, Kekhalifahan Rasyidin | ||||||||
Pemakaman | |||||||||
Pasangan |
| ||||||||
Keturunan | |||||||||
| |||||||||
Suku | Bani Hasyim (Quraisy) | ||||||||
Ayah | Abu Thalib | ||||||||
Ibu | Fatimah binti Asad | ||||||||
Agama | Islam |
Artikel ini merupakan bagian dari seri |
Ali bin Abi Thalib |
---|
Artikel ini merupakan bagian dari seri Syiah |
Syiah Dua Belas Imam |
---|
Sebagai salah satu pemeluk Islam awal, ia telah terlibat dalam berbagai peran besar sejak masa kenabian, meski usianya terbilang muda bila dibandingkan sahabat utama Muhammad yang lain. Ia mengikuti semua perang, kecuali Perang Tabuk, pengusung panji, juga berperan sebagai sekretaris dan pembawa pesan Muhammad, ia juga ditunjuk sebagai pemimpin pasukan pada Perang Khaibar.
Sepeninggal Muhammad, ia diangkat sebagai khalifah atau pemimpin umat Islam setelah Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Dalam sudut pandang Sunni, Ali bersama tiga pendahulunya digolongkan sebagai Khulafaur Rasyidin.[7]
Di sisi lain, kelompok Syiah memandang bahwa ia yang harusnya mewarisi kepemimpinan umat Islam begitu mangkatnya Muhammad atas tafsiran mereka dalam peristiwa Ghadir Khum, membuat kepemimpinan tiga khalifah sebelumnya dipandang tidak sah.
Masa kekuasaannya merupakan salah satu periode tersulit dalam sejarah Islam karena saat itulah terjadi perang saudara pertama dalam tubuh umat Muslim yang berawal dari terbunuhnya Utsman bin 'Affan, khalifah ketiga.
Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai status Ali dan hak kepemimpinannya atas umat Islam, Sunni dan Syiah sepakat mengenai pribadinya yang saleh dan adil.
Riwayat Hidup
Kelahiran & Kehidupan Keluarga
Kelahiran
Ali dilahirkan di Makkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, ia dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau 600 (perkiraan). Muslim Syi'ah percaya bahwa ia dilahirkan di dalam Ka'bah. Usia Ali terhadap Muhammad masih diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun.
Dia bernama asli Assad bin Abu Thalib, bapaknya Assad adalah salah seorang paman dari Muhammad ﷺ. Assad yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani di antara kalangan Quraisy Makkah.
Setelah mengetahui anaknya yang baru lahir diberi nama Assad,[butuh rujukan] Ayahnya memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi (derajat di sisi Allah).
Kehidupan Awal
Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, di mana Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu.
Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Muhammad karena dia tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Muhammad bersama istri dia Khadijah untuk mengasuhnya dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Muhammad sejak dia kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad.
Masa Remaja
Ketika Muhammad menerima wahyu, riwayat-riwayat lama seperti Ibnu Ishaq menjelaskan Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau orang ke 2 yang percaya setelah Khadijah istri Muhammad sendiri. Pada titik ini, Ali berusia sekitar 10 tahun.[butuh rujukan]
Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari Muhammad karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan Muhammad hal ini berkelanjutan hingga dia menjadi menantu Muhammad. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani (spirituality dalam bahasa Inggris atau kaum Salaf lebih suka menyebut istilah 'Ihsan') atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan Muhammad khusus kepada dia tetapi tidak kepada Murid-murid atau Sahabat-sahabat yang lain.
Karena bila ilmu Syari'ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun kemasyarakatan semua yang diterima Muhammad harus disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-masing.
Didikan langsung dari Muhammad kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zahir (eksterior) atau syariah dan batin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak.
Kehidupan di Makkah sampai Hijrah ke Madinah
Ali bersedia tidur di kamar Muhammad untuk mengelabui orang-orang Quraisy yang akan menggagalkan hijrah Muhammad. Dia tidur menampakkan kesan Muhammad yang tidur sehingga masuk waktu menjelang pagi mereka mengetahui Ali yang tidur, sudah tertinggal satu malam perjalanan oleh yang telah meloloskan diri ke Madinah bersama Abu Bakar.
Kehidupan Ali di Madinah
Pernikahan
Setelah masa hijrah dan tinggal di Madinah, Ali menikah dengan Fatimah az-Zahra, putri Muhammad. ia tidak menikah dengan wanita lain ketika Fatimah masih hidup. Tertulis dalam Tarikh Ibnu Atsir, setelah itu Ali menikah dengan Ummu Banin binti Haram, Laila binti Mas'ud, Asma binti Umais, Sahba binti Rabia, Umamah binti Abil Ash, Haulah binti Ja'far, Ummu Said binti Urwah, dan Mahabba binti Imru'ul Qais.[8]
Julukan
Ketika Muhammad mencari Ali menantunya, ternyata ia sedang tidur. Bagian atas pakaiannya tersingkap dan debu mengotori punggungnya. Melihat itu Muhammad pun lalu duduk dan membersihkan punggungnya sambil berkata, "Duduklah wahai Abu Turab, duduklah." Turab yang berarti debu atau tanah dalam bahasa Arab. Julukan tersebut adalah julukan yang paling disukai oleh Ali.
Pertempuran yang diikuti pada masa Muhammad
Perang Badar
Beberapa saat setelah menikah, pecahlah perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam. Di sini Ali betul-betul menjadi pahlawan disamping Hamzah, paman Muhammad. Banyaknya Quraisy Makkah yang tewas di tangan Ali masih dalam perselisihan, tetapi semua sepakat dia menjadi bintang lapangan dalam usia yang masih sangat muda sekitar 25 tahun.
Perang Khandaq
Perang Khandaq juga menjadi saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika memerangi Amar bin Abdi Wud. Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian.
Perang Khaibar
Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kukuh, biasa disebut dengan perang Khaibar. Di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Muhammad mengatakan:
- "Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, serta Allah dan Rasul-Nya pun mencintai dia. Allah akan membukakan dan memenangkan pertempuran ini melalui tangannya".
Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan anugerah kehormatan tersebut.Namun, tenyata Ali bin Abi Thalib yang mendapat kehormatan itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang terkenal jagoan dan pemberani bernama Marhab lalu menebasnya dengan sekali pukul hingga terbelah menjadi dua bagian.
Peperangan Lain
Hampir semua peperangan yang terjadi ia ikuti kecuali perang Tabuk karena ia mewakili Muhammad untuk memimpin kota Madinah.
Setelah kematian Muhammad
Sampai disini hampir semua pihak sepakat tentang riwayat Ali bin Abi Thalib, perbedaan pendapat mulai tampak ketika Muhammad meninggal dnia. Syi'ah berpendapat sudah ada wasiat (berdasar riwayat Ghadir Khum) bahwa Ali harus menjadi Khalifah setelah kematian Muhammad. Tetapi Sunni tidak sependapat, sehingga pada saat Ali dan Fatimah masih berada dalam suasana duka orang-orang Quraisy bersepakat untuk membaiat Abu Bakar.
Burut riwayat dari Al-Ya'qubi dalam kitab Tarikh-nya Jilid II Menyebutkan suatu peristiwa sebagai berikut. Dalam perjalan pulang ke Madinah seusai menunaikan ibadah haji ( Hijjatul-Wada'), malam hari Muhammad bersama rombongan tiba di suatu tempat dekat Jifrah yang dikenal dengan nama Ghadir Khum. Hari itu adalah hari ke-18 bulan Dzulhijah. Ia keluar dari kemahnya kemudi a berkhutbah di depan jamaah sambil memegang tangan Imam Ali bin Abi Thalib Dalam khutbahnya itu antara lain dia berkata: "Barang siapa menanggap aku ini pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya. Ya Allah, pimpinlah orang yang mengakui kepemimpinannya dan musuhilah orang yang memusuhinya".
Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah tentu tidak disetujui keluarga Muhammad, Ahlul Bait, dan pengikutnya. Beberapa riwayat berbeda pendapat waktu pem-bai'at-an Ali bin Abi Thalib terhadap Abu Bakar sebagai Khalifah pengganti Muhammad. Ada yang meriwayatkan setelah Muhammad dimakamkan, ada yang beberapa hari setelah itu, riwayat yang terbanyak adalah Ali membai'at Abu Bakar setelah Fatimah meninggal, yaitu enam bulan setelah meninggalnya Muhammad demi mencegah perpecahan dalam ummat.
Ada yang menyatakan bahwa Ali belum pantas untuk menyandang jabatan Khalifah karena umurnya yang masih muda, ada pula yang menyatakan bahwa kekhalifahan dan kenabian sebaiknya tidak berada di tangan Bani Hasyim.
Sebagai khalifah
Peristiwa pembunuhan terhadap Khalifah 'Utsman bin Affan mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia Islam yang waktu itu sudah membentang sampai ke Persia dan Afrika Utara. Pemberontak yang waktu itu menguasai Madinah tidak mempunyai pilihan lain selain Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, waktu itu Ali berusaha menolak, tetapi Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah memaksa dia, sehingga akhirnya Ali menerima bai'at mereka. Menjadikan Ali satu-satunya Khalifah yang dibai'at secara massal, karena khalifah sebelumnya dipilih melalui cara yang berbeda-beda.
Sebagai Khalifah ke-4 yang memerintah selama sekitar 5 tahun. Masa pemerintahannya mewarisi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintah Khalifah sebelumnya, Utsman bin Affan. Untuk pertama kalinya perang saudara antara umat Muslim terjadi saat masa pemerintahannya, Pertempuran Basra. 20.000 pasukan pimpinan Ali melawan 30.000 pasukan pimpinan Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, dan Ummul mu'minin Aisyah binti Abu Bakar, Istri Muhammad. Perang tersebut dimenangkan oleh pihak Ali.
Peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan yang menurut berbagai kalangan waktu itu kurang dapat diselesaikan karena fitnah yang sudah telanjur meluas dan sudah diisyaratkan (akan terjadi) oleh Muhammad ketika dia masih hidup, dan diperparah oleh hasutan-hasutan para pembangkang yang ada sejak zaman Utsman bin Affan, menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslim sehingga menyebabkan perang tersebut. Tidak hanya selesai di situ, konflik berkepanjangan terjadi hingga akhir pemerintahannya. Pertempuran Shiffin yang melemahkan kekhalifannya juga berawal dari masalah tersebut. Ali bin Abi Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang, mengalami kesulitan dalam administrasi negara karena kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan sebelumya.
Pembunuhan di Kufah
Pada tanggal 19 Ramadan 40 Hijriyah, atau 27 Januari 661 Masehi, saat sholat di Masjid Agung Kufah, Ali diserang oleh seorang Khawarij bernama Abdurrahman bin Muljam. Dia terluka oleh pedang yang diracuni oleh Abdurrahman bin Muljam saat ia sedang bersujud ketika sholat subuh.[9] Ali memerintahkan anak-anaknya untuk tidak menyerang orang Khawarij tersebut, ia malah berkata bahwa jika dia selamat, Abdurrahman bin Muljam akan diampuni sedangkan jika dia meninggal, Abdurrahman bin Muljam hanya diberi satu pukulan yang sama (terlepas apakah dia akan meninggal karena pukulan itu atau tidak).[10]
Ia meninggal dua hari kemudian pada tanggal 29 Januari 661 (21 Ramadan 40 Hijriyah).[9][11] Hasan bin Ali memenuhi Qisas dan memberikan hukuman yang sama kepada Abdurrahman bin Muljam atas kematiannya.[12]
Keluarga
Orangtua dan moyang
Ayah — 'Imran (sekitar 539 – sekitar 619). Lebih dikenal dengan nama Abu Thalib. Pemimpin Bani Hasyim. Salah satu pelindung utama Muhammad di Makkah. Terdapat perbedaan pendapat, utamanya antara kalangan Sunni dan Syi'ah, mengenai status keislamannya. Menurut Sunni, Abu Thalib tidak masuk Islam sampai akhir hayatnya, sementara Syi'ah memandang bahwa Abu Thalib adalah seorang Muslim.
- Kakek — Syaibah bin Hasyim. Lebih dikenal dengan 'Abdul Muttalib.
- Nenek — Fatimah binti Amr dari Bani Makhzum
Ibu — Fatimah binti Asad.
- Kakek — Asad bin Hasyim
- Nenek — Fatimah binti Qais
Pasangan dan keturunan
'Ali menikahi delapan istri setelah meninggalnya Fatimah az-Zahra.[8][13]
- Fatimah (615–632). Putri bungsu Muhammad dan Khadijah binti Khuwailid.
- Hasan (624–670). Menjadi khalifah selama enam atau tujuh bulan pada tahun 661.
- Husain (625–680). Menikah dengan Syahrbanu, putri Yazdegerd III, Kaisar Sasaniyah terakhir. Terbunuh dalam Pertempuran Karbala.
- Zainab (626–681). Menikah dengan sepupunya, 'Abdullah bin Ja'far bin Abu Thalib.
- Zainab As-Sughra (Zainab Kecil), juga dikenal dengan Ummu Kultsum. Menikah dengan Umar bin Khattab. Mahar untuk pernikahannya sebesar 40.000 dirham[14] dan mereka hidup sebagai suami istri pada tahun 638.[15] Tercatat Ummu Kultsum pernah memberikan hadiah parfum kepada Permaisuri Martina, istri Kaisar Romawi Timur Heraklius. Sebagai balasan, Martina menghadiahi kalung kepada Ummu Kulstum. Namun 'Umar yang percaya bahwa istrinya tak seharusnya ikut campur dalam urusan kenegaraan akhirnya menyerahkan kalung tersebut ke dalam perbendaharaan negara.[16] Dalam sudut pandang Syi'ah, pernikahan antara Ummu Kulstum dan 'Umar adalah kisah rekaan.[17]
- Muhsin. Terlahir mati.
- Khaulah binti Ja'far dari Bani Hanifah. Saat masyarakat Yamamah menolak membayar zakat sepeninggal Muhammad, Khalifah Abu Bakar memerangi mereka. Khaulah dan beberapa wanita lain ditawan sebagai budak dan dibawa ke Madinah. Saat sukunya mengetahui nasib Asma, mereka mendatangi 'Ali bin Abi Thalib untuk membebaskannya dari perbudakan dan melindungi martabat keluarganya. 'Ali kemudian membeli Asma dan membebaskannya, kemudian menikahinya.
- Muhammad bin al-Hanafiyah (637–700)
- Umamah binti Abi al-Ash bin ar-Rabi'. Ibunya adalah Zainab, putri tertua Muhammad dan Khadijah binti Khuwailid. Ayahnya adalah Abu al-Ash bin ar-Rabi' dari Bani Abdu Syams.
- Muhammad al-Ausath
- Fatimah binti Hizam. Juga dikenal dengan Ummul-Banin. Berasal dari Bani Kilab.
- Laila binti Mas'ud
- Asma' binti Umais. Secara keseluruhan, Asma menikah sebanyak tiga kali dan 'Ali adalah suami terakhirnya. Suami pertama Asma adalah saudara 'Ali sendiri, Ja'far bin Abi Thalib. Suami keduanya adalah Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq.
- Yahya
- Aun
- Ash-Shahba' binti Rabi'ah
- 'Umar
- Ruqayyah. Dikatakan mengungsi ke anak benua India dan mendakwahkan Islam di sana setelah Pertempuran Karbala.
- Ummu Sa'id binti Urwah
- Ummul Hasan
- Ramlah Kubra
- Mahabba binti Imru'ul Qais
- seorang putri, meninggal ketika masih kecil
- Ummu walad
- Muhammad al-Ashghar
Banyak keturunan Ali yang tewas terbunuh dalam Pertempuran Karbala. Keturunannya yang masih ada saat ini merupakan para keturunan dari Hasan dan Husain (anak Fatimah), Muhammad bin al-Hanafiyah (anak Khaulah), Abbas (anak Ummul Banin), dan Umar (anak Ash-Shahba').[8]
Keturunan Ali melalui putranya Hassan dikenal dengan Syarif, dan dari jalur Hussein dikenal dengan Sayyid. Sebagai keturunan langsung Muhammad, mereka dihormati oleh Sunni dan Syi'ah. Keturunan Ali secara kesuluruhan dari para istrinya dikenal sebutan dengan Alawiyin atau Alawiyah.
Lihat pula
Referensi
- ^ Rahim, Husein A.; Sheriff, Ali Mohamedjaffer (1993). Guidance From Qur'an (dalam bahasa Inggris). Khoja Shia Ithna-asheri Supreme Council. Diakses tanggal 11 April 2017.
- ^ Shad, Abdur Rahman. Ali Al-Murtaza. Kazi Publications; 1978 1st Edition. Mohiyuddin, Dr. Ata. Ali The Superman. Sh. Muhammad Ashraf Publishers; 1980 1st Edition. Lalljee, Yousuf N. Ali The Magnificent. Ansariyan Publications; January 1981 1st Edition.
- ^ Sallaabee, Ali Muhammad. Ali ibn Abi Talib (volume 2). hlm. 621. Diakses tanggal 15 December 2015.
- ^ Majmu' al-Fatawa, Ibnu Taimiyah, (27 / 446)
- ^ Wafayat al-A'yan, Ibnu Khallikan, (4 / 55)
- ^ Tarikh Baghdad, Al-Khathib al-Baghdadi, (1 / 136)
- ^ Biographies of the Prophet's companions and their successors, Ṭabarī, translated by Ella Landau-Tasseron, pp.37-40, Vol:XXXIX
- ^ a b c Sayyid Sulaiman Nadwi (2015). Ali bin Abi Thalib. Puspa Swara. hlm. 62. ISBN 978-979-1479-87-5.
- ^ a b Tabatabaei 1979, hlm. 192
- ^ Kelsay 1993, hlm. 92
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaIranica
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaMadelung 1997 p=309
- ^ The Life of Hadrat Ali
- ^ Muhammad ibn Jarir al-Tabari. Tarikh al-Rusul wa'l-Muluk. Translated by Smith, G. R. (1994). Volume 14: The Conquest of Iran, hlm. 101. Albany: State University of New York Press.
- ^ Muhammad ibn Jarir al-Tabari. Tarikh al-Rusul wa'l-Muluk. Translated by Juynboll, G. H. A. (1989). Volume 13: The Conquest of Iraq, Southwestern Persia, and Egypt, hlm. 109-110. Albany: State University of New York Press.
- ^ Muhammad ibn Jarir al-Tabari. Tarikh al-Rusul wa'l-Muluk. Translated by Humphreys, R. S. (1990). Volume 15: The Crisis of the Early Caliphate, hlm. 28. Albany: State University of New York Press
- ^ Umar's Marriage to Umm Kulthum in Shiite Narrations. (n.d) Retrieved from https://www.al-islam.org/critical-assessment-umm-kulthums-marriage-umar-sayyid-ali-al-husayni-al-milani/section-4-umars.
Pranala luar
- (Inggris) Ali bin Abi Talib oleh I. K. Poonawala dan E. Kohlberg dalam Encyclopedia Iranica
- (Inggris) Ali, artikel pada Enyclopaedia Britannica Online
- (Inggris) Biography from USC's MSA website Diarsipkan 2008-12-16 di Wayback Machine.
- (Inggris) The Life of the Commander of the Faithful Ali b. Abu Talib by Shaykh Mufid in Kitab al-Irshad
Ali bin Abi Thalib Cabang kadet Quraisy Lahir: 15 September 601 Meninggal: 29 Januari 661
| ||
Jabatan Islam Sunni | ||
---|---|---|
Didahului oleh: 'Utsman bin 'Affan |
Khalifah 20 Juni 656 – 29 Januari 661 |
Diteruskan oleh: Hasan bin 'Ali |
Jabatan Islam Syi'ah | ||
Jabatan baru | Imam 632–661 |
Diteruskan oleh: Hasan bin 'Ali |