Politik Indonesia
Politik Indonesia adalah berlangsung dalam rangka republik demokrasiperwakilan presidensial di mana Presiden Indonesia ialah kepala negara dan kepala pemerintahan dan sistem multi partai. Kekuasaan eksekutif di jalankan oleh pemerintahan. Kekuasaal legislatif dipegang oleh pemerintah Permusyawaratan Rakyat bikameral. Lembaga Yudikatif yaitu independen dari eksekutif dan legislatif. UUD 1945 mengatur pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif secara terbatas. Sistem pemerintahan telah digambarkan sebagai presidensial dengan karakteristik parlementer[1].
Artikel ini adalah bagian dari seri |
Politik dan ketatanegaraan Indonesia |
---|
Pemerintahan pusat |
Pemerintahan daerah |
Politik praktis |
Kebijakan luar negeri |
UUD 1945 mengatur pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif secara terbatas. Sistem pemerintahan telah digambarkan sebagai presidensial dengan karakteristik parlementer. Menyusul kerusuhan Mei 1998 di Indonesia dan pengunduran diri Presiden Suharto, beberapa informasi politik dilakukan melalui amandemen Undang-Undand Dasar Indonesia, yang mengakibatkan perubahan pada semua cabang pemerintahan. The Economist Intelligence Unit menilai Indonesia sebagai Demokrasi yang Cacat pada tahun 2019. Partai politik Indonesia telah dicirikan sebagai partai kartel dengan pembagian kekuasaan yang luas di antara partai-partai dan akuntabilitas yang terbatas kepada pemilih[2] .
Kekuasaan eksekutif dipimpin oleh seorang Presiden Indonesia yang merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Dalam menjalankan tugasnya, presiden dibantu oleh seorang Wakil Presiden Indonesia. Kekuasaan legislatif terletak pada Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR) yang dibagi menjadi Sistem dua kamar, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD). Cabang yudikatif terdiri dari Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA) dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) yang secara bersama-sama memegang kekuasaan kehakiman. Kekuasaan inspektif dipegang oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia yang memiliki perwakilan di setiap provinsi dan kabupaten/kota di seluruh wilayah Republik Indonesia.
Pemilihan umum di Indonesia diselenggarakan setiap lima tahun serentak. Pemilihan yang dilakukan untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD disebut pemilihan umum legislatif (Pileg); untuk memilih presiden dan wakil presiden disebut pemilihan umum presiden (Pilpres); sementara untuk memilih kepala daerah disebut pemilihan umum kepala daerah (Pilkada). Pemilihan umum di Indonesia menganut sistem multipartai.
Ada perbedaan antara sistem politik Indonesia dan negara demokratis lainnya, di antaranya adalah adanya MPR yang merupakan ciri khas dari kearifan lokal Indonesia, MK yang juga berwenang mengadili sengketa hasil pemilihan umum, bentuk negara kesatuan yang menerapkan prinsip-prinsip federalisme seperti adanya DPD, dan sistem multipartai berbatas dengan setiap partai yang mengikuti pemilihan umum harus memenuhi ambang batas 4% untuk dapat menempatkan anggotanya di DPR.
Sejarah Demokrasi Liberal
Politik Indonesia adalah merupakan kedaulatan rakyat/masyarakat termanifestasi dalam pemilihan parlemen dan presiden setiap lima tahun. Negara Indonesia menganut demokrasi konstitusional.[3][4]
Era Semokrasi Liberal (Bahasa Indonesia: Demokrasi Liberal di Indonesia dimulai pada tanggal 17 Agustus 1950 setelah pembubaran federal Republik Indonesia Serikat kurang dari setahun setelah pembentukannya, dan berahir dengan pemberlakuan darurat militer dan keputusan Presiden Sukarno tahun 1959 tentang pengenalan Demokrasi terpimpin pada tanggal 5 Juli. Itu menyaksikan sejumlah peristiwa penting, termasuk konferensi Bandung 1955, pemilihan umum dan pemilihan Majelis Konstitusi pertama di Indonesia, dan priode ketidakstabilan politik yang diperpanjang, tanpa kabinet yang berlangsung selama dua tahun.
Sejak tahun 1957, Demokrasi Terpimpin adalah sistem politik yang berlaku sampai orde baru dimulai pada tahun 1966. Itu adalah gagasan Presiden Sukarno, dan merupakan upaya untuk mewujutkan stabilitas politik. Ia menilai demokrasi dengan cara Barat tidak sesuai dengan situasi Indonesia. Sebaliknya, ia mencari sistem yang didasarkan pada sistem Musyawarah dan mufakat desa tradisional masyarakat Adat, yang terjadi dibawah bimbingan dudungan tradisional.
Masa awal dan Orde Lama
Peralihan ke Orde Baru pada pertengahan 1960-an, menggulingkan Sukarno setelah 22 tahun menjabat. Salah satu periode paling bergejolak dalam sejarah modern negara ini, adalah dimulainya masa kepresidenan Suharto selama tiga dekade. Digambarkan sebagai dhalang besar (master boneka), Sukarno menarik kekuasaan dari menyrimbangan kekuatan yang berlawanan dan semakin antagonis dari tentara dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pada tahun 1965, PKI secara ekstensif merambah semua tingkatan pemerintahan dan memperoleh pengaruh dengan mengorbankan tentara. Pada tanggal 30 September 1965, enam perwira militer paling senior tewas dalam suatu aksi (umumnya disebut percobaan kudeta) oleh apa yang disebut Gerakan 30 September, sebuah kelompok dari dalam angkatan bersenjata. Dalam beberapa jam, Mayor Jendral Suharto mengerahkan pasukan dibawah komandonya dan menguasai Jakarta. Anti-komunis, awalnya mengikuti pimpinan tentara, melakukan pembersihan komunis dengan kekerasan diseluruh negeri, menewaskan sekitar setengah juta orang dan menghancurkan PKI, yang secara resmi disalahkan atas krisis tersebut[5][6].
Sukarno yang lemah secara politik terpaksa menyerahkan kekuatan politik dan militer utama kepada Jendral Suharto, yang telah menjadi kepala angkatan bersenjata. Pada Maret 1967, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mengangkat Jendral Suharto sebagai pejabat Presiden. Dia secara resmi diangkat sebagai presiden satu tahun kemudian. Sukarno hidup dibawah tahanan rumah virtual sampai kematiannya pada tahun 1970. Berbeda dengan badai nasionalisme, retorika revolusioner, dan kegagalan ekonomi yang menjadi ciri awal 1960-an di bawah Sukarno yang berhaluan kiri, Orde Baru Suharto yang pro-Barat menstabilkan ekonomi tetapi terus berlanjut. dengan falsafah negara Pancasila[7].
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memilih dan mengangkat Soekarno sebagai presiden dan Mohammad Hatta sebagai wakil presiden. Sehari setelahnya, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disahkan sebagai konstitusi, meskipun pemberlakuannya sempat ditangguhkan seiring disahkannya kesepakatan Konferensi Meja Bundar yang memasukkan RI sebagai bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS) yang memiliki Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Indonesia juga memiliki Daftar Perdana Menteri Indonesia yang pertama kali dijabat oleh Sutan Syahrir hingga terakhir Soekarno yang menjabat sebagai presiden sekaligus perdana menteri. Walaupun Volksraad atau "Dewan Rakyat" telah ada sejak zaman Hindia Belanda, tetapi lembaga legislatif Indonesia baru dirintis melalui pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang diketuai Kasman Singodimedjo. Pada masa RIS, dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat dan Daftar anggota senat Republik Indonesia Serikat. Lembaga yudikatif telah berdiri sejak Kusumah Atmaja menjabat sebagai Daftar Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Mahkamah Agung Republik Indonesia pada 19 Agustus 1945.
Pasca-RIS, Indonesia memasuki Sejarah Indonesia (1950–1959). Pada masa ini, presiden berperan sebagai kepala negara sedangkan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Sementara itu, Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia digunakan sebagai konstitusi sampai Konstituante berhasil menghasilkan UUD yang baru. Pada periode ini, Dewan Perwakilan Rakyat Sementara dibentuk hingga anggota DPR hasil Pemilihan umum legislatif Indonesia 1955 terpilih.
Dekret Presiden 5 Juli 1959 menginisiasi Sejarah Indonesia (1959–1965). UUD 1945 kembali dijadikan konstitusi. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dibentuk yang menjadi cikal bakal MPR.
Selain lembaga-lembaga di atas, Indonesia pernah memiliki lembaga pertimbangan sebagai salah satu Lembaga Tinggi Negara. Awalnya, organisasi ini diberi nama Majelis Pertimbangan (MP), kemudian Badan Pertimbangan Agung (BPA), Dewan Nasional, Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS), dan terakhir Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Orde Baru
Sejak MPRS menunjuk Soeharto sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia pada 1967 dan kemudian sebagai presiden pada tahun berikutnya, Indonesia memasuki masa Orde Baru. Pada periode ini, gagasan antikomunisme berkembang sehingga Partai Komunis Indonesia dibubarkan dan dilarang. Partai-partai politik disederhanakan — dari 10 partai politik yang berpartisipasi pada Pemilihan umum legislatif Indonesia 1971 menjadi tiga partai politik yang mengikuti lima pemilu setelahnya. Partai Golongan Karya menjadi pemenang dalam setiap pemilu, sementara Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) menjalani dwifungsi sehingga ikut berpartisipasi dalam perpolitikan[8].
Segera setelah percobaan kudeta pada tahun 1965, situasi pilitik tidak menentu, tetapi orde baru mendapat dukungan dari masyarakat yang mengingikan pemisahan dari masalah- masalah Indonesia sejak kemerdekaannya. Generasi 66 (Angkatan 66) melambangkan pembicaraan sekelompok pemimpin muda baru dan pemikir intlektual baru. Menyusul konflik komunal dan politik, dan keruntuhan ekonomi dan kehancuran sosial pada akhir 1950-an hingga pertengahan 1960-an, Orde Baru berkomitmen untuk mencapai dan mempertahankan tatanan politik, pembangunan ekonomi, dan penghapusan partisipasi massa dalam proses politik. Ciri-ciri Orde Baru yang berdiri sejak akhir 1960-an adalah peran politik yang kuat bagi militer, birokratisasi dan korporatisasi organisasi politik dan rakyat, dan represi lawan selektif namun efektif. Anti-komunisme yang keras tetap menjadi ciri khas rezim selama 32 tahun berikutnya[7].
Namun, dalam beberapa tahun, banyak dari sekutu aslinya menjadi acuh tak acuh atau menolak Orde Baru, yang terdiri dari militer yang didukung oleh kelompok sipil yang sempit. Di antara banyak gerakan pro-demokrasi yang memaksa Suharto untuk mengundurkan diri pada tahun 1998 dan kemudian memperoleh kekuasaan, istilah Orde Baru telah digunakan secara merendahkan. Ini sering digunakan untuk menggambarkan tokoh-tokoh yang terkait dengan Orde Baru, atau yang menjunjung tinggi praktek rezim otoriternya, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Dikenal dengan singkatan KKN: Korupsi, Kolusi, Nepotisme)[9].
Reformasi
Sejarah Indonesia (1998–sekarang) dalam kancah politik Indonesia yang dimulai sejak 1998 telah menghasilkan banyak perubahan penting dalam bidang politik di Indonesia, di antaranya adalah empat kali amendemen terhadap UUD 1945 pada Sidang Umum MPR 1999, 2000, 2001 dan 2002. Hasilnya, pasal-pasal dalam konstitusi berubah dari 37 pasal menjadi 73 pasal dan hanya 11% yang tidak berubah dari versi awalnya.[10] Perubahan-perubahan paling penting di antaranya:[11][12]
- membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden menjadi dua periode,
- membentuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang bersama-sama dengan DPR menjadi anggota MPR,
- memurnikan dan memberdayakan sistem pemerintahan presidensial alih-alih semipresidensial,
- melangsungkan pemilihan presiden secara demokratis dan tidak dipilih oleh MPR,
- menata kembali mekanisme hubungan antarlembaga negara dan tidak memberikan kedudukan konstitusional tertinggi kepada MPR,
- menghapus Dewan Pertimbangan Agung.
- mengamanatkan pemilihan dengan prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil,
- membentuk Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk mengawal dan mempertahankan sistem ketatanegaraan sebagaimana diatur dalam konstitusi,
- membentuk Komisi Yudisial Republik Indonesia, dan
- menambah sepuluh pasal baru tentang hak asasi manusia.
Pasangan presiden dan wakil presiden mulai dipilih secara langsung oleh rakyat sejak Pemilihan umum Presiden Indonesia 2004. Di sisi lain, kepala daerah (gubernur, bupati, dan wali kota) yang mulanya dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), sejak tahun 2005 juga dipilih oleh rakyat melalui Pemilihan kepala daerah di Indonesia. Pada cabang legislatif, anggota MPR terdiri atas anggota DPR ditambah anggota DPD yang semuanya dipilih melalui pemilu legislatif.
Pemerintahan daerah
Indonesia dibagi-bagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan/atau kota yang diatur dengan undang-undang tersendiri mengenai pembentukan daerah tersebut. Setiap kabupaten dan kota tersebut juga dibagi ke dalam satuan-satuan pemerintahan yang disebut kecamatan/distrik. Setiap kecamatan/distrik tersebut dibagi ke dalam satuan-satuan yang lebih kecil yaitu kelurahan, desa, nagari, kampung, gampong, pekon, dan sub-distrik serta satuan-satuan setingkat yang diakui keberadaannya oleh UUD NKRI 1945.
Pemerintahan daerah pada tingkat provinsi, kabupaten, dan kota terdiri atas Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD yang merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang keduanya merupakan unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Pemerintah daerah memiliki kekuasaan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, pemerintah daerah juga berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintah daerah berhak menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali mengenai urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter & fiskal nasional dan agama.
Lihat pula
Referensi
- ^ King, Blair. A Inside Indonesia:Constitutional tinkering: The search for consensus is taking time Diarsipkan 29 October 2009 di Wayback Machine. access date 23 May 2009
- ^ Slater, Dan (2018). "Party Cartelization, Indonesian-Style: Presidential Powersharing and the Contingency of Democratic Opposition". Journal of East Asian Studies (dalam bahasa Inggris). 18 (1): 23–46. doi:10.1017/jea.2017.26 . ISSN 1598-2408.
- ^ https://www.indonesia-investments.com/id/budaya/politik/item65?
- ^ https://www.detik.com/tag/ott-kpk
- ^ Chris Hilton (writer and director) (2001). Shadowplay (Television documentary). Vagabond Films and Hilton Cordell Productions.; Ricklefs (1991), pages 280–283, 284, 287–290
- ^ Robert Cribb (2002). "Unresolved Problems in the Indonesian Killings of 1965-1966". Asian Survey. 42 (4): 550–563. doi:10.1525/as.2002.42.4.550. ; Friend (2003), page 107-109, 113.
- ^ a b https://www.semanticscholar.org/paper/Unresolved-problems-in-the-Indonesian-killings-of-Cribb/aa9b073fd95ecbc825767210f1afb1a724171b8b
- ^ http://www.thejakartapost.com/news/2001/08/24/stop-talk-kkn.html
- ^ Stop talk of KKN Diarsipkan 26 October 2014 di Wayback Machine.. The Jakarta Post (24 August 2001).
- ^ Denny Indrayana (2008), p331
- ^ Jimly Asshiddiqie (2009)
- ^ Denny Indrayana (2008), pp. 360-381
Bacaan lanjutan
- Asshiddiqie, Jimly (2009). The Constitutional Law of Indonesia: A Comprehensive Overview. Selangor, Malaysia: Sweet & Maxwell Asia. ISBN 9789675040290.
- Indrayana, Denny (2008). Indonesian Constitutional Reform 1999-2002: An Evaluation of Constitution-Making in Transition. Jakarta: Kompas Book Publishing. ISBN 978-979-709-394-5.
- O'Rourke, Kevin (2002). Reformasi: The Struggle for Power in post-Soeharto Indonesia. Crows Nest, New South Wales: Allen & Unwin. ISBN 1-86508-754-8.
- Schwarz, Adam (2000). A Nation in Waiting: Indonesia's Search for Stability. Boulder, Colorado: Westview Press. ISBN 9781865081793.
Pranala luar
- Republic of Indonesia - National portal Diarsipkan 2012-02-17 di Wayback Machine.