Kekaisaran Brasil
Kekaisaran Brasil adalah sebuah negara yang berdiri pada abad ke-19 dan meliputi wilayah yang kini merupakan bagian dari Brasil dan Uruguay. Negara ini merupakan monarki konstitusional parlementer representatif yang dipimpin oleh Kaisar Dom Pedro I dan putranya, Dom Pedro II; keduanya merupakan anggota Wangsa Braganza, salah satu cabang Dinasti Kapetia. Awalnya Brasil merupakan koloni Kerajaan Portugal. Wilayah ini kemudian menjadi pusat kedudukan Imperium Portugal pada tahun 1808 dengan Rio de Janeiro sebagai ibukotanya setelah Dom João VI melarikan diri dari Portugal akibat invasi Napoleon I. João VI nantinya kembali ke Portugal dan meninggalkan putra sulung dan penerusnya, Pedro, di Brasil sebagai wali raja. Pada 7 September 1822, Pedro menyatakan kemerdekaan Brasil dan ia diangkat menjadi Kaisar Brasil pertama pada tanggal 12 Oktober setelah berhasil memenangkan perang melawan Portugal. Negara baru ini sangat besar, tetapi berpenduduk jarang dan memiliki keanekaragaman etnis.
Kekaisaran Brasil Império do Brasil | |||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1822–1889 | |||||||||||||
Semboyan: Independência ou Morte! "Merdeka atau Mati!" | |||||||||||||
Lagu kebangsaan: Hino da Independência (1822–1831) "Lagu Kemerdekaan" Hino Nacional Brasileiro (1831–1889) "Lagu Kebangsaan Brasil" | |||||||||||||
Wilayah terluas Kekaisaran Brasil tahun 1822–1828, termasuk bekas provinsi Cisplatina | |||||||||||||
Status | Kekaisaran | ||||||||||||
Ibu kota | Rio de Janeiro | ||||||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Portugis | ||||||||||||
Agama | Katolik Roma | ||||||||||||
Pemerintahan | Monarki konstitusional | ||||||||||||
Kaisar | |||||||||||||
• 1822–1831 | Pedro I | ||||||||||||
• 1831–1889 | Pedro II | ||||||||||||
Perdana Menteri | |||||||||||||
• 1843–1844 | Marquês Paraná (de facto) | ||||||||||||
• 1847–1848 | Visconde Caravelas Kedua (jabatan didirikan) | ||||||||||||
• 1889 | Visconde Ouro Preto (terakhir) | ||||||||||||
Legislatif | Majelis Umum | ||||||||||||
Senat | |||||||||||||
Bilik Deputi | |||||||||||||
Era Sejarah | Abad ke-19 | ||||||||||||
7 September 1822 | |||||||||||||
• Pedro I naik tahta | 12 Oktober 1822 | ||||||||||||
• Penetapan konstitusi kekaisaran | 25 Maret 1824 | ||||||||||||
• Pedro II | 7 April 1831 | ||||||||||||
13 Mei 1888 | |||||||||||||
• Monarki dibubarkan | 15 November 1889 | ||||||||||||
Penduduk | |||||||||||||
• 1823 | 4.000.000 | ||||||||||||
• 1854 | 7.000.700 | ||||||||||||
• 1872 | 9.930.479 | ||||||||||||
• 1890 | 14.333.915 | ||||||||||||
Mata uang | Real | ||||||||||||
Kode ISO 3166 | BR | ||||||||||||
| |||||||||||||
Tidak seperti republik-republik Hispanik di sekelilingnya, Brasil menikmati stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi, serta secara konstitusional menjamin kebebasan berpendapat dan menghormati hak-hak sipil, walaupun terdapat batasan bagi perempuan dan budak; bahkan budak dianggap bukan sebagai warga negara, tetapi sebagai properti.Parlemen Kekaisaran Brasil yang bikameral dan badan legislatif di tingkat provinsi dan lokal dipilih melalui metode yang relatif demokratis pada masa tersebut. Akibatnya, meletus konflik ideologis antara Pedro I dengan faksi di parlemen terkait peran raja dalam pemerintahan. Pedro I juga menghadapi permasalahan lain, seperti kegagalan dalam Perang Cisplatina melawan Provinsi Bersatu Río de la Plata yang mengakibatkan lepasnya salah satu provinsi Brasil (nantinya menjadi Uruguay) pada tahun 1828. Walaupun berperan penting dalam memerdekakan Brasil, Pedro menjadi Raja Portugal pada tahun 1826, tetapi mengundurkan diri untuk memberikan jabatan kepada putri tertuanya. Dua tahun kemudian tahta sang putri diambil alih oleh adik Pedro I. Karena merasa tidak mampu mengurus masalah Brasil dan Portugal secara bersamaan, Pedro I mengundurkan diri dari jabatan Kaisar Brasil pada tanggal 7 April 1831 dan kemudian langsung berangkat ke Eropa untuk mengembalikan putrinya ke tahta.
Penerus Pedro I adalah putranya yang masih berumur lima tahun, Pedro II. Karena Pedro masih kecil, perwalian yang lemah diadakan. Kekosongan kekuasaan yang diakibatkan oleh ketiadaan kaisar sebagai penentu dalam sengketa politik mengakibatkan perang saudara regional antara faksi-faksi lokal. Walaupun mewarisi negara yang berada di ambang kehancuran, setelah dewasa Pedro II berhasil membawa perdamaian dan kestabilan, serta membuat Brasil menjadi kekuatan internasional baru. Brasil berhasil memenangkan tiga konflik internasional (Perang Platina, Perang Uruguay, dan Perang Paraguay), serta sengketa-sengketa internasional lain dan perselisihan-perselisihan domestik. Berkat kesejahteraan dan perkembangan ekonomi, banyak imigran yang datang dari Eropa, termasuk imigran Protestan dan Yahudi, walaupun Brasil sendiri mayoritas tetap beragama Katolik. Perbudakan, yang sebelumnya menyebar luas, mulai dibatasi oleh berbagai undang-undang hingga akhirnya dihapuskan pada tahun 1888. Seni rupa, sastra, dan teater Brasil juga berkembang pada masa ini. Walaupun sangat dipengaruhi oleh gaya Eropa dari Neoklasikisme hingga Romantisisme, masing-masing konsep disesuaikan agar dapat menghasilkan budaya khas Brasil sendiri.
Walaupun Brasil menikmati perdamaian dan kesejahteraan ekonomi, secara pribadi Pedro tidak ingin monarki berlanjut setelahnya. Seiring bertambahnya umur Pedro, ia tidak mencoba mempertahankan institusi monarki. Karena ia tidak memiliki keturunan yang layak menjadi penerus (calon penerusnya adalah putrinya, Isabel, dan Pedro II serta kelas penguasa Brasil menolak kaisar perempuan), penguasa-penguasa politik Kekaisaran meyakini bahwa tidak ada alasan untuk mempertahankan monarki. Meskipun sebagian besar orang Brasil tidak antusias dalam menerima bentuk pemerintahan republikan, pada tanggal 15 November 1889, setelah berkuasa selama 58 tahun, Pedro II dijatuhkan oleh kudeta yang hanya didukung oleh pemimpin-pemimpin militer yang bermaksud untuk mendirikan sebuah republik yang dikepalai oleh seorang diktator.
Sejarah
Kemerdekaan dan tahun awal
Wilayah yang kini dikenal dengan nama Brasil diklaim oleh Portugal pada 22 April 1500, ketika penjelajah Pedro Álvares Cabral mendarat di pesisir wilayah tersebut.[1] Permukiman permanen didirikan pada tahun 1532, dan dalam tiga ratus tahun ke depan Portugal secara perlahan memperluas wilayahnya ke barat hingga hampir mencapai ujung perbatasan Brasil saat ini.[2] Pada tahun 1808, angkatan bersenjata Kaisar Perancis Napoleon I menyerbu Portugal dan memaksa keluarga kerajaan Portugal (Wangsa Braganza, cabang Wangsa Kapetia) ke dalam pembuangan. Wangsa tersebut pindah ke kota Rio de Janeiro di Brasil, yang kemudian menjadi ibukota tidak resmi Imperium Portugal.[3]
Pada tahun 1815, putra mahkota Portugal pangeran Dom João (nantinya menjadi Dom João VI) yang saat itu bertindak sebagai wali mendirikan Kerajaan Bersatu Portugal, Brasil, dan Algarve, sehingga menaikkan status Brasil dari koloni menjadi kerajaan. Satu tahun kemudian, ia naik tahta setelah kematian ibunya, Maria I dari Portugal. Ia kembali ke Portugal pada April 1821 dan menjadikan putra dan penerusnya, Pangeran Dom Pedro, sebagai wali yang memerintah di Brasil.[4][5] Pemerintah Portugal segera mencabut otonomi politik yang diberikan kepada Brasil semenjak tahun 1808.[6][7] Ancaman pencabutan otonomi memicu perlawanan di Brasil. José Bonifácio de Andrada dan pemimpin-pemimpin Brasil lainnya berhasil meyakinkan Pedro untuk menyatakan kemerdekaan Brasil dari Portugal pada 7 September 1822.[8][9] Pada 12 Oktober, sang pangeran dinyatakan sebagai Pedro I, Kaisar pertama Kekaisaran Brasil, yang merupakan sebuah monarki konstitusional.[10][11] Deklarasi kemerdekaan ini ditentang oleh satuan militer yang masih setia kepada Portugal. Akibatnya, meletuslah perang kemerdekaan di seluruh negeri, dan pertempuran pecah di wilayah utara, timur laut, dan selatan. Tentara Portugal terakhir menyerah pada Maret 1824,[12][13] dan kemerdekaan Brasil diakui oleh Portugal pada Agustus 1825.[14]
Pedro I menghadapi beberapa krisis pada masa kekuasaannya. Para pemberontak di Provinsi Cisplatina berusaha melepaskan diri pada tahun 1825, dan kemudian Provinsi Bersatu Rio de la Plata (nantinya Argentina) mencoba mencaplok wilayah Cisplatina, sehingga memicu Perang Cisplatina: "sebuah perang di selatan yang panjang, memalukan, dan pada akhirnya sia-sia".[15] Pada Maret 1826, João VI meninggal dan Pedro I mewarisi kerajaan Portugal, dan ia sempat menjadi Raja Pedro IV dari Portugal sebelum mengundurkan diri untuk memberikan jabatan kepada putri tertuanya, Maria II.[16] Keadaan memburuk pada tahun 1828 ketika provinsi Cisplatina lepas dari Brasil dan kemudian menjadi republik Uruguay yang merdeka.[17] Pada tahun yang sama, tahta Maria II di Lisbon direbut oleh Pangeran Miguel, adik Pedro I.[18]
Kesulitan lain muncul ketika parlemen Kekaisaran, Majelis Umum, dibuka pada tahun 1826. Pedro I dan banyak anggota legislatif menginginkan badan yudikatif yang independen, badan legislatif yang dipilih oleh rakyat, dan pemerintahan yang dipimpin oleh kaisar dengan berbagai wewenang dan hak prerogratif.[19] Anggota parlemen lain mendukung struktur serupa, tetapi menginginkan agar peran kaisar dikurangi dan agar badan legislatif menjadi badan yang dominan dalam pembuatan kebijakan dan pemerintahan.[20] Akibatnya, antara tahun 1826 hingga 1830, terjadi perdebatan mengenai badan mana yang sebaiknya mendominasi pemerintahan.[15] Karena tidak mampu mengurus masalah di Brasil dan Portugal secara bersamaan, Kaisar mengundurkan diri dan digantikan oleh putranya, Pedro II, pada 7 April 1831. Pedro I kemudian langsung berlayar ke Eropa untuk mengembalikan putrinya ke tahta.[21]
Anarkisme
Setelah kepergian Pedro I yang mendadak, Brasil dikepalai oleh seorang anak laki-laki berusia lima tahun. Kekaisaran terancam tidak memiliki eksekutif yang kuat selama dua belas tahun ke depan karena berdasarkan konstitusi Pedro II baru akan mencapai usia dewasa dan mulai menjalankan wewenang sebagai kaisar pada 2 Desember 1843.[22] Maka dari itu, beberapa wali dipilih untuk memimpin negara hingga Pedro II menjadi dewasa. Namun, para wali ini memiliki sedikit wewenang dan sepenuhnya tunduk kepada Majelis Umum, sehingga tidak dapat mengisi kekosongan di puncak pemerintahan Brasil.[23]
Perwalian ini tidak dapat menyelesaikan sengketa dan persaingan di antara faksi-faksi nasional dan lokal. Pada tahun 1834, Majelis Umum meloloskan amandemen konstitusi yang disebut Ato Adicional untuk mengurangi perselisihan dengan memberikan otonomi yang lebih besar kepada pemerintah provinsi dan lokal. Namun, amandemen tersebut malah menyuburkan persaingan dan ambisi lokal. Kekerasan pecah di seluruh negeri.[24] Partai-partai semakin bersaing memperebutkan kursi pemerintahan provinsi dan munisipal karena partai yang menguasai suatu provinsi akan menguasai sistem politik dan pemilihannya juga. Partai-partai yang kalah pemilihan umum memberontak dan mencoba mengambil kekuasaan dengan paksa, sehingga beberapa pemberontakan meletus.[25]
Para politikus yang memperoleh kekuasaan pada tahun 1830-an telah mengetahui lika-liku jalan menuju kekuasaan. Menurut sejarawan Roderick J. Barman, pada tahun 1840 "mereka sudah tidak lagi memiliki keyakinan bahwa mereka dapat menguasai negara sendirian. Mereka menerima Pedro II sebagai figur penguasa yang sangat diperlukan untuk keberlangsungan negeri."[26] Beberapa politikus tersebut (yang kemudian akan membentuk Partai Konservatif pada tahun 1840-an) meyakini bahwa Brasil memerlukan figur yang netral: figur yang tidak terkait dengan faksi dan kepentingan politik sehingga dapat menyelesaikan masalah dan menengahi sengketa.[27] Mereka menginginkan kaisar yang lebih bergantung kepada dewan legislatif, namun memiliki kekuatan yang lebih besar seperti yang telah dianjurkan pada awal masa perwalian oleh saingan mereka (yang nantinya membentuk Partai Liberal).[28] Namun, kaum liberal melakukan inisiatif untuk menurunkan usia kedewasaan Pedro II dari delapan belas menjadi empat belas. Sang kaisar dinyatakan layak untuk memimpin pada Juli 1840.[29]
Konsolidasi
Untuk mencapai tujuan mereka, kaum liberal bersekutu dengan kelompok pelayan istana berkedudukan tinggi dan politikus penting: "Faksi Orang Istana". Orang-orang istana ini merupakan bagian dari lingkaran dalam kaisar dan berpengaruh terhadap kaisar,[30] sehingga kabinet diisi oleh orang-orang istana dan liberal. Namun, dominasi mereka tidak berlangsung lama. Pada tahun 1846, Pedro II telah matang secara jasmani maupun kejiwaan. Ia bukan lagi seorang pemuda berusia 14 tahun yang mudah dipengaruhi oleh gosip, usulan rencana rahasia, atau taktik manipulatif lain;[31] kelemahan sang kaisar muda mulai menghilang secara perlahan dan kelebihannya semakin tampak.[31] Ia berhasil menghentikan pengaruh orang-orang istana dengan mengeluarkan mereka dari lingkaran dalamnya tanpa perlu mengakibatkan gangguan ketertiban umum.[32] Ia juga memberhentikan orang-orang liberal, yang terbukti tidak efektif dalam menjalankan tugas jabatannya, dan meminta kaum konservatif untuk membentuk pemerintahan pada tahun 1848.[33]
Kemampuan kaisar dan kabinet konservatif diuji oleh tiga krisis yang berlangsung di antara tahun 1848 dan 1852.[34] Krisis pertama terkait dengan impor budak yang ilegal. Impor budak telah dilarang semenjak tahun 1826 sebagai bagian dari perjanjian dengan Britania.[33] Namun, perdagangan manusia masih berlanjut, dan pemerintah Britania meloloskan Undang-Undang Aberdeen pada tahun 1845 yang memberi wewenang kepada kapal-kapal perang Britania untuk memasuki kapal Brasil dan menangkap siapapun yang didapati terlibat dalam perdagangan budak.[35] Sementara Brasil menghadapi masalah ini, pemberontakan Praieira, yang merupakan konflik yang meletus di antara faksi-faksi politik lokal di provinsi Pernambuco (dan yang melibatkan pendukung liberal dan orang istana). Konflik meletus 6 November 1848, tetapi berhasil dipadamkan pada Maret 1849. Pemberontakan ini merupakan pemberontakan terakhir yang meletus pada periode kekaisaran, dan pemadamannya menandai periode perdamaian internal selama empat puluh tahun di Brasil. Hukum Eusébio de Queirós kemudian diundangkan pada 4 September 1850 dan memberikan wewenang yang besar kepada pemerintah untuk melawan perdagangan budak ilegal. Dengan undang-undang baru ini, Brasil mulai melancarkan penghapusan impor budak. Pada tahun 1852, krisis pertama telah diselesaikan, dan Britania sendiri merasa bahwa Brasil sudah berhasil menghapuskan perdagangan budak.[36]
Krisis ketiga adalah konflik dengan Konfederasi Argentina yang disebabkan oleh perebutan kekuasaan atas wilayah-wilayah di sebelah Río de la Plata dan pelayaran bebas di sungai tersebut.[37] Semenjak tahun 1830-an, diktator Argentina Juan Manuel de Rosas telah mendukung pemberontakan di Uruguay dan Brasil. Kekaisaran Brasil tidak dapat menghadapi ancaman Rosas hingga tahun 1850,[37] ketika persekutuan dibentuk oleh Brasil, Uruguay, dan orang-orang Argentina yang tidak puas dengan Rosas,[37] sehingga memicu Perang Platina pada 18 Agustus 1851 dan pelengseran pemimpin Argentina pada Februari 1852.[38][39] Keberhasilan Kekaisaran Brasil dalam menangani krisis-krisis ini meningkatan stabilitas dan martabat negara, dan Brasil berubah menjadi kekuatan regional.[40] Di kancah internasional, bangsa Eropa memandang Kekaisaran Brasil sebagai negara yang mewujudkan asas-asas liberal seperti kebebasan pers dan penghormatan kebebasan sipil dalam konstitusi. Monarki parlementer representatif Brasil juga berbanding terbalik dengan kediktatoran dan ketidakstabilitas yang menghantui negara-negara Amerika Selatan lain pada saat itu.[41]
Pertumbuhan
Pada permulaan tahun 1850-an, Brasil menikmati stabilitas dan kesejahteraan ekonomi.[42] Berbagai infrastruktur sedang dibangun, seperti rel kereta api, telegraf elektrik, dan jalur kapal uap yang menyatukan Brasil menjadi suatu kesatuan nasional.[42] Setelah lima tahun bertugas, kabinet konservatif diberhentikan dan pada September 1853, Honório Hermeto Carneiro Leão, Marquês Paraná, ketua Partai Konservatif, ditugaskan untuk membentuk kabinet baru.[43] Kaisar Pedro II ingin menjalankan rencana yang ambisius, yang disebut “Konsiliasi ",[44] dan rencana ini dimaksudkan untuk memperkuat peran parlemen dalam penyelesaian sengketa politik negara.[43][45]
Paraná mengundang beberapa orang liberal untuk bergabung dengan kaum konservatif dan bahkan mengangkat beberapa menjadi menteri. Kabinet yang baru, walaupun sangat berhasil, dihantui oleh pertentangan dari anggota ultrakonservatif dari Partai Konservatif yang menolak adanya kaum liberal. Mereka merasa bahwa kabinet telah menjadi mesin politik yan dicemari oleh orang liberal yang tidak sejalan dengan gagasan-gagasan partai konservatif dan lebih tertarik dengan jabatan.[46] Meskipun terdapat ketidakpercayaan semacam ini, Paraná tetap teguh dalam pendiriannya.[47][48] Namun, pada September 1856, pada puncak kariernya, ia meninggal mendadak, walaupun kabinetnya masih bertugas setelahnya hingga Mei 1857.[49]
Partai Konservatif telah terpecah menjadi dua faksi: di satu sisi terdapat kaum ultrakonservatif, dan di sisi lain adalah konservatif moderat yang mendukung program Konsiliasi.[50] Kaum konservatif dipimpin oleh Joaquim Rodrigues Torres, Visconde Itaboraí, Eusébio de Queirós, dan Paulino Soares de Sousa, Visconde Uruguay Pertama—mereka bertiga merupakan mantan menteri dalam kabinet 1848–1853. Negarawan-negarawan tua ini telah mengambil alih Partai Konservatif setelah kematian Paraná.[51] Setelah tahun 1857, kabinet-kabinet yang dibentuk tidak bertahan lama. Kabinet-kabinet tersebut jatuh dalam waktu singkat karena tidak adanya mayoritas di Bilik Deputi.
Anggota Partai Liberal yang tersisa menggunakan kesempatan ini untuk kembali ke kancah politik nasional dengan kekuatan baru. Mereka mengejutkan pemerintah ketika mereka berhasil memenangkan beberapa kursi di Bilik Deputi pada tahun 1860.[52] Ketika anggota konservatif yang moderat memutuskan untuk bergabung dengan kaum liberal dan membentuk partai politik baru, "Liga Progresif",[53] kaum konservatif tidak lagi menjadi mayoritas di parlemen. Mereka mengundurkan diri, dan pada Mei 1862 Pedro II mendirikan sebuah kabinet yang progresif.[54]
Meskipun terjadi dinamisme politik semacam ini, periode setelah tahun 1853 merupakan periode perdamaian dan kesejahteraan untuk Brasil: "Sistem politik berjalan dengan lancar. Kebebasan sipil dijamin. Jalur kereta api, telegraf, dan kapal uap mulai dibangun. Negara Brasil tidak lagi diganggu oleh sengketa atau konflik yang mengguncangnya selama tiga puluh tahun pertamanya."[55]
Perang Paraguay
Periode ketenangan berakhir ketika konsul Britania di Rio de Janeiro hampir memicu perang di antara Britania Raya dan Brasil. Ia mengirimkan ultimatum yang berisi permintaan-permintaan menghina yang disebabkan oleh dua insiden kecil pada akhir tahun 1861 dan awal tahun 1862.[56] Pemerintah Brasil menolak tunduk, sehingga sang konsul memerintahkan agar kapal perang Britania datang untuk merebut kapal pedagang Brasil sebagai ganti rugi.[57] Brasil bersiap-siap menghadai perang,[58][59] dan pelindung-pelindung pantai diberi izin untuk menembak kapal perang Britania yang merebut kapal pedagang Brasil.[60] Pemerintah Brasil kemudian memutuskan hubungan diplomatik dengan Britania pada Juni 1863.[61]
Sementara Britania mengancam, Brasil harus mengalihkan perhatian ke perbatasan selatannya. Perang saudara telah pecah di Uruguay.[62] Konflik tersebut mengakibatkan pembunuhan orang Brasil di Uruguay dan penjaharan harta benda mereka.[63] Kabinet progresif Brasil memutuskan untuk melakukan campur tangan dan mengirim angkatan bersenjata yang menyerbu Uruguay pada Desember 1864, sehingga memicu Perang Uruguay.[64] Pada saat yang sama, diktator Paraguay, Francisco Solano López, mencoba mengambil untung atas keadaan di Uruguay pada akhir tahun 1864 dengan mencoba untuk menjadikan negaranya kekuatan regional. Pada November 1864, ia memerintahkan agar kapal uap sipil Brasil direbut (memicu Perang Paraguay) dan kemudian menyerbu Brasil.[65][66]
Intervensi militer Brasil segera berubah menjadi perang besar di Amerika Selatan bagian tenggara. Namun, ancaman meletusnya konflik di dua front (dengan Britania dan Paraguay) sudah hilang kita pada September 1865 pemerintah Britania mengirim utusan yang secara terbuka meminta maaf atas krisis yang terjadi di antara kedua negara.[67][68] Serangan Paraguay pada tahun 1864 memperpajang konflik, dan harapan akan kemampuan kabinet progresif dalam memenangkan perang telah pupus.[69] Selain itu, semenjak dibentuk, Liga Progresif dihantui oleh konflik internal antar faksi konservatif moderat dan liberal.[69][70]
Kabinet Progresif mengundurkan diri dan kaisar mengangkat Visconde Itaboraí sebagai kepala kabinet baru pada Juli 1868, sehingga mengembalikan kaum konservatif ke kekuasaan.[71] Hal ini mendorong kedua faksi dalam partai progresif untuk bersatu dan mengganti nama partai mereka menjadi Partai Liberal. Faksi progresif ketiga yang lebih kecil dan radikal akan menyatakan diri sebagai republikan pada tahun 1870—yang beralamat buruk bagi kekaisaran.[72] Meskipun begitu, "kementerian yang dibentuk oleh viscount Itaboraí merupakan badan yang jauh lebih cakap dari kabinet sebelumnya",[71] dan konflik dengan Paraguay berakhir setelah Brasil dan sekutunya memperoleh kemenangan mutlak pada Maret 1870.[73] Lebih dari 50.000 tentara Brasil gugur dalam pertempuran,[74] dan biaya perang tercatat sebelas kali lebih besar dari anggaran tahunan pemerintah.[75] Namun, Brasil saat itu sangat sejahtera sehingga pemerintah dapat melunasi semua utang perang dalam waktu sepuluh tahun.[76][77] Konflik ini juga menjadi pendorong produksi nasional dan pertumbuhan ekonomi.[78]
Puncak kejayaan
Kemenangan diplomatik atas Imperium Britania, kemenangan militer atas Uruguay pada tahun 1865, dan keberhasilan dalam Perang Paraguay pada tahun 1870 menandai dimulainya "zaman keemasan" Kekaisaran Brasil.[79] Ekonomi Brasil tumbuh pesat; proyek jalur kereta api, perkapalan, dan proyek modernisasi lainnya dimulai; jumlah imigran juga bertambah banyak.[80] Di kancah internasional pada saat itu, Kekaisaran Brasil dianggap sebagai negara yang modern dan progresif, kedua setelah Amerika Serikat di benua Amerika; negara ini juga dikenal akan ekonominya yang stabil dan potensi investasinya yang besar.[79]
Pada Maret 1871, Pedro II mengangkat José Paranhos, Visconde Rio Branco, sebagai ketua kabinet; ia ditugaskan untuk membuat undang-undang yang membebaskan semua anak yang lahir dari budak perempuan[81] Rancangan undang-undang yang kontroversial ini dimasukkan ke dalam Bilik Deputi pada bulan Mei dan menghadapi "oposisi yang teguh, yang mempunyai dukungan dari sekitar sepertiga anggota perwakilan dan mencoba mengerahkan opini publik untuk melawan kebijakan ini."[82] Rancangan undang-undang ini pada akhirnya diberlakukan pada bulan September dan disebut "Hukum Kelahiran Bebas".[82] Namun, keberhasilan Rio Branco merusak stabilitas kekaisaran dalam jangka panjang. Hukum ini "memecah kaum konservatif menjadi dua, [yaitu] faksi yang mendukung reformasi kabinet Rio Branco dan faksi kedua—yang disebut escravocratas—yang tak henti-hentinya dalam melakukan oposisi ", sehingga membentuk generasi ultrakonservatif yang baru.[83]
Akibat "Hukun Kelahiran Bebas" dan dukungan Pedro II atas hukum tersebut, kaum ultrakonservatif tidak lagi setia kepada kekaisaran.[83] Partai Konservatif sudah pernah mengalami perpecahan sebelumnya, yaitu pada tahun 1850-an ketika dukungan Kaisar terhadap kebijakan konsiliasi mengakibatkan munculnya kaum Progresif. Kaum ultrakonservatif yang dipimpin oleh Eusébio, Uruguai, dan Itaboraí, yang menentang konsiliasi pada tahun 1850-an masih meyakini bahwa kaisar adalah figur yang sangat penting dalam sistem politik Brasil: kaisar dianggap berperan sebagai penengah yang netral apabila terjadi kebuntuan politik.[84] Sebaliknya, generasi baru ultrakonservatif belum pernah mengalami periode perwalian dan tahun-tahun awal masa kekuasaan Pedro II, ketika bahaya dari luar dan dalam mengancam keberlangsungan kekaisaran; mereka hanya tahu periode kesejahteraan, perdamaian, dan pemerintahan yang stabil.[26] Bagi mereka—dan bagi kelas penguasa pada umumnya—keberadaan kaisar yang netral dan dapat menyelesaikan sengketa politik tidak lagi penting. Selain itu, Pedro II telah memihak salah satu faksi dalam perdebatan mengenai perbudakan, sehingga ia tidak lagi dianggap sebagai penengah yang netral. Akibatnya, para politikus ultrakonservatif muda merasa tidak ada alasan untuk mempertahankan jabatan kaisar.[85]
Kemunduran
Kelemahan monarki baru muncul setelah waktu yang lama. Di satu sisi, Brasil masih menikmati kesejahteraan pada tahun 1880-an: ekonomi dan masyarakatnya tumbuh dengan pesat, dan bahkan terdapat upaya pertama untuk mendorong pemenuhan hak-hak perempuan (yang akan berkembang secara perlahan dalam beberapa dasawarsa).[86] Di sisi lain, surat-surat yang ditulis oleh Pedro II menunjukkan bahwa dengan bertambahnya usia ia merasa lelah akan dunia, semakin terasingkan dari peristiwa-peristiwa terkini, dan sudut pandangnya menjadi pesimis.[87] Ia tetap memperhatikan detail dalam menjalankan tugas resminya sebagai kaisar, walaupun seringkali tidak antusias, dan ia tidak lagi melakukan campur tangan secara langsung untuk menjaga stabilitas negara.[88] "Ketidakpeduliannya terhadap nasib rezim" yang terus meningkat[89] dan tidak adanya upaya untuk melindungi sistem kekaisaran saat sedang terancam membuat sejarawan membebankan "tanggung jawab utama dan mungkin satu-satunya " atas pembubaran monarki pada sang kaisar sendiri.[90]
Ketiadaan penerus yang dapat memberikan arah baru bagi bangsa juga mengancam prospek jangka panjang monarki Brasil. Penerus Kaisar adalah putri tertuanya, Isabel, yang tidak tertarik dan tidak berharap menjadi ratu.[91] Meskipun Konstitusi Brasil memperbolehkan perempuan naik tahta, masyarakat Brasil masih sangat tradisional dan didominasi oleh pria, dan menurut sudut pandang sebagian besar orang hanya laki-laki yang dapat menjadi kepala negara yang cakap.[92] Pedro II,[93] lingkar-lingkar penguasa[94] dan rezim politik secara keseluruhan menganggap penerus perempuan sebagai penerus yang kurang tepat, dan Pedro II sendiri meyakini bahwa kematian dua putranya dan ketiadaan penerus laki-laki merupakan tanda-tanda bahwa kekaisaran sudah ditakdirkan untuk digantikan oleh bentuk pemerintahan lain.[93]
Seorang kaisar yang sudah lelah dan tidak peduli lagi dengan tahta, penerus yang tidak ingin menjadi ratu, dan kelas penguasa yang semakin tidak puas dan mengabaikan peran kaisar dalam urusan nasional menjadi faktor yang mengakibatkan kejatuhan monarki. Di antara angkatan bersenjata mulai muncul rencana untuk menjatuhkan sistem kekaisaran. Sistem republikanisme pada saat itu tidak populer di Brasil kecuali di antara beberapa lingkar elit[95][96] dan tidak didukung oleh provinsi-provinsi.[97] Akan tetapi, gabungan gagasan republikan dan positivis di antara perwira-perwira yunior dan menengah di angkatan bersenjata mulai mengancam monarki. Perwira-perwira tersebut menginginkan kediktatoran republikan yang dianggap lebih unggul dari monarki demokratik liberal.[98][99] Dimulai dari tindakan pembangkangan kecil pada awal tahun 1880-an, ketidakpuasan di angkatan bersenjata mulai tumbuh karena kaisar merasa tidak tertarik dan para politikus gagal menegakkan wewenang pemerintah terhadap militer.[100]
Kejatuhan
Pada tahun-tahun terakhir Kekaisaran, Brasil memiliki martabat yang besar di dunia internasional[101] dan telah menjadi kekuatan baru dalam hubungan internasional. Saat Pedro II sedang menjalani penanganan medis di Eropa, Hukum Emas diloloskan oleh parlemen dan kemudian ditandatangani oleh Putri Isabel pada 13 Mei 1888; hukum ini menghapus perbudakan di Brasil.[102] Prediksi bahwa penghapusan perbudakan akan mengakibatkan gangguan ekonomi terbukti salah.[103] Meskipun begitu, berakhirnya perbudakan menghilangkan kepercayaan bahwa kaisar masih netral, sehingga para ultrakonservatif berubah menjadi republikan[104]—yang juga didukung oleh petani-petani kopi yang kaya dan kuat yang memiliki kekuatan politik, ekonomi, dan sosial yang besar di Brasil.[105]
Untuk menghindari sentimen republikan, pemerintah memanfaatkan utang untuk mendorong pembangunan lebih lanjut. Pemerintah memberikan utang besar dengan suku bunga yang menguntungkan untuk para pemilik perkebunan dan banyak memberikan gelar-gelar kehormatan untuk menyenangkan tokoh-tokoh politik yang merasa tidak senang.[106] Pemerintah juga secara tidak langsung mulai mengurus permasalahan militer yang tidak patuh dengan merevitalisasi Penjaga Nasional yang sebelumnya merupakan entitas yang hanya tertulis dalam secarik kertas.[107]
Tindakan pemerintah ini membuat panik para republikan sipil dan positivis di militer. Para republican merasa bahwa tindakan tersebut akan mengurangi dukungan untuk mereka, sehingga mereka merasa berani untuk melakukan tindakan lebih lanjut.[99] Reorganisasi Penjaga Nasional dimulai oleh kabinet pada Agustus 1889, dan pendirian kekuatan saingan ini membuat para perwira pembangkang memilih tindakan yang nekat.[108] Kelompok republikan dan militer merasa perlu melakukan tindakan "sekarang atau tidak sama sekali".[109] Meskipun sebagian besar orang Brasil tidak ingin mengganti bentuk pemerintahan mereka,[110] kaum republikan mulai mendorong para pewira untuk menjatuhkan monarki.[111]
Mereka melancarkan kudeta dan mendirikan republik pada 15 November 1889.[112] Beberapa orang yang menyaksikan hal yang terjadi tidak sadar bahwa peristiwa tersebut merupakan sebuah pemberontakan.[113][114] Sejarawan Lídia Besouchet mencatat bahwa "jarang revolusi meletus sekecil itu."[115] Selama kudeta Pedro II tidak menunjukkan emosinya, seolah ia tidak peduli dengan apa yang terjadi.[116] Ia menolak semua usulan yang diajukan oleh para politikus dan pemimpin militer untuk memadamkan pemberontakan.[117] Kaisar dan keluarganya diasingkan pada tanggal 17 November.[118] Meskipun beberapa pendukung monarki menentang kejatuhan kekaisaran, perlawanan ini dipadamkan,[119] dan Pedro II maupun putrinya tidak mendukung restorasi.[120] Walaupun awalnya tidak sadar akan adanya rencana kudeta, saat kudeta telah terjadi rezim politik mendukung kejatuhan monarki dan pendirian republik setelah melihat sifat kaisar yang secara pasif menerima situasi. Mereka tidak sadar bahwa tujuan kudeta adalah untuk mendirikan republik kediktatoran dan bukan republik presidensial atau parlementer.[121]
Pemerintahan
Parlemen
Pasal 2 Konstitusi Brasil mendefinisikan peran Kaisar dan Assembleia Geral (Majelis Umum atau Parlemen yang pada tahun 1824 terdiri dari 50 senator dan 102 deputi umum) sebagai perwakilan bangsa. Konstitusi memberikan status dan wewenang kepada Majelis, serta menetapkan cabang-cabang legislatif, penengah, eksekutif, dan yudisial sebagai "delegasi bangsa" dengan pemisahan kekuasaan di antara mereka.[122]
Konstitusi memberikan hak prerogatif dan wewenang kepada badan legislatif yang membuatnya memainkan peran penting dalam berjalannya pemerintahan (dan bukan sekadar "tukang stempel"). Berdasarkan Pasal 13 Konstitusi, Majelis Umum dapat menetapkan, mencabut, menginterpretasi, dan menangguhkan hukum. Majelis legislatif juga memiliki wewenang untuk menyetujui pengeluaran negara dan pemungutan pajak setiap tahun, sementara pinjaman dan utang harus disepakati dan diawasi oleh Majelis. Tanggung jawab lain yang diemban oleh Majelis mencakup penetapan besarnya angkatan bersenjata, pembuatan jabatan baru dalam pemerintahan, dan pengawasan kesejahteraan nasional. Selain itu, Majelis berperan dalam memastikan apakah pemerintahan sejalan dengan Konstitusi, dan untuk itu Majelis memiliki berbagai wewenang untuk memeriksa dan memperdebatkan kebijakan dan tindakan pemerintah .[123] Terkait dengan kebijakan luar negeri, Pasal 102 Konstitusi menyatakan bahwa pernyataan perang, perjanjian, dan hubungan internasional harus dikonsultasikan dengan Majelis Umum. Anggota legislatif dapat menggunakan pasal-pasal tersebut untuk menghadang keputusan pemerintahan, mempengaruhi pengangkatan, dan membuat pemerintahan meninjau ulang suatu kebijakan.[124]
Dalam sesi-sesinya yang diadakan setiap tahun selama empat bulan, Majelis melakukan perdebatan publik. Sesi-sesi dilaporkan kepada umum dan menjadi forum nasional yang menampung aspirasi-aspirasi rakyat Brasil. Sesi juga menjadi wadah untuk menyatakan ketidaksetujuan terhadap suatu kebijakan dan tempat untuk memberikan keluhan. Anggota legislatif tidak dapat ditangkap akibat pernyataan yang dibuat dalam sesi. Hanya bilik dalam Majelis mereka sendiri yang dapat memerintahkan penangkapan seorang anggota selama masa jabatannya. Dengan tidak adanya tanggung jawab terhadap pernyataan yang dibuat dalam sesi, anggota legislatif dapat mengusulkan reformasi besar-besaran, menganjurkan gagasan yang ideal, dan mengutuk tingkah laku pemerintah tanpa ancaman penangkapan.[124]
Kaisar dan dewan menteri
Kaisar adalah kepala cabang penengah dan eksekutif; walaupun ia dibantu oleh dewan negara untuk cabang penengah dan dewan menteri untuk cabang eksekutif, keputusan akhir ada di tangan kaisar.[122] Ia ditugaskan untuk memastikan kemerdekaan dan stabilitas nasional. Pasal 101 Konstitusi hanya memberikan sedikit cara kepada kaisar untuk memaksakan kehendaknya terhadap Majelis Umum. Cara utamanya adalah penggunaan hak untuk membubarkan atau memperpanjang sesi legislatif. Wewenang kaisar untuk mengangkat senator tidak memberi pengaruh yang berarti karena jabatan senator diemban seumur hidup, sehingga begitu diangkat senator bebas dari tekanan apapun. Sementara itu, apabila kaisar membubarkan Bilik Deputi, pemilihan anggota bilik baru harus diadakan dengan segera. Wewenang ini ampuh bila digunakan sebagai ancaman. Namun, wewenang tersebut tidak dapat digunakan berkali-kali, dan apabila digunakan tidak akan menguntungkan kaisar.[124]
Pada masa kekuasaan Pedro I, Bilik Deputi tidak pernah dibubarkan dan sesi-sesi legislatif tidak pernah diperpanjang atau ditunda.[125] Di bawah kepemimpinan Pedro II, Bilik Deputi hanya dibubarkan atas permintaan Presiden Dewan Menteri (Perdana Menteri). Bilik pernah dibubarkan sebanyak sebelas kali, dengan sepuluh di antaranya dilakukan setelah berkonsultasi dengan Dewan Negara (yang sebenarnya tidak diharuskan oleh Konstitusi).[126] Terdapat keseimbangan kekuasaan antara Majelis Umum dengan cabang eksekutif di bawah kepemimpinan Kaisar. Dewan legislatif tidak dapat berjalan sendiri dan kaisar tidak dapat memaksakan kehendaknya terhadap Majelis. Sistem ini berjalan dengan mulus hanya jika Majelis dan Kaisar saling bekerjasama untuk kepentingan nasional.[124]
Terdapat nuansa baru dalam pemerintahan Brasil setelah jabatan "Presiden Dewan Menteri" didirikan pada tahun 1847-walaupun jabatan ini secara de facto sudah ada semenjak tahun 1843. Presiden Dewan Menteri memperoleh jabatannya berkat partainya dan Kaisar, dan keduanya kadang-kadang saling berkonflik. Tokoh abolisionis Brasil pada abad ke-19 Joaquim Nabuco menyatakan bahwa "Presiden Dewan di Brasil bukan Kanselir Rusia, makhluk penguasa, ataupun Perdana Menteri yang ada hanya karena dipercayai oleh Dewan Rakyat: [bagi Presiden Dewan], delegasi dari Kaisar sama pentingnya dengan delegasi dari Bilik, dan untuk dapat menjalankan fungsinya dengan aman ia harus menangani perubahan sikap parlemen yang tiba-tiba dan ambisi-ambisi dalam parlemen, serta menjaga sokongan dan kehendak baik dari kaisar."[127]
Pemerintah provinsi dan lokal
Setelah diberlakukan pada tahun 1824, konstitusi kekaisaran mendirikan Conselho Geral de Província (Dewan Umum Provinsial), dewan legislatif untuk provinsi-provinsi di Brasil.[128] Dewan ini terdiri dari 21 atau 13 anggota terpilih (tergantung jumlah penduduk suatu provinsi).[129] Semua "resolusi" (undang-undang) yang dibuat oleh dewan harus disetujui oleh Majelis Umum tanpa hak banding.[129] Dewan Provinsial juga tidak berwenang untuk meningkatkan pemasukan, dan anggaran mereka harus diperdebatkan dan diratifikasi oleh Majelis Umum.[129] Provinsi-provinsi tidak memiliki otonomi dan sepenuhnya tunduk kepada pemerintah pusat.[128]
Dengan diberlakukannya amandemen konstitusi pada tahun 1834 yang disebut Ato Adicional, Dewan Umum Provinsial digantikan oleh Assembleias Legislativas Provinciais (Majelis Legislatif Provinsial). Majelis yang baru ini memiliki lebih banyak otonomi.[130] Majelis Provinsial terdiri dari 36, 28 atau 20 anggota terpilih (tergantung jumlah penduduk suatu provinsi).[131] Pemilihan anggota majelis mengikuti prosedur pemilihan perwakilan di Bilik Deputi nasional.[131]
Tanggung jawab Majelis Provinsial meliputi penetapan anggaran provinsial dan munisipal beserta pemungutan pajak yang diperlukan untuk menopang anggaran tersebut; penyediaan pendidikan dasar dan menengah (pendidikan menengah ke atas merupakan tanggung jawab pemerintah nasional); pengawasan dan pengendalian pengeluaran provinsial dan munisipal; serta penegakan hukum dan pemeliharaan anggota polisi. Majelis mengendalikan pembuatan dan penghapusan jabatan pegawai negeri provinsial dan munisipal beserta penentuan gajinya. Pengangkatan, penangguhan dan pemecatan pegawai negeri merupakan hak presiden (gubernur) provinsi, tetapi bagaimana dan dalam situasi apa hak prerogatif tersebut dapat digunakan ditentukan oleh Majelis. Penyitaan properti pribadi untuk kepentingan provinsial atau munisipal (dengan pemberian ganti rugi moneter) juga merupakan hak Majelis.[132] Nyatanya, Majelis Provinsial dapat menetapkan peraturan daerah apapun tanpa harus diratifikasi Parlemen selama perda tersebut tidak melanggar konstitusi. Namun, provinsi tidak diperbolehkan membuat peraturan daerah mengenai urusan pidana, prosedur pidana, hak dan kewajiban perdata, angkatan bersenjata, anggaran nasional, atau urusan yang terkait dengan kepentingan nasional (seperti hubungan luar negeri).[133]
Presiden-presiden provinsi diangkat oleh pemerintah nasional dan secara teoretis bertugas memerintah provinsi. Nyatanya, kekuasaan mereka bervariasi di setiap provinsi berdasarkan pengaruh dan karakter pribadi mereka. Pemerintah nasional ingin memastikan kesetiaan mereka, sehingga presiden-presiden biasanya dikirim ke provinsi yang tidak memiliki ikatan politik, keluarga, atau hubungan lainnya dengan orang tersebut.[134] Agar mereka tidak dapat membangun kepentingan atau dukungan lokal yang kuat, masa jabatan presiden dibatasi selama beberapa bulan saja.[134] Presiden biasanya menghabiskan banyak waktu di luar provinsi mereka (biasanya berkelana ke provinsi asal mereka atau ibukota kekaisaran), sehingga gubernur de facto sebenarnya adalah wakil presiden, yang dipilih oleh Majelis Provinsial dan biasanya berlatar belakang politikus lokal.[135] Presiden tidak memiliki wewenang untuk mengurangi otonomi lokal, dan ia lebih seperti agen pemerintah pusat yang fungsinya adalah untuk menyampaikan kepentingan nasional kepada kepala politikus provinsial. Presiden dapat digunakan oleh pemerintah nasional untuk mempengaruhi atau bahkan mencurangi pemilihan umum, walaupun presiden perlu bergantung kepada politikus lokal dan provinsial yang berasal dari partai politiknya agar dapat menjalankan tugasnya secara efektif. Akibatnya, terdapat hubungan yang kompleks antar mereka yang didasarkan pada balas jasa, kepentingan pribadi, tujuan partai, negosiasi, dan manuver politik lainnya.[136]
Câmara municipal (dewan kota) adalah badan pemerintahan di kota-kota yang sudah ada di Brasil semenjak masa kolonial pada abad ke-16. Dewan ini terdiri dari vereadores (anggota dewan), dan jumlahnya tergantung besarnya suatu kota.[137] Tidak seperti Dewan Umum Provinsial, konstitusi memberikan banyak otonomi kepada dewan kota. Namun, ketika Majelis Provinsial menggantikan Dewan Umum Provinsial pada tahun 1834, banyak wewenang dewan kota (seperti penetapan anggaran kota, pengawasan pengeluaran, penciptaan lapangan kerja, dan pengangkatan pegawai negeri) diserahkan kepada pemerintah provinsial. Selain itu, peraturan yang ditetapkan oleh dewan kota harus diratifikasi oleh Majelis Provinsial (tapi tidak oleh parlemen).[138] Meskipun Ato Adicional 1834 memberikan lebih banyak otonomi kepada provinsi-provinsi, amandemen tersebut menyerahkan otonomi kota kepada pemerintah provinsial.[139] Di kota tidak ada jawaban wali kota, dan kota-kota diperintah oleh dewan kota bersama dengan presidennya (yang merupakan anggota dewan yang memperoleh paling banyak suara saat pemilihan umum).[140]
Pemilihan umum
Hingga tahun 1881, pemilih diwajibkan memilih[141] dan pemilihan berlangsung dalam dua tahap. Dalam tahap pertama, pemilih memilih elektor yang kemudian memilih sejumlah calon senator. Kaisar kemudian akan memilih senator baru (anggota senat, majelis tinggi di Majelis Umum) dari daftar tiga calon yang telah memperoleh suara paling banyak. Elektor juga memilih anggota Bilik Deputi (majelis rendah), anggota Majelis Provinsial dan anggota dewan kota tanpa melibatkan Kaisar.[142] Semua laki-laki yang berusia di atas 25 tahun dengan pendapatan tahunan paling tidak Rs 100$000 (atau 100.000 réis; pada tahun 1824 sama dengan 98 dollar Amerika Serikat.[143]) memiliki hak untuk memilih dalam tahap pertama. Batas usia untuk memilih diturunkan menjadi 21 tahun untuk laki-laki yang sudah menikah. Sementara itu, elektor harus memiliki pendapatan tahunan paling tidak Rs 200$000.[142]
Sistem Brasil cukup demokratik pada masa ketika pemilihan tidak langsung merupakan cara pemilihan yang umum di negara-negara demokrasi. Persyaratan pendapatan minimal di Britania jauh lebih tinggi daripada di Brasil, bahkan setelah diberlakukannya Undang-Undang Reformasi 1832 di Britania Raya.[144] Pada masa itu dua negara yang tidak memiliki persyaratan pendapatan minimal adalah Perancis dan Swiss yang telah memberlakukan hak pilih universal pada tahun 1848.[145][146] Kemungkinan pada masa itu kebanyakan negara-negara Eropa tidak memiliki kebijakan yang seliberal Brasil.[144] Persyaratan pendapatan minimal di Brasil sangat rendah sehingga setiap laki-laki dewasa yang berpenghasilan memiliki hak untuk memilih.[143][146] Sebagai gambaran, pegawai negeri dengan gaji terendah pada tahun 1876 adalah pesuruh yang digaji Rs 600$000 setiap tahunnya.[144]
Sebagian besar pemilih di Brasil memiliki pendapatan yang rendah.[147][148] Sebagai contoh, di kota Formiga di Minas Gerais pada tahun 1876, 70% elektorat merupakan orang miskin, sementara di Irajá (provinsi Rio de Janeiro) orang miskin mencakup 87% elektorat.[149] Mantan budak tidak boleh memilih, tetapi anak dan cucu mereka boleh,[145] dan begitu pula mereka yang buta huruf[150] (hanya sedikit negara yang memperbolehkannya pada masa itu).[147] Pada tahun 1872, 10,8% penduduk Brasil ikut memilih dalam pemilu[148] (13% populasi non-budak).[151] Sebagai perbandingan, tingkat partisipasi di Britania Raya pada tahun 1870 tercatat sebesar 7% dari total populasi; di Italia tingkat partisipasi tercatat sebesar 2%; di Portugal 9%; dan di Belanda 2,5%.[145] Pada tahun 1832 (yang merupakan tahun reformasi elektoral Britania), hanya 3% warga Britania yang ikut memilih dalam pemilu. Reformasi elektoral pada tahun 1867 dan 1884 menambah tingkat partisipasi elektoral di Britania menjadi 15%.[152]
Meskipun kecurangan sering terjadi, hal ini tidak diabaikan oleh Kaisar, politikus dan pengamat pada masa itu. Masalah ini dianggap sebagai masalah besar dan berbagai upaya dilancarkan untuk menanggulanginya.[142][150] Berbagai undang-undang (termasuk reformasi elektoral tahun 1855, 1875 dan 1881) ditetapkan untuk memberantas kecurangan.[153] Reformasi pada tahun 1881 membawa perubahan besar: reformasi ini menghapuskan sistem elektoral dua tahap, memperkenalkan pemilihan langsung,[154] serta memperbolehkan mantan budak dan orang-orang non-Katolik untuk memilih.[148] Namun, penduduk yang buta huruf tidak lagi diperbolehkan untuk memilih.[148] Tingkat partisipasi menurun dari 13% menjadi 0,8% pada tahun 1886.[148] Pada tahun 1889, sekitar 15% populasi Brasil dapat membaca dan menulis, sehingga penghapusan hak pilih orang buta huruf tidak menjelaskan penurunan drastis ini.[155] Penghapusan kewajiban untuk memilih dan apatisme di antara pemilih kemungkinan adalah faktor-faktor penting yang menyebabkan penurunan tingkat partisipasi elektoral di Brasil.[156]
Angkatan bersenjata
Berdasarkan Pasal 102 dan 148 Konstitusi Brasil, angkatan bersenjata berada di bawah komando Kaisar sebagai panglima tertinggi.[157] Ia dibantu oleh Menteri Perang dan Angkatan Laut untuk urusan yang menyangkut angkatan darat dan angkatan laut—walaupun pada praktiknya Presiden Dewan Menteri biasanya mengawasi kedua cabang tersebut. Menteri Perang dan Angkatan Laut biasanya berlatar belakang sipil (dengan beberapa pengecualian).[158][159]
Militer diorganisasi seperti angkatan bersenjata Britania dan Amerika Serikat pada masa itu: angkatan bersenjata yang kecil dapat membesar dengan cepat pada masa darurat dari pasukan milisi cadangan (di Brasil: Garda Nasional). Garis pertahanan terdepan Brasil adalah angkatan laut yang besar dan kuat untuk melindungi negara dari serangan asing. Berdasarkan kebijakan, militer harus tetap patuh kepada pemerintah sipil dan menghindari campur tangan dalam pengambilan keputusan politik.[160]
Anggota militer diperbolehkan menjadi pejabat pada saat masih aktif bertugas. Namun, mereka tidak mewakili angkatan darat atau laut dan harus melayani kepentingan kota atau provinsi yang telah memilih mereka.[158] Pedro I memilih sembilan perwira militer sebagai senator dan mengangkat lima perwira sebagai anggota dewan negara. Pada masa perwalian, dua perwira dijadikan anggota senat, sementara tidak ada yang menjadi anggota dewan negara karena badan tersebut tidak aktif pada masa tersebut. Pedro II memilih empat perwira sebagai senator pada tahun 1840-an, dua perwira pada tahun 1850-an, dan tiga lainnya pada sisa akhir masa kekuasaannya. Ia juga mengangkat tujuh perwira sebagai kanselir negara pada tahun 1840-an dan 1850-an, dan tiga lainnya setelah itu.[161]
Angkatan bersenjata Brasil didirikan setelah kemerdekaan. Angkatan bersenjata ini pada awalnya terdiri dari perwira-perwira kelahiran Brasil dan Portugal dan pasukan yang tetap loyal kepada pemerintah di Rio de Janeiro selama perang untuk melepaskan diri dari Portugal. Angkatan bersenjata berperan penting dalam kemenangan kekaisaran dalam beberapa konflik internasional, seperti perang kemerdekaan (1822–1824), Perang Cisplatina (1825–1828), Perang Platina (1851–1852), Perang Uruguay (1864–1865) dan Perang Paraguay (1864–1870). Mereka juga berperan penting dalam memadamkan pemberontakan-pemberontakan seperti pemberontakan Konfederasi Khatulistiwa (1824) pada masa Pedro I serta Perang Farrapos (1835–1845), Cabanagem (1835–1840), dan Balaiada (1838–1841) pada masa Pedro II.[162]
Angkatan laut Brasil terus menerus diperbaharui dengan mengikuti perkembangan terbaru dalam peperangan laut. Angkatan laut Brasil mulai menggunakan navigasi uap pada tahun 1830-an, kapal lapis besi (ironclad) pada tahun 1860-an, dan torpedo pada tahun 1880-an. Pada tahun 1889, Brasil memiliki angkatan laut terkuat kelima atau keenam di dunia[163] dan kapal perang terkuat di belahan barat.[164] Namun, angkatan darat pada masa damai menghadapi berbagai masalah. Meskipun memiliki perwira yang berpengalaman, satuan-satuannya tidak menerima gaji, persenjataan, dan pelatihan yang cukup, dan pasukan tidak cukup tersebar di wilayah kekaisaran yang luas.[165]
Pertikaian yang diakibatkan oleh tidak cukupnya perhatian pemerintah kepada angkatan bersenjata dapat diredam dengan munculnya perwira-perwira baru pada tahun 1820-an. Perwira-perwira tersebut setia kepada monarki, meyakini bahwa militer perlu berada di bawah kendali sipil, dan membenci caudillisme (kediktatoran Hispanik-Amerika) yang mereka lawan. Namun, pada awal tahun 1880-an, generasi ini (seperti komandan Adipati Caxias, Conde Porto Alegre, dan Marquês Erval) sudah meninggal, pensiun, atau tidak lagi memberi komando.[98][166]
Ketidakpuasan mulai muncul pada tahun 1880-an, dan beberapa perwira menunjukkan sifat yang membangkang. Kaisar dan para politikus tidak melakukan apa-apa untuk memperbaiki militer atau memenuhi permintaan mereka.[167] Penyebaran ideologi positivisme di antara perwira-perwira muda membuat masalah semakin rumit, karena positivisme menentang monarki dengan keyakinan bahwa republik diktatorial akan membawa perubahan.[99] Koalisi yang dibentuk oleh pemberontak di angkatan bersenjata dan kaum positivis secara langsung mengakibatkan kudeta republikan pada 15 November 1889.[168] Batalion dan resimen yang setia kepada kekaisaran dan sepakat dengan gagasan-gagasan pemimpin lama mencoba mengembalikan sistem monarki, tetapi upaya mereka sia-sia dan pendukung kekaisaran dihukum mati, ditangkap, atau dipaksa pensiun.[169]
Hubungan luar negeri
Setelah memperoleh kemerdekaan dari Portugal, fokus utama kebijakan luar negeri Brasil adalah memperoleh pengakuan internasional. Negara pertama yang mengakui kedaulatan Brasil adalah Amerika Serikat pada Mei 1825.[170] Negara-negara lain juga membuka hubungan diplomatik dengan Brasil dalam beberapa tahun berikutnya.[171] Portugal mengakui kemerdekaan Brasil pada Agustus 1825.[172] Prioritas pemerintah Brasil selanjutnya adalah menetapkan garis perbatasan dengan membuat perjanjian dengan negara-negara tetangganya. Upaya untuk memastikan batas negara dipersulit oleh fakta bahwa antara tahun 1777 hingga 1801 Portugal dan Spanyol telah membatalkan perjanjian-perjanjian yang menetapkan batas koloni mereka di Amerika.[173] Meskipun begitu, Kekaisaran Brasil berhasil menandatangani beberapa perjanjian bilateral dengan tetangga-tetangganya, seperti Uruguay (tahun 1851), Peru (tahun 1851 dan 1874), Republik Granada Baru tahun (belakangan menjadi Kolombia, tahun 1853), Venezuela (tahun 1859), Bolivia (tahun 1867) dan Paraguay (tahun 1872).[174][175] Pada tahun 1889, sebagian besar perbatasan Brasil telah ditetapkan. Isu-isu yang tersisa - seperti pembelian wilayah Acre dari Bolivia yang akan membuat wilayah Brasil tampak seperti sekarang[176] — baru diselesaikan setelah negara ini menjadi republik.[177]
Beberapa konflik berlangsung antara Kekaisaran Brasil dengan tetangga-tetangganya. Brasil tidak pernah mengalami konflik serius dengan tetangga-tetangganya di utara dan barat akibat keberadaan hutan hujan Amazon yang sulit ditembus.[B] Namun, di selatan, sengketa yang diwarisi dari masa penjajahan Portugal terkait dengan kendali atas sungai dan dataran yang membentuk garis perbatasan masih berlanjut.[178] Akibat ketiadaan perbatasan yang disepakati oleh kedua belah pihak di wilayah tersebut, berbagai konflik internasional meletus, dari Perang Cisplatina hingga Perang Paraguay.[179]
Duta Besar Amerika Serikat untuk Brasil James Watson Webb pada tahun 1867 menyatakan bahwa "setelah kita sendiri, Brasil adalah kekuatan besar di benua Amerika".[180] Kebangkitan Brasil mulai disadari paling awal pada tahun 1844 oleh Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John C. Calhoun: "setelah Amerika Serikat, Brasil adalah negara Amerika yang paling kaya, besar dan paling mapan."[181] Pada awal tahun 1870-an,[79] reputasi internasional Kekaisaran Brasil telah meningkat, dan negara ini termasuk negara terpandang di dunia internasional hingga kejatuhannya pada tahun 1889.[101] Diplomat Amerika Serikat di ibukota Brasil pada tahun 1880-an yang bernama Christopher Columbus Andrews menyebut Brasil sebagai "kekaisaran yang penting" dalam memoirnya.[182] Pada tahun 1871, Brasil diminta menengahi sengketa antara Amerika Serikat dan Britania yang dikenal dengan nama Klaim Alabama. Pada tahun 1880, Kekaisaran Brasil menjadi penengah Amerika Serikat dan Perancis terkait kerugian yang dialami oleh warga Amerika Serikat selama intervensi Perancis di Meksiko. Pada tahun 1884, Brasil diminta menengahi sengketa antara Chili dengan beberapa negara lain (Perancis, Italia, Britania, Jerman, Belgia, Austria-Hongaria, dan Swiss) terkait kerugian yang ditimbulkan oleh Perang Pasifik.[183]
Pemerintah Brasil pada akhirnya merasa cukup percaya diri untuk menegosiasikan perjanjian dagang dengan Amerika Serikat 1889, yang merupakan perjanjian dagang pertama yang dibuat oleh Kekaisaran Brasil semenjak ditandatanganinya perjanjian dagang dengan Britania yang eksploitatif dan amat merugikan Brasil pada tahun 1826 (dibatalkan tahun 1844). Sejarawan Amerika Serikat Steven C. Topik menyatakan bahwa "upaya [Pedro II] untuk membuat perjanjian dagang dengan Amerika Serikat merupakan bagian dari strategi yang lebih besar untuk meningkatkan kedaulatan dan otonomi nasional." Tidak seperti saat ditandatanganinya perjanjian sebelumnya dengan Britania, Kekaisaran Brasil berada pada posisi yang memampukannya untuk meminta pasal yang lebih menguntungkan, karena negosiasi berlangsung pada saat Brasil menikmati kesejahteraan domestik dan martabat internasional.[184]
Ekonomi
Mata uang
Mata uang Brasil dari masa pendirian kekaisaran hingga tahun 1942 adalah real (jamak: réis, dalam bahasa Portugis modern reais) dan berasal dari real Portugal. Mata uang ini biasanya disebut milréis (Indonesia: seribu réis) dan cara penulisannya adalah 1$000. Seribu milréis (1:000$000)—atau satu juta réis—dikenal dengan sebutan conto de réis.[185] Satu conto de réis dilambangkan oleh simbol Rs yang ditulis sebelum nilainya dan oleh lambang dollar yang ditulis sebelum jumlah yang lebih rendah dari 1.000 réis. Maka dari itu, 350 réis ditulis "Rs 350"; 1.712 réis ditulis "Rs 1$712"; dan 1.020.800 réis ditulis "Rs 1:020$800". Titik digunakan sebagai pemisah antara juta, miliar, triliun, dll (misalnya, 1 miliar réis ditulis "Rs 1.000:000$000"). Titik dua berfungsi untuk memisahkan jutaan dari ribuan, dan lambang $ dimasukkan di antara ribuan dan ratusan (999 atau lebih rendah). [186]
Ikhtisar
Perdagangan internasional Brasil bernilai Rs 79.000:000$000 antara tahun 1834 hingga 1839. Nilainya terus meningkat hingga mencapai angka Rs 472.000:000$000 antara tahun 1886 hingga 1887: rata-rata pertumbuhan tahunannya adalah 3,88% semenjak tahun 1839.[187] Nilai absolut ekspor Brasil pada tahun 1850 merupakan yang tertinggi di Amerika Latin dan tiga kali lebih tinggi dari Argentina yang menempati posisi keempat. Ekspor dan pertumbuhan ekonomi Brasil tetap berada di posisi atas hingga jatuhnya monarki.[188] Pertumbuhan ekonomi Brasil (terutama setelah tahun 1850) cukup baik bila dibandingkan dengan Amerika Serikat negara-negara Eropa.[189] Pendapatan pajak nasional mencapai Rs 11.795:000$000 pada tahun 1831 dan meningkat menjadi Rs 160.840:000$000 pada tahun 1889. Pada tahun 1858, pendapatan pajak nasional Brasil merupakan yang tertinggi kedelapan di dunia.[190] Meskipun mengalami pertumbuhan, terdapat kesenjangan ekonomi yang amat lebar.[191] Namun, sebagai perbandingan, menurut sejarawan Steven C. Topik di Amerika Serikat "pada tahun 1890, 80 persen populasi hidup di ambang batas kebutuhan dasar, sementara 20 persen mengendalikan seluruh kekayaan."[192]
Dengan munculnya teknologi baru dan meningkatnya produktivitas internal, ekspor meningkat pesat. Hal ini memungkinkan keseimbangan dalam neraca perdagangan Brasil. Pada tahun 1820-an, ekspor gula mencakup 30% total ekspor, sementara kapas mencakup 21%, kopi 18% dan kulit 14%. Dua puluh tahun kemudian ekspor kopi mencakup 42%, gula 27%, kulit 9%, dan kapas 8%. Namun, statistik ini tidak menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah produksi beberapa komoditas. Nyatanya, produksi komoditas-komoditas tersebut mengalami pertumbuhan pesat, hanya saja pertumbuhan di sektor tertentu lebih tinggi dari yang lain. Antara tahun 1820 hingga 1840, Fausto mengamati bahwa "volume ekspor Brasil naik dua kali lipat dan nilai nominalnya naik tiga kali lipat", sementara nilai yang terdenominasi dalam Pounds sterling naik 40%.[193] Brasil bukanlah satu-satunya negara yang bergantung pada sektor agrikultur untuk ekspor. Di Amerika Serikat sekitar tahun 1890 (yang pada saat itu merupakan negara terkaya di Amerika), 80% ekspornya merupakan ekspor hasil agrikultur.[194]
Pada tahun 1820-an, Brasil mengekspor 11.000 ton kakao dan pada tahun 1880 ekspornya telah meningkat menjadi 73.500 ton.[195] Antara tahun 1821 hingga 1825, 41.174 ton gula diekspor, yang kemudian naik menjadi 238.074 ton antara tahun 1881 hingga 1885.[196] Produksi karet hingga tahun 1850 tidaklah signifikan, tetapi antara tahun 1881 hingga 1890 karet merupakan produk ketiga dalam ekspor Brasil.[197] Sebagai gambaran, Brasil mengekspor 81 ton karet antara tahun 1827 hingga 1830, yang kemudian naik menjadi 1.632 ton pada tahun 1852. Pada tahun 1900, negara ini mengekspor 24.301.452 ton karet.[195] Brasil juga mengekspor sekitar 3.377.000 ton kopi antara tahun 1821 hingga 1860, sementara dari tahun 1861 hingga 1880 jumlah kopi yang diekspor mencapai 6.804.000 ton.[198] Inovasi teknologi telah membantu mendorong ekspor,[193] terutama penggunaan navigasi uap dan kereta api yang mempercepat dan memudahkan transportasi muatan.[199]
Pembangunan
Pembangunan berskala besar berlangsung pada masa kekaisaran.[200][201] Pada tahun 1850, terdapat lima puluh pabrik dengan jumlah modal sebesar Rs 7.000:000$000. Pada masa akhir kekaisaran pada tahun 1889, Brasil memiliki 636 pabrik dengan jumlah modal sebesar Rs 401.630:600$000 (sehingga rata-rata pertumbuhan jumlah pabrik setiap tahunnya adalah 6,74% dan rata-rata pertumbuhan jumlah modal pabrik setiap tahunnya adalah 10,94%).[202] Sejarawan Steven C. Topik mengamati bahwa "di pedesaan terdengar gema suara besi sedang dipasang karena jalur kereta api dibangun dengan laju pembangunan yang paling berapi-api pada abad ke-19; memang, laju pembangunan pada tahun 1880-an merupakan yang terbesar kedua dalam sejarah Brasil berdasarkan nilai absolut. Hanya delapan negara di dunia yang membangun lebih banyak jalur kereta api daripada Brasil pada dasawarsa itu."[101] Jalur kereta api pertama yang panjangnya hanya 15 km dibuka pada 30 April 1854[203] pada masa ketika kereta api masih belum ada di banyak negara Eropa.[200] Pada tahun 1868, terdapat 718 km jalur kereta api.[204] Pada masa akhir kekaisaran pada tahun 1889, panjangnya telah bertambah menjadi 9.200 km, sementara 9.000 km lainnya sedang dalam pembangunan.[205] Maka dari itu, Kekaisaran Brasil merupakan negara dengan "jaringan kereta api terbesar di Amerika Latin".[101]
Pabrik-pabrik juga dibangun di seluruh kekaisaran pada tahun 1880-an, sementara kota-kota Brasil mengalami modernisasi dan "menerima manfaat dari gas, listrik, sanitasi, telegraf, dan tram. Brasil sedang memasuki dunia modern."[101] Brasil merupakan negara kelima di dunia yang membangun selokan modern, negara ketiga yang membangun pengolahan limbah[200] dan salah satu pelopor pemasangan jasa telepon.[206] Selain terus memperbaiki infrastruktur, Brasil juga merupakan negara Amerika Selatan pertama yang menggunakan lampu listrik untuk umum (pada tahun 1883)[207] dan negara kedua di Amerika (setelah Amerika Serikat) yang membangun jalur telegraf transatlantik yang menghubungkannya dengan Eropa pada tahun 1874.[200] Jalur telegraf domestik pertama pertama kali dibuat pada tahun 1852 di Rio de Janeiro. Pada tahun 1889, terdapat 18.925 km jalur telegraf yang menghubungkan ibukota negara dengan provinsi-provinsi Brasil yang jauh seperti Pará dan bahkan dengan negara-negara lain seperti Argentina dan Uruguay.[208]
Masyarakat
Demografi
Semenjak pertengahan akhir abad ke-18, ketika Brasil masih dijajah, pemerintah mencoba mengumpulkan data populasi. Namun, hanya sedikit capitanias (belakangan disebut provinsi) yang memberikan informasi yang diminta.[209] Setelah kemerdekaan, pemerintah mendirikan komisi statistik berdasarkan dekret yang dikeluarkan pada tahun 1829 dengan mandat untuk mengadakan sensus nasional.[209] Komisi ini gagal melaksanakan tugasnya dan dibubarkan pada tahun 1834. Pada tahun-tahun berikutnya, pemerintah provinsi diberi tugas untuk mengumpulkan informasi sensus, tetapi laporan mereka seringkali tidak lengkap atau tidak dikumpulkan sama sekali.[209] Pada tahun 1851, upaya sensus nasional kembali gagal saat kerusuhan pecah. Hal ini diakibatkan oleh keyakinan yang salah di antara orang-orang beretnis campuran bahwa survei itu dirancang untuk memperbudak siapapun yang memiliki darah Afrika.[210]
Sensus nasional yang sesungguhnya dengan cakupan yang luas dan menyeluruh dilaksanakan pada tahun 1872. Sensus melaporkan bahwa jumlah penduduk dan kota di Brasil masih sedikit, sehingga wilayah Brasil jarang penduduknya. Sensus menunjukkan bahwa Brasil memiliki jumlah penduduk sebesar 9.930.478 jiwa.[210] Pemerintah sebelumnya membuat prakiraan sebesar 4.000.000 jiwa pada tahun 1823 dan 7.000.700 pada tahun 1854.[210] Populasinya tersebar di 20 provinsi dan 641 munisipalitas (termasuk Munisipalitas Netral, ibukota kekaisaran).[210]
Di antara warga yang bukan budak, 23,4% laki-laki dan 13,4% perempuan dianggap melek huruf.[211] 52% (5.123.869) penduduk adalah laki-laki.[211] Sensus juga menunjukkan bahwa 24,6% penduduk merupakan anak-anak berusia di bawah 10 tahun; 21,1% adalah anak muda dan remaja berumur 11 hingga 20 tahun; 32,9% adalah orang dewasa yang berusia 21 hingga 40 tahun; 8,4% adalah orang yang berumur 41 hingga 50 tahun; 12,8% adalah orang yang berusia 51 hingga 70 tahun; dan hanya 3,4% populasi yang berusia di atas 71 tahun.[211] Penduduk di wilayah timur laut dan tenggara mencakup 87,2% total populasi.[212] Sensus kedua diadakan pada tahun 1890 ketika Republik Brasil masih berumur beberapa bulan. Hasilnya menunjukkan bahwa jumlah penduduk Brasil telah meningkat menjadi 14.333.915 jiwa.[213]
Kelompok etnis
Terdapat empat kelompok etnis yang diakui di Kekaisaran Brasil: kulit putih, kulit hitam, penduduk asli dan kulit coklat.[213] Orang-orang kulit coklat (bahasa Portugis: pardo) adalah istilah yang mengacu pada orang-orang multirasial, dan istilah ini masih digunakan secara resmi,[214][215] walaupun beberapa ahli lebih menyukai istilah "campuran" (bahasa Portugis: mestiço). Istilah ini menandakan kategori yang luas yang mencakup: caboclo (keturunan campuran kulit putih dan penduduk asli), mulatto (keturunan campuran kulit putih dan kulit hitam) dan cafuzo (keturunan campuran kulit hitam dan penduduk asli).[216]
Mayoritas penduduk di wilayah utara, timur laut dan tengah-barat adalah orang caboclo.[217] Terdapat populasi mulatto yang besar di pesisir timur wilayah timur laut (dari Bahia hingga Paraíba)[218][219] dan mereka juga dapat ditemui di Maranhão utara,[220][221] Minas Gerais selatan,[222] Rio de Janeiro timur dan di Espírito Santo.[218][222] Cafuzo adalah kelompok etnis paling kecil dan paling sulit untuk dibedakan dari dua kelompok etnis campuran lainnya, karena keturunan campuran caboclo dan mulatto juga tergolong dalam kategori ini. Mereka dapat ditemui di sertão timur laut (bahasa Indonesia: pedalaman). Kelompok ini masih dapat ditemui di wilayah yang sama hari ini.[223]
Tahun | Kulit putih | Kulit coklat | Kulit hitam | Penduduk asli | Jumlah |
---|---|---|---|---|---|
1872 | 38,1% | 38,3% | 19,7% | 3,9% | 100% |
1890 | 44,0% | 32,4% | 14,6% | 9% | 100% |
Orang Brasil kulit putih merupakan keturunan orang-orang Portugal. Semenjak tahun 1870-an, kelompok etnis ini juga meliputi imigran-imigran Eropa lain: sebagian besar orang Italia, Spanyol dan Jerman. Walaupun orang-orang kulit putih dapat ditemui di seluruh negeri, mereka merupakan kelompok mayoritas di wilayah selatan dan provinsi São Paulo.[211] Terdapat pula populasi kulit putih yang besar di provinsi-provinsi timur laut di Ceará, Paraíba dan Rio Grande do Norte (40% populasi).[211] Orang Brasil kulit hitam yang merupakan keturunan orang-orang dari Afrika Sub-Sahara tinggal di wilayah yang sama dengan orang-orang mulatto. Sebagian besar penduduk di provinsi Rio de Janeiro, Minas Gerais, Espírito Santo, Bahia, Sergipe, Alagoas dan Pernambuco merupakan orang kulit hitam atau coklat (empat provinsi terakhir memiliki populasi kulit putih yang kecil - masing-masing lebih rendah dari 30%).[211] Penduduk asli Brasil dapat ditemui di Piauí, Maranhão, Pará dan Amazonas.[211]
Dengan keberadaan komunitas rasial dan budaya yang terpisah, Brasil pada abad ke-19 merupakan negara multi-etnis. Namun, data mengenai persentasenya bermasalah dan tidak ada informasi terpercaya sebelum tahun 1872. Sensus nasional pertama yang diadakan oleh pemerintah pada tahun 1872 menunjukkan bahwa dari 9.930.479 penduduk, 38,1% adalah orang kulit putih, 38,3% orang kulit coklat, 19,7% orang kulit hitam dan 3,9% penduduk asli.[213] Sensus kedua yang diadakan pada tahun 1890 menunjukkan bahwa dari jumlah penduduk sebesar 14.333.915 jiwa, 44% merupakan orang kulit putih, 32,4% kulit coklat, 14,6% kulit hitam dan 9% penduduk asli.[213]
Imigrasi dari Eropa
Sebelum tahun 1808, orang Portugis adalah satu-satunya orang Eropa yang menetap di Brasil dalam jumlah besar. Meskipun orang Britania, Jerman, Italia dan Spanyol sebelumnya sudah bermigrasi ke Brasil, jumlahnya hanya beberapa individu atau berupa kelompok yang amat kecil. Pendatang non-Portugal paling awal tidak berdampak besar terhadap budaya koloni Brasil.[224] Keadaan ini berubah setelah tahun 1808 saat Raja João VI mulai mendorong imigrasi dari negara-negara Eropa di luar Portugal.[224][225]
Kelompok pertama yang datang dalam jumlah besar adalah orang Swiss: 2.000 orang Swiss menetap di provinsi Rio de Janeiro pada tahun 1818.[226] Mereka diikuti oleh orang-orang Jerman dan Irlandia yang bermigrasi ke Brasil pada tahun 1820-an. Orang-orang Jerman umumnya menetap di provinsi-provinsi selatan yang mirip lingkungannya dengan tanah air mereka.[227] Pada tahun 1830-an, akibat ketidakstabilan pada masa perwalian, imigrasi dari Eropa berhenti dan baru mulai lagi saat Pedro II naik tahta dan ketika Brasil menikmati perdamaian dan kesejahteraan.[228] Petani-petani di tenggara yang diperkaya oleh pendapatan dari ekspor kopi membuat sistem untuk mengundang imigran dengan memberi akses ke Brasil sebagai ganti atas kontrak kerja selama waktu yang ditentukan. Skema ini berlangsung hingga akhir tahun 1850-an, saat sistem ini mengalami kegagalan dan dihentikan. Kegagalannya diakibatkan oleh utang besar yang ditanggung oleh pendatang dari Eropa untuk membayar biaya perjalanan dan kedatangan mereka, sehingga mereka menjadi seperti budak untuk majikan mereka.[229] Imigrasi kembali menurun saat Perang Paraguay yang berlangsung dari tahun 1864 hingga 1870.[230]
Jumlah imigran meningkat pesat pada tahun 1870-an dan fenomena ini disebut "imigrasi besar". Sebelumnya, sekitar 10.000 orang Eropa datang ke Brasil setiap tahunnya, namun setelah tahun 1872, jumlah mereka meningkat drastis.[231] Menurut perkiraan Institut Geografi dan Statistik Brasil, 500.000 orang Eropa datang ke Brasil antara tahun 1808 hingga 1883.[232] Jumlah orang Eropa yang datang antara tahun 1884 hingga 1893 meningkat menjadi 883.668.[232] Jumlah orang Eropa yang datang kembali bertambah pada dasawarsa-dasawarsa berikutnya: 862.100 pendatang antara tahun 1894 hingga 1903 dan 1.006.617 antara tahun 1904 hingga 1913.[232]
Dari tahun 1872 hingga 1879, kebangsaan pendatang-pendatang tersebut meliputi orang Portugal (31,2%), Italia (25,8%), Jerman (8,1%) dan Spanyol (1,9%).[231] Pada tahun 1880-an, jumlah orang Italia telah melebihi orang Portugal (61,8% orang Italia dibandingkan dengan 23,3% orang Portugal), dan jumlah orang Spanyol telah melebihi orang Jerman (6,7% orang Spanyol dibandingkan dengan 4,2% orang Jerman).[231] Kelompok-kelompok kecil yang lain juga datang, seperti orang Rusia, Polandia dan Hongaria.[233] Karena hampir semua pendatang dari Eropa menetap di wilayah tenggara dan selatan kekaisaran, persebaran etnis yang sebelumnya sudah tidak merata menjadi semakin tidak merata.[234] Untuk sebuah negara yang memiliki jumlah penduduk yang kecil dan tersebar (4.000.000 pada tahun 1823 dan 14.333.915 pada tahun 1890), kedatangan lebih dari 1.380.000 orang Eropa berdampak besar terhadap komposisi etnis negara. Pada tahun 1872, saat sensus nasional diadakan, orang kulit putih hanya mencakup sepertiga total populasi (38,1%); pada tahun 1890, persentasenya telah meningkat menjadi 44%.[213]
Perbudakan
Pada tahun 1823, setahun setelah kemerdekaan Brasil, 29% penduduk Brasil adalah seorang budak. Persentase ini akan menurun seiring berjalannya waktu: dari 24% pada tahun 1854 menjadi 15,2% pada tahun 1872, dan akhirnya menjadi lebih rendah dari 5% pada tahun 1887—tahun sebelum perbudakan dihapuskan.[235] Sebagian besar budak adalah laki-laki dewasa berlatar belakang Afrika.[236] Latar belakang etnis, agama dan bahasa setiap budak yang dibawa ke Brasil berbeda-beda; masing-masing merasa berasal dari latar belakang primordial mereka sendiri dan bukan sebagai orang Afrika.[237] Sebagian dari budak yang dibawa ke Amerika ditangkap saat sedang terlibat dalam perang antar suku di Afrika dan kemudian dijual ke pedagang budak.[238][239]
Budak-budak dan keturunan mereka biasanya dapat ditemui di wilayah yang menghasilkan barang ekspor.[240] Perkebunan gula di pesisir timur wilayah timur laut pada abad ke-16 dan ke-17 merupakan contoh aktivitas ekonomi yang bergantung pada tenaga kerja budak.[241] Di provinsi Maranhão di utara, tenaga kerja budak digunakan untuk menghasilkan kapas dan beras pada abad ke-18.[242] Pada periode ini, budak juga dieksploitasi di provinsi Minas Gerais untuk menambang emas.[243] Budak-budak juga banyak digunakan di Rio de Janeiro dan São Paulo pada abad ke-19 untuk penanaman kopi yang merupakan komoditas yang sangat penting bagi perekonomian negara.[244] Persebaran perbudakan tidak merata di seluruh Brasil. Pada tahun 1870, 73% populasi budak di Brasil tinggal di lima provinsi (di Rio de Janeiro 30%, Bahia 15%, Minas Gerais 14%, São Paulo 7% dan Rio Grande do Sul 7%).[245] Di provinsi Pernambuco persentasenya adalah 6%, sementara di Alagoas hanya 4%. Di antara tiga belas provinsi yang tersisa, persentasenya tidak ada yang mencapai 3%.[246]
Sebagian besar budak bekerja di perkebunan.[245] Relatif sedikit orang Brasil yang memiliki budak dan sebagian besar perkebunan berukuran kecil atau sedang mempekerjakan orang yang bukan budak.[247] Budak dapat juga ditemui dalam pekerjaan lainnya: sebagian dipekerjakan sebagai pelayan, petani, penambang, pelacur, tukang kebun, dan pekerjaan-pekerjaan lain.[248] Banyak budak yang dibebaskan kemudian memiliki budak dan bahkan ada budak yang memiliki budaknya sendiri.[249][250] Meskipun budak-budak biasanya berlatar belakang kulit hitam atau mulatto, terdapat pula budak keturunan Eropa yang merupakan hasil dari hubungan seksual antar etnis antara pemilik budak laki-laki dengan budak mulatto perempuan mereka.[251] Terdapat praktik penjualan budak bersama dengan keluarga mereka yang bahkan diikuti oleh pemilik budak yang paling keji.[252] Dalam hukum, budak dianggap sebagai properti. Budak yang dibebaskan otomatis menjadi warga negara yang memiliki hak-hak sipil; pengecualiannya adalah ketika budak yang dibebaskan dilarang untuk memilih (hingga tahun 1881), walaupun keturunan mereka diperbolehkan.[245]
Kebangsawanan
Kebangsawanan di Brasil sangat berbeda dengan kebangsawanan di Eropa: gelar bangsawan tidak diturunkan secara turun temurun (kecuali untuk anggota keluarga kekaisaran)[253] dan mereka yang menerima gelar bangsawan tidak dianggap sebagai kelas sosial yang terpisah, sehingga mereka tidak menerima apanase, stipendium atau remunerasi.[253] Namun, banyak jabatan, tradisi dan regulasi dalam sistem kebangsawanan Brasil yang secara langsung didasarkan pada sistem aristokrasi Portugal.[254][255] Pada masa kekuasaan Pedro I, persyaratan untuk menjadi seorang bangsawan tidak jelas. Pada masa Pedro II (tidak termasuk masa perwalian yang tidak memperbolehkan wali untuk memberi gelar atau kehormatan[256]), kebangsawanan berubah menjadi meritokrasi,[254] atau dalam kata lain gelar diberikan sebagai pengakuan atas jasa seseorang terhadap kekaisaran atau kepentingan umum. Gelar bangsawan tidak mewakili "pengakuan atas nenek moyang yang terkemuka."[257][258]
Kaisar sebagai kepala cabang eksekutif memiliki hak untuk memberikan gelar dan kehormatan.[254] Gelar bangsawan dari bawah ke atas adalah barão, visconde, conde, marquês dan adipati (duque).[254] Selain posisi dalam hierarki, terdapat perbedaan antar gelar lainnya: conde, marquês dan adipati dianggap sebagai "Grandes do Império" (secara harfiah berarti "yang Agung dari Kekaisaran"), sementara barão dan visconde dapat diangkat dengan atau tanpa grandeza (keagungan).[254] Semua pemilik gelar kebangsawanan di Brasil harus dipanggil "yang mulia".[254]
Antara tahun 1822 hingga 1889, terdapat 986 orang yang dijadikan bangsawan.[259] Hanya tiga orang yang diangkat menjadi adipati: Auguste de Beauharnais (sebagai Adipati Santa Cruz, menantu Pedro I), Dona Isabel Maria de Alcântara Brasileira (sebagai Adipati Wanita Goiás, anak perempuan Pedro I yang lahir di luar nikah) dan Luís Alves de Lima e Silva (sebagai Adipati Caxias, panglima tertinggi selama Perang Paraguay).[260] Statistik untuk gelar-gelar lain adalah sebagai berikut: 47 marquês, 51 conde, 146 visconde "dengan keagungan", 89 visconde "tanpa keagungan", 135 barão "dengan keagungan" dan 740 barão "tanpa keagungan", sehingga secara keseluruhan terdapat 1.211 gelar bangsawan yang diberikan.[261] Terdapat lebih sedikit jumlah bangsawan daripada jumlah gelar yang diberikan karena banyak yang diangkat lebih dari satu kali pada masa hidup mereka, seperti Adipati Caxias yang pertama-tama diangkat sebagai barão, lalu conde, dan kemudian marquês sebelum akhirnya menjadi adipati.[256] Gelar kebangsawanan diberikan tidak hanya kepada laki-laki Brasil: Thomas Cochrane dari Skotlandia diangkat sebagai Marquês Maranhão berkat jasa-jasanya selama Perang Kemerdekaan Brasil,[262] sementara 29 perempuan menerima gelar kebangsawanan.[263] Selain tidak dibatasi oleh gender, gelar kebangsawanan diberikan tanpa memandang ras. Orang yang berlatar belakang caboclo,[264] mulatto,[265] kulit hitam[266] dan bahkan penduduk asli[266] telah diangkat sebagai bangsawan.
Kebangsawanan yang lebih rendah dan tidak diberi gelar terdiri dari anggota ordo kekaisaran. Terdapat enam kebangsawanan semacam ini: Ordo Kristus, Ordo Santo Benediktus dari Aviz, Ordo Santiago da Espada, Ordo Salib Selatan, Ordo Pedro I dan Ordo Mawar.[255] Tiga ordo pertama memiliki beberapa tingkatan kehormatan selain grão-mestre (yang merupakan kehormatan khusus untuk kaisar), yaitu ksatria (cavaleiro), komandan (Comendador) dan salib agung (grã-cruz). Tiga ordo lainnya memiliki tingkatan yang berbeda: di Ordo Salib Selatan terdapat empat tingkatan, di Ordo Mawar terdapat enam tingkatan, dan di Ordo Pedro I terdapat tiga tingkatan.[255]
Agama
Pasal lima konstitusi kekaisaran menyatakan Katolik sebagai agama negara.[267] Namun, para pemuka agama di Brasil kurang berpendidikan, kurang disiplin dan kekurangan tenaga,[268][269] yang mengakibatkan hilangnya rasa hormat terhadap Gereja Katolik.[268] Pada masa Pedro II, pemerintah kekaisaran mencoba melancarkan program reformasi untuk memperbaiki kekurangan ini.[268] Karena Katolik merupakan agama resmi, kaisar mengendalikan banyak sekali urusan Gereja[268] dan membayar gaji pemuka agama, mengangkat pastor paroki, mencalonkan uskup, meratifikasi bulla kepausan dan mengawasi seminari.[268][270] Dalam program reformasi, pemerintah memilih uskup yang memenuhi persyaratan moral, pendidikan dan dukungan terhadap reformasi.[268][269] Namun, dengan munculnya lebih banyak pemuka agama yang cakap, kendali pemerintah terhadap Gereja mulai tidak disukai.[268][269] Para pemuka agama Katolik memilih mendekatkan diri kepada Paus dan doktrin-doktrinnya. Akibatnya, muncul perselisihan antara pemuka agama dengan pemerintah pada tahun 1870-an, karena para pemuka agama menginginkan hubungan langsung dengan Roma sementara pemerintah ingin tetap mengawasi urusan gereja.[271]
Konstitusi memperbolehkan pengikut agama lain untuk mengamalkan ajaran agamanya, walaupun hanya dalam lingkup pribadi. Pembangunan tempat ibadah non-Katolik dilarang.[272] Batasan-batasan ini sejak awal diabaikan oleh pihak berwenang dan warga. Di Belém (ibukota provinsi Pará) sinagoga pertama dibangun pada tahun 1824.[272] Orang Yahudi bermigasi ke Brasil setelah Brasil memperoleh kemerdekaannya dan biasanya menetap di provinsi Bahia dan Pernambuco di timur laut dan di provinsi Amazonas dan Pará di utara.[272] Kelommpok Yahudi lain datang dari wilayah Alsace-Lorraine dan Rusia.[273] Pada tahun 1880-an, terdapat beberapa komunitas Yahudi dan sinagoga yang tersebar di Brasil.[274]
Protestan adalah kelompok lain yang mulai menetap di Brasil pada permulaan abad ke-19. Orang-orang Protestan pertama yang datang adalah orang Inggris, dan gereja Anglikan dibuka di Rio de Janeiro pada tahun 1820. Gereja-gereja Protestan lain kemudian dibangun di provinsi São Paulo, Pernambuco dan Bahia.[275] Setelah itu, orang-orang Lutheran dari Jerman dan Swiss datang dan menetap di wilayah selatan dan barat daya dan membangun tempat ibadah mereka.[275] Setelah meletusnya Perang Saudara Amerika pada tahun 1860-an, imigran dari Amerika Serikat bagian selatan menetap di São Paulo. Beberapa gereja Amerika mensponsori aktivitas-aktivitas misionaris di Brasil, seperti gereja Baptis, Lutheran, Kongregasionalis dan Methodis.[276]
Di antara budak-budak Afrika, Katolik merupakan agama mayoritas. Nenek moyang sebagian besar budak tesebut berasal dari pesisir Afrika barat. Selama empat abad agama ini disebarkan oleh para misionaris.[277] Namun, beberapa orang Afrika dan keturunannya tetap memegang teguh tradisi agama politeistik dengan menggabungkannya dengan kepercayaan Katolik. Akibatnya, muncul kepercayaan-kepercayaan sinkretik seperti Candomblé.[278] Islam juga dianut oleh sebagian kecil budak Afrika, walaupun ditekan dengan keras dan pada akhir abad ke-19 telah benar-benar hilang.[279] Pada permulaan abad ke-19, penduduk asli di Brasil timur telah terasimilasi ataupun punah. Beberapa suku menolak asimilasi; ada di antaranya melarikan diri ke barat, tempat mereka dapat mempertahankan kepercayaan politeistik mereka, dan yang lainnya dimasukkan ke dalam aldeamentos (reservasi), tempat mereka akhirnya menganut Katolik.[280]
Budaya
Seni rupa
Menurut sejarawan Ronald Raminelli, "seni rupa mengalami inovasi besar di kekaisaran bila dibandingkan dengan periode kolonial."[281] Setelah kemerdekaan pada tahun 1822, lukisan, skulptur dan arsitektur dipengaruhi oleh lambang nasional dan monarki, karena kepentingan keduanya telah melebihi tema-tema religius. Gaya Baroque lama yang sebelumnya dominan digantikan oleh gaya Neoklasik.[281] Muncul pula perkembangan baru seperti penggunaan besi dalam arsitektur dan kemunculan litografi dan fotografi yang merevitalisasi seni rupa.[281]
Pemerintah mendirikan Akademi Seni Rupa Nasional pada tahun 1820-an. Akademi ini mempengaruhi dan memajukan seni rupa di Brasil dengan mendidik generasi artis baru dan menyediakan panduan gaya.[282] Asal usul akademi ini dapat ditilik kembali ke pendirian Escola Real das Ciências, Artes e Ofícios (Sekolah Sains, Seni dan Kerajinan Kerajaan) pada tahun 1816 oleh Raja Portugal João VI. Anggotanya adalah émigré Perancis yang bekerja sebagai pelukis, pematung, musisi dan insinyur (salah satu anggota yang paling dikenal adalah Jean-Baptiste Debret).[283] Tujuan utama sekolah ini adalah untuk mendorong estetika Perancis dan gaya Neoklasik sebagai pengganti gaya Baroque.[284] Akibat kekurangan dana semenjak masa pendiriannya, sekolah ini kemudian diganti namanya menjadi Akademi Seni Rupa pada tahun 1820, dan pada tahun 1824 menjadi Akademi Seni Rupa Kekaisaran.[284]
Akademi ini baru berpengaruh besar setelah Pedro II mencapai umur dewasa pada tahun 1840. Akademi ini merupakan bagian dari rencana kaisar untuk menciptakan budaya nasional yang menyatukan bangsa Brasil.[285] Pedro II mendukung perkembangan budaya Brasil dengan mendanai beberapa institusi publik yang tidak terbatas pada Akademi Seni Rupa, seperti Institut Sejarah dan Geografi Brasil[286] dan Akademi Musik dan Opera Nasional Kekaisaran.[287] Pendanaan ini tidak hanya membantu para artis, tetapi juga profesi dari bidang lain seperti sejarawan (contohnya adalah Francisco Adolfo de Varnhagen)[288] dan musisi (contohnya adalah penggubah opera Antônio Carlos Gomes).[289]
Pada tahun 1840-an, Romantisisme telah menggantikan Neoklasikisme tidak hanya dalam lukisan, tetapi juga skulptur dan arsitektur. [282] Peran Akademi Seni Rupa tidak lagi terbatas pada pendidikan: anugerah, medali, beasiswa untuk pendidikan di negara lain dan pendanaan digunakan sebagai insentif untuk artis-artis berbakat.[290] Beberapa pegawai dan siswanya adalah artis-artis ternama Brasil seperti Simplício Rodrigues de Sá, Félix Taunay, Manuel de Araújo Porto-alegre, Pedro Américo, Victor Meirelles, Rodolfo Amoedo, Almeida Júnior, Rodolfo Bernardelli dan João Zeferino da Costa.[290][291] Pada tahun 1880-an, setelah lama dianggap sebagai gaya resmi akademi, Romantisisme mengalami kemunduran dan gaya-gaya lain mulai dijelajahi oleh generasi artis baru. Di antara gaya baru ini adalah seni lanskap yang ditekuni oleh artis seperti Georg Grimm, Giovanni Battista Castagneto, França Júnior dan Antônio Parreiras.[292] Gaya lain yang mulai populer untuk lukisan dan arsitektur adalah eklektisisme.[292]
Sastra dan teater
Pada tahun-tahun awal setelah kemerdekaannya, sastra Brasil masih dipengaruhi oleh sastra Portugis dan gaya Neoklasiknya.[293] Pada tahun 1837, Gonçalves de Magalhães menerbitkan karya bergaya Romantisisme pertama di Brasil, yang memulai era baru dalam sastra Brasil.[294] Pada tahun berikutnya, drama pertama yang dimainkan oleh orang Brasil dengan tema nasional telah dipentaskan dan menandai kelahiran teater Brasil. Sebelumnya tema-temanya biasanya didasarkan pada karya-karya di Eropa dan dipentaskan oleh aktor asing.[294] Romantisisme pada saat itu dianggap sebagai gaya literer yang paling sesuai dengan sastra Brasil dan dapat menunjukkan keunikannya bila dibandingkan dengan sastra asing.[295] Pada tahun 1830-an dan 1840-an, "muncul jaringan koran, jurnal dan penerbit beserta dengan pembukaan teater-teater di kota besar yang menghasilkan sesuatu yang dapat disebut sebagai budaya nasional".[296]
Romantisisme mencapai puncaknya pada akhir tahun 1850-an dan awal tahun 1870-an dan terbagi menjadi beberapa cabang, seperti Indianisme dan Sentimentalisme.[297] Sebagai gaya yang paling berpengaruh di Brasil pada abad ke-19, banyak penulis-penulis ternama Brasil yang bergaya Romantisisme: Manuel de Araújo Porto Alegre,[298] Gonçalves Dias, Gonçalves de Magalhães, José de Alencar, Bernardo Guimarães, Álvares de Azevedo, Casimiro de Abreu, Castro Alves, Joaquim Manuel de Macedo, Manuel Antônio de Almeida dan Alfredo d'Escragnolle Taunay.[299] Di teater, penulis drama bergaya Romantisisme yang paling ternama adalah Martins Pena[299] dan Joaquim Manuel de Macedo.[300] Romantisisme Brasil tidak terlalu berhasil di teater, dan sebagian besar drama yang dipentaskan adalah tragedi Neoklasik, karya Romantik dari Portugal atau terjemahan dari bahasa Italia, Perancis atau Spanyol.[300] Setelah dibukanya Konservatori Drama Brasil pada tahun 1845, pemerintah memberikan bantuan finansial kepada perusahaan teater nasional agar mereka mementaskan drama dalam bahasa Portugis.[300]
Pada tahun 1880-an, Romantisisme digantikan oleh gaya baru. Gaya pertama yang muncul adalah realisme yang digunakan oleh penulis-penulis penting seperti Joaquim Maria Machado de Assis dan Raul Pompeia.[297] Gaya-gaya baru yang ada bersamaan dengan Realisme adalah Naturalisme dan Parnassianisme, yang terkait dengan perkembangan Realisme.[297] Tokoh-tokoh Naturalis yang paling dikenal adalah Aluísio Azevedo dan Adolfo Caminha.[301] Tokoh-tokoh Parnassian yang ternama adalah Gonçalves Crespo, Alberto de Oliveira, Raimundo Correia dan Olavo Bilac.[299] Teater Brasil mulai dipengaruhi oleh Realisme pada tahun 1855, beberapa dasawarsa lebih awal sebelum gaya tersebut mempengaruhi sastra dan puisi.[302] Penulis drama bergaya Realis yang terkenal meliputi José de Alencar, Quintino Bocaiuva, Joaquim Manuel de Macedo, Júlia Lopes de Almeida dan Maria Angélica Ribeiro.[302] Drama Brasil yang dipentaskan oleh perusahaan nasional bersaing dengan drama asing dalam memperebutkan penonton.[303] Seni rupa di Kekaisaran Brasil juga meliputi pementasan duet musikal, tarian, gimnastik, komedi dan lelucon.[303] Pementasan yang tidak terlalu bergengsi tetapi populer di antara kalangan pekerja adalah panggung boneka, sulap dan sirkus.[304]
Catatan
- ^ Pada abad ke-19, Brasil terbagi menjadi dua wilayah geografis: utara (sekarang region timur laut dan utara) dan selatan (sekarang region tengah-barat, tenggara dan selatan. Lihat Vainfas 2002, hlm. 39.
- ^ Satu-satunya pengecualian adalah sengketa perbatasan di utara dan barat yang merupakan sengketa diplomatik kecil dengan Perancis dan Britania. Pada tahun 1830-an, kedua negara tersebut menduduki beberapa wilayah di utara dan mengklaimnya, tetapi tidak berhasil. Lihat Viana 1994, hlm. 575.
Catatan kaki
- ^ Viana 1994, hlm. 42–44.
- ^ Viana 1994, hlm. 59, 65, 66, 78, 175, 181, 197, 213, 300.
- ^ Barman 1988, hlm. 43–44.
- ^ Barman 1988, hlm. 72.
- ^ Viana 1994, hlm. 396.
- ^ Barman 1988, hlm. 75, 81–82.
- ^ Viana 1994, hlm. 399, 403.
- ^ Viana 1994, hlm. 408–408.
- ^ Barman 1988, hlm. 96.
- ^ Viana 1994, hlm. 417–418.
- ^ Barman 1988, hlm. 101–102.
- ^ Viana 1994, hlm. 420–422.
- ^ Barman 1988, hlm. 104–106.
- ^ Barman 1988, hlm. 128.
- ^ a b Barman 1988, hlm. 131.
- ^ Barman 1988, hlm. 142.
- ^ Barman 1988, hlm. 151.
- ^ Barman 1988, hlm. 148–149.
- ^ Barman 1999, hlm. 18–19.
- ^ Barman 1999, hlm. 19.
- ^ Barman 1988, hlm. 159.
- ^ Barman 1988, hlm. 160.
- ^ Barman 1988, hlm. 161–163.
- ^ Barman 1999, hlm. 61.
- ^ Barman 1988, hlm. 179–180.
- ^ a b Barman 1999, hlm. 317.
- ^ Barman 1999, hlm. 64.
- ^ Barman 1999, hlm. 58.
- ^ Barman 1999, hlm. 68–73.
- ^ Barman 1999, hlm. 49.
- ^ a b Barman 1999, hlm. 109.
- ^ Barman 1999, hlm. 114.
- ^ a b Barman 1999, hlm. 123.
- ^ Barman 1999, hlm. 122.
- ^ Barman 1999, hlm. 122–123.
- ^ Barman 1999, hlm. 124.
- ^ a b c Barman 1999, hlm. 125.
- ^ Barman 1999, hlm. 126.
- ^ Carvalho 2007, hlm. 102–103.
- ^ Levine 1999, hlm. 63–64.
- ^ Lihat:
- Bethell 1993, hlm. 76;
- Graham 1994, hlm. 71;
- Skidmore 1999, hlm. 48.
- ^ a b Barman 1999, hlm. 159.
- ^ a b Vainfas 2002, hlm. 343.
- ^ Lira 1977, Vol 1, hlm. 182.
- ^ Barman 1999, hlm. 162.
- ^ Lihat:
- Barman 1999, hlm. 166;
- Lira 1977, Vol 1, hlm. 188;
- Nabuco 1975, hlm. 167–169.
- ^ Barman 1999, hlm. 166.
- ^ Nabuco 1975, hlm. 162.
- ^ Nabuco 1975, hlm. 313.
- ^ Nabuco 1975, hlm. 346, 370, 373, 376.
- ^ Nabuco 1975, hlm. 346.
- ^ Nabuco 1975, hlm. 364–365.
- ^ Nabuco 1975, hlm. 378.
- ^ Nabuco 1975, hlm. 374–376.
- ^ Barman 1999, hlm. 192.
- ^ Lihat:
- Calmon 1975, hlm. 678;
- Carvalho 2007, hlm. 103–145;
- Lira 1977, Vol 1, hlm. 207.
- ^ Lihat:
- Calmon 1975, hlm. 678–681;
- Carvalho 2007, hlm. 104
- Lira 1977, Vol 1, hlm. 208.
- ^ Calmon 1975, hlm. 680.
- ^ Doratioto 2002, hlm. 98, 203.
- ^ Calmon 1975, hlm. 684.
- ^ Lihat:
- Calmon 1975, hlm. 691;
- Carvalho 2007, hlm. 105;
- Lira 1977, Vol 1, hlm. 211.
- ^ Lihat:
- Barman 1999, hlm. 197;
- Carvalho 2007, hlm. 108;
- Lira 1977, Vol 1, hlm. 219.
- ^ Lira 1977, Vol 1, hlm. 220.
- ^ Lihat:
- Barman 1999, hlm. 198;
- Carvalho 2007, hlm. 109;
- Lira 1977, Vol 1, hlm. 224–225.
- ^ Carvalho 2007, hlm. 109.
- ^ Lira 1977, Vol 1, hlm. 227.
- ^ Calmon 1975, hlm. 748.
- ^ Lira 1977, Vol 1, hlm. 237.
- ^ a b Barman 1999, hlm. 222.
- ^ Nabuco 1975, hlm. 592.
- ^ a b Barman 1999, hlm. 223.
- ^ Nabuco 1975, hlm. 666.
- ^ Barman 1999, hlm. 229–230.
- ^ Doratioto 2002, hlm. 461.
- ^ Doratioto 2002, hlm. 462.
- ^ Calmon 2002, hlm. 201.
- ^ Munro 1942, hlm. 276.
- ^ Barman 1999, hlm. 243.
- ^ a b c Lira 1977, Vol 2, hlm. 9.
- ^ Barman 1999, hlm. 240.
- ^ Barman 1999, hlm. 235.
- ^ a b Barman 1999, hlm. 238.
- ^ a b Barman 1999, hlm. 261.
- ^ Barman 1999, hlm. 234, 317.
- ^ Barman 1999, hlm. 318.
- ^ Lihat:
- Hahner 1978, hlm. 254–271;
- & Barman 1999, hlm. 319;
- Topik 2000, hlm. 51.
- ^ Barman 1999, hlm. 298–299.
- ^ Barman 1999, hlm. 299.
- ^ Lira 1977, Vol 3, hlm. 126.
- ^ Barman 1999, hlm. 399.
- ^ Barman 1999, hlm. 262–263.
- ^ Barman 1999, hlm. 130.
- ^ a b Barman 1999, hlm. 262.
- ^ Barman 1999, hlm. 268.
- ^ Barman 1999, hlm. 349.
- ^ Lira 1977, Vol 3, hlm. 121.
- ^ Lihat:
- Ermakoff 2006, hlm. 189;
- Carvalho 2007, hlm. 206;
- Munro 1942, hlm. 279.
- ^ a b Carvalho 2007, hlm. 195.
- ^ a b c Barman 1999, hlm. 353.
- ^ Barman 1999, hlm. 353–355.
- ^ a b c d e Topik 2000, hlm. 56.
- ^ Barman 1999, hlm. 341.
- ^ Barman 1999, hlm. 346.
- ^ Lira 1977, Vol 3, hlm. 78.
- ^ Lihat:
- Barman 1999, hlm. 348–349;
- Carvalho 2007, hlm. 190;
- Schwarcz 1998, hlm. 438.
- ^ Barman 1999, hlm. 351.
- ^ Barman 1999, hlm. 355.
- ^ Barman 1999, hlm. 356.
- ^ Barman 1999, hlm. 353–356.
- ^ Ermakoff 2006, hlm. 189.
- ^ Schwarcz 1998, hlm. 450.
- ^ Lihat:
- Barman 1999, hlm. 360;
- Calmon 1975, hlm. 1611;
- Carvalho 2007, hlm. 218;
- Lira 1977, Vol 3, hlm. 104.
- ^ Schwarcz 1998, hlm. 459.
- ^ Lira 1977, Vol 3, hlm. 96.
- ^ Besouchet 1993, hlm. 538.
- ^ Barman 1999, hlm. 361.
- ^ Lihat:
- Calmon 1975, hlm. 1603–1604;
- Carvalho 2007, hlm. 217;
- Lira 1977, Vol 3, hlm. 99.
- ^ Carvalho 2007, hlm. 220.
- ^ Salles 1996, hlm. 194.
- ^ Barman 1999, hlm. 394.
- ^ Lira 1977, Vol 3, hlm. 119–120.
- ^ a b Barman 1988, hlm. 132.
- ^ Barman 1988, hlm. 132–133.
- ^ a b c d Barman 1988, hlm. 133.
- ^ Viana 1994, hlm. 476.
- ^ Carvalho 1993, hlm. 42.
- ^ Nabuco 1975, hlm. 712.
- ^ a b Dolhnikoff 2005, hlm. 59.
- ^ a b c Dolhnikoff 2005, hlm. 60.
- ^ Dolhnikoff 2005, hlm. 64, 97.
- ^ a b Dolhnikoff 2005, hlm. 97.
- ^ Dolhnikoff 2005, hlm. 99.
- ^ Dolhnikoff 2005, hlm. 100.
- ^ a b Dolhnikoff 2005, hlm. 102.
- ^ Dolhnikoff 2005, hlm. 103.
- ^ Dolhnikoff 2005, hlm. 110–112.
- ^ Dolhnikoff 2005, hlm. 118.
- ^ Dolhnikoff 2005, hlm. 83.
- ^ Dolhnikoff 2005, hlm. 118–119.
- ^ Rodrigues 1863, hlm. 134–135.
- ^ Carvalho 2008, hlm. 29.
- ^ a b c Vainfas 2002, hlm. 223.
- ^ a b Barman 1988, hlm. 124.
- ^ a b c Carvalho 2008, hlm. 30.
- ^ a b c Vainfas 2002, hlm. 139.
- ^ a b Carvalho 2008, hlm. 31.
- ^ a b Carvalho 1993, hlm. 46.
- ^ a b c d e Vainfas 2002, hlm. 224.
- ^ Lihat:
- Carvalho 1993, hlm. 46;
- Carvalho 2008, hlm. 30;
- Vainfas 2002, hlm. 224.
- ^ a b Carvalho 2007, hlm. 180.
- ^ Carvalho 1993, hlm. 48.
- ^ Carvalho 2008, hlm. 39.
- ^ Carvalho 2008, hlm. 33.
- ^ Carvalho 1993, hlm. 51.
- ^ Carvalho 2002, hlm. 84–85.
- ^ Carvalho 2002, hlm. 91.
- ^ Rodrigues 1863, hlm. 79, 117.
- ^ a b Carvalho 2007, hlm. 193.
- ^ Lira 1977, Vol 3, hlm. 84.
- ^ Pedrosa 2004, hlm. 289.
- ^ Holanda 1974, hlm. 241–242.
- ^ Vainfas 2002, hlm. 548.
- ^ Calmon 2002, hlm. 265.
- ^ Parkinson 2008, hlm. 128.
- ^ Lira 1977, Vol 3, hlm. 70.
- ^ Lira 1977, Vol 3, hlm. 69.
- ^ Barman 1999, hlm. 321.
- ^ Carvalho 2007, hlm. 196.
- ^ Topik 2000, hlm. 64, 66, 235.
- ^ Rodrigues 1975, hlm. 168.
- ^ Rodrigues 1975, hlm. 174, 177, 180, 181, 182.
- ^ Rodrigues 1975, hlm. 148.
- ^ Vainfas 2002, hlm. 301.
- ^ Viana 1994, hlm. 525.
- ^ Vainfas 2002, hlm. 302.
- ^ Viana 1994, hlm. 578.
- ^ Viana 1994, hlm. 575.
- ^ Vainfas 2002, hlm. 329.
- ^ Vainfas 2002, hlm. 323–324.
- ^ Smith 2010, hlm. 7.
- ^ Smith 2010, hlm. 18.
- ^ Barman 1999, hlm. 306.
- ^ Rodrigues 1995, hlm. 208.
- ^ Topik 2000, hlm. 60.
- ^ Barman 1999, hlm. XVI.
- ^ Graça Filho 2004, hlm. 21.
- ^ Sodré 2004, hlm. 201.
- ^ Fausto & Devoto 2005, hlm. 47.
- ^ Fausto & Devoto 2005, hlm. 50.
- ^ Lira 1977, Vol 1, hlm. 200.
- ^ Barman 1988, hlm. 218, 236, 237.
- ^ Topik 2000, hlm. 19.
- ^ a b Fausto & Devoto 2005, hlm. 46.
- ^ Topik 2000, hlm. 33.
- ^ a b Vainfas 2002, hlm. 250.
- ^ Vainfas 2002, hlm. 251.
- ^ Fausto 1995, hlm. 239.
- ^ Calmon 2002, hlm. 368.
- ^ Vainfas 2002, hlm. 538.
- ^ a b c d Lira 1977, Vol 2, hlm. 13.
- ^ Vasquez 2007, hlm. 38.
- ^ Viana 1994, hlm. 496.
- ^ Calmon 2002, hlm. 222.
- ^ Calmon 2002, hlm. 225.
- ^ Calmon 2002, hlm. 226.
- ^ Lira 1977, Vol 2, hlm. 309.
- ^ Vainfas 2002, hlm. 539.
- ^ Calmon 2002, hlm. 366.
- ^ a b c Vainfas 2002, hlm. 131.
- ^ a b c d Vainfas 2002, hlm. 132.
- ^ a b c d e f g Vainfas 2002, hlm. 133.
- ^ a b Baer 2002, hlm. 341.
- ^ a b c d e Ramos 2003, hlm. 82.
- ^ Coelho 1996, hlm. 268.
- ^ Vesentini 1988, hlm. 117.
- ^ Lihat:
- Adas 2004, hlm. 268;
- Azevedo 1971, hlm. 2–3;
- Barsa 1987, Vol 4, hlm. 230;
- Coelho 1996, hlm. 268;
- Moreira 1981, hlm. 108;
- Ramos 2003, hlm. 65;
- Vesentini 1988, hlm. 117.
- ^ Lihat:
- Ramos 2003, hlm. 84;
- Vainfas 2002, hlm. 133;
- Barsa 1987, Vol 4, hlm. 254–255, 258, 265.
- ^ a b Moreira 1981, hlm. 108.
- ^ Azevedo 1971, hlm. 74–75.
- ^ Barsa 1987, Vol 10, hlm. 355.
- ^ Azevedo 1971, hlm. 74.
- ^ a b Azevedo 1971, hlm. 161.
- ^ Ramos 2003, hlm. 84.
- ^ a b Viana 1994, hlm. 511.
- ^ Ramos 2003, hlm. 37.
- ^ Viana 1994, hlm. 512.
- ^ Viana 1994, hlm. 513.
- ^ Viana 1994, hlm. 513–514.
- ^ Viana 1994, hlm. 515.
- ^ Viana 1994, hlm. 517.
- ^ a b c Vainfas 2002, hlm. 351.
- ^ a b c Viana 1994, hlm. 633.
- ^ Vainfas 2002, hlm. 353.
- ^ Vainfas 2002, hlm. 351–352.
- ^ Vainfas 2002, hlm. 18, 239.
- ^ Vainfas 2002, hlm. 237–238.
- ^ Vainfas 2002, hlm. 29.
- ^ Boxer 2002, hlm. 113–114, 116.
- ^ Vainfas 2002, hlm. 30.
- ^ Boxer 2002, hlm. 185–186.
- ^ Boxer 2002, hlm. 117.
- ^ Boxer 2002, hlm. 206.
- ^ Boxer 2002, hlm. 169.
- ^ Vainfas 2002, hlm. 238–239.
- ^ a b c Vainfas 2002, hlm. 239.
- ^ Besouchet 1985, hlm. 167.
- ^ Fausto 1995, hlm. 238–239.
- ^ Olivieri 1999, hlm. 43.
- ^ Barman 1988, hlm. 194.
- ^ Carvalho 2007, hlm. 130.
- ^ Alencastro 1997, hlm. 87–88.
- ^ Besouchet 1985, hlm. 170.
- ^ a b Vainfas 2002, hlm. 553.
- ^ a b c d e f Vainfas 2002, hlm. 554.
- ^ a b c Barman 1999, hlm. 11.
- ^ a b Viana 1968, hlm. 208.
- ^ Barman 1999, hlm. 139.
- ^ Viana 1968, hlm. 220.
- ^ Viana 1968, hlm. 216.
- ^ Viana 1968, hlm. 204, 206.
- ^ Viana 1968, hlm. 218.
- ^ Viana 1968, hlm. 219.
- ^ Viana 1968, hlm. 221.
- ^ Barman 1999, hlm. 77.
- ^ Viana 1968, hlm. 217.
- ^ a b Schwarcz 1998, hlm. 191.
- ^ Vainfas 2002, hlm. 126.
- ^ a b c d e f g Barman 1999, hlm. 254.
- ^ a b c Carvalho 2007, hlm. 151.
- ^ Carvalho 2007, hlm. 150.
- ^ Barman 1999, hlm. 254–256.
- ^ a b c Vainfas 2002, hlm. 450.
- ^ Vainfas 2002, hlm. 450–451.
- ^ Vainfas 2002, hlm. 451.
- ^ a b Vainfas 2002, hlm. 596.
- ^ Vainfas 2002, hlm. 596–597.
- ^ Vainfas 2002, hlm. 31.
- ^ Vainfas 2002, hlm. 114–115.
- ^ Vainfas 2002, hlm. 30–31.
- ^ Vainfas 2002, hlm. 170.
- ^ a b c Vainfas 2002, hlm. 83.
- ^ a b Vainfas 2002, hlm. 84.
- ^ Vainfas 2002, hlm. 21–22.
- ^ a b Vainfas 2002, hlm. 22.
- ^ Schwarcz 1998, hlm. 126–127.
- ^ Schwarcz 1998, hlm. 126.
- ^ Schwarcz 1998, hlm. 152.
- ^ Vainfas 2002, hlm. 285.
- ^ Vainfas 2002, hlm. 123.
- ^ a b Schwarcz 1998, hlm. 145.
- ^ Vainfas 2002, hlm. 84–85.
- ^ a b Vainfas 2002, hlm. 85.
- ^ Vainfas 2002, hlm. 482.
- ^ a b Vainfas 2002, hlm. 661.
- ^ Vainfas 2002, hlm. 482–483.
- ^ Barman 1988, hlm. 237.
- ^ a b c Vainfas 2002, hlm. 483.
- ^ Vainfas 2002, hlm. 513.
- ^ a b c Vainfas 2002, hlm. 484.
- ^ a b c Vainfas 2002, hlm. 691.
- ^ Vainfas 2002, hlm. 483–484.
- ^ a b Vainfas 2002, hlm. 692.
- ^ a b Vainfas 2002, hlm. 693.
- ^ Vainfas 2002, hlm. 694.
Daftar pustaka
- Adas, Melhem (2004). Panorama geográfico do Brasil (dalam bahasa Portuguese) (edisi ke-4th). São Paulo: Moderna. ISBN 978-85-16-04336-0.
- Alencastro, Luiz Felipe de (1997). História da vida privada no Brasil: Império (dalam bahasa Portuguese). São Paulo: Companhia das Letras. ISBN 978-85-7164-681-0.
- Azevedo, Aroldo (1971). O Brasil e suas regiões (dalam bahasa Portuguese). São Paulo: Companhia Editora Nacional.
- Baer, Werner (2002). A Economia Brasileira (dalam bahasa Portuguese) (edisi ke-2nd). São Paulo: Nobel. ISBN 978-85-213-1197-3.
- Barman, Roderick J. (1988). Brazil: The Forging of a Nation, 1798–1852. Stanford: Stanford University Press. ISBN 978-0-8047-1437-2.
- Barman, Roderick J. (1999). Citizen Emperor: Pedro II and the Making of Brazil, 1825–1891. Stanford: Stanford University Press. ISBN 978-0-8047-3510-0.
- Barsa (1987). Enciclopédia Barsa (dalam bahasa Portuguese). 4. Rio de Janeiro: Encyclopædia Britannica do Brasil.
- Barsa (1987). Enciclopédia Barsa (dalam bahasa Portuguese). 10. Rio de Janeiro: Encyclopædia Britannica do Brasil.
- Besouchet, Lídia (1985) [1945]. José Maria Paranhos: Visconde do Rio Branco: ensaio histórico-biográfico (dalam bahasa Portuguese). Rio de Janeiro: Nova Fronteira. OCLC 14271198.
- Besouchet, Lídia (1993). Pedro II e o Século XIX (dalam bahasa Portuguese) (edisi ke-2nd). Rio de Janeiro: Nova Fronteira. ISBN 978-85-209-0494-7.
- Bethell, Leslie (1993). Brazil: Empire and Republic, 1822–1930. Cambridge, United Kingdom: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-36293-1.
- Boxer, Charles R. (2002). O império marítimo português 1415–1825 (dalam bahasa Portuguese). São Paulo: Companhia das Letras. ISBN 978-85-359-0292-1.
- Calmon, Pedro (1975). História de D. Pedro II (dalam bahasa Portuguese). 1–5. Rio de Janeiro: José Olímpio.
- Calmon, Pedro (2002). História da Civilização Brasileira (dalam bahasa Portuguese). Brasília: Senado Federal. OCLC 685131818.
- Carvalho, José Murilo de (1993). A Monarquia brasileira (dalam bahasa Portuguese). Rio de Janeiro: Ao Livro Técnico. ISBN 978-85-215-0660-7.
- Carvalho, José Murilo de (2002). Os Bestializados: o Rio de Janeiro e a República que não foi (dalam bahasa Portuguese) (edisi ke-3). São Paulo: Companhia das Letras. ISBN 978-85-85095-13-0.
- Carvalho, José Murilo de (2007). D. Pedro II: ser ou não ser (dalam bahasa Portuguese). São Paulo: Companhia das Letras. ISBN 978-85-359-0969-2.
- Carvalho, José Murilo de (2008). Cidadania no Brasil: o longo caminho (dalam bahasa Portuguese) (edisi ke-10). Rio de Janeiro: Civilização Brasileira. ISBN 978-85-200-0565-1.
- Coelho, Marcos Amorim (1996). Geografia do Brasil (dalam bahasa Portuguese) (edisi ke-4). São Paulo: Moderna.
- Dolhnikoff, Miriam (2005). Pacto imperial: origens do federalismo no Brasil do século XIX (dalam bahasa Portuguese). São Paulo: Globo. ISBN 978-85-250-4039-8.
- Doratioto, Francisco (2002). Maldita Guerra: Nova história da Guerra do Paraguai (dalam bahasa Portuguese). São Paulo: Companhia das Letras. ISBN 978-85-359-0224-2.
- Ermakoff, George (2006). Rio de Janeiro – 1840–1900 – Uma crônica fotográfica (dalam bahasa Portuguese). Rio de Janeiro: G. Ermakoff Casa Editorial. ISBN 978-85-98815-05-3.
- Fausto, Boris (1995). História do Brasil (dalam bahasa Portuguese). São Paulo: Fundação de Desenvolvimento da Educação. ISBN 978-85-314-0240-1.
- Fausto, Boris; Devoto, Fernando J. (2005). Brasil e Argentina: Um ensaio de história comparada (1850–2002) (dalam bahasa Portuguese) (edisi ke-2nd). São Paulo: Editoria 34. ISBN 978-85-7326-308-4.
- Graça Filho, Afonso de Alencastro (2004). A economia do Império brasileiro (dalam bahasa Portuguese). São Paulo: Atual. ISBN 978-85-357-0443-3.
- Graham, Richard (1994). Patronage and Politics in Nineteenth-Century Brazil. Stanford: Stanford University Press. ISBN 978-0-8047-2336-7.
- Hahner, June E. (1978). "The nineteenth-century feminist press and women's rights in Brazil". Dalam Lavrin, Asunción. Latin American Women: Historical Perspectives. Westport, Connecticut: Greenwood. ISBN 0-313-20309-1.
- Holanda, Sérgio Buarque de (1974). História Geral da Civilização Brasileira: Declínio e Queda do Império (dalam bahasa Portuguese) (edisi ke-2nd). São Paulo: Difusão Européia do Livro.
- Levine, Robert M. (1999). The History of Brazil. Westport, Connecticut: Greenwood Press. ISBN 978-0-313-30390-6.
- Lira, Heitor (1977). História de Dom Pedro II (1825–1891): Ascenção (1825–1870) (dalam bahasa Portuguese). 1. Belo Horizonte: Itatiaia.
- Lira, Heitor (1977). História de Dom Pedro II (1825–1891): Fastígio (1870–1880) (dalam bahasa Portuguese). 2. Belo Horizonte: Itatiaia.
- Lira, Heitor (1977). História de Dom Pedro II (1825–1891): Declínio (1880–1891) (dalam bahasa Portuguese). 3. Belo Horizonte: Itatiaia.
- Moreira, Igor A. G. (1981). O Espaço Geográfico, geografia geral e do Brasil (dalam bahasa Portuguese) (edisi ke-18th). São Paulo: Ática.
- Munro, Dana Gardner (1942). The Latin American Republics: A History. New York: D. Appleton.
- Nabuco, Joaquim (1975). Um Estadista do Império (dalam bahasa Portuguese) (edisi ke-4th). Rio de Janeiro: Nova Aguilar.
- Olivieri, Antonio Carlos (1999). Dom Pedro II, Imperador do Brasil (dalam bahasa Portuguese). São Paulo: Callis. ISBN 978-85-86797-19-4.
- Parkinson, Roger (2008). The Late Victorian Navy: The Pre-Dreadnought Era and the Origins of the First World War. Woodbridge, Suffolk: The Boydell Press. ISBN 978-1-84383-372-7.
- Pedrosa, J. F. Maya (2004). A Catástrofe dos Erros: razões e emoções na guerra contra o Paraguai (dalam bahasa Portuguese). Rio de Janeiro: Biblioteca do Exército. ISBN 978-85-7011-352-8.
- Ramos, Arthur (2003). A mestiçagem no Brasil (dalam bahasa Portuguese). Maceió: EDUFAL. ISBN 978-85-7177-181-9.
- Rodrigues, José Carlos (1863). Constituição política do Império do Brasil (dalam bahasa Portuguese). Rio de Janeiro: Typographia Universal de Laemmert.
- Rodrigues, José Honório (1975). Independência: Revolução e Contra-Revolução – A política internacional (dalam bahasa Portuguese). 5. Rio de Janeiro: F. Alves.
- Rodrigues, José Honório (1995). Uma história diplomática do Brasil, 1531–1945 (dalam bahasa Portuguese). Rio de Janeiro: Civilização Brasileira. ISBN 978-85-200-0391-6.
- Salles, Ricardo (1996). Nostalgia Imperial (dalam bahasa Portuguese). Rio de Janeiro: Topbooks. OCLC 36598004.
- Schwarcz, Lilia Moritz (1998). As barbas do Imperador: D. Pedro II, um monarca nos trópicos (dalam bahasa Portuguese) (edisi ke-2nd). São Paulo: Companhia das Letras. ISBN 978-85-7164-837-1.
- Skidmore, Thomas E. (1999). Brazil: five centuries of change. New York: Oxford University Press. ISBN 0-19-505809-7.
- Smith, Joseph (2010). Brazil and the United States: Convergence and Divergence. Athens, Georgia: University of Georgia Press. ISBN 978-0-8203-3733-3.
- Sodré, Nelson Werneck (2004). Panorama do Segundo Império (dalam bahasa Portuguese) (edisi ke-2nd). Rio de Janeiro: Graphia. ISBN 978-85-85277-21-5.
- Topik, Steven C. (2000). Trade and Gunboats: The United States and Brazil in the Age of Empire. Stanford: Stanford University Press. ISBN 978-0-8047-4018-0.
- Vainfas, Ronaldo (2002). Dicionário do Brasil Imperial (dalam bahasa Portuguese). Rio de Janeiro: Objetiva. ISBN 978-85-7302-441-8.
- Vasquez, Pedro Karp (2007). Nos trilhos do progresso: A ferrovia no Brasil imperial vista pela fotografia (dalam bahasa Portuguese). São Paulo: Metalivros. ISBN 978-85-85371-70-8.
- Vesentini, José William (1988). Brasil, sociedade e espaço – Geografia do Brasil (dalam bahasa Portuguese) (edisi ke-7th). São Paulo: Ática. ISBN 978-85-08-02340-0.
- Viana, Hélio (1968). Vultos do Império (dalam bahasa Portuguese). São Paulo: Companhia Editora Nacional.
- Viana, Hélio (1994). História do Brasil: período colonial, monarquia e república (dalam bahasa Portuguese) (edisi ke-15th). São Paulo: Melhoramentos. ISBN 978-85-06-01999-3.