Daftar khalifah
Berikut ini adalah daftar khalifah. Seluruh tahun sesuai dengan tahun Masehi.
DALIL-DALIL
Dalil al-Qur'an
Di dalam al-Quran memang tidak terdapat istilah Daulah yang berfaedah negara. Tetapi di dalam al-Quran terdapat ayat yang menunjukkan wajibnya umat yang beriman memiliki kepengurusan ulil amri perkara agama dan wajibnya memainkan hukum dengan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Allah SWT berfirman:
- Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian yang beriman. (Qs. An-Nisaa` [4]: 59).
Ayat di atas telah memerintahkan kita untuk menaati Ulil Amri, yaitu Al Hakim (Penguasa). Perintah ini, secara dalalatul iqtidha, berfaedah perintah pula untuk mengadakan atau mengangkat Ulil Amri itu, jikalau Ulil Amri itu tidak telah tersedia, sebab tidak mungkin Allah memerintahkan kita untuk menaati pihak yang eksistensinya tidak telah tersedia. Allah juga tidak mungkin mewajibkan kita untuk menaati seseorang yang keberadaannya berhukum mandub.
Maka menjadi jelas bahwa mewujudkan ulil amri adalah suatu cara yang wajib. Tatkala Allah memberi perintah untuk mentaati ulil amri, berfaedah Allah memerintahkan pula untuk mewujudkannya. Sebab telah tersedianya ulil amri menyebabkan terlaksananya kewajipan menegakkan hukum syara’, sedangkan mengabaikan terwujudnya ulil amri menyebabkan terabaikannya hukum syara’. Mewujudkan ulil amri itu adalah wajib, karena sekiranya tidak diwujudkan akan menyebabkan terlanggarnya cara yang haram, yaitu mengabaikan hukum syara’ (tadhyii’ al hukm asy syar’iy).
Di samping itu, Allah SWT telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk mengatur urusan kaum muslimin berlandaskan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Firman Allah SWT:
- Maka putuskanlah cara di sela di sela mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (dengan) meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (Qs. Al-Maa’idah [5]: 48).
- Dan putuskanlah cara di sela di sela mereka dengan apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari apa yang telah diturunkan Allah kepadamu (Qs. Al-Maa’idah [5]: 49).
Dalam kaidah usul fiqh dinyatakan bahwa, perintah (khitab) Allah kepada Rasulullah juga merupakan perintah kepada umat Islam selama tidak telah tersedia dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya untuk Rasulullah (Khitabur rasuli khithabun li ummatihi malam yarid dalil yukhashishuhu bihi). Dalam hal ini tidak telah tersedia dalil yang mengkhususkan perintah tersebut hanya kepada Rasulullah SAW.
Oleh karenanya, ayat-ayat tersebut bersifat umum, yaitu berjalan pula untuk umat Islam. Dan menegakkan hukum-hukum yang diturunkan Allah, tidak mempunyai ciri utama lain kecuali menegakkan hukum dan pemerintahan (as-Sulthan), sebab dengan pemerintahan itulah hukum-hukum yang diturunkan Allah dapat diterapkan secara sempurna. Dengan demikian, ayat-ayat ini menunjukkan wajibnya keberadaan sebuah Jamaah untuk menjalankan semua hukum Islam, iaitu kepemimpinan Khilafah Al Jamaah.
- Padahal Allah memerintahkan kita untuk mati dalam keadaan Islam.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benarnya takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". (QS. Ali Imran : 102).
أَفَحُكْمَ ٱلْجَٰهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Artinya: "Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?". (QS. Al Maidah ayat 50).
Dalil as-Sunnah tentang Khalifah =
- Abdullah bin Umar meriwayatkan, "Aku mendengar Rasulullah mengatakan, ‘Barangsiapa melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya dia akan menemui Allah di Hari Kiamat dengan tanpa argumen. Dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tak telah tersedia bai’at (kepada Khalifah) maka dia mati dalam kondisi mati jahiliyah." [HR. Muslim].
- Nabi SAW mewajibkan telah tersedianya bai’at pada leher setiap muslim dan menyifati orang yang mati dalam kondisi tidak berbai’at seperti matinya orang-orang jahiliyyah. Padahal bai’at hanya dapat diberikan kepada Khalifah, bukan kepada yang lain. Dari hadist ini menunjukkan kewajiban mengangkat seorang Khalifah, yang dengannya dapat terwujud bai’at di leher setiap muslim. Sebab bai’at baru telah tersedia di leher kaum muslimin sekiranya telah tersedia Khalifah/Imam yang memimpin Khilafah.
- Rasulullah SAW bersabda: "Bahwasanya Imam itu bagaikan perisai, dari belakangannya umat bertempur dan dengannya umat berlindung." [HR. Muslim]
- Rasulullah SAW bersabda: "Dahulu para nabi yang mengurus Bani Israil. Bila wafat seorang nabi diutuslah nabi berikutnya, tetapi tidak telah tersedia lagi nabi setelahku. Akan telah tersedia para Khalifah dan banyaknya akan banyak. Para Sahabat bertanya,’Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi menjawab,’Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja. Penuhilah hak-hak mereka. Allah akan berkeinginan pertanggungjawaban terhadap apa yang menjadi kewajiban mereka." [HR. Muslim].
- Rasulullah SAW bersabda: "Bila seseorang melihat sesuatu yang tidak disukai dari amirnya (pemimpinnya), maka bersabarlah. Sebab barangsiapa memisahkan diri dari penguasa (pemerintahan Islam) walau sejengkal saja lalu beliau mati, maka matinya adalah mati jahiliyah." [HR. Muslim].
Hadis pertama dan kedua merupakan pemberitahuan (ikhbar) dari Rasulullah SAW bahawa seorang Khalifah adalah laksana perisai, dan bahawa akan telah tersedia penguasa-penguasa yang memerintah kaum muslimin. Pernyataan Rasulullah SAW bahawa seorang Imam itu laksana perisai menunjukkan pemberitahuan tentang telah tersedianya faedah-faedah keberadaan seorang Imam, dan ini merupakan suatu tuntutan (thalab). Sebab, setiap pemberitahuan yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya, apabila mengandung celaan (adz dzamm) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk meninggalkan (thalab at tarki), atau merupakan larangan (an nahy); dan apabila mengandung pujian (al mad-hu) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk memainkan afal (thalab al fi’li). Dan sekiranya pelaksanaan afal yang dituntut itu menyebabkan tegaknya hukum syara’ atau jika dibiarkan lepas mengakibatkan terabaikannya hukum syara’, maka tuntutan untuk melaksanakan afal itu bererti bersifat pasti (fardlu). Aci hadis pertama dan kedua ini menunjukkan wajibnya Khilafah, sebab tanpa Khilafah banyak hukum syara’ akan terabaikan.
Hadis ketiga menjelaskan keharaman kaum muslimin keluar (memberontak, membangkang) dari penguasa (as sulthan). Berfaedah keberadaan Khilafah adalah wajib, sebab sekiranya tidak wajib tidak mungkin Nabi SAW sampai begitu tegas menyatakan bahwa orang yang memisahkan diri dari Khilafah akan mati jahiliyah. Jelas ini menegaskan bahawa mendirikan pemerintahan untuk kaum muslimin statusnya adalah wajib.
- Rasulullah SAW bersabda pula : "Barangsiapa membai’at seorang Imam (Khalifah), lalu memberikan genggaman tangannya dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah beliau mentaatinya semaksimal mungkin. Dan jika datang orang lain berhasrat mencabut kekuasaannya, penggallah leher orang itu." [HR. Muslim].
Keimaman melanjutkan tugas seperti para Nabi meramut, membimbing, mengatur, mengurus, dan mendampingi UMAT, seperti dijelaskan dalil berikut:
- "Bani Isra'il, kehidupan mereka selalu didampingi oleh para Nabi, bila satu Nabi meninggal dunia, akan dibangkitkan lagi Nabi setelahnya. Dan sungguh tidak ada Nabi sepeninggal aku. Yang ada adalah para Khalifah yang banyak jumlahnya". (HR. Muslim).
Dalam hadis ini Rasululah SAW telah memerintahkan kaum muslimin untuk menaati para Khalifah dan memerangi orang-orang yang merebut kekuasaan mereka. Perintah Rasulullah ini berfaedah perintah untuk mengangkat seorang Khalifah dan memelihara kekhilafahannya dengan cara memerangi orang-orang yang merebut kekuasaannya. Semua ini merupakan penjelasan tentang wajibnya keberadaan penguasa kaum muslimin, iaitu Imam atau Khalifah. Sebab sekiranya tidak wajib, nescaya tidak mungkin Nabi SAW memberikan perintah yang begitu tegas untuk memelihara eksistensinya, iaitu perintah untuk memerangi orang yang akan merebut kekuasaan Khalifah.
Dengan demikian jelaslah, dalil-dalil As Sunnah ini telah menunjukkan wajibnya Khalifah untuk kaum muslimin.
Dalil Ijma’ Sahabat
- "Abu Bakar Asshidiq radiyallaah anhu, berkata: Tersimpulnya hidayah Islam sesudah kalimat syahadat adalah mendengar dan taat kepada seseorang yang Allah menjadikannya sebagai wali perkara kalian yang beriman/ulil amri minkum".
- Dari Umar, “Sesungguhnya tidak ada Islam kecuali dengan berJama’ah, dan tidak ada Jama’ah kecuali dengan kepemimpinan, dan tidak ada kepemimpinan kecuali dengan ditaati, maka barangsiapa yang kaum itu mengangkatnya sebagai pimpinan atas dasar kefahaman, maka hidup baginya dan bagi kaum tersebut tetapi barangsiapa yang kaum itu mengangkatnya bukan atas dasar kefahaman, maka kerusakan baginya dan bagi mereka.” (HR. Ad-Darimi Sunan Ad-Darimi dalam bab Dzihabul ‘Ilmi : I/79)
Sebagai sumber hukum Islam ketiga, Ijma’ Sahabat menunjukkan bahwa mengangkat seorang Khalifah sebagai pemimpin pengganti Rasulullah SAW hukumnya wajib. Mereka telah sepakat mengangkat Khalifah Sisa dari pembakaran Bakar, Umar bin Khathtab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, ridlwanullah ‘alaihim.
Ijma’ Sahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan dan baiat Khalifah, nampak jelas dalam perihal nya bahawa mereka menunda kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW dan mendahulukan pengangkatan dan pembaiatan seorang Khalifah pengganti dia. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah suatu kewajiban dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah untuk memainkan kesibukan lain sebelum jenazah dikebumikan. Namun, para Sahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah Rasulullah SAW ternyata sebagian di selanya justru semakin mendahulukan usaha-usaha untuk mengangkat dan baiat Khalifah daripada menguburkan jenazah Rasulullah. Sedangkan sebagian Sahabat lain mendiamkan kesibukan mengangkat dan baiat Khalifah tersebut, dan ikut pula bersama-sama menunda kewajiban menguburkan jenazah Nabi SAW sampai dua malam, padahal mereka dapat mengingkari hal ini dan dapat mengebumikan jenazah Nabi secepatnya. Fakta ini menunjukkan telah tersedianya kesepakatan (ijma’) mereka untuk segera melaksanakan kewajiban mengangkat dan baiat Khalifah daripada menguburkan jenazah. Hal itu tak mungkin terjadi kecuali jika status hukum mengangkat dan baiat seorang Khalifah adalah semakin wajib daripada menguburkan jenazah.
Demikian pula bahwa seluruh Sahabat selama hidup mereka telah bersepakat tentang kewajiban mengangkat dan baiat Khalifah. Walaupun sering muncul perbedaan argumen tentang siapa yang tepat untuk dipilih dan diangkat menjadi Khalifah, namun mereka tidak pernah berselisih argumen sedikit pun tentang wajibnya mengangkat dan baiat seorang Khalifah, sepatutnya ketika wafatnya Rasulullah SAW maupun ketika pergantian masing-masing Khalifah yang empat. Oleh karenanya Ijma’ Sahabat merupakan dalil yang jelas dan kuat tentang kewajiban mengangkat Khalifah.
Dalil Dari Kaidah Syar’iyah
Ditilik dari analisis usul fiqh, mengangkat dan baiat Khalifah juga wajib. Dalam usul fikih dikenal kaidah syar’iyah yang disepakati para ulama:
"Sesuatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali telah tersedianya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula keberadaannya." Memainkan hukum-hukum yang berasal dari Allah SWT dalam segala bidangnya adalah wajib. Sementara hal ini tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa telah tersedianya kekuasaan Islam yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Maka dari itu, berlandaskan kaidah syar’iyah tadi, eksistensi Khilafah hukumnya menjadi wajib.
Jelaslah, berbagai sumber hukum Islam tadi menunjukkan bahwa menegakkan Daulah Khilafah merupakan kewajipan dari Allah SWT atas seluruh kaum muslimin.
Argumen Para Ulama Seluruh imam mazhab dan para mujtahid besar tanpa kecuali telah bersepakat bulat akan wajibnya Khilafah (atau Imamah) ini. Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menegaskan hal ini dalam kitabnya Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 416:
"Para imam mazhab (Sisa dari pembakaran Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) --rahimahumullah-- telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu wajib telah tersedianya, dan bahawa ummat Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah,) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya..." Tidak hanya kalangan Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah, bahkan seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah (termasuk Khawarij dan Mu’tazilah) tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang Khalifah. Sekiranya pun telah tersedia segelintir orang yang tidak mewajibkan Khilafah, maka argumennya itu tidak perlu diasumsikan, karena bertentangan dengan nas-nas syara’ yang telah jelas.
Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar jilid 8 hal. 265 menyatakan: "Menurut golongan Syiah, minoritas Mu’tazilah, dan Asy A’riyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara’." Ibnu Hazm dalam Al Fashl fil Milal Wal Ahwa’ Wan Nihal juz 4 hal. 87 mengatakan: "Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji`ah, seluruh Syi’ah, dan seluruh Khawarij, tentang wajibnya Imamah (Khilafah)."
Bahwa Khilafah adalah sebuah ketentuan hukum Islam yang wajib (bukan haram lebih-lebih bid’ah) dapat kitab temukan dalam khazanah Tsaqafah Islamiyah yang sangat kaya. Berikut ini sekelumit saja referensi yang menunjukkan kewajiban Khilafah: Imam Al Mawardi, Al Ahkamush Shulthaniyah, hal. 5, Sisa dari pembakaran Ya’la Al Farraa’, Al Ahkamush Shulthaniyah, hal.19, Ibnu Taimiyah, As Siyasah Asy Syar’iyah, hal.161, Ibnu Taimiyah, Majmu’ul Fatawa, jilid 28 hal. 62, Imam Al Ghazali, Al Iqtishaad fil I’tiqad,hal. 97, Ibnu Khaldun, Al Muqaddimah, hal.167, Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, juz 1 hal.264, Ibnu Hajar Al Haitsami, Ash Shawa’iqul Muhriqah, hal.17, Ibnu Hajar A1 Asqallany, Fathul Bari, juz 13 hal. 176, Imam An Nawawi, Syarah Muslim, juz 12 hal. 205, Dr. Dhiya’uddin Ar Rais, Al Islam Wal Khilafah, hal.99, Abdurrahman Abdul Khaliq, Asy Syura, hal.26, Abdul Qadir Audah, Al Islam Wa Audla’una As Siyasiyah, hal. 124, Dr. Mahmud Al Khalidi, Qawaid Nizham Al Hukum fil Islam, hal. 248, Sulaiman Ad Diji, Al Imamah Al ‘Uzhma, hal.75, Muhammad Abduh, Al Islam Wan Nashraniyah, hal. 61, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Khalifah utama
Khalifah utama merujuk pada para khalifah yang garis kepemimpinannya tersambung dengan khalifah sebelumnya hingga Abu Bakar, khalifah pertama. Pada umumnya, khalifah utama ini diakui oleh hampir semua dunia Islam. Ketersambungan kepemimpinan ini setidaknya terdapat beberapa macam:
- Penunjukkan. Seorang khalifah menunjuk seseorang untuk menjadi penerusnya. Hal ini seperti yang dilakukan Abu Bakar kepada 'Umar bin Khattab, Mu'awiyah kepada Yazid, dan Sulaiman bin 'Abdul Malik kepada 'Umar bin 'Abdul 'Aziz. Dalam cara ini, seseorang yang telah ditunjuk akan menjadi khalifah setelah khalifah lama mangkat.
- Pengangkatan. Seorang khalifah baru diangkat oleh dewan musyawarah, majelis negara, atau pihak berwenang lain yang merupakan bagian dari pemerintahan khalifah sebelumnya. Bila tidak, tokoh berpengaruh yang semula berada di luar lingkaran dalam khalifah lama dapat menunjuk seseorang calon dan disetujui para pemuka dari anggota pemerintahan khalifah sebelumnya. Contoh kasusnya adalah pengangkatan 'Ali bin Abi Thalib dan Marwan bin al-Hakam.
- Pewarisan. Metode ini biasanya dilakukan dalam sistem monarki dinasti yang menunjuk anggota keluarga besar penguasa lama sebagai penerus. Sistem pewarisan ini tidak harus menurunkan jabatan yang bersangkutan dari orang tua kepada anak, tapi bisa juga kepada kerabat lain yang masih dipandang sebagai satu keluarga besar dengan penguasa lama. Di masa Abbasiyah sendiri, tampuk kekhalifahan sering diwariskan dari penguasa lama ke saudaranya, sepupunya, atau keponakannya.
- Penyerahan. Seorang khalifah lama menyerahkan kedudukannya kepada orang yang dia tunjuk. Berbeda dengan metode penunjukkan, penyerahan berarti khalifah lama masih hidup dan turun takhta sehingga khalifah baru dilantik saat pendahulunya masih hidup dalam keadaan sudah bukan merupakan khalifah lagi. Hal ini pernah dilakukan Hasan bin 'Ali yang menyerahkan kedudukannya kepada Mu'awiyah dan Muhammad al-Mutawakkil III kepada Selim I.
- Penggulingan. Khalifah baru mendapat kedudukannya setelah menggulingkan khalifah sebelumnya. Hal ini terjadi pada Wangsa Abbasiyah yang menggulingkan Wangsa Umayyah.
Selain lima metode tersebut, ada juga beberapa kasus khusus.
- Pemilihan 'Utsman menjadi khalifah merupakan gabungan dari metode penunjukkan dan pengangkatan. Di ranjang kematian, 'Umar menunjuk enam orang untuk memilih salah satu di antara mereka menjadi khalifah.
- Wangsa Abbasiyah mulai abad kesembilan secara praktik menggunakan gabungan pewarisan dan pengangkatan. Khalifah harus merupakan keluarga Abbasiyah, tapi para tokoh militer berpengaruh kerap campur tangan secara terbuka. Pada masa-masa Khalifah Abbasiyah kehilangan sebagian besar pengaruhnya, para pemuka militer ini bahkan memiliki kekuatan untuk menurunkan khalifah yang sudah dipandang tidak layak.
Kekhalifahan dimulai sejak Abu Bakar dilantik menjadi khalifah pada 632 dan pembubaran kekhalifahan pada 3 Maret 1924. Sesuai latar belakang masing-masing khalifah, kekhalifahan dibagi menjadi beberapa masa.
- Khulafaur Rasyidin
- Wangsa Umayyah
- Wangsa Abbasiyah
- Wangsa Utsmaniyah
Khulafaur Rasyidin (632–661)
# | Nama Berkuasa |
Kaligrafi | Rentang usia | Catatan |
---|---|---|---|---|
1 | 'Abdullah Abu Bakar أبو بكر 8 Juni 632 (11 H) – 22 Agustus 634 (13 H) (2 tahun, 76 hari) |
573 – 22 Agustus 634 |
| |
2 | ʿUmar bin Khattab عمر بن الخطاب 23 Agustus 634 (13 H) – 3 November 644 (23 H) (10 tahun, 73 hari) |
584 – 3 November 644 |
| |
3 | 'Utsman bin 'Affan عثمان بن عفان 11 November 644 (23 H) – 20 Juni 656 (35 H) (11 tahun, 223 hari) |
579 – 20 Juni 656 |
| |
4 | 'Ali bin Abi Thalib علي بن أبي طالب 20 Juni 656 (35 H) – 29 Januari 661 (40 H) (4 tahun, 224 hari) |
15 September 601 – 29 Januari 661 |
|
Khalifah Hasan bin 'Ali (661)
# | Nama Berkuasa |
Kaligrafi | Rentang usia | Catatan |
---|---|---|---|---|
5 | Ḥasan bin 'Ali الحسن بن علي 661 (enam atau tujuh bulan) |
1 Desember 624 – 1 April 670 |
|
Wangsa Umayyah (661–750)
Secara silsilah, khalifah dari Wangsa Umayyah dibagi menjadi dua:
- Kelompok Sufyani, yakni yang merupakan keturunan dari Abu Sufyan bin Harb. Ada tiga orang khalifah yang berasal dari garis Sufyani.
- Kelompok Marwani, merujuk kepada Marwan bin al-Hakam dan keturunannya. Ada sebelas orang khalifah yang berasal dari garis Marwani.
Abu Sufyan dan Al-Hakam (ayah Marwan) adalah cucu dari Umayyah bin 'Abd asy-Syams dan dari sini nama Bani Umayyah ditetapkan.
# | Nama Berkuasa |
Kaligrafi | Rentang usia | Catatan |
---|---|---|---|---|
6 | Mu'awiyah bin Abu Sufyan معاوية بن أبي سفيان 661 – 26 April 680 (60 H) |
602 – 26 April 680 |
| |
7 | Yazid bin Mu'awiyah زيد بن معاوية 26 April 680 – 11 November 683 (3 tahun, 200 hari) |
647 – 11 November 683 |
| |
8 | Mu'awiyah bin Yazid معاوية بن يزيد 11 November 683 – 684 |
sekitar 664 – sekitar 684 |
| |
9 | Marwan bin al-Hakam مروان بن الحكم Juni 684 – 12 April 685 |
623 atau 626 – April 685 |
| |
10 | 'Abdul Malik bin Marwan عبد الملك ابن مروان 12 April 685 – 8 Oktober 705 (20 tahun, 180 hari) |
646 – 8 Oktober 705 |
| |
11 | Al-Walid bin 'Abdul Malik الوليد بن عبد الملك 8 Oktober 705 – 23 Februari 715 (9 tahun, 139 hari) |
668 – 23 Februari 715 |
| |
12 | Sulaiman bin 'Abdul Malik سليمان بن عبد الملك 23 Februari 715 – 22 September 717 (2 tahun, 212 hari) |
674 – 22 September 717 |
| |
13 | 'Umar bin 'Abdul 'Aziz عمر بن عبد العزيز 22 September 717 – 5 Februari 720 (2 tahun, 137 hari) |
2 November 682 – 4 Februari 720 |
| |
14 | Yazid bin 'Abdul Malik يزيد بن عبد الملك 5 Februari 720 – 26 Januari 724 (3 tahun, 356 hari) |
687 – 26 Januari 724 |
| |
15 | Hisyam bin 'Abdul Malik هشام بن عبد الملك 26 Januari 724 – 6 Februari 743 (19 tahun, 12 hari) |
691 – 6 Februari 743 |
| |
16 | Al-Walid bin Yazid الوليد بن يزيد 6 Februari 743 – 17 April 744 (1 tahun, 72 hari) |
Berkas:(أمير المؤمنين أبي العباس الوليد بن يزيد الأموي القرشي العبشمي (رحمه الله.png | 709 – 17 April 744 |
|
17 | Yazid bin Al-Walid bin 'Abdul Malik يزيد بن الوليد 17 April 744 – 4 Oktober 744 (171 hari) |
701 – 4 Oktober 744 |
| |
18 | Ibrahim bin Al-Walid bin 'Abdul Malik ابراهيم ابن الوليد 4 Oktober 744 – 4 Desember 744 (62 hari) |
mangkat 25 Januari 750 |
| |
19 | Marwan bin Muhammad مروان بن محمد 4 Desember 744 – 25 Januari 750 (5 tahun, 53 hari) |
mangkat 6 Agustus 750 |
Wangsa Abbasiyah (750-1258, 1261–1517)
Wangsa Abbasiyah adalah keluarga besar yang merupakan keturunan dari 'Abbas bin Abdul-Muththalib, paman Nabi Muhammad. Silsilah dari ayah dari dua khalifah Bani Abbasiyah pertama adalah Muhammad bin 'Ali bin 'Abdullah bin 'Abbas. Masa Kekhalifahan Bani Abbasiyah dibagi ke dalam dua periode. Periode pertama adalah sebelum jatuhnya Baghdad pada 1258 dan periode kedua adalah setelah penaklukan Baghdad.
Periode pertama (750-1258)
Pada masa ini, khalifah tidak lagi memiliki kendali langsung atas semua wilayah negara Islam. Gelar sultan mulai digunakan untuk merujuk pada penguasa Muslim yang menguasai wilayah tertentu di dunia Islam, berbeda dengan khalifah yang merupakan pemimpin seluruh dunia Islam. Namun dalam praktiknya, daerah kekuasaan beberapa sultan lebih luas daripada wilayah yang dipimpin langsung oleh khalifah. Meski sepenuhnya mandiri dari campur tangan khalifah dalam memerintah wilayah kekuasaannya, para sultan ini tetap menyatakan ketundukannya kepada khalifah meski hanya secara simbolis. Terdapat 37 khalifah pada masa ini, terhitung dari 'Abdullah as-Saffah naik takhta sampai terbunuhnya 'Abdullah al-Musta'shim pada 1258 saat Baghdad jatuh ke tangan Mongol.
# | Nama Berkuasa |
Gambar | Rentang usia | Catatan |
---|---|---|---|---|
20 | 'Abdullah As-Saffah عبد الله السفاح 25 Januari 750 – 10 Juni 754 (4 tahun, 137 hari) |
721 – 10 Juni 754 |
| |
21 | 'Abdullah Al-Manshur عبد الله المنصور 10 Juni 754 – 6 Oktober 775 (21 tahun, 119 hari) |
714 – 6 Oktober 775 |
| |
22 | Muhammad Al-Mahdi محمد المهدي 6 Oktober 775 – 24 Juli 785 (9 tahun, 262 hari) |
744 atau 745 – 24 Juli 785 |
| |
23 | Musa Al-Hadi موسى الهادي 24 Juli 785 – 14 September 786 (1 tahun, 83 hari) |
26 April 764 – 14 September 786 |
| |
24 | Harun Ar-Rasyid هَارُون الرَشِيد 14 September 786 – 24 Maret 809 (22 tahun, 192 hari) |
17 Maret 766 – 24 Maret 809 |
| |
25 | Muhammad Al-Amin محمد الأمين 24 Maret 809 – 27 September 813 (4 tahun, 188 hari) |
787 – 27 September 813 |
| |
26 | 'Abdullah Al-Ma'mun عبد الله المأمون 27 September 813 – 7 Agustus 833 (19 tahun, 315 hari) |
14 September 786 – 7 Agustus 833 |
| |
27 | Muhammad Al-Mu'tashim Billah محمد المعتصم بالله 9 Agustus 833 – 5 Januari 842 (8 tahun, 150 hari) |
Oktober 796 – 5 Januari 842 |
| |
28 | Harun Al-Watsiq Billah هارون الواثق باللہ 5 Januari 842 – 10 Agustus 847 (5 tahun, 218 hari) |
18 April 812 – 10 Agustus 847 |
| |
29 | Ja'far Al-Mutawakkil 'Alallah جعفر المتوكل على الله 10 Agustus 847 – 11 Desember 861 (14 tahun, 124 hari) |
31 Maret 822 – 11 Desember 861 |
| |
30 | Muhammad Al-Muntashir Billah محمد المنتصر بالله 11 Desember 861 – 7 Juni 862 (179 hari) |
November 837 – 7 Juni 862 |
| |
31 | Ahmad Al-Musta'in Billah أحمد المستعين بالله 8 Juni 862 – Januari 866 (sekitar 3 tahun 7 bulan) |
834/836 – 866 |
| |
32 | Muhammad Al-Mu'tazz Billah محمد المعتز بالله 25 Januari 866 – 13 Juli 869 (3 tahun, 170 hari) |
847 – Juli/Agustus 869 |
| |
33 | Muhammad Al-Muhtadi Billah محمد المهتدي بالله 21 Juli 869 – 17 Juni 870 (332 hari) |
833 – 21 Juni 870 |
| |
34 | Ahmad Al-Mu'tamid 'Alallah أحمد المعتمد على الله 19 Juni 870 – 15 Oktober 892 (22 tahun, 119 hari) |
sekitar 842 – 15 Oktober 892 |
| |
35 | Ahmad Al-Mu'tadhid Billah أحمد المعتضد بالله 15 Oktober 892 – 5 April 902 (9 tahun, 173 hari) |
857 – 5 April 902 |
| |
36 | 'Ali Al-Muktafi Billah علي المكتفي بالله 5 April 902 - 13 Agustus 908 (6 tahun, 131 hari) |
877 – 13 Agustus 908 |
| |
37 | Ja'far Al-Muqtadir Billah جعفر المقتدر بالله 13 Agustus 908 – 31 Oktober 932 (24 tahun, 80 hari) |
13 November 895 – 31 Oktober 932 |
| |
38 | Muhammad Al-Qahir Billah محمد القاهر بالله 31 Oktober 932 – 19 April 934 (1 tahun, 171 hari) |
899 – 950 |
| |
39 | Muhammad Ar-Radhi Billah محمد الراضي بالله 24 April 934 – 12 Desember 940 (6 tahun, 233 hari) |
Desember 909 – 12 Desember 940 |
| |
40 | Ibrahim Al-Muttaqi Lillah إبراهيم المتقي لله 15 Desember 940 – 26 Agustus 944 (3 tahun, 256 hari) |
908 – Juli 968 |
| |
41 | 'Abdullah Al-Mustakfi Billah عبد الله المستكفي بالله 26 Agustus 944 – 28 Januari 946 (1 tahun, 156 hari) |
905 – September/Oktober 949 |
| |
42 | Fadhl Al-Muthi' Lillah فضل المطيع لله 28 Januari 946 – 4 Agustus 974 (28 tahun, 189 hari) |
914 – September/Oktober 974 |
| |
43 | 'Abdul Karim Ath-Tha'i Lillah عبد الكريم الطائع لله 4 Agustus 974 – 30 Oktober 991 (17 tahun, 88 hari) |
932 – 3 Agustus 1003 |
| |
44 | Ahmad Al-Qadir Billah أحمد القادر بالله 1 November 991 – 29 November 1031 (40 tahun, 31 hari) |
947 – 29 November 1031 |
| |
45 | 'Abdullah Al-Qa'im Bi Amrillah عبد الله القائم بأمر الله 29 November 1031 – 2 April 1075 (43 tahun, 125 hari) |
1001 – 2 April 1075 |
| |
46 | 'Abdullah Al-Muqtadi Bi Amrillah عبد الله المقتدي بأمر الله 2 April 1075 – 3 Februari 1094 (18 tahun, 308 hari) |
1056 – 3 Februari 1094 |
| |
47 | Ahmad Al-Mustazh'hir Billah أحمد المستظهر بالله 3 Februari 1094 – 6 Agustus 1118 (24 tahun, 185 hari) |
April/Mei 1078 – 6 Agustus 1118 |
| |
48 | Al-Fadhl Al-Mustarsyid Billah الفضل المسترشد بالله 6 Agustus 1118 – 29 Agustus 1135 (17 tahun, 24 hari) |
April/Mei 1092 – 29 Agustus 1135 |
| |
49 | Manshur Ar-Rasyid Billah منصور الراشد بالله 29 Agustus 1135 – 17 Agustus 1136 (355 hari) |
1109 – 6 Juni 1138 |
| |
50 | Muhammad Al-Muqtafi Li Amrillah محمد المقتفي لأمر الله 17 Agustus 1136 – 12 Maret 1160 (23 tahun, 209 hari) |
9 Maret 1096 – 12 Maret 1160 |
| |
51 | Yusuf Al-Mustanjid Billah يوسف المستنجد بالله 12 Maret 1160 – 20 Desember 1170 (10 tahun, 284 hari) |
1124 – 20 Desember 1170 |
| |
52 | Hasan Al-Mustadhi' Bi Amrillah حسن المستضيء بأمر الله 20 Desember 1170 – 30 Maret 1180 (9 tahun, 102 hari) |
1124 – 30 Maret 1180 |
| |
53 | Ahmad An-Nashir Li Dinillah أحمد الناصر لدين الله 30 Maret 1180 – 5 Oktober 1225 (45 tahun, 190 hari) |
6 Agustus 1158 – 5 Oktober 1225 |
| |
54 | Muhammad Azh-Zhahir Bi Amrillah محمد الظاهر بأمر الله 5 Oktober 1225 – 10 Juli 1226 (279 hari) |
1176 – 10 Juli 1226 |
| |
55 | Manshur Al-Mustanshir Billah منصور المستنصر بالله 10 Juli 1226 – 5 Desember 1242 (16 tahun, 149 hari) |
17 Februari 1192 – 5 Desember 1242 |
| |
56 | 'Abdullah Al-Musta'shim Billah عبد الله المستعصم بالله 5 Desember 1242 – 20 Februari 1258 (15 tahun, 78 hari) |
1213 – 20 Februari 1258 |
|
Periode kedua (1261–1517)
Setelah Baghdad runtuh, Wangsa Abbasiyah mengungsi ke Mesir yang saat itu dikuasai Kesultanan Mamluk dan melanjutkan tampuk kekhalifahan di sana. Berbeda saat sebelum kejatuhan Baghdad, Khalifah Abbasiyah di Mesir sama sekali tidak memiliki wilayah kekuasaan dan hanya berperan sebagai simbol pemersatu dunia Islam. Kekurangan dalam memiliki kekuatan politik menjadikan khalifah pada masa ini kerap terombang-ambing saat terjadi pergolakan di pemerintahan Mesir, membuat khalifah pada periode ini juga disebut dengan "khalifah bayangan." Sultan Mamluk bahkan mampu menunjuk khalifah yang baru atau menggulingkan khalifah yang sedang berkuasa.
Terdapat 17 khalifah pada periode ini. Di antara mereka, tiga khalifah menjabat sebanyak dua kali dan seorang khalifah menjabat sebanyak tiga kali. Periode kedua Wangsa Abbasiyah berakhir setelah Kesultanan Mamluk ditaklukan oleh Kesultanan Utsmaniyah pada 1517.
# | Nama Berkuasa |
Rentang usia | Catatan |
---|---|---|---|
57 | Ahmad Al-Mustanshir Billah II أحمد المسنتصر بالله الثاني 13 Juni 1261 – 28 November 1261 (169 hari) |
Mangkat 28 November 1261 |
|
58 | Ahmad Al-Hakim Bi Amrillah أحمد الحاكم بأمر الله 21 November 1262 – 19 Januari 1302 (39 tahun, 60 hari) |
Mangkat 19 Januari 1302 |
|
59 | Sulaiman Al-Mustakfi Billah II سليمان المستكفي بالله الثاني 20 Januari 1302 – Februari 1340 (sekitar 38 tahun) |
Mangkat Februari 1340 |
|
60 | Ibrahim Al-Watsiq Billah II إبراهيم الواثق بالله الثاني Februari 1340 – 16 Juni 1341 |
Mangkat setelah 1341 |
|
61 | Ahmad Al-Hakim Bi Amrillah II أحمد الحاكم بأمر الله الثاني 16 Juni 1341 – 1352 |
Mangkat 1352 |
|
62 | Abu Bakar Al-Mu'tadhid Billah II أبو بكر المعتضد بالله الثاني 1352 – 1362 |
Mangkat 1362 |
|
63 | Muhammad Al-Mutawakkil 'Alallah محمد المتوكل على الله 1362 – 1377 (periode pertama) |
Mangkat 9 Januari 1406 |
|
64 | Zakariyya Al-Musta'shim Billah II زكريا المستعصم بالله الثاني 1377 (periode pertama) |
Mangkat 1389 |
|
Muhammad Al-Mutawakkil 'Alallah محمد المتوكل على الله 1377 – 1383 (periode kedua) |
| ||
65 | 'Umar Al-Watsiq Billah III عمر الواثق بالله الثالث September 1383 – 13 November 1386 |
Mangkat 13 November 1386 |
|
Zakariyya Al-Musta'shim Billah II زكريا المستعصم بالله الثاني November 1386 – 1389 (periode kedua) |
| ||
Muhammad Al-Mutawakkil 'Alallah محمد المتوكل على الله 1389 – 9 Januari 1406 (periode ketiga) |
| ||
66 | Al-'Abbas Al-Musta'in Billah II العباس المستعين بالله الثاني 22 Januari 1406 – 9 Maret 1414 (8 tahun, 47 hari) |
Mangkat 1430 |
|
67 | Dawud Al-Mu'tadhid Billah III داود المعتضد بالله الثالث 9 Maret 1414 – 23 Juli 1441 (27 tahun, 137 hari) |
Mangkat 23 Juli 1441 |
|
68 | Sulaiman Al-Mustakfi Billah III سليمان المستكفي بالله الثالث 23 Juli 1441 – 29 Januari 1451 (9 tahun, 191 hari) |
Mangkat 29 Januari 1451 |
|
69 | Hamzah Al-Qa'im Bi Amrillah حمزة القائم بأمر الله 1451 – 1455 |
Mangkat 1458 |
|
70 | Yusuf Al-Mustanjid Billah II يوسف المستنجد بالله الثاني 1455 – 7 April 1479 |
Mangkat 7 April 1479 |
|
71 | 'Abdul 'Aziz Al-Mutawakkil 'Alallah II عبد العزيز المتوكل على الله الثاني 8 April 1479 – 27 September 1497 (18 tahun, 173 hari) |
Mangkat 27 September 1497 |
|
72 | Ya'qub Al-Mustamsik Billah يعقوب المستمسك بالله 27 September 1497 – 1508 (periode pertama) |
Mangkat 1521 |
|
73 | Muhammad Al-Mutawakkil 'Alallah III محمد المتوكل على الله الثالث 1508 – 1516 (periode pertama) |
Mangkat 1543 |
|
Ya'qub Al-Mustamsik Billah يعقوب المستمسك بالله 1516 – 1517 (periode kedua) |
| ||
Muhammad Al-Mutawakkil 'Alallah III محمد المتوكل على الله الثالث 1517 (periode kedua) |
|
Kekhalifahan Utsmaniyah (1517–1924)
Sebelum penaklukan Mesir, para penguasa Utsmani menyandang beberapa gelar, di antaranya adalah sultan dan padisyah. Penguasa Utsmani menyandang gelar sultan atas kedudukan mereka sebagai kepala negara Muslim. Padisyah merupakan kaisar atau maharaja dalam bahasa Persia dan penguasa Utsmani menyandang gelar ini untuk menegaskan kedudukan mereka di atas para raja. Penguasa Utsmani resmi menyandang gelar khalifah setelah penaklukan Mesir, meski beberapa penguasa Utsmani sebelumnya sudah mulai mengklaim dirinya sebagai khalifah.
Gelar khalifah kehilangan kekuasaannya sebagai kepala negara sejak jatuhnya Baghdad pada 1258 dan hanya berperan menjadi pemimpin simbolis dunia Islam. Hal itu tetap tidak berubah pada masa Utsmani. Para penguasa Utsmani memiliki kekuasaan karena kedudukan mereka sebagai sultan dan padisyah, bukan karena status mereka sebagai khalifah. Pada praktiknya, para penguasa Utsmani terbilang sangat jarang menggunakan gelar khalifah mereka dalam perpolitikan dalam dan luar negeri. Gelar khalifah mulai digunakan penguasa Utsmani pada saat Perjanjian Küçük Kaynarca, untuk menegaskan kedudukannya sebagai pelindung umat Islam di Rusia. Sultan Abdül Hamid II merupakan penguasa Utsmani yang paling sering menggunakan gelar khalifah dalam upayanya menggalang persatuan di dunia Islam untuk menghadapi imperialisme Barat.
Pada November 1922, Majelis Agung Nasional Turki membubarkan Kesultanan Utsmani dan sultan terakhirnya, Mehmed VI, diasingkan ke Malta. Meski begitu, Mustafa Kemal (Atatürk) belum berani membubarkan kekhalifahan demi menjaga dukungan masyarakat, juga karena kekhalifahan adalah lambang pemersatu umat Islam Sunni seluruh dunia, berbeda dengan Kesultanan Utsmani yang merupakan sebatas negara. Majelis Agung Nasional Turki kemudian mengangkat sepupu Mehmed VI sebagai Khalifah Abdül Mejid II pada 19 November 1922. Abdül Mejid II merupakan satu-satunya khalifah dari Wangsa Utsmani yang tidak merangkap sebagai sultan. Namun karena khawatir Abdül Mejid II akan menggunakan statusnya sebagai khalifah untuk campur tangan dalam urusan dalam dan luar negeri Turki sebagaimana yang dilakukan para Sultan Utsmani terdahulu, Majelis Agung Nasional Turki akhirnya membubarkan kekhalifahan pada 3 Maret 1924, menjadikan Abdül Mejid II sebagai khalifah terakhir. Negara-negara Muslim mempertanyakan keabsahan pembubaran kekhalifahan oleh pihak Turki dan terdapat beberapa pertemuan para tokoh Muslim terkait keberlangsungan kekhalifahan, tetapi tidak ada kesepakatan bersama yang dapat dicapai.
# | Nama Berkuasa |
Gambar | Tughra | Rentang usia | Catatan |
---|---|---|---|---|---|
74 | Selim I سليم اول 1517 – 22 September 1520 |
1470/1 – 22 September 1520 |
| ||
75 | Süleyman I سليمان اول 30 September 1520 – 6 September 1566 (45 tahun, 342 hari) |
6 November 1494 – 6 September 1566 (umur 71) |
| ||
76 | Selim II سليم ثانى 7 September 1566 – 15 Desember 1574 (8 tahun, 100 hari) |
28 Mei 1524 – 15 Desember 1574 (umur 50) |
| ||
77 | Murad III مراد ثالث 15 Desember 1574 – 16 Januari 1595 (20 tahun, 33 hari) |
4 Juli 1546 – 16 Januari 1595 (umur 48) |
| ||
78 | Mehmed III محمد ثالث 16 Januari 1595 – 22 Desember 1603 (8 tahun, 341 hari) |
26 Mei 1566 – 22 Desember 1603 (umur 37) |
| ||
79 | Ahmed I احمد اول 22 Desember 1603 – 22 November 1617 (13 tahun, 336 hari) |
April 1590 – 22 November 1617 (umur 27) |
| ||
80 | Mustafa I مصطفى اول 22 November 1617 – 26 Februari 1618 (97 hari) (periode pertama) |
24 Juni 1591 – 20 Januari 1639 (umur 47) |
| ||
81 | Osman II عثمان ثانى 26 Februari 1618 – 20 Mei 1622 (4 tahun, 84 hari) |
3 November 1604 – 20 Mei 1622 (umur 17) |
| ||
Mustafa I مصطفى اول 20 Mei 1622 – 10 September 1623 (356 hari) (periode kedua) |
| ||||
82 | Murad IV مراد رابع 10 September 1623 - 8 Februari 1640 (16 tahun, 152 hari) |
27 Juli 1612 – 8 Februari 1640 (umur 27) |
| ||
83 | Ibrahim ابراهيم 9 Februari 1640 – 8 Agustus 1648 (8 tahun, 182 hari) |
5 November 1615 – 18 Agustus 1648 (umur 32) |
| ||
84 | Mehmed IV محمد رابع 8 Agustus 1648 – 8 November 1687 (39 tahun, 93 hari) |
2 Januari 1642 – 6 Januari 1693 (umur 51) |
| ||
85 | Süleyman II سليمان ثانى 8 November 1687 – 22 Juni 1691 (3 tahun, 227 hari) |
15 April 1642 – 22 Juni 1691 (umur 49) |
| ||
86 | Ahmed II احمد ثانى 22 Juni 1691 – 6 Februari 1695 (3 tahun, 230 hari) |
25 Februari 1643 – 6 Februari 1695 (umur 51) |
| ||
87 | Mustafa II مصطفى ثانى 6 Februari 1695 – 22 Agustus 1703 (8 tahun, 198 hari) |
6 Februari 1664 – 30 Desember 1703 (umur 39) |
| ||
88 | Ahmed III احمد ثالث 22 Agustus 1703 – 1 Oktober 1730 (27 tahun, 41 hari) |
30/31 Desember 1673 – 1 Juli 1736 (umur 62) |
| ||
89 | Mahmud I محمود اول 1 Oktober 1730 – 13 Desember 1754 (24 tahun, 74 hari) |
2 Agustus 1696 – 13 Desember 1754 (umur 58) |
| ||
90 | Osman III عثمان ثالث 13 Desember 1754 – 30 Oktober 1757 (2 tahun, 322 hari) |
2/3 Januari 1699 – 30 Oktober 1757 (umur 58) |
| ||
91 | Mustafa III مصطفى ثالث 30 Oktober 1757 – 24 Desember 1773 (16 tahun, 56 hari) |
28 Januari 1717 – 24 Desember 1773 (umur 56) |
| ||
92 | 'Abdül Hamid I عبد الحميد الاول 24 Desember 1773 – 7 April 1789 (15 tahun, 105 hari) |
20 Maret 1725 – 7 April 1789 (umur 64) |
| ||
93 | Selim III سليم ثالث 7 April 1789 – 29 Mei 1807 (18 tahun, 53 hari) |
24 Desember 1761 – 28 Juli 1808 (umur 46) |
| ||
94 | Mustafa IV مصطفى رابع 29 Mei 1807 – 28 Juli 1808 (1 tahun, 61 hari) |
8 September 1779 – 17 November 1808 (umur 29) |
| ||
95 | Mahmud II محمود ثانى 28 Juli 1808 – 1 Juli 1839 (30 tahun, 339 hari) |
20 Juli 1784 – 1 Juli 1839 (umur 54) |
| ||
96 | 'Abdül Mejid I عبد المجيد اول 2 Juli 1839 – 25 Juni 1861 (21 tahun, 360 hari) |
25 April 1823 – 25 Juni 1861 (umur 38) |
| ||
97 | 'Abdül 'Aziz عبد العزيز 25 Juni 1861 – 30 Mei 1876 (14 tahun, 341 hari) |
8 Februari 1830 – 4 Juni 1876 (umur 46) |
| ||
98 | Murad V مراد خامس 30 Mei 1876 – 31 Agustus 1876 (94 hari) |
21 September 1840 – 29 Agustus 1904 (umur 63) |
| ||
99 | 'Abdül Hamid II عبد الحميد ثانی 31 Agustus 1876 – 27 April 1909 (32 tahun, 240 hari) |
21 September 1842 – 10 Februari 1918 (umur 75) |
| ||
100 | Mehmed V محمد خامس 27 April 1909 – 3 Juli 1918 (9 tahun, 68 hari) |
2 November 1844 – 3 Juli 1918 (umur 73) |
| ||
101 | Mehmed VI محمد السادس 4 Juli 1918 – 1 November 1922 (4 tahun, 121 hari) |
– 16 Mei 1926 (umur 65) |
14 Januari 1861
| ||
102 | 'Abdül Mejid II عبد المجید الثانی 19 November 1922 – 3 Maret 1924 (1 tahun, 106 hari) |
29/30 Mei 1868 – 23 Agustus 1944 (umur 76) |
|
Kekhalifahan lainnya
Idealnya, kedudukan khalifah yang dibaiat hanya diisi satu orang setiap satu masa. Namun pada keberjalanannya, beberapa pihak menyatakan diri sebagai khalifah baru saat masih ada khalifah lama yang sedang berkuasa. Sebagai catatan, saat pihak-pihak tersebut menyatakan dirinya sebagai khalifah, itu tidak berarti bahwa dia menyejajarkan dirinya dengan khalifah utama. Khalifah adalah gelar bagi pemimpin dunia Islam dan normalnya, hanya ada satu khalifah yang dibaiat setiap masa, sehingga pernyataan diri sebagai khalifah bermakna bahwa pihak tersebut secara prinsip mengklaim sebagai pemimpin tunggal seluruh dunia Islam (terlepas wilayah kekuasaan yang sebenarnya) dan menganggap khalifah lainnya sebagai khalifah yang tidak sah.[1]
Bagian ini memuat daftar pihak-pihak yang melakukan pernyataan diri sebagai khalifah, tanpa ketersambungan kepemimpinan dengan khalifah sebelumnya.
'Abdullah bin Zubair
'Abdullah bin Zubair menolak upaya Mu'awiyah bin Abu Sufyan menetapkan putranya sendiri, Yazid, sebagai khalifah sepeninggalnya. Saat Yazid kemudian mangkat pada 683, 'Abdullah bin Zubair menyatakan diri sebagai khalifah. Wilayah kekuasaannya berada di kawasan Hijaz.
Wangsa Fatimiyah (909–1171)
Fatimiyah berasal dari Ismaili yang merupakan cabang dari Syi'ah, oleh karena itu kekhalifahan ini tidak diakui oleh sebagian besar Sunni, baik dalam wilayah kekuasaan mereka maupun negara tetangga.[2][3] Para penguasa Fatimiyah mengklaim sebagai keturunan dari nama putri Nabi Muhammad, Fatimah, yang mana menjadi dasar bagi penamaan Fatimiyah.
Nama Pribadi | Nama Takhta | Berkuasa |
---|---|---|
'Abdullah | Al-Mahdi Billah المهدي بالله |
November 909 – 3 April 934 |
Muhammad | Al-Qa'im Bi Amrillah القائم بأمر الله |
3 April 934 – 17 Mei 946 |
Isma'il | Al-Manshur Billah المنصور بالله |
17 Mei 946 – 19 Maret 953 |
Ma'ad | Al-Mu'izz Li Dinillah المعز لدين الله |
19 Maret 953– 21 Desember 975 |
Nizar | Al-'Aziz Billah العزيز بالله |
21 Desember 975 – 13 Oktober 996 |
Manshur | Al-Hakim Bi Amrillah الحاكم بأمر الله |
14 Oktober 996 – 13 Februari 1021 |
'Ali | Azh-Zhahir الظاهر لإعزاز دين الله |
13 Februari 1021 – 13 Juni 1036 |
Ma'ad | Al-Mustanshir Billah المستنصر بالله |
13 Juni 1036 – 10 Januari 1094 |
Ahmad | Al-Musta'li Billah المستعلي بالله |
10 Januari 1094 – 12 Desember 1101 |
Manshur | Al-Amir Bi Ahkami'l-Lah الآمر بأحكام الله |
12 Desember 1101 – 7 Oktober 1130 |
'Abdul Majid | Al-Hafizh Li Dinillah الحافظ لدين الله |
7 Oktober 1130 – 8 Oktober 1149 |
Isma'il | Azh-Zhafir Bi Amrillah الظافر بأمر الله |
8 Oktober 1149 – April 1154 |
'Isa | Al-Fa'iz Bi Nasrillah الفائز بيناصر الله |
April 1154 – 1160 |
'Abdullah | Al-Adhid Li Dinillah العاضد لدين الله |
1160 – 1171 |
Khalifah di Kordoba (929–1031)
Setelah Wangsa Umayyah yang berkuasa di Damaskus digulingkan oleh Wangsa Abbasiyah pada tahun 750, keturunan mereka yang tersisa meninggalkan tempat kekuasaan lama mereka dan berkuasa di semenanjung Iberia (kawasan Spanyol dan Portugal modern). Meski 'Abdurrahman III sebagai khalifah pertama di Kordoba merupakan keturunan para Khalifah Umayyah yang berkuasa di Syam, para khalifah Kordoba tidak dimasukkan dalam daftar khalifah utama. Hal ini karena dari berakhirnya kekuasaan Umayyah di Damaskus sampai tahun 929, anggota Wangsa Umayyah pada umumnya mengakui Wangsa Abbasiyah sebagai pemimpin dunia Islam yang sah.[4] Mereka sendiri awalnya menggunakan gelar 'amir' atau 'sultan' saat berkuasa di Andalusia. Namun pada tahun 929 (hampir dua abad setelah kekuasaan Umayyah di Damaskus runtuh), 'Abdurrahman III baru menyatakan dirinya sebagai khalifah, sehingga klaimnya tidak tersambung dengan para khalifah leluhurnya. Sebagaimana khalifah lain, Khalifah di Kordoba juga mengklaim kepemimpinan atas seluruh dunia Islam, meski secara de facto kekuasaannya hanya berkisar di Andalusia dan Maghrib.
Khalifah di Kordoba hanya bertahan selama satu abad. Selama rentang waktu tersebut, tampuk kekhalifahan dipegang oleh Wangsa Umayyah dan Wangsa Hammud.
Nama | Masa kekuasaan | Dinasti |
---|---|---|
'Abdurrahman III عبد الرحمن الثالث |
16 Januari 929 – 15 Oktober 961 | Umayyah |
Al-Hakam II الْحُكْمِ |
15 Oktober 961 – 16 Oktober 976 | Umayyah |
Hisyam II ھشام (periode pertama) |
16 Oktober 976–1009 | Umayyah |
Muhammad II محمد الثاني |
1009 | Umayyah |
Sulaiman II سلیمان الثاني (periode pertama) |
1009–1010 | Umayyah |
Hisyam II ھشام (periode kedua) |
1010 – 19 April 1013 | Umayyah |
Sulaiman II سلیمان الثاني (periode kedua) |
1013–1016 | Umayyah |
'Ali bin Hammud an-Nasir علي بن حمودالناصر |
1016 — 22 Maret 1018 | Hammud |
'Abdurrahman IV عبد الرحمن |
1018 | Ummayah |
Al-Qasim al-Ma'mun القاسم المعمون (periode pertama) |
1018–1021 | Hammud |
Yahya bin 'Ali يحي بن علي (periode pertama) |
1021–1023 | Hammud |
Al-Qasim al-Ma'mun القاسم المعمون (periode kedua) |
1023 | Hammud |
'Abdurrahman V عبدالرحمٰن الخامس |
1023–1024 | Umayyah |
Muhammad III محمد الثالث |
1024–1025 | Umayyah |
Yahya bin 'Ali يحي بن علي (periode kedua) |
1025–1026 | Hammud |
Hisyam III هشام الثالث |
1026–1031 | Umayyah |
Wangsa Muwahhidun (1145–1269)
(Tidak diterima secara luas, kekuasaan yang sebenarnya adalah bagian dari Afrika Utara dan Semenanjung Iberia)[5][6]
- Abd al-Mu'min – 1145–1163
- Abu Yaqub Yusuf – 1163–1184
- Yaqub al-Mansur – 1184–1199
- Muhammad an-Nasir – 1199–1213
- Yusuf II – 1213–1224
- Abdul-Wahid I – 1224
- Abdullah al-Adil 1224–1227
- Yahya – 1227–1235
- Idris I – 1227–1232
- Abdul-Wahid II – 1232–1242
- Ali – 1242–1248
- Umar – 1248–1266
- Idris II – 1266–1269
Islam Jamaah (1941 - sekarang)
Kekhalifahan Jamaah ini tidak memiliki wilayah, karena Jamaah ini hanya mengurusi persoalan ibadah kaumnya yang berpedoman Al Qur'an dan Al Hadits serta berbentuk Jamaah.
Cikal bakalnya dimulai tahun 1941 diprakarsai oleh KH Nurhasan Al Ubaidah, KH Nur Asnawi, dan KH Bakron setelah menimba ilmu di Mekkah dan Madinah. Berpusat di Indonesia dan telah menyebar sampai ke 43 negara untuk saat ini.
KH Nurhasan Al Ubaidah adalah pendiri Pondok Pesantren Walibarokah Burengan Banjaran Kediri, seorang ulama besar yang selama 11 tahun belajar ilmu agama di Makkah dan Madinah. Beliau menguasai Al Qur’an dan ilmu-ilmu Al Qur’an. Beliau menguasai Qiroah Sab’ah, yaitu bacaan Nafi’ Al Madani, Ibnu Katsir Al Makki, Abu Amr Al Bashri, Ibnu Amir As Syami, Ashim Al Kufi, Hamzah Al Kufi, dan Ali Al Kisa’i. Masing-masing guru tersebut memiliki dua murid yang sangat terkenal, sehingga bacaannya diistilahkan 21 bacaan. Beliau juga menguasai 49 kitab-kitab hadits lengkap dengan ilmu alatnya. Di antara guru-guru beliau adalah: Imam Abu Samah (Muhammad Abdul Dhohir ibn Muhammad Nuruddin Abu Samah At-Talini Al-Mishri Al-Makki), Syekh Umar Hamdan (Abu Hafs Umar ibn Hamdan ibn Umar ibn Hamdan al-Mahrasi At-Tunisi Al-Maghribi al-Madani Al-Maki rahimahullah), Syekh Yusuf, dan lain-lain. Oleh sebab itu warga Lembaga Dakwah Islam Indonesia menempatkan beliau sebagai Ulama Besar.
Kisah Kehidupan KH. Nurhasan Al Ubaidah
Pengalaman Pesantren
Pondok Semelo, Nganjuk (sufi) Pondok Jamsaren, Sala Dresmo, Surabaya (belajar silat) Sampang, Madura (Kyai Al Ubaidah, Batuampar) Lirboyo, Kediri Tebuireng, Jombang
Pengalaman di Tanah Suci
Pada tahun 1929 beliau berangkat haji, tiba di Mekah, disaksikan oleh H. Khoiri Ketua Rukbat Nahsyabandi (asrama pemukim di Saudi Arabia). Pada tahun 1933 beliau belajar hadits Bukhari dan Muslim kepada Syekh Umar Hamdan (Abu Hafs Umar ibn Hamdan ibn Umar ibn Hamdan al-Mahrasi At-Tunisi Al-Maghribi al-Madani Al-Maki rahimahullah) dari Maroko di Madrasah Darul Hadits dekat Masjidil Haram
Kembali ke Tanah Air
Pada tahun 1941 beliau kembali ke Indonesia, membuka pengajian di Kediri dan menikah dengan orang Madura, yaitu Al Suntikah Anak anak beliau: K.H Muhammad Sueh Abdul Dzohir, K.H Sulthon Aulia Abdul Aziz, K.H Abdul Salam, K.H Muh Daud, Hj.Sumaidau’, K.H.Abdullah, H.Zubaidi Umar (dari ibu Al Suntikah)
Banyak yang tidak mengetahui secara benar siapa sebenarnya KH Nurhasan Al-Ubaidah bin Abdul Aziz serta belum mengerti maksud dan tujuan dakwah tauhid-nya termasuk banyak fakta tak terungkap yang tersembunyi kebenarannya, sehingga beliau mendapat hujatan dan fitnahan dari orang-orang yang tidak senang kepada beliau. Bahkan ada orang-orang ilmu agamanya masih sedikit berani menghujat beliau, padahal info yang dimilikinya tentang KH Nurhasan dan metode dakwah beliau, sangatlah minim info.
Sebagai contoh banyak yang tidak mengetahui bahwa beliau menyampaikan dakwah dengan kata-kata yang keras, tegas, bahkan terkesan menyakitkan hati, padahal itu hanya bagian metode dakwah, mengingat saat itu awalnya ajakan dengan cara persuasif, lemah lembut (untuk menetapi agama Islam secara Quran Hadits dan tidak mengamalkan bidah, khurofat, tahayul, dll serta ajakan bersatunya umat Islam) namun tidak digubris, akhirnya ibarat menyelamatkan orang yang akan celaka tertabrak kereta api, ya harus ditarik keras. Bayangkan kalau ada yang mau tertabrak kereta kemudian mengingatkannya dengan pelan-pelan,
Akhirnya beliau KH Nurhasan Al-Ubaidah menerapkan metode “babat alas” (periode 1950-1960), ibarat membuka hutan untuk dijadikan perumahan, yaa tentunya semak-semak, alang-alang, pohon melintang yang menghalangi jalan, dsb harus dibabat dulu khan? Setelah itu, baru proses penataan, dan selanjutnya pelestarian. Nah, saat beliau menerapkan metode dakwah “babat alas” inilah banyak orang yang sakit hati tidak menyadari sedang diselamatkan “dari tertabrak kereta tadi” dan bukan malah bersyukur sudah diingatkan. Akhirnya mereka membuat fitnah dan hujatan-hujatan. Dan, perlu khalayak ramai ketahui bahwa metode babat alas sudah ditinggalkan sejak tahun 1960. Bahkan pada tahun 1970 beliau mengajak bersatu kepada umat Islam Indonesia berupa selebaran yang dikirim ke seluruh penjuru Jawa mulai tingkat kecamatan s/d menteri sehingga membuat gempar di masyarakat.
Fakta lain, beliau bukanlah orang yang senang berbantah-bantahan dalil dan merasa pol sendiri, tentunya ini demi kerukunan sesama muslim dan menghormati keyakinan masing-masing. Ini cerita dari Cak Thohir, “saat pak Nurhasan diberitahu oleh H. Arifin dan Pak Husein bahwa para kyai dan ulama yang pinter-pinter sudah berkumpul ingin berdebat dengan pak haji (KH. Nurhasan), kita sudah ditunggu disana!”. KH. Nurhasan yang biasa dipanggil “abah”
salah satu kyai di LDII KH. Solihun pernah mendampingi KH. Nurhasan di kapal laut selama 21 hari saat perjalanan haji. Melihat dengan mata kepala sendiri bahwa H. Nurhasan kalau sholat kalau saatnya sholat tidak selalu sholat di musholla, namun di tempat yang layak dan beliau yakin suci untuk sholat tanpa alas/lemek.
Dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia kita mengenal beberapa aliran islam mainstream dan non-mainstream. Meski sudah sejak era Wali Songo islam mulai tersohor di bumi nusantara, namun ternyata kekuatan gerak islamiyah lebih menyolok di era pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Hal ini ditandai oleh munculnya beberapa harokah islamiyah garis keras, yang menginginkan syariat islam ditegakkan di Indonesia dan menolak mentah-mentah hukum positif warisan Belanda. Pergerakan ini tidak dilakukan oleh 2 (dua) aliran islam mainsteam yang ada, melainkan oleh kelompok-kelompok islam radikal semisal DI/TII, NII, dan kelompok Warman. Di bumi nusantara bagian timur terkenal dipimpin oleh Kahar Muzakkar, dan di barat dipimpin oleh SM. Kartosoewiryo.
Singkat cerita, pada pertengahan era orde baru, ketegangan demi ketegangan memuncak, dimana friksi-friksi yang terjadi antara pemerintah kala itu dengan beberapa kelompok islam radikal ini akhirnya menyebabkan hampir seluruh organisasi berbasis islam di indonesia otomatis dianggap oposan pemerintah. Walhasil, kelompok-kelompok islam kecil lah yang banyak menerima imbas buruknya dari pertikaian gerakan-gerakan islam dengan pihak otoritas pada waktu itu dibanding kelompok-kelompok islam yang telah memiliki nama besar. Diantara kelompok-kelompok dakwah islam yang masih kecil pada waktu itu adalah Darul Hadits dengan beberapa kembangannya semisal YCI (Yayasan Citra Islam), KSPI (Keluarga Studi Pemuda Islam), KADIM (Karyawan Dakwah Islam), dan ASPI (Aspirasi Pemuda Islam). Darul Hadits sendiri merupakan suatu kelompok pengajian Qur’an-Hadits yang dipimpin oleh seorang ulama muda lulusan ma’had Darul Hadits di Mekkah Al-Mukarramah, KH Nurhasan Al-Ubaidah bin Abdul ‘Aziiz (1908-1982). Konon kelompok pengajian ini sangat peduli terhadap tauhid, akhlak, akidah, dan pemurnian tata laksana peribadatan ummat islam kala itu yang masih banyak dianggap menyimpang dari sumbernya: Qur’an dan Hadits (as-Sunnah). Ditinjau dari sisi manapun, melalui perjalanan panjang sejarah tandzim dakwah islamiyah ini, Darul Hadits eksis bertujuan untuk membetulkan seluruh sendi pengamalan ibadah rakyat Indonesia yang masih banyak menyimpang dari Qur’an dan Hadits, tanpa perlu melakukan konfrontasi dengan pihak otoritas, orde lama, maupun orde baru. Tidak seperti tudingan orang-orang yang tidak mengerti sejarah esensi perjuangan amar ma’ruf nahi munkar-nya, mereka menuding bahwa KH Nurhasan Al-Ubaidah rahimahullah ingin mendirikan ‘negara dalam negara’. Tapi sampai hari wafatnya, hal tesebut bahkan sama sekali tidak terbukti.
Masih teringat dari beberapa saksi sejarah perjalanan era “babat alas” semisal Al-Hafidz Syeikh Su’udi Ridwan rahimahullah, maupun Syeikhul Hadits Kasmudi As-Shiddiqqy bercerita bahwa seringkali KH Nurhasan Al-Ubaidah menerima banyak ‘bingkisan’ dari orang-orang, bahkan ulama-ulama tradisional yg tidak sepaham dengannya berupa teluh, santet, dan benda-benda ‘terbang’ aneh lainnya yang tidak bisa diterima oleh akal sehat manusia modern. Semua itu Beliau hadapi dengan sabar, tawakkal, serta yang paling penting adalah doa. Tentang doa kepada Allah Ta’ala, dari penuturan KH Nur Asnawi rahimahullah, salah satu rekan menuntut ilmunya di Mekkah-Medinah dulu, menceritakan bahwa syeikh sangat yakin akan doanya kepada Allah Ta’ala. Pernah suatu ketika di Mekkah, ada seorang temannya kelaparan tidak punya beras (makanan) untuk dimasak, akhirnya KH Nurhasan Al-Ubaidah berdoa agar Allah Ta’ala memberikan beras yang bisa untuk dimasak saat itu juga. Walhasil, doanya maqbul. Allah Ta’ala mengabulkan permintaannya!. Bagi kita yang awam memang agak sulit menerima cerita-cerita ‘tidak masuk akal’ semacam ini. Namun kenyataannya memang demikian, apalagi cerita ini diperoleh dari saksi hidup kala itu, KH Nur Asnawi rahimahullah. Bahkan salah satu santrinya yang saat ini telah menjadi salah satu ulama di Pondok Pesantren Kertosono, Ustadz Ubaid Khairi, pernah punya pengalaman spiritual yang sama seperti Syeikh Nurhasan Al-Ubaidah, yakni langsung dikabulkan doanya semasa ia dan keluarga sedang menghadapi kesulitan ekonomi. “Setelah bermunajat di dalam bis kota yang mangantar saya dan anak istri pulang ke rumah. Allah langsung memberi saya uang tunai. Bahkan saya dan keluarga bisa mempergunakan uang itu untuk keperluan sehari-hari selama kurang lebih 2 (dua) bulan…”, tuturnya tatkala ia didapuk (bahasa Jawa: dinobatkan) sebagai salah satu penyampai materi pada camping Cinta Alam Indonesia di Cikole, Bandung, beberapa tahun silam. Cerita yang sama, di zaman yang berbeda. Believe it or not.[7]
Namun demikian warisan semangatnya untuk menegakkan kalimatullah oleh setiap manusia, tetap ada dalam diri sanubari masing-masing generasi penerus pejuang agama yang secara ilmu-pun masih terlampau jauh ketimbang beliau, yang diberi julukan mustadid (orang yang luar biasa). Luar biasa, karena Beliau al-Hafidz, menguasai bacaan Qiraatus-Sab’ah, mufassir yang mumpuni, menguasai Mustholah Hadits, menguasai ilmu alat, mengerti taraf ilmu dari terminologi wajib, sunnah, makruh, mubah, menguasai ilmu dari 49 perowi hadits beserta sanad-nya yang muttashil sampai Baginda Rasulullah SAW, gemar bekerja keras, tidak pernah takut dengan kondisi kehidupan apapun kecuali hanya takut kepada Allah SWT, seorang hamba yang sangat percaya qodarullah dan nashrun minallah, ahli dalam berdoa, ulama yang dicintai santri-santrinya sekaligus dibenci oleh orang-orang yang belum bisa menerima al-Haq ini secara utuh dan murni, dan lain-lain.
Perjuangan yang beliau jalani sebagai Dai yang mengajak umat Islam di Indonesia kembali pada Al Qur’an dan Al Hadits secara murni tidaklah mudah, banyak tantangan dan rintangan yang sangat berat harus beliau hadapi, mendobrak penyimpangan aqidah umat Islam di Indonesia yang sudah menjadi tradisi, walaupun umumnya masyarakat Islam di Indonesia mengaku berpegang teguh pada prinsip aliran ahlus sunnah wal jamaah akan tetapi dalam prakteknya mereka banyak mengingkari sunnah Rasulullah SAW dan mereka melaksanakan kewajiban sebagai umat islam dengan sendiri-sendiri (berfirqoh), maka lebih tepat jika mereka adalah pengikut ajaran ahlul bid’ah wal firqoh.
Gebrakan beliau membuat banyak para tokoh agama Islam atau para kiai di Indonesia kebakaran jenggot, ajaran beliau dinggap ancaman bagi eksistensi mereka, sebab jika dibiarkan umat Islam menerima ajaran KH. Nurhasan Al Ubaidah untuk berpegang teguh pada Al Qur’an dan Al Hadits bisa-bisa mereka akan ditinggalkan oleh umat. Maka mulailah tuduhan-tuduhan dan fitnahan yang keji dilontarkan kepada beliau, di antaranya dikatakan; kiyai gila, dajal uchul, PKI putih dll.
Semua rintangan dan permusuhan itu beliau hadapai dengan sabar, bahkan beliau memberi pemahaman pada murid-muridnya bahwa salah satu tanda agama yang benar adalah dimusuhi, bukankah Waraqoh bin an-Naufal seorang pendeta Nasrani yang sangat mendalami ajaran kitab Injil di awal keRasulan Nabi Muhammad SAW telah memberi peringatan;
لَمْ يَأْتِ رَجُلٌ قَط بِمِثْلِ مَا جِئْتَ بِهِ إِلا عُودِيَ. رواه البخاري
Tidak datang seorangpun dengan (ajaran) semisal yang engkau bawa melainkan dia akan dimusuhi (HR Bukhari)
Dan jika dahulu Rasulullah dimusuhi dan rintangi oleh kaumnya yang masih jahiliyyah maka KH. Nur asan dimusuhi oleh sesama umat Islam yang tidak rela jika penyimpangan dan bid’ah yang sudah mendarah daging dalam diri mereka diusik, hal ini sesuai dengan yang disabdakan Rasulullah SAW
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم " بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ . رواه مسلم
Dari Abi Hurairah dia berkata, Rasulullah SAW bersabda Islam dimulai dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah bagi mereka yang dianggap asing. (HR Muslim)
Di antara jasa beliau bagi umumnya umat Islam di Indonesia: Umat Islam jadi lebih mengenal dan dekat dengan al-Qur’an dan al-Hadits, yang dulunya pemahaman mereka dalam hukum agama didominasi dengan kitab-kitab kuning sekarang sudah mulai merujuk pada dalil-dalil Al Quran dan Al Hadits.
Beliau menjadi trendsetter bagi masyarakat Islam dalam banyak hal di antaranya; masalah busana muslim untuk kaum lelaki, sekarang ini sudah mulai banyak yang dapat kita lihat berpakaian celananya di atas mata kaki, padahal dulu ketika murid-murid KH. Nurhasan memulai banyak yang mentertawakan dan mengolok-olok dengan sindiran; celananya kebanjiran, kekurangan bahan dll. Demikian pula bagi kaum wanita pada tahun 70an umumnya perempuan muslimat termasuk para Ustazah tidak memakai kerudung, paling-paling hanya memakai selendang yang disampirkan di kepala, bahkan murid-murid perempuan KH. Nurhasan yang sudah mengamalkan menutup aurat dengan tertib diolok-olok bahwa kepala mereka korengan.
Dalam masalah anti rokok; jika MUI baru di tahun 2009 mengeluarkan fatwa haram merokok, maka KH. Nurhasan telah melarang dan mengharamkan murid-muridnya merokok sejak tahun 1960an dan itu benar-benar mereka patuhi, sehingga setiap ada keramaian yang diadakan murid-murid KH. Nurhasan pasti akan sangat mengecewakan pedagang rokok sebab tidak ada satupun yang membelinya.
Dalam masalah kemandirian dana yang bersumber dari infaq serta zakat; KH. Nurhasan telah berhasil menanamkan kefahaman pada murid-muridnya akan penting dan wajibnya membela agama Allah berupa infaq dan atau zakat, sehingga dapat dilihat di mana-mana murid-murid beliau ketika akan membangun masjid, musholla atau sarana-sarana ibadah lainnya tidak pernah mengemis-ngemis di tepi jalan, tiba-tiba telah berdiri bangunannya . Dan masih banyak lagi jasa-jasa beliau yang tidak bisa diungkap disini, mudah-mudahan Allah SWT mengganjar beliau atas semua amal-sholih dan jerih payahnya dengan ganjaran sebesar-besarnya- serta derajat setinggi-tingginya di surga. [8]
Kekhalifahan Syarif (1924)
Upaya terakhir untuk mengembalikan kekhalifahan dengan pengakuan ekumenis dilakukan oleh Syarif Husain, RajaHijaz dan Syarif Makkah, yang memimpin pada 11 Maret 1924 sampai 3 Oktober 1924, ketika ia meninggal dan tahta tersebut turun kepada anaknya Ali bin Husain, tetapi anaknya tidak ingin menerapkan kekhalifahan.[9]
Lihat pula
Referensi
- ^ Wasserstein, David (1993). The Caliphate in the West: An Islamic Political Institution in the Iberian Peninsula (snippet view). Oxford: Clarendon Press. hlm. 11. ISBN 978-0-19-820301-8. Diakses tanggal 5 September 2010.
- ^ Lane-Poole 2004, p. 71
- ^ Bosworth 2004, p. 63
- ^ O'Callaghan, J. F. (1983). A History of Medieval Spain. Ithaca: Cornell University Press. hlm. 119.
- ^ Lane-Poole 2004, p. 47
- ^ Bosworth 2004, p. 39
- ^ [1]
- ^ [2]
- ^ Bosworth 2004, p. 118
Bibliografi
- Bosworth, Clifford Edmund (2004) [First published 1996]. The New Islamic Dynasties: A Chronological and Genealogical Manual. New Edinburgh Islamic Surveys (edisi ke-2nd). Edinburgh University Press. ISBN 978-0-7486-2137-8. OCLC 56639413.
- Houtsma, M. Th.; Wensinck, A. J. (1993). E.J. Brill's First Encyclopaedia of Islam 1913–1936 (Reprint) . Volume IX. Leiden: BRILL. ISBN 978-90-04-09796-4.
- Lane-Poole, Stanley (1894). The Mohammedan Dynasties: Chronological and Genealogical Tables with Historical Introductions. Westminster: Archibald Constable and Company. OCLC 1199708.