Alkitab Terjemahan Baru

Alkitab yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia tahun 1974
Revisi sejak 12 November 2022 14.38 oleh Bot5958 (bicara | kontrib) (Perbaikan untuk PW:CW (Fokus: Minor/komestika; 1, 48, 64) + genfixes)

Alkitab Terjemahan Baru (TB) adalah sebuah versi terjemahan Alkitab dalam bahasa Indonesia oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) yang diselesaikan pada tahun 1974. Alkitab TB dengan Deuterokanonika diselesaikan pada tahun 1976. Alkitab oikumenis ini masih digunakan secara luas oleh hingga saat ini oleh umat Kristen Indonesia, baik dalam Gereja Protestan maupun Gereja Katolik.

Alkitab Terjemahan Baru
SingkatanTB
BahasaIndonesia
Terbitan PL1974
Terbitan PB1971
Terbitan
lengkap
1974 (TB biasa)
1976 (TB Deuterokanonika)
PenerjemahTim LAI
Tim LBI (bergabung kemudian)
Diturunkan dariTerjemahan Lama
Naskah sumberPL: Biblia Hebraica (oleh Rudolf Kittel)
PB: Novum Testamentum Graece (oleh Nestle Aland)
Deut.: Septuaginta
Jenis penerjemahanHarfiah/formal
Tingkat keterbacaanPendidikan tinggi
Perevisian versi1997
PenerbitLembaga Alkitab Indonesia
Hak ciptaLAI (seluruh edisi)
LBI (khusus TB Deut.)
Afiliasi agamaGereja Protestan dan Katolik
Situs URLAlkitab Terjemahan Baru
Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air. Berfirmanlah Allah: "Jadilah terang." Lalu terang itu jadi.
Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.

Sejarah

Proyek penerjemahan Alkitab TB bahasa Indonesia ini dimulai oleh Lembaga Alkitab Belanda (NBG) pada tahun 1952, karena sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia kegiatan-kegiatan penerjemahan dan penyebaran Alkitab di Indonesia ditangani oleh Lembaga Alkitab Belanda dan Inggris (British and Foreign Bible Society). Dengan berdirinya Lembaga Alkitab Indonesia yang mandiri pada tanggal 9 Februari 1954, maka tanggung jawab proyek ini diserahkan kepada LAI pada tahun 1959.[1]

Panitia penerjemah Alkitab LAI yang dibentuk untuk menyusun Alkitab berbahasa Indonesia yang dapat digunakan secara ekumenis oleh Gereja-Gereja di Indonesia tersebut terdiri dari tenaga-tenaga ahli berasal dari Belanda, Swiss, dan Indonesia (dari suku Tapanuli, Jawa, Minahasa, dan Timor). Turut membantu dalam proyek penerjemahan ini antara lain adalah J.W. Saragih dan P.S. Naipospos.[1]

Edisi percobaan karya panitia ini diterbitkan secara bertahap mulai tahun 1959, yang awalnya diterbitkan dalam bentuk kumpulan beberapa kitab dalam ukuran saku.[1] Pada tahun 1967, Pastor Cletus Groenen (seorang tokoh besar dalam dunia teologi dan biblika Kristen, terutama Katolik) mengusulkan kepada Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI; sekarang bernama Konferensi Waligereja Indonesia atau KWI), agar Gereja Katolik di Indonesia turut serta dalam penerjemahan Alkitab yang sedang ditangani oleh LAI. Pada tahun 1968, MAWI menerima usul itu. Selanjutnya pada tahun 1969, LAI menerima kerja sama yang diusulkan oleh MAWI, sehingga sejumlah ahli Kitab Suci Katolik diikutsertakan dalam proyek penerjemahan Alkitab LAI. Setahun kemudian, Lembaga Biblika Indonesia (LBI) didirikan dan menjadi wakil Gereja Katolik dalam penyusunan kitab tersebut.[2]

Akhirnya setelah dua kali tertunda, proyek penerjemahan ini diselesaikan pada tahun 1970. Seluruh Perjanjian Baru diterbitkan pada tahun 1971, kemudian seluruh kitab (termasuk Perjanjian Lama) diterbitkan pada tahun 1974. Karena merupakan terjemahan yang terbaru pada saat itu, maka terbitan ini dinamakan Alkitab "Terjemahan Baru", sedangkan Alkitab yang digunakan sementara oleh LAI, yang merupakan gabungan kitab-kitab Perjanjian Lama versi terjemahan Werner August Bode dan Perjanjian Baru versi terjemahan Hillebrandus Cornelius Klinkert, kemudian disebut Alkitab "Terjemahan Lama". Pada tahun 1976, Alkitab TB dengan Deuterokanonika (khusus untuk Gereja Katolik) mulai diterbitkan dan digunakan secara luas.[1]

Karakteristik

Terjemahan Alkitab TB mengikuti asas "pendekatan formal" atau "terjemahan harfiah", yaitu proses penerjemahan diusahakan sedapat mungkin mengikuti arti "harfiah" dari kata atau frasa dari naskah sumber, sehingga hasil terjemahan dapat mempertahankan sejauh mungkin bentuk asli dari teks Kitab Suci tetapi tetap mengikuti kaidah kebahasaan dari bahasa tujuan dengan benar. Akibatnya, terjemahan Alkitab TB terkesan agak kaku dan tidak selalu mudah dipahami, walaupun cukup sesuai buat studi.[1]

Teks-teks Alkitab TB diterjemahkan dari naskah-naskah bahasa aslinya. Untuk Perjanjian Lama, naskah sumber diambil dari kitab-kitab Ibrani versi Biblia Hebraica oleh Rudolf Kittel dengan merujuk pada Naskah Masorah dan Naskah Laut Mati. Sedangkan untuk Perjanjian Baru, naskah sumber diambil dari kitab-kitab Yunani versi Novum Testamentum Graece oleh Nestle Aland.[1][3]

Alkitab Deuterokanonika

Khusus untuk penggunaan dalam Gereja Katolik (khususnya Gereja Katolik Roma) di Indonesia, LAI mencetak Alkitab TB dengan tambahan kitab-kitab Deuterokanonika dengan hak cipta bersama LAI dan LBI. Bagian Perjanjian Lama (Protokanonika) dan Perjanjian Baru menggunakan teks yang sama dengan Alkitab TB versi biasa, sementara bagian Deuterokanonika menggunakan teks yang diterjemahkan dari Septuaginta dengan asas "pendekatan formal" atau "terjemahan harfiah".

Kekeliruan penerjemahan

Mengingat LAI adalah lembaga penerjemah dokumen ke dalam bahasa Indonesia, maka hasil terjemahannya tidak luput dari ktitikan. Kritikan mengalir baik dari pihak internal Kristen, maupun dari luar Kristen atau dari pihak Muslim dengan tujuan perbaikan.

Belakangan muncul juga dari pihak akademisi atau pemerhati pengunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Semua masukkan ini bertujuan untuk perbaikan sehingga bisa mendapatkan hasil terjemahan yang lebih baik, yang mengikuti tata bahasa dan definisi kata yang lebih tepat. Di dalam suatu seminar daring yang diselenggarakan oleh LAI,[4] seorang rohaniawan dan akademisi, Romo Aldo Tulung Allo, memberikan masukkannya terkait kesalahan terjemahan pada TB LAI yang belum memenuhi kaidah tata bahasa seperti yang tertuang di dalam PUEBI (Peraturan Umum Ejaan Bahasa Indonesia) yang merupakan kaidah pengejaan resmi saat ini. Selain itu pemilihan diksi atau kata di dalam terjemahan tersebut juga harus dikoreksi karena tidak memakai definisi yang tepat sesuai KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

Sejak Alkitab TB ini diterbitkan, perkembangan penggunaan dan pengejaan kata bahasa Indonesia yang ada saat ini membuat munculnya beragam kesalahan penerjemahan. Berikut merupakan beberapa di antaranya.

Berdasarkan PUEBI[5]
  • TB mencatat huruf pertama beberapa kata yang tidak dikapitalkan padahal seharusnya dikapitalkan, atau juga sebaliknya. Salah satu yang paling tampak adalah huruf pertama dari nama-nama jenis geografi yang diikuti nama diri geografi banyak yang tidak dikapitalkan padahal seharunya dikapitalkan. Contohnya sungai Yordan yang seharusnya "Sungai Yordan", gunung Sinai yang seharusnya "Gunung Sinai", dll.
  • TB salah dalam menuliskan kalimat dalam bahasa lain yang seharusnya disalin dengan huruf miring. Misalnya dalam ayat Markus 15:34, penggalan frasa Eloi, Eloi, lama sabakhtani seharusnya disalin dengan huruf miring sesuai ketetapan di PUEBI.[5]
  • TB banyak sekali salah pada pemilihan tanda baca sebelum tanda kutip untuk kalimat langsung. Seharusnya sebelum tanda kutip didahului oleh tanda koma (,), bukan tanda titik dua (:).[5] Ini terdapat pada ayat Matius 10:42, 11:7,9, dll. Selain tanda koma, ada juga kesalahan pemakaian tanda baca lain.
Berdasarkan KBBI[6]
  • Kritikan terhadap TB yang menggunakan kata-kata yang definisinya tidak tepat seperti yang tertuang di dalam KBBI.
  • TB memiliki kata-kata yang saat ini sudah tidak baku seperti kata isteri yang seharusnya "istri" (Kej. 2:24,25, 3:8,17, dst), mezbah yang seharusnya "mazbah" (Kej. 8:20, 12:7-8, 13:4, dst), sorga yang seharusnya "surga" (Kej. 28:17; Ul. 26:15; 1Raj. 8:30, 8:32,34,36, dst), dll.
  • TB memiliki kata-kata yang kaidah pengimbuhannya salah saat ini. Misalnya mentahirkan yang seharusnya "menahirkan", pentahbisan/mentahbiskan yang seharusnya "penahbisan"/"menahbiskan", dll.
  • Beberapa kata yang sudah benar-benar usang menurut KBBI digunakan dalam TB, misalnya kata empunya.

Galeri

Pranala luar

Referensi

  1. ^ a b c d e f Versi: Alkitab Terjemahan Baru — Sejarah Alkitab Indonesia
  2. ^ Leks, Stefan (1996). Mengenal ABC Kitab Suci. Yogyakarta: Kanisius. hlm. 30–31 – via Lembaga Biblika Indonesia. 
  3. ^ Is Our Translation of 'Allah' Inconsistent, Insensitive and Inaccurate?
  4. ^ Webinar yang dibuat oleh LAI pada tanggal 28 April 2021 di YouTube dengan judul Seberapa Akuratkah Terjemahan Teks Alkitab kita?
  5. ^ a b c Kementrian Pendidikan dan Budaya, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (2016). PUEBI (PDF). Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Budaya. hlm. 39. 
  6. ^ KBBI Daring