Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia
Artikel ini memerlukan pemutakhiran informasi. |
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Saat ini KPK dipimpin oleh Plt Ketua Tumpak Hatorangan Panggabean[1].
Artikel ini adalah bagian dari seri |
Politik dan ketatanegaraan Indonesia |
---|
Pemerintahan pusat |
Pemerintahan daerah |
Politik praktis |
Kebijakan luar negeri |
Sejarah lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia
Orde Lama
Kabinet Djuanda
Di masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban secara langsung kepada Presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik, Paran berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.
Operasi Budhi
Pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.
Lagi-lagi alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti Direktur Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak karena belum ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan negara kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi Budhi ini dihentikan dengan pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada tahun 2001 mencatatkan bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi di masa Orde Lama pun kembali masuk ke jalur lambat, bahkan macet.
Orde Baru
Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.
Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.begitu
Era Reformasi
Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.[2]
KPK di bawah Taufiequrachman Ruki (2003-2007)
Pada tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, seorang alumni Akademi Kepolisian (Akpol) 1971, dilantik menjadi Ketua KPK. Di bawah kepemimpinan Taufiequrachman Ruki, KPK hendak memposisikan dirinya sebagai katalisator (pemicu) bagi aparat dan institusi lain untuk terciptanya jalannya sebuah "good and clean governance" (pemerintahan baik dan bersih) di Republik Indonesia. Sebagai seorang mantan Anggota DPR RI dari tahun 1992 sampai 2001, Taufiequrachman walaupun konsisten mendapat kritik dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih pemberantasan korupsi.
Menurut Taufiequrachman Ruki, pemberantasan korupsi tidak hanya mengenai bagaimana menangkap dan memidanakan pelaku tindak pidana korupsi, tapi juga bagaimana mencegah tindak pidana korupsi agar tidak terulang pada masa yang akan datang melalui pendidikan antikorupsi, kampanye antikorupsi dan adanya contoh "island of integrity" (daerah contoh yang bebas korupsi).
Pernyataan Taufiequrachman mengacu pada definisi korupsi yang dinyatakan dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Menurutnya, tindakan preventif (pencegahan) dan represif (pengekangan) ini dilakukan dengan "memposisikan KPK sebagai katalisator (trigger) bagi aparat atau institusi lain agar tercipta good and clean governance dengan pilar utama transparansi, partisipasi dan akuntabilitas".
Taufiequrachman mengemukakan data hasil survei Transparency Internasional mengenai penilaian masyarakat bisnis dunia terhadap pelayanan publik di Indonesia. Hasil survei itu memberikan nilai IPK (Indeks Persepsi Korupsi) sebesar 2,2 kepada Indonesia. Nilai tersebut menempatkan Indonesia pada urutan 137 dari 159 negara tersurvei. Survei Transparency International Indonesia berkesimpulan bahwa lembaga yang harus dibersihkan menurut responden, adalah: lembaga peradilan (27%), perpajakan (17%), kepolisian (11%), DPRD (10%), kementerian/departemen (9%), bea dan cukai (7%), BUMN (5%), lembaga pendidikan (4%), perijinan (3%), dan pekerjaan umum (2%).
Lebih lanjut disampaikan, survei terbaru Transparency International yaitu "Barometer Korupsi Global", menempatkan partai politik di Indonesia sebagai institusi terkorup dengan nilai 4,2 (dengan rentang penilaian 1-5, 5 untuk yang terkorup). Masih berangkat dari data tersebut, di Asia, Indonesia menduduki prestasi sebagai negara terkorup dengan skor 9.25 (terkorup 10) di atas India (8,9), Vietnam (8,67), Filipina (8,33) dan Thailand (7,33).
Dengan adanya data tersebut, terukur bahwa keberadaan korupsi di Indonesia telah membudaya baik secara sistemik dan endemik. Maka Taufiequrachman berasumsi bahwa kunci utama dalam pemberantasan korupsi adalah integritas yang akan mencegah manusia dari perbuatan tercela, entah itu "corruption by needs" (korupsi karena kebutuhan), "corruption by greeds" (korupsi karena keserakahan) atau "corruption by opportunities" (korupsi karena kesempatan). Taufiequrachman juga menyampaikan bahwa pembudayaan etika dan integritas antikorupsi harus melalui proses yang tidak mudah, sehingga dibutuhkan adanya peran pemimpin sebagai teladan dengan melibatkan institusi keluarga, pemerintah, organisasi masyarakat dan organisasi bisnis.
Pada tahun 2007 Taufiequrachman Ruki digantikan oleh Antasari Azhar sebagai Ketua KPK
KPK di bawah Antasari Azhar (2007-2009)
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Kontroversi
Kasus pembunuhan
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Kasus Anggoro
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Penanganan Kasus Korupsi oleh KPK
2009
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
2008
- 16 Januari Mantan Kapolri Rusdihardjo ditahan di Rutan Brimob Kelapa Dua. Terlibat kasus dugaan korupsi pada pungli pada pengurusan dokumen keimigrasian saat menjabat sebagai Duta Besar RI di Malaysia. Dugan kerugian negara yang diakibatkan Rusdihardjo sebesar 6.150.051 ringgit Malaysia atau sekitar Rp15 miliar. Rusdiharjo telah di vonis pengadilan Tipikor selama 2 tahun.
- 14 Februari Direktur Hukum BI Oey Hoey Tiong di Rutan Polda Metro Jaya dan Rusli Simanjuntak ditahan di Rutan Brimob Kelapa Dua. Kedua petinggi BI ini ditetapkan tersangka dalam penggunaan dana YPPI sebesar Rp 100 miliar. Mantan Direktur Hukum BI Oey Hoey Tiong dan mantan Kepala Biro BI Rusli Simanjuntak yang masing-masing empat tahun penjara.
- 10 April Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanuddin Abdullah ditahan di Rutan Mabes Polri. Burhanuddin diduga telah menggunakan dana YPPI sebesar Rp 100 miliar. Burhanuddin sudah di vonis pengadilan tipikor lima tahun penjara,
- 27 November Aulia Pohan, besan Presiden SBY. Dia bersama tersangka lain, Maman Sumantri mendekam di ruang tahanan Markas Komando Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Sementara Bun Bunan Hutapea dan Aslim Tadjuddin dititipkan oleh KPK di tahanan Badan Reserse Kriminal Mabes Polri. Mereka diduga terlibat dalam pengucuran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) sebesar Rp100 miliar.
- 2 Maret Jaksa Urip Tri Gunawan ditahan di Rutan Brimob Kelapa Dua dan Arthalita Suryani ditahan di Rutan Pondok Bambu. Jaksa Urip tertangkap tangan menerima 610.000 dolar AS dari Arthalita Suryani di rumah obligor BLBI Syamsul Nursalim di kawasan Permata Hijau, Jakarta Selatan. Urip di vonis ditingkat pengadilan Tipikor dan diperkuat ditingkat kasasi di Mahkamah Agung selama 20 tahun penjara. Sedangkan Arthalita di vonis di Tipikor selama 5 tahun penjara.
- 12 Maret Pimpro Pengembangan Pelatihan dan Pengadaan alat pelatihan Depnakertrans Taswin Zein ditahan di Rutan Polda Metro Jaya. Taswin diduga terlibat dalam kasus penggelembungan Anggaran Biaya Tambahan (ABT) Depnakertrans tahun 2004 sebesar Rp 15 miliar dan Anggaran Daftar Isian sebesar Rp 35 miliar. Taswin telah di vonis Pengadilan Tipikor selama 4 tahun penjara.
- 20 Maret Mantan Gubernur Riau Saleh Djasit (1998-2004) ditahan sejak 20 Maret 2008 di rutan Polda Metro Jaya. Saleh yang juga anggota DPR RI (Partai Golkar) ditetapkan sebagai tersangka sejak November 2007 dalam kasus dugaan korupsi pengadaan 20 unit mobil pemadam kebakaran senilai Rp 15 miliar. Saleh Djasit telah di vonis Pengadilan Tipikor selama 4 tahun penjara.
- 10 November Mantan gubernur Jawa Barat Danny Setiawan dan Dirjen Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri Oentarto Sindung Mawardi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus Damkar ditahan di rutan Bareskrim Mabes Polri. KPK juga menahan mantan Kepala Biro Pengendalian Program Pemprov Jabar Ijudin Budhyana dan mantan kepala perlengkapan Wahyu Kurnia. Ijudin saat ini masih menjabat sebagai Kepala Dinas Pariwisata Jabar. Selain itu KPK telah menahan Ismed Rusdani pada Rabu (12/12/08). Ismed yang menjabat staf biro keuangan di lingkungan Pemprov Kalimantan Timur ditahan di Rutan Polda Metro Jaya. Damkar juga menyeret Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kota Depok Yusuf juga ditetapkan sebagai tersangka pada Senin 22 September 2008
- 9 April Anggota DPR RI (PPP) Al Amin Nur Nasution dan Sekda Kabupaten Bintan Azirwan ditahan di Rutan Polda Metro Jaya, Sekda Bintan Azirwan ditahan di Rutan Polres Jakarta Selatan. Al Amin tertangkap tangan menerima suap dari Azirwan. Saat tertangkap ditemukan Rp 71juta dan 33.000 dolar Singapura. Mereka ditangkap bersama tiga orang lainnya di Hotel Ritz Carlton.
- 17 April Anggota DPR RI (Partai Golkar) Hamka Yamdhu dan mantan Anggota DPR RI (Partai Golkar) Anthony Zeidra Abidin. Anthony Z Abidin yang juga menjabat Wakil Gubernur Jambi ditahan di Polres Jakarta Timur, Hamka Yamdhu ditahan di Rutan Polres Jakarta Barat. Hamda dan Anthony Z Abidin diduga menerima Rp 31,5 miliar dari Bank Indonesia.
2007
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
2006
Desember
- 27 Desember - Menetapkan Bupati Kutai Kartanegara Syaukani H.R. sebagai tersangka dalam kasus korupsi Bandara Loa Kulu yang diperkirakan merugikan negara sebanyak Rp 15,9 miliar. Tribun Kaltim
- 22 Desember - Menahan Bupati Kendal Hendy Boedoro setelah menjalani pemeriksaan Hari Jumat (22/12). Hendy ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi APBD Kabupaten Kendal 2003 hingga 2005 senilai Rp 47 miliar. Selain Hendy, turut pula ditahan mantan Kepala Dinas Pengelola Keuangan Daerah Warsa Susilo. Tempo Interaktif
- 21 Desember - Menetapkan mantan Gubernur Kalimantan Selatan H.M. Sjachriel Darham sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penggunaan uang taktis. Sjachriel Darham sudah lima kali diperiksa penyidik dan belum ditahan. Tempo Interaktif
Desember 2008, menahan BUPATI Garut 2004-2009 Letkol.(Purn) H. Agus Supriadi SH, yang tersangkut penyelewangan dana bantuan bencana alam sebesar 10 milyar negara dirugikan,Bupati Agus dikenakan hukuman 15 tahun penjara dan denda 300 juta.
November
- 30 November - Jaksa KPK Tuntut Mulyana W. Kusumah 18 Bulan dalam kasus dugaan korupsi pengadaan kotak suara Pemilihan Umum 2004. Tempo Interaktif
- 30 November - Menahan bekas Konsul Jenderal RI di Johor Baru, Malaysia, Eda Makmur. Eda diduga terlibat kasus dugaan korupsi pungutan liar atau memungut tarif pengurusan dokumen keimigrasian di luar ketentuan yang merugikan negara sebesar RM 5,54 juta atau sekitar Rp 3,85 miliar. Tempo Interaktif
- 30 November - Menahan Rokhmin Dahuri, Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2001-2004. Rokhmin diduga terlibat korupsi dana nonbujeter di departemennya. Total dana yang dikumpulkan adalah Rp 31,7 miliar. Tempo Interaktif
September
- 2 September - Memeriksa Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan selama 11 jam di gedung KPK. Pemeriksaan ini terkait kasus pembelian alat berat senilai Rp 185,63 miliar oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang dianggarkan pada 2003-2004. Tempo Interaktif
Juni
- 19 Juni - Menahan Gubernur Kalimantan Timur, Suwarna A.F. setelah diperiksa KPK dalam kasus ijin pelepasan kawasan hutan seluas 147 ribu hektare untuk perkebunan kelapa sawit tanpa jaminan, dimana negara dirugikan tak kurang dari Rp 440 miliar. Tempo Interaktif
2005
- Kasus penyuapan anggota KPU, Mulyana W. Kusumah kepada tim audit BPK (2005)
- Kasus korupsi di KPU, dengan tersangka Nazaruddin Sjamsuddin, Safder Yusacc dan Hamdani Amin (2005)
- Kasus penyuapan panitera PT Jakarta oleh kuasa hukum Abdullah Puteh, dengan tersangka Teuku Syaifuddin Popon, Syamsu Rizal Ramadhan, dan M. Soleh. (2005)
- Kasus penyuapan Hakim Agung MA dalam perkara Probosutedjo, dengan tersangka Harini Wijoso, Sinuhadji, Pono Waluyo, Sudi Wibow
2004
- Dugaan korupsi dalam pengadaan Helikopter jenis MI-2 Merk Ple Rostov Rusia milik Pemda NAD (2004). Sedang berjalan, dengan tersangka Ir. H. Abdullah Puteh.
- Dugaan korupsi dalam pengadaan Buku dan Bacaan SD, SLTP, yang dibiayai oleh Bank Dunia (2004)
- Dugaan korupsi dalam Proyek Program Pengadaan Busway pada Pemda DKI Jakarta (2004)
- Dugaan penyalahgunaan jabatan oleh Kepala Bagian Keuangan Dirjen Perhubungan Laut dalam pembelian tanah yang merugikan keuangan negara Rp10 milyar lebih. (2004). Sedang berjalan, dengan tersangka tersangka Drs. Muhammad Harun Let Let dkk.
- Dugaan korupsi pada penyalahgunaan fasilitas preshipment dan placement deposito dari BI kepada PT Texmaco Group melalui Bank BNI (2004)
- Dugaan telah terjadinya TPK atas penjualan aset kredit PT PPSU oleh BPPN. (2004)
Lihat pula
Regulasi
Dasar hukum KPK
- UU RI nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Kepres RI No. 73 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- PP RI No. 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang
- UU RI No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari KKN
- UU RI No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- UU RI No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- UU RI No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Peraturan Pemerintah
Referensi
- ^ Komisi Pemberantasan Korupsi. "Profil Pimpinan KPK". Diakses tanggal 12 Februari.
- ^ http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=9491