Batavia

ibu kota Hindia Belanda

Batavia atau Batauia[1] adalah ibu kota Hindia Belanda, yang wilayahnya kini kurang lebih menjadi Jakarta, ibu kota Indonesia. Batavia didirikan di pelabuhan bernama Jayakarta yang direbut dari kekuasaan Kesultanan Banten. Sebelum dikuasai Banten, bandar ini dikenal sebagai Kalapa atau Sunda Kelapa, dan merupakan salah satu titik perdagangan Kerajaan Sunda. Dari kota pelabuhan inilah VOC mengendalikan perdagangan dan kekuasaan militer dan politiknya di wilayah Nusantara.

Batavia

1619–1949
{{{coat_alt}}}
Lambang
Semboyan"Dispereert Niet" (Belanda: "Jangan berputus asa")
Peta Batavia ca 1914
Peta Batavia ca 1914
StatusKoloni Belanda
Ibu kota
Pemukiman utamaWeltevreden
Sejarah 
• Invasi VOC
30 Mei 1619
1806–1816
1942–1945
27 Desember 1949
Luas
 - Total
182 km2[a]
Mata uangGulden Hindia Belanda
Didahului oleh
Digantikan oleh
Jayakarta
Jakarta
Sekarang bagian dari Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini
Detil perisai pada lambang kota Batavia

Nama Batavia dipakai sejak sekitar tahun 1621 sampai tahun 1942, ketika Hindia Belanda jatuh ke tangan Jepang. Sebagai bagian dari de-Nederlandisasi, nama kota diganti menjadi Djakarta.

Asal nama

Nama Batavia berasal dari suku Batavi, sebuah suku Jermanik yang bermukim di tepi Sungai Rhein pada Zaman Kekaisaran Romawi. Bangsa Belanda dan sebagian bangsa Jerman adalah keturunan dari suku ini.

Batavia juga merupakan nama sebuah kapal layar tiang tinggi yang cukup besar asal Belanda yang dimililki perusahaan Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC), dibuat pada 29 Oktober 1628, dinakhodai oleh Kapten Adriaan Jakobsz. Kapal tersebut kini berada di sebuah museum di Fremantle, Australia. Kapal tersebut akhirnya kandas di pesisir Beacon Island, Australia Barat. Dan seluruh awaknya yang berjumlah 268 orang berlayar dengan perahu sekoci darurat menuju kota Batavia ini.

Sejarah

 
Kastil Batavia, dilihat dari Kali Besar Barat oleh Andries Beeckman, sekitar tahun 1656-1658

Sunda Kelapa

Bukti tertua mengenai eksistensi permukiman penduduk yang sekarang bernama Jakarta adalah Prasasti Tugu yang tertanam di desa Batu Tumbuh, Jakarta Utara. Prasasti tersebut berkaitan dengan 4 prasasti lain yang berasal dari zaman kerajaan Hindu, Tarumanegara ketika diperintah oleh Raja Purnawarman. Berdasarkan Prasasti Kebon Kopi, nama Sunda Kalapa (Sunda Kelapa) sendiri diperkirakan baru muncul abad sepuluh.

Permukiman tersebut berkembang menjadi pelabuhan, yang kemudian juga dikunjungi oleh kapal-kapal dari mancanegara. Hingga kedatangan orang Portugis, Sunda Kalapa masih di bawah kekuasaan kerajaan Hindu lain, Pakuan Pajajaran. Sementara itu, Portugis telah berhasil menguasai Malaka, dan tahun 1522 Gubernur Portugis d'Albuquerque mengirim utusannya, Enrique Leme yang didampingi oleh Tomé Pires untuk menemui Raja Sangiang Surawisesa. Pada 21 Agustus 1522 ditandatangani perjanjian persahabatan antara Pajajaran dan Portugis. Diperkirakan, langkah ini diambil oleh sang raja Pakuan Pajajaran tersebut guna memperoleh bantuan dari Portugis dalam menghadapi ancaman Kesultanan Demak, yang telah menghancurkan beberapa kerajaan Hindu, termasuk Majapahit. Namun ternyata perjanjian ini sia-sia saja, karena ketika diserang oleh Kerajaan Islam Demak, Portugis tidak membantu mempertahankan Sunda Kalapa.

Jayakarta

Pelabuhan Sunda Kalapa diserang oleh tentara Kesultanan Demak pada 1526, yang dipimpin oleh Fatahillah, Panglima Perang asal Gujarat, India, dan jatuh pada 22 Juni 1527, dan setelah berhasil direbut, namanyapun diganti menjadi Jayakarta. Setelah Fatahillah berhasil mengalahkan dan mengislamkan Banten, Jayakarta berada di bawah kekuasaan Banten, yang kini menjadi kesultanan. Orang Sunda yang membelanya dikalahkan dan mundur ke arah Bogor. Sejak itu, dan untuk beberapa dasawarsa abad ke-16, Jayakarta dihuni orang Banten yang terdiri dari orang yang berasal dari Demak dan Cirebon.

Sampai Jan Pieterszoon Coen menghancurkan Jayakarta (1619), orang Banten bersama saudagar Arab dan Tionghoa tinggal di muara Ciliwung. Selain orang Tionghoa, semua penduduk ini mengundurkan diri ke daerah kesultanan Banten waktu Batavia menggantikan Jayakarta (1619).

Batavia

 
Bendera maritim yang pernah digunakan Batavia dari akhir abad ke-18 hingga abad ke-19

Pieter Both yang menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama, lebih memilih Jayakarta sebagai basis administrasi dan perdagangan VOC daripada pelabuhan Banten, karena pada waktu itu di Banten telah banyak kantor pusat perdagangan orang-orang Eropa lain seperti Portugis, Spanyol kemudian juga Inggris, sedangkan Jayakarta masih merupakan pelabuhan kecil.

Pada tahun 1611 VOC mendapat izin untuk membangun satu rumah kayu dengan fondasi batu di Jayakarta, sebagai kantor dagang. Kemudian mereka menyewa lahan sekitar 1,5 hektare di dekat muara di tepi bagian timur Sungai Ciliwung, yang menjadi kompleks perkantoran, gudang dan tempat tinggal orang Belanda, dan bangunan utamanya dinamakan Nassau Huis.

Ketika Jan Pieterszoon Coen menjadi Gubernur Jenderal (16181623), ia mendirikan lagi bangunan serupa Nassau Huis yang dinamakan Mauritius Huis, dan membangun tembok batu yang tinggi, di mana ditempatkan beberapa meriam. Tak lama kemudian, ia membangun lagi tembok setinggi 7 meter yang mengelilingi areal yang mereka sewa, sehingga kini benar-benar merupakan satu benteng yang kokoh, dan mulai mempersiapkan untuk menguasai Jayakarta.

Dari basis benteng ini pada 30 Mei 1619 Belanda menyerang Jayakarta, yang memberi mereka izin untuk berdagang, dan membumihanguskan keraton serta hampir seluruh pemukiman penduduk. Berawal hanya dari bangunan separuh kayu, akhirnya Belanda menguasai seluruh kota. Semula Coen ingin menamakan kota ini sebagai Nieuwe Hollandia, namun De Heeren Zeventien di Belanda memutuskan untuk menamakan kota ini menjadi Batavia, untuk mengenang orang Batavia.

Jan Pieterszoon Coen menggunakan semboyan hidupnya “Dispereert niet, ontziet uw vijanden niet, want God is met ons” menjadi semboyan atau motto kota Batavia, singkatnya “Dispereert niet” yang berarti “Jangan putus asa”.

Pada 4 Maret 1621, pemerintah Stad Batavia (kota Batavia) dibentuk[1]. Jayakarta dibumiratakan dan dibangun benteng yang bagian depannya digali parit. Di bagian belakang dibangun gudang juga dikitari parit, pagar besi dan tiang-tiang yang kuat. Selama 8 tahun kota Batavia sudah meluas 3 kali lipat. Pembangunannya selesai pada tahun 1650. Kota Batavia sebenarnya terletak di selatan Kastil yang juga dikelilingi oleh tembok-tembok dan dipotong-potong oleh banyak parit.

Pada awal abad ke-17 perbatasan antara wilayah kekuasaan Banten dan Batavia mula-mula dibentuk oleh Kali Angke dan kemudian Kali Cisadane. Kawasan sekitar Batavia menjadi kosong. Daerah di luar benteng dan tembok kota tidak aman, antara lain karena gerilya Banten dan sisa prajurit Mataram (1628-1629) yang tidak mau pulang.

Beberapa persetujuan bersama dengan Banten (1659 dan 1684) dan Mataram (1652) menetapkan daerah antara Cisadane dan Citarum sebagai wilayah kompeni. Baru pada akhir abad ke-17 daerah Jakarta sekarang mulai dihuni orang lagi, yang digolongkan menjadi kelompok budak belian dan orang pribumi yang bebas.

Pada 5 Januari 1699 Batavia dilanda gempa bumi berkekuatan 7,4 hingga 8,0 Mw berpusat di wilayah Selat Sunda, hingga menyebabkan kerusakan meluas dan menewaskan 128 orang.

Pada 1 April 1905 nama Stad Batavia diubah menjadi Gemeente Batavia. Pada 8 Januari 1935 nama kota ini diubah lagi menjadi Stad Gemeente Batavia[2].

Setelah pendudukan Jepang pada tahun 1942, nama Batavia diganti menjadi "Jakarta" oleh Jepang untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II.

Penduduk

Orang Belanda jumlahnya masih sedikit sekali. Ini karena sampai pertengahan abad ke-19 mereka kurang disertai wanita Belanda dalam jumlah yang memadai. Akibatnya, banyak perkawinan campuran dan memunculkan sejumlah Indo di Batavia. Tentang para budak itu, sebagian besar, terutama budak wanitanya berasal dari Bali, walaupun tidak pasti mereka itu semua orang Bali. Sebab, Bali menjadi tempat singgah budak belian yang datang dari berbagai pulau di sebelah timurnya.

Sementara itu, orang yang datang dari Tiongkok, semula hanya orang laki-laki, karena itu mereka pun melakukan perkawinan dengan penduduk setempat, terutama wanita Bali dan Nias. Sebagian dari mereka berpegang pada adat Tionghoa (misalnya penduduk dalam kota dan Cina Benteng di Tangerang), sebagian membaur dengan pribumi (terutama dengan orang Jawa dan membentuk kelompok Betawi Ora, misalnya: di sekitar Parung). Tempat tinggal utama orang Tionghoa adalah Glodok, Pinangsia dan Jatinegara.

Keturunan orang India -orang Koja dan orang Bombay- tidak begitu besar jumlahnya. Demikian juga dengan orang Arab, sampai orang Hadhramaut datang dalam jumlah besar, kurang lebih tahun 1840. Banyak di antara mereka yang bercampur dengan wanita pribumi, namun tetap berpegang pada kearaban mereka.

Di dalam kota, orang bukan Belanda yang selamanya merupakan mayoritas besar, terdiri dari orang Tionghoa, orang Mardijker dari India dan Sri Lanka dan ribuan budak dari segala macam suku. Jumlah budak itu kurang lebih setengah dari penghuni Kota Batavia.

Orang Jawa dan Banten tidak diperbolehkan tinggal menetap di dalam kota setelah 1656. Pada tahun 1673, penduduk dalam kota Batavia berjumlah 27.086 orang. Terdiri dari 2.740 orang Belanda dan Indo, 5.362 orang Mardijker, 2.747 orang Tionghoa, 1.339 orang Jawa dan Moor (India), 981 orang Bali dan 611 orang Melayu. Penduduk yang bebas ini ditambah dengan 13.278 orang budak (49 persen) dari bermacam-macam suku dan bangsa.

Sepanjang abad ke-18, kelompok terbesar penduduk kota berstatus budak. Komposisi mereka cepat berubah karena banyak yang mati. Demikian juga dengan orang Mardijker. Karena itu, jumlah mereka turun dengan cepat pada abad itu dan pada awal abad ke-19 mulai diserap dalam kaum Betawi, kecuali kelompok Tugu, yang sebagian kini pindah di Pejambon, di belakang Gereja Immanuel Jakarta. Orang Tionghoa selamanya bertambah cepat, walaupun sepuluh ribu orang dibunuh pada tahun 1740 di dalam dan di luar kota. Foto pada kartu pos dari awal abad ke 20 menggambarkan rumah-rumah Tionghoa di Mester atau Meester Cornelis sebutan Jatinegara pada zaman penjajahan Belanda dulu.

Penduduk Batavia yang kemudian dikenal sebagai orang Betawi sebenarnya adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa.

Wali kota

Wali Kota Batavia
Burgemeester van Batavia
 
Lambang Kota Batavia
 
Pemegang jabatan terakhir
Sastromuljono

20 April 1949 – 30 Maret 1950
KediamanOfficiële Huis van de Burgemeester van Batavia Nomor 7, Burgemeester Bisschopsplein, Menteng, Batavia
KantorStad Gemeentehuis Batavia, Koningsplein Zuid, Gambir, Weltevreden
Pejabat perdanaGerardus Johannes Bisschop
Dibentuk21 Agustus 1916 (1916-08-21)
Jabatan dihapus30 Maret 1950; 74 tahun lalu (1950-03-30)
SuksesiWali Kota Jakarta Raya

Wali Kota Batavia (bahasa Belanda: Burgemeester van Batavia, bahasa Betawi: Wali Koté Betawi) adalah seorang kepala pemerintahan yang memimpin Kota Batavia di masa Hindia Belanda. Jabatan ini umumnya diduduki oleh pejabat-pejabat Belanda, baik pribumi maupun nonpribumi. Dalam pelaksanaan pemerintahan kota, Wali Kota Batavia didampingi oleh wakil wali kota.

Masa Pendudukan Belanda di Batavia

Menyusul kembalinya Belanda ke Indonesia, NICA menunjuk Archibald Bogaardt sebagai Penjabat Wali Kota Batavia (bahasa Belanda: Waarnemend Burgemeester van Batavia). Sebelumnya, Bogaardt sudah pernah ditunjuk sebagai wali kota pada tahun 1941, tetapi kekuasaannya hilang setelah kedatangan Jepang pada tahun 1942. NICA menunjuk Bogaardt dalam suatu pemerintahan bayangan, di mana Wali Kota Jakarta Raya, Suwirjo diklaim sebagai wali kota republikan atau dalam bahasa Belanda: republikeinse burgemeester. Penerus Bogaardt, E. M. Stok, memperoleh kekuasaan de facto setelah Belanda menduduki Jakarta pada Agresi Militer I.

Berikut merupakan daftar Wali Kota Batavia.

Nomor urut Wali Kota Potret Awal Akhir Masa jabatan Wakil Ref.
1 Gerardus Johannes Bisschop
(1868–1939)
  21 Agustus 1916 29 Juni 1920 3 tahun, 313 hari [2]
Hendrik van Breen
(Penjabat)
(1881–1964)
  29 Juni 1920 7 Agustus 1920 39 hari [2]
2 A. Meijroos   7 Agustus 1920 20 April 1933 12 tahun, 256 hari Husni Thamrin
1929–tidak diketahui
[2][3]
3 E. A. Voorneman   20 April 1933 1941 7–8 tahun [2][4]
Archibald Theodoor Bogaardt
(Penjabat)
(1908–1983)
  1941 1941 0 tahun
(3) E. A. Voorneman   1941 5 Maret 1942 0–1 tahun
Lowong 5 Maret 1942 23 September 1945 3 tahun, 202 hari Tidak ada
Lowong 23 September 1945 21 Juli 1947 1 tahun, 301 hari Tidak ada
Archibald Theodoor Bogaardt
(Penjabat)
(1908–1983)
  1 November 1946 28 Juni 1947 239 hari [5][6][7]
Elbert Marinus Stok
(Penjabat)
(1900–1980)
  28 Juni 1947 26 Agustus 1948 1 tahun, 59 hari [7]
4 Robert Thomas Praaning 26 Agustus 1948 20 April 1949 237 hari [8]
Sastromuljono
(Penjabat)
(1898–1956)
  20 April 1949 30 Maret 1950 344 hari

Masa Pendudukan Jepang di Batavia

Di awal transisi kekuasaan antara Belanda dengan Jepang, Pemerintah Jepang menunjuk Dahlan Abdullah sebagai penjabat wali kota saat itu. Pemerintah juga melakukan perubahan nama jabatan, yang mana sebelum Desember 1942 disebut sebagai Wali Kota Istimewa Batavia (Jepang: バタビア特別市長) dan setelahnya disebut Wali Kota Istimewa Jakarta (Jepang: ジャカルタ特別市長).

Nomor urut Wali Kota Potret Awal Akhir Masa jabatan Wakil Ref.
Dahlan Abdullah
(Penjabat)
(1895–1950)
  5 Maret 1942 8 Agustus 1942 156 hari [9]
1 Sakae Tsukamoto
塚本栄
(1880–tidak diketahui)
8 Agustus 1942 14 Juni 1943 310 hari [9]
2 Katsuyasu Yoshie
吉江勝保
14 Juni 1943 17 Juli 1944 1 tahun, 33 hari
3 Shigeo Hasegawa
長谷川茂雄
  17 Juli 1944 23 September 1945 1 tahun, 68 hari

Referensi

  1. ^ (Belanda) Institut voor taal-, land- en volkenkunde von Nederlandsch Indië, The Hague. Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indië. 3. M. Nijhoff, 1855. hlm. 289. 
  2. ^ a b c d "Decentralisatie-Jubilea: Batavia en Buitenzorg". De Indische Courant (dalam bahasa Belanda). 28 Maret 1940. 
  3. ^ "Mr. Meijroos Burgemeester van Batavia". De Telegraaf (dalam bahasa Belanda). 9 Agustus 1920. Diakses tanggal 19 November 2015. 
  4. ^ "Burgemeester van Batavia Ir. E.A. Voorneman benoemd". De Indische Courant (dalam bahasa Belanda). 20 April 1933. Diakses tanggal 19 November 2015. 
  5. ^ "HUISVESTING BATAVIA". Het dagblad. 1 November 1946. Diakses tanggal 15 Desember 2019. 
  6. ^ "Rijswijks Scheidende Burgermeester Archibald Bogaardt: 'In de vijfde werk ik van de HBS gefflikker'". Het vrije volk: democratisch-socialistisch dagblad (dalam bahasa Bahasa Belanda). 8 September 1973. Diakses tanggal 19 November 2015. 
  7. ^ a b "Nieuwe wnd. burgemeester van Batavia". Leeuwarder courant. 26 Juni 1947. Diakses tanggal 15 Desember 2019. 
  8. ^ "NIEUWE BURGEMEESTER". Het dagblad. 26 August 1948. Diakses tanggal 15 December 2019. 
  9. ^ a b 秦郁彥, ed. (2001-11). 日本官僚制総合事典 1868-2000: 付主要企業トップ一覧 (dalam bahasa Jepang). 東京大学出版会. hlm. 140. ISBN 4130301217. 

Lihat pula

Referensi

Catatan

  1. ^ Pada tahun 1926 sebagai Stadsgemeente Batavia

Pranala luar