Ci Tarum

sungai di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat

Ci Tarum[6] atau Citarum (aksara Sunda: ᮎᮤᮒᮛᮥᮙ᮪) adalah sungai terpanjang dan terbesar di Tatar Pasundan Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Sungai dengan nilai sejarah, ekonomi, dan sosial yang penting ini sejak 2007 menjadi salah satu dari sungai dengan tingkat ketercemaran tertinggi di dunia. Sungai ini memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Jawa Barat, karena mendukung pertanian, pasokan air, perikanan, industri, pembuangan limbah, dan listrik bagi 25 juta orang. Jutaan orang tergantung langsung hidupnya dari sungai ini,[7] sekitar 500 pabrik berdiri di sekitar alirannya, tiga bendungan dibangun di alirannya, dan penggundulan hutan berlangsung pesat di wilayah hulu. Dengan perannya yang multifungsi, secara ekonomi, perdagangan, pertanian, peternakan dan juga pertahanan (benteng alam) terhadap serangan dari musuh. Sehingga perannya, hampir sebanding dengan sungai pada peradaban tua dunia, Sungai Nil, Mesir, dimana itu mewujudkan akan ilmu pengeloalaan sungai : one river, one plan, one management, yang berarti pengelolaan atasnya : satu sungai, satu rencana dan satu pengelolaan. Peran ini sangat diperlihatkan oleh Citarum di Rengasdengklok.[8]

Ci Tarum
ᮎᮤᮒᮛᮥᮙ᮪
kapal nelayan di muara sungai Citarum
Kapal nelayan di muara Citarum
Map
Muara Citarum
MapKoordinat: 7°12′28.73596″S 107°39′19.79503″E / 7.2079822111°S 107.6554986194°E / -7.2079822111; 107.6554986194
EtimologiSungai yang ditumbuhi tanaman "Tarum" di pinggirnya
Lokasi
ProvinsiJawa Barat
Kabupaten/kotaBandung, Bandung Barat, Kota Bandung, Cianjur, Purwakarta, Karawang, Bekasi[1]
Ciri-ciri fisik
Hulu sungaiTujuh mata air di kaki Gunung Wayang, yang dikumpulkan di Situ Cisanti
 - lokasiTarumajaya, Kertasari, Bandung
 - koordinat7°12′29″S 107°39′20″E / 7.207982206106923°S 107.65549862369369°E / -7.207982206106923; 107.65549862369369
 - elevasi1.762[2] m (5.781 ft)
Muara sungaiLaut Jawa
 - lokasiMuara Gembong, Bekasi
 - koordinat5°56′22″S 106°59′21″E / 5.9393637°S 106.9891333°E / -5.9393637; 106.9891333
Panjang297[3] km (185 mi)
Lebar 
 - minimum50 m (160 ft)[butuh rujukan]
 - maksimum60 m (200 ft)[butuh rujukan]
Kedalaman 
 - minimum0,5 m (1,6 ft)[butuh rujukan]
 - maksimum3 m (9,8 ft)[butuh rujukan]
Daerah Aliran Sungai
Sistem sungaiDAS Citarum
Kode DASDAS220047[4]
Luas DAS6.910 km2 (2.670 sq mi)[4]
Pengelola DASBPDAS Citarum-Ciliwung[4]
Wilayah sungaiWS Citarum[5]
Kode wilayah sungai02.08.B[5]
Otoritas wilayah sungaiBBWS Citarum[5]
Markah tanahBendungan Jatiluhur
Badan air
Informasi lokal
GeoNames1624664

Etimologi

sunting

Ci Tarum disusun oleh dua kata yaitu Ci yang artinya sungai atau air dan tarum yang merupakan nama tumbuhan penghasil warna nila. Dari asal usul kata ini bisa disimpulkan bahwa pada zaman dahulu banyak tumbuhan tarum di sepanjang Ci Tarum.

Hidrologi DAS

sunting

Citarum merupakan aliran utama pada daerah aliran sungai (DAS) Citarum yang memiliki luas mencapai 6.910 km2 (2.670 sq mi), terluas ketiga di pulau Jawa setelah DAS Solo dan DAS Brantas.[4] DAS Citarum termasuk kedalam kelompok DAS pantai utara Jawa, dimana air yang jatuh sebagai aliran permukaan diatasnya akan dialirkan menuju pesisir utara pulau Jawa, dalam wilayah perairan Laut Jawa (dan sebagian kecil di selat Madura).[9]

Di bagian selatan DAS Citarum berbatasan dengan beberapa kelompok DAS pantai selatan Jawa yang bermuara di wilayah perairan Samudera Hindia, diantaranya (berurutan timur ke barat), DAS Cilaki, DAS Cipandak, DAS Cibuni serta DAS Cimandiri di sebelah barat daya batas DAS Citarum. Di sebelah barat berbatasan dengan hulu DAS Ciliwung serta DAS Bekasi mulai dari bagian hulu hingga ke hilir. Disebelah timur berbatasan dengan DAS Cimanuk. Disebelah timur laut berbatasan dengan hulu DAS Cipunegara, hulu DAS Ciasem, hulu DAS Cilamaya dan beberapa DAS kecil lainnya hingga ke bagian hilir DAS Citarum.[9]

Dalam kaitannya dengan pengelolaan daerah aliran sungai, DAS Citarum masuk ke dalam wilayah kerja BPDAS Citarum-Ciliwung yang merupakan unit pelaksana teknis pada Ditjen PDASHL dibawah Kementerian LHK.[4] Sedangkan dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya air, DAS Citarum merupakan bagian dari satuan wilayah sungai (WS) Citarum bersama 18 DAS lain di dalamnya dibawah otoritas Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum.[5][10]

Geografi

sunting

Panjang aliran sungai ini sekitar 300 km. Secara tradisional, hulu Ci Tarum dianggap berawal dari lereng Gunung Wayang, di tenggara Kota Bandung, di wilayah Desa Tarumajaya, Kertasari, Bandung.[11][8] Ada tujuh mata air yang menyatu di suatu danau buatan bernama Situ Cisanti di wilayah Kabupaten Bandung. Namun, berbagai anak sungai dari kabupaten bertetangga juga menyatukan alirannya ke Ci Tarum, seperti Ci Kapundung dan Ci Beet. Aliran kemudian mengarah ke arah barat, melewati Majalaya dan Dayeuhkolot, lalu berbelok ke arah barat laut dan utara, menjadi perbatasan Kabupaten Cianjur dengan Kabupaten Bandung Barat, melewati Kabupaten Purwakarta, dan terakhir Kabupaten Karawang (batas dengan Kabupaten Bekasi). Sungai ini bermuara di Ujung Karawang.[8]

Berikut ini adalah sebagian dari anak sungai yang mengalir ke Ci Tarum:

  • Ci Balagung
  • Ci Beureum
  • Ci Durian
  • Ci Haur
  • Ci Herang[12]
  • Ci Jati[12]
  • Ci Jere
  • Ci Kao
  • Ci Kapundung
  • Ci Keruh
  • Ci Kijing[12]
  • Ci Kundul
  • Ci Lanang
  • Ci Limus[12]
  • Ci Mahi
  • Ci Meta[12]
  • Ci Minyak
  • Ci Pamokolan
  • Ci Panawuan[12]
  • Ci Picung[12]
  • Ci Rasea
  • Ci Sangkuy
  • Ci Sokan
  • Ci Somang
  • Ci Tarik
  • Ci Walengke[12]
  • Ci Widey

Berhulu di Gunung Dahamilnuris, Jonggol:

  • Ci Beet
  • Ci Jurey atau Ci Kompeni
  • Ci Pamingkis

Sejarah

sunting

Dalam perjalanan sejarah Sunda, Ci Tarum erat kaitannya dengan Kerajaan Taruma, kerajaan yang menurut catatan-catatan Tionghoa dan sejumlah prasasti pernah ada pada abad ke-4 sampai abad ke-7. Komplek bangunan kuno dari abad ke-4, seperti di Situs Batujaya dan Situs Cibuaya menunjukkan pernah adanya aktivitas permukiman di bagian hilir. Sisa-sisa kebudayaan pra-Hindu dari abad ke-1 Masehi juga ditemukan di bagian hilir sungai ini.

Sejak runtuhnya Taruma, Ci Tarum menjadi batas alami Kerajaan Sunda dan Galuh, dua kerajaan kembar pecahan dari Taruma, sebelum akhirnya bersatu kembali dengan nama Kerajaan Sunda.

Ci Tarum juga disebut dalam Naskah Bujangga Manik, suatu kisah perjalanan yang kaya dengan nama-nama geografi di Pulau Jawa dari abad ke-15. Pada masa pendudukan Belanda di Indonesia, telah dibangun sejumlah PLTA di anak sungai ini, seperti PLTA Plengan dan PLTA Lamajan di Ci Sangkuy, serta PLTA Bengkok di Ci Kapundung. Selain itu, juga dibangun Bendung Walahar di Karawang untuk mengairi lahan pertanian seluas 87.000 hektar.[13]

Pertahanan

sunting

Aliran Citarum yang membentang dari Tanjungpura hingga ke Rengasdengklok hingga ke Laut Jawa sejauh tidak kurang dari 60 Km menjadikannya benteng alamiah atas serbuan musuh yang datang dari Jakarta.[8]

Di masa pendudukan Jepang, Rengasdengklok direncanakan untuk menjadi benteng pertahanan ketika menghadapi Sekutu, dimana ketia Jepang meneyerah pada Sekutu, 14 Agustus 1945 maka pos-pos pertahanan itu egera diambil alih oleh Pembela Tanah Air.[14]

 
Ci Tarum, dengan jembatan kereta api di atasnya, dekat Stasiun Kedunggedeh.

Pengembangan infrastruktur

sunting

Pada akhir tahun 1948, Prof. Dr. Ir. W.J. van Blommestein yang saat itu menjabat sebagai Kepala Insinyur pada Bagian Irigasi & Drainase Departemen Pekerjaan Umum mengemukakan sebuah konsep pengembangan sungai yang ia beri judul "A Federal Welfare Plan for the Western Part of Java". Konsep tersebut mencakup pengembangan infrastruktur pada 17 sungai besar yang saat itu masuk dalam Provinsi Jawa Barat, mulai dari Ci Ujung hingga Ci Tanduy. Sebagai permulaan, Blommestein mengusulkan pembangunan dua waduk besar di Ci Tarum, yakni Waduk Jatiluhur dan Waduk Tarum, yang masing-masing dapat menampung air sebanyak 3 milyar meter kubik dan 1,15 juta meter kubik. Waduk Jatiluhur difokuskan untuk menyediakan air irigasi bagi lahan pertanian di hilir, sementara Waduk Tarum difokuskan untuk membangkitkan listrik.[15]

Pada tahun 1953, para ahli menyederhanakan konsep tersebut, dari yang awalnya mencakup 17 sungai yang ada di Jawa Barat, menjadi hanya mencakup Ci Tarum saja, dengan infrastruktur yang akan dibangun adalah Waduk Jatiluhur dan Waduk Tarum (kemudian diubah namanya menjadi Waduk Saguling). Waduk Jatiluhur direncanakan dapat mengairi lahan pertanian seluas sekitar 240.000 hektar yang terletak di antara sungai Bekasi dan Ci Punegara, serta membangkitkan listrik melalui sebuah PLTA berkapasitas 150 MW. Sementara Waduk Saguling direncanakan dapat membangkitkan listrik melalui sebuah PLTA berkapasitas 700 MW.[15] Waduk Jatiluhur akhirnya mulai dibangun pada tahun 1957 dan dapat diselesaikan pada tahun 1967, sementara Waduk Saguling mulai dibangun pada tahun 1980 dan dapat diselesaikan pada tahun 1986. Kemudian juga direncanakan pembangunan Waduk Cirata di antara dua waduk tersebut untuk membangkitkan listrik melalui sebuah PLTA berkapasitas 1.000 MW. Waduk Cirata lalu mulai dibangun pada tahun 1983 dan dapat diselesaikan pada tahun 1988.

Ekologi dan lingkungan

sunting
 
Genggehek (Mystacoleucus marginatus), salah satu jenis ikan yang menghilang dari Waduk Jatiluhur

Perikanan

sunting

Sejak lama, Ci Tarum dapat dilayari oleh perahu kecil. Penduduk di sekitarnya memanfaatkan sumber daya perikanan di sungai ini, baik secara tradisional dengan cara memancing atau menjala, atau dengan cara membudidayakan ikan dalam keramba jaring apung di waduk.

Puluhan jenis ikan hidup di Ci Tarum. Di lingkungan Waduk Jatiluhur saja, Kartamihardja (2008) mencatat keberadaan 20 spesies ikan. Dan angka ini sebetulnya telah berubah menyusut dalam kurun waktu 40 tahun (1977-2007); pada awalnya tercatat sebanyak 34 spesies dengan komposisi 23 spesies asli dan 11 pendatang (introduksi).[16]

Perubahan ekosistem, dari aliran sungai yang relatif dangkal dan deras menjadi lingkungan waduk yang dalam dan tenang, jelas mempengaruhi keberadaan jenis-jenis ikan. Akan tetapi jenis-jenis yang menghilang dari waduk masih mempunyai kemungkinan bertahan di bagian lain Ci Tarum. Catatan ringkas yang diperoleh sebuah LSM pemerhati Ci Tarum, masih mendapati puluhan jenis ikan dari berbagai lokasi di sungai ini.[17] Meskipun demikian, hingga saat ini memang belum tersedia data yang memadai menyangkut keanekaragaman, penyebaran, dan populasi ikan-ikan di Ci Tarum ini.

Pencemaran

sunting

Keadaan lingkungan sekitar Ci Tarum telah banyak berubah sejak paruh kedua dasawarsa 1980-an. Industrialisasi yang pesat sejak akhir 1980-an di kawasan sekitar sungai ini telah menyebabkan menumpuknya limbah buangan pabrik-pabrik di Ci Tarum.[18]

Setiap musim hujan wilayah Bandung Selatan di sepanjang Ci Tarum selalu dilanda banjir. Setelah kejadian banjir besar yang melanda daerah tersebut pada tahun 1986,[butuh rujukan] pemerintah membuat proyek normalisasi sungai Ci Tarum dengan mengeruk dan melebarkan sungai bahkan meluruskan alur sungai yang berkelok. Tetapi hasil proyek itu tampaknya sia-sia karena setelahnya tidak ada perubahan perilaku masyarakat sekitar, sehingga sungai tetap menjadi tempat pembuangan sampah bahkan limbah pabrik pun mengalir ke Ci Tarum. Bertahun kemudian,[per kapan?] keadaan sungai bahkan bertambah buruk, sempit dan dangkal, penuh sampah, dan di sebagian tempat airnya pun berwarna hitam pekat.[sumber mendukung?] Cipicung dan Cimeta menjadi sumber pencemaran karena keduanya bermuara di Citarum.[12]

Para pemerhati lingkungan telah mengamati bahwa lebih dari 20.000 ton limbah dan 340.000 ton air limbah dari pabrik tekstil tersebut dibuang ke sungai setiap hari. Akibat dari pencemaran ini adalah hilangnya sebagian besar populasi ikan sungai yang diperkirakan mencapai 60% sejak 2008.[19][20] Di tahun 2018, indeks kualitas air (i.k.a.) Sungai Citarum mencapai angka 33,43 atau berada dalam status tercemar berat. Pemerintah Propinsi Jawa Barat menargetkan bahwa, pada tahun 2025, IKA Sungai Citarum harus mencapai 60 poin.

Indeks Kualitas Air Tahun
33,43 (Tercemar berat) 2018[3][21]
40,67 (Tercemar ringan)   2019[3]
55 (Tercemar ringan)   2020[3]
50,13 (Tercemar ringan)   2021[3]

Pada tahun 2011, pemerintah Indonesia memulai proyek revitalisasi sungai, yang bertujuan untuk mengembalikan seluruh sungai menjadi air minum bersih. Proyek tersebut diperkuat dengan adanya Peraturan Presiden №15 Tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum.[1]

Catatan dari warga Kampung Ciwalengke Kelurahan Sukamaju pada bulan Oktober 2022 menyebutkan bahwa air di salah satu anak sungai Ci Tarum, yakni Kali Ci Walengke,[12] berwarna coklat. Hal tersebut dianggap masih lebih baik ketimbang beberapa tahun lalu ketika tidak ada pengawasan dari tentara yang membuat warna Kali Ci Walengke biru, merah, atau hitam, sebagai dampak dari pencemaran yang dilakukan pelaku industri tekstil berskala besar.[12] Kegiatan pembersihan Kali Ci Walengke dilakukan setiap hari Jumat oleh warga.[12] Sedangkan Kali Cipicung dan Cimeta yang berada di Bandung Barat menjadi sumber pencemaran Citarum karena di sana terdapat Tempat Pembuangan Akhir Sarimukti sebagai penghasil limbah cair.[12] Air yang tadinya berwarna cokelat kemudian berubah menjadi hitam.[12]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. ^ a b Nurulliah, Novianti (25 Juli 2022). "Memperkuat Komitmen Melalui Jampe". Pikiran Rakyat. hlm. 7. 
  2. ^ Peta Google – 7°12'23.4"S 107°38'55.6"E (Peta). Kartografi oleh Google, Inc. Google, Inc. 
  3. ^ a b c d e "12 Program Rencana Aksi Sungai Citarum". Pikiran Rakyat. 26 Oktober 2022. hlm. 1. 
  4. ^ a b c d e Hukum Online. "Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.511/MENHUT-V/2011". 
  5. ^ a b c d ""PerMenPUPR No.04/PRT/M/2015 - Kriteria dan Penetapan Wilayah Sungai"". PERATURAN.GO.ID. 
  6. ^ Pengejaan mengikuti pedoman penamaan nama geografi.
  7. ^ Bank Pembangunan Asia memperkirakan sekitar 28 juta jiwa[pranala nonaktif permanen].
  8. ^ a b c d Harian Kompas 2011, hlm. xix - xx.
  9. ^ a b "Peta Interaktif". WebGIS MenLHK. 
  10. ^ PUPR, Kementerian. "Informasi Balai". Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-09-25. 
  11. ^ Status mutu air sungai (Studi Kasus S. Citarum).[pranala nonaktif permanen] Puslitbang SDA.
  12. ^ a b c d e f g h i j k l m n Arifiyanto, Bambang; Husodo, Hendro Susilo (26 Oktober 2022). "Sampah Masih Ngabugbrug di Anak Sungai". Pikiran Rakyat. hlm. 10. 
  13. ^ Sinaro, Radhi (2007). Menyimak Bendungan di Indonesia (1910-2006) (dalam bahasa Indonesia). Tangerang Selatan: Bentara Adhi Cipta. ISBN 978-979-3945-23-1. 
  14. ^ Ensiklopedia Nasional Indonesia. Jakarta: Delta Pamungkas. 1997. 
  15. ^ a b Notodihardjo, Mardjono (1989). Pengembangan Wilayah Sungai di Indonesia (PDF) (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Yayasan Badan Penerbit Pekerjaan Umum. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2023-01-17. Diakses tanggal 2023-01-03. 
  16. ^ Kartamihardja, E.S. 2008. Perubahan komposisi komunitas ikan dan faktor-faktor penting yang memengaruhi selama empat puluh tahun umur Waduk Ir. Djuanda[pranala nonaktif permanen]. Jurnal Iktiologi Indonesia Vol. 8(2): 67-78
  17. ^ Budiman, Y. 2011. Berkenalan dengan ikan di Sungai Citarum[pranala nonaktif permanen]. Laporan foto 2008-2011. Enclave Conservation. 22 hal
  18. ^ "Is this the world's most polluted river?", Daily Mail, 5 Juni 2007
  19. ^ Tarahita, Dikanaya; Rakhmat, Muhammad Zulfikar (28 April 2018). "Indonesia's Citarum: The World's Most Polluted River" [Citarum Indonesia: Sungai Paling Tercemar Dunia]. The Diplomat (dalam bahasa (Inggris)). Diakses tanggal 5 Maret 2020. 
  20. ^ "The Death of the Citarum River: Indonesia's Most Toxic Waterway" [Matinya Sungai Citarum: Aliran Air Paling Beracun Indonesia]. Pulitzer Center (dalam bahasa (Inggris)). 13 Maret 2017. Diakses tanggal 5 Maret 2020. 
  21. ^ Nurulliah, Novianti (25 Juli 2022). "Program Citarum Harum: Tahun Keempat Jangan Patah Semangat". Pikiran Rakyat. hlm. 6. 

Daftar pustaka

sunting

Pranala luar

sunting