Kesultanan Mataram

kerajaan di Asia Tenggara
Revisi sejak 30 Juli 2021 11.10 oleh Inayubhagya (bicara | kontrib) (Mengembalikkan istilah 'Kuta' ke semula)

Kesultanan Mataram (bahasa Jawa: ناڬاري كسلطانن ماتارام, (na) (ga)ꦫꦶ (ri) (ka)ꦱꦸ (su)ꦭ꧀ (l) (ta) (na)ꦤ꧀ (n) (ma) (ta) (ra)ꦩ꧀ (m), translit. Nagari Kasultanan Mataram; bahasa Indonesia: Negara Kesultanan Mataram; bahasa Arab: دولة نوبل ماتارام Daulat Nuubil Mataram, har. 'Negeri Mataram yang Luhur') adalah negara berbentuk kesultanan di Jawa pada abad ke-16. Kesultanan ini didirikan sejak pertengahan abad ke-16, namun baru menjadi negara berdaulat di akhir abad ke-16 yang dipimpin oleh dinasti yang bernama wangsa Mataram.[3][4]

Kesultanan Mataram Islam

Nagari Kasultanan Mataram
Alih aksara
  • ꦤꦒꦫꦶꦏꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤꦤ꧀ꦩꦠꦫꦩ꧀ (Hanacaraka)
    ناڬاري كسلطانن ماتارام (Pegon)
    دولة نوبل ماتارام (Hijaiyah)
15861–1755
Bendera Mataram Islam
Bendera
Peta wilayah Kesultanan Mataram
Ibu kotaKutagede
(1587–1613)
Karta
(1613–1645)
Plered
(1646–1680)
Kartasura
(1680–1755)
Pusat pemerintahanKutagara
Jawa
Bahasa yang diakuiBagongan
Agama
Islam
DemonimMatawis
PemerintahanMonarki
Wangsa 
• 1586—1755
Mataram
Kemerdekaan 
dari Pajang
Sejarah 
• Pemindahan kekuasaan
Demak ke Pajang
1549
• Babad Alas Mentaok
1556
• Hadeging Nagari
15861
13 Februari 1755
Mata uangderham jawi dan dinar[1]
Didahului oleh
Digantikan oleh
kslKesultanan
Pajang
Kasunanan Surakarta
Kasultanan Yogyakarta Berkas:Bendera Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.png
Hindia Belanda
^1 (1513 J/1586 M) Panembahan Senapati jumeneng ratu ing nagari Mataram[2]
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Sepanjang abad ke-16, tepatnya pada puncak kejayaannya di bawah pemerintahan Anyakrakusuma, Mataram adalah salah satu negara terkuat di Jawa, kesultanan yang menyatukan sebagian besar pulau Jawa, Madura, dan Sukadana (Kalimantan Barat). Kesultanan ini terdiri dari wilayah kutagara, nagaragung, mancanagara, pasisiran dan sejumlah kerajaan vasal, beberapa di antaranya dianeksasi ke dalam teritori kesultanan, sedangkan sisanya diberikan beragam tingkat otonomi.[butuh rujukan]

Kesultanan ini secara de facto merupakan negara merdeka yang menjalin hubungan perdagangan dengan Kerajaan Belanda. Kedua pihak saling mengirim duta besar. Anyakrakusuma di bawah kepemimpinannya tidak mengizinkan Serikat Dagang Hindia Timur (VOC) untuk mendirikan loji-loji dagang di pantai utara. Hal ini ditolak karena bila diizinkan maka ekonomi di pantai utara akan dikuasai dan melemah. Penolakan ini membuat hubungan keduanya sejak saat itu merenggang.[butuh rujukan]

Menjelang keruntuhannya, Kesultanan Mataram menjadi negara protektorat Kerajaan Belanda, dengan status pzelfbestuurende landschappen.[butuh rujukan]

Perjanjian Giyanti membuahkan kesepakatan bahwa Kesultanan Mataram dibagi dalam dua kekuasaan, yaitu Nagari Kasunanan Surakarta dan Nagari Kasultanan Ngayogyakarta. Perjanjian yang ditandatangani dan diratifikasi pada tanggal 13 Februari 1755 di Giyanti ini secara de jure menandai berakhirnya Mataram.[5][6]

Etimologi

Nama Mataram secara historis adalah nama kerajaan pra-Islam yang mengacu pada Kerajaan Mataram abad ke-8. Praktik umum di Jawa adalah menyebut kerajaan mereka dengan metonimia dan bervariasi dalam berbagai bahasa. Ada keragaman bahkan dalam bahasa. Dalam bahasa Sanskerta, Mataram berarti ibu, sedangkan istilah "Matawis" digunakan sebagai bentuk demonim dan kata sifat.

Berdasarkan sejarahnya, ada dua kerajaan yang pernah ada di periode yang berbeda dan keduanya disebut Mataram. Kerajaan selanjutnya, sering disebut sebagai Mataram Islam atau Matawis untuk membedakannya dari Kerajaan Mataram abad ke-8.[7]

Sejarah

Pembentukan dan perkembangan

Hadeging nagari

 
Kutagede, bekas ibu kota Kesultanan Mataram, didirikan pada tahun 1582 oleh Panembahan Senapati.

Kesultanan Mataram didirikan oleh Panembahan Senapati pada tahun 1586. Pada mulanya kesultanan ini adalah wilayah teritorial Kerajaan Pajang, kemudian menundukan dan menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya. Selanjutnya pada tahun 1586 wilayah Pajang sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Mataram diikuti penyerahan tahkta Pajang oleh Pangeran Benawa kepada Panembahan Senapati. Perkembangan Mataram begitu besar dan kuat sehingga sebagian besar sejarawan setuju bahwa itu telah didirikan selama beberapa generasi perintis Mataram.

Menurut catatan Jawa, raja-raja Mataram adalah keturunan dari Ki Ageng Sela (Sela adalah sebuah desa dekat Demak sekarang). Pada tahun 1570-an, salah satu keturunan Ki Ageng Sela, Kyai Gedhe Pamanahan dianugerahi kekuasaan atas tanah Mataram oleh raja Pajang, Sultan Hadiwijaya, sebagai imbalan atas jasanya mengalahkan Arya Panangsang, musuh Hadiwijaya.[8] Pajang terletak di kota Surakarta saat ini, dan Mataram awalnya adalah vasal dari Pajang.[4] Pamanahan sering disebut sebagai Kyai Gedhe Mataram. Seorang kyai adalah seorang ulama muslim yang berpendidikan tinggi dan cenderung disegani.

Sedangkan di Pajang, terjadi perebutan kekuasaan besar-besaran yang terjadi setelah Sultan Hadiwijaya wafat pada tahun 1582. Pewaris Hadiwijaya adalah Pangeran Benawa, digulingkan takhtanya oleh Arya Pangiri dari Demak, dan disingkirkan ke Jipang. Putra Pamanahan, Sutawijaya atau Panembahan Senapati, menggantikan ayahnya sekitar tahun 1584, dan dia mulai melepaskan Mataram dari kekuasaan Pajang. Di bawah Sutawijaya, Mataram tumbuh secara substansial melalui kampanye militer melawan penguasaan Mataram atas Pajang oleh Arya Pangiri, dan Pangeran Benawa dengan cepat menggalang dukungan untuk merebut kembali takhtanya dan merekrut dukungan Panembahan Senapati melawan Pajang. Selanjutnya, Pajang diserang dari dua arah: oleh Pangeran Benawa dan oleh Panembahan Senapati. Perang antara Pajang melawan Mataram berakhir dengan kekalahan Arya Pangiri. Pangeran Benawa kemudian naik takhta di Pajang.[8] Selama periode itu tidak ada putra mahkota Pajang yang menggantikan Pangeran Benawa sehingga takhta Pajang diserahkan ke Panembahan Senapati. Kemudian yang menjadi bupati di sana ialah Pangeran Gagak Baning atau adik Panembahan Senapati. Peristiwa pada tahun 1586 ini menandai berakhirnya kerajaan Pajang dan berdirinya Nagari Kasultanan Mataram.

Kebangkitan Mataram

 
Pasarean Mataram, makam dari Panembahan Senapati dan Panembahan Seda ing Krapyak.

Sutawijaya menjadi pemimpin monarki dengan menyandang gelar "Panembahan" (secara harfiah berarti "orang yang dijunjung"). Dia mengungkapkan sifat pemerintahannya yang ekspansif dan mulai memproyeksasi manuver politiknya sesuai ketentuan, layanan, dan fungsi administrasi ke timur di sepanjang Bengawan Solo.[8] Pada 1590 menaklukkan Madiun, dan berbelok ke timur dari Madiun untuk menaklukkan Kediri pada tahun 1591 dan Ponorogo.[9] Pada saat yang sama ia juga menaklukkan Jipang dan Jagaraga (utara Magetan sekarang). Dia berhasil mencapai timur sejauh Pasuruan. Setelah berhasil menyatukan Jawa, Panembahan Senapati mengalihkan perhatiannya ke Jawa bagian barat, dengan menaklukkan Cirebon dan Galuh, menjadi vasal Mataram pada tahun 1595.[9] Usahanya untuk menaklukkan Banten pada tahun 1597 gagal, dikarenakan kurangnya transportasi air.[9] Panembahan Senapati wafat pada tahun 1601 dan dimakamkan di Kota Gede, sebagai raja Jawa ia berhasil membangun fondasi negara baru yang kokoh. Penggantinya, Raden Mas Jolang atau yang kemudian bergelar sebagai Susuhunan Anyakrawati.[9]

Kontak pertama antara Mataram dan Belanda terjadi di era Susuhunan Anyakrawati. Kegiatan Belanda pada saat itu hanya sebatas perdagangan dari pemukiman pesisir Jawa, sehingga interaksi mereka dengan wilayah pedalaman Jawa dibatasi, meskipun dibelakang mereka membentuk siasat untuk melawan Mataram. Panembahan Anyakrawati wafat karena kecelakaan sewaktu berburu rusa di hutan Krapyak. Dari peristiwa itu ia dikenal dengan gelar anumerta Panembahan Seda ing Krapyak (Panembahan yang Meninggal di Krapyak).

Masa kejayaan

Anyakrawati digantikan oleh putranya, Adipati Martapura. Namun Martapura, kesehatannya buruk dan dengan cepat digantikan oleh saudaranya, Raden Mas Rangsang pada tahun 1613, yang menyandang gelar Susuhunan Anyakrakusuma, dan kemudian pada tahun 1641 mengambil gelar Sultan Agung Hadi Prabu Anyakrakusuma (Sultan Agung).[9] Kesultanan Mataram di bawah pemerintahan Anyakrakusuma dikenang sebagai puncak kekuasaan Mataram, dan masa keemasan kekuasaan asli Jawa sebelum imperialisme Eropa pada abad berikutnya.

Pada 1641, utusan Jawa yang dikirim Anyakrakusuma ke Arab telah tiba setelah mendapat izin menyandang gelar "Sultan" dari Mekah. Nama dan gelar Islam yang diperolehnya dari Mekah adalah "Sultan Abdul Muhammad Maulana Matarami".[10]

Lukisan Pertempuran Sultan Agung dan Jan Pieterzoon Coen oleh Sindudarsono Sudjojono

Pada 1645 Sultan Agung mulai membangun Imogiri, sebagai tempat pemakaman, sekitar lima belas kilometer selatan Yogyakarta. Imogiri tetap menjadi tempat peristirahatan sebagian besar keluarga Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta hingga sekarang. Sultan Agung wafat pada musim semi tahun 1646, meninggalkan sebuah negara yang ia bangun, membentang cakrawala sebagian besar Jawa, Madura, dan pulau-pulau sekitarnya.

Masa kemunduran


Struktur pemerintahan

Mataram memiliki struktur pemerintahan yang dipimpin oleh seorang susuhunan/sultan. Dalam konsep kenegaraan Jawa raja-raja Mataram disebutkan dengan konsep Keagungbinatharaan atau diungkapkan sebagai "gung binathara, bahu dhendha nyakrawati" (kekuasaan yang agung, memelihara hukum di muka bumi). Raja dikatakan "wenang wisesa ing sanagari" (memegang kuasa di negara). Dia harus "wicaksana" (bijaksana), bersifat "budi bawa leksana, ambeg adil para marta" (meluap budi luhur-mulia dan bersifat adil terhadap sesama), tugasnya "hanjaga tata titi tentreming praja" (menjaga keteratutan dan ketentraman negeri), agar tercipta suasana "karta tuwin raharja" (aman dan sejahtera).[11]

Amiril muminina sayyidina panatagami kyatira ning rat wus sineksen saking Ngarab, winenang among dirja ning rat

Pemimpin para mukmin tuan penata agama kemasyhurannya di jagad sudah disaksikan dari negeri Arab, diberi wewenang memomong keselamatan dunia

Serat Sastra Gending karya Sultan Agung

Kemasyhuran sultan Mataram telah dikenal sampai tanah Arab sebagai seorang pemimpin para mukmin di tanah Jawa. Sehingga penguasa Mekah waktu itu memberi gelar Sultan kepada raja Mataram. Inilah awal mula raja Mataram menggunakan gelar Sultan. Pemakaian gelar raja pada Mataram selain Sultan yaitu: Panembahan, Susuhunan atau Sunan.

Anyakrakusuma mendapat gelar Sultan. Gelar tersebut dianugerahkan Sultan Murad IV yang diwakilkan syarif Mekah, Zaid ibnu Muhsin Al Hasyimi. Anyakrakusuma ditahbiskan sebagai Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami, disertai kuluk untuk mahkotanya, bendera, pataka, dan sebuah guci yang berisi air zamzam. Guci yang dulunya berisi air zamzam itu kini ada di makam Astana Kasultan Agungan di Imogiri dengan nama Enceh Kyai Mendung.

Aparat birokrasi

Berkas:Illustration of Bupati and Wedana clothing from Mataram.png
Ilustrasi ageman (busana) bupati dan wedana Mataram

Struktur birokrasi kesultanan Mataram berdasarkan pada jabatan-jabatan yang disusun secara hierarki mengikuti sistem pembagian wilayah, meliputi: Susuhunan atau Sultan, gelar yang digunakan untuk merujuk pada kepala negara yang sedang bertakhta (jumeneng). Dalam menjalankan pemerintahannya, Sultan membentuk dan menempatkan pejabat dari tingkat pusat sampai daerah berdasarkan wilayah yang sudah dibagi. Kebijakan tersebut dilakukan untuk menciptakan kegiatan pemerintahan yang terkendali.

Dalam mengurusi rumah tangga karaton tugas diserahkan kepada seorang Wedana Lebet yang terdiri dari Wedana Gedong Kiwa, Wedana Gedong Tengen, Wedana Keparak Kiwa, dan Wedana Keparak Tengen. Para wedana tersebut dikepalai oleh Patih Lebet, dan setiap wedana dibantu oleh kliwon (asisten di bawah wedana), kabayan (asisten di bawah kliwon), dan 40 mantri jajar (salah satu sebutan untuk priyai di lingkungan karaton).[12]

Adapun untuk mengurusi pemerintahan di Nagaragung, sultan menyerahkannya kepada Wedana Jawi yang dikepalai oleh seorang Patih Jawi. Masing-masing wedana juga dibantu oleh kliwon, kabayan, dan 40 mantri jajar. Semua wedana tersebut bertempat di Kutagara, sedangkan daerahnya di Nagaragung diserahkan kepada demang atau kyai lurah.[13]

Untuk mengurusi wilayah di luar Kutagara dan Nagaragung (pusat pemerintahan), di Mancagara Wétan maupun Mancagara Kilèn, sultan menempatkan para bupati yang dipimpin oleh Wedana Bupati baik di wilayah Mancagara maupun Pasisiran. Para bupati di wilayah Mancagara berpangkat Tumenggung atau Raden Arya, sedangkan di wilayah Pasisiran dikenal dengan Syahbandar yang memiliki pangkat Tumenggung, Kyai Demang, atau Raden Ngabehi. Para bupati Mancagara maupun Pasisiran berada dalam kordinasi dan bimbingan langsung dari Wedana Bupati.[11] Selain menempatkan bupati di wilayah Mancagara dan Pasisiran, sultan juga menempatkan bupati penting di wilayah pusat. Para bupati tersebut dijadikan staff ahli yang sewaktu-waktu diperlukan pertimbangannya.

Sebagai pengontrol gerak-gerik para lembaga negara maupun para bupati di daerah, maka sultan mengangkat dinas rahasia yang disebut telik sandi atau Abdi Kajineman.[14] Selain para pejabat tinggi pusat tersebut, di bawahnya masih terdapat sekitar 150 macam jabatan dibawahnya. Mereka dikhususkan ke dalam berbagai macam jabatan, mulai dari prajurit, panglima, pengadilan, keuangan, perlengkapan, kesenian, keagamaan, dan lainnya. Semua jabatan tersebut merupakan bentuk birokrasi sebagai pelaksana roda pemerintahan.[11]

Pembagian administratif

Struktur administratif Mataram menganut pola konsentris. Berdasarkan sudut pandang konsentris yang diterapkan dalam sistem ketatanegaraan di Mataram, wilayah dibedakan dalam beberapa pembagian sebagai berikut:[13][15][16]

  • Kutagara (Kuta Nagara) meliputi:
  1. Siti Narawita (ibu kota), sebagai pusat pemerintahan.
  2. Karaton (istana), sebagai pusat kegiatan pemerintahan.
  • Nagaragung (Nagara Agung) merupakan wilayah yang mengitari Kutagara, wilayah ini dibagi menjadi empat bagian, meliputi:
  1. Daerah Siti Ageng atau Bumi Gede, suatu wilayah di antara Pajang dengan Demak, kemudian dibagi menjadi daerah Siti Ageng Kiwa dan Siti Ageng Tengen. Terletak di sebelah barat daya Semarang, ± daerah Ungaran dan Kedungjati
  2. Daerah Siti Bumi atau Bumija yang terletak di sekitar daerah Kedu
  3. Daerah Siti Numbak Anyar yang terletak di sekitar daerah Bagelen
  4. Daerah Pajang, dibagi menjadi Panumping yang meliputi daerah Sukowati dan daerah Panekar yaitu daerah Pajang bagian timur.
  • Mancagara (Manca Nagara) merupakan wilayah di luar Nagaragung yang meliputi:
  1. Mancagara Wétan (Mancanegara Timur), dimulai dari Panaraga ke timur, yang meliputi Magetan, Madiun, Grobogan, Kaduwung, Jagaraga, Panaraga, Pacitan, Kediri, Jipang, Wirasaba, Blitar, Srengat, Lodaya, Pace, Nganjuk, Berbek, Cakuwu, Wirasari
  2. Mancagara Kilèn (Mancanegara Barat), dimulai dari Banyumas ke barat, yang meliputi Banyumas, Cilacap, Sumedang, Galuh, Priangan
  • Pasisiran (Pesisir) merupakan wilayah yang sebagian besar berada di pantai utara Jawa dan sebagian diantaranya diberikan otonomi tersendiri. Wilayah ini dibagi menjadi dua:
  1. Pasisiran Wétan (Pesisir Timur), dimulai dari Demak ke timur, yang meliputi Jepara, Kudus, Pati, Rembang, Lasem, Tuban, Sedayu, Lamongan, Gresik, Surabaya, Pasuruan, Blambangan
  2. Pasisiran Kilèn (Pesisir Barat), dimulai dari Demak ke barat, yang meliputi Semarang, Kendal, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes, Cirebon, Indramayu, Karawang

Kedua wilayah, Mancagara Wétan dan Pasisiran Wétan, biasanya disebut sebagai Bang Wétan. Demikian pula untuk Mancagara Kilèn dan Pasisiran Kilèn disebut sebagai Bang Kilèn atau Bang Kulon. Struktur wilayah Mataram memiliki susunan yang teratur dengan wilayah kabupaten dan jumlah cacahnya disebutkan di dalam Pustaka Rajapuwara. Di samping beberapa wilayah di atas, terdapat tanah seberang (tanah sabrang: tanah yang berada di seberang laut), seperti Jambi dan Sukadana.

Budaya

Meskipun kesultanan Islam, Mataram tidak pernah mengadopsi budaya, sistem, dan institusi Islam secara menyeluruh. Sistem politiknya berakar dari peradaban Jawa asli yang digabungkan dengan unsur-unsur Islam. Kesultanan Mataram merupakan simbol berdirinya kekuatan sosial-politik Islam di Jawa yang menjadi titik peralihan sekaligus masa transisi dari masa Hindu-Buddha ke masa Kajawen (Ka-jawi-an). Mataram diakui mampu menyiarkan Islam secara kultural yang ditandai dengan perubahan besar pada masa Sultan Agung dalam mengadaptasikan agama dengan budaya lokal.

Islam dihadirkan di Jawa secara adaptif dengan budaya asli Jawa. Adaptasi kultural tersebut dapat diterima masyarakat Jawa, maka pribumisasi Islam dianggap berhasil karena Islam berkembang pesat di Jawa secara alamiah dan melalui proses kultural dari masyarakat Jawa itu sendiri.

Sejak saat itulah budaya Islam di Jawa lebih dikenal dengan istilah Kajawen (Ka-jawi-an) yang sarat dengan muatan sufistik dan mulai berkembang pesat. Kitab-kitab tasawuf dalam bahasa Arab-Nya dari timur tengah mulai digubah dalam bahasa Jawa dengan diadakan adaptasi seperlunya terhadap alam pikiran Jawa tanpa kehilangan substansinya. Perpaduan dari berbagai sentral budaya ini telah menimbulkan karya-karya kreatif baru yang memperkaya khazanah sekaligus pengembang budaya Kajawen.

Daftar penguasa Mataram

Berkas:Olieverfschilderij van Soeltan Agoeng van Mataram.png
Anyakrakusuma (Sultan Agung), salah satu sultan terbesar dari Mataram yang dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Para penguasa Mataram adalah keturunan dari Ki Ageng Sela, Ki Ageng Enis dan Ki Ageng Pamanahan, perintis dan pendiri wangsa Mataram bersama tokoh dari Sela lainnya yaitu Ki Juru Martani dan Ki Panjawi. Pada dasarnya penguasa Mataram mulanya bergelar panembahan kemudian susuhunan, gelar sultan baru resmi digunakan pada tahun 1641 di masa kekuasaan Anyakrakusuma. Berikut adalah daftar penguasa Mataram:

Nama Jangka hidup Awal memerintah Akhir memerintah Keluarga
Danang Sutawijaya
Panembahan Senapati
? – 1601 1586 1601 Wangsa Mataram
Raden Mas Jolang
Anyakrawati
(Sunan Nyakrawati)
? – 1613 1601 1613 Wangsa Mataram
Raden Mas Jatmika
Anyakrakusuma
(Sultan Agung)
1593 – 1645 1613 1645 Wangsa Mataram
Raden Mas Sayyidin
Mangkurat I
(Sunan Tegalarum)
1618 – 13 Juli 1677 1646 1677 Wangsa Mataram
Raden Mas Rahmat
Mangkurat II
(Sunan Amral)
? – 1703 1677 1703 Wangsa Mataram
Raden Mas Sutikna
Mangkurat III
(Sunan Mas)
? – 1734 1703 1705 Wangsa Mataram
Raden Mas Darajat
Pakubuwana I
(Sunan Ngalaga)
? – 1719 1704 1719 Wangsa Mataram
Raden Mas Suryaputra
Mangkurat IV
(Sunan Jawi)
? – 20 April 1726 1719 1726 Wangsa Mataram
Raden Mas Prabasuyasa
Pakubuwana II
(Sunan Kumbul)
8 Desember 1711 – 20 Desember 1749 1726 1742 Wangsa Mataram
Raden Mas Garendi
Mangkurat V
(Sunan Kuning)
1726 – ? 1742 1743 Wangsa Mataram
Raden Mas Prabasuyasa
Pakubuwana II
(Sunan Kumbul)
8 Desember 1711 – 20 Desember 1749 1745 1749 Wangsa Mataram

Warisan

 
Tari Bedaya, merupakan tarian klasik Jawa warisan Sultan Agung.

Mataram adalah kesultanan terbesar terakhir di Jawa sebelum terbagi menjadi Surakarta, Yogyakarta, Mangkunagaran dan Pakualaman. Setelah keruntuhan Mataram di abad berikutnya pulau Jawa dalam kolonialisme Belanda. Bagi sebagian orang Jawa, Kesultanan Mataram, khususnya era Sultan Agung, dikenang sebagai kebanggaan masa lalu yang gemilang, karena Mataram menjadi kesultanan terakhir Islam terbesar di Jawa.[17]

Dalam seni dan budaya, Kesultanan Mataram telah meninggalkan jejak yang kekal dalam budaya Jawa, karena banyak unsur budaya Jawa, seperti gamelan, batik, keris, wayang kulit dan tari tradisional Jawa diciptakan, dikembangkan dalam bentuknya yang sekarang, dan diwariskan oleh karaton penerusnya. Pada masa puncak Kesultanan Mataram pada paruh pertama abad ke-17, kebudayaan Jawa berkembang, sebagian besar di wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur. Mataram banyak mempengaruhi kebudayaan di Jawa termasuk di bagian barat. Pada periode ini masyarakat Sunda berasimilasi lebih jauh dengan budaya Kejawen Jawa. Seperti Wayang Golek yang diadopsi dari Jawa, kemudian budaya serupa seperti gamelan dan batik juga di kenalkan di sana dan berkembang. Pada masa itu pula bahasa Sunda mulai menggunakan tingkatan bahasa yang didasarkan kepada aturan serta nilai-nilai sosial kemasyarakatan, untuk saling menghargai dan menghormati orang lain, sebagaimana tercermin dalam bahasa Jawa. Selain itu aksara jawa juga digunakan untuk menulis bahasa sunda sebagai cacarakan.

Catur Sagotra

Catur Sagotra merupakan penyatuan empat entitas yang masih memiliki akar tunggal tali kekerabatan. Hal ini merujuk pada keluarga kerajaan-kerajaan penerus dinasti Mataram Islam. Kerajaan-kerajaan tersebut ialah Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunagaran, dan Kadipaten Pakualaman.

Terbentuknya Catur Sagotra berawal pada tahun 2004 Raja Surakarta Sri Susuhunan Paku Buwono XII (sebelum beliau wafat) pernah  memberi amanah kepada Ibu Nani Soedarsono  untuk melanjutkan  cita-cita luhur Catur Sagotra. Catur Sagotra merupakan sebuah  gagasan bersama dari empat raja Jawa pada waktu itu yaitu Sinuhun Paku Buwono XII, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Sri Paku Alam VIII dan Sri Mangku Nagoro VIII. Tujuan Catur Sagotra adalah untuk mempersatukan keempat trah dalam ikatan kesamaan falsafah budaya dan keterkaitan sejarah leluhur Mataram.[18]

Galeri

Lihat pula

Referensi

  1. ^ "Koin Java Rupee Dengan Seijin Susuhunan Mataram". kintamoney.com. 2011. Diakses tanggal 19 Agustus 2020. 
  2. ^ Graaf, Hermanus Johannes de (2001). Awal kebangkitan Mataram : masa pemerintahan Senapati (edisi ke-Cet. 3). Jakarta: Grafiti. ISBN 9789794440117. OCLC 603911675. 
  3. ^ "The Mataram Kingdom & Royal Palaces". joglosemar.co.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-03-03. Diakses tanggal 20 Agustus 2020. 
  4. ^ a b "Mataram, Historical kingdom, Indonesia". Encyclopædia Britannica. Diakses tanggal 20 Agustus 2020. 
  5. ^ Brown 2003, p. 63: "On February 13, 1755, the Treaty of Giyanti was signed, dividing what was left of the kingdom of Mataram into two parts. One part, with its capital in the city of Solo, was headed by Pakubuwana II's son, Pakubuwana III. The other part, with its capital 60 kilometres to the west of Yogyakarta, was ruled by Pakubuwana II's half-brother Mangkubumi, who took the title Sultan Hamengkubuwono I. The treaty was not immediately accepted by all parties to the dispute: fighting went on for another two years. In 1757, though, an uneasy peace settled on Java when Pakubuwana III's territory was divided, with a portion going to his cousin Mas Said, who took the title Mangkunegara I."
  6. ^ "Gianti Agreement | Indonesia [1755]". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-01-08. 
  7. ^ Adji, Krisna Bayu; Achmad, Sri Wintala (2014). Sejarah raja-raja Jawa : dari Mataram Kuno hingga Mataram Islam. Yogyakarta: Araska Publisher. 
  8. ^ a b c Soekmono. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Kanisius. hlm. 55. 
  9. ^ a b c d e Soekmono. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Kanisius. hlm. 56. 
  10. ^ Soekmono. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Kanisius. hlm. 63. 
  11. ^ a b c Moedjanto, G (1987). Konsep Kekuasaan Jawa; Penerapannya Oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius. 
  12. ^ Widada, dkk. (2001). Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa). Yogyakarta: Kanisius. Wurianto, Arif Budi. (2001). Gung Binatara: Kekuasaan dan Moralitas Jawa. Jurnal Ilmiah Bestari
  13. ^ a b Suwarno, P. J. (1989). Sejarah Birokrasi Pemerintahan Indonesia Dahulu dan Sekarang. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya. 
  14. ^ Kartodirdjo, A. Sartono, dkk. (1995). Negara dan Nasionalisme Indonesia; Integrasi, Disintegrasi, dan Suksesi. Jakarta: Grasindo. 
  15. ^ Serat Pustaka Rajapuwara, Koleksi Reksapustaka Mangkunegaran, Surakarta, No. MS 113.
  16. ^ Moertono, S. (1985). Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau, Studi Tentang Masa Mataram II, Abad XVI Sampai XIX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 
  17. ^ Ricklefs, M. C. (2008). A History of Modern Indonesia Since C. 1200. 
  18. ^ Media, Kompas Cyber. "Catur Sagotra Nusantara, untuk Melestarikan Empat Keraton". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2021-02-01. 

Daftar pustaka

  • Soekmono, Drs. R. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. 2nd edition. Penerbit Kanisius 1973. 5th reprint edition in 2003. Yogyakarta. ISBN 979-413-291-8. (in Indonesian)
  • Anderson, BRO’G. The Idea of Power in Javanese Culture dalam Anderson, BRO’G. Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia. Cornell University Press. 1990.
  • Carey, Peter. 1997. Civilization on loan: the making of an upstart polity: Mataram and its successors, 1600–1830. Modern Asian Studies 31(3):711–734.
  • de Graaf, H.J. dan T.H. Pigeaud. 2003. Kerajaan Islam Pertama Di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI. Pustaka Utama Graffiti.
  • De Graaf, H.J. Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung. Pustaka Utama Graffiti 2002.
  • Mangunwijaya Y.B. 1983. Rara Mendut. Jakarta : Gramedia.
  • Miksic, John (general ed.), et al. (2006) Karaton Surakarta. A look into the court of Surakarta Hadiningrat, central Java (First published: 'By the will of His Serene Highness Paku Buwono XII'. Surakarta: Yayasan Pawiyatan Kabudayan Karaton Surakarta, 2004) Marshall Cavendish Editions Singapore ISBN 981-261-226-2
  • Ricklefs, M.C. 2002. Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749–1792: Sejarah Pembagian Jawa. Yogyakarta: Penerbit Matabangsa.
  • Ricklefs, M.C. 2001. A history of modern Indonesia since c.1200. Stanford: Stanford University Press. ISBN 0-8047-4480-7.