Sultan Alamuddin Syah dari Siak

Pahlawan Revolusi Kemerdekaan

Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah dari Siak Sri Inderapura, merupakan sultan Siak ke 4, putra pendiri kesultanan Siak, Raja Kecik dan kakak kandung sultan Siak ke 2, Tengku Buwang Asmara.

Raja Alam
Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah
Sultan Siak Sri Indrapura ke-4
Berkuasa17611766
PendahuluSultan Ismail
PenerusSultan Muhammad Ali
KelahiranRaja Alam
KematianPekanbaru, Riau
Pemakaman
Makam Marhum Pekan, Senapelan
PasanganSultanah Khodijah binti Daeng Perani dan lainnya
Keturunan
Nama lengkap
Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah
Nama anumerta
Marhum Bukit Senapelan
DinastiMelayu Melaka
AyahRaja Kecik
AgamaIslam Ahlussunah Waljama'ah

Masa Belia

Raja Kecik, pendiri Kesultanan Siak Sri Indrapura memiliki tiga putra: Tengku Muda, Tengku Buang Asmara dan Tengku Alam. Tengku Muda mangkat di waktu muda. Tengku Alam merupakan putra dari istri pertamanya yang merupakan anak Dipati Batukucing, Jambi.[1] Tengku Alam dan saudaranya Tengku Buang Asmara selalu berperan aktif membantu baginda dalam memperkokoh kesultanan yang baru berdiri itu. Tengku Alam beberapa kali memimpin penyerangan di Selat Melaka melawan Belanda dan orang Bugis yang mendukung Raja Sulaiman Johor.[2]

Hal lumrah yang terjadi antar dua putra raja adalah bersaing untuk menuju tahta. Persaingan antara dua orang pangeran yang berbeda ibu itu menyebabkan Raja Kecik harus menegaskan siapa penerusnya. Apalagi, setelah itu Raja Kecik ditimpa musibah ditinggal mati permaisurinya Tengku Kamariyah (ibunda Tengku Buang). Maka di akhir hayatnya ia memutuskan untuk menunjuk Tengku Alam sebagai Yang Dipertuan Muda dan Tengku Buang Asmara sebagai penerus tahta. Setelah itu, Tengku Alam mengundurkan diri ke Johor dan memberi keleluasaan kepada saudaranya. Setelah Raja Kecik wafat, Tengku Buang naik tahta dengan gelar Sultan Muhammad Abdul Jalil Muzaffar Syah dan mengangkat putra Tengku Alam, yaitu Tengku Muhammad Ali sebagai Panglima Besar.[3]

Naik Takhta

 
Makam Sultan Alamuddin Syah, di komplek Pemakaman Marhum Pekan, Pekanbaru

Sultan Muhammad mangkat pada tahun 1760 dan diangkatlah putranya, Tengku Ismail sebagai pengganti dengan gelar Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah. Berita kemangkatan sultan telah yang berkali-kali merepotkan Belanda itu digunakan oleh mereka untuk menanamkan pengaruh atas Siak, dengan memperalat Tengku Alam untuk mendapatkan takhta dengan janji bahwa Belanda tidak akan mencampuri urusan keluarga kerajaan kelak. Maka, ketika pasukan Belanda hampir kalah dalam penyerangan mereka ke Mempura, Tengku Alam diutus untuk berunding dengan Sultan Ismail dan panglima besar Tengku Muhammad Ali yang merupakan puteranya sendiri.[1]

Sultan Ismail menyerahkan takhta kepada pamannya Tengku Alam, karena wasiat ayahandanya sebelum wafat yang berbunyi: Janganlah tunduk kepada Belanda yang kafir dan penjajah itu. Dan janganlah melakukan perang terhadap saudara, apalagi keluarga sendiri. Serta apabila pamanmu Raja Alamuddin datang ke negeri Siak, serahkanlah takhta kerajaan Siak ini kepada pamanmu Raja Alamuddin.[4] Maka kemudian, naiklah Tengku Alam ke atas takhta Siak pada tahun 1761 dengan gelar Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah.

Membangun Pekanbaru

Meskipun baginda naik tahta atas bantuan Belanda, ia tidak mau mendapat kekangan dari mereka dalam urusan pemerintahan. Apalagi setelah semakin tampak kelakuan buruk Belanda yang lantas menancapkan kuasa di Mempura dan menguasai jalur perdagangan Sungai Siak. Selain itu, para orang-orang besar pengikut Sultan Ismail menampakkan ketidaksenangan atas perubahan pucuk kekuasaan itu. Maka, diutuslah Agam dari suku Limapuluh untuk meninjau bandar Senapelan untuk dijadikan pusat kekuasaannya yang baru. Kemudian setelah beres segala sesuatunya, ia membawa serta seluruh perangkat kerajaan dan pindah ke hulu.

Senapelan yang merupakan simpang lalu lintas perdagangan itu semakin ramai setelah menjadi ibu kota Siak. Baginda membangun sebuah pekan (pasar) untuk mengurangi peran Petapahan yang sebelumnya menjadi pekan bagi saudagar-saudagar dari tanah Minangkabau. Selanjutnya, baginda membuka jalur transportasi menghubungkan dengan negeri-negeri penghasil lada, damar, kayu, gambir, dan rotan. Jalur tersebut menuju ke selatan sampai ke Teratak Buluh dan Buluh Cina dan ke barat sampai ke Bangkinang terus ke Rantau Berangin. Di samping itu, dilakukan perbersihan terhadap perompak dan penyamun di sekitar Bencah Lawas. Pekan baru ini akhirnys berkembang dengan pesat hingga di kemudian hari daerah tersebut lebih dikenal dengan Pekanbaru.

Perekonomian yang semakin maju di Senapelan tersebut telah memotong jalur perdagangan ke hilir sungai Siak. Akibatnya, Mempura menjadi sepi dan Belanda dirugikan. Kerugian besar tersebut bahkan mendesak Belanda untuk menutup lojinya di Pulau Guntung pada tahun 1765.[2]

Akhir Hayat

Salah seorang putrinya, Tengku Embung Badariyah dinikahkan dengan seorang Ahli Bait keturunan Rasulullah, bernama Sayyid Usman Syahabuddin. Keturunan mereka inilah yang nantinya menjadi penerus tahta Kesultanan Siak Sri Indrapura yang bermula dari Sultan Syarif Ali, dan Kesultanan Pelalawan yang bermula dari Sultan Abdurrahman.

Sultan Alamuddin mangkat pada tahun 1766 dan dimakamkan di Kampung Bukit, Senapelan. Putranya, Muhammad Ali kemudian naik takhta dengan gelar Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah.[2]

Rujukan

  1. ^ a b Amir Lutfi (1991), Hukum dan Perubahan Struktur Kekuasaan: Pelaksanaan Hukum Islam dalam Kesultanan Melayu Siak 1901 - 1942, Susqa Press Pekanbaru.
  2. ^ a b c Muchtar Lutfi, Suwardi MS, dkk (1998/ 1999), Sejarah Riau, Biro Bina Sosial Setwilda Tk. I Riau.
  3. ^ Ahmad Supandi (2015), Kesultanan Siak Sri Indrapura: Islam dan Perlawanan terhadap Kolonialisme, skripsi Fak. Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
  4. ^ OK. Nizami Jamil dkk (2001), Sejarah Kerajaan Siak, CV. Sukabina Pekanbaru terbitan LAM Kab. Siak.
Didahului oleh:
Sultan Muhammad
Sultan Siak Sri Inderapura
1761 - 1766
Diteruskan oleh:
Sultan Muhammad Ali