Ikuanisme

Kepercayaan di Dunia
Revisi sejak 29 Oktober 2024 17.45 oleh Vendyxiao (bicara | kontrib) (Typo)

Ikuanisme, Yi Guan Dao, I Kuan Tao (一貫道), juga dikenal sebagai Aliran Buddha Maitreya di Indonesia, adalah agama keselamatan Tiongkok yang bermula dari Republik Rakyat Tiongkok pada awal abad ke-20.[1] "I Kuan" berarti persatuan atau kesatuan, sementara "Tao" berarti jalan, kebenaran, atau juga Ketuhanan.

Tempat ibadah Ikuanisme aliran Maitreya Great Tao (彌勒大道) di Pontianak, Kalimantan Barat, Indonesia. Di Indonesia, agama ini dianggap sebagai bagian dari agama Buddha, sebagai "Aliran Buddha Maitreya". Di Taiwan, Ikuanisme dianggap sebagai agama yang berdiri sendiri dan terpisah dari agama Buddha.
Yiguandao
一貫道
JenisWay of Former Heaven sect
PenggolonganAgama keselamatan Tiongkok
PendiriWang Jueyi
Didirikanakhir abad ke-19
Shandong
Nama lainZhenli Tiandao (眞理天道), Tiandao (天道)

Menurut Dr. Sebastien Billioud, Ikuanisme dapat dilihat sebagai versi terbaru dari tradisi Tridharma (sinkretisme Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme). Pada kasus Ikuanisme, ajaran agama Kristen dan Islam juga diadopsi menjadi satu kesatuan dari lima ajaran.[2] Seiring perkembangannya, terjadi perbedaan pendapat sehingga terbentuk aliran Ikuanisme baru seperti Maitreya Great Tao atau Mi Le Ta Tao (彌勒大道) yang memisahkan diri.

Di Indonesia, meskipun timbul beberapa kontroversi dari berbagai aliran arus utama Buddhisme,[3] Ikuanisme secara resmi diakui oleh Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) dan dikenal sebagai Aliran Buddha Maitreya dengan Jalan Ketuhanan di bawah naungan Majelis Agama Buddha I Kuan Tao Indonesia.[4] Selain itu, Maitreya Great Tao (彌勒大道) juga diakui di bawah naungan Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia.[5] Ikuanisme di Indonesia berasal dari Taiwan sekitar tahun 1950-an. Akan tetapi, di Taiwan, Ikuanisme berdiri sendiri sebagai sebuah agama resmi yang diakui pemerintah dan terpisah dari agama Buddha.

Sejarah

Kelompok-kelompok agama keselamatan enjadibsangat populer di jaman dinasti Ming (1368-1644), dan Luo Qing / Luo Menghong (羅清 /羅夢鴻 / 羅孟 鴻) yang menulis 五部六冊 Wubu Liuce / "Five Books in Six Volumes"  di tahun 1509 adalah salah satu tokoh yang menonjol di kala itu. Di kalangan I Kuan Tao, Luo Qing ini dikenal sebagai sesepuh ke-8. Kalangan I Kuan Tao meyakini Luo Qing mendapatkan Firman Tuhan dari Maha Guru ke 7 dan menjadi penerus silsilah Maha Guru selanjutnya. Para pengikut Luo Qing mendirikan kelompok yang kemudian dikenal dengan nama 罗道 Jalan Luo / 罗教 Luosime / 无为教 Wuweiism.[1]

    Di abad ke-16, 應繼南 Yin Ji'nan (1527-1582) dari Zhejiang yang mengklaim diri sebagai titisan Luo Qing memulai sebuah aliran independen yang berhasil menyebar ke seluruh provinsi asalnya, Fujian, Jiangxi, dan provinsi-provinsi di selatan sekitarnya. Dia menjadi pemimpin sebuah kelompok Luoisme dan mereformasi aliran tersebut menjadi 老官斋教 Laoguan ZhaiJiao / 龍華齋教 Long Hua Jiao, yang pada abad-abad berikutnya melahirkan aliran 先天道 Xiantiandao yang selanjutnya menjadi 一貫道 I Kuan Tao.[6] Yin Ji'nan mengorganisir gerakannya ke dalam sebuah hirarki dan mengintegrasikan teologi tentang Maitreya, 舞技老母 Wuji Lao Mu sebagai inti kepercayaan, eskatologi 三阳 Tiga Masa Pancaran dan silsilah Maha Guru ke dalam doktrin-doktrin asli Luoisme.

    先天道 Xiantiandao didirikan di Jiangxi pada abad ke-17 dinasti Qing sebagai cabang dari 青蓮教 Sekte Teratai Hijau yang sebelumnya merupakan aliran 大乘 Dacheng atau 圆顿 Yuandun, salah satu cabang dari perkembangan Luoisme di bagian timur. Sekte 乘教 Dacheng dari Luoism di tangan kepemimpinan 袁志謙 Yuang Zhiqian berubah nama menjadi 青蓮教 Sekte Teratai Hijau. Sekte ini menyatukan tiga agama dengan mempraktikkan tata krama Konfusianisme, praktik-praktik Taoisme, dan sila-sila Buddha. Sekte ini juga menyakini akan segera hadirnya Buddha Maitreya yang dikirim Ibu Suci untuk menjemput anak-anaknya yang tersesat kembali ke Nirwana. Dinamakan Teratai Hijau untuk bersaing dengan sekte Teratai Putih yang populer saat itu. Akibat ditekan pemerintah, sekte Teratai Hijau ini bergerak secara sembunyi-sembunyi dan akhirnya terpecah menjadi banyak kelompok. Salah satu kelompok yang bertahan yang dipimpin oleh 黃德輝 Huang De Hui (sesepuh ke-9) kemudian berganti nama menjadi 先天道 Xiantian Dao.

    Karena dianggap sebagai heterodoks, Xiantian Dao ditekan pemerintah di awal abad 19 tapi berhasil bertahan. Para penganut Xiantiandao melihat diri mereka sendiri sebagai pelaksana dari misi Ibu Suci dengan melintasi orang-orang dan membimbing mereka di jalan pembinaan yang pada akhirnya akan membawa mereka kembali ke Surga. Aliran Xiantian Dao masih ada di Indonesia dalam bentuk kelenteng kelenteng yang dipegang oleh Bhiksuni (Chai Ma). Salah satu cabang Xiantian Dao yang dipimpin oleh 王覺一 Wang Jueyi mulai berjalan sendiri dan memisahkan diri dari Xiantian Dao. Di kalangan I Kuan Tao, Wang Jueyi dikenal sebagai maha guru ke-15. Di tahun 1877, berdasarkan titah Ibu Suci dari Tulisan Pasir (扶乩 Fu ji) menunjuk Wang Jueyi sebagai maha guru ke-15. Dan kelompok cabang yang dia pimpin selanjutnya dinamakan 末后一着教 Mohou Yizhujiao (agama akhir jaman).[1] Maha Guru Wang yang mengubah teologis dan ritualnya. Maha Guru Wang juga menghapus syarat "bervegetarian" dan "menjalankan pantangan" untuk para pengikutnya, sehingga membuat kelompoknya berkembang cepat saat itu. Dokumen dinasti Ching yang ditemukan belakangan ini menunjukkan bahwa Wang Jue Yi 王覺一, sesepuh ke-15, mendirikan aliran "I Kuan Ciao" (一貫教) pada zaman dinasti Ching (sekitar tahun 1850). Di tahun 1883, pemerintahan Qing melarang kelompok ini sehingga menekannya. Maha Guru Wang hidup bersembunyi sampai meninggal. Xiantian Dao di bawah kepemimpinan Wang Jueyi secara signifikan banyak menggunakan ajaran Konfusius sebagai dasar ajarannya; para praktisi harus mengikuti kitab suci 大學 Dàxué, sementara praktik Taoisme seperti pertapaan dan pengobatan dihapuskan. Dari sesepuh ke-15, silsilah Tao berlanjut ke 劉化普 Liu Hua Pu sebagai sesepuh ke-16. Di tahun 1905, maha guru ke 16 menggunakan kata-kata Konfusius yang berkata bahwa 吴道一以贯之 "jalan yang saya ikuti adalah jalan yang menyatukan semua" yang selanjutnya menamakan kalangan Tao dengan nama 一貫道 I Kuan Tao.[1] Pengikutnya relatif kecil saat itu.

Selanjutnya setelah Liu Qingxu meninggal, kepemimpinan kalangan Yiguandao dilanjutkan oleh 路中一 Lu Zhongyi yang menjadi maha guru ke 17. Pada tahun 1895, pada usia 46 tahun, beliau dikatakan bermimpi dan Tuhan yang memerintahkannya untuk menjadi murid dari maha guru ke-16 Liu Qingxu. Dia menjadi maha guru ke-17 pada tahun 1905, di Qingzhou. Kalangan Yiguandao mengyakini Lu Zhongyi sebagai maha guru pertama di era Pancaran Putih, era terakhir dari Tiga Pancaran, dan merupakan reinkarnasi dari Buddha Maitreya.

I Kuan Tao mulai berkembang pesat saat sesepuh ke-18 Zhang Thien Ran 張天然 memegang pemimpin. Sesepuh Zhang lahir tahun 1889 pada tanggal Imlek 19 bulan 7, di Ji Ning, provinsi Shan Tong. Sesepuh Zhang mengikuti aliran I Kuan Tao sejak tahun 1914. Sesepuh ke-17 Lu Zhong I yang dipercaya adalah inkarnasi Buddha Maitreya melihat talenta Sesepuh Zhang. Dan setelah meninggalnya sesepuh ke-17 tahun 1925, Sesepuh Zhang diangkat menjadi sesepuh ke-18 tahun 1930. Sesepuh Zhang dikatakan sebagai inkarnasi Buddha Ci Kung (济公) , atau disebut Buddha Hidup Ci Kung (济公活佛). Sesepuh Zhang Thien Ran disebut sebagai Se Cun 師尊 (Bapak Guru Agung). Sesepuh Zhang dikatakan atas mandat Lao Mu, bersama Sesepuh Sun Su Chen 孫素真 yang disebut sebagai inkarnasi Bodhisatwa Yue Huei 月慧菩薩 (Dewi Bulan Bijaksana). Sesepuh Sun Su Chen besama Sesepuh Zhang Thien Ran menjabat sebagai sesepuh ke-18 I Kuan Tao. Sun dihormati sebagai Se Mu 師母 (Ibu Guru Suci).

I Kuan Tao menyebar pesat dari tahun 1930 sampai 1936. Dari tahun 1937-1947 selama kekuasaan Jepang, I Kuan Tao juga berhasil menarik penganut dari utara, tengah sampai selatan Tiongkok. Sesepuh Zhang Thien Ran meninggal tahun 1947 saat komunis mulai berkuasa di Tiongkok.

Setelah meninggalnya Sesepuh Zhang, dan berkembangnya komunis di China, I Kuan Tao mengalami tekanan dari pemerintah Tiongkok waktu itu. [1] Sesepuh Sun Su Cen (Se Mu) mengambil alih kedudukan dan membawa ajaran I Kuan Tao ke Hong Kong dan Taiwan. Sementara itu, para murid Sesepuh Zhang secara individual menyebarkan ajaran I Kuan Tao, sehingga muncul kelompok-kelompok I Kuan Tao dengan sesepuh atau pemimpin yang berbeda-beda.

Di Taiwan sendiri I Kuan Tao juga sempat ditekan oleh pemerintah mulai tahun 1952, tapi pada tanggal 13 Januari 1987, pemerintah Kuomintang di Taiwan pada akhirnya secara resmi melegalkan I Kuan Tao. I Kuan Tao menjadi agama pertama yang bertransformasi dari kelompok yang ditindas menjadi kelompok agama yang sah di kalangan masyarakat Tiongkok modern.[1]

Doktrin dan Ajaran

Ibu Suci Yang Abadi

Yiguandao berfokus pada pemujaan terhadap Ibu Suci Tanpa Batas (舞技母 Wujimu), yang juga dikenal sebagai Ibu Suci Yang Tidak Terlahir (無聲老母Wusheng Laomu), yang juga merupakan ciri khas dari agama-agama rakyat Tiongkok lainnya. Sumber dari segala sesuatu, bukan laki-laki maupun perempuan, meskipun disebut “Ibu” atau “Ibu Surgawi”. Ini adalah kekuatan primordial alam semesta, api, yang menjiwai segala sesuatu. Ini adalah Tao, seperti yang dijelaskan oleh doktrin I Kuan Tao.[1]

Pada abad ke-16, Bunda Abadi mulai menggantikan posisi Bapa Suci. Sebuah mitologi seputar Bunda mulai terbentuk, mengintegrasikan kepercayaan tentang Maitreya, yang telah tersebar luas sejak dinasti Yuan. Kepercayaan Maitreya bersifat milenarian, yang menyatakan bahwa dunia akan segera berakhir dan Maitreya akan menjelma di alam fisik untuk menyelamatkan umat manusia.[1]

Dalam keyakinan terhadap Ibu Suci, Maitreya adalah salah satu dari tiga makhluk yang tercerahkan yang dikirim oleh Ibu Suci untuk membawa misi penyelamatan.

Sosok Ibu Abadi berasal dari sosok Xiwangmu, “Ibu Ratu dari Barat”, dewi ibu kuno Tiongkok, yang terkait dengan mitos Kunlun, poros dunia, dan dengan demikian juga dengan Hundun.[1] Ibu Suci Tanpa Batas dianggap sebagai mahakuasa, dan dianggap oleh pengikut I Kuan Tao sebagai sosok yang penuh belas kasihan, yang mengkhawatirkan putra-putrinya yang sudah kehilangan sifat aslinya, dan karena itu berusaha membawa mereka kembali ke surga yang merupakan kampung halaman mereka.[1]

Eskatologi

Doktrin eskatologi Tiga Pancaran (三陽 sānyáng) menjadi dasar utama dalam doktrin Ikuanisme. I Kuan Tao menyakini bahwa pencipta alam semesta, bumi, dan seluruh mahluk hidup adalah Tuhan Ilahi yang diibaratkan seorang Ibunda Suci yang disebut Lao Mu. Lingkaran hidup bumi dan alam semesta adalah 10.800 tahun, dan kita berada dalam zaman terakhir dimana manusia telah hidup 60 000 tahun. Manusia sebagai anak-anak dari Tuhan (Lao Mu) karena telah terlalu lama di bumi, tersesat dalam hidup duniawi, terjerumus dalam dosa menyebabkan mereka hidup dalam roda reinkarnasi dan tidak bisa kembali ke Surga. Lao Mu sangat merindukan anak-anaknya di bumi ini, dan mengutus 10 Buddha untuk menyelamatkan anak-anaknya di bumi. 7 Buddha pertama telah datang saat bermulanya kebudayaan manusia, dan 3 Buddha terakhir mengemban tugas penyelamatan. Sehingga dibagi 3 zaman: Zaman Pancaran Hijau, Pancaran Merah, dan Pancaran Putih. Buddha Dipankara diutus saat Zaman Pancaran Hijau (sekitar 3000 SM) sampai lahirnya Siddharta Buddha. Zaman Pancaran Merah bermula dengan diutusnya Siddharta Gautama. Zaman Pancaran Putih atau zaman terakhir bermula saat Buddha Maitreya diutus. Seperti sering diutarakan oleh para Sesepuh I Kuan Tao bahwa Buddha Maitreya telah datang ke dunia sebagai Guru ke-17 Lu Zhong I.

Sejarah resmi I Kuan Tao membagi perkembangan Tao dalam 3 periode. Periode pertama disebut sebagai 18 Sesepuh Pertama dari Timur, yang bermula dari awal adanya manusia. Sesepuh pertama adalah Fu Si, tokoh dari Tiongkok, pencipta Pa Kwa (8 triagram). Kemudian berlanjut ke Shen Nong (penemu pertanian), Huang Ti (Kaisar Kuning), diteruskan ke raja-raja Tiongkok, sampai Kong Hu Cu, dan terakhir Lau Ce (Penulis Tao Te Ching). Dikatakan bahwa karena perang saudara di daratan Tiongkok, menyebabkan Lau Ce membawa Tao ke India dan meneruskan ke Siddharta Gautama. Di sini bermula periode ke-2 yang disebut 28 Sesepuh dari Barat, bermula dari Siddharta Gautama, diteruskan ke Mahakassapa, dan menurut aliran Zen sampai terakhir Bodhidharma. Bodhidharma dikatakan membawa Tao kembali ke Tiongkok, dan bermulalah periode ke-3: 18 Sesepuh Terakhir dari Timur. Bermula dari Bodhidharma sampai sesepuh ke-6 Hui Neng (sama seperti aliran Zen). Dari sesepuh ke-7 sampai ke-18 dimulainya periode rumah api di mana Tao diturunkan secara rahasia dan berakhir di sesepuh ke-18 yaitu Zhang Tian Ran dan Sun Hui Ming.

Vegetarianisme

Vegetarianisme adalah salah satu ajaran inti dari Yiguandao.[7] Vegetarianisme diajarkan dari berbagai sudut pandang termasuk kesehatan, ekologi, kelestarian lingkungan, mengurangi penderitaan hewan, dan pengembangan spiritual.[2] Pengikut Yiguandao disebut-sebut mengoperasikan 90% restoran vegetarian di Taiwan.[8]

Aliran Buddha Maitreya di Indonesia

I Kuan Tao bermula di Indonesia pada tahun 1949 di Malang oleh seorang pengikut I Kuan Tao dari Taiwan bernama Tan Pik Ling (Hokkian) atau Chen Po Ling (陳伯齡) atau dikenal sebagai Maitreyawira (Indonesia). Tan adalah seorang dokter gigi, pertama sekali datang ke Indonesia sejak tahun 1930. Ia dikatakan diutus oleh Se Mu (Ibu Guru Suci) dan Pan Hua Ling (潘華齡) pemimpin Kelompok Pau Kuang (寶光組). Sejarah lain dari kelompok Pau Kuang Cien Te (寶光建德) mengatakan bahwa sesepuh Li Su Ken (呂樹根) mengutus Tan Pik Ling ke Indonesia. Vihara Maitreya pertama didirikan di Malang bernama Chiao Kuang pada tahun 1950. Vihara ini adalah Fo Tang (佛堂) pertama yang berdiri di luar China dan Taiwan. Di bawah pimpinan Tan, ajaran Yiguandao (Buddha Maitreya) berkembang pesat ke Surabaya, Jakarta, Medan, Bagansiapi-api, Pontianak, dll, dengan perkataan lain mencakup hampir ke seluruh wilayah Indonesia. Tan meninggal pada tahun 1985. Di Indonesia, I Kuan Tao menempel sebagai agama Buddha, karena pemerintah hanya mengakui 5 agama resmi. Sehingga di Indonesia Buddha Maitreya muncul sebagai aliran agama Buddha, membentuk Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI) dan bernaung di bawah Walubi.

Se Mu (師母) yang artinya Ibu Suci, sewaktu di Taiwan berada di bawah asuhan Wang Hao Te (王好德) atau sesepuh Ong selama 11 tahun, Wang sendiri adalah pengikut kelompok Pao Kuang (寶光組). Dengan meninggalnya Se Mu 4 April 1975, Wang Hao Te meneruskan sebagai penerus asli Yiguandao yang diangkat oleh Se Mu. Hanya melalui dia Kuasa Firman Tuhan Tien Ming dapat diberikan, Sesepuh Ong meneruskan sebagai penerus Benang Emas yang sejati. Banyak kelompok I Kuan Tao yang tidak terima sehingga Wang Hao Te meneruskan aliran sendiri yang disebut Tao Agung Maitreya atau Maha Tao Maitreya (彌勒大道). Tan Pik Ling di Indonesia yang juga pengikut kelompok Pao Kuang memutuskan untuk bergabung dengan Wang Hao Te.

I Kuan Tao membentuk organisasi sendiri dengan kantor pusat di El Monte, California, pada tahun 2000 membentuk organisasi Majelis I Kuan Tao Indonesia (dari kelompok Pau Kuang Cien Te).

Aliran Buddha Maitreya berkembang sebagai satuan dari agama Buddha di Indonesia. Aliran ini mengadopsi istilah-istilah bahasa Indonesia dari bahasa Sanskerta. Disebabkan juga oleh tekanan pemerintah Orde Baru yang melarang penggunaan bahasa Mandarin, liturgi dan upacara keagamaan juga menggunakan Bahasa Indonesia. Dalam era reformasi sekarang, vihara Maitreya kembali lebih bebas menggunakan bahasa Mandarin. Vihara Maitreya di Indonesia berciri khas tercantum kalimat "Tuhan Maha Esa", mengikuti perayaan Buddha seperti Waisak, Kathina, dan menggantungkan gambar Buddha Siddharta .

Penerimaan WALUBI

Aliran kepercayaan I Kuan Tao berada di bawah naungan Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI). Tujuan Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI) adalah mengayomi dan membina seluruh umat Buddha di Indonesia serta berperan aktif melaksanakan kegiatan sosial kemanusiaan untuk membantu masyarakat, bangsa dan negara sebagai bentuk Dharma Negara, tidak memandang aliran-aliran Buddha tertentu, dan saling merangkul dibawah naungan WALUBI. Inti dari semua ajaran Agama Buddha adalah tidak saling membenci satu sama lain dikarenakan ajaran agama Buddha mengajarkan saling mengasihi, mencintai semua mahkluk hidup, tidak mengenal pertikaian, dan tidak mengenal konfrontasi dan non-provocative.

I Kuan Tao merupakan sebuah ajaran yang mengajarkan kebaikan, cinta kasih, mencintai semua makhluk hidup, dan akhlak baik kepada masyarakat tanpa membedakan agama yang dianut oleh pemeluk agama lain, dan tidak menyudutkan ajaran agama lainnya.

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j Lu, Yunfeng (2008). The transformation of Yiguan Dao in Taiwan: adapting to a changing religious economy. Lanham, Md.: Lexington Books. ISBN 978-0-7391-1719-4. 
  2. ^ a b Billioud, Sebastien (2020). Reclaiming the Wilderness: Contemporary Dynamics of the Yiguandao. Oxford and New York: Oxford University Press. hlm. 3. 
  3. ^ Shi Wen Du. BAGAIMANA SAYA MELEPASKAN DIRI DARI YI KUAN TAO (PDF). Diterjemahkan oleh Wijaya, Tjahyono. 
  4. ^ RI, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha-Kementerian Agama. "20 Tahun Majelis I Kuan Tao, Caliadi Ajak Bersinergi Program dan Layanan | Ditjen Bimas Buddha Kemenag RI". Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha - Kementerian Agama RI. Diakses tanggal 2024-05-22. 
  5. ^ "Sejarah Pendirian | Maha Vihara Maitreya". Diakses tanggal 2024-05-22. 
  6. ^ Ma, Xisha (2011). Popular Religion and Shamanism. Brill. ISBN 978-9004174559. 
  7. ^ Billioud, Sébastien (2015). The Sage and the People: The Confucian Revival in China. Oxford University Press. ISBN 978-0190258146. 
  8. ^ Davison, Gary Marvin (1998). Culture and Customs of Taiwan. Greenwood Press. ISBN 978-0313302985. 

Lihat pula

Daftar pustaka

  • Iem Brown, 1990, 'Agama Buddha Maitreya: A Modern Buddhist Sect in Indonesia.' di Contributions to Southeast Asian Etnography 9:113-124.

Pranala luar