Bahasa Indonesia

bahasa resmi di Indonesia
Revisi sejak 8 Agustus 2022 05.11 oleh Pegiat Wiki (bicara | kontrib) (Redundan dan klaim berlebihan.)

Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional dan resmi di seluruh Indonesia. Ini merupakan bahasa komunikasi resmi, diajarkan di sekolah-sekolah dan digunakan untuk disiarkan di media elektronik dan digital. Sebagai negara dengan tingkat multilingual (terutama trilingual)[7][8] teratas di dunia, mayoritas orang Indonesia juga mampu bertutur dalam bahasa daerah atau bahasa suku mereka sendiri, dengan yang paling banyak dituturkan adalah bahasa Jawa dan Sunda yang juga memberikan pengaruh besar ke dalam elemen bahasa Indonesia itu sendiri.[9][10]

Bahasa Indonesia
bahasa Indonesia
Dituturkan diIndonesia
WilayahNusantara dan wilayah diaspora Indonesia
Penutur
43 juta (sensus 2010)[1]
penutur L2: 156 juta (sensus 2010)[1]
Perincian data penutur

Jumlah penutur beserta (jika ada) metode pengambilan, jenis, tanggal, dan tempat.[2][3]

Latin (Alfabet bahasa Indonesia)
Braille bahasa Indonesia
BISINDO, SIBI
Status resmi
Bahasa resmi di
 Indonesia  ASEAN
Diakui sebagai
bahasa minoritas di
Diatur olehBadan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kode bahasa
ISO 639-1id
ISO 639-2ind
ISO 639-3ind
Glottologindo1316[5]
Linguasfer31-MFA-ac
IETFid, in
Status pemertahanan
C10
Kategori 10
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa telah punah (Extinct)
C9
Kategori 9
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa sudah ditinggalkan dan hanya segelintir yang menuturkannya (Dormant)
C8b
Kategori 8b
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa hampir punah (Nearly extinct)
C8a
Kategori 8a
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa sangat sedikit dituturkan dan terancam berat untuk punah (Moribund)
C7
Kategori 7
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa mulai mengalami penurunan ataupun penutur mulai berpindah menggunakan bahasa lain (Shifting)
C6b
Kategori 6b
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa mulai terancam (Threatened)
C6a
Kategori 6a
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa masih cukup banyak dituturkan (Vigorous)
C5
Kategori 5
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa mengalami pertumbuhan populasi penutur (Developing)
C4
Kategori 4
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa digunakan dalam institusi pendidikan (Educational)
C3
Kategori 3
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa digunakan cukup luas (Wider Communication)
C2
Kategori 2
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan di berbagai wilayah (Provincial)
C1
Kategori 1
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa nasional maupun bahasa resmi dari suatu negara (National)
C0
Kategori 0
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa merupakan bahasa pengantar internasional ataupun bahasa yang digunakan pada kancah antar bangsa (International)
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
EGIDS SIL EthnologueC1 National
Bahasa Indonesia dikategorikan sebagai C1 National menurut SIL Ethnologue, artinya bahasa ini menjadi bahasa nasional maupun bahasa resmi dari suatu negara
Referensi: [6]

Lokasi penuturan
Keterangan:
  Wilayah Bahasa Indonesia dominan dipertuturkan dan sebagai bahasa resmi.
  Wilayah Bahasa Indonesia dituturkan oleh minoritas.
Peta
Peta
Perkiraan persebaran penuturan bahasa ini.
Koordinat: 6°10′30″S 106°49′39″E / 6.17500°S 106.82750°E / -6.17500; 106.82750 Sunting ini di Wikidata
 Portal Bahasa
L • B • PW   
Sunting kotak info  Lihat butir Wikidata  Info templat

Dengan penutur bahasa yang besar di seantero negeri beserta dengan diaspora yang tinggal di luar negeri, bahasa Indonesia masuk sebagai salah satu bahasa yang paling banyak digunakan atau dituturkan di seluruh dunia.[11] Selain dalam skala nasional, bahasa Indonesia juga diakui sebagai salah satu bahasa resmi di negara lain seperti Timor Leste.[12] Bahasa Indonesia juga secara resmi diajarkan dan digunakan di sekolah, universitas maupun institusi di seluruh dunia, terutama di Australia, Belanda, Jepang, Korea Selatan, Timor Leste, Vietnam, Taiwan, Amerika Serikat, Inggris, dll.[13][14][15][16][17][18][19][20][21][22]

Memiliki keterikatan sejarah yang panjang dengan bangsa-bangsa Eropa khususnya sejak era kolonialisme, beberapa kosakata Indonesia telah diserap ke dalam beberapa bahasa Eropa, terutama bahasa Belanda dan Inggris.[23] Bahasa Indonesia sendiri juga memiliki banyak kata serapan yang berasal dari bahasa-bahasa Eropa, terutama dari bahasa Belanda, Portugis, Spanyol, dan Inggris. Bahasa Indonesia juga memiliki kata serapan yang berasal dari bahasa Sanskerta, Tionghoa, dan Arab yang membaur menjadi elemen dalam bahasa Indonesia yang terpengaruh karena adanya faktor-faktor seperti aktivitas perdagangan maupun religius yang telah berlangsung sejak zaman kuno di wilayah kepulauan Indonesia.

Dasar bahasa Indonesia baku adalah bahasa Melayu Riau.[24][25][26][27][28][29] Dalam perkembangannya, bahasa ini mengalami perubahan akibat penggunaannya sebagai bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20. Penamaan "bahasa Indonesia" diawali sejak dicanangkannya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan "imperialisme bahasa" apabila nama bahasa Melayu tetap digunakan.[30] Proses ini menyebabkan berbedanya bahasa Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang digunakan di Riau dan kepulauan maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.

Meskipun dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia, bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga Indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di Indonesia sebagai bahasa ibu.[31] Istilah "bahasa Indonesia" paling umum dikaitkan dengan bentuk baku yang digunakan dalam situasi resmi.[28] Ragam bahasa baku tersebut berhubungan diglosik dengan bentuk-bentuk bahasa Melayu vernakular yang digunakan sebagai peranti komunikasi sehari-hari.[28] Artinya, penutur bahasa Indonesia kerap kali menggunakan ragam sehari-hari dan/atau mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya. Meskipun demikian, bahasa Indonesia digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di media massa, sastra, perangkat lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya,[32] sehingga dapatlah dikatakan bahwa bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia.

Fonologi dan tata bahasa bahasa Indonesia dianggap relatif mudah.[33] Menurut sebagian peneliti, dasar-dasar yang penting untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu beberapa minggu.[34]

Sejarah

Zaman kerajaan Hindu-Buddha

Sejumlah prasasti berbahasa Melayu Kuno dari Sriwijaya ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatra. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa Melayu menyebar ke berbagai tempat di Nusantara dari wilayah yang strategis untuk pelayaran dan perdagangan.

Bahasa Melayu kuno yang digunakan pada saat itu menunjukkan penggunaan awalan ni- dan mer-, bukan di- dan ber-. Contohnya merwuat "berbuat", "melakukan" dan nimakan "dimakan". Ini menunjukkan kemiripan dan relasi dengan bahasa Proto-Melayu-Polinesia dan Proto-Austronesia. Kedua awalan ini muncul di prasasti-prasasti tersebut.

Huruf "h" di awal kata masih dijaga, mencerminkan asalnya utamanya dari bahasa Proto-Austronesia *q. Contohnya pada kata hujung "ujung" dan mahu "mau", "bermaksud". Di beberapa dialek dan bahasa Melayu modern, "h" di awal kata masih dijaga, sementara di yang lain hilang atau dianggap tidak baku. Misalnya, item "hitam" dan hutang "utang". Namun, beberapa kata seperti hati tidak berubah menjadi *ati dalam bahasa Indonesia. Hilangnya huruf "h" ini dapat didorong oleh pengucapan "r" yang cenderung uvular ([ʀ], [ʁ]), lokasi yang hampir sama dengan "h".

Sementara itu, istilah Melayu adalah sebutan untuk Kerajaan Melayu, sebuah kerajaan Hindu-Buddha yang bertempat di hulu sungai Batang Hari.

Pada awalnya, istilah tersebut merujuk pada wilayah kerajaan Melayu yang yang merupakan bagian wilayah pulau Sumatra. Namun, seiring berkembangnya zaman, istilah Melayu mencakup wilayah geografis tidak hanya merujuk pada Kerajaan Melayu, melainkan negeri-negeri di pulau Sumatra. Karena itu, Sumatra dijuluki sebagai Bumi Melayu (bahasa Indonesia: Tanah Melayu), yang disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama.

Bahasa Melayu kuno yang berkembang di Sumatra memiliki logat "o", yang digunakan pada Melayu Jambi, Minangkabau, Kerinci, Palembang, dan Bengkulu. Dalam Negarakretagama, Semenanjung Malaka disebut Hujung Medini (Diterjemahkan sebagai Semenanjung Medini, namun memiliki arti Semenanjung Malaysia).

Dalam perkembangannya, bangsa Melayu melakukan migrasi besar-besaran ke Semenanjung Malaysia (Hujung Medini) dan kerajaan-kerajaan Islam yang pusat mandalanya adalah Kesultanan Malaka pada masa perkembangannya. Istilah Melayu kemudian bergeser kepada Semenanjung Malaka (Semenanjung Malaysia) yang akhirnya disebut Semenanjung Melayu atau Semenanjung Tanah Melayu. Akan tetapi, kenyataannya adalah istilah Melayu itu berasal dari Indonesia. Bahasa Melayu yang berkembang di sekitar daerah Semenanjung Malaka berlogat "e".

Pada tahun 1512, Kesultanan Malaka dimusnahkan oleh Portugis sehingga penduduknya diaspora sampai ke kawasan timur kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu Purba sendiri diduga berasal dari pulau Kalimantan, yang membuat kemungkinan bahwa pemakai bahasa Melayu pertama bukanlah penduduk Sumatra, melainkan Kalimantan. Suku Dayak diduga memiliki hubungan dengan suku Melayu kuno di Sumatra, misalnya: Dayak Salako, Dayak Kanayatn (Kendayan), dan Dayak Iban. Aksen Melayu pada saat itu berlogat "a" seperti bahasa Melayu baku. Penduduk Sumatra menuturkan bahasa Melayu setelah kedatangan leluhur suku Nias dan suku Mentawai.

Dalam perkembangannya, istilah Melayu kemudian mengalami perluasan makna, sehingga muncul istilah Kepulauan Melayu untuk menamakan kepulauan Nusantara.

Secara sudut pandang historis, istilah Melayu juga dipakai sebagai nama bangsa yang menjadi nenek moyang penduduk kepulauan Nusantara, terutama dalam konsep Proto Melayu dan Deutero-Melayu, migrasi bangsa Melayu yang dibagi dalam dua gelombang. Saat ini konsep dua gelombang migrasi tersebut sudah dianggap usang, karena sekarang dipahami bahwa nenek moyang penduduk kepulauan Nusantara dikenal sebagai rumpun Melayu-Polinesia, salah satu dari dua cabang utama suku bangsa Austronesia (lainnya adalah Formosa).

Selanjutnya setelah sampai pada kedatangan dan perkembangan agama Islam, suku Melayu sebagai etnik mengalami penyempitan makna menjadi etnoreligius (Muslim) yang sebenarnya di dalamnya juga telah mengalami amalgamasi dari beberapa unsur etnik.

M. Muhar Omtatok, seorang seniman, budayawan dan sejarawan menjelaskan sebagai berikut: "Melayu secara puak (etnik, suku), bukan dilihat dari faktor genekologi seperti kebanyakan puak-puak lain. Di Malaysia, tetap mengaku berpuak Melayu walau moyang mereka berpuak Jawa, Mandailing, Bugis, Keling dan lainnya". Beberapa tempat di Sumatra Utara, ada beberapa komunitas berdarah Batak yang mengaku sebagai Orang Kampong–Puak Melayu".

Diketahui, kerajaan Sriwijaya menuturkan bahasa Melayu (sebagai bahasa Melayu Kuno) sebagai bahasa kenegaraan sejak abad ke-7 M. Lima prasasti kuno yang ditemukan di Sumatra bagian selatan peninggalan kerajaan itu menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan bahasa ini diketahui cukup luas, karena ditemukan juga dokumen-dokumen dari abad berikutnya di Pulau Jawa[35] dan Pulau Luzon.[36] Sejak itu, kata-kata seperti istri, raja, putra, kawin, dan lain-lain masuk pada periode tersebut hingga abad ke-15 M.

Melayu sebagai basantara

Pada abad ke-15, berkembang bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu Klasik (classical Malay atau medieval Malay). Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan Melaka, yang perkembangannya kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatra, Jawa, dan Semenanjung Malaya.[butuh rujukan] Laporan Portugis, misalnya oleh Tome Pires, menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh semua pedagang di wilayah Sumatra dan Jawa. Magellan dilaporkan memiliki budak dari Nusantara yang menjadi juru bahasa di wilayah itu. Ciri paling menonjol dalam ragam sejarah ini adalah mulai masuknya kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan bahasa Parsi, sebagai akibat dari penyebaran agama Islam yang mulai masuk sejak abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi seperti anggur, cambuk, dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini. Proses penyerapan dari bahasa Arab terus berlangsung hingga sekarang.

Kedatangan pedagang Portugis, diikuti oleh Belanda, Spanyol, dan Inggris meningkatkan informasi dan mengubah kebiasaan masyarakat pengguna bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak memperkaya kata-kata untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari, seperti gereja, sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda terutama banyak memberi pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam upacara dan kemiliteran), dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari bahasa ini.

Bahasa yang dipakai pendatang dari Tiongkok juga lambat laun dipakai oleh penutur bahasa Melayu, akibat kontak di antara mereka yang mulai intensif di bawah penjajahan Belanda. Sudah dapat diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan dengan perniagaan dan keperluan sehari-hari, seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan cukong.

Jan Huyghen van Linschoten pada abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada abad ke-19 menyatakan bahwa bahasa orang Melayu atau Melaka dianggap sebagai bahasa yang paling penting di "dunia timur".[37] Luasnya penggunaan bahasa Melayu ini melahirkan berbagai varian tempatan (lokal) dan temporal. Bahasa perdagangan menggunakan bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara bercampur dengan bahasa Portugis, bahasa Tionghoa, maupun bahasa setempat. Terjadi proses pemijinan di beberapa kota pelabuhan di kawasan timur Nusantara, misalnya di Manado, Ambon, dan Kupang. Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga menggunakan varian bahasa Melayu pijin. Terdapat pula bahasa Melayu Tionghoa di Batavia. Varian yang terakhir ini malah dipakai sebagai bahasa pengantar bagi beberapa surat kabar pertama berbahasa Melayu (sejak akhir abad ke-19).[38] Varian-varian lokal ini secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh para peneliti bahasa.

Terobosan penting terjadi ketika pada pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari istana Riau-Johor (pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus ekabahasa untuk bahasa Melayu. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang full-fledged, sama tinggi dengan bahasa-bahasa internasional pada masa itu, karena memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas.

Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang colloquial dan tidak baku serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya, tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai lingua franca, tetapi kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga.

Era kolonial Belanda

 
Majalah[pranala nonaktif permanen] Keboedajaän dan Masjarakat (1939) menggunakan ejaan Van Ophuijsen.

Pemerintah kolonial Hindia Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab rujukan), sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam pembakuan bahasa. Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah "embrio" bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor.

Pada awal abad ke-20, perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat. Pada tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia Belanda) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson.[37] Ejaan Van Ophuijsen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Makmoer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.

Intervensi pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur ("Komisi Bacaan Rakyat" – KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga ini menjadi Balai Pustaka. Pada tahun 1910, komisi ini di bawah pimpinan D.A. Rinkes, melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik pemerintah. Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar 700 perpustakaan.[39] Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.

Bahasa Melayu yang disebarkan oleh Balai Pustaka sesungguhnya merupakan bahasa Melayu Tinggi yang bersumber dari bahasa Melayu Riau-Lingga, sedangkan bahasa Melayu yang lebih populer dituturkan kala itu di Hindia Belanda adalah bahasa Melayu Rendah atau bahasa Melayu Pasar. Kwee Tek Hoay, sastrawan Melayu Tionghoa mengkritik bahasa tinggi ini sebagai bahasa yang tidak alamiah, seperti barang bikinan, tidak mampu melukiskan tabiat dan tingkah laku sesungguhnya, seperti pembicaraan dalam pertunjukan wayang yang tidak ditemukan dalam pembicaraan sehari-hari."[40]

Pada tanggal 16 Juni 1927, Jahja Datoek Kajo menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya. Hal ini untuk pertama kalinya dalam sidang Volksraad, seseorang berpidato menggunakan bahasa Indonesia.[41]

Kelahiran Bahasa Indonesia

 
Keputusan ketiga dari naskah Sumpah Pemuda menyatakan bahwa Bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan bagi bangsa Indonesia

Bahasa Indonesia mendapatkan pengakuan sebagai "bahasa persatuan bangsa" pada saat Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928 yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional berdasarkan usulan Muhammad Yamin. Dalam pidatonya pada kongres tersebut, Yamin mengatakan,

"Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Akan tetapi, dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan."[42]

Penggantian nama dari bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia mengikut usulan dari Mohammad Tabrani pada Kongres Pemuda I yang beranggapan bahwa jika tumpah darah dan bangsa tersebut dinamakan Indonesia, maka bahasanya pun harus disebut bahasa Indonesia. Kata "bahasa Indonesia" sendiri telah muncul dalam tulisan-tulisan Tabrani sebelum Sumpah Pemuda diselenggarakan. Kata "bahasa Indonesia" pertama kali muncul dalam harian Hindia Baroe pada tanggal 10 Januari 1926. Pada 11 Februari 1926 di koran yang sama, tulisan Tabrani muncul dengan judul "Bahasa Indonesia" yang membahas tentang pentingnya nama bahasa Indonesia dalam konteks perjuangan bangsa. Tabrani menutup tulisan tersebut dengan:[43]

"Bangsa dan pembaca kita sekalian! Bangsa Indonesia belum ada. Terbitkanlah bangsa Indonesia itu. Bahasa Indonesia belum ada. Terbitkanlah bahasa Indonesia itu. Karena menurut keyakinan kita kemerdekaan bangsa dan tanah air kita Indonesia ini terutama akan tercapai dengan jalan persatuan anak-Indonesia yang antara lain-lain terikat oleh bahasa Indonesia."

Selanjutnya, perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.[44] Pada tahun 1933, berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Pada tahun 1936, Sutan Takdir Alisjahbana menyusun Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia. Meskipun Pujangga Baru membawa pembaruan bagi bahasa dan sastra Indonesia, tetapi bahasa yang dipakai masihlah bahasa Melayu Tinggi yang "murni". Perbedaan bahasa Melayu Tinggi dan Melayu Rendah baru mulai pudar setelah munculnya Chairil Anwar.[45]

Pada tanggal 25-28 Juni 1938, dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu, dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu. Kongres Bahasa Indonesia kemudian rutin digelar lima tahunan untuk membahasa perkembangan bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia masa kini

 
Papan tanda anjuran untuk mengutamakan bahasa Indonesia, Yogyakarta.

Meskipun menyandang nama bahasa persatuan, bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa ibu hanya oleh sebagian kecil saja dari penduduk Indonesia (terutama orang-orang yang tinggal di sekitar Jakarta dan kota-kota besar lainnya yang sebagian besar berbahasa Indonesia seperti Medan dan Balikpapan), sedangkan lebih dari 200 juta orang lainnya menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua, dengan berbagai tingkat kemahiran. Sensus 2010 menunjukkan hanya 19,94% orang berusia di atas lima tahun yang menggunakan bahasa Indonesia di rumah. Di negara yang memiliki lebih dari 700 bahasa daerah dan beragam kelompok suku, bahasa Indonesia memainkan peran penting dalam mempersatukan keberagaman budaya di seluruh Indonesia. Bahasa Indonesia adalah bahasa utama di media, badan pemerintah, sekolah, universitas, tempat kerja, dll.[46]

Bahasa Indonesia baku digunakan untuk keperluan penulisan buku dan surat kabar, serta untuk siaran berita televisi/ radio. Bahasa Indonesia baku jarang digunakan dalam percakapan sehari-hari, sebagian besar terbatas pada keperluan formal saja. Meskipun hal ini merupakan gejala yang umum terjadi pada kebanyakan bahasa di dunia (misalnya, bahasa Inggris lisan tidak selalu sesuai dengan standar bahasa tulis), bahasa Indonesia lisan cukup berbeda/ jauh dari bahasa Indonesia baku, baik dalam hal tata bahasa maupun kosa kata. Hal itu utamanya disebabkan karena orang Indonesia cenderung menggabungkan aspek bahasa daerahnya sendiri (misalnya, Jawa, Sunda, dan Bali) dengan bahasa Indonesia. Hal ini menghasilkan berbagai dialek bahasa Indonesia yang kedaerahan, jenis inilah yang paling mungkin didengar oleh orang asing saat tiba di sebuah kota di Indonesia.[47] Fenomena ini diperkuat dengan penggunaan bahasa gaul Indonesia, khususnya di perkotaan. Tidak seperti varietas baku yang relatif seragam, Bahasa Indonesia daerah menunjukkan tingkat variasi geografis yang tinggi, meskipun bahasa Indonesia gaul ala Jakarta berfungsi sebagai norma de facto bahasa informal dan merupakan sumber pengaruh yang populer di seluruh Indonesia.[28] Pemisahan bahasa Indonesia baku dan bahasa gaul Jakarta ini, oleh Benedict Anderson, disebut sebagai gejala kramanisasi.[48]

Penyempurnaan ejaan

Ejaan-ejaan untuk bahasa Melayu atau Indonesia mengalami beberapa tahapan sebagai berikut:

Ejaan van Ophuijsen

Ejaan ini merupakan ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin. Charles Van Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan Malmoer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim menyusun ejaan baru ini pada tahun 1896. Pedoman tata bahasa yang kemudian dikenal dengan nama ejaan van Ophuijsen itu resmi diakui pemerintah kolonial pada tahun 1901. Ciri-ciri dari ejaan ini yaitu:

  1. Huruf ï untuk membedakan antara huruf i sebagai akhiran dan karenanya harus disuarakan tersendiri dengan diftong seperti mulaï dengan ramai. Juga digunakan untuk menulis huruf y seperti dalam Soerabaïa.
  2. Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang, dan sebagainya.
  3. Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer, dan sebagainya.
  4. Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma’moer, ’akal, ta’, pa’, dan sebagainya.

Ejaan Republik

Ejaan ini diresmikan pada tanggal 19 Maret 1947 menggantikan ejaan sebelumnya. Ejaan ini juga dikenal dengan nama ejaan Soewandi. Ciri-ciri ejaan ini yaitu:

  1. Huruf oe diganti dengan u pada kata-kata guru, itu, umur, dan sebagainya.
  2. Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k pada kata-kata tak, pak, rakjat, dan sebagainya.
  3. Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2 seperti pada kanak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.
  4. Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mendampinginya.

Ejaan Pembaharuan

Ejaan Pembaharuan dirancang oleh sebuah panitia yang diketuai oleh Prijono dan Elvianus Katoppo pada tahun 1957 sebagai hasil keputusan Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Namun, sistem ejaan ini tidak pernah dilaksanakan.

Ejaan Melindo

Konsep ejaan ini dikenal pada akhir tahun 1959. Karena perkembangan politik selama tahun-tahun berikutnya, diurungkanlah peresmian ejaan ini.

Ejaan yang Disempurnakan

Sebelum EYD, Lembaga Bahasa dan Kesusastraan, (sekarang Pusat Bahasa), pada tahun 1967 mengeluarkan Ejaan Baru (Ejaan LBK) untuk menggantikan ejaan Melindo. Kemudian, diresmikan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Ejaan ini diresmikan pemakaiannya pada tanggal 16 Agustus 1972 oleh Presiden Republik Indonesia. Peresmian itu berdasarkan Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972. Dengan EYD, ejaan dua bahasa serumpun, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia, dibakukan.

Perubahan:

Indonesia
(pra-1972)
Malaysia
(pra-1972)
Sejak 1972
tj ch c
dj j j
ch kh kh
nj ny ny
sj sh sy
j y y
oe* u u

Ejaan Bahasa Indonesia

Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) adalah ejaan bahasa Indonesia yang berlaku sejak tahun 2015 berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia. Ejaan ini menggantikan Ejaan yang Disempurnakan. Tidak terdapat banyak perbedaan antara EYD dan EBI. Pada EBI, terdapat penambahan satu huruf diftong, yaitu huruf ei sehingga huruf diftong dalam Bahasa Indonesia menjadi empat huruf, yakni ai, ei, au, dan oi. Selain itu terdapat juga penambahan aturan pada penggunaan huruf tebal dan huruf kapital.

Daftar kata serapan dalam bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang terbuka bagi pengayaan kosakata dengan menyerap kata-kata dari bahasa-bahasa lain, baik dari dalam maupun luar Indonesia. Penyerapan kata ini melalui serangkaian peristiwa baik melalui sejarah maupun tahapan penelitian yang dilakukan oleh pakar bahasa di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia termasuk juga melibatkan para pakar dalam bidang lain seperti pakar agama, politik, ekonomi, hukum, sosial budaya, kedokteran, dan lain-lain.[49]

Asal bahasa Jumlah kata
Belanda 3.280 kata
Inggris 1.610 kata
Arab 1.495 kata
Sanskerta 677 kata
Tionghoa 290 kata
Portugis 131 kata
Tamil 83 kata
Farsi 63 kata
Hindi 7 kata

Sumber: Buku berjudul "Senarai Kata Serapan dalam Bahasa Indonesia" (1996) yang disusun oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (sekarang bernama Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan).


Adapun jumlah kata yang diserap dari bahasa-bahasa daerah lain di Indonesia dalam KBBI Edisi Keempat ditunjukkan di dalam daftar berikut:[50]

Asal Bahasa Jumlah Kata
Jawa 1109 kata
Minangkabau 929 kata
Sunda 223 kata
Madura 221 kata
Bali 153 kata
Aceh 112 kata
Banjar 100 kata

Penggolongan

Indonesia termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia Barat, subkelompok dari bahasa Melayu-Polinesia yang pada gilirannya merupakan cabang dari bahasa Austronesia. Menurut situs Ethnologue, bahasa Indonesia didasarkan pada bahasa Melayu dialek Riau yang dituturkan di timur laut Sumatra.

Persebaran geografis

Bahasa Indonesia dituturkan di seluruh Indonesia, walaupun lebih banyak digunakan di kawasan perkotaan, seperti di Jabodetabek dengan dialek Betawi serta logat Betawi.

Penggunaan bahasa di daerah biasanya lebih resmi, dan sering kali terselip dialek dan logat di daerah bahasa Indonesia itu dituturkan. Untuk berkomunikasi dengan sesama orang sedaerah, kadang-kadang bahasa daerahlah yang digunakan sebagai pengganti untuk bahasa Indonesia.

Kedudukan resmi

Bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting seperti yang tercantum dalam:

  1. Ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 dengan bunyi, ”Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
  2. Undang-Undang Dasar RI 1945 Bab XV (Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan) Pasal 36 menyatakan bahwa ”Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”.

Dari kedua hal tersebut, maka kedudukan bahasa Indonesia sebagai:

  1. Bahasa kebangsaan, kedudukannya berada di atas bahasa-bahasa daerah.
  2. Bahasa negara (bahasa resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia)

Fonologi

Bahasa Indonesia mempunyai 26 fonem. Jumlahnya berubah menjadi 31 apabila alofon dan konsonan pinjaman juga dihitung.

Vokal

Depan Madya Belakang
Tertutup i u
Tengah e ə o
Hampir Terbuka ɛ (ɔ)
Terbuka a

Bahasa Indonesia juga mempunyai diftong /ai̯/, /au̯/, /oi̯/, dan /ei̯/ yang ada pada kata-kata bersuku kata terbuka, seperti damai /da.mai̯/—namun, di dalam suku kata tertutup seperti air /a.ir/, kedua vokal tidak diucapkan sebagai diftong.

Konsonan

Bibir (Labial dan Labiovelar) Birgi (Labiodental) Ronggi (Alveolar/Dental) Pascaronggi (Postalveolar) Langit2 (Palatal) Langbel (Velar) Cera (Glotal)
Sengau (Nasal) m n ɲ ŋ
Letup (Plosif) p b t/t̪ d/d̪ k g ʔ
Afrikat t͡ʃ d͡ʒ
Tiup (Frikatif dan Sibilan) (f v) s (z) (ʃ) (x) h
Getar/Sisi r l
Hampiran (Aproksiman) w j

Bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu awalnya tidak mengenal adanya gugus konsonan, tetapi karena pengaruh dari bahasa asing dan daerah ke dalam bahasa Indonesia ditemukan cukup banyak gugus konsonan. Gugus konsonan dalam bahasa Indonesia adalah /pl/, /bl/, /kl/, /fl/, /sl/, /pr/, /br/, /tr/, /dr/, /kr/, /gr/, /fr/, /sr/, /ps/, /sw/, /sp/, /sk/, /st/, /str/, /spr/, /skr/, dan /skl/.

  • Vokal di dalam tanda kurung adalah alofon, sedangkan konsonan di dalam tanda kurung adalah fonem pinjaman dan hanya muncul di dalam kata serapan.
  • /k/, /p/, dan /t/ tidak diaspirasikan
  • /t/ dan /d/ adalah konsonan gigi bukan konsonan rongga gigi seperti di dalam bahasa Inggris. Namun, terdapat variasi bunyi /t̪/ (gigi) dan d (rongga gigi) tergantung aksen pengguna.
  • Dalam beberapa kasus, /k/ pada akhir suku kata menjadi konsonan letup celah suara, seperti pada kakak /kakaʔ/ dan capek /t͡ʃapeʔ/, namun tidak pada kata-kata lainnya, seperti enak /e.nak̚/ dan solek /so.lek̚/.
  • Penekanan ditempatkan pada suku kata kedua dari terakhir dari kata akar. Apabila ada suku kata yang mengandung pepet, maka penekanan pindah ke suku kata terakhir.

Sistem penulisan

Huruf Besar Huruf Kecil IPA Huruf Besar Huruf Kecil IPA
A a /a/ N n /n/
B b /b/ O o /o/
C c /tʃ/ P p /p/
D d /d/ Q q /k/
E e /e, ɛ, ə/ R r /r/
F f /f/ S s /s/
G g /ɡ/ T t /t/
H h /h/ U u /u/
I i /i/ V v /v, f/
J j /dʒ/ W w /w/
K k /k/ X x /ks/
L l /l/ Y y /j/
M m /m/ Z z /z/

Selain huruf-huruf di atas, bahasa Indonesia juga menggunakan beberapa digraf, yaitu:

Huruf besar Huruf kecil IPA
Sy sy /ʃ/
Ny ny /ɲ/
Ng ng /ŋ/
Kh kh /x/

Tata bahasa

Dibandingkan dengan bahasa-bahasa Eropa, bahasa Indonesia tidak menggunakan kata benda bergender. Tidak ada deklinasi tertentu yang menentukan gender dari suatu kata. Di luar konteks gender secara linguistik, kata-kata dalam bahasa Indonesia sebagian besar tidak menyatakan jenis kelamin. Sebagai contoh, kata ganti seperti dia tidak secara spesifik menunjukkan bahwa orang yang disebut adalah lelaki atau perempuan. Hal yang sama juga ditemukan pada kata seperti adik dan pacar. Untuk memerinci jenis kelamin, sebuah kata sifat harus ditambahkan, seperti pada kata adik laki-laki.

Ada juga kata yang secara gamblang menyatakan jenis kelamin, seperti putri dan putra. Kata-kata seperti ini biasanya diserap dari bahasa lain, seperti bahasa Sanskerta dan bahasa Jawa Kuno.

Untuk mengubah sebuah kata benda menjadi bentuk jamak, digunakanlah reduplikasi (perulangan kata), tapi hanya jika jumlahnya tidak terlibat dalam konteks. Sebagai contoh, penggunaan seribu orang-orang tidak benar, karena jumlah telah disebutkan dalam kata seribu.

Bahasa Indonesia menggunakan dua jenis kata ganti orang pertama jamak, yaitu kami dan kita. Kami adalah kata ganti eksklusif, yang berarti tidak mengikutsertakan sang kawan bicara. Sementara itu, kita adalah kata ganti inklusif, yang berarti mengikutsertakan kawan bicara.

Susunan kata dalam bahasa Indonesia adalah Subjek – Predikat – Objek (SPO), walaupun susunan kata lain juga mungkin digunakan. Tidak ada infleksi pada kata kerja, baik menurut subjek maupun objek. Bahasa Indonesia juga tidak mengenal kala (tense) secara gramatikal. Waktu dinyatakan dengan menambahkan kata keterangan waktu seperti kemarin dan besok, atau petunjuk lain seperti sudah dan belum.

Meskipun memiliki tata bahasa yang cukup sederhana, bahasa Indonesia mempunyai kerumitannya sendiri, yaitu penggunaan imbuhan yang mungkin cukup membingungkan bagi orang yang pertama kali belajar bahasa Indonesia.

Awalan, akhiran, dan sisipan

Bahasa Indonesia mempunyai banyak awalan, akhiran, maupun sisipan, baik yang asli dari bahasa-bahasa Nusantara maupun dipinjam dari bahasa-bahasa asing.

Awalan Fungsi (pembentuk) Perubahan bentuk Kaitan
ber- verba be-; bel- per-
ter- verba; adjektiva te-; tel- ke-
meng- verba (aktif) me-; men-; mem-; meny- di-; pe-; ku-; kau;
di- verba (pasif) meng-
ke- nomina; numeralia; verba (percakapan) ter-
per- verba; nomina pe-; pel- ber-
peng- nomina pe-; pen-; pem-; peny- meng-
se- klitik; adverbia
ku-, kau- verba (aktif) me-

Dialek dan ragam bahasa

Pada keadaannya, bahasa Indonesia menumbuhkan banyak varian yaitu varian menurut pemakai yang disebut sebagai dialek dan varian menurut pemakaian yang disebut sebagai ragam bahasa.

Dialek dibedakan atas hal ihwal berikut:

  1. Dialek regional, yaitu rupa-rupa bahasa yang digunakan di daerah tertentu sehingga ia membedakan bahasa yang digunakan di suatu daerah dengan bahasa yang digunakan di daerah yang lain meskipun mereka berasal dari ekabahasa. Oleh karena itu, dikenallah bahasa Melayu dialek Ambon, dialek Jakarta (Betawi), atau bahasa Melayu dialek Medan.
  2. Dialek sosial, yaitu dialek yang digunakan oleh kelompok masyarakat tertentu atau yang menandai tingkat masyarakat tertentu. Contohnya, dialek wanita dan dialek remaja.
  3. Dialek temporal, yaitu dialek yang digunakan pada kurun waktu tertentu. Contohnya dialek Melayu zaman Sriwijaya dan dialek Melayu zaman Abdullah.
  4. Idiolek, yaitu keseluruhan ciri bahasa seseorang. Sekalipun hampir seluruh warga Indonesia menggunakan bahasa Indonesia, mereka masing-masing memiliki ciri-ciri khas pribadi dalam pelafalan, tata bahasa, atau pilihan dan kekayaan kata.

Ragam bahasa dalam bahasa Indonesia berjumlah sangat banyak dan tidak terhad. Maka itu, ia dibagi atas dasar pokok pembicaraan, perantara pembicaraan, dan hubungan antarpembicara.

Ragam bahasa menurut pokok pembicaraan meliputi:

  1. ragam undang-undang
  2. ragam jurnalistik
  3. ragam ilmiah
  4. ragam sastra

Ragam bahasa menurut hubungan antarpembicara dibagi atas:

  1. ragam lisan, terdiri dari:
    1. ragam percakapan
    2. ragam pidato
    3. ragam kuliah
    4. ragam panggung
  2. ragam tulis, terdiri dari:
    1. ragam teknis
    2. ragam undang-undang
    3. ragam catatan
    4. ragam surat-menyurat

Dalam kenyataannya, bahasa baku tidak dapat digunakan untuk segala keperluan, tetapi hanya untuk:

  1. komunikasi resmi
  2. wacana teknis
  3. pembicaraan di depan khalayak ramai
  4. pembicaraan dengan orang yang dihormati

Selain keempat penggunaan tersebut, dipakailah ragam bukan baku.

Metode pembelajaran

Metode pembelajaran bahasa Indonesia adalah prosedur pembelajaran yang difokuskan pada pencapaian tujuan pembelajaran bahasa Indonesia. Prosedur yang digunakan sudah disesuaikan dengan sifat pembelajaran bahasa Indonesia yang spesifik. Dalam melaksanakan pembelajaran bahasa Indonesia, guru harus memiliki tingkat penyesuaian yang cocok dengan siswa. Penyesuaian tersebut dirancang secara terpadu dengan tujuan belajar bahasa Indonesia.

Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan, antara lain:[51]

  1. Metode tata bahasa/terjemahan
  2. Metode membaca
  3. Metode audiolingual
  4. Metode reseptif dan produktif
  5. Metode langsung
  6. Metode komunikatif
  7. Metode integratif
  8. Metode tematik
  9. Metode kuantum
  10. Metode konnstruktifistik
  11. Metode partisipatori
  12. Metode kontekstual

Lihat pula

Rujukan

  1. ^ a b Badan Pusat Statistik (28 Maret 2013). "Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010 (Result of Indonesia Population Census 2010)". Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk ... = Population of Indonesia : Result of Indonesia Population Census: 421, 427. ISSN 2302-8513. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2 April 2015. Diakses tanggal 12 April 2015. 
  2. ^ https://www.ethnologue.com/language/ind.
  3. ^ Ethnologue (dalam bahasa Inggris) (edisi ke-25, 19), Dallas: SIL International, ISSN 1946-9675, OCLC 43349556, Wikidata Q14790, diakses tanggal 23 April 2022 
  4. ^ "East Timor Languages". www.easttimorgovernment.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-04. Diakses tanggal 21 Maret 2016. 
  5. ^ Hammarström, Harald; Forkel, Robert; Haspelmath, Martin, ed. (2023). "Indonesian". Glottolog 4.8. Jena, Jerman: Max Planck Institute for the Science of Human History. 
  6. ^ "Bahasa Indonesia". www.ethnologue.com (dalam bahasa Inggris). SIL Ethnologue. 
  7. ^ "Indonesia is The Most Trilingual Country in The World" [Indonesia Negara Trilingual Teratas di Dunia] (dalam bahasa Inggris). 
  8. ^ "Indonesia Ranks As The Top Trilingual Country In The World" [Indonesia Duduki Peringkat Teratas Sebagai Negara Trilingual Di Dunia] (dalam bahasa Inggris). 2021. 
  9. ^ "Indonesian (language)" [Bahasa Indonesia]. Ministry of Tourism, Republic of Indonesia (dalam bahasa Inggris). 
  10. ^ Poedjosoedarmo, Soepomo. "Javanese influence on Indonesian" [Pengaruh Bahasa Jawa dalam Bahasa Indonesia] (dalam bahasa Inggris). The Australian National University, Australia. 
  11. ^ "The Most Spoken Languages Worldwide" [Bahasa Yang Paling Banyak Dituturkan Seluruh Dunia]. statista.com (dalam bahasa Inggris). Statista. 2021. 
  12. ^ "East Timor Languages" [Bahasa-bahasa Timor Leste]. www.easttimorgovernment.com (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 Maret 2016. Diakses tanggal 21 Maret 2016. 
  13. ^ "Indonesian Language Officially Taught at Vietnam National University". english.vietnamnet.vn. 
  14. ^ "Indonesian, Thai, and Spanish language versions of the 'Marugoto (A1) Japanese Online Course' are now available". kansai.jpf.go.jp. Japanese-Language Institute, Kansai. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-09-13. Diakses tanggal 2021-09-13. 
  15. ^ "The Indonesian, Vietnamese and Thai Language Courses". cltr.asia.edu.tw. Taiwan (Republic of China): Center for the Development of Language Teaching and Research, Asia University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-09-13. Diakses tanggal 2021-09-13. 
  16. ^ "Bahasa Indonesia (Indonesian language)". sas.fas.harvard.edu. Harvard University: Faculty of Arts and Sciences. 
  17. ^ "Cambridge IGCSE Indonesian - Foreign Language". cambridgeinternational.org. Cambridge University Press & Assessment. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-09-13. Diakses tanggal 2021-09-13. 
  18. ^ "Indonesian Studies". arts.adelaide.edu.au. The University of Adelaide, Australia. 
  19. ^ "Indonesia's geographic proximity and strategic importance to Australia make it vital to understand its peoples, politics, history, languages and cultures". The University of Melbourne. 
  20. ^ "Indonesian studies". Monash University, Australia. 
  21. ^ Hamish Curry. "Teaching Indonesian in Australian Schools". The University of Melbourne. 
  22. ^ "Department of Indonesian Studies". www.sydney.edu.au. The University of Sydney, Australia. 
  23. ^ "Global Importance of Indonesia and the Indonesian Language" [Pentingnya Indonesia dan Bahasa Indonesia dalam Ranah Global] (dalam bahasa Inggris). 2018. 
  24. ^ Abas, Husen (1987). "Indonesian as a Unifying Language of Wider Communication : A Historical and Sociolinguistic Perspective". Pacific Linguistics. D–73 (viii): 230. doi:10.15144/PL-D73. ISBN 0858833581. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019. Diakses tanggal 28 December 2020. 
  25. ^ Arman, Dedi (8 June 2014). "Perkembangan Bahasa Melayu". kebudayaan.kemdikbud.go.id. Directorate General of Culture of The Republic of Indonesia. Diakses tanggal 28 December 2020. Pemindahan ini merupakan permulaan dari suatu periode dalam pengembangan dan penyebaran bahasa Melayu, yaitu zaman Kerajaan Riau dan Lingga. Dalam periode inilah bahasa Melayu memperoleh ciri ke-Riau-annya, dan bahasa Melayu Riau inilah yang merupakan cikal bakal bahasa Nasional Indonesia yang dicetuskan pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 ...Selama keberadaan kerajaan ini hampir 200 tahun lamanya, ada tiga momentum yang penting sekali bagi perkembangan dan persebaran bahasa Melayu Riau, yaitu tahun 1808, ketika Raja Ali Haji lahir; tahun 1857, ketika Raja Ali Haji menyelesaikan bukunya yang berjudul Bustanul Katibin, suatu tatabahasa normatif bahasa Melayu Riau; dan tahun 1894, ketika percetakan Mathba’atul Riauwiyah atau Mathba’atul Ahmadiyah didirikan. Pengoperasian percetakan Mathba’atul Riauwiyah ini sangat penting karena melalui buku-buku dan pamflet-pamflet yang diterbitkannya, bahasa Melayu Riau tersebar ke daerah lain di Kepulauan Nusantara. 
  26. ^ Mahayana, Maman S. (2009). "Perkembangan Bahasa Indonesia—Melayu di Indonesia dalam Konteks Sistem Pendidikan" [The Development of Indonesian—Malay language in Indonesia in the context of The Education System]. The Journal of Alternative Education (dalam bahasa Indonesian). 14 (3): 21 . doi:10.24090/insania.v14i3.350. Diakses tanggal 28 December 2020.  line feed character di |title= pada posisi 14 (bantuan)
  27. ^ Ardanareswari, Indira (25 June 2019). "History of The Indonesian Language Congress I: Inaugurating The United Language (eng)". tirto.id. Tirto. Diakses tanggal 28 December 2020. "What is named as 'Indonesian language' is the Malay language which mainly derived from 'Riau Malay' but which has been added, modified or subtract according to the needs of new age and nature, until the language is now readily spoken by all of the people of Indonesia," says Ki Hajar Dewantara in The Indonesian Language Congress I 1983 in Solo (eng) 
  28. ^ a b c d Sneddon, James (2003). "Diglossia in Indonesian". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 159 (4): 519–549. ISSN 0006-2294. 
  29. ^ Sneddon 2003, The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society, p. 70
  30. ^ Asmadi T.D. Arti Tanggal 2 Mei bagi Bahasa Indonesia Diarsipkan 2010-05-05 di Wayback Machine.. Laman Lembaga Pers Dr. Sutomo. Edisi 08 Februari 2010. diakses 5 Maret 2010.
  31. ^ Depdiknas Terbitkan Peta Bahasa Blog BahasaKita 4 Maret 2009, mirror dari berita AntaraOnline edisi 22 Oktober 2008.
  32. ^ Why Indonesian is important to learn. Situs web pengajaran bahasa Indonesia di Universitas Negeri Ohio.
  33. ^ Farber, Barry. J. How to learn any language quickly, enjoyably and on your own. Citadel Press. 1991.
  34. ^ Eliot, J., Bickersteth, J. Sumatra Handbook. Footprint. 2000.
  35. ^ Penemuan prasasti berbahasa Melayu Kuno di Jawa Tengah (berangka tahun abad ke-9) dan di dekat Bogor (Prasasti Bogor) dari abad ke-10 menunjukkan adanya penyebaran penggunaan bahasa ini di Pulau Jawa
  36. ^ Keping Tembaga Laguna (900 M) yang ditemukan di dekat Manila, Pulau Luzon, berbahasa Melayu Kuno, menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya.
  37. ^ a b Best of The Best (Crème de la Crème)
  38. ^ Hal ini tidak mengherankan karena banyak dari pengusaha penerbitan di kala itu berasal dari etnik Tionghoa.
  39. ^ Balai Pustaka, Berbenah Setelah Satu Abad. Kompas daring, 25 November 2009.
  40. ^ Marcus, A. S.; Benedanto, Pax (2001). Kesastraan Melayu Tionghoa dan kebangsaan Indonesia. Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 978-979-9251-51-0. 
  41. ^ Etek, Azizah (2008). Kelah Sang Demang, Jahja Datoek Kajo, Pidato Otokritik di Volksraad 1927–1939. LKiS. 
  42. ^ Majalah Tempo Interaktif
  43. ^ Adib, Holy (30 Agustus 2020). "Meresmikan Hari Lahir Bahasa Indonesia". Jawa Pos. 
  44. ^ Teeuw, A (1986). Modern Indonesian Literature I. Foris Publication. 
  45. ^ Rosidi, Ajip (2018-07-25). Ikhtisar Sejarah Sastera Indonesia. Dunia Pustaka Jaya. ISBN 978-979-419-567-3. 
  46. ^ "Publication Name". Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 July 2017. Diakses tanggal 4 December 2018. 
  47. ^ Why no-one speaks Indonesia's language, BBC, by David Fettling, 4 July 2018
  48. ^ Anderson, Benedict R. O'G (2006). Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (dalam bahasa Inggris). Equinox Publishing. ISBN 978-979-3780-40-5. 
  49. ^ Daftar Penelitian Bahasa menampilkan laman senarai penelitian kebahasaan. Diakses 27 Juni 2019
  50. ^ Kontribusi Kosakata Bahasa Daerah dalam Bahasa Indonesia Diarsipkan 2012-10-27 di Wayback Machine. artikel oleh Adi Budiwidiyanto di situs Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Diakses 3 November 2012
  51. ^ Teknik pembelajaran bahasa dan sastra berdasarkan kurikulum berbasis kompetensi. Surabaya: Penerbit SIC. 2004. ISBN 9799414180. OCLC 697280233. 

Pranala luar

][pranala nonaktif permanen]

Pembelajaran Bahasa Indonesia

Kamus Indonesia – asing

  • Untuk daftar situs web kamus, lihat Kamus