Gugusan (Buddhisme)

Konsep tentang komponen penyusun suatu makhluk dalam Buddhisme
(Dialihkan dari Pancakhandha)

Dalam Buddhisme, gugusan, gugus, atau agregat (Pali: khandha; Sanskerta: स्कन्ध, skandha), juga dikenal sebagai lima gugusan (pañcakkhandha) dan lima gugus pelekatan (pañcupādānakkhandhā), merujuk pada faktor-faktor batin dan jasmani (nāmarūpa) yang menjadi komponen penyusun suatu makhluk dan berperan dalam munculnya nafsu kehausan dan kemelekatan. Istilah ini juga mungkin diterjemahkan sebagai "kumpulan, kelompok, tumpukan".[1] Semua gugusan ini tunduk pada tiga sifat eksistensi (trilaksana), yaitu ketidakkekalan, penderitaan, dan tanpa atma.

Terjemahan dari
gugusan
Indonesiagugusan, gugus, agregat
Inggrisaggregate, mass, heap, cluster
Palikhandha
Sanskertaस्कन्ध (skandha)
Tionghoa(T) / (S)
(Pinyinyùn)
Jepang
(rōmaji: un)
Korea
(RR: on)
Mongoliaᠴᠣᠭᠴᠠᠰ
Tibetanཕུང་པོ་
(phung po)
Bengaliস্কন্ধ (skawndhaw)
Myanmarခန္ဓာ (ငါးပါး)။
(MLCTS: kʰàɰ̃dà)
Thaiขันธ์
VietnamNgũ uẩn
Khmerបញ្ចក្ខន្ធ
(UNGEGN: pănhchăkkhăn)
Shanၶၼ်ႇထႃႇ
([khan2 thaa2])
Sinhalaස්කන්ධ (skandha)
Daftar Istilah Buddhis

Lima gugusan tersebut adalah:[2][3][4][5]

  1. gugusan materi (Pali: rūpakkhandha; Sanskerta: rūpa-skandha)
  2. gugusan perasaan (Pali: vedanākkhandha; Sanskerta: vedanā-skandha)
  3. gugusan persepsi atau pencerapan (Pali: saññākkhandha; Sanskerta: saṃjñā-skandha)
  4. gugusan formasi-formasi batin atau pemikiran (Pali: saṅkhārakkhandha; Sanskerta: saṃskāra-skandha)
  5. gugusan kesadaran (Pali: viññāṇakkhandha; Sanskerta: vijñāna-skandha)

Dalam aliran Theravāda, penderitaan muncul ketika seseorang mengidentifikasi atau melekat pada gugusan pembentuk kehidupan. Penderitaan ini dipadamkan dengan melepaskan kemelekatan pada gugusan-gugusan tersebut. Baik aliran Theravāda maupun Mahayana menegaskan bahwa semua gugusan pada hakikatnya kosong dari keberadaan yang independen dan bahwa gugusan kehidupan ini bukan merupakan “diri” atau “roh” dalam bentuk apa pun.

Dalam interpretasi belakangan yang muncul dari ajaran terkait esensialisme dalam aliran Sarvāstivāda, gugusan juga dijelaskan sebagai lima faktor yang membentuk dan menjelaskan pribadi dan kepribadian makhluk hidup.[6][7][8] Dalai Lama ke-14, pengikut aliran Gelug dalam Buddhisme Tibet, menganut interpretasi ini.[9]

Theravāda

sunting
 Lima Gugusan (pañcakkhandha)
sesuai dengan Tripitaka Pali.
 
 
materi (rūpa)
  4 unsur
(mahābhūta)
   
   
   
      
kontak
(phassa)


    
 
kesadaran
(viññāṇa)

 
 
 
 
 



 
 
 
  faktor mental (cetasika)  
 
perasaan
(vedanā)

 
 
 
persepsi
(saññā)

 
 
 
formasi
(saṅkhāra)

 
 
 
 
 Sumber: MN 109 (Thanissaro, 2001)  |  rincian diagram

Dalam Tripitaka Pali, Sang Buddha menjelaskan lima gugusan:

  1. "materi" (rūpa):[note 1] materi, jasmani, atau "wujud material" dari makhluk atau eksistensi apa pun.[10][11] Kitab Buddhis menyatakan bahwa rūpa setiap orang, makhluk hidup, dan objek tersusun dari empat unsur pokok: tanah (padat), air (kohesi), api (panas), dan angin (gerakan).[7]
  2. "perasaan" (vedanā): pengalaman sensoris terhadap suatu objek.[7] Umumnya antara menyenangkan, tidak menyenangkan, atau netral.[note 2][note 3]
  3. "persepsi" atau "pencerapan" (saññā):[note 4] proses sensoris dan mental yang mencatat, mengenali, dan memberi label (misal: bentukan pohon, warna hijau, emosi takut).[11]
  4. "formasi-formasi batin" atau "pemikiran" (saṅkhāra): "aktivitas yang membangun",[11] "hal-hal yang terkondisi", "kehendak", "aktivitas karma atau perbuatan"; semua jenis jejak mental dan pengondisian yang dipicu oleh suatu objek,[12][13][note 5] termasuk proses apa pun yang membuat seseorang memulai tindakan atau bertindak.[11]
  5. "kesadaran" (viññāṇa): "pemisahan" atau "ketajaman"[note 6]. Kesadaran akan suatu objek dan pemisahan antara komponen dan aspeknya, umumnya ada enam jenis, sebagaimana diutarakan Peter Harvey.[11] Kepustakaan Buddhis menjelaskan istilah khandha (gugusan) sebagai,
    1. Dalam Nikāya: tanda khas,[14][note 7] yang membedakan.[15][note 8]
    2. Dalam Abhidhamma: serangkaian tindakan kesadaran yang saling berhubungan dan berubah dengan cepat.[note 9]

Kelompok materi

sunting

Gugusan materi

sunting

Materi diidentifikasi sebagai dua puluh delapan rūpa dalam bentuk dhātu (unsur-unsur) yang terdiri atas empat unsur pokok dan dua puluh delapan unsur turunan.[16] Empat unsur pokok tersebut:

  1. Unsur tanah atau padatan (pathavī-dhātu)
  2. Unsur air atau aliran (āpa-dhātu)
  3. Unsur api atau panas (teja-dhātu)
  4. Unsur udara atau angin (vāyu-dhātu)

Kelompok batin

sunting

Gugusan perasaan

sunting

Dalam skema Sutta Piṭaka, diuraikan tiga jenis perasaan:[17]

  1. Perasaan suka (sukha-vedanā)
  2. Perasaan duka (dukkha-vedanā)
  3. Perasaan netral (upekkhā-vedanā) atau bukan-suka-bukan-duka (adukkhamasukha)

Dalam skema Abhidhamma Piṭaka, diuraikan lima jenis perasaan:[18][17]

  1. Perasaan suka (sukha-vedanā): perasaan nikmat yang muncul dengan bergantung pada sensitivitas-tubuh
  2. Perasaan sukacita (somanassa-vedanā): perasaan menyenangkan yang muncul murni di batin dan tidak bergantung pada sensitivitas-tubuh
  3. Perasaan duka (dukkha-vedanā): perasaan duka yang muncul dengan bergantung pada sensitivitas-tubuh
  4. Perasaan dukacita (domanassa-vedanā): perasaan duka yang muncul murni di batin dan tidak bergantung pada sensitivitas-tubuh
  5. Perasaan netral (upekkhā-vedanā) atau bukan-suka-bukan-duka (adukkhamasukha)

Gugusan persepsi

sunting

Dalam ajaran Abhidhamma, persepsi diidentifikasi sebagai suatu faktor mental universal, yaitu faktor mental yang muncul di segala jenis kesadaran—baik maupun buruk. Ashin Kheminda menjelaskannya sebagai berikut:[17]

Nīlādibhedaṃ ārammaṇaṃ sañjānāti saññaṃ katvā jānātīti saññā.
Persepsi (adalah faktor-mental yang) mengetahui objek sebagai biru dan lain-lain. Setelah memberinya tanda (label), (kemudian) persepsi mengetahui atau mengenalinya.

— Terjemahan Vibhāvinīṭīkā oleh Ashin Kheminda

Dalam SN 22.79, Sang Buddha menjelaskan gugusan persepsi (saññā) sebagai berikut:

"Dan mengapa Anda menyebutnya 'persepsi'? Oleh karena ia memersepsikan, maka ia disebut 'persepsi'. Apa yang dipersepsikannya? Ia memersepsikan warna biru, ia memersepsikan warna kuning, ia memersepsikan warna merah, ia memersepsikan warna putih. Oleh karena ia memersepsikan, maka ia disebut persepsi."[19]

Gugusan formasi-formasi batin

sunting

Dalam pengertian aktif, saṅkhāra (atau saṅkhāra-khandha) mengacu pada kemampuan batin yang menciptakan bentukan-bentukan batin. Gugusan ini adalah bagian dari ajaran tentang hukum Kemunculan Bersebab (paṭiccasamuppāda).[20][21] Dalam pengertian ini, istilah saṅkhāra adalah kehendak atau niat yang aktif secara karma, yang menghasilkan kelahiran kembali dan memengaruhi alam kelahiran kembali.[20] Saṅkhāra di sini sinonim dengan karma, dan mencakup tindakan melalui tubuh, ucapan, dan batin.[20][22]

Saṅkhāra-khandha menyatakan bahwa makhluk hidup terlahir kembali (bhava, keberadaann) melalui perbuatan melalui tubuh dan ucapan (kamma).[23] Sang Buddha menyatakan bahwa semua bentukan kehendak dikondisikan oleh ketidaktahuan (avijjā) tentang ketidakkekalan dan tanpa-diri.[24][25] Ketidaktahuan inilah yang mengarah pada asal mula saṅkhāra dan akhirnya menyebabkan penderitaan manusia (dukkha).[26] Penghentian semua saṅkhāra tersebut (sabba-saṅkhāra-nirodha) mengarah pada dengan pencapaian Nirwana. Akhir dari Kemunculan Bersebab dalam pengertian karma (saṅkhāra) menghasilkan fenomena (dhamma) Nirwana yang tidak terkondisi.[27]

Dari sudut pandang tradisi Abhidhamma, saṅkhāra-khandha mencakup faktor-faktor mental (Pali: cetasika) sebagai formasi-formasi (Pali: saṅkhāra), termasuk faktor-mental kehendak (cetanā), yang hadir bersamaan dengan kesadaran (Pali: citta).[28][29][30] Faktor-faktor mental dapat digambarkan sebagai aspek batin yang memahami kualitas suatu objek, dan memiliki kemampuan untuk mewarnai batin.[31] Dalam pengertian ini, saṅkhāra-khandha merujuk pada semua faktor mental kecuali faktor-mental perasaan dan faktor-mental persepsi. Faktor-mental perasaan sudah diwakilkan oleh gugusan perasaan (vedanākkhandha), dan faktor-mental persepsi sudah diwakilkan oleh gugusan persepsi (saññākkhandha).[32]

Gugusan kesadaran

sunting

Dalam SN 22.79, Sang Buddha membedakan kesadaran (viññāṇa) dari gugusan lainnya dengan cara berikut:

"Dan mengapakah, para bhikkhu, engkau menyebutnya kesadaran? ‘Ia mengenali,’ para bhikkhu, oleh karena itu disebut kesadaran. Dan apakah yang ia kenali? Ia mengenali rasa asam, ia mengenali rasa pahit, ia mengenali rasa pedas, ia mengenali rasa manis, ia mengenali rasa sangat pedas, ia mengenali rasa lembut, ia mengenali rasa asin, ia mengenali lunak. ‘Ia mengenali,’ para bhikkhu, oleh karena itu disebut kesadaran."[33]

Demikian pula, dalam sebuah kitab komentar abad ke-5 Masehi, Visuddhimagga, terdapat analogi yang diperluas tentang seorang anak, seorang penduduk desa dewasa, dan seorang "penukar uang" ahli yang melihat setumpuk koin; pengalaman anak tersebut diibaratkan sebagai persepsi (saññā), pengalaman penduduk desa (dewasa) diibaratkan sebagai kesadaran (viññāṇa), dan pengalaman penukar uang diibaratkan sebagai pemahaman sejati (paññā).[34]

Dari sudut pandang tradisi Abhidhamma, gugusan kesadaran (viññāṇakkhandha) merujuk pada citta ("kesadaran"). Menurut Abhidhamma, suatu citta tidak dapat muncul tanpa cetasika ("faktor mental") penyertanya, yang juga merupakan saṅkhārakkhandha.[32] Citta adalah peristiwa kesadaran, yaitu peristiwa yang "mengetahui" atau "menyadari" suatu objek. Citta ini tidak pernah muncul dengan sendirinya, tetapi selalu memiliki kehendak atau niat (yakni memiliki objek atau arah kognitif).[35] Dalam tafsir Abhidhamma, citta (sinonim dengan viññāṇa) didefinisikan dalam tiga cara utama:[35]

  1. Melalui agen (kattu-sādhana): “Kesadaran adalah sesuatu yang mengenali suatu objek.”
  2. Melalui sarana (karaṇa-sādhana): “Kesadaran adalah sesuatu yang melaluinya faktor-faktor mental yang menyertainya mengenali objek.”
  3. Dari segi aktivitas atau cara kerjanya (bhāva-sādhana): “Kesadaran hanyalah tindakan mengenali objek.” Definisi ini adalah satu-satunya yang “dikatakan valid dari sudut pandang terdalam” (nippariyayato), karena, secara tegas, kesadaran bukanlah suatu benda, tetapi suatu aktivitas atau proses.

Tradisi Abhidhamma

sunting

Aliran-aliran Buddhis awal mengembangkan analisis dan tinjauan terperinci tentang ajaran-ajaran yang ditemukan dalam sutta, yang kemudian disebut sebagai Abhidharma. Setiap aliran mengembangkan versi Abhidharma-nya sendiri. Salah satu versi Abhidhamma yang paling terkenal adalah Abhidhamma Theravāda, tetapi Abhidharma aliran Sarvāstivāda secara historis sangat berpengaruh, dan sebagian telah dilestarikan dalam kitab Āgama berbahasa Tionghoa.

Hubungan nāmarūpa, khandha, dan Abhidhamma[32]
Kelompok Khandha
(gugusan)
Abhidhamma Theravāda
Āyatana
(landasan indra)
Paramattha-sacca
(realitas hakiki)
Internal Eksternal
dhamma
saṅkhāra
rūpa
(materi)
rūpa-
(materi)
cakkhu
(mata)
rūpa/vaṇṇa
(materi/warna)
28 rūpa
(materi)
4 unsur pokok
24 unsur turunan
sota
(telinga)
sadda
(suara)
ghāna
(hidung)
gandha
(ganda/bau)
jivhā
(lidah)
rasa
(rasa)
kāya
(tubuh)
phoṭṭabba
(sentuhan)
-
dhamma
(objek batin)
nāma
(batin)
vedanā-
(perasaan)
-
52 cetasika
(faktor mental)
7 universal
6 sesekali
14 tidak baik
25 indah
saññā-
(persepsi)
saṅkhāra-
(formasi mental)
viññāṇa-
(kesadaran)
mana
(batin)
-
89/121 citta
(kesadaran)
81 duniawi
8/40 adiduniawi
-
-
Nibbāna
(Nirwana)

Empat realitas hakiki

sunting

Tradisi Abhidhamma Theravāda dan kepustakaan Pali pascakanonis mengenalkan skema untuk konsep Sutta Pitaka tentang gugusan (khandha), landasan indra (saḷāyatana), dan unsur (dhātu).[36] Skema tersebut dikenal sebagai paramattha sacca (realitas hakiki) yang mencakup tiga fenomena terkondisi (rūpa, citta, dan cetasika) dan satu fenomena tidak terkondisi (Nirwana) (lihat tabel di atas):

Enam landasan indra

sunting

Landasan indra internal dan eksternal bersama-sama membentuk "enam landasan indra". Dalam uraian ini, yang ditemukan dalam teks-teks seperti Saḷāyatana Saṁyutta (SN 35), pertemuan antara sebuah objek dan organ indra menghasilkan munculnya kesadaran (viññāṇa) yang sesuai.

Menurut Bhikkhu Bodhi, aliran Theravāda mengajarkan bahwa enam landasan indra menampung “semua faktor kehidupan”; enam landasan indra adalah “segalanya”, dan “tanpanya tidak ada sesuatu pun yang ada”,[37] dan “kosong (suñña) dari suatu diri dan dari apa yang menjadi milik diri”.[38][note 10]

Sutta-sutta tidak menjelaskan enam landasan indra sebagai alternatif sudut pandang untuk lima gugusan. Tradisi Abhidhamma, berusaha menjabarkan "sistem tunggal yang menyeluruh",[40] secara eksplisit menghubungkan lima gugusan dan enam landasan indra (lihat tabel di atas):[40]

  • Lima landasan indra eksternal pertama (wujud materi yang tampak, suara, bau, rasa, dan sentuhan), dan lima landasan indra internal pertama (mata, telinga, hidung, lidah, dan tubuh) merupakan bagian dari gugusan materi;
  • Objek indra batin (yaitu, objek-objek batin) dapat disamakan dengan empat gugusan pertama (materi, perasaan, persepsi, dan formasi);
  • Organ indra mental (batin) dapat disamakan dengan gugusan kesadaran.

Bodhi menyatakan bahwa enam landasan indra menggambarkan sudut pandang “vertikal” dari pengalaman manusia, sedangkan lima gugusan menggambarkan sudut pandang “horizontal” (temporal).[41] Praktik meditasi Buddhis Theravāda yang berfokus pada landasan indra ditujukan untuk menghilangkan kognisi yang terdistorsi, seperti yang dipengaruhi oleh nafsu kehausan, kesombongan, dan pandangan salah, serta "mencabut [akar] semua pengotor batin dalam segala bentuk turunannya".[42]

Delapan belas unsur

sunting

Delapan belas dhātu ("unsur")[note 11]–enam landasan eksternal, enam landasan internal, dan enam kesadaran–berfungsi melalui lima gugusan. Dhātu-dhātu ini dapat diatur menjadi enam kelompok tiga-serangkai, masing-masing tiga-serangkai terdiri dari objek indra, organ indra, dan kesadaran indra.[note 12]

Diagram: Enam Kelompok Enam
sesuai Tripitaka Pali:
 
  landasan indra (āyatana)  
 
 
perasaan vedanā
   
 
 
nafsu kehausantaṇhā
   
  organ
indra
"internal"
<–> objek
indra
"eksternal"
 
 
kontak (phassa)
   
kesadaran (viññāṇa)
 
 
 
  1. Enam landasan indra internal adalah mata, telinga, hidung, lidah, tubuh, dan batin/mental.
  2. Enam landasan indra eksternal adalah materi, suara, ganda, rasa, sentuhan, dan objek mental.
  3. Kesadaran sesuai muncul dengan bergantung pada sebuah landasan indra internal dan landasan indra eksternal.
  4. Kontak adalah pertemuan dari suatu landasan indra internal, landasan indra eksternal, dan kesadaran.
  5. Perasaan bergantung pada kontak.
  6. Nafsu kehausan bergantung pada perasaan.
 Sumber: MN 148 (Thanissaro, 1998)    rincian diagram
Delapan belas unsur dari landasan indra internal-eksternal
No. Unsur indra
(indriya-dhātu)
No. Unsur objek
(ārammaṇa-dhātu)
No. Unsur kesadaran
(viññāṇa-dhātu)
1. unsur mata
(cakkhudhātu)
7. bantuk materi [visual]
(rūpadhātu)
13. kesadaran mata
(cakkhuviññāṇadhātu)
2. unsur telinga
(sotadhātu)
8. suara
(saddadhātu)
14. kesadaran telinga
(sotaviññāṇadhātu)
3. unsur hidung
(ghānadhātu)
9 ganda/bau
(gandhadhātu)
15. kesadaran hidung
(ghānaviññāṇadhātu)
4. unsur lidah
(jivhādhātu)
10. rasa
(rasadhātu)
16. kesadaran lidah
(jivhāviññāṇadhātu)
5. unsur tubuh
(kāyadhātu)
11. sentuhan
(phoṭṭhabbadhātu)
17. kesadaran tubuh
(kāyaviññāṇadhātu)
6. unsur batin
(manodhātu)
12. objek mental
(dhammadhātu)
18. kesadaran batin
(manoviññāṇadhātu)

Dua belas nidāna

sunting
  12 Nidāna:  
Ketidaktahuan
Formasi
Kesadaran
Batin-&-Jasmani
Enam Indra
Kontak
Perasaan
Nafsu Kehausan
Kemelekatan
Keberadaan
Kelahiran
Tua & Mati
 

Dua belas nidāna adalah daftar linier dari dua belas unsur dari ajaran Buddha yang muncul bergantung pada mata rantai sebelumnya. Meskipun daftar ini dapat diartikan sebagai penjelasan proses yang menimbulkan kelahiran kembali, pada hakikatnya daftar tersebut menjelaskan munculnya dukkha ("penderitaan, ketidaknyamanan") sebagai proses psikologis, tanpa melibatkan suatu atma.[44]

Beberapa cendekiawan menganggapnya sebagai sintesis lanjutan dari beberapa daftar yang sudah ada sebelumnya.[45] Empat mata rantai pertama mungkin merupakan ejekan terhadap kosmogoni kitab-kitab Weda dari agama Brahmanisme, seperti yang dijelaskan dalam Himne Penciptaan Weda X, 129, dan kitab Upanisad Brihadaranyaka.[46] Daftar ini diintegrasikan dengan daftar bercabang yang menggambarkan pengondisian proses batin,[47] mirip dengan daftar lima gugusan.[48] Kemudian, daftar bercabang ini berkembang menjadi rantai dua-belas-serangkai standar sebagai daftar linier.[47]

Menurut Boisvert, "fungsi masing-masing gugusan, dalam urutannya masing-masing, dapat dihubungkan langsung dengan hukum Kemunculan Bersebab—terutama dengan delapan mata rantai tengah."[49] Empat dari lima gugusan disebutkan secara eksplisit dalam urutan tersebut, namun dalam urutan yang berbeda dari daftar lima gugusan, yang diakhiri dengan viññāṇa ("kesadaran"):[50]

  • formasi batin (saṅkhāra) mengondisikan kesadaran (viññāṇa)
  • yang mengondisikan batin-dan-jasmani (nāma-rūpa)
  • yang mengondisikan sebab-sebab (saḷāyatana, phassa) dari pengondisian perasaan (vedanā)
  • yang pada gilirannya mengondisikan nafsu kehausan (taṇhā) dan pelekatan (upādāna)
  • yang pada akhirnya menyebabkan “seluruh kumpulan penderitaan” (kevalassa dukkhakkhandha).[note 13]

Hubungan antara model lima gugusan dari sudut pandang sebab-langsung dan model dua belas nidāna dari sudut pandang pengondisian-pengondisiannya terlihat jelas, misalnya penjelasan terkait peran penting yang dimiliki oleh formasi mental dalam kemunculan dan penghentian penderitaan.[note 14]

Landasan perhatian-penuh

sunting

Perhatian penuh diterapkan pada empat upassanā (ranah atau landasan), "terus-menerus mengamati pengalaman indrawi untuk mencegah munculnya nafsu kehausan yang akan mengarah pada kelahiran kembali,"[51] yang juga serupa dengan model lima gugusan. Keempat landasan perhatian-penuh tersebut adalah:[52]

Menurut Grzegorz Polak, empat upassanā telah disalahpahami oleh beberapa aliran Buddhis, termasuk Theravāda, sebagai empat landasan yang berbeda. Menurut Polak, empat upassanā tidak merujuk pada empat landasan yang berbeda yang harus diketahui, tetapi merupakan deskripsi alternatif dari jhāna ("penyerapan meditatif"), yang menggambarkan cara saṅkhāra ("formasi batin") ditenangkan:[57]

  • enam landasan indra yang perlu disadari (kāyānupassanā);
  • perenungan terhadap vedanā, yang muncul karena adanya kontak antara indra dan objeknya (vedanānupassanā);
  • keadaan kesadaran yang berubah yang disebabkan oleh praktik ini (cittānupassanā);
  • perkembangan dari lima rintangan menuju tujuh faktor kecerahan (dhammānupassanā).

Mahāyāna

sunting

Mahāyāna berkembang secara individual dari aliran-aliran tradisional dengan memperkenalkan kitab-kitab baru dan memberi penekanan lain dalam ajarannya, khususnya śūnyatā dan tekad Bodhisatwa.

Ajaran Prajnaparamita berkembang sejak abad pertama SM dan seterusnya. Ajaran ini menekankan "kekosongan" dari segala sesuatu yang ada. Hal ini berarti bahwa tidak ada "esensi" yang ada secara kekal karena segala sesuatu berasal dari ketergantungan. Skandha ("gugusan") juga berasal dari ketergantungan sebab-sebab tersebut, dan tidak memiliki keberadaan yang substansial. Menurut Red Pine, teks Prajnaparamita merupakan reaksi historis terhadap beberapa Abhidharma aliran Buddhis awal. Secara khusus, ini merupakan respons terhadap ajaran aliran Sarvāstivāda bahwa "fenomena" atau unsur-unsurnya merupakan suatu realitas.[58] Gagasan Prajnaparamita tentang "kekosongan" juga konsisten dengan tradisi Abhidhamma Theravāda.[perlu dijelaskan][butuh rujukan]

Ajaran tentang gugusan diformulasikan dalam Sutra Hati. Versi bahasa Sanskerta dari "Prajnaparamita Hridaya Sutra" ("Sutra Hati"), yang mungkin telah disusun di Tiongkok dari teks-teks berbahasa Sanskerta, dan kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Sanskerta,[note 15] menyatakan bahwa kelima skandha itu kosong dari keberadaan diri,[59][note 16][note 17][note 18] dan menyatakan kalimat "bentuk adalah kosong, kosong adalah bentuk.[59] Hal yang sama berlaku dengan perasaan, persepsi, formasi mental, dan kesadaran." yang terkenal.[60]

Aliran Madhyamaka menguraikan gagasan Jalan Tengah. Teks yang menjadi dasar dari gagasan tersebut adalah Mūlamadhyamakakārikā, yang ditulis oleh Nagarjuna, yang membantah konsepsi aliran Sarvāstivāda tentang realitas, yang menganggap dharma ("fenomena") sebagai kenyataan.[61] Tidak bertemunya titik tengah antara penolakan atas keberadaan objektif atas suatu ātman ("Diri") dan penerimaan objektif atas keberadaan skandha ("gugusan") secara bersamaan telah dipandang oleh beberapa pemikir Buddhis Mahāyāna sebagai sesuatu yang sangat bermasalah.[62]

Aliran Yogacara menganalisis lebih lanjut cara kerja batin, menguraikan konsep nāma-rūpa (keterkaitan "batin-dan-jasmani") dan lima skandha, dan mengembangkan ajaran yang dinamakan sebagai Delapan Kesadaran.

Tiongkok

sunting

Śūnyatā, dalam kitab-kitab berbahasa Tionghoa, adalah "Wu" (Hanzi: 無; Pinyin: Wú), kekosongan.[63][64] Dalam teks-teks tersebut, hubungan antara sesuatu yang absolut dan relatif merupakan[butuh klarifikasi] ajaran Buddha. Gugusan-gugusan berperan sebagai media untuk mengalami pengalaman-pengalaman relatif (atau konvensional, bukan Absolut) dunia dari sudut pandang seorang individu, meskipun kebenaran Absolut juga disadari melalui gugusan-gugusan tersebut. Mengomentari Sutra Hati, D.T. Suzuki mencatat:

Ketika sutra mengatakan bahwa kelima Skandha memiliki karakter kekosongan..., maknanya adalah: tidak ada kualitas pembatas yang dapat dikaitkan dengan Yang Absolut; sementara Ia ada di dalam semua objek konkret dan khusus, Ia tidak dapat didefinisikan dengan sendirinya.[65]

Sutra Tathāgatagarbha, yang membahas tentang Benih Kebuddhaan, berkembang di India, tetapi juga memainkan peranan penting di Tiongkok. Sutra ini terkadang berbicara tentang skandha Buddha yang tak terlukiskan (di luar hakikat skandha duniawi dan di luar pemahaman duniawi). Dalam Sutra Mahayana Mahaparinirvana (versi Mahāyana dari teks Pali Mahāparinibbāna Sutta yang isinya berbeda satu sama lain), Buddha menceritakan tentang bagaimana skandha Buddha sebenarnya abadi dan tidak berubah. Skandha Buddha dikatakan tidak dapat dipahami oleh penglihatan yang belum tercerahkan.

Aliran Vajrayana selanjutnya mengembangkan konsep gugusan yang terkait dengan epistemologi mahamudra dan penerimaan secara objektif atas tantra.

Mengacu pada ajaran mahamudra, Chogyam Trungpa[66] mengidentifikasi gugusan materi sebagai "pemadatan" ketidaktahuan (Skt.: avidyā), yang memungkinkan seseorang untuk memiliki ilusi bahwa ia "memiliki" kebijaksanaan yang selalu dinamis dan luas (Skt.: vidyā), dan dengan demikian menjadi dasar terciptanya pandangan terkait hubungan dualistik antara "Diri" dan "selain Diri".[note 19]

Menurut Trungpa Rinpoche,[67] lima gugusan adalah "seperangkat konsep Buddhis yang menggambarkan pengalaman [realitas] sebagai proses yang terdiri dari lima langkah" dan bahwa "seluruh pengembangan lima gugusan... adalah upaya kita untuk melindungi diri kita dari kebenaran terkait sesuatu yang tidak memiliki realitas [secara objektif] dari diri kita," sementara "praktik meditasi adalah untuk melihat transparansi tameng-tameng [merujuk pada 'sesuatu yang tidak memiliki realitas'] ini."[68]

Trungpa Rinpoche menulis (2001, hal.38):

Sebagian dari rincian ikonografi tantra dikembangkan dari Abhidharma [yaitu, dalam konteks ini, analisis terperinci tentang gugusan]. Berbagai warna dan perasaan dari kesadaran tertentu ini, emosi tertentu itu, terwujud dalam dewa tertentu yang mengenakan kostum ini dan itu, dengan warna tertentu, memegang tongkat kerajaan tertentu di tangannya. Rincian itu sangat erat kaitannya dengan individualitas dari proses psikologis tertentu.

Dalam interpretasi yang muncul dari ajaran terkait esensialisme dalam aliran Sarvāstivāda, gugusan juga dijelaskan sebagai lima faktor yang membentuk dan menjelaskan pribadi dan kepribadian makhluk hidup.[6][7][8] Dalai Lama ke-14, pengikut aliran Gelug dalam Buddhisme Tibet, menganut interpretasi ini.[9]

Lihat pula

sunting

Catatan

sunting
  1. ^ In Rawson (1991: p.11), the first skandha is defined as: "name and form (Sanskrit nāma-rūpa, Tibetan gzugs)...". In the Pali literature, nāma-rūpa traditionally refers to the first four aggregates, as opposed to the fifth aggregate, consciousness.
  2. ^ The Pali canon universally identifies that vedana involves the sensing or feeling of something as pleasant, unpleasant or neutral (see, for instance, SN 22). When contemporary authors elaborate on vedana, they define it similarly (see, for instance, Nhat Hanh, 1999, p. 178; Trungpa, 2001, p. 21; and, Trungpa, 2002, p. 126). The one exception is in Trungpa (1976), pp. 20-23, where he states that the "strategies or impluses" of "indifference, passion and aggression" are "part of the third stage [aggregate]," "guided by perception." (This section of Trungpa, 1976, is anthologized in Trungpa, 1999, pp. 55-58.)
  3. ^ Generally, vedanā is considered to not include "emotions." For example, Bodhi (2000a), p. 80, writes: "The Pali word vedanā does not signify emotion (which appears to be a complex phenomenon involving a variety of concomitant mental factors), but the bare affective quality of an experience, which may be either pleasant, painful or neutral." Perhaps somewhat similarly, Trungpa (1999), p.58, writes: "Consciousness [the fifth aggregate] consists of emotions and irregular thought patterns...."
  4. ^ Some translate this term as perception although this is typically the translation of pratyakṣa meaning the apprehension of sensibilia and not any subsequent judgement concerning them. The English word conception is more accurate, although this implies less a process and more the static end result (the mental state of holding a concept)), hence discrimination is preferred.
  5. ^ The Theravada Abhidhamma divides saṅkhāra into fifty mental factors (Bodhi, 2000a, p. 26). Trungpa (2001), pp. 47ff, following the Sarvastivada Abhidharma studied in Mahayana Buddhism, states that there are fifty-one "general types" of samskara.
  6. ^ Peter Harvey, The Selfless Mind. Curzon Press 1995, page 143-146.
  7. ^ In commenting on the use of "consciousness" in SN 22.3 [1], Bodhi (2000b), pp. 1046-7, n. 18, states: "The passage confirms the privileged status of consciousness among the five aggregates. While all the aggregates are conditioned phenomena marked by the three characteristics, consciousness serves as the connecting thread of personal continuity through the sequence of rebirths.... The other four aggregates serve as the 'stations for consciousness' (vinnanatthitiyo: see [SN] 22:53-54). Even consciousness, however, is not a self-identical entity but a sequence of dependently arisen occasions of cognizing; see MN I 256-60."
  8. ^ Harvey writes, "This is in contrast to saññā, which knows by grouping things together, labeling them. This contrast can be seen in terms of the typical objects of these states: colours for saññā (S.III.87), but tastes (S.III.87) or feelings (M.I.292) for viññāṇa. While colours usually be immediately identified, tastes and feelings often need careful consideration to properly identify them: discernment and analysis are needed."
  9. ^ This conception of consciousness is found in the Theravada Abhidhamma (Bodhi, 2000a, p. 29).
  10. ^ According to Bikkhu Bodhi, the Maha-punnama Sutta, also called The Great Full-moon Night Discourse, describes the impermanence of the aggregates to assert that there is no self, and the right discernment is, "this is not mine, this is not my self, this is not what I am". From Maha-punnama Sutta

    [Buddha:] "It's possible that a senseless person — immersed in ignorance, overcome with craving — might think that he could outsmart the Teacher's message in this way: 'So — form is not-self, feeling is not-self, perception is not-self, fabrications are not-self, consciousness is not-self. Then what self will be touched by the actions done by what is not-self?' Now, monks, haven't I trained you in counter-questioning with regard to this & that topic here & there? What do you think — Is form constant or inconstant?" "Inconstant, lord." "And is that which is inconstant easeful or stressful?" "Stressful, lord." "And is it fitting to regard what is inconstant, stressful, subject to change as: 'This is mine. This is my self. This is what I am'?"
    [Monks:] "No, lord."
    "... Is feeling constant or inconstant?" "Inconstant, lord."...
    "... Is perception constant or inconstant?" "Inconstant, lord."...
    "... Are fabrications constant or inconstant?" "Inconstant, lord."...
    "What do you think, monks — Is consciousness constant or inconstant?" "Inconstant, lord." "And is that which is inconstant easeful or stressful?" "Stressful, lord." "And is it fitting to regard what is inconstant, stressful, subject to change as: 'This is mine. This is my self. This is what I am'?"
    "No, lord."
    "Thus, monks, any form whatsoever that is past, future, or present; internal or external; blatant or subtle; common or sublime; far or near: every form is to be seen as it actually is with right discernment as: 'This is not mine. This is not my self. This is not what I am.'

    – Majjhima Nikaya iii 15, Translated by Thanissaro Bhikkhu[39]

  11. ^ The Pāli word dhātu is used in multiple contexts in the Pāli canon: For instance, Bodhi (2000b), pp. 527–28, identifies four different ways that dhātu is used including in terms of the "eighteen elements" and in terms of "the four primary elements" (catudhātu).
  12. ^ * The first five sense organs (eye, ear, nose, tongue, body) are derivates of form.
      • The sixth sense organ (mind) is part of consciousness.
    • The first five sense objects (visible forms, sound, smell, taste, touch) are also derivatives of form.
      • The sixth sense object (mental object) includes form, feeling, perception and mental formations.
    • The six sense consciousnesses are the basis for consciousness.[43]
  13. ^ Put another way, it is through the five skandhas that clinging occurs. See, for instance, the Samadhi Sutta (SN 22:5) (Thanissaro, 2006b).
  14. ^ The apparent distinctions between the nidana model and the khandha model are reduced when, instead of using the twelve-nidana model of the Samyutta Nikaya, chapter 12 (e.g., Thanissaro, 1997d), one compares the nine-nidana model of the Maha-nidana Sutta (DN 15) (Thanissaro, 1997a) where consciousness conditions name-and-form and name-and-form conditions consciousness.
  15. ^ According to Nattier (1992), the Heart Sutra was originally composed in Chinese and later back-translated into Sanskrit. Thereafter, it became popular in India and later Tibet. Elements in this translation are not present in Chinese versions of this sutra.
  16. ^ See also Nhat Hanh (1988), p. 1, and Suzuki (1960), p. 26. Nhat Hanh (1988) adds to this first verse the sentence: "After this penetration, he overcame all pain." Suzuki (1960), p. 29, notes that this additional sentence is unique to Hsuan-chuang's translation and is omitted in other versions of the Heart Sutra.
  17. ^ In the Theravada canon, the English word "self-existence" is a translation of the Sanskrit word svabhava. "Svabhava" has also been translated as "self-nature" (Suzuki, 1960, p. 26), "separate self" (Nhat Hanh, 1988, p. 16) and "self-existence" (Red Pine 2004, hlm. 67). Note that Chinese versions of the Heart Sutra do not contain the notion of svabhava. When "emptiness of self" is mentioned, the English word "self" is a translation of the Pali word "atta" (Sanskrit, "atman").
  18. ^ Regarding the term sabhāva (Pali; Skt: svabhāva) in the Pali Canon, Gal (2003), p. 7, writes: "To judge from the suttas, the term sabhāva was never employed by the Buddha and it is rare in the Pali Canon in general. Only in the post-canonical period does it become a standard concept, when it is extensively used in the commentarial descriptions of the dhammas [conditioned mental and physical processes] and in the sub-commentarial exegesis.
    The term sabhāva, though, does occur on various occasions in five canonical or para-canonical texts: the Paṭisambhidāmagga, the Peṭakopadesa, the Nettippakaraṇa, the Milindapañha and the Buddhavaṃsa."
    Gal (p. 10) speculates that the use of the term sabhāva in the Paṭisambhidāmagga might be the earliest occurrence in Pali literature and quotes (p. 7, esply. n. 28) from this text (Paṭis. II 178) the application of the phrase sabhāvena suññaṃ (Pali for "empty of sabhāva") to each of the aggregates—at least superficially similar to an application of svabhāva in the Prajnaparamita Hridaya Sutra ("Heart Sutra") cited in this article.
  19. ^ This type of analysis of the aggregates (where ignorance conditions the five aggregates) might be akin to that described by the Twelve Nidanas.

Referensi

sunting
  1. ^ Thomas William Rhys Davids; William Stede (1921). Pali-English Dictionary. Motilal Banarsidass. hlm. 232–234. ISBN 978-81-208-1144-7. 
  2. ^ Steven M. Emmanuel (2015). A Companion to Buddhist Philosophy. John Wiley & Sons. hlm. 587–588. ISBN 978-1-119-14466-3. 
  3. ^ Skandha Encyclopædia Britannica (2013)
  4. ^ Karunamuni ND (May 2015). "The Five-Aggregate Model of the Mind". SAGE Open. 5 (2): 215824401558386. doi:10.1177/2158244015583860 . 
  5. ^ Kheminda, Ashin. "Ceramah berseri: Anattalakkhaṇa Sutta". Dhammavihārī Buddhist Studies. Diakses tanggal 2024-08-22. 
  6. ^ a b Robert E. Buswell Jr.; Donald S. Lopez Jr. (2013). The Princeton Dictionary of Buddhism. Princeton University Press. hlm. 708, 721–723, 827–828. ISBN 978-1-4008-4805-8. 
  7. ^ a b c d Harvey 2013, hlm. 55.
  8. ^ a b Steven M. Emmanuel (2015). A Companion to Buddhist Philosophy. John Wiley & Sons. hlm. 193, 232–233, 421–425. ISBN 978-1-119-14466-3. 
  9. ^ a b The Tibetan Book of the Dead. Diterjemahkan oleh Dorje, Gyurnme; Coleman, Graham; Jinpa, Thupten. Introductory commentary by the 14th Dalai Lama (edisi ke-First American). New York: Viking Press. 2005. hlm. xiii. ISBN 0-670-85886-2. 
  10. ^ Steven M. Emmanuel (2015). A Companion to Buddhist Philosophy. John Wiley & Sons. hlm. 587–588. ISBN 978-1-119-14466-3. 
  11. ^ a b c d e Harvey 2013, hlm. 56-57.
  12. ^ David J. Kalupahana (1992). A History of Buddhist Philosophy: Continuities and Discontinuities. University of Hawaii Press. hlm. 71–72. ISBN 978-0-8248-1402-1. 
  13. ^ Thomas William Rhys Davids; William Stede (1921). Pali-English Dictionary. Motilal Banarsidass. hlm. 664–665. ISBN 978-81-208-1144-7. 
  14. ^ See, for instance, SN 22.79, "Being Devoured" (Bodhi, 2000b, p. 915).
  15. ^ Peter Harvey, The Selfless Mind. Curzon Press 1995, page 143-146
  16. ^ Kheminda, Ashin (2019-05-01). Manual Abhidhamma: Bab 6 Materi. Yayasan Dhammavihari. ISBN 978-623-95936-1-2. 
  17. ^ a b c Kheminda, Ashin (2019-09-01). Manual Abhidhamma: Bab 2 Faktor-Faktor-Mental. Yayasan Dhammavihari. ISBN 978-623-94342-7-4. 
  18. ^ Kheminda, Ashin (2017-09-01). Manual Abhidhamma: Bab 1 Kesadaran. Yayasan Dhammavihari. ISBN 978-623-94342-6-7. 
  19. ^ Khajjaniya Sutta ("Chewed Up," SN 22.29) (Thanissaro, 2001a). Regarding SN 22.79's typifying perception (saññā) through visual colors and consciousness (viññāa) through assorted tastes, Bodhi (2000b, p. 1072, n. 114) mentions that the Samyutta Nikaya's subcommentary states that perception grasps appearances and shapes while consciousness "can grasp particular distinctions in an object even when there is no appearance and shape."
  20. ^ a b c Bhikkhu Bodhi (2005). The Connected Discourses of the Buddha: A New Translation of the Samyutta Nikaya. Simon & Schuster. hlm. 45–47. ISBN 978-0-86171-973-0. 
  21. ^ William S Waldron (2003). The Buddhist Unconscious: The Alaya-vijñana in the Context of Indian Buddhist Thought. Routledge. hlm. 19–23. ISBN 978-1-134-42886-1. 
  22. ^ William S Waldron (2003). The Buddhist Unconscious: The Alaya-vijñana in the Context of Indian Buddhist Thought. Routledge. hlm. 16–18. ISBN 978-1-134-42886-1. 
  23. ^ See, for instance, SN 12.2 (Thanissaro, 1997b), where the Buddha states: 'And what are fabrications? These three are fabrications: bodily fabrications, verbal fabrications, mental fabrications. These are called fabrications.'
  24. ^ William S Waldron (2003). The Buddhist Unconscious: The Alaya-vijñana in the Context of Indian Buddhist Thought. Routledge. hlm. 10. ISBN 978-1-134-42886-1. 
  25. ^ Mathieu Boisvert (1995). The Five Aggregates: Understanding Theravada Psychology and Soteriology. Wilfrid Laurier University Press. hlm. 93–98. ISBN 978-0-88920-257-3. 
  26. ^ William S Waldron (2003). The Buddhist Unconscious: The Alaya-vijñana in the Context of Indian Buddhist Thought. Routledge. hlm. 190–191 notes 2–5, Chapter 1. ISBN 978-1-134-42886-1. 
  27. ^ William S Waldron (2003). The Buddhist Unconscious: The Alaya-vijñana in the Context of Indian Buddhist Thought. Routledge. hlm. 102. ISBN 978-1-134-42886-1. 
  28. ^ Guenther (1975), Kindle Location 321.
  29. ^ Kunsang (2004), p. 23.
  30. ^ Geshe Tashi Tsering (2006), Kindle Location 456.
  31. ^ Geshe Tashi Tsering (2006), Kindle Location 564-568.
  32. ^ a b c Kheminda, Ashin (2017-09-01). Manual Abhidhamma: Bab 1 Kesadaran. Yayasan Dhammavihari. hlm. 158. ISBN 978-623-94342-6-7. 
  33. ^ Khajjaniya Sutta ("Chewed Up", SN 22.29) (Thanissaro, 2001a). Diarsipkan March 3, 2016, di Wayback Machine.
  34. ^ Buddhaghosa (1999), pp. 435-6)
  35. ^ a b Karunadasa (2010), hal. 76.
  36. ^ Bodhi 2000a, hlm. 6.
  37. ^ Bodhi 2000b, hlm. 1122.
  38. ^ Bodhi 2000b, hlm. 1125-127.
  39. ^ Maha-punnama Sutta: The Great Full-moon Night Discourse, Thanissaro Bhikkhu (2001)
  40. ^ a b Bodhi 2000b, hlm. 1123.
  41. ^ Bodhi 2000b, hlm. 1122–23.
  42. ^ Bodhi 2000b, hlm. 1125–26.
  43. ^ Bodhi 2000a, hlm. 287–88.
  44. ^ Shulman 2007.
  45. ^ Frauwallner 1973, hlm. 167-168.
  46. ^ Jurewicz 2000.
  47. ^ a b Bucknell 1999.
  48. ^ Boisvert 1995.
  49. ^ Boisvert 1995, hlm. 127.
  50. ^ Boisvert 1995, hlm. 127–28.
  51. ^ Williams 2000, hlm. 46.
  52. ^ Kuan 2008, hlm. i, 9, 81.
  53. ^ (Pāli: kāya-sati, kāyagatā-sati; Skt. kāya-smṛti)
  54. ^ (Pāli vedanā-sati; Skt. vedanā-smṛti)
  55. ^ (Pāli citta-sati; Skt. citta-smṛti)
  56. ^ (Pāli dhammā-sati; Skt. dharma-smṛti)
  57. ^ Polak 2011, hlm. 153-156, 196-197.
  58. ^ Red Pine 2004, hlm. 9.
  59. ^ a b Red Pine 2004, hlm. 2.
  60. ^ Nhat Hanh (1988), p. 1. Again, also see Red Pine 2004, hlm. 2, and Suzuki (1960), p. 26.
  61. ^ Kalupahana (1975) p. 78
  62. ^ Jinpa (2002), p. 112.
  63. ^ Lai 2003.
  64. ^ Swanson 1993, hlm. 373.
  65. ^ Suzuki (1960), p. 29, n. 4.
  66. ^ Trungpa (2001) pp. 10–12; and, Trungpa (2002) pp. 124, 133–134
  67. ^ Trungpa Rinpoche (1976), pp. 20–22
  68. ^ Trungpa Rinpoche (1976), p. 23

Situs web

sunting
  1. ^ Salient sections of the Pāli canon on kāya-sati (kāya-gatā-sati): http://www.palikanon.com/english/wtb/g_m/kaaya_gata_sati.htm