Zaman Heian

(Dialihkan dari Heian)


Templat:Expand japanese

Zaman Heian
794–1185
Gambar Ilustrasi dari Hikayat Genji oleh penulis abad ke-11 Murasaki Shikibu
LokasiJepang
Peristiwa penting
  • 794: Ibukota berpindah ke Heian-Kyō
  • 858: Pemerintahan Klan Fujiwara dimulai
  • 1000–08: Hikayat Genji
  • 1068: Pemberontakan Fujiwara no Hirotsugu
  • 1156: merebut kekuasaan Taira no Kiyomori
  • 1180–85: Perang Genpei
  • Klan Minamoto memenangkan Perang Genpei
Kronologi
Zaman Nara Zaman Kamakura

Zaman Heian (平安時代, Heian jidai) (794 - sekitar 1185) adalah salah satu zaman dalam pembagian periode sejarah Jepang yang berlangsung selama 390 tahun, dimulai dari tahun 794 ketika Kaisar Kanmu memindahkan ibu kota ke Heian-kyō hingga dibentuknya pemerintah Keshogunan Kamakura sekitar tahun 1185.[1] Periode ini ditandai dengan puncak kemajuan pengaruh Tiongkok, Taoisme, dan Buddhisme di Jepang. Zaman Heian juga dianggap sebagai zaman keemasan istana kekaisaran dan seni di istana, khususnya puisi dan sastra. Meskipun secara formal kekuasaan berada di tangan kaisar, kekuasaan pemerintahan berada di tangan klan Fujiwara, sebuah klan bangsawan yang memiliki hubungan perkawinan dengan keluarga kekaisaran. Ibu dari sejumlah besar kaisar Jepang berasal dari klan Fujiwara.[2] Dalam bahasa Jepang, Heian (平安) berarti kedamaian dan ketenangan.

Sejarah

sunting
 
Ilustrasi Kaisar Kanmu

Pada awal pemerintahan Kaisar Kanmu, ibu kota Jepang terletak di Nagaoka-kyō. Ibu kota ini hanya digunakan selama 10 tahun karena nasib-nasib buruk yang menimpa Kaisar Kanmu selama pemerintahannya. Nasib buruk yang dimaksud ialah kematian saudara Kaisar Kanmu yang bernama Sawara akibat pembunuhan dalam persaingan politik oleh kuil-kuil Buddha di Nara. Setelah kematian saudaranya, nasib buruk kembali menimpanya dengan terjadi berbagai bencana alam. Kaisar Kanmu kemudian merencanakan pemindahan ibu kota ke sebuah desa  yang terletak 10 mil ke arah utara dari Nagaoka-kyō. Nama ibu kota baru ini ialah Heian-kyō yang berarti perdamaian dan ketenangan. Nama ini dipilih sebagai bentuk harapan dari Kaisar Kanmu.[3]

Awal Zaman Heian dimulai ketika Kaisar Kanmu memulai rencana pemindahan ibu kota Jepang dari Nara ke Heian-kyō pada tahun 784 M. Heian-kyō kemudian mulai dibangun sebagai kota dan selesai pada tahun 794 M. Pemindahan ibu kota pun dilakukan pada tahun yang tersebut.[4]

Zaman Heian merupakan zaman pengganti yang mengakhiri Zaman Nara.[5] Tahun 794 Masehi ditandai sebagai awal dimulainya Zaman Heian.[6] Zaman Heian menjadi zaman terlama dalam sejarah Jepang karena periodenya selama 400 tahun. Dua ciri utama Zaman Heian adalah terbentuknya aristokrasi di Jepang dan terciptanya kehidupan yang damai tanpa perang di Jepang. Perselisihan yang timbul selama Zaman Heian hanya persoalan politik.[7] Zaman Heian baru berakhir pada tahun 1185. Akhir Zaman Heian ditandai dengan dibentuknya keshogunan sebagai sistem pemerintahan di Jepang.[8]

Pemerintahan

sunting
 
Simbol Klan Fujiwara

Hierarki pemerintahan

sunting

Pada Zaman Heian, kekuasaan tertinggi di Jepang dimiliki oleh Kaisar Jepang. Sementara kedudukan-kedudukan penting dalam kekuasaan sebagian besar diberikan kepada klan Fujiwara.[9] Kekuasaan politik yang dimiliki oleh Klan Fujiwara merupakan hasil pernikahan politik antara Kaisar Jepang dengan putri-putri dari Klan Fujiwara. Pernikahan ini kemudian melahirkan putra mahkota yang akan menjadi kaisar berikutnya dan membentuk Dinasti Heian. Kekuasaan Klan Fujiwara dalam pemerintahan di Jepang akhirnya sangat dominan selama Zaman Heian.[10]

Para bangsawan di Zaman Heian memberikan kesempatan kepada para samurai untuk turut serta dalam pemerintahan. Namun syarat yang diberikan ialah samurai harus memiliki sikap moral yang benar dalam pandangan para bangsawan.[11] Namun pada akhir Zaman Heian, kekuasaan kaum bangsawan di Jepang mulai digantikan oleh para samurai.[12]

Pusat pemerintahan

sunting
 
Pemodelan Heian-kyō

Ibu Kota Kekaisaran Jepang pada Zaman Heian adalah Heian-kyō. Pembangunan kota Heian-kyō meniru Kota Chang'an pada masa Dinasti Tang di Tiongkok.[13] Nama Heian-kyō berarti ibu kota yang tenang dan damai.[14] Heian-kyō menempati wilayah sepanjang 5,25 kilometer dengan lebar 4,5 kilometer. Heian-kyō terletak pada lembah berbukit yang dikelilingi oleh bukit dan dua sungai. Lokasinya dekat dari Gunung Hiei di bagian barat laut. Lahan di Heian-kyō subur. Perbukitan di Heian-kyō dikelilingi hutan, sementara bagian lembahnya ada dua sungai yang menjadi muara bagi banyak anak sungai. Di perbatasan bagian utara Heian-kyō terdapat lahan seluas 1 hektare yang merupakan wilayah khusus bagi Kaisar Jepang.[15]

Para pejabat Jepang di Zaman Heian beristirahat dan mengadakan rekreasi di Arashiyama yang terletak di bagian barat Kyoto.[16] Sebuah vila peristirahatan yang dikhususkna bagi keluarga bangsawan pada Zaman Heian ialah Ryōan-ji . Nama Ryōan-ji berarti vihara naga yang damai. Pada tahun 1450 M, Ryōan-ji berubah fungsinya menjadi vihara Buddha.[17]

Wilayah pemerintahan

sunting

Pada Zaman Heian, Pulau Hokkaido belum menjadi bagian dari Jepang. Pulau Hokkaido masih dihuni oleh penduduk asli yaitu Suku Ainu. Hubungan Jepang dengan suku Ainu baru dimulai sejak abad ke-8 Masehi.[18]

Kebudayaan dan kesenian

sunting
 
Bagian pendahuluan Sutra Teratai

Kondisi Jepang pada Zaman Heian sangat stabil[19] sehingga kebudayaan klasik Jepang dapat berkembang.[20] Zaman Heian merupakan masa keemasan bagi kebudayaan Jepang dan keseniannya.[21] Kesenian Jepang pada Zaman Heian sangat dipengaruhi oleh ajaran agama Buddha.[22] Fondasi kebudayaan Jepang pada Zaman Heian ialah ajaran Sutra Teratai yang disebarluaskan oleh seorang mahaguru agama Buddha bernama Saichō.[23] Pada Zaman Heian, kebudayaan Jepang mengalami percampuran nilai dengan keyakinan di Tiongkok. Pengaruh percampuran ini ditemukan dalam karya sastar maupun produk budaya lainnya. Identitas bangsa Jepang terbentuk pada Zaman Heian. Selain itu, sauvinisme mulai berkembang di Jepang pada Zaman Heian. Penyebabnya adalah ketidaknyamanan penduduk Jepang oleh kedatangan orang-orang Tiongkok dan Korea.[24]

Festival

sunting

Hinamatsuri

sunting
 
Pajanagan bone hinamatsuri

Hinamatsuri merupakan perayaan yang diadakan setiap tanggal 3 Maret di Jepang.[25] Perayaan ini bertepatan dengan awal musim semi di Jepang. Tujuan perayaan ini untuk mendoakan pertumbuhan yang sehat bagi anak perempuan.[26] Karena itu, Hinamatsuri hanya dirayakan oleh keluarga yang memiliki anak perempuan. Perayaan dilakukan di dalam rumah sebagai acara keluarga. Sebelum hari perayaan, satu set  boneka festival yang disebut hinaningyo dipasang bersama oleh anak-anak dan orang tua. Sebelum dipasang, hinaningyo disimpan di dalam kotak penyimpanan.[27] Di dalam kotak penyimpanan terdapat beberapa boneka yang memperlihatkan upacara perkawinan di Jepang. Boneka-boneka ini terdiri dari boneka kaisar, permaisuri, putri, dayang istana, dan pemusik istana. Pakaian yang dikenakan pada boneka menggunakan pakaian dari Zaman Heian.[28] Sehari setelah perayaan, boneka yang dipajang disimpan. Boneka ini diyakini telah menyerap energi negatif pada diri anak-anak perempuan di keluarga. Sehingga roh-roh jahat dan nasib sial tidak lagi dapat dirasakan oleh anak-anak perempuan.[27]

Gion Matsuri

sunting

Gion Matsuri adalah upacara persembahan kepada Dewa yang telah menjadi tradisi tahunan di Zaman Heian. Pada tahun-tahun terakhir Zaman Heian, ditambahkan satu prosesi ke dalam Gion Matsuri. Prosesi ini ialah pengarakan Yamaboko tiap tanggal 17 Juli. Yamaboko adalah dua buah kereta yang disebut Yama dan Hoko yang ditarik oleh manusia. Setelah Zaman Heian, tradisi Gion Matsuri sempat tidak diteruskan. Tradisi ini berhenti ketika terjadi Perang Ōnin, kebakaran besar pada Zaman Hoei, Zaman Tenmei, Zaman Genji. Gion Matsuri juga tidak diadakan selama keikutsertaan Jepang dalam Perang Dunia II. Setelah itu, pengusaha-pengusaha yang memiliki pengaruh di Jepang mulai mengadakan lagi tradisi ini bersama dengan warga Jepang di kawasan perkotaan.[29]

Musik dan tari

sunting
 
Sebuah pertunjukan gagaku di Kyoto

Gagaku

sunting

Gagaku adalah kesenian musik dan tari yang berasal dari Tiongkok Daratan. Di Jepang, gagaku pertama kali diperkenalkan oleh kantor musik istana kaisar pada Zaman Asuka. Kantor ini didirikan pada tahun 701 Masehi melalui Kitab Undang-Undang Taihō. Gagaku kemudian berkembang menjadi musik tradisional Jepang pada Zaman Heian. Dua musik orkes pengiring ditulis pada Zaman Heian, yaitu Saibara dan Rōei.[30]

Pertunjukan hiburan

sunting
 
Ilustrasi pertandingan sumo

Pada Zaman Heian, selama ritual atau upacara keagamaan diadakan pertandingan sumo. Sumo ditampilkan sebagai hiburan bagi kalangan aristokrat.[31] Setelah Zaman Heian, kedudukan aristokrat digantikan oleh militer akibat dimulainya masa peperangan di Jepang. Akhirnya, sumo yang awalnya hanya dijadikan hiburan diubah menjadi bagian dari latihan para prajurit. Pertarungan para pesumo yang tanpa senjata kemudian dijadikan inspirasi bagi teknik-teknik jujutsu untuk digunakan dalam pertempuran.[32]  

Kehidupan sosial

sunting

Interaksi sosial

sunting

Pada Zaman Heian, di Jepang tercipta kehidupan yang aman dan harmonis. Peradaban Jepang pada zaman ini mulai mengenal kebudayaan yang berdasarkan kepada keindahan. Perempuan menempati kedudukan yang tinggi dalam peradaban Jepang pada Zaman Heian. Kaum perempuan banyak yang menekuni bidang musik, penulisan dan seni berpakaian hingga ke tingkat pakar.[33]

Pernikahan

sunting

Miai kekkon

sunting

Miai kekkon adalah tradisi pernikahan yang pertama kali diterapkan pada Zaman Heian. Tradisi ini sangat populer hingga Zaman Edo. Pada Zaman Edo, miai kekkon dilakukan oleh para bangsawan dan keluarga samurai dengan tujuan pernikahan politik dan mempertahankan garis keturunan bangsawan. Pernikahan umumnya dilakukan oleh putri dari keluarga bangsawan atau keluarga samurai dengan putra dari keluarga bangsawan atau keluarga samurai lainnya.[34]

Duolokal

sunting

Tiap rumah tangga pada awal Zaman Heian terdiri dari 8–10 anggota rumah tangga. Jumlah ini merupakan akibat dari diterapkannya pernikahan duolokal. Tenaga kerja dewasa lebih banyak sehingga persediaan makanan dapat stabil secara keseluruhan hanya dengan mengadakan pertanian padi.[35]

Pakaian

sunting

Jūnihitoe

sunting

Jūnihitoe merupakan kimono yang dipakai secara bertumpuk-tumpuk dengan penampilan yang indah. Kimono ini digunakan selama Zaman Heian oleh para wanita yang bekerja di istana.[36]

Komoragae

sunting

Komoragae merupakan tradisi menyimpan pakaian musim dingin dan mengeluarkan pakaian musim panas untuk dipakai. Tradisi ini diadakan tiap bulan Juni di Jepang yang merupakan musim hujan. Komorragae merupakan tradisi dari Tiongkok yang kemudian menjadi tradisi istana pada Zaman Heian. Pada akhir abad ke-19 Masehi, Komoragae mulai diperkenalkan kepada masyarakat umum melalui seragam sekolah atau seragam perusahaan. Pergantian seragam musim dingin menjadi seragam musim panas dilakukan pada awal bulan Juni. Kemudian pergantian seragam musim panas ke seragam musim dingin dilakukan pada awal bulan Oktober. Komoragae tidak lazim dipraktikkan di dalam rumah tangga ataupun keluarga.[37]

Pada Zaman Heian, keberadaan hukum dalam ajaran Buddha di Jepang hanya menjadi sebuah formalitas. Aturan mengenai pakaian biksu kemudian juga berubah. Biksu pada Zaman Heian mengenakan kesa berwarna putih. Warna ini merupakan perwakilan dari kehidupan yang sekuler.[38]

Peralatan rumah tangga

sunting

Byōbu

sunting

Salah satu peralatan rumah tangga yang penting pada Zaman Heian adalah Byōbu. Kediaman para daimyō, kuil buddha dan kuil shinto menganggap penting keberadaan Byōbu. Pada masa ini, ikatan untuk panel-panel byōbu tidak lagi menggunakan tali. Ikatan digantikan dengan sejenis logam yang lebih kuat dibandingkan tali.[39]

Origami

sunting

Penduduk Jepang meyakini bahwa origami telah mulai dibuat sejak Zaman Heian.[40] Para pembuatnya adalah para sami penganut Shinto. Namun, origami pada masa ini disebut dengan nama orikata, orisui, atau orimono. Para sami membuatnya sebagai penutup botol sake pada upacara penyembahan. Selain itu, origami juga dibuat oleh anak-anak dan wanita.[41]

Koh adalah dupa berkualitas tinggi yang dibuat di Jepang pada Zaman Heian. Aroma halus yang keluar dari Koh menjadi sumber penghibur bangsawan yang bekerja di Pengadilan Kekaisaran Jepang.[42]

Keagamaan

sunting

Pada Zaman Heian, agama Buddha dijadikan sebagai agama negara di Jepang. Kuil-kuil Buddha dibangun dengan megah. Di Nara, dibangun Tōdai-ji. Pembangunan kuil-kuil Buddha juga diadakan di Kyoto.[43] Aliran agama Buddha yang dianut di Jepang pada Zaman Heian terbagi menjadi dua, yaitu Tendai dan Shingon. Kedua aliran ini dipengaruhi oleh buddhisme di Tiongkok. Tendai dipengaruhi oleh aliran Tiantai, sedangkan Shingon termasuk aliran Wajrayana.[44] Pada Zaman Heian, agama Buddha mengalami percampuran nilai dengan keyakinan Shinto. Pemujaan terhadap Kami berasal dari keyakinan Shinto, sementara agama Buddha menghasilkan nilai etika dan moral.[45] Selain itu pada Zaman Heian juga telah ada klan yang menguasai teknik Yin-Yang dan sihir. Dua klan yang memonopoli selama Zaman Heian adalah Klan Abe dan Klan Kamo.[46]

Kesusastraan

sunting
 
Ilustrasi dari Hikayat Genji

Zaman Heian merupakan masa keemasan bagi kesusastraan klasik Jepang.[47] Novel pertama di dunia ditulis pada zaman ini oleh Murasaki Shikibu dengan judul Hikayat Genji. Novel ini dianggap sebagai novel pertama dalam genre novel fiksi, novel romansa, novel psikologis dan novel klasik.[47] Hikayat Genji ditulis pada akhir abad ke-10 Masehi. Isinya menceritakan pandangan para aristokrat pada Zaman Heian dan pandangan mereka terhadap ajaran Shinto dan agama Buddha.[48]

 
Aksara kana abad ke-10 M.

Aksara kana

sunting

Pada Zaman Heian sistem penulisan hiragana dan katakana yang diciptakan pada Zaman Nara mengalami perkembangan penggunaan. Aksara kana kemudian diciptakan dari hasil penyederhanaan huruf Kanji untuk kebutuhan masyarakat Jepang pada Zaman Heian.[49] Terjadi kecenderungan pemakaian dari masing-masing sistem penulisan ini. Hiragana lebih sering digunakan oleh kaum perempuan. Sementara katakana lebih sering digunakan oleh kaum laki-laki.[50] Contoh-contoh karangan yang menggunakan ragam bahasa wanita pada Zaman Heian ialah Hikayat Genji dan Buku Bantal, serta dari kumpulan puisi berjudul Manyōshū.[51]

Cerita rakyat

sunting

Pada abad ke-9 M, kesusastraan telah dikaitkan dengan ritual dan pertunjukan. Dalam pertemuan-pertemuan formal dan rekreasi oleh anggota aristokrasi yang terkemuka pada Zaman Heian, selalu diadakan penulisan sastra Sinitik.[52] Ada pula cerita rakyat berjudul Putri Kaguya yang terdapat dalam rangkaian cerita Kisah Pengambil Bambu.  Diperkirakan bahwa kisah Putri Kaguya berasal dari wilayah Prefektur Shizuoka. Kisah ini telah diceritakan sejak Zaman Heian dan masih terkenal di kalangan anak-anak maupun orang dewasa di Jepang.[53]

Pada Zaman Heian, pola penulisan puisi Jepang yang paling banyak dibuat ialah tanka. Susunan suku kata pada tanka sebanyak 31 dan mengikuti pola 5-7-5-7-7. Penulisan tanka yang terkenal dimulai sejak abad ke-10 hingga ke-12 Masehi setelah dikenal sistem penulisan di Jepang.[54] Pada Zaman Heian, tanka digunakan dalam penulisan waka dan mengawali penulisan autobiografi di Jepang.[55]  Kaisar Jepang setiap tahun menjadi sponsor perlombaan menulis tanka di Jepang.[54]

Referensi

sunting
  1. ^ Varner, Melinda (2005). "Teaching about Heian Japan" (PDF). Education About Asia. 10 (3): 16. 
  2. ^ F.W. Seal, Heian Period Court and Clan Diarsipkan 2019-12-28 di Wayback Machine.
  3. ^ Varner, Melinda (2005). "Teaching about Heian Japan" (PDF). Education About Asia. 10 (3): 16. 
  4. ^ Henshall, Kenneth G. (2004). A History of Japan: From Stone Age to Superpower (PDF) (edisi ke-2). Hampshire: Palgrave Macmillan. hlm. 27. 
  5. ^ Rachman, Farhan Noor (2014). Backpacking Jepang. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo. hlm. 9. ISBN 978-602-02-4424-2. 
  6. ^ Blair, Heather (24 Juli 2016). "Review: Imagining Exile in Heian Japan". Reading Religion. 
  7. ^ Kawasaki, Tamaki (Februari 2019). "The Pillow Book and The Japanese Mindset" (PDF). Highlighting Japan: 9. 
  8. ^ Hiroshi, Taro (Juli 2020). Putra, ed. How to Ikigai. Bantul: Araska. hlm. 13. ISBN 978-623-7537-63-2. 
  9. ^ Nurdiniyah, H., Askho, W. H., dan Arradi, A. (Juli 2021). Muslikh, ed. Pengantar Kesusastraan Jepang. Klaten: Penerbit Lakeisha. hlm. 29. ISBN 978-623-6322-56-7. 
  10. ^ Septianingrum, Anisa (Juli 2017). Sejarah Asia Timur: Dari Masa Peradaban Kuno hingga Modern. Anak Hebat Indonesia. hlm. 69–70. ISBN 978-623-244-698-4. 
  11. ^ Baskara, Nando (2012). Kamikaze: Aksi Bunuh Diri "Terhormat" Para Pilot Jepang. MedPress Digital. hlm. 124. ISBN 979-168-097-3. 
  12. ^ Merinda, Maria Fransiska. Kyushu Holiday: Japan's Third Largest Island Highlight. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo. hlm. 2. ISBN 978-602-04-8678-9. 
  13. ^ Wicaksono, Michael (2015). Han Kaisar Petani. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo. hlm. 401. ISBN 978-602-02-5988-8. 
  14. ^ Fatimah, Titin (Januari 2014). "Gion Matsuri: Prosesi Budaya, Partisipasi Komunitas dan Pelestarian Wajah Kota Kyoto" (PDF). Jurnal Arsitektur NALARs. 13 (1): 12. 
  15. ^ Wahid, J., dan Karsono, B. (2011). Desain dan Konsep Arsitektur Lansekap dari Zaman ke Zaman (PDF). Yogyakarta: Graha Ilmu. hlm. 36. ISBN 978-979-756-772-9. 
  16. ^ Merinda, Maria Fransiska (2017). Hardiani, Riza, ed. 300 Wonderful Destinations: 46 Cities 46 Countries. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo. hlm. 199. ISBN 978-602-04-4453-6. 
  17. ^ Nugroho, H., dkk. (Mei 2022). Oleh-Oleh dari Kyoto. Jakarta Barat: Penerbit One Peach Media. hlm. 85. ISBN 978-623-483-004-0. 
  18. ^ Herdiawan, Junanto (Maret 2014). Flying Traveler: Berburu Momen Anti-Mainstream. Sleman: Penerbit B Frist. hlm. 70. ISBN 978-602-426-006-4. 
  19. ^ Hennessey, John L. (2015). Discourses of the Heian Era and National Identity Formation in Contemporary Japan (PDF). Centre for East and South-East Asian Studies Lund University. hlm. 1. ISBN 978-91-980900-3-1. ISSN 1652-4128. 
  20. ^ Perkins, Dorothy J. (1998). The Samurai of Japan A Chronology from Their Origin in the Heian Era 7941185 to the Modern Era. Upland: Diane Publishing Company. hlm. 1. ISBN 0-7881-4525-8. 
  21. ^ Yovian, Evan (2021). Japan's Best Destination. Jakarta: Penerbit Bhuana Ilmu Populer. hlm. 1. ISBN 978-623-04-0363-7. 
  22. ^ Priyatno, Agus (Oktober 2015). Seni Rupa Timur (PDF). Medan: Unimed Press. hlm. 78. ISBN 978-602-0888-34-7. 
  23. ^ Wahid, A., dan Ikeda, D. (Maret 2011). Dialog Peradaban untuk Toleransi dan Perdamaian. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. hlm. 53. ISBN 978-979-22-6432-6. 
  24. ^ Effendi, A. T., dkk. (Mei 2019). Bangkitnya Negeri Sakura. Bogor: PT Penerbit IPB Press. hlm. 12. ISBN 978-602-440-760-5. 
  25. ^ Koshino, Weedy (2016). Unbelievable Japan!. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo. hlm. 174. ISBN 978-602-02-8103-2. 
  26. ^ Andriansyah (2012). Festival Waw! Aneh, Unik, Fantastik, dan Kontroversial. Depok: Pacu Minat Baca. hlm. 116. ISBN 978-979-014-200-8. 
  27. ^ a b Merinda, Lisa (2015). 85 Best Spots in Japan. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo. hlm. 139. ISBN 978-602-02-7825-4. 
  28. ^ Asmayani, Nurul (2011). Panduan Sukses Orang Indonesia di Jepang. Yogyakarta: Penerbit B-First. hlm. 124. ISBN 978-602-8864-22-0. 
  29. ^ Imron, M. Ali (Agustus 2015). Sejarah Terlengkap Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta: IRCiSoD. hlm. 338. ISBN 978-602-296-124-6. 
  30. ^ Rapanna, P., dan Fajirah, Y. (Januari 2018). Menembus Badai Ekonomi dalam Perspektif Kearifan Lokal. Makassar: CV. Sah Media. hlm. 107. ISBN 978-602-6928-39-9. 
  31. ^ Fitriani, R. S., dan Suparman, O. (2016). Ensiklopedia Olahraga: Macam-Macam Olahraga Beladiri. Bandung: CV. Kubu Buku. hlm. 77. ISBN 978-602-60234-4-5. 
  32. ^ Fitriani, R. S., dkk. (2021). Ensiklopedi Olahraga Bela Diri: Taekwondo hingga Judo. Hikam Pustaka. hlm. 14–15. 
  33. ^ Ismail, Hashim (2018). Dekonstruksi Identiti dalam Teks Melayu. Kuala Lumpur: Institut Terjemahan dan Buku Malaysia Berhad. hlm. 168. ISBN 978-967-460816-3. 
  34. ^ Wibowo, Robi (Juli 2018). Nalar Jawa Nalar Jepang: Analisis Strukturalisme Levi-Strauss pada Mitos Jaka Tarub dan Tanabata. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hlm. 79. ISBN 978-602-386-269-6. 
  35. ^ Farris, William Wayne (2009). Daily Life and Demographics in Ancient Japan (PDF). Ann Arbor: Center for Japanese Studies The University of Michigan. hlm. 9. ISBN 978-0-472-90196-8. 
  36. ^ Semita, Muryani J. (2018). Buku Saku Percakapan Bahasa Jepang untuk Wisata. MediaPressindo. hlm. 191. ISBN 978-602-575-429-6. 
  37. ^ Kondo, Marie (Agustus 2016). The Life Changing Magic of Tidying Up [The Life Changing Magic of Tidying Up, Ten Speed Press]. Diterjemahkan oleh Indardini, Reni. Sleman: Penerbit Bentang. hlm. 75–76. ISBN 978-602-291-245-3. 
  38. ^ Matsuo, Kenji (2007). A History of Japanese Buddhism (PDF). Folkestone: Global Oriental. hlm. 26. ISBN 978-1-905246-41-0. 
  39. ^ Lensun, Sherly Ferro (Agustus 2022). Buku Referensi Strategi Pembelajaran Kanji yang Mudah dan Menyenangkan. Sleman: CV. Bintang Semesta Media. hlm. 79. ISBN 978-623-5472-22-5. 
  40. ^ Andriyani, A. A. A. D., dkk. (November 2022). Buana, Puja Vionicca, ed. Bahasa Jepang Bisnis. Solok: Yayasan Pendidikan Cendekia Muslim. hlm. 17. ISBN 978-623-8064-12-0. 
  41. ^ Risman, Ricki (2011). Burung dari Kertas. Tata Letak Pustaka Prima. hlm. 6. ISBN 978-502-833-386-6. 
  42. ^ Mulyaningsih, Tri (2021). Paradigma Tradisional dalam Pendayagunaan Gaharu di Jepang. Makassar: PT. Nas Media Indonesia. hlm. 4. ISBN 978-623-351-009-7. 
  43. ^ Sarumpaet, Riris K. Toha, ed. (2016). Krisis Budaya? Oasis Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hlm. 79. ISBN 978-979-461-977-3. 
  44. ^ Smart, Ninian (2009). Falsafah Dunia [World Philosophies]. Diterjemahkan oleh Institut Terjemahan Negara Malaysia Berhad. Kuala Lumpur: Institut Terjemahan Negara Malaysia Berhad. hlm. 155. ISBN 978-983-068-252-5. 
  45. ^ Daud, Mohd. Hariri Mohamad (2020). Idrus, Hanis Hafidzah, ed. Seteguh Gunung Fuji Berdiri. Bangi: JT Books PLT. hlm. 106. ISBN 978-967-18260-1-0. 
  46. ^ Hori, Ichiro. Kitagawa, J. M., dan Miller, A. L., ed. Haskell Lectures on History of Religions (PDF). Chicago: The University of Chicago. hlm. 14. ISBN 0-226-35333-8. 
  47. ^ a b Rachmatullah, A. (2010). Khazanah Kesusasteraan Dunia: Dari Zaman Kuno sampai Modern. Depok: ONCOR Semesta Ilmu. hlm. 16. ISBN 978-602-96828-2-3. 
  48. ^ Neubauer, Kati (2008). "Buddhism in the Heian period reflected in the Tale of Genji". Introduction to Traditional Japan. Muhlenberg College. ISBN 978-364-040-166-6. 
  49. ^ Maulia, Dini (04 November 2020). Putri, Darni Enzimar, ed. "Pembelajaran Kanji Secara Mandiri dengan Menggunakan Aplikasi Daring" (PDF). Lokakarya dan Webinar “Strategi Pembelajaran Mandiri Bahasa, Sastra dan Budaya Jepang". Jurusan Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang: 45. 
  50. ^ Zakiyyah, Hanina (April 2017). Bahasa Jepang Itu Gampang: Panduan Lengkap dan Mudah. Sleman: Bentang B First. hlm. 2. ISBN 978-602-426-056-9. 
  51. ^ Adnyani, Kadek Eva Krishna (Maret 2020). Bahasa Jepang dan Gender: Sebuah Pengantar. Badung: Nilacakra. hlm. 86. ISBN 978-623-7352-34-1. 
  52. ^ Minguzzi, Dario (2021). "Sinitic Poetry in Early Heian Japan: Kidendō Literacy, Banquet Culture, and the Sugawara House" (PDF). Annali di Ca’ Foscari. Serie orientale. 57: 505. doi:10.30687/AnnOr/2385-3042/2021/01/019. ISSN 2385-3042. 
  53. ^ Purnomo, Antonius R. Pujo (2019). Cerita Rakyat Jepang: Dari Hokkaido sampai Okinawa. Surabaya: Airlangga University Press. hlm. 249. ISBN 978-602-473-275-2. 
  54. ^ a b Budianta, M., dkk. (Mei 2006). Membaca Sastra: Pengantar Memahasi Sastra untuk Perguruan Tinggi. Malang: IndonesiaTera. hlm. 190. ISBN 979-9375-84-3. 
  55. ^ Sulaiman, Shaharom TM (2004). Buku Kekasih. Kuala Lumpur: Utusan Publications & Distributors Sdn Bhd. hlm. 61. ISBN 967-61-1615-7.