Albertus Soegijapranata

uskup Indonesia
Revisi sejak 12 Juli 2012 02.21 oleh Crisco 1492 (bicara | kontrib) (hasil terjemahan)

Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ (Ejaan Yang Disempurnakan: Albertus Sugiyapranata, juga dikenal dengan tulisan gaya Jawa Albertus Sugiyopranoto; 25 November 1896 – 22 Juli 1963), lebih dikenal dengan nama lahir Soegija, merupakan Vikar Apostolik Semarang, lalu uskup agung. Dia merupakan uskup pribumi pertama dan dikenang untuk pendiriannya yang pro-nasionalis, yang sering disebut "100% Katolik, 100% Indonesia".

Mgr.

Albertus Soegijapranata

SJ
Soegijapranata, pada tahun 1947
Keuskupan agung
Semarang
Provinsi gerejawi
Semarang
MetropolisSemarang
Penunjukan1 Agustus 1940
Masa jabatan berakhir
22 Juli 1963
PendahuluNone
PenerusJustinus Darmojuwono
Imamat
Tahbisan imam
15 Agustus 1931
oleh Laurentius Schrijnen
Tahbisan uskup
6 Oktober 1940
oleh Petrus Willekens
Informasi pribadi
Nama lahirSoegija
Lahir(1896-11-25)25 November 1896
Surakarta, Hindia Belanda
Meninggal22 Juli 1963(1963-07-22) (umur 66)
Steyl, Belanda
MakamTaman Makam Pahlawan Giritunggal
KewarganegaraanIndonesia
DenominasiKatolik
Orang tua
  • Karijosoedarmo (ayah)
  • Soepiah (ibu)
Semboyan100% Katolik, 100% Indonesia[1]

Soegija dilahirkan di Surakarta, Hindia Belanda, oleh seorang abdi dalem dan istrinya. Keluarga Muslim itu lalu pindah ke kota Yogyakarta saat Soegija masih kecil, dan di kota itulah dia mulai pendidikannya. Karena diakui sebagai anak yang cerdas, pada tahun 1909 Soegija diminta oleh Pr. Frans van Lith untuk bergabung dengan Kolese Xaverius, suatu sekolah Yesuit di Muntilan. Di Xaverius Soegija menjadi tertarik dengan agama Katolik, dan dibaptis pada tanggal 24 Desember 1910; keputusan ini akhirnya direstui keluarga Soegija, yang juga bisa mendukung pilihannya untuk menjadi seorang romo. Setelah lulus dari Xaverius pada tahun 1915 dan menjadi seorang guru di sana selama satu tahun, Soegija menghabiskan dua tahun belajar di seminari di Muntilan sebelum berangkat ke Belanda pada tahun 1919. Dia menjadi novisiat dengan Serikat Yesus selama dua tahun di Grave; dia juga menyelesaikan yuniorat di Grave pada tahun. Setelah tiga tahun belajar filsafat di Kolese Berchmann di Oudenbosch, dia dikirimkan kembali ke Muntilan sebagai guru; dia bekerja di sana selama dua tahun. Pada tahun 1928 di kembali ke Belanda untuk belajar teologi di Maastricht; di Maastricht dia ditahbiskan oleh Uskup Roermond, Laurentius Schrijnen, pada tanggal 15 Agustus 1931. Setelah ini Soegija menambahkan kata "pranata" di belakang namanya. Pada tahun 1933 Soegijapranata dikirim kembali ke Hindia Belanda untuk menjadi pastor.

Soegijapranata mulai keimamannya sebagai vikar paroki untuk Pr. van Driessche di Paroki Kidul Loji, Yogyakarta pusat, tetapi diberi paroki sendiri setelah Gereja St Yoseph di Bintaran dibuka pada bulan April 1934. Tahun berikutnya tugasnya ditambah lagi dengan paroki di Ganjuran, Bantul. Dalam periode ini dia berusaha untuk meningkatakn rasa ke-Katolikan dalam masyarakat Katolik dan menekankan perlunya hubungan yang kuat antara keluarga katolik. Pada tahun 1940 Soegijapranata dikonsekrasikan oleh Vikar Apostolik Batavia Petrus Willekens sebagai vikar apostolik dari Vikariat Apostolik Semarang, yang baru didirikan. Biarpun jumlah orang Katolik meningkat setelah dia dikonsekrasikan, Soegijapranata harus menghadapi berbagai tantangan. Kekaisaran Jepang menduduki nusantara Hindia Belanda pada awal tahun 1942, dan selama periode pendudukan banyak gereja diambilalihkan dan banyak pastor, baik yang keturunan Eropa maupun pribumi, ditangkap atau dibunuh. Soegijapranata bisa menentang beberapa kejadian ini, dan menghabiskan periode pendudukan dengan melayani orang Katolik dalam vikariatnya sendiri.

Setelah Presiden Soekarno memproklamasi kemerdekaan Indonesia, Semarang dipenuhi dengan kekacauan. Soegijapranata membantu dalam penyelesaian Pertempuran Lima Hari, yang terjadi antara pihak Jepang dan Indonesia, dan menuntut agar pemerintah pusat mengirim orang untuk menghadapi kerusuhan di Semarang. Biarpun permintahan ini ditanggapi, Semarang menjadi semakin rusuh dan pada tahun 1947 Soegijapranata berpindah ke Yogyakarta. Selama revolusi nasional Soegijapranata bergerak untuk meningkatkan tingkat pengakuan Indonesia di dunia luas dan meyakinkan orang Katolik untuk berjuang demi negera mereka. Tidak lama setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, Soegijapranata kembali ke Semarang. Dalam periode paska-revolusi di menulis banyak mengenai komunisme dan berusaha untuk mengembangkan pengaruh Katolik; dia juga menjadi perantara dengan beberapa faksi politik. Pada tanggal 3 Januari 1961 dia diangkat sebagai uskup agung, saat Tahta Suci mendirikan enam provinsi eklesiastik di nusantara Indonesia. Soegijapranata menjadi anggota Komisi Persiapan Sentral dan bergabung dengan sesi pertama dari Konsili Vatikan II. Dia meninggal pada tahun 1963 di Steyl, Belanda, tidak lama setelah dipilihnya Paus Paulus VI. Setelah kematiannya jenazah Soegijapranata diterbangkan kembali ke Indonesia, di mana dia dijadikan seorang Pahlawan Nasional dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Giritunggal, Semarang.

Soegijapranata sampai sekarang dihormati orang Indonesia, baik yang Katolik maupun bukan. Berbagai biografi tentang dia sudah ditulis oleh berbagai penulis, baik yang Katolik maupun bukan, dan pada tahun 2012 sebuah film biopik fiksi garapan Garin Nugroho, yang diberi judul Soegija, diluncurkan. Universitas Katolik Soegijapranata, sebuah universitas besar di Semarang, dinamakan untuk Soegijapranata.

Kehidupan awal

Soegija dilahirkan pada tanggal 25 November 1896 di Surakarta. Dia merupakan anak kelima dari sembilan bersaudara, dengan ayah Karijosoedarmo, seorang abdi dalem di Susuhunan Surakarta, dan ibu Soepiah. Keluarga tersebut merupakan keluarga Muslim abangan, dan kakek Soegija, Soepa, seorang kyai.[2][3][4] Namanya Soegija diambil dari kata sugih dalam bahasa Jawa, yang berarti "kaya".[5] Keluarga itu lalu berpindah ke Ngabean, Yogyakarta. Di sana, Karijosoedarmo bertugas sebagai abdi dalem di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat untuk Sultan Hamengkubuwono VII, sementara istrinya menjadi pedagang ikan;[2] keluarga Soegija miskin, dan sering kurang makan.[6] Soegija anak yang berani, suka berkelahi, pintar bermain sepak bola, dan dikenal karena kecerdasannya sejak kecil.[7] Saat masih kecil, Soegija berpuasa bersama ayahnya, sesuai hukum Islam.[5]

Soegija mulai menempuh pendidikannya di sebuah Sekolah Angka Loro di wilayah Kraton. Di sana, dia belajar membaca dan menulis. Dia kemudian dipindahkan ke suatu sekolah di Wirogunan, Yogyakarta, dekat Pakualaman. Pada tahun ketiga dia mulai menempuh pendidikan di sebuah Hollands Inlands School di Lempuyangan.[8] Di luar sekolah dia belajar gamelan dan bertembang bersama orang tuanya.[2] Sekitar tahun 1909 Soegija diminta oleh Pr. Frans van Lith untuk bergabung dengan sebuah sekolah Yesuit di Muntilan, 30 kilometer ke barat laut dari Yogyakarta. Biarpun awalnya kedua orang tuanya khawatir bahwa Soegija akan menjadi seperti anak Eropa, mereka merestui.[9]

Kolese Xaveriuse

Pada tahun 1909 Soegija mulai di Kolese Xaverius di Muntilan, sebuah sekolah untuk calon guru, dan menginap di asrama.[10][11] Ada 54 siswa lain dalam angkatannya. Anak-anak itu mengikuti jadwal pelajaran yang ketat. Mereka mengikuti pelajaran di pagi hari dan mengisi siang hari dengan kegiatan lain, seperti berkebenu, berdebat, dan catur. Anak-anak Katolik juga diwajibkan untuk rajin berdoa.[12] Biarpun kolese itu tidak mewajibkan siswanya menjadi orang Katolik, Soegija merasa tertekan oleh teman-temannya; oleh karena itu, sering terjadi perkelahian. Saat Soegija mengeluh kepada gurunya, Pr. L. van Rijckevorsel, bahwa para pastor Belanda sama seperti pedagang Belanda di kota, yaitu hanya memikirkan uang, romo itu menjawab bahwa mereka tidak digaji dan hanya mengharapkan yang terbaik untuk siswa-siswa mereka. Ini membuat Soegija lebih menghargai para guru, dan saat van Rijckevorsel memberi tahu siswa lain bahwa Soegija tidak ingin menjadi Katolik, anak-anak itu tidak lagi menekankan Soegija.[10]

 
Albertus Magnus, seorang santo dari abad ke-13; nama baptis Soegija didasarkan nama Albertus

Tahun berikutnya Soegija minta agar bisa mengikuti pelajaran agama Katolik; menurut dia, ini agar dia bisa menggunakan fasilitas sekolah dengan sepenuhnya. Gurunya, Pr. Mertens, menyatakan bahwa Soegija memerlukan izin orang tua sebelum dia bisa bergabung; biarpun orang tuanya tidak merestui, Soegija masih diizinkan mengikuti pelajaran. Soegija menjadi tertarik dengan soal Tritunggal, dan meminta keterangan dari beberapa guru. Van Lith mengutip karya-karya Thomas Aquinas, sementara Mertens membahas Tritunggal berdasarkan karya Agustinus dari Hippo; Mertens menyatakan bahwa manusia tidak dimaksud untuk benar-benar memahami Tuhan, sebab pengetahuan manusia terbatas.[13] Soegija, yang menjadi semakin tertarik, minta agar dibaptis; dia mengutip cerita Kristus dan Para Dokter untuk menunjukkan mengapa dia tidak memerlukan restu orang tua. Para romo menyetujui pembaptisan itu, dan Soegija dibaptis pada tanggal 24 Desember 1910; dia mengambil nama baptis Albertus,[13] berdasarkan nama Albertus Magnus.[14] Saat liburan Natal, Soegija menceritakan hal ini kepada keluarganya. Biarpun ayah dan ibunya bisa menerima, dan bahkan mungkin merestui,[a] keluarga luas Soegija tidak mau berurusan dengannya lagi.[15]

Soegija terus melanjutkan pelajarannya di Xaverius. Menurut Pr. G. Budi Subanar, seorang dosen ilmu teologi di Universitas Sanata Dharma, dalam periode ini salah satu guru mengajarkan Perintah Keempat dari Sepuluh Perintah Allah dengan pengertian bahwa seseorang tidak boleh hanya menghormati ayah dan ibu kandung, melainkan semua nenek moyangnya; ini memberi pengertian nastionalis kepada para siswa.[16] Pada kesempatan lain, Xaverius dikunjungi seorang misionaris Kapusin – yang secara fisik jauh berbeda dari para guru Jesuit – membuat Soegija mempertimbangkan menjadi seorang pastor, sebuah gagasan yang diterima orang tuanya.[17] Pada tahun 1915 Soegija menyelesaikan pendidikannya di Xaverius, lalu menjadi guru di sana selama satu tahun. Pada tahun 1916 di masuk di seminari Xaverius; ada dua anak pribumi lain yang masuk seminari tahun itu. Soegija lulus pada tahun 1919, setelah mempelajari bahasa Perancis, Latin, Yunani, dan sastra.[18]

Jalan menuju kepastoran

 
Soegija menyelesaikan periode novisiat di Mariëndaal, di Grave, Belanda.

Pada tahun 1919 Soegija dan siswa lain pergi ke Uden, Belanda, untuk meneruskan pelajaran mereka; mereka berangkat dari Tanjung Priok di Batavia. Di Uden Soegija menghabiskan satu tahun untuk lebih mendalami bahasa Latin dan Yunani, yang diperlukan untuk menjadi romo di Hindia Belanda. Dia dan rekan kelasnya juga harus mengadaptasi dengan budaya Belanda.[19] Pada tanggal 27 September 1920 Soegija mulai periode novisiat untuk bergabung dengan Serikat Yesus; rekan-rekannya mulai pada tahun berikutnya.[20] Selama menjalani novisiatnya di Mariëndaal di Grave, Soegija dipisah dari dunia luar dan menghabiskan waktunya dengan meditasi. Dia menyelesaikan novisiat pada tanggal 22 September 1922 dan dijadikan anggota Yesuit; Soegija bersumpah agar tetap miskin, suci, dan patut.[20]

Setelah bergabungan dengan Serikat Yesus Soegija menghabiskan satu tahun di Mariëndaal sebagai yuniorat. Mulai pada tahun 1923 dia belajar filsafat di Kolese Berchmann di Oudenbosch.[21] Selama ini dia lebih mendalami pengajaran Thomas Aquinas. Dia juga mulai menulis tentang agama Katolik. Dalam sebuah surat tertanggal 11 Agustus 1923 dia menulis bahwa orang Jawa belum dapat membedakan antara orang Katolik dan Protestan, dan bahwa cara yang terbaik untuk menambahkan jumlah orang Katolik ialah dengan perilaku dan bukti nyata, bukan hanya janji. Dia juga menerjemahkan hasil Kongres Ekaristi ke-27, yang diadakan di Amsterdam pada tahun 1924, untuk majalah berbahasa Jawa Swaratama; ada pula tulisan yang dimuat dalam St. Claverbond, Berichten uit Java.[22] Soegija lulus dari Berchmann pada tahun 1926, lalu bersiap untuk kembali ke Hindia Belanda.[21]

Soegija tiba di Muntilan pada bulan September 1926[23] dan menjadi guru agama, bahasa Jawa, dan aljabar di Kolese Xaverius. Tidak banyak diketahui tentang masa Soegija menjadi guru di Muntilan.[24] Menurut catatan dari sekolah, gaya mengajar Soegija berdasarkan gaya van Lith, yaitu dengan menjelaskan konsep agama berdasarkan istilah yang ada dalam tradisi Jawa.[25] Soegija juga mengawasi kegiatan gamelan[26] dan berkebun.[27] Selama di Xaverius, Soegija menjadi redaktur Swaratama, yang cenderung dibaca alumni Xaverius. Sebagai redaktur di menulis resensi mengenai berbagai topik, termasuk serangan terhadap paham komunisme dan pembahasan kemiskinan.[28]

Setelah dua tahun di Xaverius, pada bulan Agustus 1928 Soegija kembali ke Belanda dan belajar teologi di Maastricht. Dia juga bepergian saat belajar. Pada tanggal 3 Desember 1929 dia dan empat Yesuit keturunan Asia lain mengikuti Yesuit Jenderal Wlodzimierz Ledóchowski dalam sebuah pertemuan dengan Paus Pius XI di Vatikan; paus itu menyatakan bahwa para Yesuit Asia itu akan menjadi "tulang punggung" untuk agama Katolik dalam negeri mereka sendiri.[29] Soegija dijadikan seorang diaken pada bulan Mei 1931;[27] dia lalu ditahbiskan oleh Uskup Roermond Laurentius Schrijnen pada tanggal 15 Agustus 1931, saat masih menjadi siswa teologi.[b][30] Setelah ditahbiskan, Soegija menambahkan kata pranata, yang artinya "doa" atau "harapan", di belakang namanya.[31] Dia menyelesaikan pejaran teologi pada tahun 1932, dan pada tahun 1933 menjalani masa tersiat di Drongen, Belgia.[32] Tahun itu dia menulis sebuah otobiografi, berjudul La Conversione di un Giavanese (Konversi Seorang Jawa); karya tersebut diterbitkan dalam bahasa Italia, Belanda, dan Spanyol.[33]

Menjadi pastor

Pada tanggal 8 Agustus 1933 Soegijapranata dan dua pastor lain berangkat dari Belanda menuju Hindia Belanda; Soegijapranata ditugaskan di paroki Kidul Loji di Yogyakarta, dekat Kraton.[34] Dia bertugas sebagai pembantu Pr. van Driessche, salah satu gurunya dari Xaverius.[35] Dari romo yang lebih tua itu, Soegijapranata belajar bagaimana menangani keperluan paroki, sementara van Driessche kemungkinan besar menugaskan Soegijapranata untuk berkhotbah kepada warga kota pribumi yang Katolik.[c][36]

 
Gereja paroki di Ganjuran, tempat Soegijapranata bertugas sekaligus dengan Bintaran

Setelah Gereja Santo Yoseph di Bintaran, sekitar satu kilometer dari Kidul Loji, buka pada bulan April 1934, Soegijapranata dipindahtugaskan ke sana sebagai pastor utama;[37][4] gereja itu terutama dimaksud untuk melayani orang pribumi.[7] Bintaran pada saat itu merupakan satu dari empat paroki di kota Yogyakarta pada saat itu, bersama dengan Kidul Loji, Kotabaru, dan Pugeran; setiap gereja paroki melayani daerah yang luas, dan pastor dari gereja paroki juga ikut serta berkhotbah di gereja yang jauh dari kota. Setelah van Driessche meninggal pada bulan Juni 1934, tugas Soegijapranata ditambah lagi dengan desa Ganjuran, Bantul, sekitar 20 kilometer ke selatan dari kota Yogyakarta. Daerah itu merupakan tempat tinggal untuk lebih dari seribu orang Katolik pribumi.[38][39] Soegijapranata juga menjadi penasihat untuk berbagai kelompok, serta mendirikan sebuah koperasi untuk masyarakat Katolik.[40]

Pada saat itu Gereja Katolik di Indonesia kesulitan dengan menahan orang Katolik baru: orang Jawa yang sudah pindah agama saat sekolah terkadang-kadang menjadi Muslim lagi setelah mengalami pengasingan dari teman-teman atau keluarga mereka. Dalam sebuah pertemuan pada tahun 1935, Soegijapranata menyatakan bahwa hal tersebut disebabkan tidak adanya rasa identitas Katolik, atau sensus Catholicus, serta sedikitnya pernikahan antara orang Katolik. Soegijapranata menolak pernikahan antara orang Katolik dan yang bukan Katolik,[41] dan mulai menjadi penasihat untuk pasangan Katolik muda sebelum mereka menikah; dia percaya bahwa pernikahan antara orang Katolik akan mengeratkan hubungan antara keluarga Katolik di Yogyakarta.[42] Soegijapranata terus menulis untuk Swaratama dan menjabat sebagai redaktur.[40] Pada tahun 1938 Soegijapranata dipilih sebagai penasihat untuk Serikat Yesus dan mengkoordinasikan karya Yesuit di Hindia Belanda.[43]

Vikar apostolik

Meningkatnya jumlah orang Katolik di Hindia Belanda membuat Mgr. Petrus Willekens, yang menjabat sebagai Vikar Apostolik Batavia, mengusulkan bahwa suatu vikariat apostolik didirikan di Jawa Tengah, dengan pusatnya di Semarang,[44] sebab budaya di Jawa Tengah jauh berbeda dari Batavia dan juga jauh.[45] Vikariat Apostolik Batavia dibagi menjadi dua pada tanggal 25 Juni 1940; bagian timur menjadi Vikariat Apostolik Semarang.[46] Pada tanggal 1 Agustus 1940 Willekens menerima telegram dari Kardinal Giovanni Battista Montini, yang menyatakan bahwa Soegijapranata akan menjadi pemimpin vikariat apostolik yang baru itu. Ini dikirimkan ke Soegijapranata di Yogyakarta, yang menerima tugas itu,[44] biarpun terkejut dan gelisah.[47] Penolongnya, Hardjosoewarno, menyatakan bahwa Soegijapranata menangis setelah membaca telegram itu – sebuah tanggapan yang tidak biasa untuk dia – dan, saat makan semangkok soto, bertanya kalau Hardjosoewarno pernah melihat seorang uskup menikmati makanan itu.[48]

Soegijapranata pergi ke Semarang pada tanggal 30 September 1940 dan dikonsekrasi Willekens pada tanggal 6 Oktober di Gereja Rosario Suci di Randusari, yang menjadi tempat jabatannya.[47][49] Upacara itu diikuti berbagai tokoh politik serta sultan, dari Batavia, Semarang, Yogyakarta, dan Surakarta, serta klerus dari Malang dan Lampung;[47] dengan konsekrasi ini Soegijapranata menjadi uskup pribumi pertama.[d][50] Tindakan pertama Soegijapranata sebagai uskup ialah mengeluarkan sebuah surat pastoral bersama Willekens yang menceritakan sejarah sehingga Soegijapranata bisa ditentukan sebagai uskup, termasuk surat Maximum Illud yang dibuat Paus Benediktus XV[e] serta usaha Paus Pius XI dan Paus Pius XII untuk menahbiskan lebih banyak pastor dan uskup dari suku asli di seluruh dunia.[51][52] Soegijapranata lalu mulai menentukan hirarki Gereja di Jawa Tengah, termasuk mendirikan paroki baru.[53]

Dalam wilayah yang dipimpin Soegijapranata terdapat 84 pastor (73 orang Eropa, 11 orang pribumi), 137 bruder (103 orang Eropa, 34 orang pribumi), dan 330 biarawati (251 orang Eropa, 79 orang pribumi).[54] Vikariat ini memuat daerah Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Kudus, Magelang, Salatiga, Pati, dan Ambarawa. Keadaan geografisnya juga berbeda-beda, termasuk wilayah Dataran Kedu yang subur hingga daerah Gunung Sewu yang kering. Sebagian besar penduduknya orang Jawa.[55] Ada lebih dari 15.000 orang Katolik pribumi di wilayah tersebut pada tahun 1940, dengan jumlah orang Katolik Eropa yang hampir sama; jumlah orang Katolik pribumi meningkat dengan cepat,[56] sehingga ada lebih dari 30,000 pada tahun 1942.[57] Ada pula sejumlah organisasi Katolik, yang sebagian besarnya bergerak di bidang pendidikan.[58]

Kedudukan Jepang

 
Pastoran di Gedangan, yang Soegijapranata melindungi dari pasukan Jepang pada tahun 1942

Setelah Jepang memasuki Nusantara pada awal tahun 1942, yang tidak dapat dicegah pasukan kolonial, pada tanggal 9 March 1942 Guberner-Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan pemimpin KNIL Jenderal Hein ter Poorten menyerah. Ini membawa berbagai perubahan dalam pemerintahan di Nusantara dan mengurangi kualitas hidup orang non-Jepang.[59] Dalam buku hariannya, Soegijapranata menulis bahwa "di mana-mana ada kebakaran ... Tidak ada tentara, tidak ada police, tidak ada pegawai. Di jalanan pun terdapat berbagai bangkai kendaraan yang terbakar ... Untung masih ada beberapa pegawai kejaksaan dan beberapa tokoh Katolik yang tidak pergi. Mereka bekerja dengan mengatasnamakan diri dari instansiyang berwenang untuk mengatur kota agar tercipta suasana rust en order, tertib dan damai."[60]

Pemerintah Jepang menangkap dan menahan ribuan pria dan wanita (sebagian besar orang Belanda), baik orang awam maupun klerus.[f] Pemerintah juga menentukan kebijakan yang mengubah cara orang mengadakan missa. Penggunaan bahasa Belanda dilarang, baik yang dilafalkan maupun yang ditulis, dan sejumlah bangunan milik Gereja disita.[60] Soegijapranata berusaha untuk mencegah penyitaan ini. Dia pernah mengisi gedung kosong dengan orang supaya tidak disita, dan menyatakan bahwa gedung lain, misalkan bioskop, akan lebih bermanfaat untuk Jepang.[61] Saat penuasa Jepang berusaha untuk menyita Katedral Semarang untuk digunakan sebagai kantor, Soegijapranata menyatakan bahwa mereka hanya boleh mengambil gereja tersebut kalau mereka memenggal kepalanya dulu; pihak Jepang kemudian menemukan tempat lain. Soegijapranata juga mencegah penyitaaan Pastoran Gedangan, tempat dia tinggal,[62] serta menugaskan penjaga di sekolahan dan tempat lain, supaya tidak disita.[63] Namun, usaha ini tidak selalu berhasil, dan berbagai bangunan milik Gereja disita;[64] begitu pula uang Gereja.[65]

Soegijapranata tidak dapat menghentikan disiksanya tahanan perang, termasuk para klerus,[g][66] tetapi diri Soegijapranata diperlakukan dengan baik oleh Jepang. Dia kerap diundang untuk upacara Jepang, tetapi tidak pernah hadir; sebagai ganti, dia mengirim karangan bunga.[67] Dia menggunakan kedudukannya itu untuk memastikan bahwa tahanan perang diperlakukan dengan baik. Dia berhasil membujuk penguasa Jepang untuk membiarkan para biarawati bekerja di rumah sakit dan tidak diwajibkan untuk mengikuti paramiliter. Dia dan warga Katolik lain juga mengumpulkan makanan untuk klerus yang ditahan, dan Soegijapranata terus menjaga hubungannya dengan para tahanan; dia memberikan informasi dan berita kepada mereka.[68]

Karena jumlah klerus terbatas sekali, Soegijapranata pergi dari gereja ke gereja untuk melayani seluruh umatnya dan berkhotbah secara aktif; ini juga bantu mencegah desas-desus bahwa dia telah ditangkap Jepang.[69] Dia pergi jalan kaki, naik sepeda, atau naik kereta kuda, sebab mobilnya telah disita.[70] Dia juga dapat mengirimkan pastor ke prefektur apostolik lain di Bandung, Surabaya, dan Malang untuk menghadapi kurangnya jumlah klerus di sana.[71] Soegijapranata juga menentukan agar seminari terus menghasilkan pastor baru, dengan menentukan Pr. Hardjawasita, yang baru ditahbiskan pada tahun 1942, sebagai rektor.[72] Dia juga memberi pastor lokal kekuasaan untuk memimpin acara pernikahan.[73] Supaya masyarakat Katolik tetap tenang, Soegijapranata mengunjungi rumah mereka dan menyatakan bahwa semuanya aman-aman saja.[74]

Revolusi Nasional

Setelah serangan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada bulan Agustus 1945,[75] orang-orang Jepang mulai mengundurkan diri dari negara Indonesia. Untuk mendukung kemerdekaan Indonesia, Soegijapranata memerintahkan agar sebuah bendera Indonesia dikibarkan di depan Pastoran Gedangan.[76] Dia dan klerus lain juga merawat misionaris Belanda yang baru dibebaskan; orang-orang ini banyak yang terluka dan sangat kurang gizi, sehingga ada yang harus dirawat di rumah sakit. Beberapa ditahan lagi oleh pihak Indonesia, tetapi pemerintah masih mengizinkan agar tahanan itu dirawat orang-orang Katolik. Sementara, beberapa gedung gereja dibakar dan klerus dibunuh karena gangguan dalam hubungan antar-agama.[77][78] Pemerintah juga mengambilalihkan beberapa bangunan milik Gereja, dan dari bangunan yang pernah disita Jepang tidak semuanya dikembalikan.[79]

Pasukan Sekutu yang ditugaskan untuk mengambil senjata Jepang dan membawa pulang tahanan perang mendarat di Indonesia pada bulan September 1945.[80] Di Semarang, ini memicu suatu pertempuran antara pihak Jepang dan Republik, yang mulai pada tanggal 15 Oktober; orang-orang Indonesia bermaksud untuk mengambil senjata Jepang.[77] Pada tanggal 20 20 Oktober 1945 pasukan Sekutu mulai mendarat di Semarang, dan beberapa di antara mereka pergi ke Gedangan untuk berbicara dengan Soegijapranata. Karena peduli akan kesengsaraan rakyat, vikar apostolik itu menyatakan bahwa pihak Sekutu harus menghentikan pertempuran di luar; pihak Sekutu mengaku bahwa mereka tidak bisa, sebab mereka tidak kenal dengan komandan Jepang. Soegijapranata lalu menghubungi pihak Jepang dan, siang itu, menjadi perantara dalam pembuatan gencatan senjata.[81]

 
Gereja Santo Yoseph di Bintaran, yang menjadi tempat jabatan Sogijapranata dalam tahun-tahun terakhir Revolusi Nasional Indonesia

Adanya pertempuran besar di seluruh wilayah Semarang, serta terus beradanya pihakSekutu, membuat masyarakat kota Semarang kelaparan; ada pula diberlakukannya jam malam dan sering mati lampu. Kelompok-kelompok yang dipimpin warga sipil berusaha untuk menangani kekurangan ini, tetapi tidak mampu. Sebagai usaha untuk menyelesaikan masalah di Semarang, Soegijapranata mengirim seorang warga lokal ke ibu kota di Jakarta untuk berbicara dengan pemerintah pusat. Warga itu bertemu dengan Perdana Menteri Sutan Sjahrir, yang mengirim Wongsonegoro ke Semarang untuk membantu dalam menentukan pemerintah sipil.[82] Namun, pemerintah kota itu masih tidak mampu menangani masalah di Semarang, dan beberapa pemimpinnya ditangkap oleh Nederlandsch Indië Civil Administratie (NICA) dan ditahan; Soegijapranata, biarpun kadang-kadang menyembunyikan revolusioner Indonesia, tidak ditahan.[83]

Pada bulan January 1946 pemerintah Indonesia pindah dari Jakarta – yang sudah dikuasai Belanda – ke Yogyakarta.[84] Setelah ini sejumlah warga sipil mengungsi dari daerah yang dikuasai Belanda. Soegijapranata awalnya tetap di Semarang, di mana dia berusaha untuk menjaga keamanan dan kesejahteraan. Namun, pada tanggal 18 Januari 1947 dia juga berpindah ke Yogyakarta, sehingga dia bisa berkomunikasi dengan pemerintah dengan mudah.[85][86] Dia berjabat dari Gereja Santo Yoseph di Bintaran[87] dan menasihati orang-orang Katolik agar berjuang demi negara Indonesia; dia menyatakan bahwa mereka "baru boleh pulang kalau mati."[88]

 
Soegijapranata dan Georges de Jonghe d'Ardoye dengan Presiden Soekarno, 1947

Setelah tidak berhasilnya Perjanjian Linggajati, yang dimaksud untuk menghentikan perang antara Indonesia dan Belanda, serta serangan besar Belanda terhadap Indonesia pada tanggal 21 Juli 1947, Soegijapranata, melalui sebuah pidato di Radio Republik Indonesia, menyatakan bahwa orang-orang Katolik akan bekerja sama dengan pejuang Indonesia.[89] Soegijapranata juga banyak menulis kepada Tahta Suci, yang menanggapi surat-surat Soegijapranata dengan mengirim Georges de Jonghe d'Ardoye sebagai duta ke Indonesia; ini membuka jalur diplomasi antara Vatikan dan Indonesia. D'Ardoye tiba di wilayah Republik pada bulan Desember 1947 dan bertemu dengan Presiden Soekarno;[86] Soegijapranata di kemudian hari menjadi teman presiden.[90]

Setelah Agresi Militer Belanda II, di mana Belanda menduduki ibukota di Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948, Soegijapranata menyatakan bahwa perayaan Hari Natal tidak boleh mewah, sebab rakyat sedang sengsara.[87] Selama Belanda menguasai Yogyakarta Soegijapranata dapat mengirim beberapa tulisannya ke luar negeri; tulisan ini, yang dimuat di majalah Commonweal, mendetail kehidupan sehari-hari orang Indonesia di bahwa kekuasaan Belanda dan menggugat agar masyarakat internasional mengutuk Belanda.[88] Soegijapranata juga berpendapat bahwa blokade Belanda terhadap Indonesia tidak hanya mencekik ekonomi Indonesia, tetapi juga meningkatkan kekuasaan orang-orang Komunis.[91] Ketika Belanda mulai mengundurkan diri setelah Serangan Umum 1 Maret 1949, Soegijapranata mulai berusaha agar orang Katolik diwakili dalam pemerintah. Bersama I. J. Kasimo, dia menyiapkan Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia, yang diadakan dari tanggal 7 sampai 12 Desember. Kongres ini berakhir dengan disatukannya berbagai partai Katolik sebagai Partai Katolik Indonesia. Soegijapranata dan Kasimo terus mengkonsolidasikan Partai Katolik setelah akhirnya perang revolusi.[92]

Pasca-revolusi

 
Katedral Rosario Suci di Randusari, Semarang, yang menjadi tempat Soegijapranata berjabat untuk sebagian besar waktunya sebagai uskup

Setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949, yang diawali dengan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Soegijapranata kembali ke Semarang.[93] Periode pasca-revolusi ditandai dengan meningkat tajamnya jumlah orang yang masuk di seminari; pastor pribumi yang ke-100 ditahbiskan pada tahun 1956.[94] Namun, pemerintah Indonesia juga memberlakukan beberapa peraturan yang membatasi Gereja. Pada tahun 1953 Kementerian Agama memutuskan bahwa misionaris asing tidak akan diizinkan masuk Indonesia, sementara kebijakan lain melarang orang asing yang sudah di Indonesia dari mengajar. Untuk menghadapi hal ini, Soegijapranata membujuk klerus-klerus untuk menjadi warga negara Indonesia, sehingga mereka tidak dipengaruhi kebijakan baru itu.[95]

Selain menjaga para klerus baru, Soegijapranata terus bertugas supaya anak Katolik mendapatkan pendidikan dan bahwa keluarga mereka makmur. Dia menekankan bahwa siswa harus menjadi bukan hanya orang Katolik yang baik, tetapi juga orang Indonesia yang baik;[94] dia juga menerangkan bahwa siswa harus belajar di mana-mana, bukan hanya di sekolah.[96] Gereja juga terus mengembangkan sarana pendidikan, dari sekolah dasar hingga universitas.[97] Soegijapranata juga mulai mereformasi Gereja di vikariat apostoliknya, sehingga menjadi lebih Indonesia. Dia mengadvokasi penggunaan bahasa Indonesia dan daerah dalam missa; ini diizinkan mulai tahun 1956. Dia juga mendukung penggunaan musik gamelan saat missa, dan menyetujui penggunaan wayang untuk mengajar cerita Al Kitab ke anak-anak.[98]

Dengan Perang Dingin yang semakin meningkat, terjadi perslisihan besar antara Gereja di Indonesia dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Soegijapranata beranggapan bahwa PKI mendapatkan lebih banyak pendukung dari kalangan miskin karena menawarkan hak buruh melalui serikat pekerjanya. Untuk melawan ini, dia bekerja sama dengan orang Katolik lain untuk mendirikan kelompok pekerja yang dibuka untuk orang Katolik dan non-Katolik. Dengan memberdayakan buruh, Soegijapranata berharap agar PKI akan kehilangan kekuatannya. Salah satu kelompok yang didirikan ialah Buruh Pancasila, yang dibentuk pada tanggal 19 Juni 1954;[99] organsisasi tersebut juga merupakan salah satu cara Soegijapranata untuk mempromosikan falsafat Pancasila.[4] Tahun berikutnya, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), yang mengakui bakti Soegijapranata untuk orang miskin, menentukan agar Soegijapranata menjadi pemimpin program bakti sosial di seluruh Nusantara.[99] Pada tanggal 2 November 1955 Soegijapranata dan beberapa uskup lain mengeluarkan sebuah surat pastoral yang mencela paham komunisme, Marxisme, dan materialisme; mereka juga minta agar pemerintah memperlakukan setiap warga negara dengan adil dan bijaksana.[100]

Ada pula gangguan di dalam hirarki Gereja. Hubungan antara Indonesia dan Belanda masih buruk, dan adanya konflik mengenai penguasaan Papua bagian barat - daerah itu secara historis dikuasa Belanda, tetapi diklaim oleh Indonesia. Soegijapranata dengan tegas mendukung penguasaan Indonesia atas daerah tersebut. Dalam sebuah surat Soegijapranata menulis bahwa orang Indonesia terus sengsara dan bahwa Katholieke Nationale Partij di Belanda adalah penyebab hubungan buruk antara dua negara itu. Papua bagian barat digabung dengan Indonesia pada tahun 1963.[101] Ada pula gangguan pada tahun 1957 setelah Presiden Soekarno menyatakan bahwa dirinya merupakan presiden seumur hidup dan menentukan sistem Demokrasi Terpimpin. Faksi yang dipimpin Soegijapranata mendukung pemerintah, sementara faksi yang dipimpin Kasimo menentangnya. Soekarno lalu minta agar Soegijapranata bergabung dengan Dewan Nasional, sebuah permintaan yang ditolak Soegijapranata. Namun, dia tetap mengirim dua orang agar orang Katolik tetap diwakili.[h] Ini, serta dukungan Soegijapranata untuk Dekret Presiden 5 Juli 1959 yang menentukan kembalinya ke Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, membuat Uskup Jakarta Adrianus Djajasepoetra menyatakan bahwa Soegijapranata seorang penjilat. Namun, Soegijapranata sangat tegas menolak gagasan Nasakom, yang mendasarkan pemerintahan Indonesia pada komunisme.[102]

Uskup Agung Semarang dan kematian

 
Makam Soegijapranata di Giritunggal

Pada akhir dasawarsa 50-an, KWI sering mengadakan pertemuan untuk membahas perlunya hirarki Katolik Roma di Indonesia yang daulat. Pembahasan ini, yang diadakan setahun sekali, membahas soal administrasi serta kepastoran, termasuk penerjemahan lagu rohani ke dalam bahasa daerah. Pada tahun 1959 Kardinal Grégoire-Pierre Agagianian mengunjungi Indonesia untuk memeriksa persiapan Gereja. Pada bulan Mei 1960, KWI secara resmi mengajukan permohonan untuk dibentuknya Gereja Katolik Indonesia yang daulat; surat permohonan ini dibalasi Paus Yohanes XXIII, dalam surat bertanggal 20 Maret 1961, yang membagi nusantara Indonesia menjadi enam provinsi eklsiastik, yaitu dua di pulau Jawa, satu di Sumatera, satu di Flores, satu di Sulawesi dan Maluku, dan satu di Kalimantan. Semarang menjadi pusat provinsi Semarang, dan Soegijapranata menjadi uskup agung.[103] Dia diangkat pada tanggal 3 Januari 1961.[58]

Saat ini terjadi, Soegijapranata sedang di Eropa untuk Konsili Vatikan II, mulai dengan sesi persiapan, termasuk sebagai anggota Komisi Persiapan Sentral;[103] di komisi tersebut Soegijapranata merupakan salah satu dari enam uskup dan uskup agung dari Asia.[104] Soegijapranata mengikuti sesi pertama Konsili, di mana dia menunjukkan keprihatinan akan keadaan kepastoran[103] dan mohon agar sistem Gereja dimodernisasi.[105] Dia lalu kembali ke Indonesia, tetapi dalam kesehatan yang kurang baik.[106]

Setelah dirawat di Rumah Sakit Elisabeth Candi pada tahun 1963, Soegijapranata dilarang menjalani tugasnya. Justinus Darmojuwono, seorang mantan tahanan Jepang dan vikaris jenderal Semarang sejak tanggal 1 Agustus 1962, menjalani tugas uskup. Pada tanggal 30 Mei 1963 Soegijapranata meninggalkan Indonesia dan kembali ke Eropa, di mana dia menghadiri pemilihan Paus Paulus VI. Dia lalu pergi ke Nijmegen, di mana dia dirawat di Rumah Sakit Canisius Hospital dari tanggal 29 Juni hingga 6 Juli; perawatan ini tidak berhasil. Soegijapranata meninggal pada tanggal 22 Juli 1963 di sebuah susteran di Steyl, Belanda; dia mengalami serangan jantung tidak lama sebelum meninggal.[106][103]

Karena Sukarno tidak ingin Soegijapranata dikebumikan di Belanda, jenazah Soegijapranata diterbangkan ke Indonesia setelah doa yang dipimpin Kardinal Bernardus Johannes Alfrink.[107] Soegijapranata dinyatakan seorang Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 26 July 1963 melalui Keputusan Presiden No. 152/1963, saat jenasahnya masih dalam perjalanan ke Indonesia.[108] Pesawat yang membawa Soegijapranata tiba di Banda Udara Kemayoran di Jakarta pada tanggal 28 Juli. Pada hari berikutnya jenasahnya diterbangkan ke Semarang dan, pada tanggal 30 Juli dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal.[109] Darmojuwono dipilh pada bulan Desember 1963 sebagai uskup agung Semarang yang baru; dia dikonsekrasi pada tanggal 6 April 1964 oleh Uskup Agung Ottavio De Liva.[110]

Warisan

Soegijapranata dibanggakan oleh orang Jawa beragama Katolik;[90] mereka memuji kekuatannya selama pendudukan Jepang dan revolusi nasional.[46] Penulis Anhar Gonggong menyatakan bahwa Soegijapranata bukan hanya seorang uskup, melainkan pemimpin Indonesia yang "diuji sebagai pemimpin yang baik dan memang layak dijadikan pahlawan nasional."[i][108] Sejarawan Indonesia Anton Haryono menyatakan bahwa kenaikan Soegijapranata menjadi uskup sangat "monumental", mengingat bahwa dia baru diordinasi sembilan tahun sebelumnya tetapi tetap diangkat, biarpun ada pastor lain yang lebih berpengalaman.[111] Henricia Moeryantini, seorang suster dalam Orde Carolus Borromeus, menulis bahwa di bawah Soegijapranata Gereja Katolik menjadi pemain di tingkat nasional, dan bahwa Soegijapranata terlalu peduli akan keperluan masyarakat sehingga tidak bisa menjadi bagaikan orang luar saat revolusi.[112]

Universitas Katolik Soegijapranata di Semarang dinamakan untuk Soegijapranata.[113][114] Ada pula berbagai jalan yang diberi nama Soegijapranata, termasuk di Semarang,[115] Malang,[116] dan Medan.[117] Makam Soegijapranata di Giritunggal sering menjadi tempat ziarah untuk orang Indonesia yang Katolik; mereka sering mengadakan misa di tempat itu.[118][119]

Pada bulan Juni 2012 sutradara Garin Nugroho mengeluarkan film biopik tentang Soegijapranata, yang diberi judul Soegija. Dibintangi Nirwan Dewanto sebagai Soegijapranata, film ini mengikuti kegiatan Soegijapranata pada dasawarsa 40-an, yang dilatarbelakangi dengan pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan Indonesia. Film ini, yang menelankan biaya Rp 12 miliar,[108][113] dijual lebih dari 100.000 pada hari pertama tayang.[120] Peluncuran film ini diikuti oleh novelisasi kehidupan Soegijapranata, yang dilakukan secara fiksi, oleh pengarang Katolik Ayu Utami.[121][122] Beberapa tulisan biografis yang bukan fiksi, yang ditulis baik oleh orang beragama Katolik maupun tidak, juga diterbitkan dalam kurung waktu itu.[122]

Dalam budaya popular Indonesia, Soegijapranata diingat untuk pernyataan "100% Katolik, 100% Indonesia".[1][4] Moto ini, yang sudah digunakan dalam iklan berbagai tulisan biografi serta film Soegija,[1] berasal dari pidato Soegijapranata saat Kongres Katolik Seluruh Indonesia di Semarang pada tahun 1954,[123] sebagaimana berikut:

Jika kita merasa sebagai orang Kristen yang baik, kita semestinya juga menjadi seorang patriot yang baik. Karenanya, kita merasa bahwa kita 100% patriotik sebab kita juga merasa 100% Katolik. Malahan, menurut perintah keempat dari Sepuluh Perintah Allah, sebagaimana tertulis dalam Katekismus, kita harus mengasihi Gereja Katolik, dan dengan demikian juga mengasihi negara, dengan segenap hati.

— Soegijapranata, dikutip dalam (Subanar 2005, hlm. 82)

Keterangan

  1. ^ Adik perempuan dari Soegija konon belajar di sekolah Katolik di Muntilan saat meninggal. Ini dianggap Subanar sebagai bukti bahwa keluarga Soegija dapat merestui perpindahan agama itu (Subanar 2003, hlm. 41).
  2. ^ Pastor keturunan Jawa pertama ditahbiskan pada tahun 1927 (Gonggong 2012, hlm. 17). Seorang Yesuit keturunan Jawa lain, Reksatmadja, ditahbiskan bersama Soegija (Subanar 2003, hlm. 90).
  3. ^ Pada tahun 1933 jumlah orang Katolik keturunan Jawa di Yogyakarta sebanyak 7.092, dari jumlah enam tiga puluh tahun sebelumnya.(Subanar 2003, hlm. 102).
  4. ^ Yang kedua, seorang keturunan Timor bernama Gabriel Manek, dikonsekrasi pada tahun 1951 sebagai Vikar Apolistik Larantuka (Aritonang & Steenbrink 2008, hlm. 269).
  5. ^ Surat pastoral tersebut menyatakan perlunya untuk lebih banyak romo dari bangsa setempat Subanar 2003, hlm. 131–132.
  6. ^ (Subanar 2003, hlm. 155–163) mencatat 109 Yesuit, 61 anggota Fratrum Immaculatae Conceptionis, dan 21 biarawati dalam Orda Carolus Borromeus yang ditahan selama periode pendudukan Jepang. Sebanyak dua belas pastor ditahbiskan dalam kurung waktu yang sama.
  7. ^ Antara tahun 1942 dan 1945 sebanyak 74 pastor, 47 bruder, dan 160 biarawati dibunuh Jepang. Misalkan, Uskup Maluku dan Papua Barat Giovanni Aerts, bersama dengan sebelah bruder dan pendeta, dieksekusi kilat (Gonggong 2012, hlm. 50). Beberapa klerus, termasuk Willekens, memanfaatkan hubungan diplomatik antara Vatikan dan Jepang untuk menyatakan diri sebagai duta, sehingga mereka dilindungi dari kekejaman Jepang (Subanar 2005, hlm. 57).
  8. ^ Partai Katolik, yang menolak sistem pemerintah baru, tidak mengirim wakil (Gonggong 2012, hlm. 117–118).
  9. ^ Asli: "... was tested as a good leader and deserved the hero status."

Rujukan

Catatan kaki

  1. ^ a b c Gonggong 2012, hlm. 138.
  2. ^ a b c Subanar 2003, hlm. 19–21.
  3. ^ Gonggong 2012, hlm. 10.
  4. ^ a b c d Flinn 2010, hlm. 576–577.
  5. ^ a b Gonggong 2012, hlm. 11.
  6. ^ Moeryantini 1975, hlm. 13.
  7. ^ a b Gonggong 2012, hlm. 19.
  8. ^ Subanar 2003, hlm. 27.
  9. ^ Subanar 2003, hlm. 28–29.
  10. ^ a b Subanar 2003, hlm. 34–35.
  11. ^ Gonggong 2012, hlm. 14.
  12. ^ Subanar 2003, hlm. 36–37.
  13. ^ a b Subanar 2003, hlm. 38–40.
  14. ^ Subanar 2003, hlm. 91.
  15. ^ Subanar 2003, hlm. 41.
  16. ^ Subanar 2003, hlm. 44.
  17. ^ Subanar 2003, hlm. 46–48.
  18. ^ Subanar 2003, hlm. 52–53.
  19. ^ Subanar 2003, hlm. 61–64.
  20. ^ a b Subanar 2003, hlm. 65–67.
  21. ^ a b Subanar 2003, hlm. 69.
  22. ^ Subanar 2003, hlm. 70–71.
  23. ^ Subanar 2003, hlm. 75.
  24. ^ Subanar 2003, hlm. 77.
  25. ^ Subanar 2003, hlm. 79.
  26. ^ Subanar 2003, hlm. 81.
  27. ^ a b Moeryantini 1975, hlm. 17.
  28. ^ Subanar 2003, hlm. 82–86.
  29. ^ Subanar 2003, hlm. 87–88.
  30. ^ Subanar 2003, hlm. 89.
  31. ^ Gonggong 2012, hlm. 22.
  32. ^ Subanar 2003, hlm. 96.
  33. ^ Subanar 2003, hlm. 99.
  34. ^ Subanar 2003, hlm. 97-98.
  35. ^ Subanar 2003, hlm. 103.
  36. ^ Subanar 2003, hlm. 105.
  37. ^ Subanar 2003, hlm. 106.
  38. ^ Subanar 2003, hlm. 107–113.
  39. ^ Moeryantini 1975, hlm. 18.
  40. ^ a b Gonggong 2012, hlm. 23.
  41. ^ Aritonang & Steenbrink 2008, hlm. 709.
  42. ^ Subanar 2003, hlm. 116–118.
  43. ^ Subanar 2003, hlm. 121–122.
  44. ^ a b Subanar 2003, hlm. 123.
  45. ^ Subanar 2003, hlm. 127.
  46. ^ a b Moeryantini 1975, hlm. 7.
  47. ^ a b c Subanar 2003, hlm. 129–130.
  48. ^ Moeryantini 1975, hlm. 21.
  49. ^ Moeryantini 1975, hlm. 22.
  50. ^ Gonggong 2012, hlm. 3.
  51. ^ Subanar 2003, hlm. 131–132.
  52. ^ Subanar 2005, hlm. 41.
  53. ^ Subanar 2005, hlm. 42.
  54. ^ Gonggong 2012, hlm. 36.
  55. ^ Subanar 2005, hlm. 44–45.
  56. ^ Subanar 2005, hlm. 49.
  57. ^ Subanar 2005, hlm. 61.
  58. ^ a b Moeryantini 1975, hlm. 11.
  59. ^ Adi 2011, hlm. 18–24.
  60. ^ a b Subanar 2003, hlm. 133–134.
  61. ^ Subanar 2003, hlm. 135.
  62. ^ Gonggong 2012, hlm. 49.
  63. ^ Subanar 2003, hlm. 139.
  64. ^ Subanar 2005, hlm. 59.
  65. ^ Subanar 2005, hlm. 67.
  66. ^ Subanar 2003, hlm. 136.
  67. ^ Gonggong 2012, hlm. 48.
  68. ^ Subanar 2005, hlm. 64–66.
  69. ^ Subanar 2003, hlm. 140.
  70. ^ Gonggong 2012, hlm. 52.
  71. ^ Subanar 2003, hlm. 142.
  72. ^ Subanar 2003, hlm. 143–144.
  73. ^ Aritonang & Steenbrink 2008, hlm. 705.
  74. ^ Subanar 2005, hlm. 63.
  75. ^ Adi 2011, hlm. 32.
  76. ^ Subanar 2003, hlm. 146.
  77. ^ a b Subanar 2003, hlm. 147.
  78. ^ Subanar 2005, hlm. 72.
  79. ^ Subanar 2005, hlm. 74.
  80. ^ Adi 2011, hlm. 36.
  81. ^ Gonggong 2012, hlm. 64–66.
  82. ^ Gonggong 2012, hlm. 68–69.
  83. ^ Gonggong 2012, hlm. 71.
  84. ^ Adi 2011, hlm. 53.
  85. ^ Gonggong 2012, hlm. 74–77.
  86. ^ a b Subanar 2005, hlm. 79.
  87. ^ a b Gonggong 2012, hlm. 88–89.
  88. ^ a b Gonggong 2012, hlm. 90–92.
  89. ^ Gonggong 2012, hlm. 82.
  90. ^ a b Prior 2011, hlm. 69.
  91. ^ Aritonang & Steenbrink 2008, hlm. 193.
  92. ^ Gonggong 2012, hlm. 106–108.
  93. ^ Gonggong 2012, hlm. 96.
  94. ^ a b Gonggong 2012, hlm. 97–98.
  95. ^ Gonggong 2012, hlm. 110–111.
  96. ^ Gonggong 2012, hlm. 101.
  97. ^ Gonggong 2012, hlm. 102.
  98. ^ Gonggong 2012, hlm. 104–105.
  99. ^ a b Gonggong 2012, hlm. 99–100.
  100. ^ Gonggong 2012, hlm. 112.
  101. ^ Gonggong 2012, hlm. 114–116.
  102. ^ Gonggong 2012, hlm. 117–118.
  103. ^ a b c d Subanar 2005, hlm. 113–114.
  104. ^ Cahill 1999, hlm. 51.
  105. ^ Cahill 1999, hlm. 195.
  106. ^ a b Moeryantini 1975, hlm. 29–31.
  107. ^ Gonggong 2012, hlm. 124.
  108. ^ a b c Loka 2012, Soegijapranata : A biopic.
  109. ^ Gonggong 2012, hlm. 124–125.
  110. ^ Subanar 2005, hlm. 146.
  111. ^ Gonggong 2012, hlm. 127.
  112. ^ Moeryantini 1975, hlm. 125.
  113. ^ a b Setiawati 2012, 'Soegija' sends a message.
  114. ^ Suara Merdeka 2003, Mengajar Umat.
  115. ^ Google Maps, Semarang.
  116. ^ Google Maps, Malang.
  117. ^ Google Maps, Medan.
  118. ^ Fiska 2007, Menghormati Pahlawan.
  119. ^ Suara Merdeka 2009, Semarang Metro.
  120. ^ Kurniawan and Aziz 2012, Hari Pertama Tayang.
  121. ^ Raditya 2012, Ayu Utami.
  122. ^ a b Gonggong 2012, hlm. 140.
  123. ^ Subanar 2005, hlm. 134.

Bibliografi

Didahului oleh:
Jabatan Baru
Vikar Apostolik Semarang
1940 – 1961
Diteruskan oleh:
Dijadikan Keuskupan Agung
Didahului oleh:
Jabatan Baru
Uskup Agung Semarang
1961 – 1963
Diteruskan oleh:
Justinus Darmojuwono

6°59′49.34″S 110°25′16.04″E / 6.9970389°S 110.4211222°E / -6.9970389; 110.4211222