Pembela Tanah Air

Kesatuan militer Indonesia yang dibentuk oleh Kekaisaran Jepang
Revisi sejak 19 Juli 2022 03.09 oleh Rodina35 (bicara | kontrib) (Penyesuaian infobox dan kalimat. Penggabungan latar belakang, pemberontakan, dan pembubaran ke dalam bagian sejarah. Penambahan struktur (tabel diterjemahkan dari en.wp). Penambahan daftar pustaka (dari en.wp). Penambahan beberapa pranala.)

Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (郷土防衛義勇軍, Kyōdo Bōei Giyūgun) atau Pembela Tanah Air (PETA) adalah satuan militer yang dibentuk Jepang di Indonesia pada masa pendudukan Jepang. PETA dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943 sebagai tentara sukarela berdasarkan maklumat Osamu Seirei No. 44 yang diumumkan oleh Panglima Angkatan Darat Ke-16, Letnan Jenderal Kumakichi Harada. Pelatihan pasukan PETA dipusatkan di kompleks militer di Bogor.

Pembela Tanah Air
  • 郷土防衛義勇軍
  • Kyōdo Bōei Giyūgun
Bendera batalion PETA
Aktif3 Oktober 194319 Agustus 1945
NegaraKekaisaran Jepang Indonesia (pendudukan Jepang)
Aliansi Angkatan Darat Kekaisaran Jepang
Tipe unitInfanteri
PeranPertahanan wilayah Indonesia dari serangan Blok Sekutu
Jumlah personel
MarkasBogor, Jawa
JulukanPETA
MotoIndonesia Akan Merdeka
Warna panji
  •   Ungu
  •   Hijau
  •   Merah
  •   Putih
HimneMars Tentara Pembela
Ulang tahun3 Oktober
Tentara PETA sedang latihan di Bogor pada tahun 1944

Tentara PETA telah berperan besar dalam Perang Kemerdekaan Indonesia. Beberapa tokoh nasional yang dulunya tergabung dalam PETA antara lain mantan presiden Jenderal Besar TNI Soeharto dan Jenderal Besar TNI Soedirman. Veteran tentara PETA telah menentukan perkembangan dan evolusi militer Indonesia, mulai dari pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat, Tentara Republik Indonesia (TRI), hingga akhirnya menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Karena hal ini, PETA dianggap sebagai salah satu cikal bakal dari Tentara Nasional Indonesia.

Sejarah

Mars PETA dalam pembukaan video propaganda Jepang yang diproduksi oleh Keimin Bunka Shidosho (Lembaga Kebudayaan Jepang di Indonesia)

Pembentukan

Pembentukan PETA dianggap berawal dari surat Raden Gatot Mangkoepradja kepada pemerintahan militer Jepang (軍政官, Gunseikan) pada bulan September 1943, yang salah satu isinya berupa permohonan agar bangsa Indonesia diperkenankan membantu pemerintahan Jepang di medan perang. Pada pembentukannya, banyak anggota Seinen Dojo (Barisan Pemuda) yang kemudian menjadi anggota senior dalam barisan PETA. Ada pendapat bahwa hal ini merupakan strategi Jepang untuk membangkitkan semangat patriotisme dengan memberi kesan bahwa usul pembentukan PETA berasal dari kalangan pemimpin Indonesia sendiri. Pendapat ini ada benarnya karena sebagaimana berita yang dimuat pada koran "Asia Raya" pada tanggal 13 September 1943, terdapat usulan dari sepuluh ulama: K.H. Mas Mansyur, K.H. Adnan, Dr. Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), Guru H. Mansur, Guru H. Cholid, K.H. Abdul Madjid, Guru H. Jacob, K.H. Djunaedi, U. Mochtar, dan H. Mohammad Sadri, yang menuntut agar segera dibentuk tentara sukarela bukan wajib militer yang akan mempertahankan Pulau Jawa.[1] Hal ini menunjukkan adanya peran golongan agama dalam rangka pembentukan satuan ini. Pengusulan oleh golongan agama ini dianggap bertujuan untuk menanamkan paham kebangsaan dan cinta tanah air yang berdasarkan ajaran agama. Hal ini kemudian juga diperlihatkan dalam bendera tentara PETA yang berupa matahari terbit (lambang kekaisaran Jepang) dengan bulan sabit dan bintang (simbol kepercayaan Islam).

Pemberontakan

Pada tanggal 14 Februari 1945, pasukan PETA di Blitar di bawah pimpinan Soeprijadi melakukan sebuah pemberontakan. Pemberontakan ini berhasil dipadamkan dengan memanfaatkan pasukan pribumi yang tak terlibat pemberontakan, baik dari satuan PETA sendiri maupun dari Heiho. Soeprijadi dinyatakan hilang dalam peristiwa ini, sedangkan pimpinan lapangan, Muradi, ikut tertangkap bersama pasukannya. Para pelaku pemberontakan mendapatkan penyiksaan selama penahanan oleh Kempetai,[butuh rujukan] kemudian delapan orang dijatuhi hukuman mati dengan dipancung, sesuai dengan hukum militer yang berlaku. Hukuman dilaksanakan di Eereveld (sekarang pantai Ancol) pada tanggal 16 Mei 1945.

Pembubaran

Pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, berdasarkan perjanjian kapitulasi Jepang dengan Blok Sekutu, Tentara Kekaisaran Jepang memerintahkan para batalion PETA untuk menyerah dan menyerahkan senjata mereka, dan sebagian besar mematuhinya. Presiden Republik Indonesia yang baru saja dilantik, Sukarno, mendukung pembubaran ini daripada mengubah PETA menjadi tentara nasional. Hal ini dilakukan untuk menghindari potensi adanya tuduhan dari Blok Sekutu bahwa Indonesia yang baru lahir adalah kolaborator Kekaisaran Jepang karena ia memperbolehkan milisi yang diciptakan Jepang ini dilanjutkan.[2][3][4] Sehari kemudian, pada tanggal 19 Agustus 1945, Panglima Angkatan Darat Ke-16 di Jawa, Letnan Jenderal Nagano Yuichiro, mengucapkan pidato perpisahan kepada para anggota PETA.

Peran dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia

 
Pemuda Indonesia dalam pelatihan di Seinen Dojo yang kemudian menjadi anggota PETA

Tentara mantan personel PETA turut menjadi komponen militer Indonesia selama masa perang kemerdekaan. Mantan Tentara PETA menjadi bagian penting pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI), mulai sejak dibentuknya Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat, Tentara Republik Indonesia (TRI), hingga akhirnya menjadi TNI. Untuk mengenang perjuangan tentara PETA, pada tanggal 18 Desember 1995, diresmikan monumen PETA yang terletak di Bogor, bekas markas besar PETA.

Struktur

Unit-unit PETA dibentuk dalam satuan setingkat batalion yang disebut daidan (大団). Dua hingga lima batalion ditempatkan pada satu keresidenan di bawah komando tentara Jepang setempat. Setiap batalion dipimpin seorang komandan batalion (大団長, daidanchō), dan dibagi menjadi satuan-satuan yang lebih kecil yang, secara berurutan dari yang paling besar hingga yang paling kecil, masing-masing dipimpin oleh komandan kompi (中団長, chūdanchō), komandan peleton (小団長, shōdanchō), dan komandan regu (部団長, budanchō). Para perwira ini dilatih di kompleks militer di Bogor yang diberi nama Jawa Bōei Giyūgun Kanbu Renseitai (ジャワ防衛義勇軍幹部錬成隊, 'Unit Pelatihan Kadet Tentara Sukarela Pertahanan Jawa'). Setelah menuntaskan pendidikan, mereka ditempatkan di berbagai daerah dan bertugas merekrut serta melatih pemuda setempat untuk menjadi prajurit (義勇兵, giyūhei, 'tentara sukarela').[5]

Batalion Komandan Batalion Latar belakang Perwira lain
I Labuan, Banten Tubagus Achmad Chatib Ulama Suhadisastra
II Malingping, Banten E. Ojong Temaja Ulama M.B. Sutman
III Serang, Banten Syam'un Ulama Zainul Falah
IV Pandeglang, Banten Uding Sujatmadja Mustaram
I Harmoni, Djakarta Kasman Singodimedjo Lulusan RHS
Mantan Ketua JIB dan MIAI
Moeffreni Moe'min
Latief Hendraningrat
II Purwakarta, Djakarta Surjodipuro Mursid
I Djampang Kulon, Bogor R. Abdullah bin Nuh Ulama Husen Aleksah
II Pelabuan Ratu, Bogor M. Basuni Ulama Mulja
III Sukabumi, Bogor Kafrawi Machmud
IV Tjibeber, Tjiandjur, Bogor R. Gunawan Resmiputro M. Ishak Djuarsa
I Tasikmalaja, Priangan K.H. Sutalaksana Ulama Abdullah Saleh
II Pangandaran, Priangan K.H. Pardjaman Ulama K. Hamid
III Bandung, Priangan Iljas Sasmita Permana
Umar Wirahadikusumah
IV Tjimahi, Priangan Arudji Kartawinata Lulusan MULO
Mantan petinggi PSII
Soeparjadi
Poniman
V Garut, Priangan R. Sofjan Iskandar Katamsi Sutisna
I Tjirebon Abdulgani Surjokusumo Rukman
II Madjalengka, Tjirebon R. Zaenal Asikin Judibrata Suarman
I Pekalongan Iskandar Idris Ulama Ajub
II Tegal, Pekalongan K.H. Durjatman Ulama Sumardjono
I Tjilatjap, Banjumas R. Sutirto R. Hartojo
II Sumpiuh, Banjumas R. Soesalit Djojoadhiningrat Zaelan Asikin
III Kroja, Banjumas Sudirman Lulusan sekolah pendidikan guru Muhammadiyah
Guru sekolah Muhammadiyah
Supardjo Rustam
IV Banjumas Isdiman
Gatot Subroto
Sarengat
I Gombong, Kedu R. Abdul Kadir
Bambang Sugeng
R. Sutrisno
II Magelang, Kedu Muhammad Susman Sugiardjo
Supangkat
III Gombong, Kedu Djoko Kusumo Slamet
Achmad Yani
Sarwo Edhie Wibowo
IV Purworedjo, Kedu Mukahar Ronohadikusumo Tjiptoroso
I Mrican, Semarang R. Usman
Sutrisno Sudomo
Sujadi
II Weleri, Kendal, Semarang R. Sudijono Taruno Kusumo Suparman Sumahamidjaja
I Pati Kusmoro Hadidewo
II Rembang, Pati Holan Iskandar Sukardi
III Djepara, Pati Prawiro Atmodjo Sukardji
I Wates, Jogjakarta D. Martojomeno Sudjiono
II Bantul, Jogjakarta Mohammed Saleh Lulusan sekolah pendidikan guru
Guru sekolah Muhammadiyah
Sugiono
III Pingit, Jogjakarta Sundjojo Purbokusumo Darjatmo
Suharto
IV Wonosari, Jogjakarta Muridan Noto Nudi
I Manahan, Surakarta R.M. Muljadi Djojomartono Ulama Suprapto Sukawati
Djatikusumo
II Wonogiri, Surakarta K.H. Idris Ulama Budiman
I Babat, Bodjonegoro K.H. Masjkur
Sudirman
Ulama Utojo Utomo
II Bodjonegoro Masri R. Rachmat
III Tuban-Bodjonegoro Sumadi Sastroatmodjo Sumardjo
I Madiun Agus Tojib Mumardjo
II Patjitan, Madiun Akub Gulangge R. Subagijo
III Ponorogo, Madiun M. Sudjono Sudijat
I Tulungagung, Kediri Sudiro Tulus
II Blitar, Kediri Surachmad Sukandar
Suprijadi
III Kediri A. Judodiprodjo
Sujoto Djojopurnomo
Mashudi Sudjono
I Gunung Sari, Surabaja Mustopo Lulusan STOVIT
Dokter gigi
Masduki Abudardja
II Sidoardjo, Surabaja R. Muhammad Mangundiprodjo Bambang Juwono
III Modjokerto, Surabaja Katamhadi Usman
IV Gresik, Surabaja K.H. Cholik Hasjim Ulama Jondat Modjo
I Gondanglegi, Malang K. Iskandar Sulaeman Ulama Sumarto
II Lumadjang, Malang M. Sujo Adikusumo S. Hardjo Hudojo
III Pasuruan, Malang Arsjid Kromodihardjo Slamet
IV Malang Imam Sudja'i Sukardani
V Probolinggo, Malang Sudarsono Sumitro
I Kentjong, Djember, Besuki Suwito
Sudiro
Sukarto
II Bondowoso, Besuki K.H. Tahirruddin Tjokro Atmodjo Ulama Rosadi
III Bentjuluk, Banjuwangi, Besuki Sukotjo Imam Sukarto
IV Rambipundji, Djember-Besuki Surodjo
Astiklah
Subandi
V Sukowidi, Banjuwangi, Besuki R. Usman Sumodinoto Sudarmin
I Pamekasan, Madura K.H. R. Amin Dja'far Ulama R. Mohammad Saleh
II Bangkalan, Madura Ruslan Tjakraningrat Hafiludin
III Batang-batang, Madura Abdul Madjid Achmad Basuni
IV Ambunten, Sumenep, Madura Abdul Hamid Mudhari Ulama Suroso
V Ketapang, Madura Trunodjojo Mochamad Sabirin
I Negara, Bali I Made Putu I Wayan Mudana
II Tabanan, Bali I Gusti Ngurah Gede Pugeng Ida Bagus Tongka
III Klungkung, Bali Anak Agung Made Agung I Made Geria

Tokoh Indonesia lulusan PETA

Beberapa tokoh Indonesia yang merupakan lulusan PETA antara lain:

Rujukan

Referensi

  1. ^ Suryanegara 1996.
  2. ^ Ricklefs 1981, hlm. 194.
  3. ^ Sunhaussen 1982, hlm. 2-4.
  4. ^ Bachtiar 1988, hlm. 12.
  5. ^ Kulsum, Kendar Umi (2021-02-17). "Tentara Peta: Sejarah Pembentukan dan Pemberontakan di Blitar 1945". Kompaspedia. 

Daftar pustaka

  • Bachtiar, Harsja W. (1988). Siapa Dia?: Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD). Jakarta: Djambatan. ISBN 979428100X. 
  • Ricklefs, M.C. (1981). A History of Modern Indoensia: c. 1300 to the Present. London: Macmillan. ISBN 0333243803. 
  • Sunhaussen, Ulf (1982). The Road to Power: Indonesian Military Politics 1945-1967. Oxford: Oxford University Press. ISBN 0195825217. 
  • Suryanegara, Ahmad Mansur (1996). Pemberontakan Tentara Peta di Cileunca, Pangalengan, Bandung Selatan. Jakarta: Yayasan Wira Patria Mandiri.