Batik

teknik membuat kain yang berasal dari Jawa, Indonesia
Revisi sejak 26 Desember 2024 09.09 oleh Alteaven (bicara | kontrib) (Etimologi)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Batik (bahasa Jawa: (Hanacaraka): ꦧꦛꦶꦏ꧀, translit. Bathik) adalah kain Indonesia bergambar yang pembuatannya secara khusus dengan menuliskan atau menerakan malam pada kain itu, kemudian pengolahannya diproses dengan cara tertentu yang memiliki kekhasan.[1][2] sebagai keseluruhan teknik, teknologi, serta pengembangan motif dan budaya yang terkait, oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) sejak 2 Oktober 2009.[3] Sejak saat itu, 2 Oktober ditetapkan sebagai Hari Batik Nasional.

Batik
Batik parang dari Yogyakarta, akhir abad 19 M.
JenisSeni kain
BahanKain, sutra, kapas
Tempat asalIndonesia
Batik
Pengrajin batik di Jawa menggambar pola rumit menggunakan canting dan lilin yang disimpan panas dan cair dalam panci kecil yang dipanaskan, pada 27 Juli 2011
NegaraIndonesia
DomainKeahlian tradisional, tradisi dan ekspresi lisan, praktik sosial, ritual dan acara perayaan
Referensi170
KawasanAsia dan Pasifik
Sejarah Inskripsi
Inskripsi2009 (sesi ke-4)
DaftarDaftar Perwakilan

Batik tulis dan batik cap
Pendidikan dan Pelatihan Batik
Museum Batik Pekalongan, Jawa Tengah
NegaraIndonesia
DomainKeahlian tradisional, tradisi dan ekspresi lisan, praktik sosial, ritual dan acara perayaan
Referensi318
KawasanAsia dan Pasifik
Sejarah Inskripsi
Inskripsi2009 (sesi ke-4)
DaftarDaftar dari Praktik Pengamanan yang Baik

Pendidikan dan pelatihan Batik sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia untuk siswa SD, SMP, SMA, SMK dan politeknik, bekerja sama dengan Museum Batik di Pekalongan

Teknik seni kain yang mirip batik dapat ditemukan pada berbagai kebudayaan di dunia seperti di Nigeria, Tiongkok, India, Malaysia, Sri Lanka dan daerah-daerah lain di Indonesia. Batik pesisir Indonesia dari pulau Jawa memiliki sejarah akulturasi yang panjang, dengan corak beragam yang dipengaruhi oleh berbagai budaya, serta paling berkembang dalam hal pola, teknik, dan kualitas pengerjaan dibandingkan batik dari daerah lain.

Batik telah dianggap oleh masyarakat sebagai ikon budaya penting di Indonesia. Masyarakat Indonesia mengenakan batik sebagai busana kasual dan formal yang dapat digunakan dalam beragam acara.

Etimologi

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kata bahasa Indonesia batik sebagai "kain bergambar yang pembuatannya secara khusus dengan menuliskan atau menerakan malam pada kain itu, kemudian pengolahannya melalui proses tertentu."[4] Istilah ini diserap dari bahasa Jawa bathik (aksara Jawa: ꦧꦛꦶꦏ꧀, Pegon: باتيق).[a] Dalam Baoesastra Djawa, bathikan juga dapat bermakna "menggambar" atau "menulis".[6] Makna ini dapat dibandingkan dengan pendapat Robert Blust yang menelusuri akar kata bathik hingga rekonstruksi Proto-Austronesia *batik serta *beCik dengan makna umum "hiasan" atau "corak."[7][8]

Di Jawa, kata bathik/batik baru terekam dalam sumber-sumber tertulis pasca masa Hindu-Buddha, yakni dari abad 16 M ke atas.[9][10] Satu-satunya istilah yang mungkin berhubungan dengan batik dalam sumber-sumber bahasa Jawa Kuno adalah tulis warna yang diduga setara dengan teknik batik tulis masa kini.[11] Di luar Jawa, kata batik pertama terekam dalam dokumen pengiriman barang tahun 1641 dari kapal pedagang yang berlayar antara Batavia-Bengkulu.[12] Istilah batik menjadi lebih banyak diketahui di luar masyarakat Nusantara setelah terbitnya buku The History of Java oleh Thomas Stamford Raffles pada tahun 1817 yang memuat penjelasan proses membatik.[13] Di masa kolonial Belanda, sumber Belanda menggunakan sejumlah variasi pengejaan seperti mbatik, mbatek, dan batek.[14][15]

Sejarah

Seni pewarnaan kain dengan teknik perintang pewarnaan menggunakan malam atau lilin adalah salah satu bentuk seni kuno. Penemuan di Mesir menunjukkan bahwa teknik ini telah dikenal semenjak abad ke-4 SM, dengan diketemukannya kain pembungkus mumi yang juga dilapisi malam untuk membentuk pola. Di Asia, teknik serupa batik juga diterapkan di Tiongkok semasa Dinasti T'ang (618-907) serta di India dan Jepang semasa Periode Nara (645-794). Di Afrika, teknik yang mirip dengan batik dikenal oleh Suku Yoruba di Nigeria, serta Suku Soninke dan Wolof di Senegal.[16] Di Indonesia, batik dipercaya sudah ada semenjak zaman Majapahit, dan menjadi sangat populer akhir abad XVIII atau awal abad XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad XX dan batik cap baru dikenal setelah Perang Dunia I atau sekitar tahun 1920-an.[17]

Walaupun kata "batik" berasal dari bahasa Jawa, kehadiran batik di Jawa sendiri tidaklah tercatat. G.P. Rouffaer berpendapat bahwa teknik batik ini kemungkinan diperkenalkan dari India atau Srilangka pada abad ke-6 atau ke-7.[16] Di sisi lain, J.L.A. Brandes (arkeolog Belanda) dan F.A. Sutjipto (sejarawan Indonesia) percaya bahwa tradisi batik adalah asli dari daerah seperti Toraja, Flores, Halmahera, dan Papua. Perlu dicatat bahwa wilayah tersebut bukanlah area yang dipengaruhi oleh Hinduisme, tetapi diketahui memiliki tradisi kuno membuat batik.[18]

G.P. Rouffaer juga melaporkan bahwa pola gringsing sudah dikenal sejak abad ke-12 di Kediri, Jawa Timur. Dia menyimpulkan bahwa pola seperti ini hanya bisa dibentuk dengan menggunakan alat canting sehingga ia berpendapat bahwa canting ditemukan di Jawa pada masa sekitar itu.[18] Detail ukiran kain yang menyerupai pola batik dikenakan oleh Prajnaparamita, arca dewi kebijaksanaan Buddhis dari Jawa Timur abad ke-13. Detail pakaian menampilkan pola sulur tumbuhan dan kembang-kembang rumit yang mirip dengan pola batik tradisional Jawa yang dapat ditemukan kini. Hal ini menunjukkan bahwa membuat pola batik yang rumit yang hanya dapat dibuat dengan canting telah dikenal di Jawa sejak abad ke-13 atau bahkan lebih awal.[19] Pada perempat terakhir abad ke-13, kain batik dari Jawa telah diekspor ke kepulauan Karimata, Siam, bahkan sampai ke Mosul.[20]

Legenda dalam literatur Melayu abad ke-17, Sulalatus Salatin menceritakan Laksamana Hang Nadim yang diperintahkan oleh Sultan Mahmud untuk berlayar ke India agar mendapatkan 140 lembar kain serasah dengan pola 40 jenis bunga pada setiap lembarnya. Karena tidak mampu memenuhi perintah itu, dia membuat sendiri kain-kain itu. Namun sayangnya, kapalnya karam dalam perjalanan pulang dan hanya mampu membawa empat lembar sehingga membuat sang Sultan kecewa.[21] Oleh beberapa penafsir,who? serasah itu ditafsirkan sebagai batik.

Dalam literatur Eropa, teknik batik ini pertama kali diceritakan dalam buku History of Java (London, 1817) tulisan Sir Thomas Stamford Raffles. Ia pernah menjadi Gubernur Jenderal Inggris di Jawa. Pada 1873 seorang saudagar Belanda Van Rijekevorsel memberikan selembar batik yang diperolehnya saat berkunjung ke Indonesia ke Museum Etnik di Rotterdam dan pada awal abad ke-19 itulah batik mulai mencapai masa keemasannya. Sewaktu dipamerkan di Exposition Universelle di Paris pada tahun 1900, batik Indonesia memukau publik dan seniman.[16]

Semenjak industrialisasi dan globalisasi, yang memperkenalkan teknik otomatisasi, batik jenis baru pun bermunculan, dikenal sebagai batik cap dan batik cetak, sementara batik tradisional yang diproduksi dengan teknik tulisan tangan menggunakan canting dan malam disebut batik tulis. Pada saat yang sama, imigran dari Indonesia ke Malaysia juga membawa batik bersama mereka.

Sekarang batik sudah berkembang di beberapa tempat di luar Jawa, bahkan hingga ke manca negara. Di Indonesia batik sudah dikembangkan juga di Aceh dengan batik Aceh, batik Cual di Riau, Batik Papua, batik Sasirangan Kalimantan Timur, dan batik Minahasa.

Budaya batik

Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Perempuan-perempuan Jawa pada masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian sehingga pada masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya "Batik Cap" yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini. Ada beberapa pengecualian bagi fenomena ini, yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada corak "Mega Mendung", di mana di beberapa daerah pesisir pekerjaan membatik adalah lazim bagi kaum lelaki. Di berbagai daerah di Indonesia memiliki ciri khas batiknya masing-masing.

Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun-temurun sehingga kadang kala suatu motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu. Beberapa motif batik dapat menunjukkan status seseorang. Motif batik pun akan berbeda sesuai dengan peruntukannya, seperti pada saat acara pernikahan dan lainnya. Bahkan, sampai saat ini beberapa motif batik tadisional hanya dipakai oleh keluarga keraton Yogyakarta dan Surakarta.

Batik merupakan warisan nenek moyang Indonesia yang sampai saat ini masih ada. Batik juga pertama kali diperkenalkan kepada dunia oleh Presiden Soeharto, yang pada waktu itu memakai batik pada Konferensi PBB. Batik tidak hanya dikenakan untuk orang tua atau acara formal saja. Saat ini batik sudah tak terhingga corak dan modelnya, dan dapat dikenakan oleh semua kalangan usia dan acara.

Corak batik

Ragam corak dan warna batik dipengaruhi oleh berbagai pengaruh budaya lokal dan asing. Awalnya, batik memiliki ragam corak dan warna yang terbatas, dan beberapa corak hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu, misalnya kalangan keraton. Namun, batik pesisir menyerap berbagai pengaruh luar, seperti para pedagang asing dan para penjajah. Warna-warna cerah seperti merah dipopulerkan oleh etnis Tionghoa, yang juga memopulerkan corak phoenix. Bangsa penjajah Eropa juga mengambil minat kepada batik dan hasilnya adalah corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal (seperti bunga tulip), benda-benda yang dibawa penjajah (gedung atau kereta kuda), dan warna-warna kesukaan mereka seperti warna biru. Batik tradisonal tetap mempertahankan coraknya dan masih dipakai dalam upacara-upacara adat karena biasanya masing-masing corak memiliki arti atau lambang masing-masing.

Teknik pembuatan

Pembuatan dimulai dengan mencuci kain jadi (kini umumnya kain mori),[b] kemudian direndam dan dipukul dengan palu kayu hingga halus. Corak yang diinginkan kemudian digambar dengan pensil dan disalin menggunakan malam panas, umumnya terdisri dari campuran paraffin atau lilin lebah dengan resin tumbuhan. Malam berfungsi sebagai rintangan yang mencegah penyerapan warna pada proses pencelupan. Rintangan demikian menghasilkan corak negatif ketika malam disisihkan dari kain tercelup.[22][23] Pengerajin dapat membuat corak rumit dengan aneka warna dengan mengulang proses pemberian malam dan pencelupan.

 
Prinsip dasar dalam membuat pola batik: corak digambar dengan malam, kain dicelup pewarna, malam disisihkan sehingga tercipta pola negatif pada kain.

Malam perintang bisa diterapkan pada kain dengan sejumlah alat, misal canting, cap, dan kuas. [22] Canting adalah alat yang paling dasar dan tradisional, terutama digunakan untuk menulis batik tulis. Penggunaan canting memungkinkan detil pola yang kecil dan halus meski prosesnya menjadi sangat padat karya. Batik cap memungkinkan produksi yang lebih cepat dan efisien namun dengan mengorbankan kehalusan detil.[24][25]

Batik tulis

Batik tulis (aksara Jawa: ꦧꦠꦶꦏ꧀ꦠꦸꦭꦶꦱ꧀; Pegon: باتيق توليس) adalah batik yang polanya digambar menggunakan canting. Kain yang sudah diberi malam akan dicelup pewarna kemudian dijemur. Setelah kering, malam disisihkan dengan cara direbus atau dikerik untuk menghasilkan kontras warna antara bagian kain yang terintang dan tidak terintang. Proses diulang sesuai dengan jumlah warna dan kerumitan pola yang diinginkan.[26][27] Canting tersedia dalam beberapa ukuran dan ada pula yang dapat menghasilkan titik/garis majemuk. Di luar Indonesia, canting dapat memiliki varian bentuk tergantung dari pola-pola yang biasa dibuat.

Batik cap

Batik cap (aksara Jawa: ꦧꦠꦶꦏ꧀ꦕꦥ꧀; Pegon: باتيق چڤ) adalah batik yang polanya digambar menggunakan cap. Cap memungkinkan pengisian bidang kain dengan lebih cepat dibanding canting dan juga memungkinkan pengulangan pola (dalam kain maupun antar-kain) yang lebih konsisten. Penggunaan cap memungkinkan batik dengan harga lebih murah dibanding batik tulis yang murni menggunakan canti, meski cap tetap perlu keahlian tersendiri untuk menghasilkan produk bagus. Bahan cap dapat bervariasi. Di India abad pertengahan, cap batik cenderung dibuat dair kayu. Cap di Jawa masa kini umumnya menggunakan kabel dan helaian tembaga yang memerlukan keahlian tersendiri untuk dibuat. Sisa proses pencelupan sama dengan batik tulis.[28][29]

Batik lukis

Batik lukis (aksara Jawa: ꦧꦠꦶꦏ꧀ꦭꦸꦏꦶꦱ꧀; Pegon: باتيق لوكيس) adalah jenis lebih baru yang menggunakan kombinasi alat seperti canting dan kuas layaknya lukisan untuk mengaplikasikan malam. Kuas terutama digunakan untuk menutupi bidang yang luas pada kain. Corak pada batik lukis cenderung tidak memiliki pakem.[30]

Pewarnaan

Terlepas dari cara pengapikasian malam, perwarnaan atau pencelupan akan sama. Kain bermalam dicelup dalam bak pewrna sesuai keinginan. Malam kemudian disisihkan dengan dikerik atau direndam air mendidih, yang menyisakan pola negatif pada kain. Sebelum penemuan pewarna sistesis, pencelupan adalah salah satu tahap pembuatan batik yang paling rumit. Pewarna alami, kebanyakan dari tumbuhan, tidak selalu menghasilkan warna yang konsisten. Pengerajin perlu mempertimbangkan bagaimana zat pewarna berinteraksi ketika suatu kain perlu pencelupan majemuk. Banyak pengerajin yang menggunakan resep khusus berdasarkan ketersediaan tumbuhan sekitar. Pewarna alami juga seringkali perlu pencelupan berkali-kali untuk menghasilkan warna pekat sehingga memperlambat proses produksi.[31] Pewarna sintesis mempermudah proses, namun menghasilkan limbah kimia yang bisa jadi berbahaya bagi lingkungan. Ramah lingkungan menjadi salah salah satu alasan beberapa pengerajin batik tetap menggunakan pewarna alami meski tersedia pilihan sintesis.[32][33][22]

Jenis batik

  • Batik tulis adalah kain yang dihias dengan tekstur dan corak batik menggunakan tangan. Pembuatan batik jenis ini memakan waktu kurang lebih 2-3 bulan.
  • Batik cap adalah kain yang dihias dengan tekstur dan corak batik yang dibentuk dengan cap (biasanya terbuat dari tembaga). Proses pembuatan batik jenis ini membutuhkan waktu kurang lebih 2-3 hari.
  • Batik lukis adalah proses pembuatan batik dengan cara langsung melukis pada kain putih.
Batik Jawa

Sebuah warisan kesenian budaya orang Indonesia, khususnya daerah Jawa yang dikuasai orang Jawa dari turun- temurun. Batik Jawa memunyai motif-motif yang berbeda-beda. Perbedaan motif ini biasa terjadi dikarenakan motif-motif itu memunyai makna, bukan hanya sekadar gambar, tetapi mengandung makna yang mereka dapat dari leluhur mereka, yaitu penganut agama animisme, dinamisme atau Hindu dan Buddha. Batik Jawa banyak berkembang di daerah Solo atau yang biasa disebut dengan batik Solo, Yogyakarta atau biasa disebut Batik Jogja dan Kota Pekalongan atau yang biasa disebut Batik Pekalongan.

Berdasarkan daerah asal

Berdasarkan corak

Galeri

Lihat pula

Catatan

  1. ^ Banyak sumber memberi penjelasan bahwa istilah bathik sendiri merupakan gabungan dua akar kata, misal amba "menulis" dan titik.[5] Namun begitu penjelasan seperti ini bisa jadi tafsir keratabasa rakyat karena kerap tidak memiliki sumber awal yang jelas dan tidak ditemukan dalam kamus Bahasa Jawa seperti Baoesastra Djawa.
  2. ^ Proses batik menerapkan rintangan pada kain yang telah ditenun, ini berbeda dengan ikat yang mana rintangan diterapkan pada benang sebelum ditenun.

Referensi

  1. ^ "Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring". Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-29. Diakses tanggal 04 Oktober 2016. 
  2. ^ Tunggal, Aprilia Restuning; Darmaningrum, Kurniawati; Fajri, Rosa Nikmatul (2022-12-29). "PENINGKATAN DAYA SAING UMKM BATIK TULIS LASEM MUSTIKA CANTING MELALUI UPGRADING PRODUK DAN DIGITAL MARKETING". Al-Khidmat. 5 (2): 82–88. doi:10.15575/jak.v5i2.19856. ISSN 2654-4431. 
  3. ^ UNESCO: Indonesian Batik
  4. ^ "Batik". kbbi.kemdikbud.go.id. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 
  5. ^ Trixie, Alicia Amaris (July 2020). "Filosofi Motif Batik sebagai Identitas Bangsa Indonesia". Folio. 1 (1): 1–19. 
  6. ^ Poerwadharminta, WJS (1939). Baoesastra Djawa. Batavia: J. B. Wolters' Uitgevers-Maatschappij N. V. Groningen. 
  7. ^ Blust 1995, hlm. 496.
  8. ^ Blust, Robert; Trussel, Stephen (2020). "Austronesian Comparative Dictionary, web edition". 
  9. ^ Langewis & Wagner 1964, hlm. 16.
  10. ^ Maxwell 2003, hlm. 325.
  11. ^ Sardjono & Buckley 2022, hlm. 66.
  12. ^ Gittinger 1979, hlm. 16.
  13. ^ Sardjono & Buckley 2022, hlm. 64.
  14. ^ "batik". Oxford English Dictionary. Diakses tanggal 2024-08-30. 
  15. ^ "Batik". Dictionary.com. Diakses tanggal 2024-08-30. 
  16. ^ a b c Nadia Nava, Il batik - Ulissedizioni - 1991 ISBN 88-414-1016-7
  17. ^ Sejarah Batik Indonesia
  18. ^ a b Iwan Tirta, Gareth L. Steen, Deborah M. Urso, Mario Alisjahbana, 'Batik: a play of lights and shades, Volume 1', By Gaya Favorit Press, 1996, ISBN 979-515-313-7, 9789795153139[pranala nonaktif permanen]
  19. ^ "Prajnaparamita and other Buddhist deities". Volkenkunde Rijksmuseum. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2 May 2014. Diakses tanggal 1 May 2014. 
  20. ^ Jung-pang, Lo (2013). China as a Sea Power, 1127-1368. Flipside Digital Content Company Inc. ISBN 9789971697136. 
  21. ^ Dewan sastera, Volume 31, Issues 1-6 By Dewan Bahasa dan Pustaka
  22. ^ a b c Trefois 2010.
  23. ^ Elliott 1984, hlm. 50-59.
  24. ^ "Indonesia Batik". UNESCO. Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 December 2020. Diakses tanggal 21 October 2019. 
  25. ^ Handayani et al 2018, hlm. 237.
  26. ^ Trefois 2010, hlm. 99.
  27. ^ Gillow & Sentance 2000, hlm. 135.
  28. ^ Ajie, Stefanus (2018-10-18). "Preserving traditional values through stamped batik". The Jakarta Post. Diakses tanggal 2024-08-30. 
  29. ^ Gillow & Sentance 2000, hlm. 136–137.
  30. ^ "Batik Lukis". www.nafiun.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 30 September 2021. Diakses tanggal 24 January 2021. 
  31. ^ Elliott 1984, hlm. 56-59.
  32. ^ Handayani et al 2018.
  33. ^ Sumarsono et al 2013.

Daftar pustaka

  • Blust, Robert (December 1995). "The Prehistory of the Austronesian-Speaking Peoples: A View from Language" (PDF). Journal of World Prehistory. 9 (4): 453–510. doi:10.1007/BF02221119. 
  • Doellah, H.Santosa. (2003). Batik: The Impact of Time and Environment, Solo: Danar Hadi. ISBN 979-97173-1-0
  • Elliott, Inger McCabe. (1984) Batik: fabled cloth of Java photographs, Brian Brake ; contributions, Paramita Abdurachman, Susan Blum, Iwan Tirta ; design, Kiyoshi Kanai. New York: Clarkson N. Potter Inc., ISBN 0-517-55155-1
  • Fraser-Lu, Sylvia.(1986) Indonesian batik: processes, patterns, and places Singapore: Oxford University Press. ISBN 0-19-582661-2
  • Gillow, John; Dawson, Barry. (1995) Traditional Indonesian Textiles. Thames and Hudson. ISBN 0-500-27820-2
  • Gittinger, Mattiebelle (1979). Splendid Symbols: Textiles and Tradition in Indonesia. Singapore: Oxford University Press. 
  • Langewis, Laurens; Wagner, Frits A. (1964). Decorative Art in Indonesian Textiles. Amsterdam: CPJ van der Peet. 
  • Maxwell, Robyn (2003). Textiles of Southeast Asia: Tradition, Trade and Transformation. Singapore: Periplus. 
  • Nava, Nadia (1991). Il batik: come tingere e decorare i tessuti diegnando con la cera. Ulisse. ISBN 88-414-1016-7. 
  • QuaChee & eM.K. (2005) Batik Inspirations: Featuring Top Batik Designers. ISBN 981-05-4447-2
  • Raffles, Sir Thomas Stamford. (1817) History of Java, Black, Parbury & Allen, London.
  • Sardjono, Sandra; Buckley, Christopher (2022). "A 700-years old blue-and-white batik from Indonesia". Fiber, Loom and Technique: The Journal of the Tracing Patterns Foundation. 1: 64–78. 
  • Sumarsono, Hartono; Ishwara, Helen; Yahya, L.R. Supriyapto; Moeis, Xeni (2016). Batik Garutan: Koleksi Hartono Sumarsono. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 978-602-6208-09-5. 
  • Sumarsono, Hartono; Ishwara, Helen; Yahya, L.R. Supriyapto; Moeis, Xeni (2013). Benang Raja: Menyimpul Keelokan Batik Pesisir. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 978-979-9106-01-8. 
  • Tirta, Iwan; Steen, Gareth L.; Urso, Deborah M.; Alisjahbana, Mario (1996). Batik: a play of lights and shades, Volume 1. Indonesia: Gaya. ISBN 978-979-515-313-9. 

Pustaka lainnya

  • Pogadaev, Victor (2002). "The Magic of Batik" in "Vostochnaya Kollektsiya" (Oriental Collection), Spring 2002, p. 71-74.

Pranala luar