Aceh

provinsi di Pulau Sumatera, Indonesia
(Dialihkan dari Nanggroe Aceh Darussalam)

Aceh adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak pada bagian ujung utara Pulau Sumatera dengan ibu kota di Banda Aceh. Letaknya dekat dengan Kepulauan Andaman dan Nikobar di India dan terpisahkan oleh Laut Andaman. Aceh berbatasan dengan Teluk Benggala dan Laut Andaman di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan. Aceh merupakan salah satu daerah istimewa dan diberi kewenangan otonomi khusus yang diatur tersendiri karena alasan sejarah.[8]

Aceh
  • Atjeh
  • Aceh Darussalam
  • Daerah Istimewa Aceh
  • Nanggroë Aceh Darussalam
Transkripsi bahasa daerah
 • Abjad Jawoëاچيه دارالسلام
Bendera Aceh
Julukan: 
  • Serambi Mekkah
  • Tanah Rencong
  • Negeri Sultan Iskandar Muda
Motto: 
"Pancacita" (Sanskerta: "Lima cita-cita")
Himne daerah: "Aceh Mulia"[1]
Peta
Peta
Negara Indonesia
Dasar hukum pendirian
  • UU No. 24 Tahun 1956
  • UU No. 11 Tahun 2006
Hari jadi7 Desember 1956 (umur 68)
Ibu kotaKota Banda Aceh
Jumlah satuan pemerintahan[2]
Daftar
  • Kabupaten: 18
  • Kota: 5
  • Kecamatan: 290
  • Gampong/kute: 6.498
Pemerintahan
 • JenisWilayah administrasi khusus
 • BadanPemerintah Aceh
 • Wali NanggroeMalik Mahmud
 • GubernurSafrizal ZA (Pj.)
 • Wakil GubernurLowong
 • Sekretaris DaerahAzwardi (Pj.)
 • Ketua DPRAZulfadhli
Luas
 • Total57.956,00 km2 (22,376,94 sq mi)
 • Luas daratan57.365,67 km2 (22,149,01 sq mi)
 • Luas perairan29.611,11 km2 (11,432,91 sq mi)
Ketinggian tertinggi
3.466 m (11,371 ft)
Populasi
 (30 Juni 2024)[3]
 • Total5.570.453
 • Peringkat14
 • Kepadatan96/km2 (250/sq mi)
Demonim
  • Acehnese
  • Bangsa Aceh
  • Orang Aceh
  • Rakyat Aceh
Demografi
 • Agama
  • 98,60% Islam
  • 0,12% Buddha[3]
 • BahasaIndonesia (resmi), Aceh (daerah)
 • IPMKenaikan 75,36 (2024)
 tinggi [4]
Zona waktuUTC+07:00 (WIB)
Kode pos
23xxx-24xxx
Kode area telepon
Daftar
  • 0627 - Kota Subulussalam
  • 0629 - Kutacane (Kabupaten Aceh Tenggara)
  • 0641 - Kota Langsa
  • 0642 - Blang Kejeren (Kabupaten Gayo Lues)
  • 0643 - Takengon (Kabupaten Aceh Tengah)
  • 0644 - Bireuen (Kabupaten Bireuen)
  • 0645 - Lhoksukon (Kabupaten Aceh Utara) - Kota Lhokseumawe
  • 0646 - Idi (Kabupaten Aceh Timur)
  • 0650 - Sinabang (Kabupaten Simeulue)
  • 0651 - Kota Banda Aceh - Jantho (Kabupaten Aceh Besar) - Lamno (Kabupaten Aceh Jaya)
  • 0652 - Kota Sabang
  • 0653 - Sigli (Kabupaten Pidie)
  • 0654 - Calang (Kabupaten Aceh Jaya)
  • 0655 - Meulaboh (Kabupaten Aceh Barat)
  • 0656 - Tapaktuan (Kabupaten Aceh Selatan)
  • 0657 - Bakongan (Kabupaten Aceh Selatan)
  • 0658 - Singkil (Kabupaten Aceh Singkil)
  • 0659 - Blangpidie (Kabupaten Aceh Barat Daya)
Kode ISO 3166ID - AC
Pelat kendaraanBL
Kode Kemendagri11
Kode BPS11 Edit nilai pada Wikidata
APBDRp 16.763.469.972.136-,[5] (2021)
PADRp 2.401.682.455.965,- (2021)
DAURp 2.209.708.573.000,- (2024)[6]
DAKRp 1.226.455.645.000,- (2024)[7]
Slogan pariwisata"The Light of Aceh"
Lagu daerah"Bungong Jeumpa"
Rumah adat
Senjata tradisional
Flora resmiBunga jeumpa
Fauna resmiCicempala kuneng
Situs webacehprov.go.id

Sejarah Aceh diwarnai oleh kebebasan politik dan penolakan keras terhadap kendali asing, termasuk bekas penjajah Belanda dan dulu pemerintah Indonesia. Jika dibandingkan dengan dengan provinsi lainnya, Aceh adalah wilayah yang sangat konservatif (menjunjung tinggi nilai-nilai agama).[9] Persentase penduduk Muslim-nya adalah yang tertinggi di Indonesia dan mereka hidup sesuai Syari'at Islam (hukum Islam).[10] Menurut hasil sensus Badan Pusat Statistik tahun 2021, jumlah penduduk provinsi ini sekitar 5.333.733 jiwa, dan pada pertengahan tahun 2024 berjumlah 5.570.453 jiwa.[3][2]

Aceh memiliki sumber daya alam yang melimpah, termasuk minyak bumi dan gas alam. Sejumlah analis memperkirakan cadangan gas alam Aceh adalah yang terbesar di dunia.[9] Aceh juga terkenal dengan hutannya yang terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan dari Kutacane di Aceh Tenggara sampai Ulu Masen di Aceh Jaya. Sebuah taman nasional bernama Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) didirikan di Aceh Tenggara.

Aceh adalah daratan yang paling dekat dengan episentrum gempa bumi Samudra Hindia 2004. Setelah gempa, gelombang tsunami menerjang sebagian besar pesisir barat provinsi ini. Sekitar 170.000 orang tewas atau hilang akibat bencana tersebut.[11] Bencana ini juga mendorong terciptanya perjanjian damai antara pemerintah Republik Indonesia dan kelompok seperatis, Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Sejarah

Asal nama

Aceh pertama dikenal dengan nama Aceh Darussalam (1511–1945). Provinsi ini dibentuk pada 1956 dengan nama Aceh sebelum diubah menjadi Daerah Istimewa Aceh (1959–2001), Nanggroe Aceh Darussalam (2001–2009), dan kembali ke Aceh sejak 2009.[12] Sebelumnya, nama Aceh biasa ditulis Acheh, Atjeh, dan Achin.[13]

Zaman prasejarah

 
Bukit kerang dari masa prasejarah di Aceh Tamiang

Aceh telah dihuni manusia sejak zaman Mesolitikum. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan situs Bukit Kerang yang diklaim sebagai peninggalan zaman tersebut di kabupaten Aceh Tamiang. Selain itu, pada Situs Desa Pangkalan juga telah dilakukan ekskavasi serta berhasil ditemukan artefak peninggalan dari zaman Mesolitikum berupa kapak Sumatralith, fragmen gigi manusia, tulang badak, dan beberapa peralatan sederhana lainnya.

Selain di kabupaten Aceh Tamiang, peninggalan kehidupan prasejarah di Aceh juga ditemukan di dataran tinggi Gayo tepatnya di Ceruk Mendale dan Ceruk Ujung Karang yang terdapat disekitar Danau Laut Tawar. Penemuan situs prasejarah ini mengungkapkan bukti adanya hunian manusia prasejarah yang telah berlangsung di sini pada sekitar 7.400 hingga 5.000 tahun yang lalu.[14]

Zaman kerajaan

Zaman kerajaan Hindu-Buddha

Prasasti Neusu berbahasa Tamil ditemukan di Neusu, Banda Aceh. Sekarang tersimpan di Museum Aceh.
Arca Awalokiteswara bergaya Sriwijaya yang ditemukan di Aceh Besar diperkirakan dari abad ke-9. Sekarang tersimpan di Museum Nasional Indonesia

Sebagaimana daerah lain di kepulauan Nusantara, Aceh juga pernah mengalami masa berkembangnya agama Hindu dan Buddha yang datang dari daratan benua Asia Selatan (India). Pada masa itu di Aceh telah diwarnai dengan adanya beberapa kerajaan-kerajaan yang berdasarkan agama tersebut misalnya Kerajaan Indra Puri, Kerajaan Indra Patra dan Kerajaan Indra Purwa yang terletak di Aceh Besar yang menganut kepercayaan Hindu dan dipengaruhi oleh India. Selain itu, Aceh juga dahulu termasuk bagian dari kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha yang pernah berjaya di Nusantara ribuan tahun lalu seperti Sriwijaya.

Prasasti Tanjore dari Tamil menyebutkan bahwa pada tahun 1030, Kerajaan Lamuri termasuk di antara wilayah yang ditaklukkan oleh Rajendra Chola I dari Kerajaan Chola[15].

Masuknya Islam

 
Makam Sultan Malikussaleh di Aceh Utara

Masih terjadi silang pendapat terkait persoalan dari sejak kapan Islam pertama sekali disebarkan ke Aceh. Sebagian berpandangan sudah dimulai dari sejak masa kekhalifahan Utsman bin Affan[16] sebagai khalifah ketiga setelah kerasulan Muhammad SAW.

Terkait Islam yang datang ke Aceh, Snouck Hurgronje dengan teori Gujaratnya menyebut Islam yang datang ke sana bukanlah Islam yang dibawa Muhammad, tetapi Islam yang sudah berkembang matang. Bukan Islam dari Al Quran dan Hadits, melainkan Islam dengan kitab-kitab Fiqh dan dogmanya dari 3 abad kemudian.[17]

Sebagian lagi, ada yang berpandangan bahwa Islam yang datang ke Aceh justru sudah dimulai dari sejak tahun pertama Hijriyah (618 M). Satu pandangan yang menurut penulis buku Tasawuf Aceh merupakan pandangan tidak masuk akal. Alasan yang dikemukakannya adalah pada masa tersebut; ada kevakuman antara wahyu pertama (610 M) dengan wahyu kedua kepada Muhammad selama 2,5 tahun. Ditambah dengan masa berdakwah secara sembunyi-sembunyi yang dilakukan Muhammad selama 3 tahun. Dengan demikian baru pada tahun ke-7 masa kenabiannya baru dimulai dakwah secara terang-terangan.[18] Tetapi sedikitnya persoalan demikian bisa ditelusuri dari keberadaan kerajaan pertama bercorak Islam di Aceh, Kerajaan Peureulak yang didirikan pada 1 Muharram 225 Hijriyah.[19]

Kesultanan Aceh

 
Wilayah Kesultanan Aceh pada masa jayanya

Kesultanan Aceh merupakan kelanjutan dari Kesultanan Samudra Pasai yang runtuh pada akhir abad ke-14.[20] Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatra dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh). Dalam sejarahnya yang panjang itu (14961903), Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama karena kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, komitmennya dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.

 
Gunongan merupakan warisan sejarah Kesultanan Aceh yang didirikan oleh Sultan Iskandar Muda untuk permaisuri beliau Putri Khamalia dari Kesultanan Pahang.

Aceh Darussalam pada zaman kekuasaan zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam (Sultan Aceh ke 19), merupakan negeri yang amat kaya dan makmur. Menurut seorang penjelajah asal Prancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh pada zaman tersebut, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau hingga Perak. Kesultanan Aceh telah menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di dunia Barat pada abad ke-16, termasuk Inggris, Ottoman, dan Belanda.

Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 dengan Britania Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.

 
Makam Sultan Iskandar Muda

Pada tahun 1824, Persetujuan Britania-Belanda ditandatangani, di mana Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Prancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.

Perang Aceh

 
Mayor Jenderal J.H.R. Kohler tewas ditembak di bawah pohon kelumpang di depan Masjid Raya Baiturrahman dalam Perang Aceh I

Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873, dimulai dari kedatangan Jenderal J.H.R Kohler dengan jumlah pasukan sebanyak 3.198, termasuk 168 perwira KNIL.[21]

Setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh. Bahkan, pada hari pertama perang berlangsung, 1 unit kapal perang Belanda, Citadel van Antwerpen harus mengalami 12 tembakan meriam dari pasukan Aceh.[22][23]

Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli yang berpura-pura masuk Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun 1898, Joannes Benedictus van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh, dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn, merebut sebagian besar Aceh.[24]

Sultan Muhammad Dawud Syah akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh pada tahun 1904. Saat itu, Ibu kota Aceh telah sepenuhnya direbut Belanda. Namun perlawanan masih terus dilakukan oleh Panglima-panglima di pedalaman dan oleh para Ulama Aceh sampai akhirnya jepang masuk dan menggantikan peran belanda. Perang Aceh adalah perang yang paling banyak merugikan pihak Belanda sepanjang sejarah penjajahan Nusantara.[25][26]

Masa penjajahan

Bangkitnya nasionalisme

 
Replika pesawat Dakota RI-001 Seulawah sumbangan rakyat Aceh di Lapangan Blang Padang, Banda Aceh

Sementara pada masa kekuasaan Belanda, bangsa Aceh mulai mengadakan kerja sama dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan nasionalis dan politik. Aceh kian hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis Indonesia. Saat Volksraad (parlemen) dibentuk, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh. (Nyak Arif lalu dilantik sebagai gubernur Aceh oleh gubernur Sumatra pertama, Mr. Teuku Muhammad Hasan).

Saat Jepang mulai mengobarkan perang untuk mengusir kolonialis Eropa dari Asia, tokoh-tokoh pejuang Aceh mengirim utusan ke pemimpin perang Jepang untuk membantu usaha mengusir Belanda dari Aceh. Negosiasi dimulai pada tahun 1940. Setelah beberapa rencana pendaratan dibatalkan, akhirnya pada 9 Februari 1942 kekuatan militer Jepang mendarat di wilayah Ujong Batee, Aceh Besar. Kedatangan mereka disambut oleh tokoh-tokoh pejuang Aceh dan masyarakat umum. Masuknya Jepang ke Aceh membuat Belanda terusir secara permanen dari tanah Aceh.

Awalnya Jepang bersikap baik dan hormat kepada masyarakat dan tokoh-tokoh Aceh, dan menghormati kepercayaan dan adat istiadat Aceh yang bernafaskan Islam. Rakyat pun tidak segan untuk membantu dan ikut serta dalam program-program pembangunan Jepang. Namun ketika keadaan sudah membaik, pelecehan terhadap masyarakat Aceh khususnya kaum perempuan mulai dilakukan oleh personel tentara Jepang. Rakyat Aceh yang beragama Islam pun mulai diperintahkan untuk membungkuk ke arah matahari terbit di waktu pagi, sebuah perilaku yang sangat bertentangan dengan akidah Islam. Karena itu pecahlah perlawanan rakyat Aceh terhadap Jepang di seluruh daerah Aceh. contoh yang paling terkenal adalah perlawanan yang dipimpin oleh Teungku Abdul Jalil, seorang ulama dari daerah Bayu, dekat Lhokseumawe.[27]

Pasca kemerdekaan Indonesia

 
Teungku Muhammad Daud Beureu'eh, ulama pemimpin perjuangan DI/TII Aceh

Darul Islam/Tentara Islam Indonesia

Aceh yang semula bergabung dengan Indonesia dengan jaminan Soekarno akan menerapkan syariat Islam, merasa kecewa karena syariat Islam tidak dijadikan sebagai landasan negara. Sehingga pada tanggal 13 Muharram 1372 H/21 September 1953 M, Teungku Muhammad Daud Beureu'eh atas nama rakyat Aceh mengumumkan bergabung dengan Negara Islam Indonesia yang didirikan oleh Kartosoewirjo.[28]

Gerakan Aceh Merdeka

 
Panglima GAM, Teungku Abdullah Syafi'i bersama laskar Inong Balee

Sejak tahun 1976, organisasi pembebasan bernama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah berusaha untuk memisahkan Aceh dari Indonesia melalui upaya militer. Pada 15 Agustus 2005, GAM dan pemerintah Indonesia akhirnya menandatangani persetujuan damai sehingga mengakhiri konflik antara kedua pihak yang telah berlangsung selama hampir 30 tahun.[29]

Pasca gempa dan tsunami 2004, yaitu pada 2005, pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka sepakat mengakhiri konflik di Aceh. Perjanjian ini ditandatangani di Finlandia, dengan peran besar daripada mantan petinggi Finlandia, Martti Ahtisaari.

Politik dan pemerintahan

Sistem pemerintahan yang berlaku di Aceh saat ini ada 2, yaitu Sistem Pemerintahan Lokal Aceh dan Sistem Pemerintahan Indonesia. Berdasarkan penjenjangan, perbedaan yang tampak adalah adanya pemerintahan mukim yang berada di antara kecamatan dan gampong. Dalam sistem pemerintahan lokal Aceh dikenal beberapa jabatan seperti imeum meunasah, tuha peuet dan imeum mukim

Aceh sebagai daerah istimewa

Saat ini satuan pemerintahan daerah yang berstatus Daerah Istimewa di Indonesia hanya dua provinsi yaitu Aceh (UU Nomor 44 Tahun 1999) dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (UU 13 Tahun 2012). Berdasarkan status pemerintahan daerah yang bersifat istimewa, UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan bagi Daerah Provinsi Istimewa Aceh telah memberikan legitimasi secara yuridis formal keistimewaan.[30]

 
Kabupaten dan Kota di Aceh

Penyelenggaraan keistimewaan Aceh meliputi:

  1. Penyelenggaraan kehidupan beragama;[31]
  2. Penyelenggaraan kehidupan adat;
  3. Penyelenggaraan pendidikan; dan
  4. Peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.[32]

Keistimewaan di bidang penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya di Aceh, dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumat beragama, meliputi: ibadah, ahwal alsyakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam. Keistimewaan di bidang penyelenggaraan kehidupan adat meliputi Lembaga Wali Nanggroe dan Lembaga Adat Aceh (misal Majelis Adat Aceh, Imeum mukim, dan Syahbanda).

Keistimewaan di bidang pendidikan meliputi penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syari’at Islam serta menyelenggarakan pendidikan madrasah ibtidaiyah dan madrasah tsanawiyah. Keistimewaan di bidang peran ulama meliputi Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh dan Kabupaten/Kota yang memiliki tugas dan wewenang untuk memberi fatwa baik diminta maupun tidak diminta terhadap persoalan pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi; dan memberi arahan terhadap perbedaan pendapat pada masyarakat dalam masalah keagamaan.

Aceh sebagai daerah khusus

Dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia hingga saat ini hanya empat satuan daerah yang dinyatakan berstatus sebagai Daerah Khusus yaitu Aceh, Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, dan Provinsi Papua serta Papua Barat.

Kekhususan Aceh telah diatur berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN 2006 No 62, TLN 4633) pada hakikatnya manifestasi dari UUD Tahun 1945. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat Khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang undang. Berdasarkan Undang-undang Pemerintahan Aceh (UU-PA), Sebagai daerah Khusus, saat ini sudah memiliki 26 Kewenangan Khusus. Dengan demikian, otonomi seluas-luasnya pada dasarnya bukanlah sekadar hak, tetapi lebih dari itu yaitu merupakan kewajiban konstitusional untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan di Aceh. Oleh karena itu Aceh terdapat 2 (dua) sebutan yaitu daerah istimewa dan daerah khusus, sehingga nama Aceh dapat disebutkan sebagai daerah khusus provinsi Daerah Istimewa Aceh.[33][34]

 
Kantor Gubernur Aceh di Banda Aceh

UU Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki dan merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara berkelanjutan. Hal-hal mendasar yang menjadi isi UU Pemerintahan Aceh ini antara lain:

  1. Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem NKRI berdasarkan UUD Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.
  2. Tatanan otonomi seluas-luasnya yang diterapkan di Aceh berdasarkan UU Pemerintahan Aceh ini merupakan subsistem dalam sistem pemerintahan secara nasional.
  3. Pengaturan dalam Qanun Aceh maupun Kabupaten/Kota yang banyak diamanatkan dalam UU Pemerintahan Aceh merupakan wujud konkret bagi terselenggaranya kewajiban konstitusional dalam pelaksanaan pemerintahan tersebut.
  4. Pengaturan perimbangan keuangan pusat dan daerah tercermin melalui pemberian kewenangan untuk pemanfaatan sumber pendanaan yang ada.
  5. Implementasi formal penegakan syari’at Islam dengan asas personalitas ke-Islaman terhadap setiap orang yang berada di Aceh tanpa membedakan kewarganegaraan, kedudukan, dan status dalam wilayah sesuai dengan batas-batas daerah Aceh.

Nama (nomenklatur) yang digunakan menurut Pasal 1 angka 2 UU 11/2006 adalah Aceh; tanpa ada kata "provinsi" maupun frasa "daerah istimewa", Aceh merupakan daerah khusus (dan juga daerah istimewa) karena Aceh adalah satu-satunya daerah di Indonesia yang bersifat istimewa dan diberi otonomi khusus; "Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur. " Pasal 1 angka 2 UU 11/2006[35]

Sistem pemerintahan

Provinsi Aceh terdiri dari 18 kabupaten, 5 kota, 290 kecamatan, dan 6.497 gampong. Pada tahun 2019, jumlah penduduknya diperkirakan mencapai 5.371.532 jiwa dengan total luas wilayah 57.956,00 km².[36][37][38][39][40]

No Kode
Kemendagri
Kabupaten/kota Ibukota Luas wilayah
(km²)
Penduduk 2019
(jiwa)
Kepadatan
(jiwa/km2)
2019
Kecamatan Kelurahan Gampong
1 11.05 Kab. Aceh Barat Meulaboh 2.927,95 210.113 64,59 12 - 322
2 11.12 Kab. Aceh Barat Daya Blangpidie 1.490,60 150.393 99,75 9 - 152
3 11.06 Kab. Aceh Besar Kota Janthoe 2.969,00 425.216 129,56 23 - 604
4 11.14 Kab. Aceh Jaya Calang 3.812,99 92.892 22,57 9 - 172
5 11.01 Kab. Aceh Selatan Tapaktuan 3.841,60 238.081 59,94 18 - 260
6 11.10 Kab. Aceh Singkil Singkil 2.185,00 124.101 59,48 11 - 116
7 11.16 Kab. Aceh Tamiang Kota Kualasimpang 1.956,72 295.011 147,05 12 - 213
8 11.04 Kab. Aceh Tengah Takengon 4.318,39 208.407 48,26 14 - 295
9 11.02 Kab. Aceh Tenggara Kutacane 4.231,43 216.495 52,39 16 - 385
10 11.03 Kab. Aceh Timur Idi Rayeuk 6.286,01 436.081 67,17 24 - 513
11 11.08 Kab. Aceh Utara Lhoksukon 3.236,86 619.407 177,92 27 - 852
12 11.17 Kab. Bener Meriah Simpang Tiga Redelong 1.454,09 148.175 106,26 10 - 232
13 11.11 Kab. Bireuen Bireuen 1.901,20 471.635 227,68 17 - 609
14 11.13 Kab. Gayo Lues Blangkejeren 5.719,58 94.100 16,67 11 - 136
15 11.15 Kab. Nagan Raya Suka Makmue 3.363,72 167.294 49,85 10 - 222
16 11.07 Kab. Pidie Sigli 3.086,95 444.976 141,80 23 - 730
17 11.18 Kab. Pidie Jaya Meureudu 1.073,60 161.215 146,78 8 - 222
18 11.09 Kab. Simeulue Sinabang 2.051,48 93.228 43,54 10 - 138
19 11.71 Kota Banda Aceh - 61,36 270.321 3.892,01 9 - 90
20 11.74 Kota Langsa - 262,41 176.811 695,19 5 - 66
21 11.73 Kota Lhokseumawe - 181,06 207.202 1.052,82 4 - 68
22 11.72 Kota Sabang - 153,00 34.874 261,70 3 - 18
23 11.75 Kota Subulussalam - 1.391,00 81.417 58,37 5 - 82
TOTAL 57.956,00 5.371.532 88,91 ! 290 0 6.497

Dewan Perwakilan Rakyat Aceh

Berbeda dengan DPRD Provinsi lain di Indonesia pada umumnya, DPRA memiliki nama yang unik serta jumlah anggota 1¼ kali lebih banyak dari DPRD provinsi menurut undang-undang.[41] DPRA beranggotakan 81 orang yang dipilih melalui pemilihan umum setiap lima tahun sekali. Pimpinan DPRA terdiri dari 1 Ketua dan 3 Wakil Ketua yang berasal dari partai politik dengan jumlah kursi dan suara terbanyak. Anggota DPRA yang sedang menjabat saat ini adalah hasil Pemilu 2024 yang dilantik pada 30 September 2024 oleh Ketua Pengadilan Tinggi Banda Aceh, Dr. H. Suharjono, S.H., M.Hum., di Gedung Utama DPR Aceh. Komposisi anggota DPRA periode 2024-2029 terdiri dari 13 partai politik dimana Partai Aceh merupakan pemilik kursi terbanyak yaitu 20 kursi.[42][43][44]

Sesuai peraturan perundang-undangan, DPRD Provinsi yang beranggotakan: 35-44 orang dipimpin oleh 1 ketua dan 2 wakil ketua; 45-84 orang dipimpin oleh 1 ketua dan 3 wakil ketua; dan 85-100 orang dipimpin oleh 1 ketua dan 4 wakil ketua.[45]

 
Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh
 
Meuligoe, tempat kediaman Gubernur Aceh

Berdasarkan Pemilihan umum 2019, Provinsi Aceh mengirim 13 wakil ke DPR RI dari dua daerah pemilihan dan empat wakil ke DPD.[46] Pada tingkat provinsi, berikut perolehan jumlah kursi di DPRA hasil Pemilihan Umum Legislatif 2019 tersusun dari 15 partai, dengan perincian sebagai berikut:

Partai Politik Jumlah kursi DPRA dalam periode
2009-2014 2014-2019 2019-2024
Patriot 1
PKB 1   1   3
Gerindra 0   3   8
PDI-P 0   0   1
Golkar 8   9   9
PKS 4   4   6
PPP 4   6   6
PAN 5   7   6
Hanura 0   0   1
Demokrat 10   8   10
PBB 1   1   0
PKPI 1   1   1
Partai Aceh 33   29   18
Partai SIRA 0   0   1
PD Aceh 1   1   3
PNA (baru) 3   6
NasDem (baru) 8   2
Jumlah Anggota 69   81   81
Jumlah Partai 11   13   15

Demografi

Suku bangsa

Populasi historis
Tahun Jumlah
Pend.
  
±% p.a.  
1961 1.629.000—    
1971 2.008.595+2.12%
1980 2.611.271+2.96%
1990 3.416.156+2.72%
1995 3.847.583+2.41%
2000 3.930.905+0.43%
2010 4.494.410+1.35%
2015 4.993.385+2.13%
2020 5.274.871+1.10%
2021 5.333.733+1.12%
Sumber: Badan Pusat Statistik 2022.[47]

Aceh memiliki 12 suku bangsa asli. Yang terbesar adalah suku Aceh yang tersebar hampir merata di seluruh wilayah Aceh terutama mendiami wilayah pesisir mulai dari Langsa di pesisir timur utara sampai dengan Trumon di pesisir barat selatan. Suku terbesar kedua adalah suku Gayo yang mendiami wilayah Dataran Tinggi Gayo. Suku bangsa lainnya adalah suku Alas yang mendiami Kabupaten Aceh Tenggara, Melayu Tamiang di Aceh Tamiang, suku Aneuk Jamee di wilayah barat dan selatan, Suku Kluet di Aceh Selatan, dan suku Singkil di Kota Subulussalam dan Kabupaten Singkil.

Di wilayah kepulauan terdapat suku Devayan di Pulau Simeulue bagian selatan, suku Sigulai di utara Simeulue, suku Lekon di Alafan dan suku Haloban di Pulau Banyak.

Selain suku-suku asli, juga ditemui suku-suku pendatang seperti Jawa, Minang, Batak, Arab, Tionghoa, Tamil, Karo, dan Nias.

Hasil sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan hasil etnis suku-suku aceh sebagai berikut: Aceh, Gayo, Melayu, Batak, Jawa, Jamèë, Singkil, Devayan, Minangkabau, dan lain-lain[48] Namun sensus tahun 2000 ini dilakukan ketika Aceh dalam masa konflik sehingga tidak ada data yang pasti/akurat pada masa itu untuk mengetahui populasi per etnis masing-masing & persentasenya. Cakupannya hanya menjangkau kurang dari setengah populasi Aceh saat itu. Adapun urutan suku bangsa diatas hanya (perkiraan). Masalah paling serius dalam pencacahan ditemui di kabupaten Aceh Timur dan Aceh Utara, dan tidak ada data sama sekali yang dikumpulkan dari kabupaten Pidie. Ketiga kabupaten ini merupakan kabupaten dengan mayoritas etnis Aceh.[49]

Berdasarkan sensus 2010 di peroleh hasil 10 etnis bangsa terbesar di Aceh, yaitu:[50]

No Etnis Jumlah Persentase
1 Suku Aceh 3.160.728 71,72%
2 Suku Jawa 399.971 9,08%
3 Suku Gayo 322.996 7,33%
4 Suku Batak 147.295 3,34%
5 Suku Melayu Tamiang 95.152 2,16%
6 Suku Aneuk Jamee 62,838 1,43%
7 Suku Singkil 49.580 1,13%
8 Suku Minangkabau 46.600 1,04%
9 Suku Devayan 33.112 0,75%
10 Lain-lain 89.172 2,02%

Bahasa

 
Rambu peringatan tsunami dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Aceh

Bahasa daerah yang paling banyak penuturnya adalah bahasa Aceh yang dipakai oleh suku Aceh. Selain itu juga terdapat bahasa Gayo, Alas, Kluet, Singkil, Jamee dan Melayu Tamiang.

Di Simeulue terdapat 3 bahasa yaitu bahasa Devayan, Sigulai, dan Leukon. Selain itu juga terdapat bahasa Haloban di Pulau Banyak.

Beberapa bahasa daerah dari bagian Indonesia lainnya juga dipertuturkan oleh sebagian penduduk di Provinsi Aceh. Di antaranya, yaitu bahasa Jawa yang tersebar di berbagai wilayah transmigrasi di seluruh Aceh.[51]

Agama

Agama di Aceh (2010)[52]
Agama Persentase
Islam
  
98,21%
Kristen Protestan
  
1,14%
Kristen Katolik
  
0,21%
Buddha
  
0,14%
Konghucu
  
0,11%
Hindu
  
0,10%

Mayoritas penduduk Aceh menganut agama Islam dan Syariat Islam menjadi hukum positif di daerah istimewa Aceh. Agama lain yang dianut oleh penduduk Aceh adalah agama Kristen yang dianut oleh pendatang beretnis Batak, warga keturunan Tionghoa yang kebanyakan beretnis Hakka mayoritas menganut agama Buddha, sebagian memeluk Kristen, sedangkan sebagian lainnya menganut agama Konghucu, lalu ada agama Hindu yang dianut oleh pendatang beretnis Bali dan sebagian peranakan (Orang Keturunan India-Tamil/Hindi) yang cukup sedikit populasinya.[53][54]

Selain itu Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi yang lain, karena di Aceh Syariat Islam diberlakukan kepada sebagian besar warganya yang menganut agama Islam, berdasar UU No.18/2001.

GPIB di Banda Aceh
Vihara Dharma Bhakti di Banda Aceh
Gereja Katolik Hati Kudus di Banda Aceh
Kuil Palani Andawer di Banda Aceh

Pendidikan

 
Gedung rektor Unsyiah

Dalam hal pendidikan, sebenarnya provinsi ini mendapatkan status Istimewa selain dari D.I. Yogyakarta. Akan tetapi perkembangan yang ada tidak menunjukkan kesesuaian antara status yang diberikan dengan kenyataannya. Pendidikan di Aceh dapat dikatakan terpuruk. Salah satu yang menyebabkannya adalah konflik Aceh yang berkepanjangan, lalu musibah gempa dan tsunami serta penganaktirian oleh Pemerintah Pusat, dengan sekian ribu sekolah dan institusi pendidikan lainnya menjadi korban. Pada Ujian Akhir Nasional 2005 ada ribuan siswa yang tidak lulus dan terpaksa mengikuti ujian ulang.

Namun dalam beberapa tahun terakhir, Pemerintah Aceh melalui Dinas Pendidikan Aceh terus berusaha keras untuk mendongkrak dan membangkitkan taraf pendidikan di Aceh. Peningkatan mutu pendidikan merupakan upaya untuk mewujudkan "Aceh Caroeng / Aceh Hebat", sehingga pada Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) yang dilaksanakan pada tahun 2019 di Aceh tersebut dinyatakan sebagai satu dari tujuh provinsi di Indonesia yang menyelenggarakan UNBK 100 persen.[55]

Aceh juga memiliki sejumlah perguruan tinggi yaitu:

 
Tugu Darussalam yang menandakan pendirian Kopelma Darussalam

Perguruan tinggi negeri

Berikut adalah daftar perguruan tinggi negeri terkemuka yang ada di Aceh:

Perguruan tinggi swasta

Berikut adalah daftar perguruan tinggi swasta terkemuka yang ada di Aceh:

Budaya

 
Rintjong Aceh, senjata tradisional rakyat Aceh.
 
Rumoh Aceh, merupakan rumah adat suku Aceh di Museum Negeri Aceh.

Aceh merupakan kawasan yang sangat kaya dengan seni budaya lazimnya wilayah Indonesia lainnya.[58] Aceh mempunyai aneka kerajian, seni budaya yang khas seperti tari-tarian, dan budaya lainnya seperti:

Kerajinan

  • Tas Khas Aceh
  • Peci Khas Aceh
  • Peci Khas Gayo
  • Kasap Aceh
  • Kupiah Meukutob
  • Kerawang Gayo

Tradisi adat

  • Meuseuke Eungkot (sebuah tradisi di wilayah Aceh Barat)
  • Peusijuek (atau Tepung tawar dalam tradisi Melayu)

Senjata tradisional

Rencong adalah senjata tradisional bangsa Aceh, bentuknya menyerupai huruf L, dan bila dilihat lebih dekat bentuknya merupakan kaligrafi tulisan bismillah. Rencong termasuk dalam kategori belati.

Selain rencong, bangsa Aceh juga memiliki beberapa senjata khas lainnya, seperti sikin panyang, peurise awe, peurise teumaga, siwah, geuliwang dan peudeueng.

Rumah tradisional

Rumah tradisional Aceh dinamakan Rumoh Aceh. Rumah ini bertipe rumah panggung dengan 3 bagian utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian utama dari rumah Aceh yaitu seuramoë keuë (serambi depan), seuramoë teungoh (serambi tengah) dan seuramoë likôt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya yaitu rumoh dapu (rumah dapur).[59]

Tarian

 
Tari Seudati di Sama Langa tahun 1907
 
Tari Saman dari Gayo Lues

Aceh memiliki banyak tarian dari 9 etnis yang ada. Beberapa tarian yang terkenal di tingkat nasional dan bahkan dunia merupakan tarian yang berasal dari Aceh, seperti Tari Rateb Meuseukat dan Tari Saman.[60]

Beberapa tarian yang terkenal dari etnis Aceh adalah Seudati, Ratoh Duek, Rateb Meuseukat,Tari Likok Pulo, Pho, Ranup lam Puan, Rapa'i Geleng, Tarek Pukat, Tari Laweuët dan Rabbani Wahed.

Beberapa tarian yang terkenal dari etnis Gayo adalah Saman, Bines, Didong, Guel, dan Munalu. Tarian-tarian dari etnis lainnya adalah Ula-ula Lembing (Tamiang), Mesekat (Alas), Landok Sampot (Kluet), Dampeng (Singkil) dan Nandong (Simeulue).

Makanan khas

 
Mi Aceh tumis dengan kepiting

Aceh mempunyai aneka jenis makanan yang khas. Antara lain Timphan, Gulai Bebek, Kari Kambing yang lezat, Gulai Pliek U dan Meuseukat yang langka. Di samping itu Keurupuk Meuliëng asal Pidie yang terkenal gurih, Dodoi Sabang yang dibuat dengan aneka rasa, Bu Leukat Boh Driën (ketan durian), serta bolu manis asal Peukan Bada dan Ruti Samahani Aceh Besar juga bisa jadi andalan bagi Aceh.

Di Pidie Jaya terkenal dengan kue khas Meureudu yaitu Adè. Sedangkan di Aceh Utara lazim kita temukan kuliner khas lainnya yaitu Martabak Durian yang lezat. Kuliner Bireuen yang paling terkenal adalah Sate Matang yang merupakan sate daging sapi atau kambing yang dibakar yang pada awalnya berasal dari kota Matang Glumpang Dua.

Makanan khas Kota Langsa yang sangat terkenal hingga ke seluruh Indonesia adalah Sop Sumsum yaitu berupa sop tulang daging sapi yang berisi sumsum di dalam tulangnya dan tulang daging sapi tersebut telah dipotong untuk dapat dinikmati sumsumnya menggunakan sedotan atau menuangnya langsung ke atas piring. Sop Sumsum tulang daging sapi ini disajikan panas dengan potongan-potongan daging sapi yang diracik dengan sangat gurih dan lezat menggunakan racikan bumbu khas Aceh. Lalu ada Gulai Ikan Sembilang yang juga khas Kota Langsa.

Sedangkan di wilayah Kabupaten Aceh Singkil dan juga kota Subulussalam terdapat jenis camilan yang sangat digemari banyak orang. Makanan yang disebut dengan nama lompong sagu, sesuai namanya makanan ini berbahan dasar sagu yang dicampur dengan pisang, gula merah, dan garam. semua bahan tersebut kemudian dicampur, dan dibungkus dengan daun pisang, hampir mirip dengan lemper. setelah itu, dipanggang menggunakan kompor ataupun tungku. Makanan ini mudah ditemukan di wilayah Aceh Singkil maupun Kota Subulussalam. Sementara kuliner khas Aceh yang juga sangat terkenal bahkan hingga ke mancanegara adalah Mi Aceh, sejenis mi kuning basah yang diracik dengan bumbu khas nan pedas.

Iklim

Sebagai wilayah yang berada tidak jauh dari garis khatulistiwa, iklim di Aceh hampir seluruhnya tropis. Pada wilayah pesisir pantai suhu udara rata-rata 26,9 °C, suhu udara maksimum mencapai 32,5 °C dan minimum 22,9 °C. Kelembaban relatif daerah ini berkisar antara 70 dan 80 persen. Antara bulan Maret sampai Agustus Aceh mengalami fase musim kemarau, kondisi ini dipengaruhi oleh massa udara benua Australia. Sementara musim hujan berlangsung antara bulan September hingga Februari yang dihasilkan dari massa udara daratan Asia dan Samudra Pasifik. Aceh memiliki curah hujan yang bervariasi berkisar antara 1.500-2.500 mm per tahun.[61]

Data iklim Aceh
Bulan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Tahun
Humidex 5.65 4.53 3.61 3.13 4.02 5.38 5.01 5.42 4.64 4.01 4.14 5.71 5.71
Rata-rata harian °C (°F) 27.01
(80.62)
26.88
(80.38)
27.02
(80.64)
27.30
(81.14)
27.89
(82.2)
27.99
(82.38)
27.76
(81.97)
27.56
(81.61)
27.12
(80.82)
26.72
(80.1)
26.54
(79.77)
26.86
(80.35)
27.221
(80.998)
Presipitasi mm (inci) 256
(10.08)
114
(4.49)
117
(4.61)
139
(5.47)
143
(5.63)
84
(3.31)
95
(3.74)
90
(3.54)
161
(6.34)
200
(7.87)
225
(8.86)
321
(12.64)
−77
(−3.03)
Rata-rata hari hujan 8.5 5.9 7.8 8.8 12.4 10.3 9.2 10.6 12.5 15.5 14.3 12.7 128.5
Sumber: Gaisma.com[62]

Geografi

Aceh menempati wilayah ujung paling barat di pulau Sumatra dan Negara Indonesia, di mana titik terluar Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak di Pulau Rondo, sementara itu kilometer Nol Indonesia berada di pulau Weh. Secara geografis Aceh terletak antara 2°–6° lintang utara dan 95° – 98° lintang selatan dengan ketinggian rata-rata 125 meter di atas permukaan laut. Batas batas wilayah Aceh, sebelah utara dan timur berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah selatan adalah satu-satunya perbatasan darat dengan Sumatera Utara dan sebelah barat dengan Samudera Hindia.[63]

Luas Aceh 5.677.081 ha, dengan hutan sebagai lahan terluas yang mencapai 2.290.874 ha, diikuti lahan perkebunan rakyat seluas 800.553 ha. Sedangkan lahan industri mempunyai luas terkecil yaitu 3.928 ha. Cakupan wilayah Aceh terdiri dari 119 pulau, 35 gunung dan 73 sungai utama.[63]

Perekonomian

Sebelum bencana tsunami 26 Desember 2004, perikanan merupakan salah satu pilar ekonomi lokal di Aceh, menyumbangkan 6,5 persen dari Pendapatan Daerah Bruto (PDB) senilai 1,59 triliun pada tahun 2004 (Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh 2005). Potensi produksi perikanan tangkap mencapai 120.209 ton/tahun sementara perikanan budi daya mencapai 15.454 ton/tahun pada tahun 2003 (Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh 2004). Produksi perikanan tersebut merata, baik di Samudra Hindia maupun Selat Malaka.

Industri perikanan menyediakan lebih dari 100.000 lapangan kerja, 87 persen (87.783) di sub sektor perikanan tangkap dan sisanya (14.461) di sub sektor perikanan budi daya. Sekitar 53.100 orang menjadikan perikanan sebagai mata pencaharian utama. Namun, 60 persen adalah nelayan kecil menggunakan perahu berukuran kecil. Dari sekitar 18.800 unit perahu/kapal ikan di Aceh, hanya 7.700 unit yang mampu melaut ke lepas pantai. Armada perikanan tangkap berskala besar kebanyakan beroperasi di Aceh Utara, Aceh Timur, Bireuen, Aceh Barat dan Aceh Selatan.

 
Kerusakan akibat tsunami di Banda Aceh

Menurut Nurasa et al. (1993), nelayan Aceh sebagian besar menggunakan alat tangkap pancing (hook and line). Alat tangkap lain adalah pukat, jaring cincin (purse seine), pukat darat, jaring insang, jaring payang, jaring dasar, jala dan lain-lain.

Infrastruktur penunjang industri ini meliputi satu pelabuhan perikanan besar di Banda Aceh, 10 pelabuhan pelelangan ikan (PPI) utama di 7 kabupaten/kota dan sejumlah tempat pelelangan ikan (TPI) kecil di 18 kabupaten/kota. Selain itu terdapat 36.600 hektare tambak, sebagian besar tambak semi intensif yang dimiliki petambak bermodal kecil. Tambak-tambak ini tersebar di Aceh Utara, Pidie, Bireuen dan Aceh Timur.

Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Indonesia mengelola sebuah pusat pendidikan dan latihan (Pusdiklat) budi daya, sebuah pusat penelitian dan pengembangan (Puslitbang) budi daya, sebuah laboratorium uji mutu perikanan dan sebuah kapal latih. Di tiap kabupaten/kota, terdapat dinas perikanan dan kelautan. Total aset di sektor perikanan pra-tsunami mencapai sekitar Rp 1,9 triliun.

Pasca-tsunami 2004

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas (2005) memperkirakan 9563 unit perahu hancur atau tenggelam, termasuk 3969 (41,5%) perahu tanpa motor, 2369 (24,8%) perahu bermotor dan 3225 (33,7%) kapal motor besar (5-50 ton). Selain itu, 38 unit TPI rusak berat dan 14.523 hektar tambak di 11 kabupaten/kota rusak berat. Diperkirakan total kerugian langsung akibat bencana tsunami mencapai Rp 944.492,00 (50% dari nilai total aset), sedangkan total nilai kerugian tak langsung mencapai Rp 3,8 miliar. Sebagian besar kerugian berasal dari kerusakan tambak.

 
Kapal PLTD Apung yang dibawa oleh tsunami sampai ke darat

Kerusakan tambak budi daya tersebar merata. Bahkan di daerah yang tidak terlalu parah dampak tsunaminya (misalnya di Kabupaten Aceh Selatan), tambak-tambak yang tergenang tidaklah mudah diperbaiki dan digunakan kembali. Total kerugian mencapai Rp 466 miliar, sekitar 50 persen dari total kerugian sektor perikanan. Kerugian ekonomi paling besar berasal dari hilangnya pendapatan dari sektor perikanan (tangkap dan budi daya). Hilangnya sejumlah besar nelayan, hilang atau rusaknya sarana dan prasarana perikanan termasuk alat tangkap dan perahu serta kerusakan tambak menjadikan angka kerugian sedemikian besarnya.

Diperkirakan produksi perikanan di Aceh akan anjlok hingga 60 persen. Proses pemulihan diperkirakan membutuhkan waktu paling sedikit 5 tahun. Di subsektor perikanan tangkap, bahkan diduga perlu waktu lebih lama (sekitar 10 tahun), karena banyaknya nelayan yang hilang atau meninggal selain rusaknya sejumlah besar perahu atau alat tangkap. Berdasarkan asumsi tersebut, total kerugian yang mungkin terjadi hingga sektor ini pulih total dan kembali ke kondisi pra-tsunami diperkirakan mencapai Rp 3,8 triliun.

Perbankan

Saat ini Aceh sudah menerapkan Qanun Lembaga Keuangan Syariah untuk menguatkan sistem perbankan / keuangan syariah di Aceh, Qanun ini merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kegiatan lembaga keuangan dalam rangka mewujudkan ekonomi masyarakat Aceh yang adil dan sejahtera dalam naungan Syariat Islam. Sehingga semua sistem perbankan yang beroperasi di Aceh saat ini seluruhnya sudah sesuai dengan Qanun LKS. Saat ini di Aceh terdapat dua kantor Bank Indonesia, bank sentral Republik Indonesia, yang dibuka di Banda Aceh (kelas III) dan Lhokseumawe (kelas IV). Tugas Bank Indonesia yang terdiri dari bidang moneter, sistem pembayaran, dan perbankan. Di daerah-daerah tugas Bank Indonesia lebih dominan di bidang sistem pembayaran dan perbankan. Di bidang sistem pembayaran menyelenggarakan sistem kliring dan BI-RTGS dan di bidang perbankan mengawasi dan membina bank-bank agar beroperasi dengan sehat dan menguntungkan. Sistem perekonomian berbasis syariah saat ini sangat gencar dilaksanakan, apalagi Pemerintah Aceh telah mengubah Bank Aceh dari konvensional ke Bank Syariah.[64][65][66]

Industri dan energi

Pada awal 2018 direncanakan akan dibuka Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun Lhokseumawe yang menyerap 40.000 tenaga kerja, Selain itu Aceh memiliki sejumlah industri besar di antaranya:

Sumber Daya Alam

Pertambangan

Aceh memiliki banyak potensi bahan tambang dan mineral seperti minyak bumi, gas alam, emas, batubara dll. Berikut daftar beberapa bahan tambang yang terdapat di Aceh.[67]

No Bahan Tambang Potensi (ton) Sebaran utama
1 Batubara 476.800.000 Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Jaya, Singkil
2 Marmer 1.700.000.000 Aceh Jaya, Gayo Lues, Aceh Barat, Aceh Selatan
3 Timah hitam 8.000.000 Subulussalam, Tamiang, Gayo Lues
4 Emas 6.500 Nagan Raya, Aceh Barat, Aceh Jaya, Pidie, Aceh Tengah
5 Granit 900.000.000 Aceh Timur

Minyak dan gas bumi

Berikut adalah daftar wilayah kerja minyak dan gas bumi di Aceh beserta cadangannya.[68][69]

No Wilayah Kerja Luas Wilayah (km2) Status Cadangan
1 Blok A 1.512 Produksi 450 BCF gas alam[70]
2 Blok B 1.163 Produksi 18 TCF[71]. Sisa cadangan minyak bumi 3,343 MTSB, gas 104 BCSF
3 Lhokseumawe[72] 1.206,71 Produksi
4 Pase 920,02 Produksi 240 BCF
5 South Blok A 420,87 Eksplorasi
6 Andaman I 7.346 Eksplorasi 6 TCF[73]
7 Andaman II 7.399,85 Eksplorasi 6 TCF
8 Andaman III[74] 8.517 Eksplorasi 6 TCF[75]

Perikanan

Aceh memiliki potensi perikanan yang besar. Menurut data BPS tahun 2015, jumlah produksi perikanan laut sebesar 165.778 ton dan perikanan air tawar sebesar 1.569 ton.[76] Beberapa produk perikanan yang terkenal dari Aceh adalah lobster dari Simeulue, udang dan tuna.[77][78]

Pertanian

Pertanian adalah sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja di Aceh. Kontribusi Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor ini juga sangat tinggi, mencapai 30 persen. Aceh merupakan salah satu provinsi dengan surplus produksi padi. Pada tahun 2018 produksi gabah Aceh mencapai 2,5 juta ton, sementara kebutuhan lokal hanya 1,1 juta ton Gabah Kering Panen (GKP).[79] Namun produksi ini menurun drastis pada tahun 2023, di mana produksi gabah hanya mencapai 1,4 juta ton.[80]

Hasil perkebunan utama Aceh meliputi kelapa sawit, kopi, kakao, dan nilam.[81]. Produksi kopi Aceh pada tahun 2023 menduduki posisi keempat nasional dengan jumlah 71.000 ton.[82] Pusat perkebunan kopi di Aceh terdapat di di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah dengan total luas perkebunan mencapai 114.000 hektar.[83]

Luas perkebunan sawit di Aceh pada tahun 2023 menduduki peringkat ke-9 nasional dengan luas mencapai 478,10 ribu hektar dengan produksi 1 juta ton.[84] [85] Sentra perkebunan kelapa sawit di Aceh terletak di wilayah barat selatan.

Pariwisata

 
Pantai Lampuuk
 
Benteng Indra Patra di Ladong, Aceh Besar

Aceh memiliki banyak tujuan tempat wisata terutama wisata alam, sejarah dan islami. Dengan garis pantai yang cukup panjang, beberapa gugus kepulauan, dan luas cakupan hutan yang besar, Aceh menawarkan banyak pilihan wisata yang menarik bagi wisatawan dalam dan luar negeri.

Wisata alam

Salah satu wisata alam yang terkenal di Aceh adalah wisata pantai seperti dapat ditemui di Sabang, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Selatan, Simeulue dan Pulau Banyak. Beberapa pantai pasir putih yang terkenal misalkan Pantai Lampuuk di Aceh Besar dan Pantai Pasi Saka di Aceh Jaya. Wisata alam lainnya yang terkenal adalah wisata daerah pegunungan seperti di Tangse dan Dataran Tinggi Gayo. Selain itu Aceh juga dikenal dengan cakupan hutan yang masih cukup lestari seperti Cagar Alam Ulu Masen, Taman Nasional Gunung Leuser dan Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Beberapa satwa endemis Sumatra masih lazim ditemukan di Aceh seperti orangutan, gajah, harimau dan badak.

Wisata sejarah

Sebagai wilayah yang paling awal dimasuki Islam di Kepulauan Asia Tenggara, Aceh memiliki sangat banyak tempat wisata sejarah Islam yang sangat penting seperti makam sultan kesultanan Islam pertama di Asia Tenggara yaitu Sultan Malikussaleh. Selain itu sebagai bekas wilayah kesultanan Islam paling berpengaruh di Asia Tenggara, terdapat sangat banyak peninggalan bersejarah terutama batu nisan yang tersebar di seluruh wilayah Aceh.

Transportasi

Transportasi darat

Perhubungan darat umum di Aceh dapat dijangkau dengan bus dan minibus. Setiap kabupaten dan kota di Aceh memiliki terminal. Jalur tol yang sudah dibangun adalah jalur Banda Aceh-Sigli.

Transportasi laut

Berikut ini merupakan daftar pelabuhan-pelabuhan yang ada di Aceh :

  1. Pelabuhan Malahayati, Aceh Besar.
  2. Pelabuhan Internasional Samudera Pasai, Krueng Geukuh, Aceh Utara.[86]
  3. Pelabuhan Internasional Langsa[87]
  4. Pelabuhan Arun, Lhokseumawe
  5. Pelabuhan Internasional Sabang
  6. Pelabuhan Internasional Aceh Tamiang[88]
  7. Pelabuhan Ulèë Lheuë, Banda Aceh.
  8. Pelabuhan Jetty, Meulaboh.
  9. Pelabuhan Ferry Labuhan Haji, Aceh Selatan.
  10. Pelabuhan Sinabang, Simeulue.
  11. Pelabuhan Ferry Singkil, Aceh Singkil.
  12. Pelabuhan Ferry Susoh, Aceh Barat Daya.
  13. Pelabuhan Teluk Surin, Aceh Barat Daya.

Transportasi udara

Berikut ini merupakan daftar bandar udara yang ada di Aceh :

  1. BTJBandar Udara Internasional Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar
  2. LSWBandar Udara Malikussaleh, Aceh Utara
  3. MEQBandar Udara Cut Nyak Dhien, Nagan Raya
  4. SNBBandar Udara Lasikin, Sinabang
  5. SBGBandar Udara Maimun Saleh, Sabang
  6. TXEBandar Udara Rembele, Bener Meriah
  7. SKLBandar Udara Syekh Hamzah Fansyuri, Singkil
  8. TPKBandar Udara Teuku Cut Ali, Tapaktuan
  9. LSXBandar Udara Lhoksukon, Aceh Utara
  10. KJXBandar Udara Kuala Batu, Aceh Barat Daya

Stasiun kereta api

Sejarah awal Kereta Api di Aceh sudah dimulai sejak era kolonial Belanda. Pada tahun 1876 KNIL mulai membangun jalur kereta Api Aceh atau saat itu dikenal dengan Atjeh Tram yang mulai beroperasi dari tahun 1882 hingga 1942 dan sempat berubah namanya menjadi Atjeh Staatsspoorwegen (ASS) pada tahun 1916. Saat ini Kereta Api Aceh berada dibawah PT. Kereta Api Indonesia Divisi Regional I Sumatera Utara dan Aceh. Kereta Api Cut Meutia (sebelumnya bernama Kereta Api Perintis Aceh) adalah kereta api yang melayani perjalanan Stasiun Krueng GeukuhStasiun Kutablang.

Berikut ini merupakan daftar Stasiun Kereta Api yang ada di Aceh :

  1. (KRG)–Stasiun Krueng Geukueh
  2. (BKH)–Stasiun Bungkaih
  3. (KRM)–Stasiun Krueng Mane
  4. (GRU)–Stasiun Geurugok
  5. (KKG)–Stasiun Kutablang

Tokoh dari Aceh

Pahlawan

 
Cut Nyak Dien ketika akan ditangkap Belanda

Suku Aceh merupakan suku yang gigih dalam mempertahankan kemerdekaannya. Kegigihan perang Suku Aceh, dapat dilihat dan dibuktikan oleh sejumlah pahlawan (baik pria maupun wanita), serta bukti-bukti lainnya (empat jenderal Belanda tewas dalam perang Aceh, serta kuburan Kerkoff Peucut yang pernah mencatat rekor sebagai kuburan Belanda terluas di luar Negeri Belanda).

Pahlawan perempuan

Pahlawan pria

Tokoh asal Aceh

Referensi

  1. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-10-14. Diakses tanggal 2019-10-14. 
  2. ^ a b "Provinsi Aceh Dalam Angka 2022" (pdf). www.aceh.bps.go.id. hlm. 64. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-12-22. Diakses tanggal 22 Desember 2022. 
  3. ^ a b c d "Visualisasi Data Kependudukan - Kementerian Dalam Negeri 2024" (Visual). www.dukcapil.kemendagri.go.id. Diakses tanggal 25 Juli 2024. 
  4. ^ "Indeks Pembangunan Manusia (Umur Harapan Hidup Hasil Long Form SP2020), 2023-2024". www.bps.go.id. Badan Pusat Statistik. (15 November 2024). Diakses tanggal 16 November 2024. 
  5. ^ "Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) 2021" (pdf). acehprov.go.id. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-11-26. Diakses tanggal 26 November 2021. 
  6. ^ "Rincian Dana Transfer Umum T.A 2024 Menurut Provinsi/Kabupaten/Kota" (PDF). www.djpk.kemenkeu.go.id. (2024). Diakses tanggal 18 Oktober 2024. 
  7. ^ "Buku Alokasi dan Rangkuman Kebijakan Transfer Ke Daerah T.A 2024 Provinsi Aceh". djpk.kemenkeu.go.id. hlm. 21. Diakses tanggal 18 Oktober 2024. 
  8. ^ "Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-12-25. Diakses tanggal 2011-02-01. 
  9. ^ a b How An Escape Artist Became Aceh's Governor, Time Magazine, Feb. 15, 2007
  10. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-07-25. Diakses tanggal 2013-03-28. 
  11. ^ United Nations. Economic and social survey of Asia and the Pacific 2005. 2005, page 172
  12. ^ Peraturan Gubernur Aceh Nomor 46 Tahun 2009 tentang Penggunaan Sebutan Nama Aceh dan Gelar Pejabat Pemerintahan dalam Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Aceh tertanggal 7 April 2009, dalam Pergub tersebut ditegaskan bahwa sebutan Daerah Otonom, Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Nomenklatur dan Papan Nama Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA), Titelatur Penandatangan, Stempel Jabatan dan Stempel Instansi dalam Tata Naskah Dinas di lingkungan Pemerintah Aceh, diubah dan diseragamkan dari sebutan/nomenklatur "Nanggroe Aceh Darussalam" ("NAD") menjadi sebutan/nomenklatur "Aceh". Ini dilakukan sambil menunggu ketentuan dalam Pasal 251 UU Pemerintahan Aceh yang menyatakan bahwa nama Aceh sebagai provinsi dalam sistem NKRI, akan ditentukan oleh DPRA hasil Pemilu 2009. Lihat pula https://web.archive.org/web/20090415110657/http://acehprov.go.id/
  13. ^ "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1956 Tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara" (PDF). Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2019-07-11. Diakses tanggal 2019-10-14. 
  14. ^ "Situs Loyang Mendale – BALAI ARKEOLOGI SUMATERA UTARA". balarsumut.kemdikbud.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-29. Diakses tanggal 2023-01-29. 
  15. ^ Ajis, Ambo Asse (2018-01-30). "RAMNI—ILAMURIDESAM: KERAJAAN ACEH PRA-SAMUDERA PASAI". Berkala Arkeologi SANGKHAKALA. 20 (2): 79. doi:10.24832/bas.v20i2.280. ISSN 2580-8907. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-25. Diakses tanggal 2022-01-25. 
  16. ^ Shadiqin, Sehat Ihsan: Tasawuf Aceh, Bandar Publishing, Cet-II, 2009.
  17. ^ Azra, Azyumardi: Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara, Jakarta, Prenata Media, 2006
  18. ^ Shadiqin, Sehat Ihsan (2009)
  19. ^ Ibid
  20. ^ Azhari, P. I., dkk. (2013). Abdurrakhman, ed. Kesultanan Serdang: Perkembangan Islam pada Masa Pemerintahan Sulaiman Shariful Alamsyah (PDF). Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. hlm. 31. ISBN 978-602-8766-81-4. 
  21. ^ Kawilarang, Harry: Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki, Bandar Publishing, Banda Aceh-Cet. III, 2010
  22. ^ ibid
  23. ^ Ningsih, Widya Lestari (2021-08-23). Nailufar, Nibras Nada, ed. "Perang Aceh: Penyebab, Tokoh, Jalannya Pertempuran, dan Akhir". Kompas.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-02-09. Diakses tanggal 2022-01-20. 
  24. ^ Parinduri, Alhidayath. "Sejarah Perang Aceh: Kapan, Penyebab, Proses, Tokoh, & Akhir". Tirto.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-20. Diakses tanggal 2022-01-20. 
  25. ^ Adryamarthanino, Verelladevanka (2021-12-16). Ningsih, Widya Lestari, ed. "Sebab Khusus Terjadinya Perang Aceh". Kompas.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-20. Diakses tanggal 2022-01-20. 
  26. ^ Razali, Habil. "10 Januari 1903: Sultan Aceh Dipaksa Tunduk ke Belanda, tapi Perang Tak Usai". Kumparan. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-02-09. Diakses tanggal 2022-01-20. 
  27. ^ Razali, Habil. "7 November 1942: Perang Pertama Rakyat Nusantara Melawan Jepang Meletus di Aceh". Kumparan. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-20. Diakses tanggal 2022-01-20. 
  28. ^ Al Chaidar. Gerakan Aceh Merdeka
  29. ^ Priyasmoro, Muhammad Radityo (2020-12-04). Qodar, Nafiysul, ed. "4 Desember 1976: Perlawanan Hasan Tiro dan Lahirnya Gerakan Aceh Merdeka". Liputan6.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-20. Diakses tanggal 2022-01-20. 
  30. ^ "Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2020-11-25. Diakses tanggal 2019-10-22. 
  31. ^ "Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 Tahun 2000 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam" (PDF). Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2019-10-22. Diakses tanggal 2019-10-22. 
  32. ^ "UU 44-1999::Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh". ngada.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-02-02. Diakses tanggal 2019-02-01. 
  33. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-12-14. Diakses tanggal 2019-02-01. 
  34. ^ detikcom, Tim. "Miliki 26 Kewenangan Khusus, Aceh Diminta Bekerja Maksimal". detikcom. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-02-09. Diakses tanggal 2019-02-01. 
  35. ^ "Undang-undang Pemerintahan Aceh" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2020-06-02. Diakses tanggal 2019-10-21. 
  36. ^ "Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 137 Tahun 2017 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan". Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 Desember 2018. Diakses tanggal 3 Oktober 2019. 
  37. ^ "Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Permendagri nomor 137 Tahun 2017 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan". Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 25 Oktober 2019. Diakses tanggal 15 Januari 2020. 
  38. ^ "Penduduk Indonesia Menurut Desa 2010" (PDF). Diakses tanggal 12 Juni 2018. 
  39. ^ "Perka BPS no.55 tahun 2017" (PDF). Diakses tanggal 12 Juni 2018. 
  40. ^ "Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh". aceh.bps.go.id. Diakses tanggal 2020-07-22. 
  41. ^ "Zulfadhli Pimpin DPR Aceh - Acehkini.ID". 2023-10-19. Diakses tanggal 2024-01-01. 
  42. ^ Network, AJNN net-Aceh Journal National (2024-09-30). "76 Anggota DPRA Resmi Dilantik, Lima Mundur Maju Pilkada 2024". AJNN.net. Diakses tanggal 2024-10-06. 
  43. ^ Abdul (2024-09-30). "Pelantikan Anggota DPR Aceh Periode 2024—2029 Berjalan Aman dan Kondusif". Tribratanews Polda Aceh. Diakses tanggal 2024-10-06. 
  44. ^ Setyadi, Agus. "76 dari 81 Anggota DPR Aceh Dilantik, 5 Jadi Calon Kepala Daerah". detiksumut. Diakses tanggal 2024-10-06. 
  45. ^ Pasal 111 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
  46. ^ "Ini Daftar Lengkap Caleg DPR RI Dapil Aceh yang Lolos ke Senayan". Rencongpost.com. 2019-05-13. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-09-14. Diakses tanggal 2019-10-08. 
  47. ^ "Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh". aceh.bps.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-05. Diakses tanggal 2023-08-05. 
  48. ^ Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape. Institute of Southeast Asian Studies. 2003. ISBN 9812302123. 
  49. ^ "Changing Ethnic Composition: Indonesia 2000-2010" (PDF). Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2020-10-30. Diakses tanggal 2015-01-08. 
  50. ^ Aris Ananta, Evi Nurvidya Arifin, M. Sairi Hasbullah, Nur Budi Handayani, dan Agus Pramono (2015). Demography of Indonesia’s Ethnicity. Institute of Southeast Asian Studies dan BPS – Statistics Indonesia. hlm. 98. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-24. 
  51. ^ Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. "Bahasa di Provinsi Aceh". Bahasa dan Peta Bahasa. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-05-15. Diakses tanggal 2021-02-10. 
  52. ^ "Agama di Indonesia Menurut Sensus BPS 2010". sp2010.bps.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-06-18. Diakses tanggal 2020-08-22. 
  53. ^ "Statistik Umat Menurut Agama di Indonesia". Kementerian Agama Republik Indonesia. 15 Mei 2018. Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 September 2020. Diakses tanggal 23 April 2021. 
  54. ^ "Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut Indonesia". BPS. 15 Mei 2010. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-12-29. Diakses tanggal 29 September 2020. 
  55. ^ ACEHKINI, Tim. "Prestasi Pendidikan Aceh di Level Nasional". Kumparan. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-02-23. Diakses tanggal 2020-02-23. 
  56. ^ Safrina. "Umuslim Kembali Dinobatkan sebagai PTS Terbaik Aceh". acehprov.go.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-02-24. 
  57. ^ "15 Lulusan Angkatan Perdana Universitas Bumi Persada Diwisuda dengan Predikat Cum Laude". Serambinews.com. Diakses tanggal 2024-02-24. 
  58. ^ "Mengenal Lebih Dalam Seni Budaya Aceh". penalis.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-05-11. Diakses tanggal 2021-03-02. 
  59. ^ Hairumini, Hairumini; Setyowati, Dewi Liesnoor; Sanjoto, Tjaturahono Budi (2017-08-09). "Kearifan Lokal Rumah Tradisional Aceh sebagai Warisan Budaya untuk Mitigasi Bencana Gempa dan Tsunami". Journal of Educational Social Studies (dalam bahasa Inggris). 6 (1): 37–44. ISSN 2502-4442. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-10-21. Diakses tanggal 2019-10-21. 
  60. ^ "Macam Macam Kebudayaan Aceh Lengkap Beserta Gambar dan Penjelasannya | Perpustakaan.id" (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-10-21. Diakses tanggal 2019-10-21. 
  61. ^ Profil Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam - Departemen Kehutanan RI[pranala nonaktif permanen]
  62. ^ "Aceh, Indonesia - Solar energy and surface meteorology". 08 March 2020. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-05-21. Diakses tanggal 2020-03-08. 
  63. ^ a b "Geografis Aceh". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-06-02. Diakses tanggal 2016-05-09. 
  64. ^ Arnani, Mela (2021-04-20). Hardiyanto, Sari, ed. "9 Hal yang Perlu Diketahui soal Qanun Aceh tentang Lembaga Keuangan Syariah". Kompas.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-10-07. Diakses tanggal 2021-10-07. 
  65. ^ "QANUN ACEH NOMOR 11 TAHUN 2018 – TENTANG LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH" (PDF). Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-10-07. Diakses tanggal 2021-10-07. 
  66. ^ Pratama, Lazuardi Imam. "Qanun LKS di Aceh dan Pentingnya Berlaku Adil Sejak dalam Pikiran". Kumparan. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-10-07. Diakses tanggal 2021-10-07. 
  67. ^ "Potensi Sektor Mineral, Batu Bara, Energi Air, Panas Bumi dan Migas di Provinsi Aceh" (PDF). Dinas ESDM Aceh. 2019. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-07-06. Diakses tanggal 2022-07-28. 
  68. ^ "Wilayah Kerja Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Minyak dan Gas Bumi di Aceh" (PDF). Provinsi Aceh. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-07-28. Diakses tanggal 2022-07-28. 
  69. ^ "Peta Wilayah Kerja Migas Aktif di Aceh" (PDF). Provinsi Aceh. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-09-10. Diakses tanggal 2022-07-28. 
  70. ^ "Profil Blok A – Badan Pengelola Migas Aceh" (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-28. Diakses tanggal 2022-07-28. 
  71. ^ Amelia, Anggita Rezki (2016-04-22). "Pertamina Gandeng Pemprov Aceh Perpanjang Kontrak 2 Blok Migas". Katadata. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-10. Diakses tanggal 2022-07-28. 
  72. ^ "Profil Lhokseumawe – Badan Pengelola Migas Aceh" (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-28. Diakses tanggal 2022-07-28. 
  73. ^ "Potensi Migas di Aceh Masih Menjanjikan". Kementerian ESDM. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-08-06. Diakses tanggal 2022-07-28. 
  74. ^ "Profil Andaman III – Badan Pengelola Migas Aceh" (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-28. Diakses tanggal 2022-07-28. 
  75. ^ "Reviu Informasi Strategis Energi dan Mineral Harian, 26 Juli 2022 – Laporan Harian KESDM" (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-28. Diakses tanggal 2022-07-28. 
  76. ^ "Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh". aceh.bps.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-06. Diakses tanggal 2022-09-06. 
  77. ^ Adrian, Roderick (ed.). "Budidaya Lobster Kualitas Ekspor". Kompas.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-09-23. Diakses tanggal 2019-09-23. 
  78. ^ Suryatmojo, Heru Dwi. "Udang Vaname di Aceh Barat tembus pasar internasional". ANTARA News. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-09-23. Diakses tanggal 2019-09-23. 
  79. ^ humas.acehprov.go.id https://humas.acehprov.go.id/sektor-pertanian-paling-banyak-serap-tenaga-kerja/. Diakses tanggal 2024-06-20.  Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)
  80. ^ ZULKARNAINI (2024-02-08). "Produksi Padi di Aceh Turun Jauh, Ketahanan Pangan Limbung". kompas.id. Diakses tanggal 2024-06-20. 
  81. ^ Agro Industri DPMPTSP Aceh
  82. ^ "10 Provinsi Penghasil Kopi Terbesar 2023, Mayoritas dari Sumatera | Databoks". databoks.katadata.co.id. Diakses tanggal 2024-06-20. 
  83. ^ "Sumatera Selatan Jadi Provinsi dengan Perkebunan Kopi Terluas Nasional 2023 | Databoks". databoks.katadata.co.id. Diakses tanggal 2024-06-20. 
  84. ^ Indonesia, Badan Pusat Statistik. "Luas Tanaman Perkebunan Menurut Provinsi - Tabel Statistik". www.bps.go.id. Diakses tanggal 2024-06-20. 
  85. ^ Indonesia, Badan Pusat Statistik. "Produksi Tanaman Perkebunan - Tabel Statistik". www.bps.go.id. Diakses tanggal 2024-06-20. 
  86. ^ bakri. "Impor via Krueng Geukueh Aktif Lagi". Tribunnews.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-13. Diakses tanggal 2019-04-13. 
  87. ^ Zubir. "Menteri ATR Resmikan Pelabuhan Kuala Langsa Sebagai Pelabuhan International". Tribunnews.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-13. Diakses tanggal 2019-04-13. 
  88. ^ Wiguna, Rahmad. "Pembangunan Pelabuhan Internasional Aceh Tamiang Berawal dari Bisnis Ilegal". Tribunnews.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-01-03. Diakses tanggal 2020-01-03. 
  89. ^ Razali, Habil. "Mengenal Pahlawan Nasional dari Aceh". Kumparan. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-01-25. Diakses tanggal 2020-01-25. 

Lihat pula

Pranala luar

5°33′N 95°19′E / 5.550°N 95.317°E / 5.550; 95.317