Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau disingkat UUD 1945 atau UUD '45, adalah hukum dasar tertulis (basic law), konstitusi pemerintahan negara Republik Indonesia saat ini. [1]
Artikel ini adalah bagian dari seri |
Politik dan ketatanegaraan Indonesia |
---|
Pemerintahan pusat |
Pemerintahan daerah |
Politik praktis |
Kebijakan luar negeri |
UUD 1945 disahkan sebagai undang-undang dasar negara oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Sejak tanggal 27 Desember 1949, di Indonesia berlaku Konstitusi RIS, dan sejak tanggal 17 Agustus 1950 di Indonesia berlaku UUDS 1950. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali memberlakukan UUD 1945, dengan dikukuhkan secara aklamasi oleh DPR pada tanggal 22 Juli 1959.
Pada kurun waktu tahun 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen), yang mengubah susunan lembaga-lembaga dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.
Naskah Undang-Undang Dasar 1945
Sebelum dilakukan Perubahan, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh (16 bab, 37 pasal, 65 ayat (16 ayat berasal dari 16 pasal yang hanya terdiri dari 1 ayat dan 49 ayat berasal dari 21 pasal yang terdiri dari 2 ayat atau lebih), 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan), serta Penjelasan.
Setelah dilakukan 4 kali perubahan, UUD 1945 memiliki 20 bab, 37 pasal, 194 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan Tambahan.
Dalam Risalah Sidang Tahunan MPR Tahun 2002, diterbitkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah, Sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi Tanpa Ada Opini.
Sejarah
Sejarah Awal
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk pada tanggal 29 April 1945 adalah badan yang menyusun rancangan UUD 1945. Pada masa sidang pertama yang berlangsung dari tanggal 28 Mei hingga 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan gagasan tentang "Dasar Negara" yang diberi nama Pancasila. Pada tanggal 22 Juni 1945, 38 anggota BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang terdiri dari 9 orang untuk merancang Piagam Jakarta yang akan menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. Setelah dihilangkannya anak kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya" maka naskah Piagam Jakarta menjadi naskah Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945. Naskah rancangan UUD 1945 Indonesia disusun pada masa Sidang Kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI). Nama Badan ini tanpa kata "Indonesia" karena hanya diperuntukkan untuk tanah Jawa saja. Di Sumatera ada BPUPKI untuk Sumatera. Masa Sidang Kedua tanggal 10-17 Juli 1945. Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
Periode berlakunya UUD 1945 (18 Agustus 1945 - 27 Desember 1949)
Dalam kurun waktu 1945-1950, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945 memutuskan bahwa KNIP diserahi kekuasaan legislatif, karena MPR dan DPR belum terbentuk. Tanggal 14 November 1945 dibentuk Kabinet Semi-Presidensial ("Semi-Parlementer") yang pertama, sehingga peristiwa ini merupakan perubahan sistem pemerintahan agar dianggap lebih demokratis.
Periode berlakunya Konstitusi RIS 1949 (27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950)
Pada masa ini sistem pemerintahan indonesia adalah parlementer.
bentuk pemerintahan dan bentuk negaranya federasi yaitu negara yang didalamnya terdiri dari negara-negara bagian yang masing masing negara bagian memiliki kedaulatan sendiri untuk mengurus urusan dalam negerinya.
Periode UUDS 1950 (17 Agustus 1950 - 5 Juli 1959)
Pada periode UUDS 50 ini diberlakukan sistem Demokrasi Parlementer yang sering disebut Demokrasi Liberal. Pada periode ini pula kabinet selalu silih berganti, akibatnya pembangunan tidak berjalan lancar, masing-masing partai lebih memperhatikan kepentingan partai atau golongannya. Setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang dialami rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Akhirnya Presiden menganggap bahwa keadaan ketatanegaraan Indonesia membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara serta merintangi pembangunan semesta berencana untuk mencapai masyarakat adil dan makmur; sehingga pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan dekrit mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950
Periode kembalinya ke UUD 1945 (5 Juli 1959 - 1966)
Karena situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 dimana banyak saling tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang berlaku pada waktu itu.
Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, di antaranya:
- Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara
- MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup
- Pemberontakan Partai Komunis Indonesia melalui Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia
Periode UUD 1945 masa orde baru (11 Maret 1966 - 21 Mei 1998)
Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen.
Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat "sakral", di antara melalui sejumlah peraturan:
- Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya
- Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum.
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.
Periode 21 Mei 1998 - 19 Oktober 1999
Pada masa ini dikenal masa transisi. Yaitu masa sejak Presiden Soeharto digantikan oleh B.J.Habibie sampai dengan lepasnya Provinsi Timor Timur dari NKRI.
Periode Perubahan UUD 1945
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu "luwes" (sehingga dapat menimbulkan multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan di antaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensial.
Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
- Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 → Perubahan Pertama UUD 1945
- Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000 → Perubahan Kedua UUD 1945
- Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001 → Perubahan Ketiga UUD 1945
- Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002 → Perubahan Keempat UUD 1945
Struktur UUD NRI pasca 2002
Struktur UUD NRI 1945 setelah tahun 2002 terdiri atas:
- Naskah UUD NRI 1945,
- Naskah Perubahan Pertama UUD NRI 1945,
- Naskah Perubahan Kedua UUD NRI 1945,
- Naskah Perubahan Ketiga UUD NRI 1945, dan
- Naskah Perubahan Keempat UUD NRI 1945.
Struktur ini mengacu pada kesepakatan dalam sidang MPR RI periode 1999-2004, bahwa perubahan UUD NRI 1945 dilakukan secara adendum [2] sehingga tidak merubah bunyi naskah asli namun menambah/merubah norma/ketentuan hukum yang ada didalamnya. Semula UUD NRI 1945 berisi 71 butir norma/ketentuan. Pasca perubahan, ketentuan yang ada telah berkembang menjadi 199 butir, menyisakan hanya 25 butir ketentuan yang tidak mengalami perubahan dan sebanyak 174 butir ketentuan dapat dikatakan merupakan materi yang sama sekali baru [3].
Dengan banyaknya perubahan dan ketentuan baru maka MPR RI menyusun kompilasi UUD NRI 1945 dalam satu naskah untuk memudahkan para penggunannya. Pada kompilasi ini UUD NRI terdiri atas pembukaan dan pasal-pasal. Pembukaan terdiri atas empat alinea/paragraf. Pasal-pasal dikelompokkan dalam 20 Bab ditambah aturan peralihan serta aturan tambahan. Berikut ini struktur komplasi UUD NRI 1945 setelah tahun 2002 secara singkat.
Pembukaan
Pembukaan UUD 1945 terdiri atas empat paragraf. Paragraf 1 antara lain berisi hak merdeka dan penghapusan penjajahan. Paragraf 2 antara lain berisi perjuangan kemerdekaan Indomesia dan visi Negara Indonesia. Paragraf 3 antara lain berisi pernyataan kemerdekaan (declaration of independence). Paragraf 4 berisi misi Negara Indonesia, susunan negara, dan dasar negara.
BAB I
Bab pertama menurut urutan kompilasi diberi judul Bentuk dan Kedaulatan. Bab ini terdiri atas satu pasal yaitu pasal 1. Bab ini antara lain berisi sistem negara kesatuan dan bentuk republik [4], kedaulatan negara [5], dan prinsip negara berdasar hukum (rechtsstaat bukan machtsstaat) [6].
BAB II
Bab kedua menurut urutan kompilasi diberi judul Majelis Permusyawaratan Rakyat. Bab ini terdiri atas dua pasal, yaitu pasal 2 dan 3. Bab ini antara lain berisi susunan MPR, persidangan, dan tata cara pengambilan putusan [7] serta tugas dan wewenang MPR [8].
BAB III
Bab ketiga menurut urutan kompilasi diberi judul Kekuasaan Pemerintahan Negara. Bab ini terdiri atas enam belas pasal, yaitu pasal 4, 5, 6, 6A, 7, 7A, 7B, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, dan 16. Bab ini merupakan bab yang paling banyak pasalnya dan materi yang diaturnya. Bab ini antara lain berisi:
- Kekuasaan eksekutif dan komposisi lembaga kepresidenan [9].
- Hak legislatif dan pembuatan regulasi [10].
- Persyaratan [11], tata cara pemilihan [12], dan masa jabatan lembaga kepresidenan [13].
- Persyaratan [14] dan tata cara pemberhentian lembaga kepresidenan dalam masa jabatan [15].
- Suksesi [16] dan sumpah jabatan lembaga kepresidenan [17].
- Penguasa angkatan perang [18], pernyataan perang dan damai, serta membuat perjanjian [19].
- Pernyataan keadaan bahaya [20] dan larangan pembekuan/pembubaran DPR [21].
- Pengangkatan dan penerimaan utusan diplomatik [22].
- Hak yudikatif [23], pemberian gelar dan tanda jasa [24], serta pembentukan dewan pertimbangan [25].
BAB V
Bab keempat menurut urutan kompilasi diberi judul Kementerian Negara. Bab ini terdiri atas satu pasal yaitu pasal 17. Bab ini antara lain berisi kedudukan [26], pengangkatan, dan pemberhentian menteri [27], serta pembentukan, pengubahan dan pembubaran kementerian negara [28].
BAB VI
Bab kelima menurut urutan kompilasi diberi judul Pemerintahan Daerah. Bab ini terdiri atas tiga pasal, yaitu pasal 18, 18A, dan 18B. Bab ini antara lain berisi pembagian dan susunan pemerintahan daerah di Indonesia, urusan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah [29], hubungan kewenangan dan keuangan antara pusat dan daerah [30], serta pengakuan atas daerah khusus-istimewa dan kesatuan masyarakat hukum adat [31].
BAB VII
Bab keenam menurut urutan kompilasi diberi judul Dewan Perwakilan Rakyat. Bab ini terdiri atas tujuh pasal, yaitu pasal 19, 20, 20A, 21, 22, 22A, dan 22B. Bab ini antara lain berisi susunan dan persidangan DPR [32], lembaga legislatif dan tata cara pembentukan undang-undang [33], fungsi dan hak Dewan maupun legislator [34], pengajuan usul rancangan undang-undang [35], preveligi presiden dalam keadaan darurat [36], dan pemberhentian legislator [37].
BAB VIIA
Bab ketujuh menurut urutan kompilasi diberi judul Dewan Perwakilan Daerah. Bab ini terdiri atas dua pasal, yaitu pasal 22C dan 22D. Bab ini antara lain berisi susunan dan persidangan DPD [38], hak mengajukan rancangan undang-undang, dan hak memberi pertimbangan rancangan undang-undang [39].
BAB VIIB
Bab kedelapan menurut urutan kompilasi diberi judul Pemilihan Umum. Bab ini terdiri atas satu pasal, yaitu pasal 22E. Bab ini antara lain berisi asas, waktu, dan tujuan pemilu [40], peserta pemilu [41], dan komisi pemilihan umum [42].
BAB VIII
Bab kesembilan menurut urutan kompilasi diberi judul Hal Keuangan. Bab ini terdiri atas lima pasal, yaitu pasal 23, 23A, 23B, 23C, dan 23D. Bab ini antara lain berisi anggaran pendapatan dan belanja negara [43], pajak [44], mata uang [45], keuangan negara [46], dan bank sentral [47].
BAB VIIIA
Bab kesepuluh menurut urutan kompilasi diberi judul Badan Pemeriksa Keuangan. Bab ini terdiri atas tiga pasal, yaitu pasal 23E, 23F, dan 23G. Bab ini antara lain berisi pemeriksaan keuangan negara oleh BPK [48], susunan badan audit negara [49], dan kedudukan badan audit negara [50].
BAB IX
Bab kesebelas menurut urutan kompilasi diberi judul Kekuasaan Kehakiman. Bab ini terdiri atas lima pasal, yaitu pasal 24, 24A, 24B, 24C, dan 25. Bab ini antara lain berisi:
- Independensi kekuasaan yudikatif dan pemegang kekuasaan yudikatif serta badan-badan yang terkait [51].
- Mahkamah Agung, persyaratan dan pemilihan Hakim Agung, serta susunan dan kedudukan Mahkamah [52].
- Komisi Yudisial, persyaratan dan mekanisme pengisian komisioner, serta susunan dan kedudukan komisi [53].
- Mahkamah Konstitusi, persyaratan dan mekanisme pengisian Hakim Konstitusi, serta susunan dan kedudukan Mahkamah [54].
- Pengangkatan dan pemberhentian hakim [55].
BAB IXA
Bab kedua belas menurut urutan kompilasi diberi judul Wilayah Negara. Bab ini terdiri atas satu pasal, yaitu pasal 25A. Bab ini antara lain berisi pernyataan tentang negara kepulauan dan pengaturannya dengan undang-undang.
BAB X
Bab ketiga belas menurut urutan kompilasi diberi judul Warga Negara dan Penduduk. Bab ini terdiri atas tiga pasal, yaitu pasal 26, 27, dan 28. Bab ini antara lain berisi ketentuan-ketentuan mengenai warga negara Indonesia dan penduduk yang tinggal di Indonesia [56], persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan [57], dan kebebasan untuk berorganisasi [58].
BAB XA
Bab keempat belas menurut urutan kompilasi diberi judul Hal Asasi Manusia. Bab ini terdiri atas sepuluh pasal, yaitu pasal 28A, 28B, 28C, 28D, 28E, 28F, 28G, 28H, 28I, dan 28J. Bab ini antara lain berisi:
- Hak atas kehidupan [59].
- Hak dalam hal berkeluarga [60].
- Hak dalam hal aktualisasi diri [61].
- Hak dalam hukum dan pemerintahan [62].
- Hak dalam hal keyakinan [63].
- Hak dalam hal komunikasi dan informasi [64].
- Hak atas perlindungan [65].
- Hak dalam hal kesejahteraan [66].
- Pelaksanaan hak asasi menurut peraturan perundangan [67].
- Penghormatan dan pembatasan hak asasi dengan Undang-Undang [68].
BAB XI
Bab kelima belas menurut urutan kompilasi diberi judul Agama. Bab ini terdiri atas satu pasal, yaitu pasal 29. Bab ini antara lain berisi Negara berdasar atas Ketuhanan [69] dan jaminan beragama dan beribadat menurut agamanya [70].
BAB XII
Bab keenam belas menurut urutan kompilasi diberi judul Pertahanan dan Keamanan Negara. Bab ini terdiri atas satu pasal, yaitu pasal 30. Bab ini antara lain berisi hak dan kewajiban warga negara dalam pertahanan dan keamanan [71], pelaksana pertahanan dan keamanan [72], tugas TNI [73], tugas Polri [74], dan ketentuan pelaksanaan pertahanan dan keamanan negara [75].
BAB XIII
Bab ketujuh belas menurut urutan kompilasi diberi judul Pendidikan dan Kebudayaan. Bab ini terdiri atas dua pasal, yaitu pasal 31 dan 32. Bab ini antara lain berisi hak dan kewajiban dalam pendidikan [76], sistem pendidikan dan pembiayaannya [77], pengembangan ilmu pengetahuan [78], dan pengembangan kebudayaan [79], serta pemeliharaan bahasa daerah [80].
BAB XIV
Bab kedelapan belas menurut urutan kompilasi diberi judul Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Bab ini terdiri atas dua pasal, yaitu pasal 33 dan 34. Bab ini antara lain berisi asas perekonomian [81], pengaturan oleh negara [82], prinsip-prinsip penyelenggaraan perekonomian [83], dan ketentuan pelaksanaannya [84], serta pemeliharaan [85] dan jaminan sosial oleh negara [86].
BAB XV
Bab kesembilan belas menurut urutan kompilasi diberi judul Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Bab ini terdiri atas lima pasal, yaitu pasal 35, 36, 36A, 36B dan 36C. Bab ini antara lain berisi bendera negara [87], bahasa negara [88], lambang negara [89], lagu kebangsaan [90], dan ketentuan pelaksanaannya [91].
BAB XVI
Bab kedua puluh menurut urutan kompilasi diberi judul Perubahan Undang-Undang Dasar. Bab ini terdiri atas satu pasal, yaitu pasal 37. Bab ini antara lain berisi usul perubahan pasal-pasal UUD [92], mekanisme perubahan UUD [93], dan hal yang tidak dapat diubah [94].
ATURAN PERALIHAN
Rumpun aturan peralihan terpisah dari pasal-pasal lainnya. Jika dimasukkan dalam urutan kompilasi maka rumpun ini berada pada urutan kedua puluh satu. Rumpun ini terdiri atas tiga pasal yaitu pasal I, II, dan III. Rumpun ini antara lain berisi status quo peraturan [95] dan lembaga negara [96] yang belum diganti serta pembentukan mahkamah konstitusi [97].
ATURAN TAMBAHAN
Rumpun aturan tambahan terpisah dari pasal-pasal lainnya. Jika dimasukkan dalam urutan kompilasi maka rumpun ini berada pada urutan kedua puluh dua. Rumpun ini terdiri atas dua pasal yaitu pasal I dan II. Rumpun ini antara lain berisi peninjauan status hukum ketetapan MPRS dan MPR [98] serta struktur UUD NRI yang terdiri atas pembukaan dan pasal-pasal [99].
Referensi
- ^ http://asnic.utexas.edu/asnic/countries/indonesia/ConstIndonesia.html Constitution of Indonesia
- ^ Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku X Perubahan UUD, Aturan Peralihan, dan Aturan Tambahan Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi; Edisi Pertama, Juli 2008 Edisi Revisi, Juli 2010. (Selanjutnya disebut Naskah Komprehensif MK Buku X 2010)
- ^ Naskah Komprehensif MK Buku X 2010.
- ^ Pasal 1 ayat (1)
- ^ Pasal 1 ayat (2)
- ^ Pasal 1 ayat (3)
- ^ Pasal 2
- ^ Pasal 3
- ^ Pasal 4
- ^ Pasal 5
- ^ Pasal 6
- ^ Pasal 6A
- ^ Pasal 7
- ^ Pasal 7A
- ^ Pasal 7B
- ^ Pasal 8
- ^ Pasal 9
- ^ Pasal 10
- ^ Pasal 11
- ^ Pasal 12
- ^ Pasal 7C
- ^ Pasal 13
- ^ Pasal 14
- ^ Pasal 15
- ^ Pasal 16
- ^ Pasal 17 ayat (1)
- ^ Pasal 17 ayat (2)
- ^ Pasal 17 ayat (4)
- ^ Pasal 18
- ^ Pasal 18A
- ^ Pasal 18B
- ^ Pasal 19
- ^ Pasal 20 dan juga Pasal 22A
- ^ Pasal 20A
- ^ Pasal 21
- ^ Pasal 22
- ^ Pasal 22B
- ^ Pasal 22C
- ^ Pasal 22D
- ^ Pasal 22E ayat (1) dan (2)
- ^ Pasal 22E ayat (3) dan (4)
- ^ Pasal 22E ayat (5)
- ^ Pasal 23
- ^ Pasal 23A
- ^ Pasal 23B
- ^ Pasal 23C
- ^ Pasal 23D
- ^ Pasal 23E
- ^ Pasal 23F
- ^ Pasal 23G
- ^ Pasal 24
- ^ Pasal 24A
- ^ Pasal 24B
- ^ Pasal 24C
- ^ Pasal 25
- ^ Pasal 26
- ^ Pasal 27
- ^ Pasal 28
- ^ Pasal 28A
- ^ Pasal 28B
- ^ Pasal 28C
- ^ Pasal 28D
- ^ Pasal 28E
- ^ Pasal 28F
- ^ Pasal 28G
- ^ Pasal 28H
- ^ Pasal 28I
- ^ Pasal 28J
- ^ Pasal 29 ayat (1)
- ^ Pasal 29 ayat (2)
- ^ Pasal 30 ayat (1)
- ^ Pasal 30 ayat (2)
- ^ Pasal 30 ayat (3)
- ^ Pasal 30 ayat (4)
- ^ Pasal 30 ayat (5)
- ^ Pasal 31 ayat (1) dan (2)
- ^ Pasal 31 ayat (3) dan (4)
- ^ Pasal 31 ayat (5)
- ^ Pasal 32 ayat (1)
- ^ Pasal 32 ayat (2)
- ^ Pasal 33 ayat (1)
- ^ Pasal 33 ayat (2) dan (3)
- ^ Pasal 33 ayat (4)
- ^ Pasal 33 ayat (5)
- ^ Pasal 34 ayat (1)
- ^ Pasal 34 ayat (2)
- ^ Pasal 35
- ^ Pasal 36
- ^ Pasal 36A
- ^ Pasal 36B
- ^ Pasal 36C
- ^ Pasal 37 ayat (1) dan (2)
- ^ Pasal 37 ayat (3) dan (4)
- ^ Pasal 37 ayat (5)
- ^ Pasal I Aturan Peralihan
- ^ Pasal II Aturan Peralihan
- ^ Pasal III Aturan Peralihan
- ^ Pasal I Aturan Tambahan
- ^ Pasal II Aturan Tambahan