Wilayah administratif khusus di Indonesia
Artikel ini adalah bagian dari seri |
Pembagian administratif Indonesia |
---|
Penataan daerah |
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) mengatur mengenai wilayah administrasi khusus di Indonesia, yang ditegaskan dalam Pasal 18B Ayat (1):[1]
Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat otonom atau khusus yang diatur dengan undang-undang.
Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah terbaru, yaitu UU No. 23 Tahun 2014, perbedaan definisi daerah khusus dan daerah istimewa tidak disebutkan sama sekali. Namun, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur status kekhususan dan keistimewaan dari daerah-daerah tersebut di Indonesia, serta menurut pendapat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK), dapat disimpulkan bahwa pengertian keduanya adalah sebagai berikut.
- Daerah otonom adalah daerah yang diberikan otonomi khusus, yaitu otonomi daerah dengan suatu kekhususan yang tidak dimiliki oleh daerah-daerah lainnya. Otonomi khusus tersebut terkait dengan kenyataan dan kebutuhan politik yang karena posisi dan keadaannya mengharuskan suatu daerah diberikan status khusus yang tidak bisa disamakan dengan daerah lainnya.[2]
- Daerah khusus adalah daerah dengan penyelenggaraan tata kelola daerah yang bersifat istimewa bila dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Keistimewaan daerah tersebut terkait dengan hak asal usul dan kesejarahan daerah tersebut sejak sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.[2]
Bendera | Lambang | Provinsi Otonom | Ibu kota |
---|---|---|---|
Aceh | Banda Aceh | ||
Daerah Istimewa Yogyakarta | Yogyakarta | ||
Daerah Khusus Ibukota Jakarta | Jakarta Pusat | ||
Papua | Jayapura | ||
Papua Barat | Manokwari | ||
Papua Pegunungan | Wamena | ||
- | - | Papua Selatan | Merauke |
- | - | Papua Tengah | Nabire |
Sejarah
Sebelum kemerdekaan
Perdebatan mengenai apa itu daerah istimewa sebenarnya diawali dari voting bentuk negara Indonesia dalam sidang BPUPKI.[3] Keadaan tersebut berlanjut dalam diskusi para bapak pendiri bangsa mengenai bentuk negara.[4] Akhirnya dicari jalan tengah untuk kedudukan daerah yang berstatus zelfbesturende landschappen dalam lingkungan negara Indonesia dengan memunculkan ide daerah istimewa.
Namun dalam sidang BPUPKI ada penyamaan antara zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen. Dengan demikian tidak hanya kesultanan maupun kerajaan, namun juga daerah mempunyai susunan asli, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya yang dapat ditetapkan sebagai daerah yang bersifat istimewa.[5] Negara menghormati dan memperhatikan susunan asli daerah tersebut. Namun belum ada bentuk jelas bagaimana daerah istimewa tersebut.
Dalam sidang PPKI konsepnya tidak jauh berbeda. Zelfbesturende landschappen ditegaskan hanya sebagai daerah bukan sebagai negara. Keistimewaannya pun dikaitkan dengan susunan asli dari daerah tersebut. Demikian pula susunan asli zelfstandige gemeenschappen atau Inheemsche Rechtsgemeenschappen seperti negeri di Minangkabau dihormati susunan aslinya. Panitia kecil yang dibentuk PPKI tidak memajukan usul apapun mengenai daerah istimewa.[6] PPKI memutuskan kedudukan daerah istimewa (Kooti – bahasa waktu itu) untuk sementara ditetapkan tidak ada perubahan dan penyelesaian selanjutnya diserahkan pada presiden.[7] Di luar sidang PPKI, Presiden Indonesia menetapkan empat piagam kedudukan untuk empat penguasa Jawa.[8]
Masa Revolusi Nasional
Daerah istimewa dalam UUD 1945 asli diatur dalam bab VII pasal 18 mengenai pemerintahan daerah.[9] Tidak banyak yang diberikan keterangan dalam pasal tersebut selain persyaratan “hak asal usul” dan istilah “daerah yang bersifat istimewa”.[10] Jika ditilik dari peristilahan maka daerah istimewa pada waktu itu dekat dengan istilah daerah otonomi khusus saat ini. Hanya saja pemberian otonomi khusus tersebut diberikan untuk daerah-daerah yang berstatus "zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen" pada zaman Hindia Belanda.[11] Sayangnya, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai daerah-daerah mana saja yang berstatus khusus tersebut.
Undang-undang yang mengatur daerah istimewa pertama kali adalah UU No. 22 Tahun 1948 mengenai Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini, syarat utama daerah istimewa adalah daerah yang telah memiliki pemerintahan sendiri sebelum adanya Republik Indonesia (zelfbestuur)[12] Sedangkan bentuk keistimewaannya adalah terletak pada kepala daerahnya.[13] Kepala daerah istimewa merupakan penguasa monarki.[14] Selain itu dalam daerah istimewa yang terdiri atas gabungan dua zelfbestuur diangkat wakil kepala daerah.[15] Selain itu daerah istimewa memiliki tingkatan daerah istimewa setingkat provinsi, setingkat kabupaten, dan setingkat desa.[12][16]
Masa RIS
Istilah daerah istimewa hanya muncul sekali dalam konstitusi RIS. Itupun hanya menyangkut satu daerah yang berstatus sebagai “Satuan Kenegaraan Yang Tegak Sendiri”.[17] Dalam konstitusi ini muncul istilah "Daerah Swapraja" sebagai ganti istilah Zelfbesturende landschappen. Ada empat pasal yang mengatur daerah swapraja pada konstitusi tersebut, mulai dari pasal 64-67.[18] Dalam konstitusi tersebut ditegaskan Negara mengakui semua swapraja yang ada. Kedudukan swapraja sangat kuat. Pengaturan daerah swapraja diserahkan pada daerah bagian yang memiliki daerah swapraja tersebut dengan perjanjian politik, bukan dengan Undang-undang daerah bagian. Pengurangan maupun penghapusan wilayah atau kekuasaan daerah swapraja memerlukan kuasa Undang-undang Federal RIS. Semua pejabat Indonesia yang bertugas di daerah swapraja diganti oleh pejabat daerah swapraja yang bersangkutan. Segala perselisihan yang terjadi antara daerah bagian dan daerah swapraja diputus oleh Mahkamah Agung Federal.
Masa Demokrasi Liberal
Sama seperti Konstitusi RIS, dalam UUD Sementara hanya muncul istilah daerah swapraja. Namun pengaturannya yang berbeda dengan Konstitusi RIS. Dalam UUD ini daerah swapraja diatur dalam pasal 132-133.[19] Kedudukan daerah swapraja diatur dengan Undang-undang, dengan pengertian keinginan daerah swapraja akan dipertimbangkan oleh pemerintah.[20] Pemerintahan di daerah swapraja harus berdasarkan otonomi, permusyawaratan, dan perwakilan rakyat dalam kerangka negara kesatuan. Daerah swapraja dapat dihapus atas perintah Undang-undang. Perselisihan yang terjadi antara pemerintah mengenai undang-undang yang mengatur daerah swapraja dan peraturan pelaksanaannya diadili oleh pengadilan perdata. Semua pejabat daerah bagian RIS diganti dengan pejabat Indonesia.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 mengenai pokok-pokok pemerintahan daerah merupakan undang-undang yang disusun sebagai pelaksanaan UUD Sementara 1950 Pasal 131 dan 132.[21] Dalam undang-undang ini, syarat utama daerah istimewa adalah daerah yang berkedudukan sebagai daerah swapraja dan dengan mengingat pentingnya posisi daerah tersebut dalam kepentingan nasional dan perkembangan masyarakat.[22] Keistimewaannya tetap berada pada kepala daerahnya.[23].[24] Selain itu dapat pula diangkat wakil kepala daerah.[25] Penetapan daerah swapraja menjadi daerah istimewa sebenarnya pemberian bentuk baru kepada swapraja tersebut sekaligus merupakan penghapusan pemerintahan swapraja itu.[26]
Masa Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru
Setelah Dekret Presiden 5 Juli 1959, aturan mengenai daerah istimewa kembali mengikuti UUD 1945.
Berbeda dengan dua undang-undang pemerintahan daerah sebelumnya, Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 mengenai pokok-pokok pemerintahan daerah, merupakan titik balik bagi daerah istimewa.[27] Semua daerah swaparaja yang masih ada dihapus.[28] Hanya Aceh dan Yogyakarta yang diakui sebagai daerah istimewa, itupun hanya sampai waktu tertentu.[29] Daerah istimewa tidak diatur dalam bab khusus namun hanya ditempatkan pada aturan peralihan. Pemerintah mendesain untuk menghapuskan daerah istimewa secara pelan namun pasti.[30] Dengan demikian akhirnya semua daerah di Indonesia sama kedudukannya dan hanya ada satu daerah khusus, Jakarta.[31]
Kebijakan pemerintah Orde Baru meneruskan kebijakan dari Orde lama. Hanya Daerah Istimewa Yogyakarta yang disebutkan secara tegas dalam aturan peralihan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974.[32] Nama Aceh sebagai daerah istimewa tidak satupun disebut dalam undang-undang tersebut. Alih-alih DKI Jakarta diberi jaminan untuk diatur dengan undang-undang tersendiri.[33]
Masa Reformasi
Setelah reformasi, penyelenggaraan pemerintahan di semua daerah diberlakukan sama, tidak terkecuali Aceh dan Yogyakarta.[34] Jaminan keistimewaan hanya diletakkan pada penjelasan sehingga kedudukannya tidak sekuat jaminan di dalam pasal-pasal.[35] Hanya DKI Jakarta yang diberi kekhususan sebagai Ibu kota Negara.[36] Selain itu Provinsi Timor Timur juga akan diberi otonomi khusus sebagai opsi untuk mencegah separatisme di daerah bekas koloni Portugis itu.[37].[38] Di sisi lain muncul konsep baru bahwa yang dimaksud daerah istimewa adalah desa, bukan zelfbestuur.[39]
UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh merupakan undang-undang pertama yang khusus mengatur Aceh. Undang-undang ini termasuk undang-undang pendek, sebab hanya terdiri dari 13 pasal. Dalam undang-undang ini keistimewaan Aceh didefinisikan sebagai kewenangan khusus untuk menyelenggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah.[40] Keistimewaan [Aceh] merupakan pengakuan dari bangsa Indonesia yang diberikan kepada Aceh karena perjuangan dan nilai-nilai hakiki masyarakat yang tetap dipelihara secara turun-temurun sebagai landasan spiritual, moral, dan kemanusiaan.[41]
Adapun penyelenggaraan keistimewaan meliputi penyelenggaraan kehidupan beragama, penyelenggaraan kehidupan adat, penyelenggaraan pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan Aceh.[42] Aceh diberi kewenangan untuk mengembangkan dan mengatur keistimewaan yang dimiliki dengan Peraturan Daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[43]
Pada tahun 2000, melalui Perubahan Kedua UUD, pasal 18 asli diamendemen menjadi pasal 18, 18A, dan 18B. Pengaturan daerah istimewa ditempatkan dalam pasal 18B ayat (1).[44] Istilah yang digunakan juga berbeda menjadi “satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa”. Pengaturannya didasarkan pada undang-undang, tanpa merinci syarat suatu daerah istimewa. Selain itu dalam pasal ini dibedakan antara “satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa” dan “satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus”.[45]
Pasca perubahan UUD 1945, daerah istimewa tidak sendiri lagi dengan adanya daerah khusus.[46] Walaupun demikian, daerah istimewa hanya diterjemahkan sebagai Daerah Istimewa Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta.[47] Sebagaimana undang-undang pemerintahan daerah semenjak 1965, undang-undang ini pun daerah istimewa hanya diatur dalam bab xiv ketentuan lain-lain pasal 225-227. Undang-undang ini mensyaratkan daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus harus diatur dengan undang-undang tersendiri.[48] Semua ketentuan dalam undang-undang ini, sepanjang tidak diatur dalam undang-undang tersendiri, berlaku juga bagi daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus.[49] Dari semua daerah istimewa dan daerah khusus hanya Aceh, DKI Jakarta, dan Papua yang memiliki UU tersendiri.[50] Sementara itu Yogyakarta yang tidak diatur dengan UU tersendiri, harus tunduk pada semua pengaturan undang-undang ini.[51]
UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh merupakan perpaduan harmonis antara UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Aceh. Undang undang ini termasuk undang-undang yang panjang sebab memiliki 273 pasal. Dalam UU ini, tidak ada definisi baru mengenai keistimewaan Aceh. Namun langsung kepada urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh merupakan pelaksanaan keistimewaan Aceh.[52] Selain itu keistimewaan Aceh juga dinikmati oleh Kabupaten dan Kota di lingkungan Aceh.[53]
UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan undang-undang keistimewaan Yogyakarta. Keistimewaan Yogyakarta didefinisikan sebagai keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki oleh DIY berdasarkan sejarah dan hak asal usul menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa. Kewenangan Istimewa merupakan wewenang tambahan tertentu yang dimiliki DIY selain wewenang sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah. Sebagaimana DKI Jakarta, kewenangan istimewa DIY terletak pada level provinsi.[54] DIY diberikan kewenangan untuk mengatur urusan keistimewaan dengan Perdais (Peraturan Daerah Istimewa).[55]
Bekas
Berau
Daerah Istimewa Berau (1953-1959) adalah daerah istimewa setingkat kabupaten di dalam lingkungan Provinsi Kalimantan. Daerah Istimewa Berau dibentuk oleh negara Indonesia dengan UU Darurat 3/1953 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II di Kalimantan karena hak asal usul yang dimilikinya. Daerah Istimewa Berau terdiri atas swapraja Sambaliung dan swapraja Gunung-Tabur. Keistimewaan Daerah Istimewa Berau meliputi pengangkatan Kepala Daerah Istimewa. Kepala Daerah Istimewa Berau dijabat oleh Sultan Muhammad Amminuddin. Daerah Istimewa Berau dihapus dengan UU 27/1959 tentang Penetapan UU Darurat 3/1953 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II di Kalimantan. Daerahnya dijadikan Kabupaten Berau di dalam lingkungan Provinsi Kalimantan Timur. Daerah istimewa ini merupakan daerah istimewa dengan wilayah terkecil sepanjang sejarah.
Bulongan (1953-1959)
Daerah Istimewa Bulongan adalah daerah istimewa setingkat kabupaten di dalam lingkungan Provinsi Kalimantan. Daerah Istimewa Bulongan dibentuk oleh negara Indonesia dengan UU Darurat 3/1953 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II di Kalimantan karena hak asal usul yang dimilikinya. Daerah Istimewa Bulongan terdiri atas swapraja Bulongan. Keistimewaan Daerah Istimewa Bulongan meliputi pengangkatan Kepala Daerah Istimewa. Kepala Daerah Istimewa Bulongan dijabat oleh Sultan Maulana Muhammad Jalaluddin, sampai mangkat dia pada 1958. Daerah Istimewa Bulongan dihapus dengan UU 27/1959 tentang Penetapan UU Darurat 3/1953 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II di Kalimantan. Daerahnya dijadikan Kabupaten Bulongan di dalam lingkungan Provinsi Kalimantan Timur. Kini wilayah bekas Daerah Istimewa Bulongan, yang meliputi kabupaten-kabupaten Bulungan, Malinau, Nunukan, Tana Tidung, dan Kota Tarakan, menjadi satu provinsi, Provinsi Kalimantan Utara pada 17 November 2012, terpisah dari Provinsi Kalimantan Timur.
Kalimantan Barat (1946-1950)
Daerah Istimewa Kalimantan Barat adalah satuan kenegaraan yang tegak sendiri dalam lingkungan Republik Indonesia Serikat yang berkedudukan sebagai daerah istimewa. Daerah Istimewa Kalimantan Barat dibentuk oleh Pemerintah Sipil Hindia Belanda pada 28 Oktober 1946 sebagai Dewan Borneo Barat dan mendapat kedudukan sebagai Daerah Istimewa pada 12 Mei 1947[56] Daerah Istimewa Kalimantan Barat meliputi Swapraja Sambas, Swapraja Pontianak, Swapraja Mampawah, Swapraja Landak, Swapraja Kubu, Swapraja Matan, Swapraja Sukadana, Swapraja Simpang, Swapraja Sanggau, Swapraja Tayan, Swapraja Sintang, Neo-swapraja Meliau, Neo-swapraja Pinoh, dan Neo-swapraja Kapuas Hulu.[57] Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat adalah Sultan Swapraja Pontianak, Sultan Hamid II.[56] Sebelum 5 April 1950 Satuan Kenegaraan Yang Tegak Sendiri Daerah Istimewa Kalimantan Barat bergabung dengan Negara Bagian Republik Indonesia (RI-Yogyakarta).[58] Daerahnya kemudian menjadi bagian dari Provinsi Administratif Kalimantan.[59] Kini wilayah Daerah Istimewa Kalimantan Barat menjadi Provinsi Kalimantan Barat yang telah dibentuk pada tahun 1956.[60]
Kutai (1953-1959)
Daerah Istimewa Kutai adalah daerah istimewa setingkat kabupaten di dalam lingkungan Provinsi Kalimantan. Daerah Istimewa Kutai dibentuk oleh negara Indonesia dengan UU Darurat 3/1953 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II di Kalimantan karena hak asal usul yang dimilikinya. Daerah Istimewa Kutai terdiri atas swapraja Kutai. Keistimewaan Daerah Istimewa Kutai meliputi pengangkatan Kepala Daerah Istimewa. Kepala Daerah Istimewa Kutai dijabat oleh Sultan A.M. Parikesit. Daerah Istimewa Kutai dihapus dengan UU 27/1959 tentang Penetapan UU Darurat 3/1953 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II di Kalimantan. Daerahnya dijadikan Kabupaten Kutai, Kota Balikpapan, dan Kota Samarinda di dalam lingkungan Provinsi Kalimantan Timur. Kini wilayah bekas Daerah Istimewa Kutai meliputi Kabupaten Kutai Kertanegara, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Timur, Kota Balikpapan, Kota Samarinda, dan Kota Bontang di dalam lingkungan Provinsi Kalimantan Timur.[61]
Surakarta (1945-1946)
Daerah Istimewa Surakarta adalah Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran yang diakui Negara Indonesia sebagai daerah yang memiliki sifat istimewa berdasarkan kedudukan kedua daerah tersebut sebagai Kooti. Pengakuan ini didasarkan atas Piagam Penetapan Presiden RI tertanggal 19 Agustus 1945. Karena perselisihan kedua kerajaan yang ada, Kepala Daerah Istimewa dipegang oleh Komisaris Tinggi yang dijabat oleh Gubernur RP Suroso.[62].[63], yang kemudian Gubernur Suryo.[64].[65] Karena berbagai alasan, baik persaingan dua kerajaan, politik, keamanan, Pemerintah Pusat mengeluarkan Penetapan Pemerintah Nomor 16/SD/1946 pada 15 Juli 1946, yang pada pokoknya berisi mengenai bentuk dan susunan pemerintahan di Surakarta dan Yogyakarta, yang satu di antaranya menjadikan Daerah Istimewa Surakarta sebagai Karesidenan biasa dibawah Pemerintah Pusat.[66] Kini wilayah bekas Daerah Istimewa Surakarta, yang meliputi Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Klaten, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sragen, Kabupaten Karanganyar, dan Kabupaten Wonogiri, serta Kota Surakarta, menjadi bagian Provinsi Jawa Tengah, yang dibentuk pada 1950.[67]
Catatan dan referensi
- ^ Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Satu Naskah
- ^ a b Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 81/PUU-VIII/2010, hal. 39.
- ^ Dalam pemungutan suara 55 memilih republik, 6 kerajaan, 1 abstain, dan 2 lain-lain. (Saafrudin Bahar, 1992:106)
- ^ Dalam panitia kecil perancang UUD yang diketuai Ir Sukarno, 17 suara memilih bentuk kesatuan dan 2 suara memilih bentuk federasi. (Saafrudin Bahar, 1992:174)
- ^ Saafrudin Bahar, 1992:218
- ^ Saafrudin Bahar, 1992:342
- ^ Saafrudin Bahar, 1992:348-350; Berita Republik Indonesia Tahun II No 7 Tahun 1946 hal 48
- ^ Keempat penguasa jawa itu adalah Seri Paduka (SP) Paku Buwono XII dari Surakarta; SP Hamengku Buwono IX dari Yogyakarta; SP Mangku Negara VIII dari Mangkunegaran Surakarta; dan SP Paku Alam VIII dari Paku Alaman Yogyakarta
- ^ “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.” UUD 1945 asli Pasal 18
- ^ Pada saat disahkan, UUD hanya terdiri atas pembukaan dan pasal-pasal. Penjelasan UUD baru dimuat pada tahun berikutnya. Lihat Saafrudin Bahar, 1992 dan Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7 Tahun 1946.
- ^ “Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut.” Penjelasan UUD 1945 Pasal 18 sub II.
- ^ a b “Daerah-daerah yang mempunyai hak-hak asal usul dan dizaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat Istimewa dengan Undang-Undang pembentukan termaksud dalam ayat (3) dapat ditetapkan sebagai Daerah Istimewa yang setingkat dengan Provinsi, Kabupaten atau Desa, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.” UU No. 22 Tahun 1948 Pasal 1 ayat (2)
- ^ “Daerah-daerah Istimewa yang sebagai termasuk dalam Undang-undang Dasar,Pasal 18, diatur juga tentang pemerintahannya di dalam Undang-undang Pokok ini. Tentang dasar pemerintahan di daerah Istimewa adalah tidak berbeda dengan pemerintahan di daerah biasa; kekuasaan pemerintahan ada ditangan rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Yang berbeda ialah tentang angkatan Kepala Daerahnya, lihatlah Pasal 18 ayat (5). Juga terdapat perbedaan sebagai tersebut dalam Pasal 18 ayat (6), yang mengenai angkatan Wakil Kepala Daerah…”. Penjelasan umum sub X nomor 29
- ^ “Kepala Daerah istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa didaerah itu dizaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu” UU No. 22 Tahun 1948 Pasal 18 ayat (5)
- ^ “…Adapun yang dimaksudkan menurut ayat (6) ini ialah jikalau ada dua daerah Istimewa dibentuk menjadi satu daerah menurut Undang-undang Pokok ini, maka perlulah diadakan Wakil Kepala Daerah dari keturunan salah satu daerah yang digabungkan tadi”. Penjelasan umum sub X nomor 29
- ^ “ Tingkatan Daerah Istimewa sama dengan tingkatan daerah biasa. Untuk menentukan tingkatan Daerah Istimewa, diselidiki lebih dulu keadaan daerah itu. Hatsil penyelidikan itu akan menentukan apakah Daerah Istimewa itu masuk tingkatan Provinsi, Kabupaten, ataukah desa. Jikalau masuk tingkatan Kabupaten, maka Daerah Istimewa itu masuk kedalam lingkungan Provinsi biasa”. Penjelasan umum sub XI nomor 30
- ^ “Republik Indonesia Serikat meliputi seluruh daerah Indonesia, yaitu daerah bersama:.……...Kalimantan Barat (Daerah istimewa)………..daerah bagian yang dengan kemerdekaan menentukan nasib sendiri…..” Pasal 2 Konstitusi RIS 1949
- ^ “Pasal 64 Daerah-daerah Swapraja yang sudah ada, diakui. Pasal 65 Mengatur kedudukan daerah-daerah Swapraja masuk dalam tugas dan kekuasaan daerah-daerah bagian yang bersangkutan dengan pengertian, bahwa mengatur itu dilakukan dengan kontrak yang diadakan antara daerah bagian dan daerah-daerah Swapraja bersangkutan dan bahwa dalam kontrak itu kedudukan istimewa Swapraja akan diperhatikan dan bahwa tiada suatupun dari daerah-daerah Swapraja yang sudah ada, dapat dihapuskan atau diperkecil bertentangan dengan kehendaknya, kecuali untuk kepentingan umum dan sesudah undang-undang federal yang menyatakan, bahwa, kepentingan umum menuntut penghapusan atau pengecilan itu, memberi kuasa untuk itu kepada pemerintah daerah bagian bersangkutan. Pasal 66 Sambil menunggu peraturan-peraturan sebagai dimaksud dalam pasal yang lalu dibuat, maka peraturan-peraturan yang sudah ada tetap berlaku, dengan pengertian, bahwa penjabat-pejabat Indonesia dahulu yang tersebut dalamnya diganti dengan penjabat-pejabat yang demikian pada daerah-bagian bersangkutan. Pasal 67 Perselisihan-perselisihan antara Daerah-daerah bagian dan daerah-daerah Swapraja bersangkutan tentang peraturan-peraturan sebagai dimaksud dalam pasal 65 dan tentang menjalankannya, diputuskan oleh Mahkamah Agung Indonesia baik pada tingkat yang pertama dan yang tertinggi juga, ataupun pada tingkat apel.” Pasal 64-67 Konstitusi RIS 1949
- ^ “Pasal 132 (1) Kedudukan daerah-daerah Swapradja diatur dengan undang-undang dengan ketentuan bahwa dalam bentuk susunan pemerintahannja harus diingat pula ketentuan dalam pasal 131, dasardaerah permusjawaratan dan perwakilan dalam sistem pemerintahan negara. (2) Daerah-daerah Swapradja jang ada tidak dapat dihapuskan atau diperketjil bertentangan dengan kehendaknja, ketjuali untuk kepentingan umum dan sesudah undang-undang jang menjatakan bahwa kepentingan umum menuntut penghapusan atau pengetjilan itu, memberi kuasa untuk itu kepada Pemerintah. (3) Perselisihan-perselisihan hukum tentang peraturan-peraturan jang dimaksud dalam ajat (1) dan tentang mendjalankannja diadili oleh badan pengadilan jang dimaksud dalam pasal 108. Pasal 133 Sambil menunggu ketentuan-ketentuan sebagai dimaksud dalam pasal 132 maka peraturanperaturan jang sudah ada tetap berlaku, dengan pengertian bahwa pendjabat-pedjabat daerah bagian dahulu jang tersebut dalam peraturan-peraturan itu diganti dengan pendjabat-pedjabat jang demikian pada Republik Indonesia.” UUD Sementara 1950 Pasal 132-133
- ^ “… pada pembentukan Undang-undang itu serta pemerintahannya, yang akan dilakukan dengan mengingati hak asal usul, akan didengar fihak yang bersangkutan...”. Penjelasan UU RIS No. 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara RIS menjadi UUD Sementara RI.
- ^ "Pasal 131 (1). Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri (otonom), dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dan dasar perwakilan dalam sistem pemerintahan negara. (2). Kepada daerah-daerah diberikan otonomi seluas-luasnya untuk mengurus rumah tangganya sendiri. (3). Dengan undang-undang dapat diserahkan penyelenggaraan tugas-tugas kepada daerah-daerah yang tidak termasuk dalam urusan rumah tangganya. Pasal 132 (1). Kedudukan daerah-daerah Swapraja diatur dengan undang-undang dengan ketentuan bahwa dalam bentuk susunan pemerintahannya harus diingat pula ketentuan dalam pasal 131, dasar-dasar permusyawaratan dan perwakilan dalam sistem pemerintahan negara. (2). Daerah-daerah Swapraja yang ada tidak dapat dihapuskan atau diperkecil bertentangan dengan kehendaknya, kecuali untuk kepentingan umum dan sesudah undang-undang yang menyatakan bahwa kepentingan umum menuntut penghapusan dan pengecilan itu, memberi kuasa untuk itu kepada Pemerintah. (3). Perselisihan-perselisihan hukum tentang peraturan-peraturan yang dimaksud dalam ayat 1 dan tentang menjalankannya diadili oleh bad an pengadilan yang dimaksud dalam pasal 108.” UUD Sementara 1950 Pasal 131-132
- ^ “Daerah Swapraja menurut pentingnya dan perkembangan masyarakat dewasa ini, dapat ditetapkan sebagai Daerah Istimewa tingkat ke I,II atau III atau Daerah Swatantra tingkat ke I, II atau III, yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri.” UU No. 1 Tahun 1957 Pasal 2 ayat (2)
- ^ “Kepala Daerah Istimewa diangkat dari calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu dijaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan serta adat istiadat dalam daerah itu ….” UU No. 1 Tahun 1957 Pasal 25 ayat (1)
- ^ “… Ad. d. Berlainan dengan Kepala Daerah biasa, maka Kepala Daerah Istimewa itu tidak dipilih oleh dan dari anggota-anggota DPRD. melainkan diangkat oleh Pemerintah Pusat dari keturunan keluarga yang berkuasa di Daerah itu pada zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai Daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan serta adat-istiadat dalam daerah itu. Ketentuan ini pada pokoknya sama bunyinya dengan apa yang ditentukan dalam Undang-undang Republik Indonesia No.22 tahun 1948. Jadi keistimewaannya dari suatu Daerah Istimewa masih tetap terletak dalam kedudukan Kepala Daerahnya. Berhubung dengan itu, maka mengenai perwakilan Kepala Daerah, serta penghasilan dan segala "emolumenten" yang melakat kepada jabatan Kepala Daerah itu agak berbeda pula daripada apa yang telah diuraikan mengenai hal tersebut bagi Kepala Daerah biasa. Seperti telah tercantum dalam Rancangan Undang-undang tersebut maka dalam suatu Daerah Istimewa dapat pula diangkat seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa. Hal ini misalnya dapat terjadi, apabila Daerah Istimewa itu terbentuk sebagai gabungan dari beberapa bekas Swapraja-Swapraja, seperti misalnya Daerah Istimewa Yogyakarta. Sesuai dengan sistem yang telah diuraikan di atas, maka Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa adalah Ketua dan Wakil Ketua serta anggota dari DPD. Berhubung dengan itu, maka apabila diangkat Wakil Kepala Daerah Istimewa tersebut, maka dengan sendirinya ialah yang mewakili Kepala Daerah Istimewa. Sedangkan apabila Wakil Kepala Daerah Istimewa ini juga berhalangan, maka Kepala Daerah Istimewa diwakili oleh seorang anggota DPD. yang dipilih oleh dan dari anggota DPD. Apabila dalam Daerah Istimewa itu tidak diangkat Wakil Kepala Daerah Istimewa, maka perwakilan Kepala Daerah Istimewa diatur seperti perwakilan Kepala Daerah biasa. Selain daripada itu, karena Kepala Daerah Istimewa ini diangkat oleh penguasa Pemerintah Pusat yang berwajib, maka: (1). ia tidak dapat ditumbangkan oleh DPRD., sedangkan (2). mengenai gaji dan segala "emolumenten" yang melekat kepada jabatan Kepala Daerah itu, tidak ditetapkan oleh Daerah itu sendiri, melainkan oleh Pemerintah Pusat." Penjelasan Umum UU No. 1 Tahun 1957
- ^ “Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat dari calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa yang diangkat dan diberhentikan oleh penguasa yang mengangkat/memberhentikan Kepala Daerah Istimewa, dengan memperhatikan syarat-syarat tersebut dalam ayat (1)” UU No. 1 Tahun 1957 Pasal 25 ayat (2)
- ^ “Mengenai Daerah Istimewa, setiap kali suatu daerah Swapraja itu dibentuk menjadi Daerah Istimewa, maka pada azasnya kita telah memberikan status baru kepada daerah Swapraja tersebut, yang bentuk susunan pemerintahannya menurut pasal 132 ayat 1 Undang-undang Dasar Sementara harus disesuaikan dengan dasar-dasar yang dimaksud dalam pasal 131 Undang-undang Dasar Sementara. Kepada daerah Swapraja itu mestilah diberikan pemerintahan berotonomi menurut undang-undang, sehingga tidak dibolehkan suatu daerah Swapraja terbebas dari pemerintahan otonomi yang bersifat demokratis menurut undang-undang itu, dimana kepada rakyat diserahkan hampir semua kekuasaan Swapraja itu, sehingga tinggal lagi urusan-urusan adat yang dapat dipertahankan dalam tangan Kepala Swapraja dan orang-orang besarnya selama rakyatnya bertakluk kepada hukum-adatnya. Tiap-tiap kali daerah Swapraja dibentuk menjadi Daerah Istimewa atau Daerah Swatantra biasa, maka hal itu berarti hapusnya daerah Swapraja yang bersangkutan, sehingga akibat-akibat dari penghapusan itu haruslah pula diatur tersendiri, jadi diantaranya mengenai Kepala-kepala/pembesar-pembesar dan pegawai-pegawai lainnya dari Swapraja-Swapraja, yang sedapat-dapatnya dimasukkan pula ke dalam formasi pegawai Daerah Istimewa/Swatantra itu sesuai dengan syarat-syarat kecakapannya dan lain-lain.” Penjelasan UU No. 1 Tahun 1957
- ^ “Sifat istimewa sesuatu Daerah yang berdasarkan atas ketentuan mengingat kedudukan dan hak-hak asal usul dalam pasal 18 Undang-undang Dasar yang masih diakui dan berlaku hingga sekarang atau sebutan Daerah Istimewa atas alasan lain, berlaku terus hingga dihapuskan” UU No. 18 Tahun 1965 Pasal 88 ayat (2) sub a
- ^ “Daerah-daerah Swapraja yang de facto dan/atau de jure sampai pada saat berlakunya Undang-undang ini masih ada dan wilayahnya telah menjadi wilayah atau bagian wilayah administratif dari sesuatu Daerah, dinyatakan hapus. Akibat-akibat dan kesulitan yang timbul diatur oleh Menteri Dalam Negeri atau Penguasa yang ditunjuk olehnya dan apabila dipandang perlu diatur dengan Peraturan Pemerintah” UU No. 18 Tahun 1965 Pasal 88 ayat (3)
- ^ “Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini maka: a."Daerah tingkat I dan Daerah Istimewa Yogyakarta" yang berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun 1957 serta Daerah Istimewa Aceh berdasarkan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. I/Missi/1959 adalah "Provinsi" termaksud pada pasal 2 ayat (1) sub a Undang-undang ini. …” UU No. 18 Tahun 1965 Pasal 88 ayat (1)
- ^ “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang, sekarang pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Baginya tidak terikat jangka masa jabatan dimaksud pasal 17 ayat (1) dan pasal 21 ayat (5), dengan pengertian bahwa bagi pengangkatan Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah kemudian, berlaku ketentuan proseduril menurut pasal 11 dan 12” Penjelasan UU No. 18 Tahun 1965
- ^ “Kecuali keistimewaan yang ada pada ketiga Daerah dimaksud di atas yaitu Daerah Khusus Ibu-Kota Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Istimewa Aceh, status atau sifat istimewa bagi Daerah-daerah lain tidak akan diadakan lagi pada saatnya diharapkan bahwa status atau sifat istimewa bagi Yogyakarta dan Aceh akan hapus” Penjelasan UU No. 18 Tahun 1965
- ^ Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut Undang, undang ini dengan sebutan Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya” UU No. 5 Tahun 1974 Pasal 91 huruf b
- ^ “Ibu kota Negara Republik Indonesia Jakarta, mengingat pertumbuhan dan perkembangannya dapat mempunyai dalam wilayahnya susunan pemerintahan dalam bentuk lain yang sejauh mungkin disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini, yang pengaturannya ditetapkan dengan Undang-undang”. UU No. 5 Tahun 1974 Pasal 6
- ^ “Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Istimewa Aceh dan Provinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada undang-undang ini.” UU No. 22 Tahun 1999 Pasal 122
- ^ “Pengakuan keistimewaan Provinsi Daerah Aceh didasarkan pada sejarah perjuangan kemerdekaan nasional, sedangkan isi keistimewaannya berupa pelaksanaan kehidupan beragama, adat, dan pendidikan serta memperhatikan peranan ulama dalam penetapan kebijlakan Daerah. Pengakuan keistimewaan Provinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada asal usul dan peranannya dalam sejarah perjuangan nasional, sedangkan isi keistimewaannya adalah Pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai dengan undang-undang ini.” Penjelasan UU No. 22 Tahun 1999 Pasal 122
- ^ “Ibu kota Negara Republik Indonesia, Jakarta karena kedudukannya diatur tersendiri dengan Undang-undang.” UU No. 22 Tahun 1999 Pasal 117
- ^ “(1) Provinsi Daerah Tingkat I Timor Timur dapat diberikan otonomi khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali ditetapkan lain oleh peraturan perundang-undangan. (2) Pengaturan mengenai penyelenggaraan otonomi khusus, sebagaimana dimaksud pada ayat (1),ditetapkan dengan Undang-undang”. UU No. 22 Tahun 1999 Pasal 118
- ^ “Pemberian otonomi khusus kepada Provinsi Daerah I Timor Timur didasarkan pada perjanjian bilateral antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Portugal di bawah supervisi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Yang dimaksud dengan ditetapkan lain adalah Ayat (1) Ketetapan MPR RI yang mengatur status Provinsi Daerah Tingkat I Timor Timur” Penjelasan UU No. 22 Tahun 1999 Pasal 118
- ^ “Desa berdasarkan Undang-undang ini adalah Desa atau yang disebut dengan nama lain sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa, sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 18 Undang- Undang Dasar 1945 Landasan penlikiran dalam pengaturan mengenai Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat.” Penjelasan Umum UU No. 22 Tahun 1999 Sub 9
- ^ UU No. 44 Tahun 1999 Pasal 1 angka 8
- ^ UU No. 44 Tahun 1999 Pasal 3 ayat (1)
- ^ UU 44 Tahun 1999 Pasal 3 ayat (2)
- ^ UU 44 Tahun 1999 Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 11
- ^ “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang” Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 setelah amendemen
- ^ Belum ada akses untuk melihat risalah sidang komisi MPR RI yang bertugas melakukan amendemen. Dengan demikian tidak dapat diketahui secara pasti alasan penggunaan kedua istilah yang berbeda
- ^ “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.” UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 2 Ayat (8)
- ^ “Yang dimaksud satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus adalah daerah yang diberikan otonomi khusus, sedangkan daerah istimewa adalah Daerah Istimewa Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta.” Penjelasan UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 2 Ayat (8)
- ^ “Daerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus selain diatur dengan Undang-Undang ini diberlakukan pula ketentuan khusus yang diatur dalam undang-undang lain.” Pasal 225 UU No. 32 Tahun 2004
- ^ “Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta, Provinsi Aceh, Provinsi Papua, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang tersendiri” UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 226 ayat (1)
- ^ “Yang dimaksud dengan Undang-Undang tersendiri adalah Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999 tentang Daerah Khusus Ibu kota Jakarta, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, jo Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Aceh, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.” Penjelasan UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 226 ayat (1)
- ^ “Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didasarkan pada Undang-Undang ini.” UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 226 ayat (2)
- ^ “Urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh merupakan pelaksanaan keistimewaan Aceh yang antara lain meliputi: (a). penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumat beragama; (b). penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam; (c). penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syari’at Islam; (d). peran ulama dalam penetapan kebijakan Aceh; dan (e). penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah haji sesuai dengan peraturan perundangundangan.” UU No. 11 Tahun 2006 Pasal 16 ayat (2)
- ^ “Urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan khusus pemerintahan kabupaten/kota adalah pelaksanaan keistimewaan Aceh yang antara lain meliputi: (a). penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumat beragama; (b). penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam; (c). penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syari’at Islam; dan (d). peran ulama dalam penetapan kebijakan kabupaten/kota.” UU No. 11 Tahun 2006 Pasal 17 ayat (2)
- ^ “Kewenangan Istimewa DIY berada di Provinsi.” UU No. 13 Tahun 2012 Pasal 6
- ^ “(1) Kewenangan DIY sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam urusan Pemerintahan Daerah DIY sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah dan urusan Keistimewaan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. (2) Kewenangan dalam urusan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; b. kelembagaan Pemerintah Daerah DIY; c. kebudayaan; d. pertanahan; dan e. tata ruang. (3) Penyelenggaraan kewenangan dalam urusan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal dan keberpihakan kepada rakyat. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan dalam urusan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Perdais.” UU No. 13 Tahun 2012 Pasal 7
- ^ a b Amran Halim (ed). (1998) 30 Tahun Indonesia Medeka. Jilid 1. Cetakan 8. Jakarta: Sekretariat Negara RI dan PT Citra Lamtoro Gung Persada
- ^ Data swapraja ini diambil dari UU 27/1959 tentang tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1953 Nomor 9), sebagai Undang-Undang
- ^ Amran Halim (ed). (1998) 30 Tahun Indonesia Medeka. Jilid 2. Cetakan 8. Jakarta: Sekretariat Negara RI dan PT Citra Lamtoro Gung Persada
- ^ berdasarkan kesepakatan RIS-RI (lihat PP RIS 21/1950)
- ^ UU 25/1956 dan UU 27/1959
- ^ UU 27/1959 dan UU 47/1999
- ^ Gubernur RP Suroso adalah Gubernur Provinsi Administratif Jawa Tengah
- ^ Nasution, Abdul Haris. (1993) Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: diplomasi atau bertempur. Jilid 2 Cet 5. Bandung: Disjarah Angkatan Darat dan Penerbit Angkasa
- ^ Gubernur Suryo adalah Gubernur Provinsi Administratif Jawa Timur
- ^ Nasution, Abdul Haris. (1996) Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: diplomasi sambil bertempur. Jilid 3 Cet 6. Bandung: Disjarah Angkatan Darat dan Penerbit Angkasa
- ^ Nasution, Abdul Haris. (1996) Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: periode linggajati. Jilid 4 Cet 8. Bandung: Disjarah Angkatan Darat dan Penerbit Angkasa
- ^ UU Negara bagian RI-Yogyakarta 10/1950
Lihat juga
Sumber
- UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia
- UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh
- UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
- UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta
- UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua
- Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua