Sastra hikmat

satra
Revisi sejak 27 Juli 2024 21.00 oleh Snow Lion Fenian (bicara | kontrib) (Ayub)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Sastra hikmat adalah karya sastra yang banyak memuat pengalaman-pengalaman hidup dan pengajaran-pengajaran yang ditampilkan secara ringkas dalam bentuk pepatah dan aforisme.[1] Biasanya sastra hikmat dituliskan dalam bentuk puisi.[1] Ribuan tahun sebelum bangsa Israel ada dalam sejarah, di wilayah Timur Dekat sudah berkembang sebuah jenis sastra yang dikenal sebagai sastra hikmat dan menggunakan baris-baris puisi.[1] Jenis sastra ini dimulai dalam bentuk susunan beberapa nasihat yang mandiri.[1] Di dalam kanon Alkitab Perjanjian Lama juga ditemukan tulisan-tulisan hikmat: Amsal, Ayub, Pengkhotbah,[2] Kebijaksanaan, Kidung Agung, Mazmur, dan Sirakh.[3][4]

Tujuan

sunting

Tulisan-tulisan hikmat Perjanjian Lama tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan pengungkapan dari suatu gerakan moral dan intelektual yang telah ada sejak dini dalam sejarah agama Ibrani.[2] Hal yang sama juga terjadi pada budaya-budaya agama di luar Israel.[2] Buku-buku hikmat memuat cerita tentang orang-orang yang sungguh-sungguh mencari kebenaran, yang bergumul dengan masalah-masalah lama dan baru.[2]

Proses pembuatan

sunting

Tradisi hikmat, baik tertulis ataupun lisan, bukan hanya hasil dari pengalaman tetapi juga bertolak dari anggapan bahwa pengalaman bukanlah bersifat menipu.[2] Pengalaman memberikan bukti kuat yang memungkinkan untuk mengambil keputusan-keputusan tertentu tentang hidup manusia dan dunia pada umumnya.[2] Hikmat dalam Alkitab dimaknai sebagai hikmat ilahi.[2] Lewat hikmat, Allah hadir dan menyatakan diri dalam kebutuhan-kebutuhan yang paling dalam dari manusia.[2] Hikmat di Perjanjian Lama sangat erat hubungannya dengan kenyataan-kenyataan iman Perjanjian Israel.[2]

Kitab-kitab hikmat dalam Alkitab

sunting

Contoh-contoh yang paling terkenal mengenai literatur atau sastra hikmat dapat ditemukan di dalam Alkitab.[5] Kitab-kitab Alkitab berikut ini dapat diklasifikasikan sebagai literatur hikmat: Kitab Ayub,[4] Kitab Mazmur,[3] Kitab Amsal,[4] Kitab Pengkhotbah,[4] Kitab Kidung Agung,[3] Kitab Kebijaksanaan,[4] dan Kitab Sirakh.[4] Dua kitab terakhir merupakan kitab-kitab deuterokanonika, ditempatkan di bagian Apokrifa dalam terjemahan-terjemahan Alkitab Protestan dan Anglikan.[6]

 
Gulungan Kitab Amsal dalam bahasa Ibrani

Menurut Amsal, hikmat ialah sesuatu yang bersifat praktis bukan mengenai dugaan filosofis, metafisik, mistik, atau sesuatu yang abstrak, melainkan mengenai etika kehidupan sehari-hari.[1] Orientasi hikmat dalam Amsal ialah situasi konkret, yakni untuk mengarahkan orang bertindak kepada situasi yang baik.[1] Ia memberikan serangkaian nasihat dan peringatan.[1]

Dalam kitab Amsal terdapat arti hikmat secara luas bahwa tidak selalu berupa pengertian-pengertian saja, melainkan mencakup keterampilan yang situasional.[1] Sebagai contoh, Amsal 26:4–5, kedua ayat ini berorientasi kepada situasi.[1] Ayat keempat mengarahkan agar tidak atau lebih baik jangan menjawab orang bebal, jika kita tidak memiliki pengetahuan atau mempunyai jawaban.[1] Kemudian pada ayat kelima, jika kita memang memiliki pengetahuan yang melampaui orang bebal dan dapat menjawab pertanyaannya, Amsal mengarahkan agar kita menjawabnya.[1] Hal ini sebagai upaya untuk menunjukkan bahwa orang tersebut tidaklah bijak.[1]

Amsal sering kali dikaitkan dengan Salomo, namun harus tetap diingat bahwa ada amsal-amsal dari pengarang yang lainnya.[7] Amsal Salomo sebetulnya ialah perkataan manusia yang mengandung pengalaman, pengajaran dan kebijaksanaan yang diperoleh orang beriman sambil memandang dan mempertimbangkan hidup.[7] Secara ringkas, hikmat secara keseluruhan dalam kitab Amsal berbicara jelas tentang hitam dan putih, suatu analog antara yang baik dan yang jahat.[1]

 
Tokoh Ayub

Kitab ini dibuka dengan perkenalan tokoh Ayub.[7] Ia diceritakan sebagai seseorang yang menerima banyak berkat Tuhan yakni keturunan-keturunan (7 putera dan 3 Puteri), kekayaan (banyak ternak) dan keternamaan.[7] Ayub tokoh sentral di kitab ini dan digambarkan sebagai seorang yang saleh, jujur serta takut akan Allah.[7]

Kitab Ayub merupakan bentuk baru yang unik dari sastra hikmat karena dalam ayat-ayatnya ditampilkan perdebatan yang besar, rumit dan keras.[7] Sosok Ayub dalam kitab ini digambarkan sebagai seorang yang benar di hadapan Allah namun harus mengalami penderitaan yang luar biasa.[1] Dirinya merasa telah menjadi korban kesewenang-wenangan Allah.[1] Ia mengarah langsung kepada Allah dan menjelaskan masalahnya dengan seolah memerintah Allah untuk konsekuen dan berpegang teguh kepada prinsipNya.[1] Jadi, kitab Ayub secara keseluruhan mempersoalkan integritas Tuhan.[1] Ada risiko terhadap segala sesuatunya baik perbuatan jahat maupun saleh, inilah pemahaman hikmat yang mencoba untuk disampaikan oleh kitab Ayub.[1]

Kebijaksanaan

sunting


Kidung Agung

sunting


Mazmur

sunting


Pengkhotbah

sunting

Menurut Pengkhotbah segala sesuatu adalah sia-sia atau kekosongan. Usaha terus menerus yang dilakukan oleh manusia pun tidak memberikan hasil yang lestari.[8] Kehidupan manusia yang rawan dan lemah ditertawakan oleh sifat alam yang berputar dan yang secara terus-menerus berulang kembali.[8] Proses perputaran alamiah yang terus-menerus berulang kembali itu menggaris-bawahi kesia-siaan keberadaan manusia, sehingga manusia tidak dapat berbuat apa-apa untuk mengubah kedudukannya di dalam alam.[8] Irama perputaran itu tidak dapat dikuasai atau diganggu gugat oleh manusia yang pendek umurnya.[8]

Penulis kitab Pengkhotbah mampu menyajikan uraian secara tenang dan terpadu, yang membawanya kepada kesimpulan bahwa hidup manusia itu tak punya isi nilai-nilai atau keberhasilan.[8] Pada dasarnya kitab ini memberitahukan kepada pembacanya mengenai keadaan dunia dan kekompleksannya dan bagaimana kiat untuk hidup di dalam dunia.[9] Akhirnya yang mau dikatakan oleh Pengkhotbah bahwa manusia ialah fana.[9] Hidup penuh dengan ketidakadilan, penindasan, kecemburuan, kesalahan yang fatal, keserbesalahan, ketiadaan pengandaian pada apapun dan kehidupan yang dibayangi oleh bayang maut.[9]

Sirakh

sunting


Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r (Indonesia) Jan Fokkelman. 2009. Menemukan Makna Puisi Alkitab: Penuntun Membaca Puisi Alkitab sebagai Karya Sastra. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 201-217.
  2. ^ a b c d e f g h i (Indonesia) F.F Bruce,DD&Horis P Nasution. 1994. Tafsiran Alkitab Masa Kini: Ayub-Maleakhi. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 40.
  3. ^ a b c 'The Wisdom Books'. United States Conference of Catholic Bishops, New American Bible. Washington DC: 2002. http://www.usccb.org/nab/bible/wisdom.htm Diarsipkan 2012-06-16 di Wayback Machine.
  4. ^ a b c d e f Templat:Wwbible
  5. ^ Crenshaw, James L. "The Wisdom Literature", in Knight, Douglas A. and Tucker, Gene M. (eds), The Hebrew Bible and Its Modern Interpreters (1985).
  6. ^ Templat:Wwbible
  7. ^ a b c d e f (Indonesia) W. Lempp. 2009.Karangan-Karangan Theologia: Sekolah Tinggi Theologia. Jakarta. Hlm. 45-49.
  8. ^ a b c d e (Indonesia) S Wismoady Wahono. 1986. Di sini Kutemukan: Petunjuk mempelajari dan mengajarkan Alkitab. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 225-240.
  9. ^ a b c (Indonesia) Emanuel Gerrit Singgih. 2001. Hidup di bawah bayang-bayang maut: Sebuah Tafsir Kitab Pengkhotbah. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 7-13.