Abu Yazid al-Busthami

Abu Yazid Al-Bustami adalah sufi abad III Hijriyah berkebangsaan Persia, lahir tahun 804 M/ 188H .[1][2][3] Nama kecilnya adalah Tayfur, sedang lengkapnya Abu Yazid Tayfur ibn Isa ibn Surusyan al-Busthami.[1] Dalam literatur-literatur tasawuf, namanya sering ditulis dengan Bayazid Bastami (بايزيد بسطامى).[4] Setelah dikaruniai seorang putra bernama Yazid, ia kemudian lebih dikenal dengan nama Abu Yazid (arti:Ayah Yazid).[1] Al-Busthami sendiri adalah nisbah (ditujukan) pada daerah kelahirannya Bistami, Qumis, di daerah tenggara Laut Kaspia, Iran.[1][4] Ayahnya bernama Isa, sedangkan kakeknya bernama Surusyan, yang mana keduanya beragama Majusi (agama bangsa Persia yang mengajarkan penyembahan kepada api dan berhala), namun kemudian masuk Islam.[1][5] Kedua orangtuanya Abu Yazid adalah muslim yang taat, shaleh, wara (sederhana dan mementingkan kehalalan rizki yang dicari dan diterima), serta zuhud (berperilaku seperti yang dilakukan para pendahulu yang suka berbuat baik, meningkatkan hubungan dengan Allah untuk mencapai derajat yang mulia dan tinggi).[1][4][6][7] Sedang, kakaknya bernama Adam dan adiknya bernama Ali yang juga sufi.[1][4] Ada sufi yang memiliki nama hampir mirip dengannya, yakni Abu Yazid dan Taifur Al Bistami Al-Asghar.[4] Data hidup yang dimilikinya sangatlah terbatas.[1] Info-info mengenai dirinya di dapat dari Tayfur (cucu dari Adam).[1] Selain itu, biografi Abu Yazid juga diketahui melalui tokoh-tokoh lain yang pernah berjumpa serta mencatat ucapan-ucapannya, seperti Abu Musa al-Dabili, Abu Ishaq al-Harawi, dan lain-lain.[1] Sejarah mencatat bahwa ia tidak meninggalkan suatu tulisan, barang satupun.[1]

Abu Yazid Al-Busthami


Saat remaja, Abu Yazid mempelajari dan mendalami Al-Qur'an serta hadits-hadits Nabi Muhammad saw.[1] Ia kemudian mempelajari fikih Mazhab Hanafi (salah satu aliran metodologi fikih yang didirikan oleh Imam Hanafi, dan merupakan salah satu mazhab yang dianut oleh kamu Sunni), sebelum akhirnya menempuh jalan tasawuf.[1] Karena ia menganut mazhab Hanafi, maka ia termasuk dalam golongan Ashaburra'yi, yakni suatu aliran yang memberikan peranan besar kepada akal /pemikiran (Arab:Al-Ra'yu) untuk memahami hukum Islam.[4]

Sebagai orang yang mengerti hukum-hukum yang dikaji melalui fikih bermazhab Hanafi, kepatuhannya pada syariat Islam sangatlah kuat.[1] Hal ini dapat dibuktikan dari sejumlah pernyataan yang pernah diucapkannya.[1] Ia pernah berkata demikian, "Kalau engkau melihat seseorang sanggup melakukan pekerjaan keramat , seperti duduk bersila di udara, maka janganlah engkau terperdaya olehnya. Perhatikanlah apakah ia melaksanakan perintah Tuhan, mejauhi larangan (Tuhan), dan menjaga dirinya dalam batas-batas syariat."[1] Selain itu, Abu Yazid juga pernah mengajak keponakannya, Isa bin Adam, untuk memperhatikan seseorang yang dikenal oleh masyarakat sebagai zahid (orang yang menolak dunia, berpikir tentang kematian, yang memandang bahwa apa yang dimilikinya tidaklah punya nilai dibandingkan dengan apa yang dimiliki oleh Allah swt).[1][8][9][10] Waktu itu orang tersebut sedang berada di dalam masjid dan terlihat batuk lalu meludah ke depan, ke arah kiblat di dalam masjid).[1] Karena menyaksikan kejadian tersebut, yang mana hal ini tidak sesuai dengan adab (akhlak) yang diajarkan oleh Rasulullah saw, Abu Yazid pergi dan berkomentar, "Orang itu tidak menjaga satu adab dari adab-adab yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Bila ia begitu, ia tidak dapat dipercaya atas apa-apa yang didakwakannya (omongannya tidak dapat dipercaya)."[1]

Ia juga mengungkapkan bahwa pernah terbesit di hatinya untuk memohon kepada Allah agar dia diberikan sifat ketidakpeduliaan terhadap makanan dan wanita sama sekali, tetapi hatinya kemudian berkata, "Pantaskah aku meminta kepada Allah sesuatu yang tidak pernah diminta oleh Rasulullah saw?"[1] Bahkan karena begitu taatnya pada ajaran agama, dia menghukum dirinya sendiri jika melanggar.[1] Katanya, "Aku ajak diriku untuk mengerjakan sesuatu yang termasuk dalam perbuatan taat, namun kemudian diriku tidak mematuhinya. Oleh karena itu, selama setahun diriku tidak kuberi air (minum)."'[1] Kisah lain juga pernah ia alami.[1] Sebuah riwayat (cerita turun-temurun) memberitahukan bahwa suatu ketika ia bermalam di padang pasir dan menutup kepalanya dengan pakaian lalu tertidur.[1][11] Tak disangka, dia mengalamai hadats besar (suatu kondisi yang dapat menghalangi seseorang melakukan shalat, seperti haid, keluarnya mani, dan lain-lain), sehingga diwajibkan mandi jinabat /mandi wajib(mengalirkan air dan mengusap seluruh angota tubuh dengan melafalkan niat tertentu).[1][12][13] Akan tetapi malam itu terlalu dingin dan ketika terbangun, dirinya merasa enggan untuk mandi dengan air yang juga terlalu dingin.[1] Abu Yazid berniat untuk mandi saat matahari sudah tinggi, namun setelah menyadari betapa ia tidak mempedulikan kewajiban agama, akhirnya dia bangkit dan melumerkan salju pada jubahnya.[1] Setelah itu Abu Yazid mandi dengan menggunakan jubah yang basah dan dingin tersebut lalu dia dipakainya kembali.[1] Tubuhnya kedinginan, lalu ia jatuh pingsan.[1]

Banyak literatur menyebutkan bahwa ia wafat pada tahun 261 Hijriyah /875 Masehi.[1][14] Namun pendapat lain menyebutkan bahwa ia wafat pada tahun 264 Hijriyah / 878 Masehi.[1] Abu Yazid menghabiskan seluruh hidupnya di kota kelahirannya, Bistami.[1] Pernah ada yang berkata padanya bahwa orang yang mencari hakikat (hidup) biasanya selalu mengembara dari satu tempat ke tempat lain.[1] Kemudian ia hanya menjawab, "Temanku (maksudnya, Tuhan) tidak pernah berpergian, dan karena itu aku pun tidak berhijrah (berpindah)dari sini."[1] Namun tidak dapat diacuhkan ketika beberapa kali ia terpaksa menyingkir dari Bistami karena munculnya tekanan dan permusuhan dari pihak yang menganggap sufisme atau tasawufnya menyimpang, tetapi hal itu hanya berlangsung dalam waktu yang relatif singkat.[1]

Tasawuf dan Sufi

Bermula dari generasi pertama umat Islam, yakni dari kalangan sahabat (orang yang bertemu Rasulullah semasa hidupnya), tabi'in (orang yang bertemu dengan sahabat Rasul semasa hidupnya), sampai pada generasi setelahnya.[15] Asal-usulnya sendiri merupakan pemusatan diri seseorang dalam menjalankan ibadah, pengharapan diri sepenuhnya kepada Allah, juga penjauhan diri dari harta, maupun kenikmatan-kenikmatan yang lain.[15]

Tasawuf berasal dari kata dasar suf yang artinya wol yang biasanya digunakan sebagai jubah (labs al suf) oleh orang-orang yang menjalankan kehidupan mistik atau yang disebut sufi.[16] Terkadang tasawuf dihubungkan dengan kata suluk yang berarti perjalanan.[16] Hal ini dipergunakan untuk menggambarkan perjalanan mistik menuju Tuhan.[16] Menurut Syeikh Juneid al-Bagdadi (wafat 297 Hijriyah), tasawuf adalah bahwa engkau bersama Allah tanpa adanya penghubung, sedang menurut Abu Muhammad Ruwaim, tasawuf berarti kita menyerahkan diri kepada Allah untuk mengikuti kehendak-Nya.[15] Dari definisi di atas, dapat diambil suatu pengertian bahwa tasawuf ialah kesadaran murni yang mengarahkan jiwa secara benar kepada amal dan kegiatan yang sungguh-sungguh, juga menjauhkan diri dari kehidupan duniawi (hal-hal yang berhubungan dengan dunia seisinya) dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt untuk mendapatkan perasaan yang dekat dengan-Nya.[15] Tujuan dari tasawuf sendiri adalah untuk mengenal Allah.[17] Banyak ayat-ayat Al-Qur'an yang membahas tentang perilaku tasawuf, di antaranya Surat Al-A'la ayat 14, Surat As-Syams:9, dan Ali Imran:164 yang berbunyi:

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ

Artinya:Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan jiwa mereka, serta mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi), mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.[18]

Adapun cara memahami sesuatu dalam tasawuf sangatlah berbeda dengan yang lain.[19] Oleh karena itu, para sufi menciptakan metode yang berbeda dengan metode yang digunakan dalam pengetahuan biasa, termasuk dalam filsafat.[19] Jika pengetahuan biasa menggunakan metode bahtsi (pemikiran), sedang adalam tasawuf menggunakan metode dzauqi, yakni rasa.[19] Orang yang masuk ke dalamnya bukan sekadar memahami, namun juga mengalami, karena hanya dengan mengalami, maka kita akan memahami.[19] Jalaluddin Rumi mengatakan, "Jika engkau ingin mempunyai pengetahuan yang sebenarnya tentang air, maka ceburkanlah dirimu ke dalamnya, maka engkau akan memperoleh pengetahuan sejati tentangnya."[19] Inilah yang dimaksud sebagai dzauqi, merasakan atau mengalami objek tersebut dan bukan hanya mengetahuinya lewat tulisan maupun analisis.[19]

Adapun pengertian sufi As Syibli, sufi adalah penunjuk dari Allah, sedang makhluk lain adalah penujuk kepada Allah.[20] Ditambah dengan keterangan dari Dzun Al-Mishri, sufi adalah orang yang menyukai Allah lebih dari segala sesuatu dan disukai oleh Allah dari segala sesuatu.[20] Al Nuri menyebutkan di antara sifat seorang sufi adalah diam ketika tidak memiliki sesuatu dan mendahulukan orang lain ketika memiliki sesuatu.[20]

Abu Yazid pernah ditanya perihal sufi.[1] Pertanyaan itu kemudian dijawabnya sebagaimana berikut, "Sufi adalah orang yang tangan kanannya memegang kitabullah (Al-Qur'an), sedangkan tangan kirinya memegang sunnah Rasulullah, salah satu matanya memandang ke surga dan yang lainnya memandang ke neraka, baginya dunia hanyalah sarung dan akhirat adalah mantelnya, kemudian sambil berseru, labbayka ya Allah (aku datang memenuhi panggilan-Mu, ya Allah)".[1] Abu Yazid adalah orang yang menempuh jalan tasawuf yang mencapai keadaan ruhaniah mabuk kepayang dengan kekasihnya, Tuhan, fana (sirna), merasa kekal (baqa) bersama Tuhan, dan merasa bersatu denga-Nya (ittihad).[1] Upaya untuk mencapai taraf kesufian yang tiggi itu, membutuhkan waktu yang panjang serta usaha yang cukup berat.[1] Abu Yazid pernah berkata, "Dua belas tahun aku seperi tukang besi terhadap diriku, lima tahun aku sebagai cermin hatiku. Setahun aku memperhatikan apa yang terdapat di antara keduanya. Tiba-tiba ada belenggu di pinggangku. Lima tahun aku berusaha memutus belenggu itu sambil memikirkan bagaimana cara memutusnya; maka barulah ia putus."[1][4] Pernyataan ini mengandung makna bahwa setelah berusaha selama waktu yang panjang, barulah hilang belenggunya (penghalangnya) yang merintanginya untuk mencapai hakikat atau tujuan tasawufnya yang tinggi.[1]

Kemudian diperlihatkan lagi dalam perkataannya, "Selama tiga puluh tahun Allah adalah cerminku, maka jadilah aku hari ini cermin diriku, karena aku saat ini bukan lagi aku sebelumnya.[1] Semua pernyataan di atas jelas menunjukkan bahwa Abu Yazid bukanlah sufi yang menggampangkan kewajiban-kewajiban syariat.[1] Sikap demikian masih dapat dilihat dalam dirinya saat ia mencapai sakr (mabuk cinta pada Allah).[1]

Selain Abu Yazid, juga ada banyak sufi yang lain seperti Abu Hasan Sarri Al-Mugallis As-Siqthi, seorang sufi yang berpengetahuan luas dan banyak dihormati penduduk Irak dan para ulama yang lain.[21] Kemudian ada juga tokoh-tokoh sufi asal Iran, antara lain adalah Ruzbihan Al-Baqli Asy Syirazi, Haidar Amuli, Ali Isfahan (wafat tahun 1427), dan A'la Ad-Daulah As-Samani (1261-1336]].[22] Juga tidak luput tokoh-tokoh sufi yang muncul pada abad-abad pertama hingga abad ke-9 Hijriyah saat di mana tasawuf mulai menunjukkan kemajuannya, di antara tokoh-tokoh tersebut ialah Abu al-Haris Al-Muhasibi (165-243 H /781-857 M), Dzun Al-Mishri (w. 248 H/861 M), Al Hakim At-Tirmidzi (w. 898 M), Abul Mughits bin Manshur Al-Hallaj (w. 309 H, terkenal dengan Al-Hallaj yang merupakah tokoh sufi paling kontroversi dalam sejarah karena konsep wahdatul wujud(penyatuan diri dengan Tuhan) miliknya dan terkenal dengan kata-katanya Ana Al-Haqq (saya adalah Yang Maha Benar), sehingga harus dihukum mati pada tanggal 28 Maret 913 M karena didakwa menyebarkan ajaran sesat), Sahl Ibn Abdillah Al-Tustari (w. 896), Al-Kharaz (w. 899 M).[23][24] Sedang kedatangan para ahli tasawuf (sufi) di Indonesia sendiri diperkirakan pada abad ke 13, yakni masa penyebaran ahli-ahli tasawuf dari Persia dan India, namun baru tampak nyata sekitar abad 16 dan 17 terutama di Jawa dan Sumatra.[16] Contohnya para sufi dari Sumatra adalah Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-samatrani, Ar-Ranisri, dan Abdurrauf dari Singkel.[16] Kemudian jika di Jawa ada walisanga, Syekh Siti Jenar (Syekh Lemah Abang), Sunan Panggung, dan lain-lain.[16]

Ajaran

Abu Yazid adalah sufi pertama yang membawa ajaran al-fana, al-baqa, dan ittihad, yakni suatu ajaran mengenai paham meniadakan diri (jasmani), yang mana kesadaran rohani merupakan hal yang kekal saat bersatu dengan-Nya.[25]

1. Al-Fana

Fana berarti sirna.[1] Maksudnya adalah lenyapnya kesadaran diri seorang sufi tentang alam jasmani ini, termasuk tentang dirinya sendiri.[1] Istilah fana oleh kaum sufi dipakai untuk menunjukkan gugurnya sifat-sifat tercela.[26] Menurut Abu Said Al-Kharraz, fana ialah sirnanya kesadaran tentang manusia (ubudiyat) dan selain Allah.[3][26] Al Jailani dan Al Hujwiri berpendapat bahwa kefanaan datang kepada manusia melalui penglihatan akan keagungan Tuhan dan terbukanya kemahakuasaan Ilahi dalam hatinya, sehingga pada perasaannya, dunia ini akan sirna dari pikirannya.[26] Ajaran ini diperoleh Abu Yazid dari gurunya yang bernama Abu Ali al-Sindi yang berasal dari India.[4]

Para ahli tasawuf membagi fana menjadi empat tingkatan:[27]

  1. Tingkat 1: Fana fil-Af'al (fana dalam perbuatan)
  2. Tingkat 2: Fana fis-Sifat (fana dalam persifatan/ watak)
  3. Tingkat 3: Fana fil-Asma (fana dalam penamaan)
  4. Tingkat 4: Fana fidz-Dzat (fana dalam zat/ esensinya)

Pintu menuju kefanaan terbagi menjadi dua, yakni Dawamudz Dzikri (mengistiqomahkan/ mengkekalkan zikir) dan Dawamun Nisyan (mengekekalkan lupa pada dunia dan selain Allah).[27]

Diceritakan bahwa Abu Yazid pernah berkata ketika ia naik haji untuk pertama kali, yang dilihat adalah bangunan Ka’bah dan dirinya.[1] Kemudian ia naik haji lagi, maka selain ia melihat bangunan Ka’bah dan dirinya, ia merasakan Tuhannya Ka’bah.[1] Pada haji yang ketiga, dia tidak merasakan apa-apa lagi kecuali Tuhannya Ka’bah.[1] Selain itu, juga ada catatan tentang ucapannya yang menunjukkan pengalaman fananya.[1] Ia berkata, "Pada hari (tahap) pertama, aku zuhud terhadap dunia dan segala isinya, pada hari kedua aku zuhud terhadap akhirat dan segala isinya, pada hari ketiga aku zuhud terhadap apa saja selain Allah, dan pada hari keempat tidak ada yang tinggal bagiku selain Allah."[1]

Gambaran kesadaran Abu Yazid seperti yang diungkapkan tersebut dinamakan fana.[1] Kemanapun ia mengarahkan wajahnya, yang terlihat oleh mata hatinya adalah Allah saja.[1] Mata hatinya yang mengarah ke alam gaib (alam di luar dunia) terbuka.[1] Adapun mata kepalaya yang mengarah ke alam jasmani (dunia), kendati terbuka, ia tidak melihat apa-apa.[1] Indra-indra lahiriah yang lain tidak menangkap apa-apa, tidak merasakan panas atau dinginnya hawa, tidak pula merasakan sayatan pisau pada kaki atau tangannya.[1] Sufi yang sudah sampai sampai ke taraf keadaan hanya melihat Allah dengan mata batinnya, disebut juga al-arif bi Allah.[1] Menurut Abu Yazid, Al-arif tidak melihat dalam tidurnya kecuali Allah, tidak pula dalam jaganya kecuali Allah, tidak berbeda kecuali dengan selain Allah, dan tidak menyaksikan kecuali Allah.[1]

Ciri yang mendominasi kefanaan Abu Yazid sendiri adalah sirnanya segala sesuatu selain Allah dari pandangannya, yang mana seorang sufi tidak lagi menyaksikan kecuali satu, Allah.[28] Bahkan dia tidak lagi melihat dirinya sendiri karena dirinya melebur dalam zat yang Maha Kuasa.[28] Dia pernah berkata,"Aku keluar dari Yang Maha Benar menuju Yang Maha Benar dan akupun berseru: Wahai Engkau yang aku! Telah kuraih tingkat kefanaan.[28]

Meski telah mencapai tingkatan fana, ia tetap disiplin berpegang pada hukum-hukum Islam.[4] Menurut Abu Yazid, seorang wali (kekasih Allah) harus tetap melaksanakan syariat, agar Tuhan tetap menjaga tingkat pengalaman spiritual (keagamaan) yang pernah dicapainya.[4]

2. Al Baqa

Dengan terjadinya fana itu, berarti telah terjadi baqa.[1] Baqa dan fana seperti dua muka dari satu lembar kertas.[1] Baqa sendiri berarti meninggalkan kebodohan menuju pada kondisi yang mengetahui, pergi dari kebekuan hati ke pemujaan tanpa henti serta meninggalkan penilaian atas manusia yang bersifat sementara menuju ke penglihatan langsung kasih Ilahi yang abadi (kelanggengan dalam mengingat Tuhan).[26][29]

Namun tidak semua sirna dari kesadaran sang sufi karena masih ada yang tinggal atau yang tetap terus ada dalam kesadarannya, yaitu Allah SWT.[1] Kesadaran Abu Yazid tentang Tuhan tetap ada.[1] Dia pernah berkata, "Aku mengenal Tuhan melalui diriku sampai aku fana (lenyap), kemudian aku mengenal-Nya melalui diri-Nya, maka aku hidup. Ia telah membuatku gila pada diriku sehingga aku mati, kemudian Dia membuatku gila pada-Nya, dan akupun hidup. Gila pada diriku adalah kefanaan, sedangkan gila pada-Nya adalah kebaqaan."[1] Dalam fana seorang sufi akan merasa sirna atau tenggelam dalam lautan ketuhanan yang baqa, seperti tenggelamnya besi dalam lautan api yang menyala.[1] Di saat itu sifat-sifat kemanusiaannya tidak dirasakannya lagi, yang hanyalah adalah sifat-sifat ketuhanan yang baqa pada dirinya.[1] Keadaan seperti itulah yang disebut baqa, yakni merasa hidup dengan sifat Tuhan yang abadi/kekal.[1]

3. Ittihad

Keadaan seperti fana-baqa itu dapat disebut sebagai ittihad (bersatu), yakni merasa bersatu dengan Allah.[1] Setelah seseorang mencapai fana dan baqa, maka selanjutnya adalah tingkatan ittihad.[26] Dalam kitab Futuh Al-Ghaib bab:17, Syekh Abdul Qadir Jaelani menjelaskan, "Apabila kamu telah bersatu dengan Tuhan, maka kamu akan merasa aman dan selamat dari apa saja selain-Nya. Kamu akan mengetahui bahwa tidak ada yang wujud (ada) selain Dia saja. Kamu akan mengetahui bahwa untung, rugi, harapan, takut, bahkan apa saja adalah dari dan karena Dia juga. Dialah yang patut ditakuti dan kepada Dia sajalah (tempat) meminta perlindungan dan pertolongan. Karenanya, lihatlah selalu perbuatan-Nya, nantikanlah perintah-Nya, dan patuhlah selalu kepada-Nya. Putuskanlah hubunganmu dengan apa saja yang bersangkutan dengan dunia ini, juga dengan akhirat.Janganlah kamu melekatkan hatimu, kecuali pada Allah SWT."[26] Dia menambahi bahwa ketika semua hubungan dunia telah diputuskan oleh seorang hamba yang telah bersatu dengan Allah, maka ia pun aka menerima kekudusan (kesucian)yang kekal, di mana tidak ada lagi cacat dan cela. Mereka menjadi orang yang dipilih Allah untuk menjadi kekasih.[26] Namun tntang hakikat ittihad hanya dapat diketahui oleh mereka yang sudah merasakan pengalaman soiritual tersebut.[26]

Fana, baqa, dan ittihad dapat diibaratkan seperti tiga aspek yang berbentuk satu segitiga.[1] Pengalaman sang sufi bersatu denga Tuhan dapat dipahami dari kata-kata Abu Yazid dan perbuatannya.[1] Merasa bersatu dengan Tuhan dapat diibaratkan seperti "besi yang berada di dalam api".[1] Demikianlah perjalanan ruhani seorang sufi menuju Allah yang puncaknya adalah ittihad.[26]

Kontroversi

Pengalaman Abu Yazid serta ucapan-ucapannya yang terkadang sulit dipahami oleh orang awam (orang biasa), menyebabkan sebagian ulama menentangnya.[4]

1. Syatahat

Pada saat mengalami fana, munculah syatahat (ungkapan-ungkapan aneh) dari lidah Abu Yazid.[1] Abu Nashr al-Sarraj berpendapat bahwa syatahat (Inggris: theopathical stammerings) itu menggambarkan pencapaian kondisi spiritual sang sufi yang lebih tinggi.[25][30]

Berikut adalah sejumlah syatahat yang pernah diucapkannya.[1]

  1. "Tuhan, aku meminta-Mu menjadi satu-satunya yang ada bagiku di antara hal lain yang hampa."[31]
  2. "Sesungguhnya aku adalah Allah, tidak ada Tuhan kecuali Aku, maka sembahlah Aku, Maha Suci Aku, Maha Suci AKu, alangkah Maha Agungnya keadaanku." Ini diucapkannya saat sedang menunaikan shalat shubuh berjama'ah yang membuat orang-orang tercengang dan menganggapnya gila.[1][14]
  3. "Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku. Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku."[30]
  4. "Tidaklah aku heran terhadap cintaku kepada-Mu karena aku hanyalah hamba yang hina; tetapi aku heran terhadap cinta-Mu kepadaku karena Engkau adalah Raja yang Maha Kuasa. Allah yang Maha Agung telah berkenan menerimaku di dua ribu tingkatan. Pada setiap tingkatan, Ia menawarkan sebuah kerajaan kepadaku, tetapi aku tolak. Maka Allah berkata kepadaku, 'Hai Abu Yazid, apa yang engku inginkan?' Aku menjawab, Aku ingin tidak menginginkan." Ada juga perkataanya, "Manusia bertaubat dari dosa-dosa mereka, sedangkan aku bertobat dari ucapanku, Tiada Tuhan selain Allah karena aku mengucapkannya dengan alat dan huruf, padahal Tuhan tidak dapat dijangkau dengan huruf dan alat. "Pada suatu saat aku dinaikkan sampai ke hadirat Allah. Maka Dia berkata, 'Hai, Abu Yazid, sesungguhnya makhluk-Ku ingin melihatmu.' Aku menjawab, 'Wahai Kekasihku, aku tidak ingin melihat mereka. Jika engkau menghendaki hal demikian dariku, maka sungguh aku tidak sanggup menentang kehendak-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga mereka bila melihatku, akan berkata, 'Kami telah melihat engkau, padahal yang sebenarnya mereka lihat sebenarnya adalah Engkau, karena di kala itu aku tidak ada di sana."[1]
  5. Dikisahkan bahwa pernah seseorang laki-laki mendatangi Abu Yazid di rumahnya.[1] Setelah orang itu mengetuk pintu rumah, maka Abu Yazid bertanya,"Siapa yang kamu cari?" Orang itu menjawab, "Abu Yazid".Lalu Abu Yazid berkata, "Pergilah, tidak ada di rumah ini kecuali Allah." Di lain hari, ia berkata, "Yang ada dalam di jubah ini hanyalah Allah."[1]
  6. "Apabila jahannam melihatku, maka ia akan menyurut."[14]

Dari ungkapan-ungkapan syatahat Abu Yazid di atas itulah dapat dipahami bahwa ia selalu mengalami fana.[1] Ia dan alam semesta telah hilang dari kesadarannya, kendati ia dan alam semesta itu tidaklah hilang sama sekali, tetapi hanya dari kesadarannya.[1] Menurut Al-Thusi, pada kondisi ketidaksadaran di atas membuat sufi tidak bisa mengendalikan diri sepenuhnya.[28] Masalah ucapan-ucapan ini juga pernah dikaji oleh Louis Massignon, baginya hal itu muncul karena seorang sufi sedang berada di luar sadarnya, karena jika diucapkan dalam keadaan normal, justru akan ditolak sendiri oleh orang yang mengucapkannya.[28]

Seseorang pernah menyampaikan kepada Syekh Junaid mengenai syatahat yang diucapkan oleh Abu Yazid ("Maha Suci Aku! Maha Suci Aku! Aku inilah Tuhanku Yang Maha Luhur"),namun hal itu justru mendapatkan respon yang positif.[1][28][32] Dia berkata, "Abu Yazid begitu terpesona ketika melihat keagungan Allah, sehingga dia mengucapkan apa yang telah membuatnya terpesona."[1] Allah yang Maha Besar telah membuatnya lalai dan ia tidak menyaksikan kecuali Tuhan, maka Abu Yazid berbicara tentang-Nya.”[1] Abu Yazid adalah seorang sufi pertama yang melahirkan kata-kata syatahat, namun belum memiliki maqam (kedudukan) yang tinggi menurut Syekh Junaid.[1] Sedang Syeikh Abdul Qadir Jaelani menanggapi dengan perkataannya, "Tidaklah hal itu divonis kecuali saat berkata itu, sufi sedang dalam keadaan sadar. Namun jika ia dalam keadaan sadar, maka hukuman akan diberlakukan atasnya."[1] Pendapat lain datang dari Ibnu Taimiyah dan Imam Al-Ghazali yang mempunyai pemikiran sama, yakni bahwa kata-kata seperti “Maha Suci aku, tidak ada dalam jubahku kecuali Allah”, dan perkataan lainnya ketika sedang mabukk cinta pada Tuhan, sebaiknya disimpan dan tidak perlu diriwayatkan.[1][30]

Jika para ulama-ulama tersebut memaklumi perkataan Abu Yazid karena ketidak sadarannya, berbeda dengan Ibnu al-Jauzi, ia mengatakan bahwa barang siapa yang mengucapkan kata-kata tersebut, siapapun dia, maka tergolong zindiq (orang yang kufur/ keluar dari Islam) dan harus dibunuh karena sikap yang menyepelekan sebagai akibat dari penentangan.[14] Menurutnya, sebaiknya lilin didekatkan ke wajahnya dan jika ia tersulut maka katakan kepadanya, "Inilah bara neraka".[14][33] Selanjutnya, ada Abu al-Fadhl al-Falaki yang dalam kitabnya berjudul al-Nur min Kalami Thaifur menuliskan banyak kekeliruan yang dilakukan oleh Abu Yazid.[14]

2. Mi'raj

Selain syatahatnya, Abu Yazid juga menuai kontroversi mengenai Mi'raj (naik ke langit, yang mana Nabi Muhammad pernah melakukan perjalan dari Jerusalem menuju langit ketujuh) yang dialaminya.[3][34] Abu Yazid sangat tertarik pada pengalaman spiritual yang tinggi dari Nabi Muhammad saw tersebut.[1] Ia juga memimpikan dan mendapatkannya.[1] Kisahnya dimulai saat dia bermimpi mengalami mi'raj, naik ke langit dengan membawa kerinduan mencari Allah, ingin bersatu dan tinggal bersama-Nya untuk selamanya.[1][3] Saat itu ia mendapatkan ujian, Allah memperlihatkannya berbagai macam karunia, menawarkan kekuasaan atas seluruh langit, namun ia berpaling karena ia tahu bahwa semua itu hanyalah ujian.[1][3] Lalu dia berkata, "Wahai kekasihku keinginanku bukanlah itu semua."[1][3] Selanjutnya ia naik ke langit kedua, di sana terlihat para malaikat bersayap yang terbang ke bumi seratus ribu kali setiap hari untuk melihat para wali (kekasih Allah) yang mana mereka memiliki wajah bersinar seperti matahari.[1][3]

Kemudian ia terus naik dan sampai pada langit ke tujuh.[1] Tiba-tiba terdengar sebuah sahutan, "Hai Abu Yazid, berhentilah! Kau sudah sampai pada tujuanmu".[1][3] Namun dirinya tidak mempedulikan hal tersebut dan terus terbang.[1] Tuhan yang melihat ketulusan dan kerinduan mencari-Nya, mengubahnya menjadi seperti seekor burung yang dapat terbang.[1][3] Ia melintasi kerajaan-kerajaan, menembus hijab (penghalang) demi hijab sampai salah satu malaikat menemuinya dan menyerahkan sebuah pilar cahaya dan berkata, "Ambilah!".[1][3] Ia berkata bahwa saat itu langit dan seluruh isinya berlindung di bawah makrifatnya (pengetahuan), mencari cahaya dalam cahaya kerinduan, dan perhatian yang seluruhnya untuk mencari Allah.[1][3] Dia terbang lagi sampai bertemu dengan malaikat-malaikat yang jumlahnya seperti bintang di langit yang memancarkan sinar.[1][3] Ketika Tuhan melihat ketulusannya, Dia berkata, "Hai orang pilihan-Ku, mendekatlah pada-Ku dan naiklah ke hamparan keindahan-Ku. Kau adalah pilihan dan kekasih-Ku di antara makhlu-Ku."[1][3] Kemudian Abu Yazid meleleh seperti melelehnya timah dalam panasnya api.[1][3][35] Ia menceritakan bahwa kemudian Allah mengubahnya menjadi bentuk lain yang tidak dapat dijelaskan.[1] Tuhan membawa Abu Yazid menjadi sangat dekat dengan-Nya melebihi dekatnya ruh dengan tubuh.[1][3]

Kisah di atas dapat menunjukkan bahwa Abu Yazid memperoleh satu pengalaman spiritual seperti apa yang didapatakan oleh Rasulullah, yakni dimi’rajkan ke langit untuk menghadap Tuhan sekaligus menyaksikan berbagai tanda kebesaran dan kekuasaan yang dimiliki-Nya.[1] Kendati memiliki pengalaman spiritual yang sama, namun Abu Yazid tidak pernah mengatakan memiliki kualitas keruhaniannya yang setaraf dengan Nabi Muhammad yang diyakini umat Islam sebagai Nabi yang paling mulia.[1] Namun dia hanya berkata, "Tigapuluh ribu tahun aku terbang di dalam kemuliaan-Nya (Allah), kemudian di dalam keesaan-Nya. Lalu aku juga menjelajahi empat ribu padang belantara. Ketika sampai ke akhir penjelajahan, ternyata aku masih berada di tahap awal kenabian."[1] Dia juga berkata bahwa karunia ilmu yang dianugerahkan kepadanya dibandingkan dengan apa yang dianugerahkan kepada Nabi Muhammad, layaknya tetesan-tetesan madu dibanding dengan sekarung besar madu.[1]

Kisah mi’raj dan ungkapan-ungkapan syatahat Abu Yazid seperti yang juga dilakukan oleh Mansur Al-Hallaj (dihukum mati karena paham wahdatul wujud nya (penyatuan jiwa antar manusia dengan Allah) pada tahun 922 M) telah mengundang banyak kontroversi di kalangan para ulama’ pada umumnya dan sufi pada khususnya.[1][30] Ada golongan yang menganggap kisah itu hanyalah karangan saja, ada juga yang mengecam syatahatnya sebagai perkataan dari orang yang sudah gila.[1] Sebaliknya, ada juga golongan yang dapat memahami sekaligus menghargai mimpi dan syatahatnya, sehingga dianggap sebagai suatu kewajaran yang muncul pada sufi yang sedang mabuk cinta pada Tuhannya dan sedang tidak dalam kesadaran seperti biasanya.[1]

Akhir Hayat

Menjelang akhir hayatnya, Abu Yazid memasuki sebuah tempat shalat dengan memakai ikat pinggang.[1] Mantel dan pecinya yang terbuat dari bulu domba itu dikenakannya secara terbalik.[1] Kemudian ia bermunajat, "Ya Allah, aku tidak membanggakan disiplin diri yang telah kulaksanakan seumur hidupku, aku juga tidak membanggakan shalat yang telah aku lakukan sepanjang malam. Tidak pula menyombongkan puasa yang telah kulakukan selama hidupku. Aku tidak menonjolkan upayaku mengkhatamkan (menamatkan) AlQur’an berulang-ulang kali. Aku tak akan mengatakan betapa tingginya pengalaman spiritual yang telah aku alami, betapa bersungguh-sungguhnya untuk doa yang telah aku panjatkan dan betapa akrabnya hubungan Kau denganku. Engkaupun mengetahui bahwa aku tidak membanggakan segala sesuatu yang telah aku lakukan itu. Semua yang kukatakan ini bukan untuk membanggakan diri. Semua ini kukatakan kepda-Mu karen aku malu atas segala perbuatanku itu. Engkau telah melimpahkan rahmat-Mu, sehingga aku dapat mengenal diriku sendiri. Semuanya tidaklah berarti, dan anggaplah tidak pernah terjadi. Aku adalah seorang tua yang sudah berumur 70 tahun dengan rambut yang telah memutih dalam keburukan. Baru sekarang inilah aku dapat memutus ikat pinggang ini. Baru sekarang aku dapat melangkah ke dalam lingkungan Islam. Baru sekarang inilah aku dapat menggerakkan lidah untuk mengucapkan syahadah (pengakuan tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah). Engkau menerima umat manusia bukan karena kepatuhan mereka, dan Engkau tidak akan menolak mereka hanya karena keingkarannya. Segala sesuatu yang kulakukan hanyalah debu. Kepada setiap perbuatanku yang tak berkenan kepada-Mu, limpahkanlah ampunan-Mu. Basuhlah debu keingkaran dari dalam diriku karena akupun telah membasuh debu kelancangan karena mengaku telah mematuhi-Mu."[1]

Makam Abu Yazid terletak di pusat kota Bistami yang banyak diziarahi oleh para pengunjung.[1] Sebuah kubah didirikan di atas makamnya pada tahun 713 H/1313 M atas perintah Sultan Mongol bernama Muhammad Khudabanda, seorang sultan yang berguru pada Syekh Syaraf al-Din (keturunan Abu Yazid).[1]

Galeri

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak al am an ao ap aq ar as at au av aw ax ay az ba bb bc bd be bf bg bh bi bj bk bl bm bn bo bp bq br bs bt bu bv bw bx by bz ca cb cc cd ce cf cg ch ci cj ck cl cm cn co cp cq cr cs ct cu cv cw cx cy cz da db dc dd de df dg dh di Azyumardi Azra, Ilyas Ismail, dkk (2008).Ensiklopedi Tasawuf.Bandung:Penerbit Angkasa.Hal 152-159. Cet 1
  2. ^ Walbridge, John. "Suhrawardi and Illumination" in "The Cambridge Companion to Arabic Philosophy " edited by Peter Adamson, Richard C. Taylor, Cambridge University Press, 2005.Hal 206.
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah (1992). Ensiklopedia Islam Indonesia. Jakarta:Penerbit Djambatan. Hal 47-48
  4. ^ a b c d e f g h i j k Abdul Fatah, dkk (1993).Ensiklopedi Islam.Jakarta:Departemen Agama Republik Indonesia. Hal 53-61
  5. ^ Hadhiri, Choiruddin (2005) .Klasifikasi Kandungan Al-Qur'an.Jakarta:Gema Insani.Jilid 2. Hal 113
  6. ^ .Ash-Shufiy, Mahir Ahmad (2007).Surga:Kenikmatan yang Kekal.Solo:Tiga Serangkai.Terj. Tim Love Pustaka.Hal 114
  7. ^ Jazuli, Ahzami Samiun (2006).Kehidupan dalam Pandangan Al-Qur'an.Jakarta:Gema Insani. Terj. Sari Narulita. Hal 73
  8. ^ Sirodj, Said Aqil (2006).Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi.Jakarta:Mizan Pustaka. Hal 94
  9. ^ Al-Birgawi, Muhammad Ali (2008).Tarekat Muhammad.Jakarta:Penerbit Serambi. Terj. Syamsu Rizal Hal 242
  10. ^ Rakhmat, Jalaluddin(2008).Membuka Tirai Kegaiban: Rahasia-Rahasia Sufistik.Jakarta:Mizan Pustaka.
  11. ^ Departemen Pendidikan Nasional (2008).Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta:Gramedia.Cet. 1 Edisi IV. Hal 1178
  12. ^ Alim, Zezen Zainal(2012).Panduan Lengkap Shalat Sunnah Rekomendasi Rasulullah.Jakarta:PT Agromedia Pustaka.Hal 17-19
  13. ^ Hasbiyallah (2006).Fikih.Jakarta:Grafindo MediaPratama. Hal 15
  14. ^ a b c d e f Siradj, Said Aqil (2003).Ma’rifatullah:Pandangan Agama-Agama dan Tradisi Filsafat.Jakarta:Elsas Jakarta. Hal 43-60
  15. ^ a b c d Huda, Sokhi (2008).Tasawuf Kultural:fenomena shalawat wahidiyah.Yogyakarta:LKiS Pelangi Aksara.Hal 28-30
  16. ^ a b c d e f Poeponegoro, Marwati Djoened (2008).Sejarah Nasional Indonesia III.Jakarta:Balai Pustaka. Hal 183
  17. ^ Kafie, Jamaluddin (2003).Tasawuf Kontemporer.Jakarta:Republika.Hal 1
  18. ^ Ibrahim, Muhammad Zaki (2003). Tasawuf Hitam Putih.Solo:Tiga Serangkai.Ter. Umar Ibrahim. Hal 107
  19. ^ a b c d e f Kartanegara, Mulyadhi (2006).Menyelami Lubuk Tasawuf.Jakarta:Penerbit Erlangga Hal 124
  20. ^ a b c .Kabbani, Muhammad Hisyam (2007).Tasawuf dan Ihsan.Jakarta:Penerbit Serambi. Trj.Zaimul Am. Hal 97-98
  21. ^ Mujieb, Abdul (2009).Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali.Jakarta:Mizan Publika.Hal 413
  22. ^ Badawi, Abdurrahman (2003).Ensiklopedi Tokoh Orientalis.Yogyakarta:LKiS.Hal 34
  23. ^ Sholikhin, Muhammad (2010).Menyatu Diri dengan Ilahi.Yogyakarta:Penerbit Narasi. Hal 92
  24. ^ Susetya, Wawan (2006) Kisah Para Sufi.Solo:Tiga Serangkai. Hal 35
  25. ^ a b Shadily, Hassan (1980).Ensiklopedia Indonesia.Jakarta:Ichtiar Baru van Hoeve. Hal 67
  26. ^ a b c d e f g h i Solikhin, Muhammad (2009).17 Jalan Menggapai Mahkota Sufi Syaikh Adbul Qadir Al Jailani.Yogyakarta:Mutiara Media.Hal 195-201
  27. ^ a b Surur, Misbahus (2009).Dahsyatnya Shalat Tasbih.Jakarta:Qultum Media.Hal 202
  28. ^ a b c d e f Al-Taftazani, Abul Wafa Al-Ghanimi (1985).Sufi dari Zaman ke Zaman.Bandung:Penerbit Pustaka. Hal 115-116
  29. ^ Harvey, Andrew (2004).Seribu Ilham Kearifan Sufi.Jakarta:Pustaka Alvabet.Terj. Noor Kholish.Hal 153
  30. ^ a b c d Tebba, Sudirman (2006).Merengkuh Makrifat Menuju Ekstase Spiritual.Tangerang:Pustaka Irvan. Cet.I Hal 139-140
  31. ^ Hadi, Abdul WM (1991).Sastra Sufi Sebuah Antologi.Jakarta:Pustaka Firdaus. Cet.2 Hal 36-38
  32. ^ Tebba, Sudirman (2006).Merengkuh Makrifat Menuju Ekstase Spiritual.Ciputat:Pustaka Irvan. Cet.1 Hal 139
  33. ^ Al Indunisi, Ahmad Nahrawi Abdus Salam (2008)Ensiklopedia Imam Syafi'i.Jakarta:Mizan Publika.Terj. Usman Sya'roni.Hal 92
  34. ^ Misrawi, Zuhairi (2010).Abu Bakar.Bandung:Pustaka Oasis.Hal 11
  35. ^ Hilal, Ibrahim (2002) Tasawuf Antara Agama dan Filsafat.Bandung:Pustaka Hidayatulah. Hal 59

Pranala luar