Partai Sosialis Indonesia

Bekas partai politik di Indonesia

Partai Sosialis Indonesia (PSI) adalah sebuah partai politik di Indonesia dari tahun 1948 hingga 1960, ketika partai ini dilarang oleh Presiden Soekarno.

Partai Sosialis Indonesia
SingkatanPSI
Ketua umumSutan Sjahrir
Dibentuk13 Februari 1948 (1948-02-13)
Dibubarkan17 Agustus 1960 (1960-08-17)
Kantor pusatJl. Cisadane No. 6, Jakarta
Surat kabarPedoman
Sayap pemudaGerakan Pemuda Sosialis
Sayap wanitaGerakan Wanita Sosialis
IdeologiSosialisme demokratis
Posisi politikSayap kiri
Afiliasi internasionalKonferensi Sosialis Asia
WarnaMerah
Lambang pemilu
Bintang Merah

Sejarah

Pendirian partai

Cikal bakal PSI adalah Partai Sosialis Indonesia (PARSI) yang didirikan dan diketuai oleh Amir Sjarifoeddin di Yogyakarta pada 12 November 1945 dan Partai Rakjat Sosialis (PARAS) yang didirikan oleh Sutan Sjahrir pada 19 November 1945 yang kemudian bergabung (fusi) dengan nama Partai Sosialis. Pada tanggal 3 Desember 1945, kedua partai tersebut (PARSI dan PARAS) mengumumkan "Kongres Fusi" yang akan diadakan di Cirebon pada tanggal 16-17 Desember 1945.[1][2] Kongres fusi pada 17 Desember 1945, dihadiri sekitar 57 anggota pimpinan dari kedua partai menyepakati penggabungan partai. “Berdasarkan front rakyat, antikapitalisme, dan antiimperialisme, sekali lagi di Cirebon, Parsi dan Paras bergabung menjadi satu, Partai Sosialis. Sjahrir kini menjadi ketua partai yang baru, sedangkan Amir Sjarifuddin menjadi wakil ketua,” tulis Mrazek.[3] Partai Sosialis ini populer di kalangan intelektual muda, sebagian besar pelajar dan mahasiswa serta anggota gerakan bawah tanah yang dipimpin oleh kedua pria tersebut selama pendudukan Jepang di Indonesia.[4] Dalam struktur representasi kursi partai pada Komite Nasional Indonesia Pusat yang didirikan pada 16-17 Oktober 1945, Partai Sosialis memiliki 35 kursi (17,5%) dari 200 kursi yang ada.[5]

Posisi dalam pemerintahan

Pada akhir tahun 1945 (dalam rapat pada 20 Desember 1945), Partai Sosialis memperoleh lima (menempatkan lima orang perwakilan) dari 25 kursi di Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, lembaga legislatif de facto sebelum adanya DPR. Anggota Partai Sosialis, Soepeno terpilih sebagai ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat.[6]

Perjanjian Linggajati

Pada tahun 1946, terjadi krisis dalam pemerintahan Kabinet Sjahrir III, karena pemerintahan dianggap menjual negara dengan menyetujui perundingan Linggarjati. Perundingan Linggarjati menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia, contohnya beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata. Partai-partai tersebut menyatakan bahwa perundingan itu adalah bukti lemahnya pemerintahan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6/1946 ditetapkan pada tanggal 28 Desember 1946, dimana bertujuan menambah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat agar pemerintah mendapat suara untuk mendukung perundingan Linggarjati. Peraturan Presiden No. 6/1946 berisi tentang penyempurnaan susunan Komite Nasional Indonesia Pusat, berbentuk penambahan jumlah anggotanya dari 200 menjadi 514 orang. Selain itu, hal ini bertujuan supaya lebih dapat mencakup semua lapisan dan golongan yang ada.

Sidang KNIP 2 Maret 1947

Sidang Komite Nasional Indonesia Pusat pada 2 Maret 1947 menyetujui tindakan Presiden Soekarno menambah jumlah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat tersebut. Berdasarkan struktur representasi jumlah kursi partai pada KNIP terhitung sejak 2 Maret 1947, Partai Sosialis memperoleh 35 kursi dari 514 kursi keseluruhan.[5] Mr. Assaat terpilih sebagai Ketua KNIP dan Ketua Badan Pekerja KNIP. Dalam persetujuan penambahan anggota KNIP, maka Badan Pekerja KNIP yang lama dibubarkan. Pada Sidang KNIP tanggal 3 Maret 1947 disusun dan dipilih Badan Pekerja KNIP yang baru. Jumlah anggota Badan Pekerja KNIP meningkat dari 25 orang menjadi 47 orang. Partai Sosialis memperoleh lima (menempatkan lima orang perwakilan) dari 47 kursi di Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat tersebut. Kelima orang tersebut ialah Mr. Assaat, Soebadio Sastrosatomo, Sugondo Djojopuspito, Soepeno, dan Tan Ling Djie.[7][8] Periode Partai Sosialis inilah yang sejak bulan November 1945 sampai pertengahan tahun 1947 menguasai kabinet, yaitu Kabinet Syahrir I, II, dan III serta Kabinet Amir Syarifuddin I dan II. Bahkan beberapa anggota Partai Sosialis ini banyak duduk di kabinet sebagai menteri kala itu. Pada Masa Revolusi Nasional Indonesia tersebut, dengan berkuasanya Syahrir dan Syarifuddin, Partai Sosialis tampak kuat. Bahkan punya laskar bernama Pesindo yang terkenal solid persenjataannya ketimbang yang lain.[9] Pesindo ini di kemudian hari pasca Pemberontakan PKI 1948 menjadi Pemuda Rakyat.

Pasca perpecahan dan Pemberontakan Madiun

Ketika terjadi keretakan antara kelompok Syahrir dengan kelompok Amir Syarifuddin akibat perbedaan paham dengan tokoh-tokoh yang cenderung pro komunisme dalam pimpinan Partai Sosialis; sesudah jatuhnya Kabinet Amir Syarifuddin II, Syahrir memilih untuk membentuk partai baru, yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI) pada tanggal 12 Februari 1948 di Yogyakarta dan memberikan dukungan kepada Kabinet Hatta I. Sedangkan kelompok Amir Syarifuddin mempertahankan Partai Sosialis yang kemudian menjadi oposisi bersama Sayap Kiri dan kelak dalam Pemberontakan PKI 1948, menggabungkan diri ke dalam Front Demokrasi Rakyat. Menurut dr. A. Halim (simpatisan PSI, namun bukan anggota partai), pendirian PSI pada 12 Februari 1948 terjadi dalam pertemuan di rumah Ibu Soebadio Sastrosatomo di Kliteran. Hadir dalam rapat itu kira-kira sepuluh orang, Soebadio Sastrosatomo, Soepeno, Djohan Sjahroezah, Sugondo Djojopuspito, Iskandar Tedjasukmana, dan lain-lain (termasuk dr. A. Halim). Dalam rapat, dengan suara bulat diputuskan untuk mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dengan Sutan Sjahrir sebagai ketua yang terlepas dari Partai Sosialis. Dalam pendirian PSI di Kliteran, Sutan Sjahrir justru sedang berada di Bukittinggi pada waktu itu. Meskipun terjadi dilema oleh peserta rapat untuk menunggu kabar dari Sjahrir, atas pendapat dari dr. A. Halim yang mengatakan bahwa tidak perlu menunggu berita dari Sjahrir dan namanya dimasukkan saja dalam nomor urut 1 yang tertera di bagian bawah kertas pengumuman hasil rapat dan dr. A. Halim mempunyai keyakinan bahwa Sjahrir pasti akan setuju. Dengan begitu berdirilah PSI di Kliteran, Yogyakarta dengan ketuanya yang berada di Bukittinggi pada saat itu.[10]

Asas

Ideologi dan filosofi PSI didasarkan pada Fabianisme dengan unsur-unsur analisis sosial Marxis. Ketika mengadopsi posisi ideologis, PSI berbicara tentang tujuan sosialisme, menggunakan bahasa Marxis. Namun, di lain waktu, para pemimpinnya menekankan bahwa mereka memiliki Marxisme sebagai metode analisis sosial daripada panduan untuk bertindak. Dan kenyataannya, orientasi kebijakan mereka lebih banyak mengandung Fabianisme ketimbang Marxisme. Penekanannya adalah pada modernisasi, pembangunan ekonomi, dan perencanaan dan organisasi yang rasional.[11]

Dalam pasal 1 (asas-tujuan) Peraturan Dasar PSI tertera: "PSI berdasarkan paham sosialisme yang disandarkan pada ajaran ilmu pengetahuan Karl Marx dan Friedrich Engels untuk menuju masyarakat sosialis yang berdasarkan kerakyatan".[12] Dalam buku yang dikeluarkan Sekretariat Dewan Partai Sosialis Indonesia tahun 1948, menyebut asas-tujuan partai sebagai berikut; "PSI berdasarkan paham sosialisme yang disandarkan pada ajaran ilmu pengetahuan Karl Marx dan Friedrich Engels, yang mengakui perjuangan kelas sebagai suatu kenyataan dan kejadiaan sepanjang ilmu hukum kemajuan dalam masyarakat kapitalis. PSI menuju masyarakat sosialis".[13][14] Partai ini menentang sistem diktatur proletariat yang diterapkan di Uni Soviet dan negara-negara sosialis lainnya. Sjahrir menggagas sebuah ideologi yang dipikirkannya dan dianutnya yang sangat cocok untuk dasar pembangunan di Indonesia, yang dinamakan "Sosialisme-Demokrasi", lebih sering menggunakan istilah "Sosialisme-Kerakyatan". PSI menerima sosialisme kerakyatan yang digagas oleh Sjahrir dalam kongres pertama di Bandung pada 12-17 Februari 1952. Dalam dasar-dasar dan pandangan politik partai dijelaskan: "Sosialisme yang dimaksud adalah sosialisme yang berdasarkan atas kerakyatan, yaitu sosialisme yang menjunjung tinggi derajat kemanusiaan, dengan mengakui dan menjunjung persamaan derajat tiap manusia orang seorang. Penghargaan pada pribadi orang seorang dinyatakan pada penghargaan serta perlakuan pribadi orang seorang di dalam pikiran, serta di dalam pelaksanaan sosialisme....Sosialisme semestinya tidaklah lain daripada penyempurnaan dari segala cita-cita kerakyatan, yaitu kemerdekaan serta kedewasaan kemanusiaan yang sebenarnya".[15][16][17]

Tokoh

Pada masa Demokrasi Parlementer, para politikus sipil membentuk banyak partai politik, tetapi hanya beberapa partai yang benar-benar mempunyai arti penting di Jakarta. Sjahrir tetap memimpin Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang didukung oleh kaum intelektual Jakarta, tetapi hanya mendapat sedikit dukungan umum di luar Jakarta. PSI juga memiliki pengaruh di kalangan pejabat tinggi pemerintahan dan mempunyai pendukung di kalangan tentara pusat.[27] Selama beberapa tahun sesudah berdirinya, PSI tetap merupakan elemen yang sangat berpengaruh dalam panggung politik Indonesia. Mereka selalu menjadi bagian pemerintahan baik sebelum dan sesudah kemerdekaan (seperti Kabinet Hatta I yang dibentuk Hatta pada Januari 1948, Kabinet Natsir pada tahun 1952, Kabinet Wilopo - April 1952, lalu Kabinet Burhanuddin Harahap tahun 1955) dan beberapa pejabat dalam pemerintahan tersebut memiliki hubungan dengan PSI atau bersimpati pada pendekatannya terhadap masalah-masalah Republik. Pengaruh di kalangan pejabat tinggi pemerintahan ini terlihat adanya anggota atau simpatisan dekat partai yang menduduki lebih dari sekadar posisi senior dalam dinas sipil, lebih dari memegang jabatan sekretaris jenderal Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pertahanan, serta ada mewakili, meskipun tidak terlalu kuat dan berkedudukan tinggi dalam lingkungan tentara Angkatan Darat Di antara tokoh militer yang memiliki hubungan yang kuat atau bahkan menjadi simpatisan PSI adalah T.B. Simatupang yang pernah menjadi Kepala Staf Angkatan Perang.[28][29] T.B. Simatupang adalah salah seorang tokoh yang ikut jaringan Sjahrir di zaman pendudukan Jepang.[30] Bahkan T.B. Simatupang adalah salah seorang dari empat orang delegasi (Soebadio Sastrosatomo, Soepeno, L.M. Sitorus) yang diutus Sutan Sjahrir saat pertemuan di Cirebon pada 19 November 1945 untuk mendukung Kabinet Sutan Sjahrir-Amir Sjarifuddin yang telah dilantik lima hari sebelumnya serta pembahasan berdirinya Partai Rakyat Sosialis (PARAS) yang merupakan nama baru untuk Partai PNI-Pendidikan.[31] Kemudian ada Sultan Hamengkubuwana IX dan Jenderal A. H. Nasution yang bukan anggota PSI, tapi mereka memiliki hubungan informal yang kuat dengan partai berlambang bintang ini.

Pimpinan Partai dan Organisasi Sayap Partai

Partai Sosialis Indonesia yang telah memisahkan diri dari Partai Sosialis-nya Amir Syarifuddin, kemudian menyusun kembali kekuatannya dengan mereka yang pro-Sjahrir. Pada tanggal 12-17 Februari 1952, PSI mengadakan kongres pertamanya di Bandung. Kongres PSI pertama di Bandung berhasil memilih 45 orang anggota Dewan Pimpinan Partai. Dari 45 anggota Dewan Pimpinan Partai PSI, selain Syahrir ada lima orang berasal dari tanah Minang, yakni Djohan Sjahroezah, Djoeir Moehamad, Tamimi Usman, dan Athos Auserie, Leon Salim.[32] Selain 45 orang anggota Dewan Partai, kongres tersebut juga memilih enam orang anggota Politbiro. Mereka adalah: Sutan Syahrir, Djohan Syahroezah, Soebadio Sastrosatomo, L.M. Sitorus, Sugondo Djojopuspito, dan T.A. Murad.[33] Beberapa bulan kemudian, pada bulan Mei 1952, PSI mengadakan Konferensi Dewan Partai untuk menyusun program kerja nasional.[16]

Pada paruh pertama 1950-an (terhitung sejak Maret 1951) susunan Fraksi PSI di Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) yang beranggotakan 15 orang (beberapa sumber menyebut ada 17 orang) adalah Soebadio Sastrosatomo, Hamid Algadri, Lukman Wiriadinata, Andi Zaenal Abidin, Basri, Nyonya Soenarjati Soekemi, Tan Boen An, Mohamad Nuh, Djoeir Moehamad, Soemartojo, Tan Po Goan, Nyonya Soewarni Pringgodigdo,[34] J. B. A. F. Mayor Polak, Nyonya Soesilowati Rikerk, dan Djohan Syahroezah.[33][35] Sedangkan pada Pemilihan umum legislatif tahun 1955, PSI berada pada peringkat delapan dengan perolehan 753.191 suara dan mendapat lima kursi (1,9% kursi parlemen) di DPR. Susunan fraksi PSI dalam DPR hasil Pemilu legislatif tahun 1955 adalah Soebadio Sastrosatomo (sebagai ketua fraksi), Hamid Algadri (sebagai wakil ketua/sekretaris fraksi), Sastra (pengganti anggota terpilih Gandaatmadja Sapai dari daerah pemilihan Jawa Barat), I Made Sugitha, Nyonya Suzanna Hamdani.[36] Sama halnya dengan partai-partai lain yang memiliki berbagai organisasi sayap partai dalam berbagai golongan, PSI juga memiliki beberapa organisasi sayap/onderbouw yang berafiliasi dengan partai berlambang bintang merah ini.

Dalam bidang surat kabar/pers, PSI memiliki tiga corong, yakni Koran Pedoman di bawah pimpinan Rosihan Anwar (Nomor perdana Pedoman terbit pada 29 November 1948), Majalah Suara Sosialis, dan Majalah Sikap (terbit perdana sejak Agustus 1948[37]). Untuk dua majalah terakhir yang disebut merupakan majalah untuk internal partai sebagai suplemen khusus bagi anggota partai, berisi berbagai artikel, opini dan pemandangan politik yang disampaikan oleh tokoh-tokoh pemimpin partai. Sosialisme dan kedekatannya dengan kelompok Sjahrir memengaruhi sikap dan cara Rosihan mengambil kebijakan dalam mengelola Pedoman. Beberapa kalangan pun beranggapan Pedoman adalah suratkabar PSI. Menurut Rosihan Anwar, hubungan Pedoman dengan PSI harus dilihat dalam konteks saat itu. Hampir semua partai politik mempunyai organ pers, kecuali PSI yang tak punya modal. Secara sukarela Rosihan menjadikan Pedoman sebagai pendukung sosialis. "PSI harus berterima kasih kepada saya karena saya bersedia dan secara sukarela menyokong perjuangan PSI. Tanpa mengeluarkan biaya, PSI mendapatkan koran pendukungnya, suatu koran yang besar tirasnya zaman itu," ujar Rosihan, bercanda. Sikap itu terlihat jelas pada pemilihan umum tahun 1955. Rosihan masuk PSI untuk memenuhi syarat pencalonannya sebagai anggota Konstituante. Lalu dia menjadikan korannya untuk kepentingan kampanye PSI lewat tajuk rencana “Pilihan Kita: PSI”.[38]

Di kalangan mahasiswa ada Gerakan Mahasiswa Sosialis dipimpin oleh Hersubeno dan Sudjono Jali, dan kemudian diganti Maruli Silitonga dan Hakim Simamora. Salah satu tokoh Gerakan Mahasiswa Sosialis yang terkenal adalah alumni Sejarah Fakultas Sastra UI Jakarta, Soe Hok Gie. Ada Rahman Tolleng yang juga merupakan anggota Gerakan Mahasiswa Sosialis Bandung. Sayap pemuda PSI bernama Gerakan Pemuda Sosialis, dipimpin oleh Suwandi Citut dan Gatot Kusumo Hadi. Sedangkan sayap wanita PSI bernama Gerakan Wanita Sosialis (GWS), dipimpin oleh Siti Wahjunah, istri Sutan Syahrir. Beliau adalah kakak Soedjatmoko dan Prof. Miriam Budiardjo.[39] Minarsih Wiranatakusumah dan Ny. K. Tauchid (Istri Moch. Tauchid) merupakan tokoh dari organisasi perempuan PSI tersebut.[40] Sebelum berdirinya GWS, PSI mengandalkan kontak politik yang erat dengan organisasi wanita lain, Isteri-Sedar. Isteri-Sedar merupakan organisasi pergerakan perempuan yang didirikan Nyonya Suwarni Pringgodigdo. Namun setelah pemilihan 1955, PSI merasa bahwa Isteri-Sedar telah gagal memobilisasi pemilih perempuan untuk partai ini dan oleh karena itu partai memutuskan untuk membentuk sayap perempuannya sendiri yakni GWS.[41]

Sedangkan untuk sayap buruh, partai membentuk Kongres Buruh Seluruh Indonesia (KBSI) dan membentuk sayap tani bernama Gerakan Tani Indonesia (GTI). Kongres Buruh Seluruh Indonesia (KBSI) terbentuk karena keterlibatan federasi serikat buruh Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) dalam Peristiwa Madiun 1948, yang mendorong beberapa anggota nonkomunis memilih keluar. Mereka menilai perlu ada federasi buruh yang baru dan independen. KBSI merupakan fusi antara Persatuan Organisasi Buruh (POB), di mana kelompok Sjahrir berada, menjalin hubungan dengan organisasi serikat buruh nonkomunis lainnya seperti Gabungan Sarekat Buruh Indonesia (GSBI) yang nasionalis, Badan Pekerja Sarekat Sekerdja (BPSS), dan Gabungan Organisasi Buruh Sumatera Utara (GOBSU). Mereka menggelar kongres bersama pada 10-12 Mei 1953 dan memutuskan berfusi dalam kongres tersebut. Secara ringkas KBSI didirikan sebagai penggabungan dari berbagai federasi nasional dan regional kecil yang telah bekerja bekerja sama selama beberapa tahun di dalam Dewan Serikat-Serikat Buruh Indonesia (DSBI), yang terdiri dari serikat-serikat non-komunis.[42] KBSI sendiri dipimpin oleh orang yang bukan berlatar PSI. Ketua KBSI adalah Mr. Rahendra Koesnan, mantan menteri[43] yang condong ke PNI, dan Mr. Koesna Poeradiredja dari nonpartai. Rahendra Koesnan juga dikenal sebagai pendiri dari Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Salah satu petinggi KBSI lainnya adalah Rivai S Atmadja.[44]

Sama halnya dengan pendirian KBSI yakni perpecahan kelompok sosialis kanan dan sosialis kiri (komunis), Gerakan Tani Indonesia (GTI) juga mengalami hal serupa. GTI didirikan oleh kelompok nonkomunis pasca fusi antara Barisan Tani Indonesia (BTI), Rukun Tani Indonesia (RTI, yang merupakan sayap tani kalangan komunis), bersama Sarekat Tani Indonesia (Sakti) pada tahun 1953. Nama BTI yang kemudian dipertahankan dalam fusi. Pada periode inilah BTI menjadi identik dengan PKI, sebab organisasi massa tani ini telah berafiliasi dengan PKI. Moch. Tauchid sebagai salah satu pendiri BTI pada tahun 1945 bersama kawan-kawan sosialisnya (pengikut Sjahrir) memutuskan keluar dari BTI. Pada tahun itu pula, tepatnya tanggal 17 September 1953, ia kemudian mendirikan dan mengetuai Gerakan Tani Indonesia (GTI).[45] Semua organisasi sayap partai ini didirikan sepanjang bulan Mei 1953 hingga September 1955.[46] Pada kongres kedua di Jakarta pada bulan Juni 1955, terpilih 50 orang anggota Dewan Pimpinan Partai PSI, salah satunya adalah Koeswari.

PSI di parlemen

 
Sutan Syahrir tengah berkampanye untuk Pemilu 1955 di Bali. Juga terlihat lambang partai yang digunakan untuk Pemilu 1955 di mimbar. Foto diambil oleh Howard Sochurek dari Majalah LIFE.[47]

Setelah pembubaran Republik Indonesia Serikat (RIS) dan kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, pada tahun 1950 (terhitung sejak Maret 1951) partai ini memiliki 17 kursi (7,3% kursi parlemen) dari 232 kursi[48] di Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS).[49][50] Pada Pemilihan Umum 1955 PSI berada pada peringkat delapan dengan hanya memenangkan 2% suara dengan memperoleh lima kursi (1,9% kursi parlemen) di DPR[51][52][53] Sedangkan untuk pemilihan anggota Konstituante (lembaga yang dibentuk untuk menyusun konstitusi pengganti UUDS 1950) yang diikuti 35 peserta dari partai dan perorangan/independen pada 15 Desember 1955, PSI hanya memperoleh sepuluh kursi (1,84% kursi parlemen) dari 514 kursi Konstituante. Dalam kampanye Pemilihan Umum 1955, PSI menyandingkan lambang bintang-nya dengan gambar lain menyesuaikan dengan ciri khas masing-masing daerah, misalnya Ganesha untuk wilayah Bali (seperti dalam foto), lalu Mandau untuk wilayah Kalimantan.[54][55] Penyumbang suara terbesar PSI adalah Bali, yakni 226.453 suara.[56][57][58] Pada tanggal 20 Maret 1956; saat hasil pembentukan kabinet Ali Sastroamidjojo II (berdasarkan hasil Pemilu 1955) diumumkan, PSI tidak mendapatkan satu kursi di kabinet baru tersebut.

PSI mengadakan kongres partai pertamanya di Bandung pada tanggal 12-17 Februari 1952. Hanya tiga bulan sebelum pemilihan umum, PSI menggelar kongres kedua di Jakarta, tepatnya pada bulan Juni 1955.[59] Kongres yang di kemudian hari disebut Syahrir dalam sebuah artikel sebagai ajang tamasya dan pesta bagi para peserta.[60] Dalam kongres pertama pada tahun 1952 tersebut, PSI hanya memiliki 3.049 anggota tetap dan 14.480 calon anggota. Ketika kongres kedua pada Juni 1955, anggota PSI bertambah menjadi 50.000 orang.[61] Dalam pamflet kecil yang diterbitkan Sekretariat Partai Sosialis Indonesia yang berjudul Sosialisme (1960), tercatat ada 250.000 orang anggota dengan jumlah cabang sebanyak 1.057 yang tersebar di 22 Daswati[62] I (provinsi) dan 185 Daswati II (kabupaten/kota) di Indonesia pada catatan akhir tahun 1959.[63]

Pembubaran

 
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 201 Tahun 1960 tentang Pembubaran Partai Sosialis Indonesia

Pada tahun 1950-an, PSI melalui salah seorang anggotanya, Soemitro Djojohadikusumo, memberi penekanan pada program pembangunan daerah, industri kecil, dan koperasi. Akan tetapi, karena Soemitro mendukung PRRI, PSI dianggap turut serta melawan pemerintah.[52] Menurut Rosihan Anwar, awal mulanya saat itu muncul isu Soemitro melakukan korupsi, ketika duduk sebagai menteri pada kabinet Burhanuddin Harahap; Soemitro memberikan dana kepada PSI dalam pemilihan umum. Lawan politik PSI, seperti PNI dan terutama PKI (melalui korannya; Harian Rakjat dan Bintang Timur) terus memberitakan kasus dugaan korupsi tersebut.[64] Soemitro sempat diperiksa dua kali (pertama pada tanggal 26 Maret 1957; kedua tanggal 6-7 Mei 1957) oleh Corps Polisi Militer (CPM), dan hasilnya tidak ada dasar dan alasan untuk menahan dirinya. Selain itu, Soemitro sebenarnya akan dipanggil lagi untuk diperiksa ketiga kalinya pada 8 Mei 1957, namun ia tidak hadir memenuhi panggilan pemeriksaan karena menurut Nasution, pemanggilan terakhir ini baginya berarti akan ditahan.[65]

Berdasarkan undang-undang darurat perang, Nasution memerintahkan dilakukannya pembersihan. Akibatnya, beberapa orang politisi yang diduga telah melakukan korupsi ditangkap dan beberapa lainnya melarikan diri. Pada bulan Mei 1957, ahli ekonomi dan mantan menteri dari PSI, Soemitro Djojohadikusumo, merupakan salah seorang yang kabur dari Jakarta ke Sumatra.[66][67] Pada Januari 1958, tersiar kabar telah terjadi pertemuan penting di Sungai Dareh, Sumatera Barat. Para petinggi militer daerah yang memberontak terhadap Jakarta, berkumpul disana dan Soemitro Djojohadikusumo juga ikut bergabung. Pada tanggal 15 Februari 1958, PRRI dideklarasikan di Padang, dan Soemitro didaulat menjadi Menteri Perhubungan dan Pelayaran Kabinet PRRI.

Sebelum deklarasi PRRI, Sjahrir bersama sejumlah petinggi pengurus pusat PSI di Jakarta berusaha mengingatkan Soemitro. Beberapa kader PSI diutus menemui Soemitro untuk membujuk kembali ke Jakarta dan untuk berusaha mencegah terjadinya pemberontakan, tetapi sia-sia. PSI menjatuhkan skors padanya dan mengeluarkan pernyataan ketidaksepahamannya dengan PRRI.[68] Pada 21 Juli 1960, pimpinan Partai Sosialis Indonesia dipanggil menghadap Presiden Soekarno di Istana Merdeka, Jakarta. Sjahrir datang, didampingi pengurus pusat partai; Djohan Sjahroezah, Soebadio Sastrosatomo, T.A. Murad dan Djoeir Moehamad. Mereka diminta menjelaskan posisi Partai Sosialis Indonesia terkait dengan pemberontakan PRRI/Permesta. Sepekan kemudian, Sjahrir mengirim surat jawaban ke Istana. "Sekalipun kami paham dan membenarkan perjuangan daerah, pembentukan pemerintahan pusat yang baru di samping pemerintahan yang ada kami anggap sebagai malapetaka," tulis Sjahrir.[69]

Namun jawaban Sjahrir tidak bisa mengubah pendirian Soekarno. Pada tanggal 17 Agustus 1960, PSI (beserta organisasi sayap partai) bersama Masyumi dibubarkan oleh Presiden Soekarno atas pertimbangan Mahkamah Agung melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 201 tahun 1960[70] mengacu pada Penetapan Presiden No. 7/1959.[71] Menurut Ricklefs, kedua partai tersebut dilarang sebagai akibat permusuhan para pemimpin mereka terhadap Soekarno selama bertahun-tahun, oposisi mereka terhadap demokrasi terpimpin, dan keterlibatan mereka dalam PRRI.[72] Pengurus partai diberi waktu satu bulan untuk membubarkan organ-organnya sampai tingkat bawah. Tak lama setelah pembubaran PSI, Sjahrir ditangkap dan dijadikan tahanan politik pada 16 Januari 1962.

Referensi

  1. ^ Anderson, Benedict R. O'G. (2006). Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946 (dalam bahasa Inggris). Jakarta: Equinox Publishing. hlm. 203. ISBN 9789793780146. 
  2. ^ "Kongsi Kaum Soska-Soski". historia.id. Diakses tanggal 2017-09-05. 
  3. ^ Mrázek, Rudolf (1994). Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia (dalam bahasa Inggris). Itacha, New York: SEAP Publications, Cornell University. hlm. 286–287. ISBN 0877277133. 
  4. ^ Kahin, George McTurnan (2003). Nationalism and Revolution in Indonesia (dalam bahasa Inggris). Itacha, New York: SEAP Publications, Cornell University. hlm. 158. ISBN 9780877277347. 
  5. ^ a b Kahin, George McTurnan (2003). Nationalism and Revolution in Indonesia (dalam bahasa Inggris). Itacha, New York: SEAP Publications, Cornell University. hlm. 201. ISBN 9780877277347. 
  6. ^ Kahin, George McTurnan (2003). Nationalism and Revolution in Indonesia (dalam bahasa Inggris). Itacha, New York: SEAP Publications, Cornell University. hlm. 171. ISBN 9780877277347. 
  7. ^ Kahin, George McTurnan (2003). Nationalism and Revolution in Indonesia (dalam bahasa Inggris). Itacha, New York: SEAP Publications, Cornell University. hlm. 204. ISBN 9780877277347. 
  8. ^ Toer, Pramoedya Ananta; Toer, Koesalah Soebagyo; Kamil, Ediati (2001). Kronik Revolusi Indonesia Jilid III (1947). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). hlm. 53–55. ISBN 9789799023469. 
  9. ^ "Nasib Suram Partai Gurem dalam Sejarah Politik Tanah Air". tirto.id. Diakses tanggal 2017-09-05. 
  10. ^ dr. A. Halim. Sjahrir Yang Saya Kenal, dalam Anwar, Rosihan (ed.) (2010). Mengenang Sjahrir: Seorang Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang Tersisihkan dan Terlupakan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama atas kerja sama dengan Soedjatmoko. hlm. 138–139. ISBN 9789792250091. 
  11. ^ Feith, Herbert (2007). The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (dalam bahasa Inggris). Jakarta: Equinox Publishing. hlm. 129–130. ISBN 9793780452. 
  12. ^ Toer, Pramoedya Ananta; Toer, Koesalah Soebagyo; Kamil, Ediati (2003). Kronik Revolusi Indonesia Jilid IV (1948). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). hlm. 20. ISBN 9789799023889. 
  13. ^ Sekretariat Dewan Partai Sosialis Indonesia. (1948). Partai Sosialis Indonesia: Azas-Tudjuan, Peraturan Dasar, Garis Perdjuangan Partai, Keanggautaan, Pedoman Anggauta. hlm. 1
  14. ^ Kementerian Penerangan Republik Indonesia. (1951). Kepartaian di Indonesia (Seri Pepora). hlm. 299. http://repositori.dpr.go.id/41/1/KEPARTAIAN%20DI%20INDONESIA.pdf
  15. ^ Anwar, Rosihan (2010). Sutan Sjahrir, True Democrat, Fighter for Humanity, 1909-1966. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. hlm. 115. ISBN 9789797094683. 
  16. ^ a b Ensiklopedi Umum. Kanisius. 1973. ISBN 9789794135228. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-09-08. Diakses tanggal 2017-09-08.  hlm. 800
  17. ^ Pamflet Sekretariat Partai Sosialis Indonesia. (1960). Sosialisme. hlm. 3
  18. ^ "Biografi A.M Thalib, Sejarah yang Tak Akan Terlupakan". amthalib's Blog (dalam bahasa Inggris). 2014-12-15. Diakses tanggal 2018-09-02. 
  19. ^ Anwar, Rosihan (ed.) (2010). Mengenang Sjahrir: Seorang Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang Terisisihkan dan Terlupakan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama atas kerja sama dengan Soedjatmoko. hlm. 461. ISBN 9789792250091.  Buku sejarah tersebut yakni buku Sedjarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia, Jakarta: Pustaka Rakjat N.V., 1951, cet. II dan buku Sejarah Pergerakan dan Kemerdekaan Indonesia, Jakarta: Dian Rakyat, 1988
  20. ^ Indonesia, Heyder Affan Wartawan BBC. "Ideologi politik keturunan Arab: Islamis, sosialis hingga komunis". BBC Indonesia. Diakses tanggal 2017-09-08. 
  21. ^ Anwar, Rosihan (ed.) (2010). Mengenang Sjahrir: Seorang Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang Tersisihkan dan Terlupakan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama atas kerja sama dengan Soedjatmoko. hlm. 464. ISBN 9789792250091. 
  22. ^ "Supeno – Pahlawan Center". pahlawancenter.com (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-09-06. Diakses tanggal 2017-09-06. 
  23. ^ Toer, Pramoedya Ananta; Toer, Koesalah Soebagyo; Kamil, Ediati (2003). Kronik Revolusi Indonesia Jilid IV (1948). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). hlm. 20. ISBN 9789799023889. 
  24. ^ Ia adalah satu-satunya anggota sayap kiri yang duduk di Kabinet Hatta I atas nama perseorangan, lihat "Dimusuhi PKI, PRD Ikut Murba". historia.id. Diakses tanggal 2018-02-27. 
  25. ^ "Gerakan Wanita Sosialis". Wikipedia (dalam bahasa Inggris). 2017-07-18. 
  26. ^ Kahin, George McTurnan (2003). Nationalism and Revolution in Indonesia (dalam bahasa Inggris). Itacha, New York: SEAP Publications, Cornell University. hlm. 468. ISBN 9780877277347. 
  27. ^ Ricklefs, M. C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. hlm. 499. ISBN 9791600120. 
  28. ^ http://historia.id/historiografis/habitat-orang-kita-di-atas-panggung-politik
  29. ^ Legge, J. D. (2010). Intellectuals and Nationalism in Indonesia: A Study of the Following Recruited by Sutan Sjahrir in Occupied Jakarta (dalam bahasa Inggris). Singapore: Equinox Publishing. hlm. 27. ISBN 978-602-8397-23-0. 
  30. ^ Anwar, Rosihan (2010). Mengenang Sjahrir: Seorang Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang Tersisihkan dan Terlupakan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama atas kerja sama dengan Soedjatmoko. hlm. 461. ISBN 9789792250091. 
  31. ^ Mrázek, Rudolf (1994). Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia (dalam bahasa Inggris). Itacha, New York: SEAP Publications, Cornell University. hlm. 285. ISBN 0877277133. 
  32. ^ Ia adalah tokoh asal Tiakar, Payakumbuh, yang sejak masa pergerakan nasional aktif terlibat sebagai tokoh pemuda pergerakan serta aktivis PNI-Pendidikan/PNI-Baru-nya Hatta bersama Chatib Sulaiman, Djoeir Muhammad, Djalil Jahja, dan Harun Junus. Pernah juga menjadi Ketua PNI-Pendidikan/PNI-Baru untuk Sumatera Barat tahun 1932. Ketika pembentukan Partai Rakyat Sosialis (PARAS, nama baru PNI-Pendidikan) di Cirebon tanggal 19 November 1945, yang juga pertemuan beberapa kader PNI-Pendidikan untuk sepakat mendukung Kabinet Sjahrir-Amir, ia menjadi perwakilan dari Sumatra. lihat Mrázek, Rudolf (1994). Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia. SEAP Publications. ISBN 9780877277132. hlm. 285, juga lihat Zed, Mestika dkk. 1998. Sumatera Barat di Panggung Sejarah: 1945-1995, Jakarta: Sinar Harapan, hlm. 21 dan 34
  33. ^ a b "Prisma Jurnal". www.prismajurnal.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-10-20. Diakses tanggal 2017-09-08.  Tulisan ini ditulis oleh Imam Yudotomo, anak dari tokoh PSI, dan juga aktivis sayap tani PSI, GTI; Moch. Tauchid
  34. ^ Soewarni Pringgodigdo merupakan salah satu dari sepuluh perempuan (pemudi) yang hadir dalam Kongres Pemuda II, 27-28 Oktober 1928. lihat "Perempuan dalam Kongres Pemuda". historia.id. Diakses tanggal 2018-03-22. 
  35. ^ Untuk melihat daftar 45 anggota Dewan PSI serta susunan Sekretariat Dewan Partai, lihat "PARTAI SOSIALIS INDONESIA". enosocialist.blogspot.co.id. Diakses tanggal 2017-09-08. 
  36. ^ Parlaungan (1956). Hasil Rakjat Memilih: Tokoh-Tokoh Parlemen (Hasil Pemilihan Umum Pertama-1955) di Republik Indonesia (dalam bahasa Indonesian). Jakarta: C.V. Gita. hlm. 381-382. OCLC 8509535.  Lihat http://repositori.dpr.go.id/100/3/HASIL%20RAKYAT%20MEMILIH%20TOKOH-TOKOH%20PARLEMEN_3.pdf
  37. ^ Toer, Pramoedya Ananta; Toer, Koesalah Soebagyo; Kamil, Ediati (2003). Kronik Revolusi Indonesia Jilid IV (1948). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). hlm. 495. ISBN 9789799023889. 
  38. ^ "Jatuh-Bangun Koran Kiblik". Historia - Obrolan Perempuan Urban. Diakses tanggal 2018-05-03. 
  39. ^ "Prisma Jurnal". www.prismajurnal.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-10-20. Diakses tanggal 2017-09-08. 
  40. ^ Historia No. 18 Tahun II 2014, hlm. 48-52
  41. ^ Wijono. The General Elections in Indonesia and the Partai Sosialis Indonesia, in Socialist Asia, Vol IV, November 1955/February 1956, Nos. 3-4. hlm. 16-17
  42. ^ Tedjasukmana, Iskandar (1958). The Political Character of the Indonesian Trade Union Movement, Monograph Series (dalam bahasa Inggris). Ithaca, New York: Southeast Asia Program, Department of Far Eastern Studies Cornell University. hlm. 45
  43. ^ Namanya biasa ditulis Rh. Koesnan. Pernah menjadi Ketua PGRI, lalu menjadi Menteri Perburuhan dan Urusan Sosial (Kini bernama Menteri Tenaga Kerja) pada Kabinet Hatta I, Kabinet Hatta II, dan Kabinet Susanto. Pada saat kepemimpinannya di KBSI, sempat timbul ketegangan antara kelompok nonsosialis dengan kelompok sosialis (pro-PSI). Kemudian pada Desember 1953; Koesnan mengundurkan diri, yang diikuti beberapa serikat buruh nonsosialis. Mr. Koesna Poeradiredja naik menjadi ketua umum menggantikan dirinya.
  44. ^ "Kongres Buruh Seluruh Indonesia, Serikat Buruhnya Kaum Sosialis". Historia - Obrolan Perempuan Urban. Diakses tanggal 2018-05-01. 
  45. ^ Mochammad Tauchid. (2009). Masalah Agraria; Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. Yogyakarta: STPN Press-Persaudaraan Warga Tani (Pewarta). hlm. 648-649
  46. ^ "Habitat Orang Kita di Atas Panggung Politik". historia.id. Diakses tanggal 2017-09-08. 
  47. ^ "Indonesian Elections - Howard Sochurek - Google Arts & Culture". Google Cultural Institute (dalam bahasa in). Diakses tanggal 2018-11-26. 
  48. ^ Ada beberapa sumber yang mengatakan 15 kursi dari 236 kursi.
  49. ^ Ricklefs, M. C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. hlm. 503. ISBN 9791600120. 
  50. ^ Feith, Herbert (2007). The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (dalam bahasa Inggris). Jakarta: Equinox Publishing. hlm. 128. ISBN 9793780452. 
  51. ^ Ricklefs, M. C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. hlm. 520. ISBN 9791600120. 
  52. ^ a b Cribb, Robert; Kahin, Audrey (2004). Historical Dictionary of Indonesia (dalam bahasa Inggris). Lanham, Maryland: Scarecrow Press, Inc. hlm. 328. ISBN 9780810849358. 
  53. ^ Alfian. 1975, Hasil Pemilihan Umum untuk Dewan Perwakilan Rakyat, Jakarta: LEKNAS LIPI, hlm. 9
  54. ^ Almenak "Waspada" 1955: Gatining Pantjasila Mawahju Buwana. (1954). Yogyakarta-Jakarta: Jajasan Penerbitan "Pesat". untuk contoh gambar lihat; http://koleksibarangdjadoel.blogspot.com/2012/10/almenak-waspada-1955.html
  55. ^ "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2018-07-14. Diakses tanggal 2018-09-02. 
  56. ^ "Potret Lawas on Twitter". Twitter. Diakses tanggal 2018-09-02. 
  57. ^ Abdullah, Taufik; Abdurrachman, Sukri; Gunawan, Restu (2012). Malam Bencana 1965 Dalam Belitan Krisis Nasional: Bagian II Konflik Lokal. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hlm. 368. ISBN 9789794618028. 
  58. ^ Agung, A. A. Gde Putra; Parimartha, I. Gde; Budharta, Ida Bagus Gde; Rama, Ida Bagus (1986). Sejarah Kota Denpasar 1945-1979. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. hlm. 69 dan 132 (pada lampiran 2). 
  59. ^ Wijono. The General Elections in Indonesia and the Partai Sosialis Indonesia, in Socialist Asia, Vol IV, November 1955/February 1956, Nos. 3-4. hlm. 13
  60. ^ Tim Buku TEMPO. Sjahrir: Peran Besar Bung Kecil. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). 2010. hlm. 110. ISBN 9789799102683. 
  61. ^ Tim Buku TEMPO. Sjahrir: Peran Besar Bung Kecil. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). 2010. hlm. 53. ISBN 9789799102683. 
  62. ^ Singkatan dari Daerah Swatantra Tingkat I. Pada tahun 1960-an, Indonesia memiliki 23 Daswati I, atau sekarang disebut 23 Provinsi. Hanya satu wilayah Daswati I yang PSI tidak memiliki cabang yakni di Daswati I Irian Barat.
  63. ^ Pamflet Sekretariat Partai Sosialis Indonesia. (1960). Sosialisme. hlm. 6-10
  64. ^ Tim Buku TEMPO. Sjahrir: Peran Besar Bung Kecil. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). 2010. hlm. 114. ISBN 9789799102683. 
  65. ^ A.H. Nasution (1984). Memenuhi Panggilan Tugas: Masa Pancaroba Kedua. Jakarta: Gunung Agung. hlm. 96-97.
  66. ^ Ricklefs, M. C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. hlm. 539. ISBN 9791600120. 
  67. ^ Kahin, Audrey (2005). Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia, 1926-1998. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hlm. 304. ISBN 9789794615195. 
  68. ^ "Sejarah Partai Sosialis Indonesia: Galau dalam Kenaifan Politik". tirto.id. Diakses tanggal 2019-06-15. 
  69. ^ Tim Buku TEMPO. Sjahrir: Peran Besar Bung Kecil. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). 2010. hlm. 115–118. ISBN 9789799102683. 
  70. ^ "PRESIDEN". sipuu.setkab.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-09-02. Diakses tanggal 2018-09-02. 
  71. ^ Siswo, Iwan (2014-08-18). Panca Azimat Revolusi: Tulisan, Risalah, Pembelaan, & Pidato Sukarno 1926-1966 Jilid I. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). hlm. 101. ISBN 9789799106193. 
  72. ^ Ricklefs, M. C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. hlm. 556. ISBN 9791600120. 

Sumber