Kematian Kleopatra
Kematian Ratu Kleopatra VII, penguasa terakhir Kerajaan Wangsa Ptolemaios di Tanah Mesir, terjadi pada tanggal 10 atau 12 Agustus 30 SM, di Aleksandria. Ketika itu, Kleopatra berumur 39 tahun. Menurut anggapan umum, Kleopatra bunuh diri dengan cara membiarkan dirinya dipatuk seekor beludak. Menurut sejarawan Yunani dan Romawi, Kleopatra meracuni diri sendiri dengan sarana baluran beracun atau benda runcing semisal tusuk konde. Sebagian besar keterangan sumber primer mengenai akhir hayat Kleopatra berasal dari karya-karya tulis para pujangga Romawi Kuno, yakni Strabo, Plutarkos, dan Kasius Dio. Validitas keterangan-keterangan dari Abad Kuno perihal gigitan ular sebagai sebab kematian, serta benar tidaknya Kleopatra mati dibunuh merupakan pokok perdebatan di kalangan ilmuwan Zaman Modern. Beberapa akademisi mengemukakan pradalil bahwa Oktavianus, seteru politik Kleopatra, telah memaksanya untuk bunuh diri dengan cara pilihannya sendiri. Lokasi makam Kleopatra tidak diketahui. Menurut catatan sejarah, Oktavianus mengizinkan jenazah Kleopatra dimakamkan secara layak bersama-sama dengan suaminya, Markus Antonius, politikus sekaligus panglima Romawi, yang sudah lebih dahulu bunuh diri dengan sebilah pedang.
Bagian dari seri tentang |
Kleopatra VII |
---|
Kematian Kleopatra secara efektif menuntaskan perang saudara terakhir pada era Republik Romawi antara Oktavianus dan Antonius. Dalam perang ini, Kleopatra memihak Antonius, ayah dari tiga orang anaknya. Antonius dan Kleopatra lari ke Mesir setelah dikalahkan dalam Pertempuran Aktion di perairan Yunani pada tahun 31 SM. Oktavianus kemudian menginvasi Mesir dan mengalahkan bala tentara mereka. Bunuh diri adalah cara Kleopatra untuk luput dari aib yang harus ia tanggung kalau sampai diarak sebagai tawanan dalam pawai kemenangan Oktavianus, negarawan yang kelak menjadi Kaisar Romawi pertama pada tahun 27 SM dan dikenal dengan nama Kaisar Agustus. Atas perintah Oktavianus, putra Kleopatra yang bernama Kaisarion, saingan Oktavianus selaku ahli waris Yulius Kaisar, dibunuh di Mesir, tetapi tiga orang anak yang lahir dari perkawinan Kleopatra dan Antonius dibiarkan hidup dan diboyong ke Roma. Kematian Kleopatra menandai berakhirnya Zaman Helenistik dan kedaulatan wangsa Ptolemaios atas Tanah Mesir, sekaligus menandai bermulanya zaman penjajahan Romawi di Mesir, dengan dijadikannya Mesir sebagai salah satu provincia (jajahan) Kekaisaran Romawi.[note 1]
Kematian Kleopatra sudah berulang kali digambarkan lewat karya-karya seni sepanjang sejarah, baik karya-karya seni rupa, seni sastra, maupun seni pentas, mulai dari arca dan lukisan sampai dengan puisi dan sandiwara, bahkan juga lewat film pada Zaman Modern. Pada Abad Kuno, tema kematian Kleopatra banyak diungkapkan lewat seni sastra, baik dalam bentuk prosa maupun puisi. Tema yang sama juga banyak diusung oleh karya-karya seni rupa Abad Pertengahan, Renaisans, Barok, dan Zaman Modern. Sementara itu, karya-karya seni pahat Yunani-Romawi Kuno semisal arca Venus Eskuilin dan arca Ariadne Beradu menjadi sumber ilham penciptaan karya-karya seni terkemudian yang mengusung tema kematian Kleopatra. Semua karya seni tersebut menggambarkan Kleopatra tewas dipatuk beludak. Kematian Kleopatra juga memunculkan tema-tema erotisme dan seksualitas, baik dalam wujud lukisan, sandiwara, maupun film, terutama yang dihasilkan pada masa pemerintahan Ratu Victoria di Inggris. Karya-karya seni Zaman Modern yang menggambarkan kematian Kleopatra mencakup arca berlanggam Neoklasik, lukisan berlanggam Orientalis, dan sinema.
Praperistiwa
Dengan bubarnya triumviratus yang pertama dan terbunuhnya Yulius Kaisar pada tahun 44 SM, tiga orang negarawan Romawi dipilih menjadi tresviri (triwira) untuk menuntut balas atas kematian Yulius Kaisar, yakni Oktavianus, Markus Antonius, dan Emilius Lepidus. Dengan demikian terbentuklah triumviratus yang kedua.[3][4] Emilius Lepidus tersisih ke Afrika dan akhirnya dijatuhi hukuman tahanan rumah oleh Oktavianus.[5][6][7] Antonius dan Oktavianus kemudian membagi wilayah kedaulatan bangsa Romawi menjadi dua daerah kekuasaan. Provinsi-provinsi penutur bahasa Yunani di kawasan timur menjadi jatah Antonius, sementara Oktavianus berkuasa atas provinsi-provinsi penutur bahasa Latin di kawasan barat.[8][9] Kleopatra VII, penguasa Kerajaan Wangsa Ptolemaios di Tanah Mesir, firaun keturunan Yunani Makedonia yang bertakhta di Aleksandria,[10][11][12] pernah menjalin hubungan asmara dengan Yulius Kaisar. Hubungan di luar ikatan perkawinan ini menghasilkan seorang putra bernama Kaisarion yang dinobatkan menjadi penguasa pendamping ibunya.[13][14][15] Sepeninggal Yulius Kaisar, Kleopatra menjalin kedekatan dengan Antonius.[8][16][17]
Atas dorongan Kleopatra, Antonius menceraikan istrinya, Oktavia, kakak kandung Oktavianus, pada tahun 32 SM.[18][19][20] Agaknya Antonius sudah menikahi Kleopatra sewaktu pencanangan hibah wilayah di Aleksandria pada tahun 34 SM.[21][20][note 2] Tindakan Antonius menceraikan Oktavia, dan langkah Oktavianus membeberkan isi surat wasiat Antonius di muka umum sambil mencitrakan Kleopatra sebagai sosok yang ingin menguasai wilayah Kekaisaran Romawi lantaran mencanangkan hibah wilayah di Aleksandria dan terus-menerus memberikan bantuan militer ilegal kepada Antonius yang kala itu berstatus warga negara Romawi biasa, bukan lagi seorang pejabat pilihan rakyat, merupakan faktor-faktor yang meyakinkan senat untuk memaklumkan perang terhadap Kleopatra.[22][23][24] Ketika itu, senat memang sudah berada di bawah kendali Oktavianus.[25][26][27]
Setelah dikalahkan dalam Pertempuran Aktion di perairan Teluk Ambrakia pada tahun 31 SM, Kleopatra dan Antonius mundur ke Mesir untuk menyusun kembali kekuatan tempur mereka sembari bersiap-siap menghadapi serangan bala tentara Oktavianus, apalagi kekuatan tempur Oktavianus kian bertambah dengan bergabungnya banyak perwira dan prajurit dari kubu Antonius yang menyerah di Yunani.[28][29][30][note 3] Setelah kedua belah pihak berunding lama tanpa hasil, bala tentara Oktavianus akhirnya menginvasi Mesir pada musim semi tahun 30 SM.[31][32] Sewaktu Oktavianus merebut kota Pelusion di sebelah timur Mesir, perwira bawahannya yang bernama Kornelius Galus bergerak dari Kirene dan merebut bandar Paraitonion di sebelah barat Mesir.[33][34] Antonius berhasil mengalahkan bala tentara Oktavianus yang sudah kelelahan saat mencapai hipodromos (gelanggang pacuan) kota Aleksandria pada tanggal 1 Agustus 30 SM, tetapi tak lama kemudian armada dan pasukan berkudanya membelot ke kubu Oktavianus.[33][30][35]
Peristiwa bunuh diri Antonius dan Kleopatra
Dengan bercokolnya bala tentara Oktavianus di Aleksandria, Kleopatra pun undur diri ke gedung makamnya diiringi abdi-abdi setia, lalu mengirim kabar kepada Antonius bahwa ia sudah bunuh diri. Lantaran putus asa, Antonius memerintahkan budaknya yang bernama Eros untuk menghunus pedang dan membunuhnya. Eros pun menghunus pedang, tetapi menggunakannya untuk bunuh diri.[38][39] Antonius, yang ketika itu berumur 53 tahun, akhirnya menusukkan sebilah pedang ke perutnya sendiri.[33][30][40] Plutarkos meriwayatkan bahwa Antonius masih bernyawa ketika digotong ke gedung makam Kleopatra, sehingga masih sempat menyampaikan kepada Kleopatra bahwa tindakan bunuh diri yang dilakukannya adalah cara mulia menjemput ajal. Ia juga memberitahu Kleopatra bahwa anak buah Oktavianus yang bernama Gayus Prokuleyus adalah orang yang dapat dipercaya dan akan memperlakukan Kleopatra dengan baik.[33][41][42] Meskipun demikian, justru Gayus Prokuleyuslah yang menggunakan tangga untuk menyusup ke dalam gedung makam melalui jendela yang dibobol lalu membekuk Kleopatra agar tidak bunuh diri atau membakar diri bersama timbunan harta kekayaannya.[33][43] Kleopatra diberi kesempatan untuk membalsam jenazah Antonius sebelum digiring pulang ke istana, dan akhirnya bertemu dengan Oktavianus, yang juga sudah menawan ketiga putra-putrinya, yakni Aleksandros Helios, Kleopatra Selene II, dan Ptolemaios Filadelfos.[40][44][45]
Livius meriwayatkan bahwa di hadapan Oktavianus, Kleopatra dengan tegas berkata, "aku tidak sudi diarak dalam pawai" (bahasa Yunani: οὑ θριαμβεύσομαι, translit. ou triambéusomai), tetapi Oktavianus hanya membalas dengan jawaban yang tidak pasti bahwa Kleopatra akan dibiarkan hidup.[46][47] Oktavianus sedikit pun tidak menyingkap rencana yang sudah disiapkannya untuk Tanah Mesir maupun keluarga Kerajaan Wangsa Ptolemaios.[48] Sesudah mendapat bocoran dari seorang mata-mata bahwa Oktavianus berniat memboyongnya ke Roma untuk diarak sebagai tawanan dalam pawai kemenangan, Kleopatra pun memutuskan untuk mengelak dari penistaan semacam itu dengan jalan bunuh diri, yang ia lakukan pada bulan Agustus 30 SM, saat berumur 39 tahun.[30][49][50][note 4] Plutarkos meriwayatkan bahwa Kleopatra bunuh diri dengan sedemikian anggunnya seakan-akan sedang melaksanakan suatu upacara, dimulai dengan mandi berendam, berdandan, lalu menyantap aneka sedap-sedapan, antara lain sekeranjang buah ara.[51][52][53]
Plutarkos meriwayatkan pula bahwa Oktavianus menugaskan bekas budaknya, Epafroditus, untuk mengawal sekaligus mencegah Kleopatra bunuh diri.[54] Meskipun demikian, Kleopatra berhasil mengecoh Epafroditus dan mengakhiri hidupnya.[55] Begitu menerima sepucuk surat berisi permohonan Kleopatra untuk dimakamkan bersebelahan dengan Antonius, Oktavianus bergegas mengutus pelayan untuk mengantarkan pesannya kepada Kleopatra. Si pelayan sampai harus mendobrak pintu demi menunaikan tugasnya, tetapi Kleopatra sudah telanjur wafat.[51] Plutarkos meriwayatkan bahwa jenazah Kleopatra ditemukan bersama-sama dengan jenazah kedua dayang-dayangnya, yakni Iras, yang tergeletak di dekat kaki majikannya, dan Karmion, yang agaknya masih sempat merapikan diadem di kepala majikannya sebelum nyawanya sendiri melayang.[51][56][57][note 5] Jika menilik sumber-sumber primer, tempat Kleopatra bunuh diri tidaklah jelas, entah di istana atau di gedung makamnya.[49] Kasius Dio meriwayatkan bahwa Oktavianus mendatangkan pawang-pawang ular kawakan dari suku Seli di Libya untuk mengisap keluar bisa ular dari jasad Kleopatra dengan harapan dapat mengembalikan nyawanya, tetapi sia-sia belaka.[58][59] Meskipun benar-benar murka atas segala kejadian ini, apalagi "kesempurnaan kemenangannya sudah ternoda" menurut Kasius Dio,[59] Oktavianus tetap mengabulkan permohonan Kleopatra untuk dimakamkan bersebelahan dengan Antonius, bahkan memakamkan pula jenazah Iras dan Karmion secara layak.[51][60][53]
Tanggal kematian
Tidak ada peninggalan tertulis yang mengabadikan tanggal kematian Kleopatra.[61] Berdasarkan catatan-catatan peristiwa yang bertanggal dari zaman Kleopatra serta uji silang sumber-sumber sejarah, Theodore Cressy Skeat menyimpulkan bahwa Kleopatra wafat pada tanggal 12 Agustus 30 SM.[61] Kesimpulannya didukung oleh Stanley M. Burstein,[40] James Grout,[58] maupun Aidan Dodson dan Dyan Hilton, tetapi Aidan Dodson dan Dyan Hilton bersikap hati-hati dengan menyebutkan bahwa Kleopatra wafat sekitar tanggal 12 Agustus.[62] Tanggal alternatif 10 Agustus 30 SM didukung oleh para ilmuwan semisal Duane W. Roller,[49] Joann Fletcher,[63] dan Jaynie Anderson.[52]
Sebab kematian
Menurut Plutarkos, tabib pribadi Kleopatra yang bernama Olimpos sama sekali tidak mengungkap sebab kematian Kleopatra maupun cerita tentang gigitan beludak atau ular Kobra Mesir.[67][note 6] Strabo, cendekiawan penghasil catatan sejarah tertua, yakin kalau Kleopatra bunuh diri dengan gigitan ular atau baluran beracun.[52][68][69][note 7] Kendati memaparkan cerita tentang seekor beludak yang dipersembahkan bersama sekeranjang buah ara kepada Kleopatra, Plutarkos juga memaparkan beberapa sebab kematian alternatif, misalnya sebuah benda berongga (bahasa Yunani: κνηστίς, translit. knestis), mungkin tusuk konde,[53] yang digunakan Kleopatra untuk menggores kulitnya, sehingga terbuka jalan bagi masuknya racun ke dalam tubuhnya.[67] Kasius Dio meriwayatkan bahwa pada lengan Kleopatra didapati luka-luka bekas tusukan benda runcing, tetapi ia mengulangi pernyataan Plutarkos bahwa tak seorang pun tahu sebab kematian Kleopatra yang sesungguhnya.[70][67][58] Kasius Dio juga menyebut-nyebut perihal beludak, bahkan menduga Kleopatra menggunakan sebatang jarum (bahasa Yunani: βελὁνη, translit. belone), mungkin sekali tusuk konde, untuk memasukkan racun ke dalam tubuhnya. Pemaparan Kasius Dio ini tampaknya menguatkan keterangan Plutarkos.[70][67][58] Sejarawan-sejarawan lain yang sezaman dengan mereka, semisal Florus dan Veleyus Paterkulus, mendukung versi gigitan beludak.[71][72] Tabib Galenus menyinggung pula perihal beludak ini,[72] tetapi ia mengemukakan sebuah versi lain bahwa Kleopatra mengigit sendiri lengannya, lalu membalur lukanya dengan bisa ular yang sudah ditampung dalam sebuah wadah.[73] Sejarawan Suetonius juga memaparkan cerita tentang gigitan beludak, tetapi meragukan kebenarannya.[72]
Sebab kematian Kleopatra jarang disinggung dan diperdebatkan para ilmuwan pada Zaman Modern.[74] Thomas Browne, dalam ensiklopedianya, Pseudodoxia Epidemica (terbit 1646), mengemukakan bahwa sebab kematian Kleopatra masih belum jelas, dan karya-karya seni rupa bertemakan kematiannya sudah keliru mengambarkan dirinya dipatuk seekor ular kecil karena ukuran beludak sebetulnya lebih besar daripada yang ditampilkan.[75] Pada tahun 1717, ahli anatomi Giovanni Battista Morgagni sempat bersurat-suratan dengan dokter pribadi Sri Paus, Giovanni Maria Lancisi, sekadar untuk bertukar pikiran perihal sebab kematian Kleopatra. Surat-surat ini dirujuk Giovanni Battista Morgagni dalam bukunya yang berjudul De Sedibus (terbit 1761), dan dimuat sebagai rangkaian epistola dalam bukunya yang berjudul Opera Omnia (terbit 1764).[76] Menurut Giovanni Battista Morgagni, agaknya Kleopatra tewas lantaran gigitan ular. Ia menolak dugaan Giovanni Maria Lancisi kalau Kleopatra lebih mungkin tewas lantaran menenggak bisa ular, dengan berdalil bahwa tak seorang pun pujangga Yunani-Romawi pernah menyebut-nyebut perihal Kleopatra menenggak bisa ular. Giovanni Maria Lancisi mempertahankan pendapatnya dengan berdalil bahwa keterangan-keterangan para penyair Romawi tidak dapat diandalkan lantaran mereka sering kali membumbui kejadian-kejadian yang sesungguhnya.[77] Dalam kumpulan memoarnya yang diterbitkan pada tahun 1777, dokter Jean Goulin membenarkan pendapat Giovanni Battista Morgagni bahwa gigitan ularlah yang paling mungkin menjadi sebab kematian Kleopatra.[78]
Para ilmuwan Zaman Modern juga meragukan kebenaran cerita bahwa gigitan ular berbisalah yang menjadi sebab kematian Kleopatra. Duane W. Roller mengakui bahwa ular memang satwa istimewa menurut kepercayaan bangsa Mesir Kuno, tetapi ia menegaskan bahwa tidak ada catatan sejarah yang menginggung perihal sukarnya menyelundupkan seekor ular Kobra Mesir yang besar ukurannya itu ke dalam kamar Kleopatra, lalu membuat satwa itu berperilaku sesuai dengan keinginan orang yang hendak memanfaatkannya.[67] Duane W. Roller mengemukakan pula bahwa bisa ular hanya akan berdampak fatal jika disuntikkan ke bagian vital dari tubuh manusia.[67] Egiptolog Wilhelm Spiegelberg (1870–1930) berpendapat bahwa gigitan beludak, sebagai sarana bunuh diri pilihan Kleopatra, memang sesuai dengan statusnya selaku penguasa Mesir, karena beludak adalah lambang dari uraios, satwa suci Dewa Ra, dewa matahari dalam agama Mesir Kuno.[79] Robert A. Gurval, lektor kepala untuk mata kuliah klasika di UCLA, mengemukakan bahwa Demetrios orang Faleron (ca. 350 – ca. 280 SM), Strategos Athena yang dijebloskan ke dalam penjara di Mesir oleh Ptolemaios II Filadelfos, tewas bunuh diri dengan gigitan beludak "yang anehnya serupa" dengan cara bunuh diri Kleopatra. Kenyataan ini membuktikan bahwa tindakan bunuh diri dengan gigitan beludak bukanlah tindakan istimewa yang hanya diamalkan di kalangan penguasa Mesir.[80][note 8] Robert A. Gurval menjelaskan bahwa gigitan seekor ular Kobra Mesir mengandung sekitar 175 sampai 300 miligram neurotoksin. Dosis 15 sampai 20 miligram saja sudah mampu menghilangkan nyawa manusia, kendati tidak serta-merta menewaskan, karena para korban biasanya masih hidup sampai beberapa jam kemudian.[81] François Pieter Retief, pensiunan dosen dan dekan fakultas kedokteran Universitas Vrystaat, serta Louise Cilliers, peneliti kehormatan di fakultas bahasa Yunani, bahasa Latin, dan ilmu klasika di universitas yang sama, berpendapat bahwa satu keranjang buah tentu tidak cukup memadai untuk menampung seekor ular besar beserta buah-buah ara sekaligus, dan kematian tiga orang perempuan dewasa yang berlangsung seketika lebih mungkin disebabkan oleh keracunan.[82] Menilik bentuk tusuk konde Kleopatra, Louise Cilliers dan François Pieter Retief mengemukakan pula bahwa sejumlah tokoh Abad Kuno diketahui meracuni diri sendiri dengan cara-cara serupa, antara lain Demostenes, Hanibal, dan Mitridates VI.[83]
Menurut Gregory Tsoucalas, dosen sejarah ilmu kedokteran di Universitas Demokritos Trakia, dan Markos Sgantzos, lektor kepala ilmu anatomi di Universitas Tesalia, bukti-bukti menyiratkan bahwa Kleopatra tewas diracun atas perintah Oktavianus.[84] Dalam buku Murder of Cleopatra, ahli profil kriminal Pat Brown berpendapat bahwa Kleopatra tewas dibunuh, dan seluk-beluk pelaksanaannya ditutup-tutupi oleh pemerintah Romawi.[85] Pernyataan-pernyataan bahwa Kleopatra tewas dibunuh bertentangan dengan sebagian besar sumber primer yang melaporkan bahwa Kleopatra tewas bunuh diri.[86] Sejarawan Patricia Southern menduga bahwa Oktavianus mungkin saja telah mengizinkan Kleopatra untuk memilih sendiri cara untuk mengakhiri hidupnya alih-alih mengeksekusi mati Ratu Mesir itu.[38] James Grout mengemukakan dalam tulisannya bahwa Oktavianus mungkin ingin menghindari timbulnya simpati orang terhadap Kleopatra seperti yang pernah terjadi pada adik Kleopatra, Arsinoe IV. Simpati warga Roma, yang timbul saat menyaksikan Arsinoe IV dirantai dan diarak dalam pawai kemenangan Yulius Kaisar, meluputkannya dari hukuman mati dicekik seusai pawai.[58] Mungkin Oktavianus mengizinkan Kleopatra untuk mengakhiri hidupnya sendiri sesudah mempertimbangkan isu-isu politik yang bakal muncul andaikata ia membunuh seorang ratu yang arcanya disemayamkan di kuil Moyang Venus oleh ayah angkatnya, Yulius Kaisar.[58]
Pascaperistiwa
Menjelang akhir hayatnya, Kleopatra mengatur supaya Kaisarion diungsikan ke Mesir Hulu. Mungkin Kleopatra berencana memberangkatkan Kaisarion ke Nubia, Etiopia, atau India, tempat ia dapat hidup dengan aman sebagai warga asing, jauh dari jangkauan pemerintah Romawi.[72][89][34] Sepeninggal ibunya, Kaisarion hanya berkesempatan menduduki singgasana Mesir selaku Firaun Ptolemaios XV selama delapan belas hari, sebelum akhirnya ditangkap dan dieksekusi mati atas perintah Oktavianus pada tanggal 29 Agustus 30 SM.[90][91] Oktavianus bertindak demikian karena diperingatkan oleh filsuf Areios Didimos bahwa dua orang ahli waris Yulius Kaisar mustahil merajai dunia bersama-sama.[90][91]
Kematian Kleopatra dan Kaisarion menandai berakhirnya kedaulatan wangsa Ptolemaios atas Tanah Mesir sekaligus Zaman Helenistik,[92][93][94] yang bermula pada masa pemerintahan Aleksander Agung (memerintah 336–323 SM).[note 1] Mesir pun menjadi salah satu provinsi negara Kekaisaran Romawi, yang baru saja terbentuk ketika Oktavianus berganti nama menjadi Agustus selaku Kaisar Romawi yang pertama pada tahun 27 SM,[92][93][94][note 9] kendati masih berkedok Republik Romawi.[95] Duane W. Roller menegaskan bahwa apa yang disebut sebagai masa pemerintahan Kaisarion "pada hakikatnya adalah suatu fiksi" karangan penulis-penulis tawarikh Mesir, semisal Klemens orang Aleksandria dalam karya tulisnya yang berjudul Stromata (Serba-Serbi), untuk mengisi senjang waktu antara kematian Kleopatra dan penetapan Mesir menjadi provinsi Romawi yang diperintah secara langsung oleh Oktavianus selaku firaun.[96][note 10] Tiga putra-putri pasangan Antonius dan Kleopatra dibiarkan hidup dan diberangkatkan ke Roma. Putri Antonius dan Kleopatra yang bernama Kleopatra Selene II kemudian hari diperistri Raja Yuba II, penguasa Mauretania.[45][97][98]
Makam Antonius dan Kleopatra
Lokasi mausoleum Kleopatra dan Markus Antonius tidak dapat dipastikan.[45] Dinas Purbakala Mesir yakin kalau situs tersebut berada di dalam atau di dekat sebuah kuil di kota Taposiris Magna, sebelah barat daya dari Aleksandria.[101][102] Dalam ekskavasi kuil Osiris di Taposiris Magna, arkeolog Kathleen Martinez dan arkeolog Zahi Hawass menemukan enam bilik persemayaman jenazah berikut artefak-artefaknya, antara lain empat puluh keping uang logam keluaran rezim Kleopatra dan Antonius, serta arca sedada Kleopatra berbahan alabaster.[103] Sebuah topeng berdagu belah dari batu alabaster yang ditemukan di situs tersebut menampakkan ciri-ciri yang mirip dengan potret-potret Markus Antonius buatan Abad Kuno.[104] Sebuah lukisan dari abad pertama Tarikh Masehi, yang ditemukan di situs Rumah Giuseppe II di Pompeii, menampilkan gambar pintu berdaun kembar pada gambar dinding latar yang diposisikan jauh di atas gambar seorang perempuan yang mengenakan diadem kerajaan dan sedang melakukan tindakan bunuh diri dikelilingi abdi-abdinya. Mungkin saja pintu berdaun kembar dalam lukisan ini adalah gambar pintu masuk ke gedung makam Kleopatra di Aleksandria.[1]
Penggambaran dalam seni rupa dan seni sastra
Zaman Helenistik dan Romawi Kuno
Dalam pawai kemenangan Oktavianus di Roma pada tahun 29 SM, Aleksandros Helios dan Kleopatra Selene II diarak sebagai tawanan, bersama-sama dengan "citra" Kleopatra yang digelayuti seekor beludak.[105][52][106] Agaknya "citra" ini adalah lukisan Kleopatra yang ditemukan di reruntuhan vila Kaisar Hadrianus pada tahun 1818, dan kini sudah hilang, tetapi diuraikan secara terperinci dalam sebuah laporan arkeologi dan dibuatkan gambar gravir bajanya oleh John Sartain.[64][65] Pujangga Propersius, yang menonton secara langsung pawai kemenangan Oktavianus sepanjang jalan raya Via Sacra, meriwayatkan bahwa ada beberapa ekor ular menggelayuti lengan kiri maupun lengan kanan dari citra Kleopatra yang diarak dalam pawai itu.[81][107] Dari keterangan Plutarkos, Giuseppe Pucci menduga bahwa "citra" tersebut adalah sebuah arca.[108] Arkeolog Prancis, Jean-Claude Grenier, dalam bukunya yang berjudul Notes isiaques I (terbit 1989), mengemukakan bahwa pada arca Romawi Kuno di Museum Vatikan yang menampilkan sosok seorang perempuan dengan simpul Dewi Isis pada pakaiannya, terdapat sosok seekor ular yang tampak sedang melata naik ke payudara kanannya. Arca ini mungkin menggambarkan sosok Kleopatra, dengan dandanan bak Dewi Isis, sedang melakukan tindakan bunuh diri.[109] Rakyat Mesir masih terus menghubung-hubungkan pribadi Kleopatra dengan Dewi Isis sesudah ia wafat, setidaknya sampai tahun 373 M, terbukti dari kalimat-kalimat yang ditorehkan tahun itu pada dinding kuil Dewi Isis di Pulau Filai. Kalimat-kalimat tersebut adalah pernyataan Petesenufe, seorang juru tulis Mesir, bahwa ia telah melapisi arca kayu Kleopatra dengan emas, sebagai wujud baktinya kepada Dewi Isis.[110]
Sebuah lukisan dinding karya seniman Romawi dari pertengahan abad pertama Pra-Masehi yang ditemukan di Pompeii mungkin sekali menggambarkan Kleopatra bersama bayi Kaisarion. Pintu masuk ke ruangan tempat lukisan ini terpampang ditemboki oleh si empunya rumah sekitar tahun 30 SM, mungkin dipicu oleh terbitnya surat keputusan Oktavinus yang mengharamkan gambar Kaisarion, saingannya selaku ahli waris Yulius Kaisar.[87][88] Meskipun arca-arca Markus Antonius dirobohkan, arca-arca Kleopatra pada umumnya tidak diusik dalam program perusakan ini, termasuk arca Kleopatra yang disemayamkan Yulius Kaisar di kuil Moyang Venus, yang didirikannya di alun-alun Kaisar.[111][112] Sebuah lukisan dari permulaan abad pertama Tarikh Masehi yang ditemukan di Pompeii mungkin sekali menggambarkan peristiwa bunuh diri Kleopatra. Lukisan ini menampilkan sosok Kleopatra ditemani para abdi dan Kaisarion, yang juga tampak mengenakan diadem kerajaan seperti ibunya, kendati ketiadaan sosok beludak mungkin mencerminkan pandangan-pandangan lain perihal sebab kematian Kleopatra dalam historiografi Romawi.[113][2][note 12] Beberapa citra Kleopatra yang dibuat untuk konsumsi umum sesudah ia wafat, terkesan kurang menghargainya. Sebuah pelita terakota buatan Romawi antara tahun 40 dan 80 M yang tersimpan di British Museum dihiasi relief perempuan telanjang bertatanan rambut ala Kleopatra dilatarbelakangi lingkungan alam Sungai Nil. Sosok perempuan telanjang ini tampak memegang dahan palem dan menunggangi buaya Mesir sambil menduduki sebatang zakar raksasa.[114]
Cerita tentang beludak diterima banyak penyair Romawi zaman Kaisar Agustus semisal Horasius dan Vergilius, yang menduga Kleopatra tewas dipatuk dua ekor ular.[52][115][116] Kendati masih mengekalkan pandangan-pandangan negatif mengenai Kleopatra yang jelas tersurat dalam karya-karya sastra Romawi pro-Kaisar Agustus,[117] Horasius menggambarkan tindakan bunuh diri Kleopatra sebagai tindakan nekat untuk melawan dan memerdekakan diri,[118] sementara Vergilius memprakarsai pencitraan Kleopatra sebagai tokoh dalam kisah melodrama dan romansa kepahlawanan.[119]
Abad Pertengahan, Renaisans, dan Zaman Barok
Cerita Kleopatra tewas dipatuk beludak kerap muncul dalam karya-karya seni rupa Abad Pertengahan dan Renaisans. Seorang seniman tak dikenal, yang diberi julukan Empu Boucicaut, dalam sebuah miniatur yang dibuat pada tahun 1409 M sebagai ilustrasi naskah Des cas de nobles hommes et femmes, karangan Giovanni Boccaccio, menggambarkan jenazah Kleopatra dan jenazah Antonius disemayamkan berdampingan dalam sebuah gedung makam bergaya Gotik, lengkap dengan gambar seekor ular di dekat dada jenazah Kleopatra dan sebilah pedang tertancap di dada jenazah Antonius.[120] Terbitan-terbitan berilustrasi dari karya tulis Giovanni Boccaccio, yang menampilkan gambar-gambar peristiwa bunuh diri Kleopatra dan Antonius, pertama kali muncul di Prancis pada kurun waktu Quattrocento (abad ke-15 M), yakni terbitan hasil terjemahan Laurent de Premierfait.[122] Ilustrasi-ilustrasi cukil kayu dalam buku De Mulieribus Claris karangan Giovanni Boccaccio, yang diterbitkan di Ulm pada tahun 1479 dan di Augsburg pada tahun 1541, menggambarkan Kleopatra mendapati jenazah Antonius ditancapi sebilah pedang.[123]
Sebagaimana karya-karya sastra Abad Pertengahan mengenai Kleopatra, karya-karya tulis Giovanni Boccaccio lebih menimbulkan kesan negatif dan misoginistis. Geoffrey Chaucer, pujangga Inggris pada abad ke-14, melawan penggambaran-penggambaran yang demikian dengan menyajikan gambaran positif mengenai Kleopatra.[124] Geoffrey Chaucer mengawali hagiografinya, Perihal Perempuan-Perempuan Kafir Berakhlak Mulia, dengan riwayat hidup Kleopatra. Dengan gaya bahasa menyindir, ia menggambarkan Kleopatra sebagai seorang ratu yang menjalin hubungan asmara bahaduri dengan kesatria pujaan hatinya, Markus Antonius.[125][126] Alih-alih menyajikan cerita warisan Romawi tentang gigitan beludak, Geoffrey Chaucer menggambarkan Kleopatra bunuh diri dengan cara terjun ke dalam liang penuh ular berbisa.[127][128]
Arca-arca telanjang yang menggambarkan Kleoparta dipatuk beludak menjadi barang lumrah pada masa Rinascimento.[129] Giovanni Maria Padovano (alias Mosca), seniman Venesia pada abad ke-16, menghasilkan dua buah ukiran pualam yang menggambarkan peristiwa bunuh diri Antonius dan Kleopatra, serta beberapa arca telanjang Kleopatra dipatuk beludak yang turut dipengaruhi oleh arca-arca Romawi Kuno semisal Venus Eskuilin.[130][note 13] Bartolommeo Bandinelli menghasilkan sebuah gambar arca Kleopatra bunuh diri. Agostino Veneziano menggunakan gambar ini sebagai acuan dalam membuat sebuah gravir yang serupa dengannya.[129] Gravir lain yang dibuat Agostino Veneziano serta sebuah gambar karya Raphael, yang memperlihatkan Kleopatra bunuh diri sambil berbaring, terinspirasi oleh arca Ariadne Beradu, sebuah arca buatan Yunani-Romawi Kuno yang kala itu dianggap sebagai gambaran sosok Kleopatra.[131][132] Ada pula karya-karya seni Renaisans Prancis yang menggambarkan Kleopatra berbaring sembari mendempetkan seekor ular ke payudaranya.[133] Michelangelo menggunakan kapur hitam untuk menghasikan sebuah gambar Kleopatra bunuh diri dengan gigitan beludak pada tahun 1535.[134] Pelukis Barok abad ke-17, Guido Reni, menghasilkan sebuah lukisan yang menggambarkan tewasnya Kleopatra akibat gigitan beludak, kendati ukuran beludak dalam lukisan ini jauh lebih kecil daripada ukuran ular Kobra Mesir yang sesungguhnya.[135]
Arca Ariadne Beradu, yang dibeli Paus Yulius II pada tahun 1512, mengilhami penciptaan tiga buah puisi Renaisans yang kemudian hari diukirkan pada bingkai pilaster arca itu.[136] Puisi pertama, yang dikarang oleh Baldassare Castiglione, beredar luas pada tahun 1530 dan menjadi sumber ilham bagi penciptaan dua puisi lainnya, yakni puisi karangan Bernardino Baldi dan puisi karangan Agostino Favoriti.[107] Lewat bait-bait puisinya, Baldassare Castiglione menggambarkan Kleopatra sebagai penguasa bernasib malang tetapi bermartabat luhur, yang menjalin hubungan asmara berujung celaka dengan Antonius, dan yang diluputkan oleh maut dari nista penjara Romawi.[137] Tema Ariadne Beradu juga lazim ditampilkan dalam lukisan-lukisan, antara lain lukisan-lukisan karya Tiziano, Artemisia Gentileschi, dan Edward Burne-Jones.[132] Karya-karya seni tersebut cenderung mengerotisasi akhir hayat Kleopatra, sementara seniman-seniman zaman Ratu Victoria menganggap jasad perempuan yang terbaring tak sadarkan diri adalah saluran berterima bagi gagasan-gagasan erotis mereka.[132]
Kematian Kleopatra ditampilkan pula dalam beberapa karya seni pentas. Dalam sandiwara tahun 1607 yang berjudul Devil's Charter, karangan Barnabe Barnes, seorang pawang ular mempersembahkan dua ekor beludak yang mematuk kedua belah payudara Kleopatra dengan ganas.[134] Dalam sandiwara tahun 1609 karangan William Shakespeare yang berjudul Antonius dan Kleopatra, ular menjadi lambang maut sekaligus lambang kekasih dambaan hati, yang "cubitannya" diterima dengan pasrah oleh Kleopatra.[134] Dalam menyusun naskah sandiwara ini, William Shakespeare mengandalkan terjemahan karya tulis Plutarkos terbitan tahun 1579 yang dikerjakan oleh Thomas North. Antonius dan Kleopatra adalah sandiwara yang dapat digolongkan ke dalam genre komedi maupun tragedi.[138] Sandiwara ini menampilkan lebih dari satu ekor ular, dan menghadirkan pula watak Karmion, yang dikisahkan bunuh diri menyusul majikannya dengan gigitan beludak.[139]
Zaman Modern
Dalam kesusastraan modern, Ted Hughes menciptakan ucapan-ucapan monolog Kleopatra kepada beludak yang akan merenggut nyawanya, dalam puisi berjudul "Cleopatra to the Asp" (1960).[140] Pada masa pemerintahan Ratu Victoria, sandiwara-sandiwara semacam Cléopâtre (1890), karangan Victorien Sardou, sangat digemari masyarakat, kendati rata-rata penonton dibuat masygul oleh intensitas emosi yang ditampilkan Sarah Bernhardt, seniwati pemeran Kleopatra, saat melakonkan tanggapan Kleopatra terhadap tindakan bunuh diri yang dilakukan Antonius.[141] Dalam opera Antony and Cleopatra gubahan Samuel Barber, yang didasarkan atas sandiwara Shakespeare dan pentas perdana pada tahun 1966, Kleopatra mengilas balik impiannya bahwa Antonius, yang sudah terbujur kaku di hadapannya, suatu ketika akan menjadi Kaisar Romawi.[142] Manakala diberitahu Dolabela bahwa Kaisar Agustus berniat mengaraknya dalam pawai kemenangan di Roma, Kleoparta pun bunuh diri dengan gigitan beludak bersama Karmion. Jenazahnya kemudian digotong keluar untuk dimakamkan bersama-sama dengan jenazah Antonius.[143]
Watak Kleopatra sudah dimunculkan dalam empat puluh buah film per akhir abad ke-20.[145] Film pertama yang menampilkan watak Kleopatra adalah Robbing Cleopatra's Tomb (bahasa Prancis: Cléopâtre), film bisu Prancis bergenre horor keluaran tahun 1899, hasil arahan sutradara Georges Méliès.[146] Dalam film Italia keluaran tahun 1913, pasca perang Italia-Turki (1911–1912), yang berjudul Marcantonio e Cleopatra, hasil arahan sutradara Enrico Guazzoni, Kleopatra digambarkan sebagai perwujudan Negeri Timur nan zalim, ratu yang berani menentang Roma secara terang-terangan, sementara kekasihnya, Antonius, justru mendapatkan pengampunan anumerta dari Oktavianus.[147] Dalam rangka membangun persona panggung untuk watak yang ia perankan dalam film Amerika Serikat tahun 1917 yang berjudul Cleopatra, aktris Theda Bara tampil di muka umum sambil mengelus-elus ular, sementara Fox Film Corporation menghadirkannya di sebuah museum untuk berpose di depan mumi yang konon adalah jasad Kleopatra. Di museum itu pula ia mengaku sebagai titisan Kleopatra, karena pernah menerima persembahan upeti hieroglif dari titisan abdi Kleopatra.[148] Fox Film Corporation juga mendandani Theda Bara bak seorang pemimpin paguyuban okultisme dan menghubung-hubungkannya dengan kematian dan seksualitas yang menyimpang.[148] Film produksi Hollywood tahun 1963 yang berjudul Cleopatra, arahan sutradara Joseph L. Mankiewicz, berisi sebuah adegan dramatis yang menampilkan Kleopatra (diperankan oleh Elizabeth Taylor) saling tampar dengan kekasihnya, Markus Antonius (diperankan oleh Richard Burton), di dalam gedung makam tempat jenazah mereka nantinya disemayamkan.[149]
Dalam seni rupa modern, sosok Kleopatra juga ditampilkan lewat medium-medium seperti lukisan dan pahatan. Seniman Afrika Amerika, Edmonia Lewis, menampilkan sosok Kleopatra dengan ciri-ciri fisik ras Kaukasia lewat arca The Death of Cleopatra yang ia hasilkan pada tahun 1876, kendati ia adalah seniman yang berjuang menampilkan sosok perempuan bukan kulit putih dalam karya-karya seni rupa. Mungkin ia ingin menyelaraskan tampilan arca buatannya itu dengan catatan sejarah yang menyatakan bahwa Kleopatra adalah firaun keturunan Yunani Makedonia.[144][note 14] Arca Edmonia Lewis yang berlanggam Neoklasik ini menyajikan tampilan pascamati Kleopatra, yang masih bersemayam di atas singgasana, lengkap dengan pakaian dan tanda-tanda kebesaran penguasa Mesir, serta dihiasi sepasang kepala sfinks yang melambangkan si kembar Aleksandros Helios dan Kleopatra Selene II, buah perkawinannya dengan Markus Antonius.[150] Sebuah arca Kleopatra bunuh diri berbahan baku lepa dari tahun 1880, yang kini berada di Lille, Prancis, pernah disangka sebagai salah satu karya Albert Darcq. Sesudah direstorasi dan dibersihkan, didapati tanda tangan Charles Gauthier, yang kini diakui sebagai seniman pembuat arca ini.[151] Dalam lukisan keluaran tahun 1874 bertajuk Kematian Kleopatra karya Jean-André Rixens, jenazah Kleopatra digambarkan berkulit putih pucat, sementara dayang-dayangnya digambarkan berkulit gelap. Kombinasi semacam ini sering kali dijumpai dalam karya-karya seni modern yang menggambarkan akhir hayat Kleopatra.[152] Lukisan-lukisan berlanggam Orientalis karya Jean-André Rixens maupun seniman-seniman lain mempengaruhi penataan dekor bernuansa campuran Mesir Kuno dan Timur Tengah dalam film Cleopatra, arahan sutradara J. Gordon Edwards, yang dibintangi oleh Theda Bara. Dalam film ini, Kleopatra tampak berdiri di atas hamparan permadani Persia, dilatarbelakangi lukisan-lukisan dinding Mesir Kuno.[153]
Lukisan
-
Kematian Kleopatra karya Guido Cagnacci, 1658
-
Kematian Kleopatra karya Jean-André Rixens, 1874[58]
-
Kematian Kleopatra karya Juan Luna, 1881
-
Kematian Kleopatra karya Reginald Arthur, 1892
Gambar cetak
-
Seekor beludak membelit lengan kiri Kleopatra yang sedang berbaring dalam gambar gravir karya Jean-Baptiste de Poilly (1669-1728), meniru arca Ariadne Beradu
-
Kleopatra, karya Robert Strange (1777), meniru karya Guido Reni
Arca
-
Venus Eskuilin, arca yang dibuat seniman Romawi pada abad pertama Tarikh Masehi dengan meniru sebuah karya seni Helenistik dari abad pertama Pra-Masehi, menampilkan sosok ular membelit jambangan dan sosok perempuan dengan diadem kerajaan melingkar di kepala.[87]
-
Kleopatra bunuh diri dengan gigitan beludak, arca gading karya Adam Lenckhardt (1610-1661), Museum Seni Walters[154]
-
Kleopatra bunuh diri, arca sedada karya Claude Bertin (wafat 1705)
-
Kleopatra, karya Charles Gauthier, 1880
Baca juga
Keterangan
- ^ a b Grant 1972, hlm. 5–6 mengemukakan bahwa Zaman Helenistik, yang bermula pada masa pemerintahan Aleksander Agung (336–323 SM), berakhir dengan mangkatnya Kleopatra pada tahun 30 SM. Michael Grant menegaskan bahwa bangsa Yunani pada Zaman Helenistik dianggap oleh bangsa Romawi ketika itu sebagai bangsa yang sudah terpuruk dan kehilangan kebesarannya selepas Zaman Yunani Klasik, dan anggapan semacam inilah yang terus bertahan dalam ingatan orang, bahkan masih tersurat dalam karya-karya tulis historiografi yang dihasilkan pada Zaman Modern. Sehubungan dengan Mesir pada Zaman Helenistik, Michael Grant berpendapat bahwa "Kleopatra VII, berkaca kepada segala sepak terjang para leluhurnya sepanjang Zaman Helenistik, tentu tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Akan tetapi ia dan orang-orang sezamannya pada abad pertama Pra-Masehi menghadapi permasalahan tersendiri. Andaikata 'Zaman Helenistik' (yang kerap kita anggap berakhir pada masa hidupnya) masih berlanjut sekalipun, apakah kurun waktu itu masih dapat dianggap sebuah zaman Yunani, mengingat bangsa yang berkuasa ketika itu adalah bangsa Romawi? Pertanyaan ini senantiasa mengusik pikiran Kleopatra. Namun dapat dipastikan bahwa ia sama sekali tidak menganggap zaman kegemilangan bangsa Yunani sudah berakhir, malah berniat mengerahkan segala daya upaya untuk memastikan keberlanjutannya."
- ^ (Roller 2010, hlm. 100) mengemukakan bahwa status kawin pasangan Antonius dan Kleopatra sesungguhnya tidak dapat dipastikan. (Burstein 2004, hlm. xxii, 29) mengemukakan bahwa perkawinan ini memeteraikan persekutuan Antonius dengan Kleopatra, sementara penentangan terhadap Oktavianus ditunjukkan Antonius dengan menceraikan Oktavia pada tahun 32 SM. Uang logam keluaran masa pemerintahan Antonius dan Kleopatra menampilkan gambar keduanya dengan cara yang lazim digunakan untuk menampilkan gambar pasangan penguasa Helenistik, sebagaimana yang dijelaskan oleh (Roller 2010, hlm. 100).
- ^ Untuk validasi lebih lanjut, baca Southern 2009, hlm. 149–150 dan Grout 2017.
- ^ Untuk validasi lebih lanjut, baca Jones 2006, hlm. 180 dan Grout 2017.
- ^ Untuk terjemahan-terjemahan sumber primer dari uraian Plutarkos tentang kematian Karmion dan Iras, baca o 1920, hlm. 85, Grout 2017, dan Jones 2006, hlm. 193–194.
- ^ Sejarawan Duane W. Roller, dalam Roller 2010, hlm. 148–149, menyajikan suatu penjelasan yang menyeluruh atas berbagai pernyataan tentang sebab kematian Kleopatra dalam historiografi Romawi dan sumber-sumber primer. Ia menegaskan bahwa Olimpos sama sekali tidak mengungkap sebab kematian Kleopatra. Plutarkoslah yang membahas sebab kematian Kleopatra sesudah menguraikan kembali laporan Olimpos, dan menghadirkan cerita gigitan ular seakan-akan sidang pembacanya sudah sejak semula mengetahui cerita itu.
- ^ Untuk validasi lebih lanjut, baca Roller 2010, hlm. 148.
- ^ Untuk validasi lebih lanjut perihal wafatnya Demetrios orang Faleron, penasihat Ptolemaios I Soter, lantaran gigitan beludak, baca Roller 2010, hlm. 149.
- ^ Untuk validasi lebih lanjut, baca Jones 2006, hlm. 197–198.
- ^ Untuk informasi lebih lanjut, baca Skeat 1953, hlm. 99–100.
Plutarkos, diterjemahkan oleh Jones 2006, hlm. 187, mengemukakan keterangan taksa bahwa "Oktavianus belakangan memerintahkan agar Kaisarion dibunuh, sesudah Kleopatra wafat."
Berbeda dari provinsi Romawi biasa, Oktavianus menetapkan Mesir menjadi wilayah yang ia perintah secara pribadi. Ia melarang senat untuk campur tangan dalam hal-ihwal pemerintahan Provinsi Mesir, dan mengangkat sendiri para Wali Negeri Mesir dari kalangan Eques (kelas menengah). Orang pertama yang ia angkat menjadi Wali Negeri Mesir adalah Kornelius Galus. Untuk informasi lebih lanjut, baca Southern 2014, hlm. 185 dan Roller 2010, hlm. 151. - ^ Fletcher 2008, hlm. 87 menjabarkan lebih lanjut tampilan lukisan yang ditemukan di Herculaneum tersebut sebagai berikut: "Rambut Kleopatra ditata oleh Eiras, penata rambutnya yang sangat terampil. Kendati bilamana tampil di depan rakyatnya, ia harus mengenakan rambut palsu bergaya tradisional yang terdiri atas tiga bagian dan terlihat kaku, tatanan rambut sehari-hari Kleopatra adalah 'tatanan rambut blewah' yang tidak macam-macam, yakni menyisir rambut aslinya ke arah tengkuk dan membaginya menjadi beberapa belahan rambut sehingga tampak bergalur-galur seperti kulit buah blewah lalu digelung dan disemat tusuk konde di bagian belakang kepala. Tatanan rambut yang menjadi ciri khas Arsinoe II dan Berenike II ini sudah ditinggalkan orang selama hampir dua abad sebelum dimunculkan kembali oleh Kleopatra. Kendati demikian, selaku pemelihara tradisi sekaligus pencetus kebaruan, Kleopatra tampil dengan tatanan rambut ini tanpa kerudung, berbeda dengan para pendahulunya. Lagi pula Arsinoe II dan Berenike II berambut pirang seperti Aleksander Agung, sementara Kleopatra mungkin sekali berambut merah, sebagaimana yang tampak pada potret perempuan berambut merah menyala dengan diadem kerajaan melingkar di kepala dan terbingkai corak-corak hias Mesir yang sudah diidentifikasi sebagai Kleopatra."
- ^ Untuk informasi lebih lanjut perihal lukisan di situs Rumah Giuseppe II di Pompeii, dan identifikasi salah satu sosok dalam lukisan tersebut sebagai Kleopatra, baca Pucci 2011, hlm. 206–207, catatan kaki nomor 27.
- ^ Sebagaimana ditegaskan oleh Pina Polo 2013, hlm. 186, 194 catatan kaki nomor 10, Roller 2010, hlm. 175, Anderson 2003, hlm. 59, para ilmuwan memperdebatkan benar tidaknya Venus Eskuilin—ditemukan pada tahun 1874 di Bukit Eskuilin, Roma, dan tersimpan di Palazzo dei Conservatori Museum Capitolini—adalah penggambaran sosok Kleopatra, ditilik dari tatanan rambut dan lekuk-lekuk wajah arca, diadem kerajaan yang jelas-jelas terlihat melingkari kepalanya, dan uraios Kobra Mesir yang melilit sebuah jambangan atau tiang pada lapik arca. Sebagaimana dijelaskan oleh Roller 2010, hlm. 175, Venus Eskuilin umumnya diduga sebagai tiruan Romawi buatan pertengahan abad pertama Tarikh Masehi dari arca asli Yunani karya sanggar seni rupa Pasiteles pada abad pertama Pra-Masehi.
- ^ Pucci 2011, hlm. 201 menegaskan bahwa "menampilkan sosok Kleopatra sebagai orang kulit putih adalah tindakan yang tepat, mengingat ia adalah orang keturunan Makedonia. Meskipun demikian, ciri-ciri ras Kleopatra dalam karya-karya sastra lebih simpang-siur."
Untuk keterangan tentang darah Eropa Kleopatra yang diwarisinya dari leluhurnya, Ptolemaios I Soter, salah seorang senapati Aleksander Agung dari Kerajaan Makedonia di Yunani Utara, baca Fletcher 2008, hlm. 1, 23 dan Southern 2009, hlm. 43.
Catatan kaki
- ^ a b Roller (2010), hlm. 178–179.
- ^ a b Elia (1956), hlm. 3–7.
- ^ Roller (2010), hlm. 75.
- ^ Burstein (2004), hlm. xxi, 21–22.
- ^ Bringmann (2007), hlm. 301.
- ^ Roller (2010), hlm. 98.
- ^ Burstein (2004), hlm. 27.
- ^ a b Grant & Badian (2018).
- ^ Roller (2010), hlm. 76.
- ^ Roller (2010), hlm. 15–16.
- ^ Jones (2006), hlm. xiii, 3, 279.
- ^ Southern (2009), hlm. 43.
- ^ Bringmann (2007), hlm. 260.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 162–163.
- ^ Jones (2006), hlm. xiv.
- ^ Roller (2010), hlm. 76–84.
- ^ Burstein (2004), hlm. xxii, 25.
- ^ Roller (2010), hlm. 135.
- ^ Bringmann (2007), hlm. 303.
- ^ a b Burstein (2004), hlm. xxii, 29.
- ^ Roller (2010), hlm. 100.
- ^ Roller (2010), hlm. 136–137.
- ^ Burstein (2004), hlm. xxii, 30.
- ^ Jones (2006), hlm. 147.
- ^ Roller (2010), hlm. 134.
- ^ Bringmann (2007), hlm. 302–303.
- ^ Burstein (2004), hlm. 29–30.
- ^ Roller (2010), hlm. 140.
- ^ Burstein (2004), hlm. xxii–xxiii, 30–31.
- ^ a b c d Bringmann (2007), hlm. 304.
- ^ Burstein (2004), hlm. xxiii, 31.
- ^ Roller (2010), hlm. 144–145.
- ^ a b c d e Roller (2010), hlm. 145.
- ^ a b Southern (2009), hlm. 153.
- ^ Southern (2009), hlm. 153–154.
- ^ Pina Polo (2013), hlm. 184–186.
- ^ Roller (2010), hlm. 54, 174–175.
- ^ a b Southern (2009), hlm. 154.
- ^ Jones (2006), hlm. 184.
- ^ a b c Burstein (2004), hlm. 31.
- ^ Southern (2009), hlm. 154–155.
- ^ Jones (2006), hlm. 184–185.
- ^ Jones (2006), hlm. 185–186.
- ^ Roller (2010), hlm. 146.
- ^ a b c Southern (2009), hlm. 155.
- ^ Roller (2010), hlm. 146–147, 213 catatan kaki nomor 83.
- ^ Gurval (2011), hlm. 61.
- ^ Roller (2010), hlm. 146–147.
- ^ a b c Roller (2010), hlm. 147–148.
- ^ Burstein (2004), hlm. xxiii, 31–32.
- ^ a b c d Roller (2010), hlm. 147.
- ^ a b c d e Anderson (2003), hlm. 56.
- ^ a b c Jones (2006), hlm. 194.
- ^ o (1920), hlm. 79.
- ^ Plutarkos (1920), hlm. 79.
- ^ Anderson (2003), hlm. 56, 62.
- ^ Gurval (2011), hlm. 72.
- ^ a b c d e f g Grout (2017).
- ^ a b Jones (2006), hlm. 195.
- ^ Burstein (2004), hlm. 65.
- ^ a b Skeat (1953), hlm. 98–100.
- ^ Dodson & Hilton (2004), hlm. 277.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 3.
- ^ a b Pratt & Fizel (1949), hlm. 14–15.
- ^ a b Sartain (1885), hlm. 41, 44.
- ^ Plutarkos (1920), hlm. 54.
- ^ a b c d e f Roller (2010), hlm. 148.
- ^ Jones (2006), hlm. 197.
- ^ Gurval (2011), hlm. 55.
- ^ a b Jones (2006), hlm. 194–195.
- ^ Jones (2006), hlm. 189–190.
- ^ a b c d Roller (2010), hlm. 149.
- ^ Jones (2006), hlm. 195–197.
- ^ Jarcho (1969), hlm. 305–306.
- ^ Jarcho (1969), hlm. 306.
- ^ Jarcho (1969), hlm. 299–300, 303–307.
- ^ Jarcho (1969), hlm. 303–304, 307.
- ^ Jarcho (1969), hlm. 306, catatan kaki nomor 11.
- ^ Gurval (2011), hlm. 56.
- ^ Gurval (2011), hlm. 58.
- ^ a b Gurval (2011), hlm. 60.
- ^ Cilliers & Retief (2006), hlm. 85–87.
- ^ Cilliers & Retief (2006), hlm. 87.
- ^ Tsoucalas & Sgantzos (2014), hlm. 19–20.
- ^ Nuwer (2013).
- ^ Jones (2006), hlm. 180–201.
- ^ a b c Roller (2010), hlm. 175.
- ^ a b Walker (2008), hlm. 35, 42–44.
- ^ Burstein (2004), hlm. 32.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 149–150.
- ^ a b Burstein (2004), hlm. xxiii, 32.
- ^ a b Burstein (2004), hlm. xxiii, 1.
- ^ a b Bringmann (2007), hlm. 304–307.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 150–151.
- ^ Eder (2005), hlm. 24–25.
- ^ Roller (2010), hlm. 149, 151, 214, catatan kaki nomor 103.
- ^ Burstein (2004), hlm. 32, 76–77.
- ^ Roller (2010), hlm. 153–155.
- ^ Walker & Higgs (2001), hlm. 314–315.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 87, 246–247, lihat gambar beserta penjelasannya.
- ^ BBC News ().
- ^ SBS News ().
- ^ Remezcla ().
- ^ Reuters ().
- ^ Roller (2010), hlm. 149, 153.
- ^ Burstein (2004), hlm. 66.
- ^ a b Curran (2011), hlm. 116.
- ^ Pucci (2011), hlm. 202.
- ^ Pucci (2011), hlm. 202–203, 207 catatan kaki nomor 28.
- ^ Roller (2010), hlm. 151.
- ^ Roller (2010), hlm. 72, 151, 175.
- ^ Varner (2004), hlm. 20.
- ^ Roller (2010), hlm. 148–149, 178–179.
- ^ Bailey (2001), hlm. 337.
- ^ Roller (2010), hlm. 148–149.
- ^ Gurval (2011), hlm. 61–69, 74.
- ^ Roller (2010), hlm. 8–9.
- ^ Gurval (2011), hlm. 65–66.
- ^ Gurval (2011), hlm. 66–70.
- ^ a b Anderson (2003), hlm. 53–54.
- ^ Anderson (2003), hlm. 50.
- ^ Anderson (2003), hlm. 51.
- ^ Anderson (2003), hlm. 50–52.
- ^ Anderson (2003), hlm. 51–54.
- ^ Gurval (2011), hlm. 73–74.
- ^ Jones (2006), hlm. 214–215.
- ^ Gurval (2011), hlm. 74.
- ^ Jones (2006), hlm. 221–222.
- ^ a b Anderson (2003), hlm. 60.
- ^ Anderson (2003), hlm. 56–59.
- ^ Anderson (2003), hlm. 60–61.
- ^ a b c Pucci (2011), hlm. 203.
- ^ Anderson (2003), hlm. 61.
- ^ a b c Anderson (2003), hlm. 62.
- ^ a b Gurval (2011), hlm. 59.
- ^ Curran (2011), hlm. 114–116.
- ^ Curran (2011), hlm. 116–117.
- ^ Jones (2006), hlm. 223.
- ^ Jones (2006), hlm. 233–234.
- ^ Jones (2006), hlm. 303–304.
- ^ DeMaria Smith (2011), hlm. 165.
- ^ Martin (2014), hlm. 16–17.
- ^ Martin (2014), hlm. 17.
- ^ a b Pucci (2011), hlm. 201–202.
- ^ Pucci (2011), hlm. 195.
- ^ Jones (2006), hlm. 325.
- ^ Pucci (2011), hlm. 203–204.
- ^ a b Wyke & Montserrat (2011), hlm. 178.
- ^ Wyke & Montserrat (2011), hlm. 190.
- ^ Smithsonian American Art Museum ().
- ^ The Art Tribune ().
- ^ Manninen (2015), hlm. 221, catatan kaki nomor 11.
- ^ Sully (2010), hlm. 53.
- ^ Walters Art Museum ().
Daftar pustaka
Sumber daring
- "Cleopatra's tomb may have been found: Egypt's top archaeologist says the lost tomb of Mark Antony and Cleopatra may have been discovered". SBS News. 24 February 2015. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-12-10. Diakses tanggal 20 Mei 2018.
- "Dig 'may reveal' Cleopatra's tomb". BBC News. 15 April 2009. Diakses tanggal 24 April 2009.
- "Cleopatra", The Walters Art Museum, diakses tanggal 29 Maret 2018.
- "Inside a Dominican Archaeologist's Drama-Filled Quest to Find Cleopatra's Tomb". Remezcla.com. 24 April 2017. Diakses tanggal 22 Mei 2018.
- "Restorations of 19th century sculptures in Lille", The Art Tribune, 11 February 2016, diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-05-03, diakses tanggal 3 Mei 2018.
- "The Death of Cleopatra", Smithsonian American Art Museum, diakses tanggal 3 Mei 2018.
- Grant, Michael; Badian, Ernst (28 July 2018), "Mark Antony, Roman triumvir", Encyclopaedia Britannica, diakses tanggal 20 November 2018.
- Grout, James (1 April 2017), "The Death of Cleopatra", Encyclopaedia Romana (University of Chicago), diakses tanggal 3 Mei 2018.
- Nuwer, Rachel (29 March 2013), "Maybe Cleopatra Didn't Commit Suicide: Her murder, one author thinks, was covered up behind a veil of propaganda and lies put forth by the Roman Empire", Smithsonian, diakses tanggal 3 Mei 2018.
- Plutarkos (1920), Plutarch's Lives, diterjemahkan oleh Bernadotte Perrin, Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press (Perseus Digital Library, Universitas Tufts), diakses tanggal 29 Maret 2018.
- Rasmussen, Will (19 April 2009). "Archaeologists hunt for Cleopatra's tomb in Egypt". Reuters. Diakses tanggal 25 November 2018.
Sumber cetak
- Anderson, Jaynie (2003), Tiepolo's Cleopatra, Melbourne: Macmillan, ISBN 9781876832445.
- Bailey, Donald (2001), "357 Roman terracotta lamp with a caricatured scene", dalam Walker, Susan; Higgs, Peter, Cleopatra of Egypt: from History to Myth, Princeton, N.J., hlm. 337, ISBN 9780691088358.
- Bringmann, Klaus (2007) [2002], A History of the Roman Republic (dalam bahasa English), diterjemahkan oleh W. J. Smyth, Cambridge: Polity Press, ISBN 9780745633718.
- Burstein, Stanley M. (2004), The Reign of Cleopatra, Westport, CT: Greenwood Press, ISBN 9780313325274.
- Cilliers, L.; Retief, F. P. (1 January 2006), "The death of Cleopatra", Acta Theologica (dalam bahasa Inggris), 26 (2): 79–88, doi:10.4314/actat.v26i2.52563, ISSN 2309-9089
- Curran, Brian A (2011), "Love, Triumph, Tragedy: Cleopatra and Egypt in High Renaissance Rome", dalam Miles, Margaret M., Cleopatra : a sphinx revisited, Berkeley: University of California Press, hlm. 96–131, ISBN 9780520243675.
- DeMaria Smith, Margaret Mary (2011), "HRH Cleopatra: the Last of the Ptolemies and the Egyptian Paintings of Sir Lawrence Alma-Tadema", dalam Miles, Margaret M., Cleopatra : a sphinx revisited, Berkeley: University of California Press, hlm. 150–171, ISBN 9780520243675.
- Dodson, Aidan; Hilton, Dyan (2004), The Complete Royal Families of Ancient Egypt, London: Thames & Hudson, ISBN 9780500051283.
- Eder, Walter (2005), "Augustus and the Power of Tradition", dalam Galinsky, Karl, The Cambridge Companion to the Age of Augustus, Cambridge Companions to the Ancient World, Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 13–32, ISBN 9780521807968.
- Elia, Olga (1956) [1955], "La tradizione della morte di Cleopatra nella pittura pompeiana", Rendiconti dell'Accademia di Archeologia, Lettere e Belle Arti (dalam bahasa Italian), 30: 3–7, OCLC 848857115.
- Fletcher, Joann (2008), Cleopatra the Great: The Woman Behind the Legend, New York: Harper, ISBN 9780060585587.
- Grant, Michael (1972), Cleopatra, London: Weidenfeld and Nicolson; Richard Clay (the Chaucer Press), ISBN 9780297995029.
- Gurval, Robert A. (2011), "Dying Like a Queen: the Story of Cleopatra and the Asp(s) in Antiquity", dalam Miles, Margaret M., Cleopatra : a sphinx revisited, Berkeley: University of California Press, hlm. 54–77, ISBN 9780520243675.
- Jarcho, Saul (1969), "The correspondence of Morgagni and Lancisi on the death of Cleopatra", Bulletin of the History of Medicine, 43 (4): 299–325, JSTOR 44449955, PMID 4900196.
- Jones, Prudence J. (2006), Cleopatra: a sourcebook, Norman, Oklahoma: University of Oklahoma Press, ISBN 9780806137414.
- Manninen, Alisa (2015), Royal Power and Authority in Shakespeare's Late Tragedies, Newcastle Upon Tyne: Cambridge Scholars Publishing, ISBN 9781443876223.
- Martin, Nicholas Ivor (2014), The Opera Manual, Lanham, Maryland: Scarecrow Press, ISBN 9780810888685.
- Pina Polo, Francisco (2013), "The Great Seducer: Cleopatra, Queen and Sex Symbol", dalam Knippschild, Silke; García Morcillo, Marta, Seduction and Power: Antiquity in the Visual and Performing Arts, London: Bloomsbury Academic, hlm. 183–197, ISBN 9781441190659.
- Pratt, Frances; Fizel, Becca (1949), Encaustic Materials and Methods, New York: Lear, OCLC 560769.
- Pucci, Giuseppe (2011), "Every Man's Cleopatra", dalam Miles, Margaret M., Cleopatra : a sphinx revisited, Berkeley: University of California Press, hlm. 195–207, ISBN 9780520243675.
- Roller, Duane W. (2010), Cleopatra: a biography, Oxford: Oxford University Press, ISBN 9780195365535.
- Sartain, John (1885), On the Antique Painting in Encaustic of Cleopatra: Discovered in 1818, Philadelphia: George Gebbie & Co., OCLC 3806143.
- Skeat, T. C. (1953), "The Last Days of Cleopatra: A Chronological Problem", The Journal of Roman Studies, 43 (1–2): 98–100, doi:10.2307/297786, JSTOR 297786.
- Southern, Patricia (2014) [1998], Augustus (edisi ke-2nd), London: Routledge, ISBN 9780415628389.
- Southern, Patricia (2009) [2007], Antony and Cleopatra: The Doomed Love Affair That United Ancient Rome and Egypt, Stroud, Gloucestershire: Amberley Publishing, ISBN 9781848683242.
- Sully, Jess (2010), "Challenging the Stereotype: the Femme-Fatale in Fin-de-Siècle Art and Early Cinema", dalam Hanson, Helen; O'Rawe, Catherine, The Femme Fatale: Images, Histories, Contexts, Basingstoke, Hampshire: Palgrave Macmillan, hlm. 46–59, ISBN 9781349301447.
- Tsoucalas, Gregory; Sgantzos, Markos (2014), "The Death of Cleopatra: Suicide by Snakebite or Poisoned by Her Enemies?", dalam Philip Wexler, History of Toxicology and Environmental Health: Toxicology in Antiquity, 1, Amsterdam: Academic Press (Elsevier), ISBN 9780128004630.
- Varner, Eric R. (2004), Mutilation and Transformation: Damnatio Memoriae and Roman Imperial Portraiture, Leiden: Brill, ISBN 9789004135772.
- Walker, Susan (2008), "Cleopatra in Pompeii?", Papers of the British School at Rome, 76: 35–46; 345–348, doi:10.1017/S0068246200000404, JSTOR 40311128.
- Walker, Susan; Higgs, Peter (2001), "Painting with a portrait of a woman in profile", dalam Walker, Susan; Higgs, Peter, Cleopatra of Egypt: from History to Myth, Princeton, N.J.: Princeton University Press (British Museum Press), hlm. 314–315, ISBN 9780691088358.
- Wyke, Maria; Montserrat, Dominic (2011), "Glamour Girls: Cleomania in Mass Culture", dalam Miles, Margaret M., Cleopatra : a sphinx revisited, Berkeley: University of California Press, hlm. 172–194, ISBN 9780520243675.
Bacaan lanjutan
- Bradford, Ernle Dusgate Selby (2000). Cleopatra. London: Penguin Group. ISBN 9780141390147.
- Flamarion, Edith (1997). Cleopatra: The Life and Death of a Pharaoh. "Abrams Discoveries" series. Diterjemahkan oleh Bonfante-Warren, Alexandra. New York: Harry Abrams. ISBN 9780810928053.
- Foss, Michael (1999). The Search for Cleopatra. New York: Arcade Publishing. ISBN 9781559705035.
- Fraser, P.M. (1985). Ptolemaic Alexandria. 1–3. Edisi cetak ulang, Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780198142782.
- Lindsay, Jack (1972). Cleopatra. New York: Coward-McCann. OCLC 671705946.
- Nardo, Don (1994). Cleopatra. San Diego, CA: Lucent Books. ISBN 9781560060239.
- Pomeroy, Sarah B. (1984). Women in Hellenistic Egypt: from Alexander to Cleopatra. New York: Schocken Books. ISBN 9780805239119.
- Southern, Pat (2000). Cleopatra. Stroud, Gloucestershire: Tempus. ISBN 9780752414942.
- Syme, Ronald (1962) [1939]. The Roman Revolution . Oxford University Press. OCLC 404094.
- Volkmann, Hans (1958). Cleopatra: a Study in Politics and Propaganda. T.J. Cadoux, trans. New York: Sagamore Press. OCLC 899077769.
- Weigall, Arthur E. P. Brome (1914). The Life and Times of Cleopatra, Queen of Egypt. Edinburgh: Blackwood. OCLC 316294139.
Pranala luar
- Ratu Mesir, Kleopatra VII, dalam penggambaran bangsa Romawi, di YouTube.
- Eubanks, W. Ralph. (1 November 2010). "Bagaimana Sejarah dan Hollywood Keliru Memahami 'Kleopatra'". National Public Radio (NPR) (bedah buku Cleopatra: A Life, karangan Stacy Schiff).
- Jarus, Owen (13 Maret 2014). "Kleopatra: Fakta & Biografi". Live Science.
- Watkins, Thayer. "Lini Masa Kehidupan Kleopatra Diarsipkan 2021-08-13 di Wayback Machine.." Universitas Negeri San Jose.