Hadis

perkataan dan perbuatan dari Muhammad
Revisi sejak 16 September 2022 15.00 oleh Litha Bima (bicara | kontrib) (kata Hadis jika ditelisik dari Transliterasi Bhasa Arab Indo itu salah penulisannya. makanya saya menyunting bagian kata Hadis menjadi Hadits sesuai dengan transliterasi arab Indo)

Hadits (Arab: الحديث, translit. hadist, har. 'berbicara, perkataan, percakapan', ejaan KBBI: Hadits, dengarkan), disebut juga sunnah, adalah perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad yang dijadikan landasan syariat Islam. Hadits dijadikan sumber hukum Islam selain al-Qur'an, dalam hal ini kedudukan Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur'an.

Etimologi

Hadits secara harfiah berarti "berbicara", "perkataan" atau "percakapan". Dalam terminologi Islam istilah Hadits berarti melaporkan, mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad.

Menurut istilah ulama ahli Hadits,[siapa?] Hadits yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya (Arab: تقرير, translit. taqrīr), sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi (Arab: بعثة) dan terkadang juga sebelumnya, sehingga arti Hadits di sini semakna dengan sunnah.

Kata Hadits yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan Sunnah, maka pada saat ini bisa berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad ﷺ yang dijadikan ketetapan ataupun hukum.[1] Kata Hadits itu sendiri adalah bukan kata infinitif,[2] maka kata tersebut adalah kata benda.[3]

Struktur Hadits

Secara struktur Hadits terdiri atas dua komponen utama yakni sanad/isnad (rantai penutur) dan matan (redaksi).

Contoh: Musaddad mengabari bahwa Yahya menyampaikan sebagaimana diberitakan oleh Syu'bah, dari Qatadah dari Anas dari Rasulullah ﷺ bahwa dia bersabda: "Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri" (Hadits riwayat Bukhari)

Sanad

Sanad ialah rantai penutur/rawi (periwayat) Hadits. Rawi adalah masing-masing orang yang menyampaikan Hadits tersebut (dalam contoh di atas: Bukhari, Musaddad, Yahya, Syu'bah, Qatadah dan Anas). Awal sanad ialah orang yang mencatat Hadits tersebut dalam bukunya (kitab Hadits); orang ini disebut mudawwin atau mukharrij. Sanad merupakan rangkaian seluruh penutur itu mulai dari mudawwin hingga mencapai Rasulullah. Sanad memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh sebelumnya maka sanad Hadits bersangkutan adalah

Al-Bukhari --> Musaddad --> Yahya --> Syu’bah --> Qatadah --> Anas --> Nabi Muhammad ﷺ

Sebuah Hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/rawi yang bervariasi dalam lapisan sanadnya; lapisan dalam sanad disebut dengan thabaqah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thabaqah sanad akan menentukan derajat Hadits tersebut, hal ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi Hadits.

Jadi yang perlu dicermati dalam memahami Hadits terkait dengan sanadnya ialah:

  • Keutuhan sanadnya
  • Jumlahnya
  • Perawi akhirnya

Sebenarnya, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam. Hal ini diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan tetapi mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip Hadits-Hadits nabawi.

Rawi
Rawi adalah orang-orang yang menyampaikan suatu Hadits. Sifat-sifat rawi yang ideal adalah:
  • Bukan pendusta atau tidak dituduh sebagai pendusta
  • Tidak banyak salahnya
  • Teliti
  • Tidak fasik
  • Tidak dikenal sebagai orang yang ragu-ragu (peragu)
  • Kuat ingatannya (hafalannya)
  • Tidak sering bertentangan dengan rawi-rawi yang kuat
  • Sekurangnya dikenal oleh dua orang ahli Hadits pada jamannya.
Sifat-sifat para rawi ini telah dicatat dari zaman ke zaman oleh ahli-ahli Hadits yang semasa, dan disalin dan dipelajari oleh ahli-ahli Hadits pada masa-masa yang berikutnya hingga ke masa sekarang. Rawi yang tidak ada catatannya dinamakan maj'hul, dan Hadits yang diriwayatkannya tidak boleh diterima.

Dalam buku terjemahan bahasa indonesia sering dijumpai singkatan HR yang merupakan kepanjangan dari Hadits Riwayat. Sehingga HR. Bukhari bermakna Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari.

Matan

Matan ialah redaksi dari Hadits, dari contoh sebelumnya maka matan Hadits bersangkutan ialah:

"Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri"

Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami Hadits ialah:

  • Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan,
  • Matan Hadits itu sendiri dalam hubungannya dengan Hadits lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang).

Klasifikasi Hadits

Hadits dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria yakni bermulanya ujung sanad, keutuhan rantai sanad, jumlah penutur (rawi) serta tingkat keaslian Hadits (dapat diterima atau tidaknya Hadits bersangkutan).

Berdasarkan ujung sanad

Berdasarkan klasifikasi ini Hadits dibagi menjadi 3 golongan yakni Marfu (terangkat), mauquf (terhenti) dan maqthu’(terputus):

  • Hadits Marfu’ adalah Hadits yang sanadnya berujung langsung pada Nabi Muhammad ﷺ (contoh: Hadits di atas)
  • Hadits Mauquf adalah Hadits yang sanadnya terhenti pada para sahabat nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan derajat marfu'. Contoh: Al Bukhari dalam kitab Al-Fara'id (hukum waris) menyampaikan bahwa Abu Bakar, Ibnu Abbas dan Ibnu Al-Zubair mengatakan: "Kakek adalah (diperlakukan seperti) ayah". Pernyataan dalam contoh itu tidak jelas, apakah berasal dari Nabi atau sekadar pendapat para sahabat. Namun jika ekspresi yang digunakan sahabat adalah seperti "Kami diperintahkan..", "Kami dilarang untuk...", "Kami terbiasa... jika sedang bersama Rasulullah", maka derajat Hadits tersebut tidak lagi mauquf melainkan setara dengan marfu'.
  • Hadits Maqthu’ adalah Hadits yang sanadnya berujung pada para tabi'in (penerus) atau sebawahnya. Contoh Hadits ini adalah: Imam Muslim meriwayatkan dalam pembukaan sahihnya bahwa Ibnu Sirin mengatakan: "Pengetahuan ini (Hadits) adalah agama, maka berhati-hatilah kamu darimana kamu mengambil agamamu".

Keaslian Hadits yang terbagi atas golongan ini sangat bergantung pada beberapa faktor lain seperti keadaan rantai sanad maupun penuturnya. Namun klasifikasi ini tetap sangat penting mengingat klasifikasi ini membedakan ucapan dan tindakan Rasulullah ﷺ dari ucapan para sahabat maupun tabi'in di mana hal ini sangat membantu dalam area perkembangan dalam fikih (Suhaib Hasan, Science of Hadits).

Berdasarkan keutuhan rantai/lapisan sanad

Berdasarkan klasifikasi ini Hadits terbagi menjadi beberapa golongan yakni Musnad, Mursal, Munqathi’, Mu’allaq, Mu’dlal dan Mudallas. Keutuhan rantai sanad maksudnya ialah setiap penutur pada tiap tingkatan dimungkinkan secara waktu dan kondisi untuk mendengar dari penutur di atasnya.

Ilustrasi sanad: Pencatat Hadits > Penutur 5> Penutur 4> Penutur 3 (tabi'ut tabi'in) > Penutur 2 (tabi'in) > Penutur 1 (para shahabi) > Rasulullah
  • Hadits Musnad. Sebuah Hadits tergolong musnad apabila urutan sanad yang dimiliki Hadits tersebut tidak terpotong pada bagian tertentu. Urut-urutan penutur memungkinkan terjadinya penyampaian Hadits berdasarkan waktu dan kondisi, yakni rawi-rawi itu memang diyakini telah saling bertemu dan menyampaikan Hadits. Hadits ini juga dinamakan muttashilus sanad atau maushul.
  • Hadits Mursal, bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang tabi'in menisbatkan langsung kepada Rasulullah ﷺ (contoh: seorang tabi'in (penutur 2) mengatakan "Rasulullah berkata..." tanpa ia menjelaskan adanya sahabat yang menuturkan kepadanya).
  • Hadits Munqathi’, bila sanad putus pada salah satu penutur, atau pada dua penutur yang tidak berturutan, selain shahabi.
  • Hadits Mu’dlal, bila sanad terputus pada dua generasi penutur berturut-turut.
  • Hadits Mu’allaq, bila sanad terputus pada penutur 5 hingga penutur 1, alias tidak ada sanadnya. Contoh: "Seorang pencatat Hadits mengatakan, telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah mengatakan...." tanpa ia menjelaskan sanad antara dirinya hingga Rasulullah.
  • Hadits Mudallas, bila salah satu rawi mengatakan "..si A berkata .." atau "Hadits ini dari si A.." tanpa ada kejelasan "..kepada saya.."; yakni tidak tegas menunjukkan bahwa Hadits itu disampaikan kepadanya secara langsung. Bisa jadi antara rawi tersebut dengan si A ada rawi lain yang tidak terkenal, yang tidak disebutkan dalam sanad. Hadits ini disebut juga Hadits yang disembunyikan cacatnya karena diriwayatkan melalui sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, atau Hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.

Berdasarkan jumlah penutur

Jumlah penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan dari sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad Hadits tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini Hadits dibagi atas Hadits mutawatir dan Hadits ahad.

  • Hadits Mutawatir, adalah Hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa mereka semua sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu. Jadi Hadits mutawatir memiliki beberapa sanad dan jumlah penutur pada tiap lapisan generasi (thaqabah) berimbang. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah sanad minimum Hadits mutawatir (sebagian menetapkan 20 dan 40 orang pada tiap lapisan sanad). Hadits mutawatir sendiri dapat dibedakan antara dua jenis yakni mutawatir lafzhy (lafaz redaksional sama pada tiap riwayat) dan ma’nawy (pada redaksional terdapat perbedaan namun makna sama pada tiap riwayat)
  • Hadits Ahad, Hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak mencapai tingkatan mutawatir. Hadits ahad kemudian dibedakan atas tiga jenis antara lain:
    • Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan lain mungkin terdapat banyak penutur)
    • Aziz, bila terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada salah satu lapisan, pada lapisan lain lebih banyak)
    • Masyhur, bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih penutur pada salah satu lapisan, dan pada lapisan lain lebih banyak) namun tidak mencapai derajat mutawatir. Dinamai juga Hadits mustafidl.

Berdasarkan tingkat keaslian Hadits

Kategorisasi tingkat keaslian Hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap Hadits tersebut. Tingkatan Hadits pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni shahih, hasan, dla'if dan maudlu'.

  • Hadits Sahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu Hadits. Hadits shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut:
    1. Sanadnya bersambung (lihat Hadits Musnad di atas);
    2. Diriwayatkan oleh para penutur/rawi yang adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya.
    3. Pada saat menerima Hadits, masing-masing rawi telah cukup umur (baligh) dan beragama Islam.
    4. Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yang mencacatkan Hadits (’illat).
  • Hadits Hasan, bila Hadits yang tersebut sanadnya bersambung, tetapi ada sedikit kelemahan pada rawi(-rawi)nya; misalnya diriwayatkan oleh rawi yang adil namun tidak sempurna ingatannya. Namun matannya tidak syadz atau cacat.
  • Hadits Dhaif (lemah), ialah Hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa Hadits mauquf, maqthu’, mursal, mu’allaq, mudallas, munqathi’ atau mu’dlal), atau diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, atau mengandung kejanggalan atau cacat.
  • Hadits Maudlu’, bila Hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam rantai sanadnya dijumpai penutur yang dikenal sebagai pendusta.

Jenis-jenis lain

Adapun beberapa jenis Hadits lainnya yang tidak disebutkan dari klasifikasi di atas antara lain:

  • Hadits Matruk, yang berarti Hadits yang ditinggalkan yaitu Hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang rawi saja dan rawi itu dituduh berdusta.
  • Hadits Mungkar, yaitu Hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang rawi yang lemah yang bertentangan dengan Hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang tepercaya/jujur.
  • Hadits Mu'allal, artinya Hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu Hadits yang di dalamnya terdapat cacat yang tersembunyi (’illat). Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa Hadits Mu'allal ialah Hadits yang tampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa juga disebut Hadits Ma'lul (yang dicacati) dan disebut Hadits Mu'tal (Hadits sakit atau cacat).
  • Hadits Mudlthorib, artinya Hadits yang kacau yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi melalui beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidak sama atau bahkan kontradiksi dengan yang dikompromikan
  • Hadits Maqlub, yakni Hadits yang terbalik yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya, baik dalam hal matan (isi) atau sanad (silsilah)
  • Hadits Gholia, yaitu Hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah
  • Hadits Mudraj, yaitu Hadits yang mengalami penambahan isi oleh rawi, misalnya penjelasan-penjelasan yang bukan berasal dari Nabi ﷺ
  • Hadits Syadz, Hadits yang jarang yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang tepercaya namun bertentangan dengan Hadits lain yang diriwayatkan dari rawi-rawi yang lain. Hadits syadz bisa jadi berderajat shahih, akan tetapi berlawanan isi dengan Hadits shahih yang lebih kuat sanadnya. Hadits yang lebih kuat sanadnya ini dinamakan Hadits Mahfuzh.

Sejarah Perkembangan Hadits

Sejarah perkembangan Hadits merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh Hadits dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke generasi. Dengan memerhatikan masa yang telah dilalui Hadits sejak masa timbulnya/lahirnya di zaman Nabi SAW. meneliti dan membina Hadits, serta segala hal yang memengaruhi Hadits tersebut. Para ulama Muhaditsin membagi sejarah Hadits dalam beberapa periode. Adapun para ulama penulis sejarah Hadits berbeda-beda dalam membagi periode sejarah Hadits. Ada yang membagi dalam tiga periode, lima periode, dan tujuh periode.[4]

M. Hasbi Asy-Shidieqy membagi perkembangan Hadits menjadi tujuh periode, sejak periode Nabi SAW. hingga sekarang, yaitu sebagai berikut.

Periode Pertama: Perkembangan Hadits pada Masa Rasulullah SAW.

Periode ini disebut 'Ashr Al-IWahyi wa At-Taqwin' (masa turunnya wahyu) dan pembentukan masyarakat Islam). Pada periode inilah, Hadits Iahir berupa sabda (aqteal), af'al, dan taqrir Nabi yang berfungsi menerangkan Al-Quran untuk menegakkan syariat Islam dan membentuk masyarakat Islam. Para sahabat menerima Hadits secara langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara langsung misalnya saat Nabi SAW. memberi ceramah, pengajian, khotbah, atau penjelasan terhadap pertanyaan para sahabat. Adapun penerimaan secara tidak langsung adalah mendengar dari sahabat yang lain atau dari utusan-utusan, baik dari utusan yang dikirim oleh Nabi ke daerah-daerah atau utusan daerah yang datang kepada Nabi. Pada masa Nabi SAW., kepandaian baca tulis di kalangan para sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena kecakapan baca tulis di kalangan sahabat masih kurang, Nabi menekankan untuk menghapal, memahami, memelihara, mematerikan, dan memantapkan Hadits dalam amalan sehari-hari, serta mentabligkannya kepada orang lain.[4]

Tidak ditulisnya Hadits secara resmi pada masa Nabi bukan berarti tidak ada sahabat yang menulis Hadits. Dalam sejaah pcnulisan Hadits terdapat nama-nama sahabat yang menulis Hadits, di antaranya:

  1. 'Abdullah Ibn Amr Ibn 'Ash, shahifah-nya disebut AshShadiqah.
  2. Ali Ibn Abi Thalib, penulis Hadits tentang hukum diyat, hukum keluarga, dan lain-lain.
  3. Anas Ibn Malik.

Di samping itu, ketika Nabi SAV. menyelenggarakan dakwah dan pembinaan umat, beliau sering mengirimkan surat-surat seruan pemberitahuan, antara lain kepada para pejabat di daerah dan surat tentang seruan dakwah İslamiyah kepada para raja dan kabilah, baik di timur, utara, dan barat. Surat-surat tersebut merupakan koleksi Hadits juga. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa pada masa Nabi SAW. telah dilakukan penulisan Hadits di kalangan sahabat.

Periode Kedua: Perkembangan Hadits pada Masa Khulafa' ArRasyidin (11 H - 40 H)

Periode ini disebut 'Ashr-At-Tatsabbut wa Al-lqlal min AlRizvaya/ı (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi SAW. wafat pada tahun 1 1 H. Kepada umatnya, beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Quran dan Hadits (As-Sunnah) yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat. Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan Hadits tersebar secara terbatas. Penulisan Hadits pun masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi. Bahkan, pada masa itu, Umar melarang para sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan Hadits, dan sebaliknya, Umar menekankan agar para sahabat mengerahkan perhatiannya untuk menyebarluaskan Al-Quran.[4]

Dalam praktiknya, ada dua sahabat yang meriwayatkan Hadits, yakni:

  1. Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAV. yang mereka hapal benar lafazh dari Nabi.
  2. Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya karena tidak hapal lafazh asli dari Nabi SAW.
  3. Pada masa ini, Khalifah Umar mempunyai gagasan untuk membukukan Hadits, namun maksud tersebut diurungkan setelah beliau melakukan shalat istikharah.[4]

Periode Ketiga: Perkembangan pada Masa Sahabat Kecil dan Tabi'in

Periode ini disebut 'Ashr Intisyar al-Riwayah ila Al-Amshar (masa berkembang dan meluasnya periwayatan Hadits). Pada masa ini, daerah Islam sudah meluas, yakni ke negeri Syatn, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai ke Spanyol. Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para sahabat ke daerahdaerah tersebut, terutama dalam rangka tugas memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu Hadits.

Para sahabat kecil dan tabiin yang ingin mengetahui Hadits-Hadits Nabi SAW. diharuskan berangkat ke seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah untuk menanyakan Hadits kepada sahabat-sahabat besar yang sudah tersebar di wilayah tersebut. Dengan demikian, pada masa ini, di samping tersebarnya periwayatan Hadits ke pelosokpelosok daerah Jazirah Arab, perlawatan untuk mencari Hadits pun menjadi ramai.[4]

Karena meningkatnya periwayatan Hadits, muncullah bendaharawan dan lembaga-lembaga (Centrum Perkembangan) Hadits di berbagai daerah di seluruh negeri. Di antara bendaharawan Hadits yang banyak menerima, menghapal, dan mengembangkan atau meriwayatkan Hadits adalah:

  1. Abu Hurairah, menurut Ibn Al-Jauzi, beliau meriwayatkan 5.374Hadits, sedangkan menurut Al-Kirmany, beliau meriwayatkan 5.364 Hadits.
  2. 'Abdullah Ibn Umar meriwayatkan 2.630 Hadits.
  3. 'Aisyah, istri Rasul SAW. meriwayatkan 2.276 Hadits.
  4. 'Abdullah Ibn 'Abbas meriwayatkan 1.660 Hadits.
  5. Jabir Ibn 'Abdullah meriwayatkan 1.540 Hadits.
  6. Abu Sa'id Al-Khudri meriwayatkan 1.170 Hadits.[4]

Adapun lembaga-lembaga Hadits yang menjadi pusat bagi usaha penggalian, pendidikan, dan pengembangan Hadits terdapat di:[4]

  1. Madinah, dengan tokoh-tokohnya: Abu Bakar, Umar, Ali, Abu Hurairah, 'Aisyah, Ibn Umar, Sa'id Al-Khudri, Zaid Ibn Tsabit (dari kalangan sahabat), 'Urwah, Sa'id Az-Zuhri, 'Abdullah Ibn Umar, Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi Bakar, Nafi', Abu Bakar Ibn Abd Ar-Rahman Ibn Hisyam, dan Abu Zinad (dari kalangan tabiin).
  2. Mekkah, dengan tokoh-tokohnya: Ali, 'Abdullah Ibn Mas'ud, Sa'ad Ibn Abi Waqas, Sa'id Ibn Zaid, Khabbah Ibn Al-Arat, Salman Al-Farisi, Abu Juhaifah (sahabat), Masruq, Ubaididah, Al-Aswad, Syuraih, Ibrahim, Sa'id Ibn Jubair, Amir Ibn Syurahil, Asy-Sya'bi (tabiin).
  3. Bashrah, dengan tokoh-tokohnya: Anas Ibn Malik, 'Utbah, Imran Ibn Husain, Abu Barzah, Ma'qil Ibn Yasar, Abu Bakrah, Abd Ar-Rahman Ibn Sumirah, 'Abdullah Ibn Syikhkhir, Jariyah Ibn Qudamah (sahabat), Abu al-Aliyah, Rafi' Ibn Mihram Al-Riyahi, Al-Hasan Al-Bishri, Muhammad Ibn Sirin, Abu Sya'tsa, Jabir Ibn Zaid, Qatadah, Mutharraf Ibn 'Abdullah Ibn Syikhkhir, Abu Bardah Raja' Ibn Abi Musa (tabiin).
  4. Syam, dengan tokoh-tokohnya: Mu'adz Ibn Jabbal, Ubaidah Ibn Tsamit, Abu Darda (sahabat), Abu Idris al-Khaulani, Qasibah Ibn Dzuaib, Makhul, Raja' Ibn Haiwah (tabiin).
  5. Mesir, dengan tokoh-tokohnya: 'Abdullah Ibn Amr, Uqbah Ibn Amir, Kharijah Ibn Hudzaifah, 'Abdullah Ibn Harits, Abu Basyrah, Abu Saad al-Khair, Martsad al-Yaziri, Yazid Ibn Abi Habib (tabi'in).[4]

Pada periode ketiga ini mulai muncul usaha pemalsuan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali r.a. Pada masa ini, umat Islam mulai terpecah-pecah menjadi beberapa golongan: Pcrtcuna, golongan 'Ali Ibn Abi Thalib, yang kemudian dinamakan golongan Syi'ah. Kedua, golongan khawarij, yang menentang 'Ali, dan golongan Mu'awiyah, dan ketiga, golongan jumhur (golongan pemerintah pada masa itu). Terpecahnya umat Islam tersebut, memacu orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mendatangkan keterangan-keterangan yang berasal dari Rasulullah SAW. untuk mendukung golongan mereka. Oleh sebab itulah, mereka membuat Hadits palsu dan menyebarkannya kepada masyarakat.[4]

Periode Keempat: Perkembangan Hadits pada Abad II dan III Hijriah

Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah tva Al- Tadwin (masa penulisan dan pembukuan). Maksudnya, penulisan dan pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah. Adapun kalau secara perseorangan, sebelum abad Il H Hadits sudah banyak ditulis, baik pada masa tabiin, sahabat kecil, sahabat besar, bahkan masa Nabi SAW. Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad ke-2 H, yakni pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Azis tahun 101 H. Sebagai khalifah, Umar Ibn Aziz sadar bahwa para perawi yang menghimpun Hadits dalam hapalannya semakin banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak membukukan dan mengumpulkan dalam buku-buku Hadits dari para perawinya, ada kemungkinan Hadits-Hadits tersebut akan lenyap dari permukaan burni bersamaan dengan kepergian para penghapalnya ke alam barzakh.[4]

Untuk mewujudkan maksud tersebut, pada tahun 100 H, Khalifah meminta kepada Gubernur Madinah, Abu Bakr Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn Hazmin (120 H) yang menjadi guru Ma'mar Al-Laits, AlAuza'i, Malik, Ibnu Ishaq, dan Ibnu Abi Dzi'bin untuk membukukan Hadits Rasul yang terdapat pada penghapal wanita yang terkenal, yaitu Amrah binti Abdir Rahman Ibn Sa'ad Ibn Zurarah Ibn 'Ades, seorang ahli fiqh, murid 'Aisyah r.a. (20 H/642 M - 98 H/716 M atau 106 H/ 724 M), dan Hadits-Hadits yang ada pada Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr Ash-Shiddieq (107 H/725 M), seorang pemuka tabiin dan salah seorang fuqaha Madinah yang tujuh.[4]

Di samping itu, Umar mengirimkan surat-surat kepada gubernur yang ada di bawah kekuasaannya untuk membukukan Hadits yang ada pada ulama yang tinggal di wilayah mereka masing-masing. Di antara ulama besar yang membukukan Hadits atas kemauan Khalifah adalah Abu Bakr Muhammad Ibn Muslim ibn Ubaidillah Ibn Syihab AzZuhri, seorang tabiin yang ahli dalam urusan fiqh dan Hadits. 16 Beliau adalah guru Malik, Al-Auza'i, Ma'mar, Al-Laits, Ibnu Ishaq, dan Ibnu Abi Dzi'bin. Mereka inilah ulama yang mula-mula membukukan Hadits atas anjuran Khalifah.[4]

Kitab Hadits yang ditulis oleh Ibnu Hazm, yang merupakan kitab Hadits pertama yang ditulis atas perintah kepala negara, tidak sampai kepada kita, dan kitab itu tidak membukukan seluruh Hadits yang ada di Madinah. Pembukuan seluruh Hadits yang ada di Madinah dilakukan oleh Imam Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab Az-Zuhri, yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari ulama-ulama Hadits pada masanya. Setelah itu, para ulama besar berlomba-lomba membukukan Hadits atas anjuran Abu 'Abbas As-Saffah dan anak-anaknya dari khalifah-khalifah 'Abbasiyah. Akan tetapi, tak dapat diketahui lagi siapakah ulama yang mula-mula membukukan Hadits sesudah AzZuhri karena ulama-ulama yang datang sesudah Az-Zuhri seluruhnya hidup pada satu zaman.[4]

Sekalipun demikian, yang dapat ditegaskan sejarah sebagai pengumpul Hadits adalah:[4]

  1. Pengumpul pertama di kota Mekkah, Ibnu Juraij (80 - 150 H)
  2. Pengumpul pertama di kota Madinah, Ibnu Ishaq (w. 150 H)
  3. Pengumpul pertama di kota Bashrah, Al-Rabi' Ibn Shabih (w. 160 H)
  4. Pengumpul pertama di Kuffah, Sufyan Ats-Tsaury (w. 161 H.)
  5. Pengumpul pertama di Syam, Al-Auza'i (w. 95 H)
  6. Pengumpul pertama di Wasith, Husyain Al-Wasithy (104 - 188 H)
  7. Pengumpul pertama di Yaman, Ma'mar al-Azdy (9 - 153 H)
  8. Pengumpul pertama di Rei, Jarir Adh-Dhabby (110 - 188 H)
  9. Pengumpul pertama di Khurasan, Ibn Mubarak (11 - 181 H)
  10. Pengumpul pertama di Mesir, Al-Laits Ibn Sa'ad (w. 175 H).

Semua ulama yang membukukan Hadits ini terdiri dari ahli-ahli pada abad kedua Hijriah.

Kitab Az-Zuhri dan Ibnu Juraij itu tidak diketahui rimbanya sekarang. Adapun kitab yang paling tua yang ada di tangan umat Islam dewasa ini adalah Al-Muwaththa' susunan Imam Malik. Kitab ini disusun atas permintaan Khalifah Al-Mansur ketika ia menunaikan ibadah haji pada tahun 144 H (141 H). Kemudian, Ibnu Ishaq menyusun kitab Al-Maghazi wa As-Siyar (Hadits-Hadits mengenai sirah Rasul SAW.). Kitab Al-Maghazi ini adalah dasar pokok bagi kitab-kitab sirah Nabi. Para ulama abad kedua membukukan Hadits tanpa menyaringnya, yakni mereka tidak hanya membukukan Hadits-Hadits saja, tetapi fatwafatwa sahabat pun dimasukkan ke dalam bukunya. Oleh karena itu, dalam kitab-kitab itu terdapat Hadits-Hadits marfu', Hadits-Hadits mauquf, dan Hadits-Hadits pnaqthu'. Kitab Hadits seperti itu dan mudah kita dapatkan qdalah Al-Muwaththa, susunan Imam Malik.[4]

Kitab-kitab Hadits yang telah dibukukan dan dikumpulkan dalam abad kedua ini, jumlahnya cukup banyak. Akan tetapi, yang masyhur di kalangan ahli Hadits adalah:

  1. Al-Muwaththa', susunan Imam Malik (95 H - 179 H)
  2. Al-Maghazi wal Siyar, susunan Muhammad ibn Ishaq (150 H)
  3. Al-Jami', susunan Abdul Razzaq As-San'any (211 H)
  4. Al-Mushannaf, susunan Sy'bah Ibn Hajjaj (160 H)
  5. Al-Mushannaf, susunan Sufyan ibn 'Uyainah (198 H)
  6. Al-Mushannaf, susunan Al-Laits Ibn Sa'ad (175 H)
  7. Al-Mushannaf, susunan Al-Auza'i (150 H)
  8. Al-Mushannaf, susunan Al-Humaidy (219 H)
  9. Al-Maghazin Nabawiyah, susunan Muhammad Ibn Waqid AlAslamy.
  10. Al-Musnad, susunan Abu Hanifah (150 H).
  11. Al-Musnad, susunan Zaid Ibn Ali.
  12. Al-Musnad, susunan Al-Imam Asy-Syaffi (204 H).
  13. MukhtalifAl-Hadits, susunan Al-Imam Asy-Syafi'i.

Keadaan seperti ini menyebabkan sebagian ulama mempelajari keadaan rawi-rawi Hadits dan dalam masa ini telah banyak rawi-rawi yang lemah. Pada periode ini muncul tokoh-tokoh Jarh wa Ta'dil, di antaranya adalah Syu'bah Ibn Al-Hajjaj (160 H), Ma'mar, Hisyam Ad-Dastaway (154 H), Al-Auza'i (156 H), Sufyan Ats-Tsauri (161 H), dan masih banyak tokoh lainnya. Tokoh-tokoh yang masyhur pada abad kedua hijriah adalah Malik, Yahya ibn Sa'id Al-Qaththan, Waki Ibn AI-Jarrah, Sufyan AtsTsauri, Ibnu Uyainah, Syu'bah Ibnu Hajjaj, Abdul Ar-Rahman ibn Mahdi, Al-Auza'i, Al-Laits, Abu Hanifah, dan Asy-Syafi'i.[4]

Hadits Qudsi

Hadits qudsi ialah Hadits yang berisi perkataan Rasulullah ﷺ mengenai firman Allah yang diwahyukan secara langsung. Makna Hadits ini berasal dari Allah, akan tetapi—berbeda dengan Alquran--, kata-katanya adalah kata-kata Rasulullah. Hadits qudsi ini, sebagian, kemudian disampaikan kepada sahabat-sahabat Rasul yang tertentu. Karenanya, tingkat kesahihan Hadits qudsi ini serupa dengan Hadits yang lain-lain, dan diukur dengan cara yang serupa pula di atas.[5]

Bentuk Periwayatan

Ada dua bentuk periwayatan Hadits qudsi. Periwayatan yang pertama; Nabi Muhammad SAW bersabda, "Seperti yang diriwayatkannya dari Allah Azza wa Jalla.". Contohnya: Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahih-nya dari Abu Dzar Radliyallahu Anhu dari Nabi seperti yang diriwayatkan dari Allah, bahwasanya Allah berfirman,[6]

"Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan perbuatan zhalim pada diri-Ku dan Aku haramkan pula untuk kalian, maka janganlah saling menganiaya d iantara kalian."[6]

Kemudian periwayatan yang kedua; Nabi Muhammad SAW bersabda, "Allah berfirman...". Contohnya diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,[6]

"Allah Ta'ala berfirman, 'Aku selalu dalam persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku bersamanya bila dia mengingat-Ku. Maka jika dia mengingat-Ku niscaya Aku akan mengingatnya'".[6]

Perbedaan antara Hadits Qudsi dengan Al-Qur'an dan Hadits Nabawi

Ada tiga hal yang membedakan antara Al-Qur'an dengan Hadits Qudsi, yaitu:[6]

  1. Al-Qur'an itu lafazh dan maknanya dari Allah, sedangkan Hadits Qudsi maknanya dari Allah dan lafazhnya dari Nabi Muhammad SAW.[6]
  2. Membaca Al-Qur'an termasuk ibadah dan mendapat pahala, sedangkan membaca Hadits Qudsi bukan termasuk ibadah dan tidak mendapat pahala.[6]
  3. Disyaratkan mutawatir dalam periwayatan Al-Qur'an, sedangkan dalam Hadits Qudsi tidak disyaratkan mutawatir.[6]

Sementara itu perbedaan antara Hadits Qudsi dengan Hadits Nabawi ialah, Hadits Nabawi disandarkan langsung kepada Nabi Muhammad SAW dan disampaikan secara lisan oleh beliau. Sedangkan Hadits Qudsi disandarkan kepada Allah SWT kemudian Nabi Muhammad SAW menyampaikan dan meriwayatkannya dari Allah, oleh karena itu dikaitkan dengan sebutan qudsi.[7]

Secara kuantitas, Hadits Qudsi jumlahnya lebih sedikit. Buku-buku yang membahas tentang Hadits Qudsi antara lain; Al-Ittifahat As-Sunniyyah Bil Ahadits Al-Qudsiyyah, karya Abdur Rauf Al-Munawi (1031 H). Buku tersebut berisi 272 Hadits Qudsi.[6]

Penulisan Hadits

Ahli-ahli Hadits yang mengumpulkan, mendaftar, menyeleksi dan menuliskan Hadits-Hadits dalam suatu kitab Hadits dikenal sebagai mudawwin atau mukharrij.

Berkas:ArabicSahihBukhari.jpg
Sampul kitab Hadits Sahih Bukhari

Kitab Hadits Sunni

Kitab Hadits Syi'ah

Syi'ah hanya memercayai Hadits yang diriwayatkan oleh keturunan Muhammad ﷺ, melalui Fatimah az-Zahra, atau oleh pemeluk Islam awal yang memihak Ali bin Abi Thalib. Syi'ah tidak menggunakan Hadits yang berasal dari atau diriwayatkan oleh orang-orang yang diklaim memusuhi Ali, seperti Aisyah, yang melawan Ali pada Perang Jamal. Beberapa sekte Syi'ah sebagian besar menggunakan:

Kebanyakan Hadits-Hadits tersebut meriwayatkan perkataan Ja'far ash-Shadiq dengan pentahrifan sanad. Kitab-kitab Hadits Syiah tidak beredar secara umum di Indonesia.

Beberapa istilah dalam ilmu Hadits

Berdasarkan siapa yang meriwayatkan, terdapat beberapa istilah yang dijumpai pada ilmu Hadits antara lain:

  • Muttafaq Alaih (disepakati atasnya) yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat yang sama, dikenal dengan Hadits Bukhari dan Muslim
  • As-Sab'ah berarti tujuh perawi yaitu: Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Nasa'i dan Imam Ibnu Majah
  • As-Sittah maksudnya enam perawi yakni mereka yang tersebut di atas selain Ahmad bin Hambal (Imam Ibnu Majah)
  • Al-Khamsah maksudnya lima perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Imam Bukhari dan Imam Muslim
  • Al-Arba'ah maksudnya empat perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Ahmad, Imam Bukhari dan Imam Muslim
  • Ats-Tsalatsah maksudnya tiga perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ibnu Majah.

Pembentukan dan Sejarahnya

Hadits sebagai kitab berisi berita tentang sabda, perbuatan dan sikap Nabi Muhammad sebagai Rasul. Berita tersebut didapat dari para sahabat pada saat bergaul dengan Nabi. Berita itu selanjutnya disampaikan kepada sahabat lain yang tidak mengetahui berita itu, atau disampaikan kepada murid-muridnya dan diteruskan kepada murid-murid berikutnya lagi hingga sampai kepada pembuku Hadits. Itulah pembentukan Hadits.

Masa pembentukan Hadits

Masa pembentukan Hadits tiada lain masa kerasulan Nabi Muhammad itu sendiri, ialah lebih kurang 23 tahun. Pada masa ini Hadits belum ditulis, dan hanya berada dalam benak atau hafalan para sahabat saja. perode ini disebut al wahyu wa at takwin. Pada saat ini Nabi Muhammad sempat melarang penulisan Hadits agar tidak tercampur dengan periwayatan Al Qur'an, tetapi setelah beberapa waktu, Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassallam membolehkan penulisan Hadits dari beberapa orang sahabat yang mulia, seperti Abdullah bin Mas'ud, Abu Bakar, Umar, Abu Hurairah, Zaid bin Tsabit, dllnya. Periode ini dimulai sejak Muhammad diangkat sebagai nabi dan rasul hingga wafatnya (610M-632 M)

Masa Penggalian

Masa ini adalah masa pada sahabat besar dan tabi'in, dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 11 H atau 632 M. Pada masa ini Hadits belum ditulis ataupun dibukukan, kecuali yang dilakukan oleh beberapa sahabat seperti Abu Hurairah, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Abdullah bin Mas'ud, dllnya. Seiring dengan perkembangan dakwah, mulailah bermunculan persoalan baru umat Islam yang mendorong para sahabat saling bertukar Hadits dan menggali dari sumber-sumber utamanya.

Masa penghimpunan

Masa ini ditandai dengan sikap para sahabat dan tabi'in yang mulai menolak menerima Hadits baru, seiring terjadinya tragedi perebutan kedudukan kekhalifahan yang bergeser ke bidang syari'at dan 'aqidah dengan munculnya Hadits palsu. Para sahabat dan tabi'in ini sangat mengenal betul pihak-pihak yang melibatkan diri dan yang terlibat dalam permusuhan tersebut, sehingga jika ada Hadits baru yang belum pernah dimiliki sebelumnya diteliti secermat-cermatnya siapa-siapa yang menjadi sumber dan pembawa Hadits itu. Maka pada masa pemerintahan Khalifah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz sekaligus sebagai salah seorang tabi'in memerintahkan penghimpunan Hadits. Masa ini terjadi pada abad 2 H, dan Hadits yang terhimpun belum dipisahkan mana yang merupakan Hadits marfu' dan mana yang mauquf dan mana yang maqthu'.

Masa pendiwanan dan penyusunan

Abad 3 H merupakan masa pendiwanan (pembukuan) dan penyusunan Hadits. Guna menghindari salah pengertian bagi umat Islam dalam memahami Hadits sebagai prilaku Nabi Muhammad, maka para ulama mulai mengelompokkan Hadits dan memisahkan kumpulan Hadits yang termasuk marfu' (yang berisi perilaku Nabi Muhammad), mana yang mauquf (berisi prilaku sahabat) dan mana yang maqthu' (berisi prilaku tabi'in). Usaha pembukuan Hadits pada masa ini selain telah dikelompokkan (sebagaimana dimaksud di atas) juga dilakukan penelitian Sanad dan Rawi-rawi pembawa beritanya sebagai wujud tash-hih (koreksi/verifikasi) atas Hadits yang ada maupun yang dihafal. Selanjutnya pada abad 4 H, usaha pembukuan Hadits terus dilanjutkan hingga dinyatakannya bahwa pada masa ini telah selesai melakukan pembinaan maghligai Hadits. Sedangkan abad 5 hijriyah dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab Hadits seperti menghimpun yang terserakan atau menghimpun untuk memudahkan mempelajarinya dengan sumber utamanya kitab-kitab Hadits abad ke-4 Hijriyah.

Kitab-kitab Hadits

Berdasarkan masa penghimpunan Hadits

Abad ke-2 Hijriyah

Beberapa kitab yang terkenal:

  1. Al Muwaththa oleh Malik bin Anas
  2. Al Musnad oleh Ahmad bin Hambal (tahun 150 - 204 H / 767 - 820 M)
  3. Mukhtaliful Hadits oleh As Syafi'i
  4. Al Jami' oleh Abdurrazzaq Ash-Shan'ani
  5. Mushannaf Syu'bah oleh Syu'bah bin Hajjaj (tahun 82 - 160 H / 701 - 776 M)
  6. Mushannaf Sufyan oleh Sufyan bin Uyainah (tahun 107 - 190 H / 725 - 814 M)
  7. Mushannaf Al Laist oleh Al-Laist bin Sa'ad (tahun 94 - 175 / 713 - 792 M)
  8. As Sunan oleh Al-Auza'i (tahun 88 - 157 / 707 - 773 M)
  9. As Sunan oleh Al-Humaidi (wafat tahun 219 H / 834 M)
Dari kesembilan kitab tersebut yang sangat mendapat perhatian para 'lama hanya tiga, yaitu Al Muwaththa', Al Musnad dan Mukhtaliful Hadits. Sedangkan selebihnya kurang mendapat perhatian akhirnya hilang ditelan zaman.

Abad ke-3 H

  • Musnadul Kabir oleh Ahmad bin Hambal dan 3 macam lainnya yaitu Kitab Shahih, Kitab Sunan dan Kitab Musnad yang selengkapnya:
  1. Al Jami'ush Shahih Bukhari oleh Bukhari (194-256 H / 810-870 M)
  2. Al Jami'ush Shahih Muslim oleh Muslim (204-261 H / 820-875 M)
  3. As Sunan Ibnu Majah oleh Ibnu Majah (207-273 H / 824-887 M)
  4. As Sunan Abu Dawud oleh Abu Dawud (202-275 H / 817-889 M)
  5. As Sunan At Tirmidzi oleh At Tirmidzi (209-279 H / 825-892 M)
  6. As Sunan Nasai oleh An Nasai (225-303 H / 839-915 M)
  7. As Sunan Darimi oleh Darimi (181-255 H / 797-869 M)

Abad ke-4 H

  1. Al Mu'jamul Kabir oleh Ath-Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
  2. Al Mu'jamul Ausath oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
  3. Al Mu'jamush Shaghir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
  4. Al Mustadrak oleh Al-Hakim (321-405 H / 933-1014 M)
  5. Ash Shahih oleh Ibnu Khuzaimah (233-311 H / 838-924 M)
  6. At Taqasim wal Anwa' oleh Abu Awwanah (wafat 316 H / 928 M)
  7. As Shahih oleh Abu Hatim bin Hibban (wafat 354 H/ 965 M)
  8. Al Muntaqa oleh Ibnu Sakan (wafat 353 H / 964 M)
  9. As Sunan oleh Ad-Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)
  10. Al Mushannaf oleh Ath-Thahawi (239-321 H / 853-933 M)
  11. Al Musnad oleh Ibnu Nashar Ar Razi (wafat 301 H / 913 M)

Abad ke-5 H dan selanjutnya

  • Hasil penghimpunan
  1. Jami'ul Ushul oleh Ibnu Atsir Al Jazari (556-630 H / 1160-1233 M)
  2. Tashiful Wushul oleh Al-Fairuz Abadi (? - ? H / ? - 1084 M)
  • Bersumber dari kutubus sittah dan kitab lainnya, yaitu Jami'ul Masanid oleh Ibnu Katsir (706-774 H / 1302-1373 M)
  • Bersumber dari selain kutubus sittah, yaitu Jami'ush Shaghir oleh As Sayuthi (849-911 H / 1445-1505 M)
  • Hasil pembidangan (mengelompokkan ke dalam bidang-bidang)
  • Kitab Al Hadits Hukum, diantaranya:
  1. Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)
  2. As Sunannul Kubra oleh Al-Baihaqi (384-458 H / 994-1066 M)
  3. Al Imam oleh Ibnul Daqiqil 'Id (625-702 H / 1228-1302 M)
  4. Muntaqal Akhbar oleh Majduddin Al-Harrani (? - 652 H / ? - 1254 M)
  5. Bulughul Maram oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M)
  6. 'Umdatul Ahkam oleh 'Abdul Ghani Al-Maqdisi (541-600 H / 1146-1203 M)
  7. Al Muharrar oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi (675-744 H / 1276-1343 M)
  • Kitab Al Hadits Akhlaq
  1. At Targhib wat Tarhib oleh Al Mundziri (581-656 H / 1185-1258 M)
  2. Riyadhus Shalihin oleh Imam Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M)
  • Syarh (semacam tafsir untuk Hadits)
  1. Untuk Shahih Bukhari terdapat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M)
  2. Untuk Shahih Muslim terdapat Minhajul Muhadditsin oleh Imam An-Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M)
  3. Untuk Shahih Muslim terdapat Al Mu'allim oleh Al Maziri (wafat 536 H / 1142 M)
  4. Untuk Muntaqal Akhbar terdapat Nailul Authar oleh Asy-Syaukani (wafat 1250 H / 1834 M)
  5. Untuk Bulughul Maram terdapat Subulussalam oleh Ash-Shan'ani (wafat 1099 H / 1687 M)
  • Mukhtashar (ringkasan)
  1. Untuk Shahih Bukhari diantaranya Tajridush Shahih oleh Al Husain bin Mubarrak (546-631 H / 1152-1233 M)
  2. Untuk Shahih Muslim diantaranya Mukhtashar oleh Al Mundziri (581-656 H / 1185-1258 M)
  • Lain-lain
  1. Kitab Al Kalimuth Thayyib oleh Ibnu Taimiyah (661-728 H / 1263-1328 M) berisi Hadits-Hadits tentang doa.
  2. Kitab Al Mustadrak oleh Al Hakim (321-405 H / 933-1014 M) berisi Hadits yang dipandang shahih menurut syarat Bukhari atau Muslim dan menurut dirinya sendiri.

Lihat juga

Bacaan lanjutan

  • Pengetahuan Dasar tentang Pokok-pokok Ajaran Islam (A/B) oleh Mh. Amin Jaiz
  • Metodologi Kritik Matan Hadits oleh Dr. Salahudin ibn Ahmad al-Adlabi, terjamahan, ISBN 979-578-047-6
  • Berg, H. (2000). The development of exegesis in early Islam: the authenticity of Muslim literature from the formative period. Routledge. ISBN 0-7007-1224-0. 
  • Lucas, S. (2004). Constructive Critics, Hadith Literature, and the Articulation of Sunni Islam. Brill Academic Publishers. ISBN 90-04-13319-4. 
  • Robinson, C. F. (2003). Islamic Historiography. Cambridge University Press. ISBN 0-521-62936-5. 
  • Robson, J. "Hadith". Dalam P.J. Bearman, Th. Bianquis, C.E. Bosworth, E. van Donzel and W.P. Heinrichs. Encyclopaedia of Islam Online. Brill Academic Publishers. ISSN 1573-3912. 
  • Swarup, Ram. Understanding Islam through Hadits Diarsipkan 2011-01-24 di Wayback Machine.. Exposition Press, Smithtown, New York USA (n/d).
  • Jonathan A. C. Brown, "Criticism of the Proto-Hadith Canon: Al-daraqutni’s Adjustment of the Sahihayn," Journal of Islamic Studies, 15,1 (2004), 1-37.
  • Recep Senturk, Narrative Social Structure: Anatomy of the Hadith Transmission Network, 610-1505 (Stanford, Stanford UP, 2006).
  • Jonathan Brown, The Canonization of al-Bukhārī and Muslim. The Formation and Function of the Sunnī Ḥadīth (Leiden, Brill, 2007) (Islamic History and Civilization. Studies and Texts, 69).
  • 1000 Qudsi Hadiths: An Encyclopedia of Divine Sayings; New York: Arabic Virtual Translation Center; (2012) ISBN 978-1-4700-2994-4
  • Hallaq, Wael B. (1999). "The Authenticity of Prophetic Ḥadîth: A Pseudo-Problem". Studia Islamica (89): 75–90. doi:10.2307/1596086. ISSN 0585-5292. JSTOR 1596086. 
  • Brown, J. (2007). The Canonization of al-Bukhari and Muslim: The Formation and Function of the Sunni Hadith Canon. Leiden: Brill, 2007.
  • Juynboll, G. H. A. (2007). Encyclopedia of Canonical Hadith. Leiden: Brill, 2007.
  • Lucas, S. (2002). The Arts of Hadith Compilation and Criticism. University of Chicago. OCLC 62284281. 
  • Musa, A. Y. Hadith as Scripture: Discussions on The Authority Of Prophetic Traditions in Islam, New York: Palgrave, 2008. ISBN 0-230-60535-4
  • Fred M. Donner, Narratives of Islamic Origins (1998)
  • Warner, Bill. The Political Traditions of Mohammed: The Hadith for the Unbelievers, CSPI (2006). ISBN 0-9785528-7-3
  • 'Al-Qaththan, Syaikh Manna'. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2013. ISBN 9795923188

Pranala luar

Referensi

  1. ^ "Hadith," Encyclopedia of Islam.
  2. ^ Lisan al-Arab, by Ibn Manthour, vol. 2, pg. 350; Dar al-Hadith edition.
  3. ^ al-Kuliyat by Abu al-Baqa’ al-Kafawi, pg. 370; Al-Resalah Publishers. This last phrase is quoted by al-Qasimi in Qawaid al-Tahdith, pg. 61; Dar al-Nafais.
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p Agus Solahudin, Suyadi, M., Agus (2008). Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia. ISBN 978-979-730-938-1. 
  5. ^ Al-Qaththan 2013, hlm. 25. : "Adapun "Qudsi" menurut bahasa dinisbatkan kepada "Qudus" yang artinya suci, yaitu sebuah penisbatan yang menunjukkan adanya pengangungan dan pemuliaan, atau penyandaran kepada dzat Allah yang Mahasuci.".
  6. ^ a b c d e f g h i Al-Qaththan 2013, hlm. 26.
  7. ^ Al-Qaththan 2013, hlm. 26. : "Ada yang berpendapat bahwa dinamakan hadis qudsi karena penisbatannya kepada Allah yang Mahasuci, sementara hadis nabawi disebut demikian karena dinisbatkan kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.".