Teori Keluar dari India

(Dialihkan dari Pribumi Aryanisme)

Teori Keluar dari India atau Teori Arya Pribumi adalah keyakinan[1] bahwa bangsa Arya adalah bangsa pribumi Anak Benua India,[2] dan bahasa-bahasa rumpun India-Eropa memencar dari satu tempat asal di India ke tempat-tempat aneka bahasa tersebut dituturkan dewasa ini.[2] Teori Arya Pribumi merupakan pandangan yang bersifat "agamawi-nasionalistis" terhadap sejarah bangsa India,[3][4] dan dikemukakan sebagai alternatif bagi model migrasi yang sudah umum,[5] yakni teori yang mendapuk stepa Pontus-Kaspia sebagai tempat asal bahasa-bahasa rumpun India-Eropa.[6][7][8][keterangan 1]

Bertolak dari pandangan-pandangan India tradisonal[3] yang berasaskan kronologi Purana, para indigenis mengusulkan pertanggalan yang lebih silam daripada pertanggalan yang sudah berterima umum untuk zaman Weda, serta mengetengahkan pandangan bahwa peradaban Lembah Sungai Sindu adalah peradaban zaman Weda. Menurut pandangan tersebut, "peradaban bangsa India harus dilihat sebagai suatu tradisi tak terputus yang dapat dirunut balik sampai kepada kurun waktu terawal dari tradisi Sindu-Saraswati (tahun 7000 atau 8000 Pramasehi)."[9]

Rata-rata dukungan bagi Teori Arya Pribumi datang dari sekalangan kecil sarjana India yang menekuni kajian agama Hindu, sejarah, dan arkeologi India,[10][11][12][13][5] serta memainkan peranan penting di kancah politik Hindutwa.[14][15][3][web 1][web 2] Teori ini tidak dihiraukan apalagi didukung di kalangan sarjana pada umumnya.[keterangan 2]

Latar belakang sejarah

sunting

Pandangan standar mengenai asal-usul bangsa India-Arya adalah Teori Migrasi India-Arya, yang mengatakan bahwa bangsa India-Arya masuk ke kawasan barat laut India sekitar tahun 1500 Pramasehi.[6] Kronologi Purana, yakni lini masa peristiwa sepanjang perjalanan sejarah bangsa India Kuno, sebagaimana diriwayatkan Mahabarata, Ramayana, dan pustaka-pustaka Purana, menghadirkan suatu kronologi yang jauh lebih silam bagi kebudayaan zaman Weda. Menurut kronologi Purana, susastra-susatra Weda diterima ribuan tahun silam, dan masa pemerintahan Manu Waiwaswate, yakni Manu untuk kalpa berjalan, leluhur umat manusia, diperkirakan bermula pada tahun 7350 Pramasehi.[16] Baratayuda, perang besar di Kurusetra yang menjadi latar Begawat Gita, susastra yang mungkin saja meriwayatkan peristiwa-peristiwa sungguhan di pusat Aryawarta sekitar tahun 1000 Pramasehi,[17][18] dipertanggal sekitar tahun 3100 Pramasehi di dalam kronologi ini.

Bertolak dari pandangan-pandangan India tradisional terkait sejarah dan agama,[3] para indigenis mengetengahkan pandangan bahwa bangsa Arya adalah bangsa pribumi India, dan dengan demikian menggugat pandangan standar.[6] Pendirian pribumi ini sudah diangkat ke ranah perdebatan umum pada dasawarsa 1980-an dan 1990-an.[19]

Teori Janabijana India dan Teori Invasi Arya

sunting

Di bidang kajian India-Eropa pada abad ke-19, bahasa susastra Regweda adalah bahasa India-Eropa tertua yang diketahui para sarjana, bahkan merupakan satu-satunya rekam sejarah bangsa India-Eropa yang layak diklaim berasal dari zaman Perunggu. Keutamaan bahasa Sangsekerta ini mendorong sarjana-sarjana semisal Friedrich Schlegel untuk berasumsi bahwa lokus janabijana bahasa Purwa-India-Eropa berada di India, dan dialek-dialeknya menyebar ke barat melalui migrasi bersejarah. [20][21] Sesudah bukti-bukti dari zaman Perunggu yang memperjelas seluk-beluk rumpun bahasa India-Eropa (bahasa Anatolia, bahasa Yunani Mikenai) ditemukan pada abad ke-20, bahasa Sangsekerta Weda pun kehilangan status istimewanya sebagai bahasa India-Eropa tertua yang diketahui.[20][21]

Pada dasawarsa 1850-an, Max Müller mencetuskan gagasan tentang dua ras Arya yang bermigrasi dari Kaukasus, yakni ras Arya Barat yang bermigrasi ke Eropa, dan ras Arya Timur yang bermigrasi ke India. Max Müller mendikotomi kedua kelompok tersebut, serta menisbatkan lebih banyak keutamaan dan kelebihan kepada ras Arya cabang barat. Meskipun demikian, dikatakan pula bahwa "ras Arya cabang timur lebih perkasa daripada masyarakat pribumi timur, yang dengan mudahnya mereka taklukkan."[22] Gagasan ini diadaptasi etnolog-etnolog rasis pada dasawarsa 1880-an. Sebagai contoh, Herbert Hope Risley, administrator pemerintah kolonial Inggris di India, selaku penganjur ilmu pengetahuan ras, menggunakan rasio perbandingan lebar terhadap tinggi hidung untuk memilah-milah bangsa India menjadi ras Arya dan ras Dravida, maupun untuk menggolong-golongkan mereka menjadi tujuh kasta.[23][24]

Gagasan tentang "invasi" bangsa Arya dipicu oleh penemuan peradaban Lembah Sungai Sindu (Harapa), yang terpuruk sekitar rentang waktu migrasi bangsa India-Arya, sehingga terkesan ada invasi yang bersifat destruktif. Pandangan ini dirumuskan oleh Mortimer Wheeler, arkeolog pertengahan abad ke-20 yang menafsirkan sekian banyak kerangka manusia tak terkebumikan pada lapisan-lapisan atas Mohenjodaro sebagai korban perang penaklukan. Ia terkenal dengan pernyataannya bahwa "Dewa Indralah sang terdakwa" di balik kehancuran peradaban Lembah Sungai Sindu.[25] Para kritikus ilmiah menganggap Mortimer Wheeler sudah keliru menafsirkan bukti, dan kerangka-kerangka tersebut sebaiknya disifatkan sebagai bukti tindakan mengubur jenazah secara tergesa-gesa, bukan sebagai korban pembantaian yang tak terkebumikan.[25]

Teori Migrasi India-Arya

sunting

Migrasi

sunting
 
Menurut Allentoft (2015), kemungkinan besar kebudayaan Sintasta berasal dari kebudayaan Tembikar Tali. Kebudayaan Sintasta lazim diduga sebagai manifestasi pertama bangsa India-Iran.
 
Peta perkiraan wilayah sebaran maksimum kebudayaan Andronovo. Daerah merah adalah wilayah pembentukan kebudayaan Sintasta-Petrovka. Daerah ungu adalah lokasi temuan-temuan kereta dengan roda berjeruji tertua. Daerah hijau adalah wilayah sebaran kebudayaan Afanasevo, Srubnaya, dan KABM yang bertetangga dan bertumpang tindih dengan wilayah sebaran kebudayaan Andronovo.
 
Peta lokasi kebudayaan-kebudayaan yang diduga berkaitan dengan migrasi bangsa India-Iran dan migrasi bangsa India-Arya (sesudah penerbitan EIEC). kebudayaan Andronovo, KABM, dan Yaz kerap dihubung-hubungkan dengan migrasi bangsa India-Iran. Kebudayaan KKG, Pekuburan H, Khazanah Tembaga, dan TBK digadang-gadang sebagai kebudayaan-kebudayaan yang berkaitan dengan migrasi bangsa India-Arya.

Di kalangan sarjana pada umumnya, gagasan tentang "invasi" sudah dianggap gugur sejak dasawarsa 1980-an,[26] tergantikan oleh model-model yang lebih canggih,[27][keterangan 3] yang disebut "Teori Migrasi India-Arya. Teori ini mengasumsikan masuknya bahasa-bahasa rumpun India-Arya ke Asia Selatan[keterangan 1] melalui migrasi-migrasi masyarakat penutur bahasa India-Eropa dari Urheimat (janabijana purba) mereka di stepa-stepa Pontus melalui kebudayaan Tembikar Tali Eropa Tengah, dan kebudayaan Sintasta Eropa Timur/Asia Tengah, lewat Asia Tengah ke Syam (Mitani), Asia Selatan, dan Asia Pedalaman (Wusun dan Yuezhi). Teori ini adalah bagian dari hipotesis-Kurgan/Teori Stepa Terevisi, yang menguraikan lebih lanjut persebaran bahasa-bahasa rumpun India-Eropa ke kawasan barat Eropa melalui migrasi-migrasi masyarakat penutur bahasa India-Eropa.

Linguistika historis menyumbangkan landasan utama bagi teori tersebut, dengan menelaah perkembangan dan perubahan bahasa-bahasa, dan menentukan keterkaitan antarbahasa di dalam rumpun India-Eropa, termasuk kerangka waktu perkembangannya. Linguistika historis juga menyumbangkan informasi seputar kata-kata yang sama, daerah asal bangsa India-Eropa terkait, dan kosakata tertentu yang dinisbatkan kepada kawasan-kawasan tertentu.[7][29][30] Telaah dan data kebahasaan dilengkapi dengan data arkeologis dan genetika[31][32][keterangan 4] dan argumen-argumen antropologis, yang bersama-sama menyumbang suatu model koheren[7][31] yang berterima luas.[43]

Di dalam model tersebut, sisa-sisa arkeologis pertama dari bangsa India-Eropa adalah kebudayaan Yamnaya.[7] Kebudayaan Yamnaya melahirkan kebudayaan Tembikar Tali Eropa Tengah yang kemudian menyebar ke timur dan melahirkan kebudayaan Sinstasyta Purwa-India-Iran (tahun 2100–1800 Pramasehi). Dari kebudayaan Sintasta inilah muncul kebudayaan Andronovo (tahun 1800–1400 Pramasehi). Sekitar tahun 1800 Pramasehi, bangsa India-Arya memisahkan diri dari cabang-cabang bangsa Iran dan bermigrasi ke KABM (tahun 2300–1700 Pramasehi),[44] kemudian berpindah lebih jauh lagi ke Syam, kawasan utara India, dan kemungkinan besar juga ke Asia Pedalaman.[45]

Kesinambungan dan adaptasi budaya

sunting

Migrasi ke kawasan utara India tidaklah mesti merupakan perpindahan penduduk secara besar-besaran, dan bisa saja dalam rombongan-rombongan kecil,[46] yang membawa masuk bahasa dan sistem kemasyarakatan mereka ke daerah baru tatkala mencari padang penggembalaan bagi kawanan ternak mereka.[47] Tindakan tersebut kemudian diikuti rombongan-rombongan yang lebih besar,[48][keterangan 5][keterangan 6] yang mengadopsi bahasa dan kebudayaan baru.[52][53][keterangan 7] Witzel juga mengemukakan bahwa "pergerakan-pergerakan musiman semi-tahunan berskala kecil antardaerah dataran Sindu, pegunungan Afgan, dan pegunungan Baluki masih masih berlanjut sampai sekarang."[50]

Teori Arya Pribumi

sunting

Menurut Edwin F. Bryant, para indigenis

... sama-sama meyakini bahwa teori asal-luar masyarakat penutur bahasa India-Arya di Anak Benua India dibangun di atas asumsi-asumsi dan sangkaan-sangkaan yang rapuh atau keliru. Menurut sarjana-sarjana semacam itu, belum ada bukti tak terbantahkan yang membuktikan asal-luar bangsa India-Arya [...] mereka merasa wajib untuk menyanggah teori invasi dan migrasi bangsa Arya. Itulah sebabnya pandangan mereka disebut Teori Arya Pribumi.[1]

"Pendirian indigenis" mulai mengejawantah sesudah ditemukannya peradaban Harapa, yang lebih tua daripada kitab-kitab Weda.[54] Menurut pandangan alternatif ini, bangsa Arya adalah bangsa pribumi India,[2] peradaban Lembah Sungai Sindu adalah peradaban zaman Weda,[2] kitab-kitab Weda sudah ada sebelum milenium kedua Pramasehi,[55] tidak ada ketidaksinambungan antara India bagian India-Eropa (kawasan utara) dan India bagian Dravida (kawasan selatan),[55] dan bahasa-bahasa India-Eropa memencar dari suatu janabijana di India ke tempat-tempat aneka bahasa tersebut dituturkan dewasa ini.[2] Menurut Bresnan, teori ini merupakan suatu tanggapan wajar terhadap narasi abad ke-19 yang mengatakan bahwa ada suatu ras Arya yang superior menaklukkan bangsa pribumi India, yang secara tersirat meneguhkan superioritas etnosentris orang-orang Eropa yang menyerbu masuk ke India pada zaman kolonial, ketimbang mendukung "sebuah teori perkembangan pribumi yang bermuara pada penciptaan kitab-kitab Weda."[56]

Argumen-argumen utama indigenis

sunting

Gagasan "bangsa Arya pribumi" disandarkan pada tafsir-tafsir data arkeologis, genetis, dan kebahasaan tertentu, serta tafsir-tafsir harfiah atas Regweda.[57][11][web 3] Argumen-argumen standar, yang digunakan untuk mendukung teori "Arya Pribumi" sekaligus untuk melawan teori Mirgasi India-Arya yang berterima umum, adalah sebagai berikut:

  • Mempertanyakan teori Migrasi India-Arya:
    • Menampilkan teori Migrasi India-Arya sebagai "Teori Invasi India-Arya",[58][keterangan 8] yang direka penjajah pada abad ke-19 untuk menindas bangsa India.[59]
    • Mempertanyakan metodologi linguistika.[60][61][62]
    • Membenarkan gagasan tentang kesinambungan kebudayaan pribumi dengan alasan bahwa tidak ada sisa-sisa peninggalan arkeologis bangsa India-Arya di kawasan barat laut India.[61]
    • Mempertanyakan bukti genetis.[web 4][web 5]
    • Membantah kemungkinan bahwa rombongan-rombongan kecil sanggup mengubah kebudayaan dan bahasa secara mendalam.[web 3]
  • Mempertanggal-ulang sejarah India dengan mengusulkan kronologi Weda-Purana:[63]
    • Membenarkan gagasan tentang asal-usul purba dan pribumi bahasa Sangsekerta,[64][61] dengan mempertanggal Regweda dan masyarakat Weda pada atau sebelum milenium ke-3 Pramasehi.[55][65][66][62] Tindakan ini mencakup:
      • Menyamakan Sungai Saraswati, yang disifatkan di dalam Regweda sebagai sebuah sungai besar, dengan Sungai Gagar-Hakra yang mengering sekitar tahun 2000 Pramasehi, dan dengan demikian membenarkan gagasan tentang pertanggalan Regweda yang lebih silam.[67]
      • Membenarkan gagasan tentang keberadaan satwa kuda dan kereta kuda di India sebelum tahun 2000 Pramasehi.
    • Menyamakan masyarakat Weda dengan peradaban Harapa.[2][65]
    • Mempertanggal-ulang sejarah India berdasarkan kronologi Weda-Purana.[68]

Menggugat Teori Migrasi Arya

sunting

Retorika "Invasi Arya"

sunting

Gagasan kadaluarsa "invasi Arya" sudah lama digunakan sebagai argumen orang-orangan jerami untuk menyerang Teori Migrasi India-Arya.[58][keterangan 8] Menurut Witzel, model invasi dikecam para pengusung Teori Arya Pribumi sebagai pembenaran terhadap pemerintahan kolonial:[58]

Teori tentang imigrasi Arya penutur bahasa India-Arya ("invasi Arya") hanya dipandang sebagai alat kebijakan Inggris untuk membenarkan penyerobotan mereka atas India dan pemerintahan kolonial yang menyusul kemudian: dalam kedua-dua kasus tersebut, suatu "ras kulit putih" dianggap menundukkan populasi tempatan yang lebih gelap warna kulitnya.

Di lain pihak, Koenraad Elst, salah seorang pendukung Teori Arya Pribumi, mengemukakan sebagai berikut:[69]

Teori yang akan kita bahas bukti kebahasaannya ini dikenal secara luas sebagai "Teori Invasi Arya" (TAI). Istilah ini akan saya pertakankan, sekalipun beberapa sarjana berkeberatan, lantaran lebih menyukai istilah "imigrasi" ketimbang "invasi." ... Bentang alam kebahasaan India Utara hanya terbuka terhadap dua kemungkinan penjelasan: bangsa India-Arya adalah bangsa pribumi, atau bangsa India-Arya masuk lewat suatu invasi.[keterangan 9]

Metodologi linguistika

sunting

Para indigenis mempertanyakan metodologi dan hasil-hasil penelitian lingustika.[60][61][62] Menurut Edwin F. Bryant,[70] para penganut Teori Keluar dari India cenderung menjadi pakar bahasa amatiran yang mengabaikan sepenuhnya atau sekadar mengetepikan bukti kebahasaan yang bagi mereka sangat spekulatif dan inkonklusif,[keterangan 10] atau berusaha mengatasinya dengan kualifikasi-kualifikasi yang tidak kunjung memadai. Sikap dan ketidakacuhan semacam ini secara signifikan menurunkan nilai sebagian besar terbitan karya-karya tulis yang mengusung Teori Keluar dari India.[71][72]

Temuan arkeologis dan kesinambungan budaya

sunting

Pada dasawarsa 1960-an, penjelasan-penjelasan arkeologis bagi perubahan budaya bergeser dari model-model migrasi ke sebab-sebab perubahan yang berasal dari dalam.[41] Lantaran ketiadaan sisa-sisa peninggalan arkeologis bangsa India-Arya, Jim G. Shaffer, lewat karya tulisnya pada dasawarsa 1980-an dan 1990-an, mengemukakan gagasan tentang kesinambungan budaya pribumi dari zaman Harapa sampai ke zaman-zaman pasca-Harapa.[73][74] Menurut Shaffer, tidak ada indikasi arkeologis migrasi bangsa Arya ke kawasan barat laut India pada waktu atau sesudah terpuruknya kebudayaan kota Harapa.[74][keterangan 11] Shaffer bahkan mengemukakan pandangan bahwa ada "serangkaian pertukaran budaya yang mencerminkan perkembangan kebudayaan pribumi."[75] Menurut Shaffer, perubahan bahasa sudah keliru dinisbatkan kepada perpindahan masyarakat.[76][keterangan 12] Senada dengan Shaffer, Erdosy juga mendapati ketiadaan bukti migrasi, dan menandaskan bahwa "bahasa-bahasa rumpun India-Eropa mungkin sekali menyebar ke Asia Selatan melalui migrasi,"[82] akan tetapi bangsa arya yang disebutkan di dalam Regweda, sebagai suatu suku sebangsa-sebahasa tertentu yang berpegang kepada seperanggu gagasan tertentu,[83][keterangan 13] mungkin sekali adalah masyarakat pribumi yang "peranggu gagasan"-nya dengan cepat menyebar ke seluruh India.[82][85]

Sejak dasawarsa 1990-an, fokus kembali beralih kepada migrasi sebagai suatu model penjelasan.[41] Bekas keberadaan masyarakat-masyarakat penggembala ternak sukar diidentifikasi di dalam rekam arkeologis, lantaran masyarakat-masyarakat tersebut hidup berpindah-pindah dalam rombongan-rombongan kecil dan hanya meninggalkan sedikit jejak.[web 6] Pada tahun 1990, David Anthony menerbitkan karya tulisnya yang membela model migrasi.[41] Di dalam bukunya yang berjudul The Horse, the Wheel, and Language (terbit 2007), ia telah menyajikan suatu tinjauan luas terhadap jalur arkeologis bangsa India Eropa di stepa-stepa Erasia dan Asia Tengah.[7] Perkembangan dan peningkatan mutu penelitian genetika "yang revolusioner"[33][34][86] sejak awal dasawarsa 2010-an[34][86] telah mengukuhkan peralihan fokus ini, lantaran berhasil menyingkap data yang sebelumnya tidak terakses, dan dengan demikian menunjukkan adanya migrasi-migrasi berskala besar pada zaman prasejarah.[41]

Bukti genetis

sunting

Para pengancur Teori Keluar dari India mempermasalahkan temuan-temuan yang dihasilkan penelitian genetis,[web 4][web 5][web 7] dan beberapa penelitian DNA terdahulu pun mengugat teori migrasi bangsa India-Arya.[87][88] Meskipun demikian, sejak tahun 2015, penelitian genetis telah mengalami peningkatan mutu "secara revolusioner",[33][34] dan kian meneguhkan migrasi kaum penggembala stepa ke Eropa Barat maupun Asia Selatan,[38][31][39][40][41][keterangan 14] malah "banyak ilmuwan yang berpandangan skeptis atau netral sehubungan dengan migrasi-migrasi Zaman Tembaga ke India telah mengubah opini mereka."[38][keterangan 15]

Baca juga

sunting

Keterangan

sunting
  1. ^ a b Masuknya Bangsa India-Arya:
    * (Lowe 2015, hlm. 1–2): "... berpindahnya suku-suku India-Arya ke arah timur dari daerah pegunungan yang kini menjadi kawasan utara Afganistan, melintasi Panjab hingga sampai ke kawasan utara India."
    * (Dyson 2018, hlm. 14–15): "Meskipun keterpurukan peradaban Lembah Sungai Sindu tidak lagi diyakini sebagai akibat dari ‘invasi bangsa Arya’, pada umumnya diduga bahwa, kurang lebih pada waktu yang sama, atau mungkin beberapa abad kemudian, pengaruh-pengaruh dan masyarakat penutur bahasa India-Arya yang baru mulai memasuki anak benua itu dari barat laut. Tidak ada bukti terperinci. Meskipun demikian, kemungkinan besar salah satu leluhur dari bahasa yang pada akhirnya disebut bahasa Sangsekerta dibawa masuk ke kawasan barat laut antara 3.900 sampai 3.000 tahun silam. Bahasa ini masih berkerabat dengan bahasa yang dituturkan di kawasan timur Iran; dan kedua-duanya termasuk di dalam rumpun bahasa India-Eropa."
    * (Pinkney 2014, hlm. 38): "Menurut Asko Parpola, peradaban Purwa-India-Arya dipengaruhi dua gelombang perpindahan penduduk dari luar India. Rombongan pertama berpindah dari kawasan selatan pegunungan Ural (sekitar tahun 2100 Pramasehi) dan berbaur dengan masyarakat Kawasan Arkeologis Baktria-Margiana (KABM); rombongan ini kemudian berpindah ke Asia Selatan, dan tiba di sana sekitar tahun 1900 Pramasehi. Rombongan kedua tiba di kawasan utara Asia Selatan sekitar tahun 1750 Pramasehi, berbaur dengan rombongan yang tiba sebelum mereka, dan melahirkan bangsa Arya Mitani (sekitar tahun 1500 Pramasehi), leluhur dari bangsa-bangsa yang tercatat di dalam Ṛegweda."
  2. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama tanpa dukungan
  3. ^ Witzel: "Sudah beberapa dasawarsa lamanya, para ahli bahasa dan filolog semisal Kuiper 1955, 1991, Emeneau 1956, Southworth 1979, para arkeolog semisal Allchin 1982, 1995, dan para sejarawan semisal R. Thapar 1968, berpegang teguh pada pandangan bahwa bangsa India-Arya dan penduduk tempatan yang lebih lama ('bangsa Dravida', 'bangsa Munda', dsb.) jauh sebelumnya sudah saling berinteraksi, dan bahwasanya banyak di antara mereka nyata-nyata kerap bertutur dalam dua bahasa, bahkan Regweda pun turut menjadi saksinya. Mereka juga berpikir, baik dengan terang-terangan mengikuti model Ehret (1988, bdk. Diakonoff 1985) maupun tidak, tentang rombongan-rombongan penyusup yang jauh lebih kecil (Witzel 1989: 249, 1995, Allchin 1995), bukan tentang migrasi atau invasi militer besar-besaran. Meskipun demikian, para ahli bahasa masih teguh berpendirian, dengan alasan yang dapat diterima, bahwa beberapa rombongan penutur bahasa India-Arya sesungguhnya datang dari luar, lewat beberapa koridor di kawasan barat (laut) anak benua itu."[28]
  4. ^ Revolusi DNA kuno sejak sekitar tahun 2015, beserta teknik-teknik pan-genomika seperti Analisis Pembauran dan Analisis Komponen Utama telah menyumbangkan suatu perspektif yang benar-benar baru dan banyak sekali data yang relevan terkait migrasi-migrasi stepa.[31][33][34] Untuk Eropa, kebudayaan Tembikar Tali dan kebudayaan Tempayan Genta tidak ditampilkan sebagai hasil pengambilalihan berskala besar oleh kaum penggembala stepa yang menggantikan genetika tempatan masing-masing sampai 75% dan 90%,[35][36][37] padahal penelitian genetika termutakhir meneguhkan dugaan tentang migrasi kaum penggembala stepa ke Eropa Barat dan Asia Selatan.[38][31][39][40][41] Bahkan di daerah-daerah yang rendah perputaran populasinya, tampak jelas ada pengistimewaan berdasarkan jenis kelamin di dalam populasi campuran terhasil yang menguntungkan kaum pria stepa, misalnya di India.[42]
  5. ^ David Anthony (1995): "Alangkah baiknya jika peralihan bahasa dipahami sebagai suatu strategi sosial yang melaluinya orang-orang pribadi dan kelompok-kelompok orang bersaing memperebutkan kedudukan bergengsi, berkewenangan, dan berkeamanan domestik […] Jadi yang penting bukan semata-mata dominasi, melainkan mobilitas sosial vertikal dan keterkaitan antara bahasa dengan akses menuju kedudukan-kedudukan bergengsi dan berkewenangan […] Suatu populasi elit kaum pendatang yang relatif kecil dapat mendorong peralihan bahasa di tengah-tengah masyarakat pribumi yang dominan dari segi jumlah di dalam konteks non-negara atau pra-negara jika kalangan elit tersebut menerapkan suatu kombinasi tertentu dari dorongan dan hukuman. Kasus-kasus etnohistoris […] menunjukkan bahwa kelompok-kelompok elit kecil tersebut berhasil memaksakan bahasa-bahasa mereka dalam situasi-situasi non-negara."[49]
  6. ^ Witzel: "Cukup satu saja suku IndiaArya "Afgan" yang tidak kembali ke daerah pegunungan dan tetap tinggal di perkampungan-perkampungan musim dingin mereka di Panjab pada musim semi yang diperlukan untuk memicu gelombang akulturasi di daerah-daerah dataran, dengan cara menularkan 'penanda status' (Ehret) mereka kepada jiran-jirannya."[50] […] "Jujur saja, cara ini pun sesungguhnya tidaklah diperlukan. Interaksi konstan masyarakat pegunungan "Afgan" dengan masyarakat tani dataran Sindu dapat saja memicu proses tersebut. Celah lain selanjutnya tercipta tatkala banyak warga masyarakat peradaban Sindu, sesudah peradaban tersebut runtuh, berpindah ke timur, dan dengan demikian menelantarkan begitu saja daerah-daerah dataran Sindu sehingga dapat dimanfaatkan dengan leluasa bagi pengembangbiakan ternak ala India-Arya. Bagaimanapun juga, segelintir komunitas tani (teritimewa di bantaran sungai-sungai) masih tetap bertahan, jelas tersirat dari kosakata kegiatan bercocok tanam di dalam Regweda yang berasal dari bahasa yang terlengserkan (Kuiper 1991, Witzel 1999a,b). Di dalam sebuah skenario akulturasi sejumlah (kecil) orang (kerap menggunakan argumen 'pamungkas' para autoktonis) yang memicu gelombang adaptasi tidaklah ada artinya: sudah cukup 'penanda status' (Ehret) dari kelompok inovatif (kaum penggembala India-Arya) ditiru beberapa populasi jiran, kemudian menyebar luas lebih lanjut.[51]
  7. ^ Thomason dan Kaufman mengemukakan bahwa unsur-unsur Dravida di dalam bahasa Sangsekerta dan bahasa-bahasa Indis selanjutnya mungkin dapat dijelaskan lewat "penyerapan". Mereka mengutip pernyataan Emeneau bahwa "penyerapan, bukan penyingkiran, adalah mekanisme utama dalam perubahan-perubahan bahasa yang radikal semacam yang sedang kita pertimbangkan."[53] Thomason dan Kaufman mengemukakan bahwa asumsi dasarnya adalah bahasa Dravida tidak saja beralih lumayan banyak sehingga mampu memaksakan kebiasaan-kebiasaannya atas bahasa Indis, melainkan juga beralih cukup banyak untuk dapat mempengaruhi bahasa Indis secara keseluruhan.[53]
  8. ^ a b Dewasa ini istilah "invasi" hanya digunakan para penentang teori Migrasi India-Arya.[58] Istilah "invasi" tidak mencerminkan pemahaman para sarjana sezaman mengenai migrasi-migrasi bangsa India-Arya;[58] dan dipakai sekadar untuk berpolemik dan mengecoh perhatian.
  9. ^ Koenraad Elst: "Teori yang akan kita bahas bukti kebahasaannya ini dikenal secara luas sebagai "Teori Invasi Arya" (TAI). Istilah ini akan saya pertakankan, sekalipun beberapa sarjana berkeberatan, lantaran lebih menyukai istilah "imigrasi" ketimbang "invasi.." Mereka beralasan bahwa istilah yang kedua mewakili teori yang sudah lama ditinggalkan, bahwasanya gerombolan-gerombolan pejuang Arya menyerang dan menundukkan peradaban Sindu yang cinta damai. Menurut skenario dramatis yang dipopulerkan Sir Mortimer Wheeler ini, berandalan kulit putih dari kawasan barat laut memperbudak bumiputra berkulit hitam, dan oleh karena itu "Dewa Indralah sang terdakwa" di balik kehancuran peradaban Harapa. Hanya sempalan ekstremis dari gerakan orang India Dalit (mantan warga yang pantang disentuh) dan sekutu-sekutu Afrosentisnya di Amerika Serikat yang dewasa ini memegang teguh narasi hitam-dan-putih ini (lih. Rajshekar 1987; Biswas 1995). Namun, untuk kali ini saja, saya yakin golongan ekstremis ada benarnya juga. Bentang alam kebahasaan India Utara hanya terbuka terhadap dua kemungkinan penjelasan: bangsa India-Arya adalah bangsa pribumi, atau bangsa India-Arya masuk lewat suatu invasi. Nyatanya, kalau anda korek-korek siapa pun dari antara para perumus teori "imigrasi" yang empatis ini, akan anda dapati dia menganut gagasan lawas tentang invasi, karena mereka tidak pernah gagal menghubung-hubungkan imigrasi bangsa Arya dengan satwa kuda dan kereta roda berjeruji, yaitu faktor-faktor superioritas militer.[69]
  10. ^ E.g. Chakrabarti 1995 dan Rajaram 1995, sebagaimana dikutip dalam Bryant 2001.[70]
  11. ^ Di dalam bukunya, The Horse, the Wheel, and Language, David Anthony menyajikan suatu kajian sekilas pandang yang luas cakupannya mengenai jejak arkeologis bangsa India-Eropa di seantero stepa Erasia dan Asia Tengah.
  12. ^ Kendati mendukung pandangan tentang kesinambungan budaya pribumi, Shaffer mengajukan dua alternatif kemungkinan untuk menjelaskan kemiripan bahasa Sangsekerta dengan bahasa-bahasa barat, yang mengukuhkan pandangan bahwa India bukanlah tanah kelahiran bahasa-bahasa tersebut.[77]
    1. Yang pertama adalah hubungan kekerabatan dengan "rumpun bahasa Zagrosia di dataran tinggi Iran, yang menghubungkan bahasa Elam dengan rumpun bahasa Dravida," sebagaimana dikemukakan McAlpin. Menurut Shaffer, "kemiripan-kemiripan bahasa mungkin menyebar ke barat dari dataran tinggi Iran sebagai dampak dari luasnya jejaring perniagaan yang menghubungkan kebudayaan-kebudayaan di dataran tinggi Iran dengan kebudayaan-kebudayaan di Mesopotamia dan di seberang Mesopotamia," demikian pula dengan kebudayaan Kelteminar di Asia Tengah.[78] Meskipun demikian, Shaffer juga mengemukakan bahwa kebudayaan Harapa tidak berkaitan dalam banyak hal dengan jejaring tersebut pada milenium ketiga Pramasehi, sehingga ada kemungkinan bahwa "keanggotaan di dalam suatu rumpun bahasa - Zagrosia - dapat saja merupakan sebab dari beberapa kemiripan bahasa berkurun-kurun waktu kemudian."[78][subketerangan 1]
    2. Yang kedua, "kemiripan-kemiripan bahasa semacam itu adalah akibat dari persentuhan dengan dunia barat pada milenium kedua Pramasehi"[78] lewat perdagangan, yang dilakukan oleh masyarakat yang juga mengadopsi suatu cara baru dalam menata kehidupan bermasyarakat.[80] Bahasa ini digunakan untuk mengabadikan mitos-mitos yang terlestarikan di dalam kitab-kitab Weda. Menurut Shaffer, "begitu mitos-mitos terbukukan, terbukalah kesempatan emas bagi kaum elit sosial turun-temurun untuk memantapkan unsur-unsur kebahasaan tersebut dengan keabsahan dari penjelasan-penjelasan yang tersaji di dalam karya-karya sastra yang mengangkat kedudukan sosial mereka."[81]
  13. ^ Parpola, sebagaimana dirujuk oleh Bronkhorst, juga menandaskan bahwa istilah arya mungkin saja tidak digunakan sebagai sebutan bagi semua suku-bangsa penutur bahasa India-Arya.[84]
  14. ^ Antara lain lih. (Lazaridis et al. 2016),(Silva et al. 2017), (Narasimhan et al. 2019)
  15. ^ While (Shinde et al. 2019), published in Cell, confirmed the Indo-Aryan migrations, news-reports stated that the study proved the Indo-Aryan migration theory to be wrong.[web 8][web 9] This suggestion was reinforced by Shinde himself and Niraj Rai, stating that their study "completely sets aside the Aryan Migration/Invasion Theory."[web 10][web 11]
    Shinde's statements were refuted by his co-author Nick Patterson, and by Vagheesh Narasimhan, Shinde's co-author on (Narasimhan et al. 2019),[web 10] dan ditanggapi dengan sikap skeptis dalam warta-warta berita lainnya.[web 10][web 11] David Reich mengulangi bahwa masyarakat Stepa berkontribusi terhadap penyusunan genetis India,[web 12] sementara (Friese 2019) memberi ulasan tentang komplikasi-komplikasi politis dari tindakan melakukan penelitian genetis terhadap sejarah India.[89]

Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "kereta" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.

Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Weda" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
  1. ^ Menurut Franklin Southworth, "rumpun bahasa Dravida, yang kini terutama dituturkan di kawasan jazirah India, merupakan salah satu dari kedua cabang utama rumpun bahasa Zagrosia, yang cabang utama lainnya terdiri atas bahasa Elam dan bahasa Brahui."[79]

Rujukan

sunting
  1. ^ a b Bryant 2001, hlm. 4.
  2. ^ a b c d e f Trautmann 2005, hlm. xxx.
  3. ^ a b c d Witzel 2001, hlm. 95.
  4. ^ Jamison 2006.
  5. ^ a b Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Elst_2016
  6. ^ a b c Trautmann 2005, hlm. xiii.
  7. ^ a b c d e Anthony 2007.
  8. ^ Parpola 2015.
  9. ^ Kak 2001b.
  10. ^ Bryant 2001, hlm. 292-293.
  11. ^ a b Bryant & Patton 2005.
  12. ^ Singh 2008, hlm. 186.
  13. ^ Bresnan 2017, hlm. 8.
  14. ^ Fosse 2005, hlm. 435-437.
  15. ^ Ravinutala 2013, hlm. 6.
  16. ^ Rocher 1986, hlm. 122.
  17. ^ Witzel 1995.
  18. ^ Singh 2009, hlm. 19.
  19. ^ Trautmann 2005, hlm. xiii-xv.
  20. ^ a b Senthil Kumar 2012, hlm. 123.
  21. ^ a b Hewson 1997, hlm. 229.
  22. ^ McGetchin 2015, hlm. 116.
  23. ^ Trautmann 1997, hlm. 203.
  24. ^ Walsh 2011, hlm. 171.
  25. ^ a b Possehl 2002, hlm. 238.
  26. ^ Kazanas 2002.
  27. ^ Witzel 2001, hlm. 311.
  28. ^ Witzel 2001, hlm. 32.
  29. ^ Witzel 2001.
  30. ^ Witzel 2005.
  31. ^ a b c d e Reich 2018.
  32. ^ Narasimhan dkk. 2019.
  33. ^ a b c Witzel 2019, hlm. 58.
  34. ^ a b c d Anthony 2021, hlm. 9,12.
  35. ^ Haak et al. 2015.
  36. ^ Olalde et al. 2018.
  37. ^ Saag et al. 2017.
  38. ^ a b c Joseph, Tony (16 June 2017). "How genetics is settling the Aryan migration debate". The Hindu. 
  39. ^ a b Anthony 2019.
  40. ^ a b Witzel 2019.
  41. ^ a b c d e f Anthony 2021.
  42. ^ Silva dkk. 2017.
  43. ^ Mallory & Adams 2006, hlm. 460-461.
  44. ^ Anthony 2007, hlm. 408.
  45. ^ Beckwith 2009.
  46. ^ Witzel 2005, hlm. 342-343.
  47. ^ Bresnan 2017, hlm. 13.
  48. ^ Anthony 2007, hlm. 117.
  49. ^ Witzel 2001, hlm. 27.
  50. ^ a b Witzel 2001, hlm. 13.
  51. ^ Witzel 2001, hlm. 13, keterangan 27.
  52. ^ Hickey 2010, hlm. 151.
  53. ^ a b c Thomason & Kaufman 1988, hlm. 39.
  54. ^ Trautmann 2005, hlm. xxviii-xxix.
  55. ^ a b c Trautmann 2005, hlm. xxviii.
  56. ^ Bresnan 2017, hlm. 12.
  57. ^ Bryant 2001.
  58. ^ a b c d e Witzel 2005, hlm. 348.
  59. ^ Ram Kelkar (12 April 2021), The Nationalists Try – But India Remains Among the World's Oldest Melting Pots , thewire.in
  60. ^ a b Bryant 2001, hlm. 68-75.
  61. ^ a b c d Elst 2005.
  62. ^ a b c Kak 2001.
  63. ^ Trautmann 2005, hlm. xxviii-xxx.
  64. ^ Elst 1999.
  65. ^ a b Kak 1987.
  66. ^ Kak 1996.
  67. ^ Danino 2010.
  68. ^ Kak 2015.
  69. ^ a b Elst 2005, hlm. 234-235.
  70. ^ a b Bryant 2001, hlm. 75.
  71. ^ Bryant 2001, hlm. 74–107.
  72. ^ Bryant 1996.
  73. ^ Shaffer 2013.
  74. ^ a b Shaffer & Lichtenstein 1999.
  75. ^ Shaffer 2013, hlm. 88.
  76. ^ Shaffer 2013, hlm. 85-86.
  77. ^ Shaffer 2013, hlm. 86-87.
  78. ^ a b c Shaffer 2013, hlm. 87.
  79. ^ Southworth, Franklin (2011). "Rice in Dravidian". Rice. 4 (3–4): 142–148. doi:10.1007/s12284-011-9076-9 . 
  80. ^ Witzel 2001, hlm. 14.
  81. ^ Shaffer 2013, hlm. 87-88.
  82. ^ a b Erdosy 1995, hlm. 90.
  83. ^ Erdosy 1995, hlm. 75, 89-90.
  84. ^ Bronkhorst 2007, hlm. 265-266.
  85. ^ Bronkhorst 2007, hlm. 266.
  86. ^ a b Khan 2019, hlm. 146.
  87. ^ Underhill et al. 2010.
  88. ^ Metspalu et al. 2011.
  89. ^ Friese 2019.
  90. ^ Parpola 2020.

Sumber

sunting
Sumber cetak
Sumber jejaring
  1. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Doniger_2017
  2. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Shahane_2019
  3. ^ a b Kazanas, Nicholas. "Tumbangnya Teori Invasi Arya dan prevalensi Indigenisme: bukti-bukti arkeologi, genetika, linguistika, dan sastra" (PDF). www.omilosmeleton.gr. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2016-03-04. Diakses tanggal 23 Januari 2015. 
  4. ^ a b Dinsa Sachan (4 Juli 2015), Invasi Arya Digugurkan. Studi genetis menunjukkan bahwa masyarakat Asia Selatan berasal dari beragam garis keturunan
  5. ^ a b A.L. Chavda (05 Mei 2017), Mitos Invasi Arya: Bagaimana Ilmu Pengetahuan Abad Ke-21 Menggugurkan Indologi Abad Ke-19
  6. ^ Encyclopedia Britannica, Emergence of the pastoral way of life
  7. ^ "New research debunks Aryan invasion theory". 10 December 2011. 
  8. ^ Pratul Sharma (6 september 2019), New DNA study debunks Aryan invasion theory, The Week
  9. ^ The Times of India (7 september 2019), DNA analysis of Rakhigarhi remains challenges Aryan invasion theory
  10. ^ a b c Shoaib Daniyal (9 september 2019), Two new genetic studies upheld Indo-Aryan migration. So why did Indian media report the opposite?, Scroll.in
  11. ^ a b C.P. Rajendran (13 september 2019), Scientists Part of Studies Supporting Aryan Migration Endorse Party Line Instead, The Wire
  12. ^ Anubhuti Vishnoi (9 september 2019),Indus Valley Civilisation is largest source of ancestry for South Asians: David Reich, The Economic Times

Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Daniyal2018" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Pattanaik2020" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Subramanian2018_Royal" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Thapar2019" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "ToI" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.

Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "VF-Intro" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.

Bahan bacaan lanjutan

sunting
Selayang pandang

Edwin Bryant, seorang sejarawan kebudayaan, mengemukakan suatu penjelasan selayang pandang mengenai berbagai pendirian "Indigenis" di dalam tesis doktoral filsafatnya maupun dua buku yang terbit sesudahnya:

The Indigenous Aryan Debate dan The Quest for the Origins of Vedic Culture adalah laporan-laporan kerja lapangannya, terutama hasil-hasil wawancara dengan para peneliti India, mengenai sambutan terhadap teori Migrasi India-Arya di India. The Indo-Aryan Controversy adalah kumpulan makalah yang ditulis para "indigenis", termasuk Koenraad Elst, tetapi juga mencakup sebuah makalah yang ditulis Michael Witzel.

Penjelasan selayang pandang lainnya dikemukakan oleh Thomas Trautmann:

Karya tulis penganjur teori "Arya Pribumi"
India
  • Frawley, David (1993). Gods, Sages and Kings: Vedic Secrets of Ancient Civilization. Motilal Banarsidass. 
Kritik
  • Shereen Ratnagar (2008), The Aryan homeland debate in India, dalam buku Philip L. Kohl, Mara Kozelsky, Nachman Ben-Yehuda "Selective remembrances: archaeology in the construction, commemoration, and consecration of national pasts", hlmn. 349–378
  • Suraj Bhan (2002), "Aryanization of the Indus Civilization" dalam buku Panikkar, KN, Byres, TJ & Patnaik, U (Penyunting), The Making of History, hlmn. 41–55.
  • Thapar, Romila (2019), "They Peddle Myths and Call It History", New York Times 
Lain-lain
  • Guichard, Sylvie (2010). The Construction of History and Nationalism in India: Textbooks, Controversies and Politics. Routledge. 

Pranala luar

sunting