Rabindranath Tagore
Rabindranath Tagore (bahasa Bengali: Rabindranath Thakur; 7 Mei 1861 – 7 Agustus 1941 [γ]) juga dikenal dengan nama Gurudev,[δ] adalah seorang Brahmo Samaj, penyair, dramawan, filsuf, seniman, musikus dan sastrawan Bengali. Ia terlahir dalam keluarga Brahmana Bengali, yaitu Brahmana yang tinggal di wilayah Bengali, daerah di anakbenua India antara India dan Bangladesh. Tagore merupakan orang Asia pertama yang mendapat anugerah Nobel dalam bidang sastra (1913).
Rabindranath Tagore | |
---|---|
Lahir | 7 Mei 1861 Kolkata, India |
Meninggal | 7 Agustus 1941 Kolkata, India |
Pekerjaan | Penyair, filsuf, dramawan, komposer |
Tagore mulai menulis puisi sejak usia delapan tahun, ia menggunakan nama samaran “Bhanushingho” (Singa Matahari) untuk penerbitan karya puisinya yang pertama pada tahun 1877, dan menulis cerita pendek pertamanya pada usia enam belas tahun. Ia mengenyam pendidikan dasar di rumah (Home Schooling), dan tinggal di Shilaidaha, serta sering melakukan perjalanan panjang yang menjadikan ia seorang yang pragmatis dan tidak suka/patuh pada norma sosial dan adat. Rasa kecewa kepada British Raj membuat Tagore memberikan dukungan pada Gerakan Kemerdekaan India dan berteman dengan Mahatma Gandhi. Dan juga dikarenakan rasa kehilangan hampir segenap keluarganya, serta kurangnya penghargaan dari Benggala atas karya besarnya, Universitas Visva-Bharati.
Beberapa karya besarnya antara lain Gitanjali (Song Offerings), Gora (Fair-Faced), dan Ghare-Baire (The Home and the World), serta karya puisi, cerita pendek dan novel dikenal dan dikagumi dunia luas. Ia juga seorang reformis kebudayaan dan polymath yang memodernisasikan seni budaya di Benggala. Dua buah lagu dari aliran Rabindrasangeet (sebuah aliran lagu yang ia ciptakan) kini menjadi lagu kebangsaan Bangladesh (Amar Shonar Bangla) dan India (Jana Maha Gana).
Masa Masa Awal (1861 - 1901)
Tagore memiliki nama kecil "Rabi", lahir di Jasanko Mansion, adalah putra dari Debendranath Tagore dan Sarada Devi,[ε] anak bungsu dari empat belas bersaudara. Setelah menjalani upacara Upanayanam di usia sebelas tahun, (suatu prosesi upacara yang menandai bagi seorang anak laki-laki untuk memasuki masa Brahmacari, masa menuntut ilmu.) Tagore bersama ayahnya meninggalkan Kolkata pada tanggal 14 Februari 1873 untuk melakukan perjalanan panjang di India selama beberapa bulan, mengunjungi Shantiniketan dan Amritsar sebelum mencapai Dalhousie, sebuah bukit peristirahatan di kaki Himalaya. Di sini, Tagore belajar sejarah, ilmu perbintangan (astronomi), ilmu pengetahuan modern dan Bahasa Sanskerta dan mempelajari serta mendalami karya sastra klasik dari Kālidāsa.[1][2] Pada 1877, ia menjadi orang terkemuka ketika menghasilkan beberapa karya, termasuk puisi panjang dalam gaya Maithili, yang dirintis oleh Vidyapati. Sebagai sekadar lelucon, ia menyatakan bahwa ini merupakan karya yang hilang dari Bhānusiṃha, sebuah sastra dari aliran Vaiṣṇava.[3] Ia juga menulis "Bhikharini" (1877; "Wanita Pengemis" — cerita pendek pertama dalam Bahasa Bengali)[4][5] dan juga “Sandya Sangit” (1882) — termasuk di dalamnya puisi yang sangat terkenal "Nirjharer Swapnabhanga" (The Rousing of the Waterfall).
Karena ingin menjadi seorang pengacara, Tagore mendaftar di sekolah umum di kota Brighton, Inggris pada tahun 1878; kemudian melanjutkan di University College London, tapi pada tahun 1880 ia kembali ke Bengali tanpa gelar sarjana, dikarenakan ayahnya telah menjodohkan ia dengan seorang gadis, bernama Mrinalini Devi, yang kemudian dinikahi pada 9 Desember 1883; mereka memiliki lima orang anak, empat di antaranya meninggal sebelum menginjak usia dewasa.[6] Pada tahun 1890, Tagore mulai mengelola usaha keluarganya di Shelidah, sebuah wilayah yang sekarang masuk bagian negara Bangladesh. Dikenal sebagai "Zamindar Babu" Tagore melakukan perjalanan melintasi perkebunan yang sangat luas, untuk mengumpulkan uang sewa, serta memberi berkat pada para penduduk desa.[7] Dalam periode ini, periode Sadhana (1891 — 1895, diambil dari salah satu majalah yang diterbitkannya) ia berada dalam masa-masa yang sangat produktif, di mana lebih dari setengah dari tiga volume dan delapan puluh empat karya "Galpaguchchha" ditulis.[4] Dengan gaya ironi dan emosional yang kental, ia menggambarkan kehidupan di Benggala, kebanyakan adalah kehidupan di pedesaan.[8]
Shantiniketan (1901—1932)
Pada tahun 1901, Tagore meninggalkan Shelidah dan pindah ke Shantiniketan (Benggala Barat) tinggal di Ashram yang didirikan oleh ayahnya pada tahun 1863, di sini mendirikan sebuah sekolah percobaan, sekolah di ruang terbuka, dengan pohon rindang, taman yang indah dan perpustakaan.[9] Dan di sini pula, istri ia serta dua orang anaknya meninggal. Ayah ia juga meninggal pada 19 Januari 1905. Setelah kepergian ayahnya, ia mulai menerima pendapatan bulanan sebagai bagian dari warisan orang tuanya; ia juga menerima pendapatan dari Maharaja Tripura, hasil dari penjualan perhiasan keluarga, dari rumah sewa di daerah Puri serta hak royalti atas karya-karyanya.[10] Melalui karya-karya ia memiliki banyak pengikut baik masyarakat Bengali, maupun pembaca di luar, dan ia mempublikasikan beberapa karya seperti "Naivedya" (1901) dan "Kheya" (1906) dan karya-karya puisi ia digubah menjadi puisi bebas, yang tidak lagi mengikuti pakem dan irama, tanpa menghilangkan ciri sebagai sebuah karya puisi. Pada tanggal 14 November 1913 Tagore memenangkan Penghargaan Nobel di Bidang Sastra. Menurut pihak Akademi Swedia sebagai penyelenggara, Tagore memenangkan Penghargaan Nobel berkat idealisme dalam berkarya dan karya-karyanya yang telah di terjemahkan ke dalam bahasa Inggris mudah diterima bagi pembaca di barat, termasuk di antaranya adalah: Gitanjali: Song Offerings (1912).[11] Sebagai tambahan, Kerajaan Inggris menawarkan gelar kebangsawanan pada tahun 1915; yang diterimanya, namun belakangan dilepaskan sebagai bentuk protes terhadap pembantaian massal di Amritsar, di mana tentara kolonial melakukan penembakan terhadap rakyat sipil tanpa senjata, membunuh sekitar 379 orang.
Pada 1921, Tagore bersama Leonard Elmhirst, seorang pakar ekonomi pertanian, mendirikan sekolah yang belakangan diberi nama Shriniketan di Surul, sebuah kampung dekat Asrama di Shantiniketan. Melalui ini ia sendiri bermaksud menyediakan tempat alternatif, bagi gerakan Swaraj, yang digalang Mahatma Gandhi yang mana sebelumnya gerakan ini sempat ia kritik.[12] Ia merekrut para sarjana, penyumbang dana serta pekerja dari berbagai negara untuk menjalankan sekolah ini. Membebaskan rakyat dari kemiskinan dan kebodohan dengan cara memperkuat diri di sektor pendidikan.[13][14] Pada tahun 1930an ia juga memberikan perhatian lebih terhadap kaum Dalit (kelompok kasta rendahan).[15][16]
Masa Senja (1932—1941)
Dalam dasawarsanya yang terakhir, Tagore tetap mendapat sorotan publik, secara terbuka mengkritik Gandhi karena mengatakan bahwa gempa bumi yang hebat pada 15 Januari 1934 di Bihar merupakan pembalasan ilahi karena menindas kaum Dalit.[17] Ia juga meratapi kemerosotan sosial-ekonomi yang mulai terjadi di Bengali dan kemiskinan yang merajalelal di Kolkata. Ia mengungkapkannya secara terinci dalam sebuah puisi tak berirama seratus baris dengan teknik visi ganda yang kering kelak digunakan oleh Satyajit Ray dalam filmnya Apur Sansar.[18][19] Tagore juga menyusun 15 jilid tulisan, termasuk karya-karya prosa liris Punashcha (1932), Shes Saptak (1935), dan Patraput (1936). Ia terus bereksperimen denagn mengembangkna lagu-lagu prosa dan sendratari, termasuk Chitrangada (1914),[20] Shyama (1939), dan Chandalika (1938), dan menulis novel-novel Dui Bon (1933), Malancha (1934), dan Char Adhyay (1934). Tagore mengembangkan minatnya terhadap sains dalam tahun-tahun terakhirnya, dan menulis Visva-Parichay (kumpulan esai) pada 1937. Ia menjelajahi biologi, fisika, dan astronomi; sementara itu, puisinya — yang mengandung naturalisme yang luas — menggarisbawahi rasa hormatnya terhadap hukum-hukum ilmiah. Ia juga menjalin proses sains (termasuk naratif para ilmuwan) ke dalam banyak cerita yang terkandung dalam buku-buku seperti Se (1937), Tin Sangi (1940), dan Galpasalpa (1941).[21]
Empat tahun terakhir hidup Tagore (1937–1941) ditandai oleh rasa sakit yang kronis dan dua penyakit yang lama dideritanya. Hal ini dimlai ketika Tagore kehilangan kesadaran pada akhir 1937; ia tetap berada dalam keadaan koma dan hampir meninggal selama waktu yang panjang. Hal ini diikuti tiga tahun kemudian pada akhir 1940 dengan penyakit yang sama, dan ia tidak pernah pulih kembali. Puisi yang ditulis Tagore pada tahun-tahun ini adalah salah satu yang paling indah, dan sangat menonjol karena perhatiannya yang mendalam terhadap kematian. Pengalaman-pengalaman yang jauh lebih mendalam dan mistis ini memungkinkan Tagore dicap sebagai "penyair modern".[22][23] Setelah penderitaan yang panjang, Tagore meninggal pada 7 Agustus 1941 (22 Shravan 1348) di ruang atas dari gedung Jorasanko tempat ia dibesarkan;[24][25] Hari kematiannya masih tetap diperingati dalam acara-acara publik di seluruh dunia berbahasa Bengali.
Sebuah Petualangan
Tagore memiliki jiwa petualangan yang sangat besar. Antara tahun 1878 dan 1932, ia mengunjungi lebih dari tigapuluh negara di lima benua[26], perjalanan ini sangat penting artinya dalam mengenalkan karya-karyanya, serta memaparkan ide-ide politiknya kepada kalangan non-Bengali. Sebagai contoh, pada tahun 1912, ia mengirimkan karya-karya yang telah diterjemahkan ke Inggris, yang mengesankan para misionaris, dan anak didik Gandhi; Charles F. Andrews, William Butler Yeats; seorang sastrawan dari Irlandia, Ezra Pound, Robert Bridges, Ernest Rhys, Thomas Sturge Moore, dan masih banyak lagi yang lainnya.[27] Dan kemudian, Yeats menulis kata pengantar untuk Gitanjali yang diterjemahkan dalam bahasa inggris, sementara Andrews bergabung dengan Tagore di Santiniketan. Pada 10 November 1912, Tagore melakukan perjalanan ke Amerika Serikat[28] dan Inggris Raya, tinggal di Butterton, Staffordshire.[29] Dari tanggal 3 Mei 1916 sampai April 1917, Tagore ceramah dan kuliah keliling Jepang dan Amerika Serikat.[30] Ia juga menulis esai "Nasionalisme di India", yang menerima kritikan dan juga menuai pujian, (termasuk para pasifis termasuk dari Romain Rolland).[31] Setelah kembali ke India, Tagore, 63 tahun, mengunjungi Peru atas undangan pemerintahan Peru Tagore, dan dilanjutkan dengan mengunjungi Meksiko setelahnya. Kedua negara mengucurkan sumbangan senilai $100,000 bagi sekolah Shantiniketan (Visva-Bharati) sebagai penghargaan atas kunjungaannya ke kedua negara tersebut.[32] Setelah itu, ia mengadakan kunjungan ke Buenos Aires, Argentina[33] pada 6 November 1924, dan tinggal di Villa Miralrío dan menjadi tamu dari Victoria Ocampo; seorang intelektual dari Argentina. Selanjutnya ia pulang ke Bengali pada Januari 1925. Pada 30 Mei 1926, Tagore menginjakkan kakinya di Napoli, Italia; ia bertemu dengan diktator berkuasa Benito Mussolini di Roma pada hari berikutnya.[34] Pada awalnya mereka memiliki hubungan yang hangat, dan berakhir saat Tagore dengan terang-terangan berbicara menentang Mussolini pada 20 Juli 1926.[35]
Pada 14 Juli 1927, Tagore beserta dua sahabatnya berangkat menuju Asia Tenggara selama empat bulan — mengunjungi Bali, Jawa, Kuala Lumpur, Malaka, Penang, Siam dan Singapura. Catatan perjalanan ini terkumpul dalam karya yang berjudul "Jatri".[36] Pada awal 1936, ia meninggalkan Bengala untuk sebuah perjalanan panjang menuju Eropa dan Amerika Serikat. Dalam kunjungan kembali ke Inggris, dimana saat itu lukisannya sedang dipamerkan di London dan Paris, ia tinggal di Birmingham. Di sana ia menulis materi kuliah untuk kelas yang dikenal sebagai "Kuliah Hibbert" di Universitas Oxford dan menjadi pembicara di pertemuan tahunan Perkumpulan Kristen London.[37] Di sini, (dialamatkan pada hubungan antara Inggris dengan India, sebuah topik yang ia terus perjuangkan dan pertahankan selama lebih dari dua tahun kedepan) ia berbicara mengenai "dark chasm of aloofness".[38] Kemudian ia mengunjungi Aga Khan III, tinggal di Dartington Hall, kemudian melanjutkan perjalanan menuju Denmark, Swiss, dan Jerman dari bulan Juni hingga pertengahan September 1930, lalu berlanjut hingga Uni Soviet.[39] Terakhir, pada bulan April 1932, Tagore — yang sebelumnya telah mengenal mistikus Persia terkenal, Hafez — diundang secara pribadi sebagai tamu kehormatan Shah Reza Pahlevi untuk mengunjungi Iran.[40][41] Sebagaimana seorang petualang, Tagore bisa bertemu dan berinteraksi dengan banyak orang orang penting dan kenamaan, termasuk di antaranya Henri Bergson, Albert Einstein, Robert Frost, Thomas Mann, George Bernard Shaw, H.G. Wells and Romain Rolland.[42][43] Perjalanan terakhir Tagore tersiar dengan luas, termasuk saat mengunjungi Persia, Irak (pada tahun 1932) dan Sri Lanka pada tahun 1933, menajamkan opini-opininya berkenaan dengan nasionalisme dan kemanusian.[44]
Karya Sang Maestro
Reputasi Tagore di dunia sastra sangat menonjol terutama pada karya-karya puisinya, meskipun ia juga menulis novel, esai, cerita pendek, catatan perjalanan, cerita drama, dan ribuan lagu. Mengenai karya-karya prosa yang dihasilkan, cerita pendek adalah yang paling mendapatkan perhatian; tentu saja, ia tercatat sebagai orang yang merintis karya cerita pendek dalam Bahasa Bengali. Karya-karyanya sering menjadi perhatian karena irama yang unik, lirik-lirik yang mengandung pujian bagi alam semesta, serta lirik-lirik yang bernada optimis. Dan juga, banyak dari cerita yang ditulisnya diambil dari kehidupan sehari-hari yang sederhana — kehidupan manusia biasa.
Novel dan Non Fiksi
Tagore menulis delapan novel dan empat novela, termasuk Chaturanga, Shesher Kobita, Char Odhay dan Noukadubi. Ghare Baire (The Home and the World) — melalui kacamata Nikhil seorang zamindar idealis — bercerita tentang kebangkitan nasionalisme di India, terorisme dan semangat keagamaan dalam gerakan Swadeshi; sebuah ungkapan jujur dari seorang Tagore atas apa yang berkecamuk dalam hatinya. Dan tentu saja, karya novel ini ditutup dengan kesuraman, pertentangan dan kekerasan antara sektarian Hindu-Islam, dan Nikhil terluka parah.[45] Gora mengambil tema yang sama, yang akhirnya menjadi sebuah kontroversi berkenaan dengan "Identitas India". Sebagaimana hal-nya dengan Ghare Baire, permasalahan tentang identitas diri (Jāti), kebebasan pribadi dan agama dikemas dalam sebuah cerita keluarga dengan bumbu cinta segitiga.[46] Karya lain yang tak kalah hebatnya adalah Yogayog (Nexus), dimana Kumudini sang pahlawan wanita terkoyak di antara konflik dalam diri maupun dari luar. Di sini Tagore mencoba mencurahkan sisi feminin dalam dirinya, melalui kesedihan ia menggambarkan kesengsaraan dan kematian seorang wanita bengali yang terperangkap dalam kehamilan, kewajiban sebagai wanita serta kehormatan wanita; secara simultan ia mengungkapkan penolakan atas sistem oligarki di tanah Bengala.[47]
Karya-karya novel yang lainnya, menggambarkan suasana yang lebih menggembirakan: Shesher Kobita (diterjemahkan dua kali — Puisi Terakhir dan Lagu Perpisahan) banyak mengandung puisi dan rangkaian irama yang ditulis oleh karakter utamanya. Juga mengandung element satir — sindiran — bergaya post-modern yang kontroversial, dimana karakter pembantu dengan senang hati menyerang nilai-nilai lama, ketinggalan zaman, yang secara kebetulan, atas nama Rabindranath Tagore. Walaupun karya novel-nya adalah karya yang paling sedikit mendapat apresiasi di antara karya yang lainnya pada masa itu, pada masa kini malah mendapat perhatian untuk diangkat dan diadaptasi ke dalam karya film, oleh para sutradara seperti: Satyajit Ray. Di antara karya novel yang diangkat ke film, adalah Choker Bali dan Ghare Baire; banyak sountrack yang dipake dari film ini merupakan lagu-lagu yang diciptakan olehnya yang juga menciptakan aliran dalam berlagu yang dikenal dengan: rabindrasangit. Tagore juga banyak menghasilkan karya-karya non-fiksi, yang dalam penulisannya banyak mengambil topik dari Sejarah India hingga ilmu bahasa (Linguistik), dan juga termasuk karya otobiografi, catatan perjalanan, esai dan materi kuliah dan ceramah di berbagai belahan dunia yang kumpulkan dalam beberapa bagian, ikut di dalamnya adalah Iurop Jatrir Patro (Surat dari Eropa) dan Manusher Dhormo (Agama Manusia).
Musik dan Seni Rupa
Tagore juga seorang musisi dan pelukis yang berbakat, yang telah mencipta dan menulis sekitar 2,230 lagu. Termasuk di antaranya rabindrasangit (Inggris: "Tagore Song"), yang mana kini telah menjadi bagian dalam kebudayaaan bangsa Bengali. Karya-karya musik Tagore, tidak dapat dipisahkan begitu saja dari karya sastranya, kebanyakan dari karya sastra tersebut menjadi lirik untuk lagu ciptaannya. Utamanya terpengaruh oleh gaya thumri, musik klasik dari Hindustani, mereka memainkan seluruh tangga nada dari emosi jiwa manusia, dimulai dari lagu-lagu pujian yang bergaya Brahmo, hingga komposisi yang bergaya erotis.[48] Karya musiknya mengemulasi gaya warna musik klasik india, raga; dimana pada saat yang bersamaan, lagu-lagunya cenderung menirukan melodi dan irama raga secara tepat, dia juga memasukkan berbagai unsur 'musik raga' dalam karya musiknya dalam mencipta karya musik yang penuh inovasi.[49] Tagore juga menjadi satu-satunya orang di dunia yang menulis dan menciptakan dua lagu kebangsaan bagi dua negara yang berbeda. Lagu kebangsaan India (Jana Gana Mana) dan Bangladesh (Amar Sonaar Baanglaa). Dan juga, rabindrasangit banyak memengaruhi gaya dari beberapa musikus seperti, Vilayat Khan seorang maestro sitar, Buddhadev Dasgupta, seorang maestro sarod (alat musik tradisional india) dan juga komposer Amjad Ali Khan.[49]
Pada usia enam belas tahun, Tagore mulai menggambar dan melukis; pameran-pameran lukisannya banyak menuai sukses — yang dimulai saat tampil dalam pameran di Paris atas desakan para seniman yang ditemui di Perancis bagian selatan[50] — dilangsungkan di seluruh daratan Eropa. Tagore — yang sepertinya penderita buta warna (protanopia), dalam kasus Tagore, kurang dalam melihat warna merah-hijau — melukis dengan gaya yang "nyeleneh" dalam keindahan dan pemilihan warna. Namun begitu, Tagore mencoba menggabungkan beberapa gaya dalam berkarya, termasuk karya pahat dari suku Malanggan di New Ireland, Papua Nugini, seni pahat dari orang-orang Haida di Kanada serta gaya ukiran kayu Max Pechstein.[51] Tagore juga memiliki cita rasa seni dengan memberi motif-motif sederhana dalam tulisan tangannya, menghiasi catatan kecilnya, memberi sentuhan tata-letak dalam naskahnya.
Drama dan Teater
Pengalaman Tagore di dunia teater dimulai pada usia enambelas tahun, saat itu ia mendapatkan peran utama dalam karya adaptasi yang berjudul Molière's Le Bourgeois Gentilhomme yang merupakan arahan dari saudaranya sendirir, Jyotirindranath. Saat menginjak usia dua puluh tahun, ia menulis karya drama-opera yang pertama kali — Valmiki Pratibha (Sang Jenius, Walmiki) — yang menceritakan bagaimana seorang bandit Walmiki, memperbaiki hidupnya, mendapat anugerah dari Saraswati, dan menggubah Rāmāyana.[52] Kemudian, Tagore makin bersemangat menggali berbagai aspek dalam seni drama dan teater. Berbagai gaya, aliran dan emosi dalam sebuah seni drama dipelajari secara mendalam, termasuk dalam menggubah kirtans dan mengadaptasi musik-musik tradisional dari barat — utamanya dari Inggris dan Irlandia — untuk dipakai sebagai musik pengantar minum.[53] karya lain yang patut dicatat adalah Dak Ghar (Kantor Pos), yang menggambarkan bagaimana usaha seorang anak berusaha melepaskan dari batasan batasan yang keras dan kaku yang pada akhirnya "jatuh tertidur" (yang menggambarkan kematian badaniah). Cerita yang menjadi daya tarik dunia (mendapat sambutan hangat di Eropa), Dak Ghar berbagi dengan kematian, dalam bahasa Tagore, "kebebasan rohani" dari keduniawian dan simbol-simbol keyakinan.[54][55]
Karyanya yang lain — menekankan pada perpaduan antara alur dari lirik-lirik naskah dengan irama emosional yang begitu fokus pada inti dari ide dasar — tidak seperti drama dalam budaya Bengali sebelumnya. Karya-karyanya semata-mata hanya mengeluarkan pemikiran-pemikiran , dalam bahasa Tagore, "bermain dengan perasaan, yang tanpa aksi". Pada 1890 ia menulis Visarjan (Pengorbanan Suci), yang dikenal sebagai karya drama terbaiknya.[52] Menggunakan bahasa bengali asli termasuk sub-plot yang pelik dan monolog yang panjang. Belakangan karya dramanya bertemakan filosofi dan penuh kiasan; ini termasuk Dak Ghar. Yang lainnya adalah Chandalika (Gadis yang Tak Tersentuh), mengambil figur dari legenda Buddha kuno, menceritakan bagaimana Ananda, — murid dari Buddha Gautama — dalam mencari Gadis yang Tak Tersentuh.[56] Terakhir, di antara karya dramanya yang paling terkenal adalah, Raktakaravi (Oleander Merah), yang bercerita mengenai raja korup yang memperkaya diri dengan mengakui semua yang ada diwilayahnya adalah milik pribadi. Sang lakon wanita, Nandini menggalang kekuatan massa untuk menundukkan sang penguasa. Karya-karya yang lainnya adalah Chitrangada, Raja, dan Mayar Khela. Seni drama dan tari yang biasa disebut Sendratari, berdasarkan dari karya Tagore biasanya dikenal dengan istilah rabindra nritya natyas.
Cerita Pendek
Masa empat tahun dari 1891 hingga 1895, dikenal sebagai periode "Sadhana" (salah satu nama majalah yang diterbitkan oleh Tagore). Pada masa ini merupakan masa paling produktif dalam berkarya, menghasilkan lebih dari setengah karya yang dikemas dalam tiga volume Galpaguchchha, yang merupakan kumpulan karya cerita, memuat delapan puluh empat karya.[4] Sebagaimana biasa ceritanya merupakan cerminan Tagore atas kehidupan dan lingkungannya, dituangkan dalam ide-ide modern dan potongan potongan cerita yang dirajut dalam pikiran sebagai sebuah cerita utuh dan mengesankan. Tagore umumnya menghubungkan satu cerita dengan cerita sebelumnya dengan kekuatan dari kegembiraan dan keriangan yang spontanitas; karakteristik ini terkoneksi dengan sangat baik sekali dengan kehidupan sehari hari Tagore di Patisar, Shajadpur dan Shilaidaha saat dia mengelola tanah milik keluarganya yang sangat luas.[4] Di sana, ia melindungi kehidupan masyarakat miskin; dengan cara ini Tagore menganalisa kehidupan mereka dengan memasuki kehidupan mereka lebih dalam.[57] Dalam karya "The Fruitseller from Kabul", Tagore berbicara sebagai penduduk kota dan novelis yang juga menjadi pedagang dari Afganistan. Ia mencoba untuk menyelami rasa-memiliki oleh para penduduk urban di India yang lama terjebak dalam keduniawian dan dibatasi oleh kemelaratan, memberi impian dalam kehidupan yang lain di batasi oleh jarak dan kejamnya alam pegunungan: "Di suatu pagi di musim gugur, pada tahun ketika raja tua datang dan pergi untuk menaklukan; dan aku, yang tak pernah beranjak dari pojokan di Kolkata, membiarkan pikiranku mengembara ke seluruh dunia. Dalam setiap persinggahan di negara lain, hatiku tak pernah berubah... takkan jatuh tuk merajut jaringan mimpi: pegunungan, celah, hutan...".[58] Banyak cerita Galpaguchchha yang lainnya ditulis pada periode "Sabuj Patra" (1914-1917; juga merupakan nama majalah Tagore yang lainnya).[4]
Golpoguchchho (Kumpulan cerita) merupakan kesusastraan fiksi Bengali yang paling populer, dijadikan sebagai subyek dalam banyak karya film dan seni teater yang meraih sukses. Film Charulata garapan Satyajit Ray, diangkat dari karya novela yang penuh kontroversi, Nastanirh (The Broken Nest). Dalam Atithi (yang juga diangkat ke film), seorang Brahmana muda belia, Tarapada, berbagi tumpangan perahu dengan seorang zamindar. Anak muda ini menyatakan bahwa dia dulu kabur dari rumah, dan kemudian mengembara berkeliling. Merasa kasihan zamindar tersebut kemudian mengadopsi secara mngejutkan, menjodohkan dengan anak gadisnya sendiri. Yang mana, pada malam sebelum acara pernikahan, Tarapada kabur dari rumah zamindar. Strir Patra ("The Letter from the Wife") mngisahkan akan emansipasi wanita, yang pada masa itu sangat jarang diangkat dalam kesusastraan Bengali. Sang tokoh wanita, Mrinal, istri dari seorang pria kalangan menengah yang menganut pola patriarki — ayah memiliki kekuasaan penuh dalam keluarga) menulis surat ketika ia melakukan perjalanan (bagian dari keseluruhan cerita). Yang menceritakan kekurangan dalam hidup dan perjuangannya; dia akhirnya mengambil keputusan untuk tidak kembali kepada suaminya, dengan sebuah pernyataan "Amio bachbo. Ei bachlum" ("And I shall live. Here, I live"). Dalam karya Haimanti, menggambarkan tentang perkawinan dalam Hindu yang penuh dengan kemalangan dan penderitaan dalam perkawinan wanita Bengali, "penyakit" bermuka dua dalam kehidupan kelas menengah di India, dan bagaimana Haimanti, seorang wanita muda yang sensitif, harus mengorbankan hidupnya. Di bangian akhir, Tagore menyerang secara langsung adat Hindu yang meng-agungkan Sita melakukan pengorbanan diri sebagai menentramkan keraguan dari suaminya, Rama. Tagore juga mengungkap ketegangan Hindu-Muslim dalam karya Musalmani Didi, yang dalam beragam cara pandang adalah pewujudan dari sari pati sisi kemanusian Tagore. Dalam karya yang lainnya, Darpaharan memamerkan kesadaran diri, bercerita tentang anak muda yang punya kemauan dan ambisi dalam dunia kesusastraan. Yang meskipun dia mencintai istrinya, ia berharap bisa meniti karier kesusastraannya.
Puisi
Sajak dan puisi karya Tagore — sangat bervariasi dalam gaya, dari gaya klasik formal hingga gaya jenaka, penuh khayalan maupun riang gembira — meneruskan aliran yang didirikan pujangga Vaiṣṇava (|Bujangga Waisnawa) pada abad 15-16. Tagore juga mendapat pengaruh unsur kebatinan dari para Rsi-Pujangga — termasuk dari Vyasa — yang menulis Upanisad, Bhakta-Sufi mistik Kabir dan Pamprasad.[59] Malahan karya puisinya menjadi penuh inovasi dan dewasa setelah ia membongkar musik tradisional Bengali, termasuk lagu balada yang dinyanyikan oleh para penyanyi tradisional dari Bāul — khususnya penyair Lālan Śāh.[60][61] Ini — yang digali kembali dan kemudian dipopulerkan oleh Tagore — menyerupai kidung pujian Kartābhajā (populer di abad 19) yang menekankan pada Ketuhanan dan berontak pada keyakinan dan kehidupan sosial ortodok.[62][63] Pada masa menetap di Shelidah, karya puisinya menekankan pada kekuatan lirik, berbicara lewat maner manus (man within the heart) atau meditasi dalam jivan devata (Tuhan di dalam jiwa). Figur ini kemudian membentuk hubungan dengan ketuhanan melalui permohonan kepada semesta alam dan keadaan emosional yang saling memengaruhi dalam drama kehidupan umat manusia. Tagore menggunakan beberapa teknik dalam puisi Bhānusiṃha (yang menguraikan rentetan romantisme antara Radha dan Krishna), dimana ia berulangkali melakukan perbaikan-perbaikan melalui pembelajaran selama kurun waktu tujuh puluh tahun.[64][65] Belakangan, Tagore memberi respon atas kemunculan dari modernisasi dan realisme dalam kesusastraan Bengali dengan menulis karya eksperimental pada tahun 1930-an.[66] Contoh karyanya seperti: Africa and Camalia. Ia juga kadang menulis puisi memakai Shadu Bhasha (salah satu dialek Bahasa Sanskerta di Bengala); kemudian belakangan ia mulai menggunakan Cholti Bhasha (dialek yang lebih populer). Karya lain yang patut dicatat adalah Manasi, Sonar Tori (Golden Boat), Balaka (Wild Geese —judulnya merupakan metafora untuk perpindahan jiwa)[67], dan Purobi. Sonar Tori merupakan karya puisi yang paling terkenal. "শূন্য নদীর তীরে রহিনু পড়ি / যাহা ছিল লয়ে গেল সোনার তরী" ("Shunno nodir tire rohinu poŗi / Jaha chhilo loe gêlo shonar tori" — semua yang telah kucapai, telah dibawa keatas perahu emas — tinggal aku yang berada di belakang). Bagaimanapun juga, Gitanjali (bahasa Bengali: গীতাঞ্জলি) merupakan karya yang paling dikenal, membawa Tagore meraih Penghargaan Nobel dalam Sastra.[68] Song VII (গীতাঞ্জলি 127) of Gitanjali:
|
|
Terjemahan bebas oleh Tagore (Gitanjali, verse VII):[69]
|
|
Pandangan politik
Pandangan politik Tagore sangat kompleks, di mana ia mengkritik penjajahan bangsa-bangsa eropa, serta mendukung kaum nasionalis India.[70][71][72] Namun, ia juga mengkritik gerakan Swadeshi[73] yang dilakukan oleh para pemimpin gerakan nasionalis. Dilain pihak ia memberikan tekanan atas peningkatan taraf pendidikan masyarakat dan bantuan atas diri sendiri bagi bangsa India. Ia juga menghimbau bagi rakyat India untuk menerima bahwa "tidak ada yang perlu dipertanyakan atas revolusi, tetapi pendidikan yang kokoh dan penuh tujuan"[74][75]. Namun banyak orang yang tidak menyukai pemikirannya ini. Pada 1916, beberapa orang India mencoba melakukan pembunuhan atas dirinya saat ia berada di sebuah hotel di San Francisco, Amerika Serikat. Namun mereka urung melakukan pembunuhan, setelah mereka mendengarkan dan adu argumentasi dengan Tagore.[76] Tagore juga membuat banyak lagu-lagu perjuangan dan pujian atas gerakan kemerdekaan India. Tagore juga mengembalikan gelar kehormatan yang diberikan oleh Kerajaan Inggris, sebagai bentuk protes atas pembantaian massal di Amritsar pada 1919 yang dikenal dengan Jallianwala Bagh Massacre.[77] Dua buah komposisi musik Tagore yang berbau politik adalah Chitto Jetha Bhayshunyo ("Where the Mind is Without Fear") dan Ekla Chalo Re (If They Answer Not to Thy Call, Walk Alone), mendapatkan perhatian dari masyarakat luas, yang mana belakangan disukai dan dipuji oleh Gandhi. Walaupun hubungannya dengan Gandhi mengalami pasang surut, Tagore merupakan kunci keberhasilan dalam memperbaiki hubungan Gandhi-Ambedkar yang berselisih, bersangkutan dengan pemilahan bagi kaum kasta rendahan dalam pemilihan umum.[78][79]
Tagore juga mengkritik pendidikan ortodok, menyerang dalam karya cerpen "The Parrot's Training", di mana seekor burung — yang akhirnya mati — dikurung dalam sangkar oleh pengajarnya dan dijejali dengan pelajaran dari buku.[80][81] Pandangan ini membawa Tagore — saat ia mengunjungi Santa Barbara, California pada 11 Oktober 1917 —: untuk memikirkan sebuah pola universitas baru, berhasrat untuk "menjadikan [ashram miliknya di] Shantiniketan sebagai benang penghubung antara India dengan dunia ... [dan] pusat pendidikan umat manusia ... yang melintasi batas bangsa dan geografis.[82] Sekolah — yang kemudian ia namakan Visva-Bharati[ζ] —; dilakukan peletakan batu pertama pada 22 Desember 1918; dan pembukaannya pada 22 Desember 1921.[83] Di sini ia menerapkan stuktur pedagogi brahmacharya dengan menyediakan para guru guna memberikan bimbingan individu bagi para siswa. Tagore bekerja keras untuk mendapatkan dana dan staf pengajar bagi sekolah ini, termasuk mengontribusikan semua hadiah yang didapatkan dari Penghargaan Nobel yang ia menangkan.[84] Tugasnya sebagai mentor dan pembantu di Shantiniketan membuat ia sibuk; di pagi hari, ia mengajar di kelas dan menyusun buku pelajaran bagi para siswa di siang dan malam harinya.[85] Tagore juga menggalang dana dari Eropa dan Amerika Serikat, antara tahun 1919 hingga 1921[86]
Warisan Sang Maestro
Dampak yang dapat dirasakan pasca kematian Tagore adalah dilaksanakan berbagai festival diseluruh dunia sebagai bentuk penghormatan terhadapnya — sebagai contoh adalah festival tahunan Kabipranam (Ulang Tahun Tagore) di Benggala, Festival Tagore yang digelar setiap tahun di Urbana, Illinois, Amerika Serikat, Rabindra Path Parikrama yaitu sebuah acara napak tilas perjalanan suci dari Kolkatta menuju Shantiniketan, dan acara pembacaan kembali karya-karya sastra Tagore dalam perayaan-perayaan tahunan.[28][87][88] Warisan budaya ini terlihat begitu gamblang dalam kehidupan bangsa Bengali, yang menyentuh dalam segenap aspek kehidupan, dari bahasa dan seni hingga sejarah dan kehidupan politik; tentunya juga Amartya Sen, penerima Nobel Sastra, memberikan catatan, bahkan bagi masyarakat Bengali modern, Tagore adalah tokoh besar, seorang pemikir kontemporer yang amat sangat relevan.[88] Tagore mengumpulkan tulisan berbahasa Bengali — Rabīndra Racanāvalī, 1939 — merupakan salah satu harta kekayaan budaya Bengali yang amat berharga, di mana Tagore sendiri diproklamirkan sebagai "pujangga terhebat yang dilahirkan India".[89] Ia juga sangat dikenal di Eropa, Amerika Utara dan Asia Timur. Ia adalah kunci dalam pendirian Dartington Hall School, sebuah institusi pendidikan progresif; di Jepang, ia memberi pengaruh pada Yasunari Kawabata, seorang penerima penghargaan Nobel juga.[90] Karya-karya Tagore diterjemahkan kedalam banyak bahasa-bahasa di Eropa — sebuah proses yang diawali oleh pakar indologi berkebangsaan Ceko, Vincent Slesny[91] dan penerima penghargaan Nobel Sastra dari Perancis, André Gide — termasuk juga dalam bahasa Rusia, Inggris, Belanda, Jerman, Spanyol dan yang lainnya. Di Amerika Serikat, Tagore populer saat memberikan kuliah (khususnya pada masa 1916-1917) yang banyak dihadiri pengunjung.
Karya Tagore yang diterjemahkan kedalam bahasa Spanyol membawa pengaruh bagi figur-figur sastra Spanyol, termasuk di antaranya Chileans Pablo Neruda dan Gabriela Mistral, sastrawan Meksiko, Octavio Paz dan sastrawan berkebangsaan Spanyol José Ortega y Gasset, Zenobia Camprubí dan Juan Ramón Jiménez. Antara tahun 1914 dan 1922, pasangan suami istri Jiménez-Camprubí menterjemahkan tidak kurang dari duapuluh dua buah karya Tagore dari bahasa Inggris ke bahasa Spanyol.
Pengaruh Tagore, tidak hanya berkisar di Eropa dan Amerika, di Indonesia pun Tagore dikenal dan di kota Surakarta, salah satu ruas jalan diberi nama sang maestro. Pengaruh-pengaruh Tagore dalam dunia pendidikan, banyak diadopsi oleh para pejuang kemanusiaan, termasuk salah satunya adalah Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia. Shantiniketan menjadi sumber inspirasi beliau dalam mendirikan Taman Siswa di Yogyakarta[92]. Selain itu, beranjak dari karya besarnya pula, taman pendidikan Shantiniketan dijadikan sebagai salah satu acuan dalam sistem pelaksanaan pendidikan di Pondok Gontor selain Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, Pondok Syanggit di Afrika Utara, Universitas Aligarh di India.[93]
Tagore meninggalkan warisan yang teramat besar pada dunia, tidak hanya dengan karya-karya sastra, seni dan budaya, namun pemikiran, filsafat dan kehidupannya terus berkembang dan menjadi sumber inspirasi bagi dunia dan umat manusia.
Karya dalam bahasa Bengali
Puisi | ||
---|---|---|
* Manasi | 1890 | (The Ideal One) |
* Sonar Tari | 1894 | (The Golden Boat) |
* Gitanjali | 1910 | (Song Offerings) |
* Gitimalya | 1914 | (Wreath of Songs) |
* Balaka | 1916 | (The Flight of Cranes) |
Drama | ||
* Valmiki Pratibha | 1881 | (The Genius of Valmiki) |
* Visarjan | 1890 | (The Sacrifice) |
* Raja | 1910 | (The King of the Dark Chamber) |
* Dak Ghar | 1912 | (The Post Office) |
* Achalayatan | 1912 | (The Immovable) |
* Muktadhara | 1922 | (The Waterfall) |
* Raktakaravi | 1926 | (Red Oleanders) |
Fiksi | ||
* Nastanirh | 1901 | (The Broken Nest) |
* Gora | 1910 | (Fair-Faced) |
* Ghare Baire | 1916 | (The Home and the World) |
* Yogayog | 1929 | (Crosscurrents) |
Otobiografi | ||
* Jivansmriti | 1912 | (My Reminiscences) |
* Chhelebela | 1940 | (My Boyhood Days) |
Diterjemahkan dalam bahasa Inggris
* Chitra | (1914)[20] |
* Creative Unity | (1922) |
* Fruit-Gathering | (1916) |
* Gitanjali: Song Offerings | (1912) |
* Glimpses of Bengal | (1991) |
* I Won't Let you Go: Selected Poems | (1991) |
* My Boyhood Days | (1943) |
* My Reminiscences | (1991) |
* Nationalism | (1991) |
* The Crescent Moon | (1913)[94] |
* The Fugitive | (1921) |
* The Gardener | (1913) |
* The Home and the World | (1985) |
* The Hungry Stones and other stories | (1916)[95] |
* The Post Office | (1996) |
* Sadhana: The Realisation of Life | (1913) |
* Selected Letters | (1997) |
* Selected Poems | (1994) |
* Selected Short Stories | (1991) |
* Songs of Kabir | (1915)[96] |
* Stray Birds | (1916)[97] |
Karya dalam bahasa Inggris | |
---|---|
* Thought Relics | (1921)[98] |
Lihat pula
- Rabindranath Tagore (film) — film dokumenter karya sutradara Satyajit Ray.
Catatan
α. ^ Narrow (Indian English) IPA transcription: [ɹobin̪d̪ɾonat̪ʰ ʈʰakuɹ].
β. ^ Romanized transliteration from Tagore's name in Bangla script: Robindronath Ţhakur.
γ. ^ In the Bangla Calendar: 25 Baishakh, 1268 – 22 Srabon, 1348.
δ. ^ "Gurudev" translates as "divine mentor".[99]
ε. ^ Tagore was born at No. 6 Dwarkanath Tagore Lane, Jorasanko — the address of the main mansion (the Jorasanko Thakurbari) inhabited by the Jorasanko branch of the Tagore clan, which had earlier suffered an acrimonious split. Jorasanko was located in the Bengali section of Calcutta (bahasa Bengali: কলকাতা), near Chitpur Road.[100]
ζ. ^ Etymology of "Visva-Bharati": from the Sanskrit term for "world" or "universe" and the name of a Rigveda goddess ("Bharati") associated with Saraswati, the Hindu patron goddess of learning.[83] "Visva-Bharati" also translates as "India in the World".
η. ^ Tagore was mired in several notable controversies, including his dealings with Indian nationalists Subhas Chandra Bose[101] and Rash Behari Bose,[102] his expressions of admiration for Soviet-style Communism,[103][104] and papers confiscated from Indian nationalists in New York allegedly implicating Tagore in a plot to use German funds to overthrow the British Raj.[105] The latter allegation caused Tagore's book sales and popularity among the U.S. public to plummet.[102] Lastly, his relations with and ambivalent opinion of Italian dictator Benito Mussolini revolted many, causing Romain Rolland (a close friend of Tagore's) to state that "[h]e is abdicating his role as moral guide of the independent spirits of Europe and India".[106]
Referensi
Referensi ini dipublikasikan dalam bahasa asing:
|
|
Bacaan lanjutan
Bacaan lanjutan ini dipublikasikan dalam bahasa asing:
- Chaudhuri, A (2004), The Vintage Book of Modern Indian Literature, Vintage.
- Deutsch, A&Robinson, A (1989), The Art of Rabindranath Tagore, Monthly Review Press, ISBN 0-233-98359-7.
- Deutsch, A (editor)&Robinson, A (editor) (1997), Selected Letters of Rabindranath Tagore, Cambridge University Press, ISBN 0-521-59018-3.
- Tagore, R (2000), Gitanjali, Macmillan India Ltd, ISBN 0-333-93575-6.
Pranala luar
|
|