Sistem imun

sistem pertahanan dalam tubuh

Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel tumor. Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang luas, organisme akan melindungi tubuh dari infeksi, bakteri, virus sampai parasit, serta menghancurkan zat-zat asing lain dan memusnahkan mereka dari sel organisme yang sehat dan jaringan agar tetap dapat berfungsi normal. Deteksi sistem ini sulit karena adaptasi patogen dan memiliki cara baru agar dapat menginfeksi organisme.

Darah yang mengandung darah merah, darah putih, limfosit, monosit, neutrofil, dan keping darah.

Untuk selamat dari tantangan ini, beberapa mekanisme telah berevolusi yang menetralkan patogen. Bahkan organisme uniselular seperti bakteri dimusnahkan oleh sistem enzim yang melindungi terhadap infeksi virus. Mekanisme imun lainnya yang berevolusi pada eukariota kuno dan tetap pada keturunan modern, seperti tanaman, ikan, reptil dan serangga. Mekanisme tersebut termasuk peptida antimikrobial yang disebut defensin, fagositosis, dan sistem komplemen.[1] Mekanisme yang lebih kompleks berkembang secara relatif baru-baru ini, dengan adanya evolusi vertebrata. Imunitas vertebrata seperti manusia berisi banyak jenis protein, sel, organ tubuh dan jaringan yang berinteraksi pada jaringan yang rumit dan dinamis. Sebagai bagian dari respon imun yang lebih kompleks ini, sistem vertebrata mengadaptasi untuk mengenali patogen khusus secara lebih efektif. Proses adaptasi membuat memori imunologis dan membuat perlindungan yang lebih efektif selama pertemuan dengan patogen berikutnya. Proses imunitas perolehan adalah dasar dari vaksinasi.

Jika sistem imun melemah, kemampuannya untuk melindungi tubuh juga berkurang, membuat patogen, termasuk virus yang menyebabkan penyakit. Penyakit defisiensi imun muncul ketika sistem imun kurang aktif daripada biasanya, menyebabkan munculnya infeksi. Defisiensi imun merupakan penyebab dari penyakit genetik, seperti severe combined immunodeficiency, atau dipicu oleh obat atau infeksi, seperti sindrom defisiensi imun dapatan (AIDS) yang disebabkan oleh retrovirus HIV.

Penyakit autoimun menyebabkan sistem imun yang hiperaktif menyerang jaringan normal seperti jaringan tersebut merupakan benda asing. Penyakit autoimun termasuk rheumatoid arthritis, diabetes melitus tipe 1 dan lupus erythematosus. Peran penting imunologi tersebut pada kesehatan dan penyakit adalah bagian dari penelitian.

Lapisan pelindung pada imunitas

Sistem imun tubuh melindungi organisme dari infeksi dengan lapisan pelindung kekhususan yang meningkat. Pelindung fisik mencegah patogen seperti bakteri dan virus memasuki tubuh. Jika patogen melewati pelindung tersebut, sistem imun bawaan menyediakan perlindungan dengan segera, tetapi respon tidak-spesifik. Sistem imun bawaan ditemukan pada semua jenis tumbuhan dan hewan.[2] Namun, jika patogen berhasil melewati respon bawaan, vertebrata memasuki perlindungan lapisan ketiga, yaitu sistem imun adaptif yang diaktivasi oleh respon bawaan. Disini, sistem imun mengadaptasi respon tersebut selama infeksi untuk menambah pengenalan patogen tersebut. Respon ini lalu ditahan setelah patogen dihabiskan pada bentuk memori imunologis dan menyebabkan sistem imun adaptif untuk memasang lebih cepat dan serangan yang lebih kuat setiap patogen tersebut ditemukan.[3]

Komponen imunitas
Sistem imun bawaan Sistem imun adaptif
Respon tidak spesifik Respon spesifik patogen dan antigen
Paparan menyebabkan respon maksimal segara Perlambatan waktu antara paparan dan respon maksimal
Komponen imunitas seluler dan respon imun humoral Komponen imunitas seluler dan respon imun humoral
Tidak ada memori imunologis Paparan menyebabkan adanya memori imunologis
Ditemukan hampir pada semua bentuk kehidupan Hanya ditemukan pada Gnathostomata

Baik imunitas bawaan dan adaptif bergantung pada kemampuan sistem imun untuk memusnahkan baik molekul diri ("self") dan asing ("nonself"). Pada imunologi, molekul self adalah komponen tubuh organisme yang dapat dimusnahkan dari bahan asing oleh sistem imun.[4] Sebaliknya, molekul non-self adalah yang dianggap sebagai molekul asing. Satu kelas dari molekul non-self disebut antigen (kependekan dari generator antibodi) dan dianggap sebagai bahan yang menempel pada reseptor imun spesifik dan mendapatkan respon imun.[5]

Perisai permukaan

Beberapa perisai melindungi organisme dari infeksi, termasuk perisai mekanikal, kimia dan biologi. Kulit ari tanaman dari banyak daun, eksoskeleton serangga, kulit telur dan membran bagian luar dari telur dan kulit adalah contoh perisai mekanikal yang merupakan pertahanan awal terhadap infeksi.[5] Namun, karena organisme tidak dapat sepenuhnya ditahan terhadap lingkungan mereka, sistem lainnya melindungi tubuh seperti paru-paru, usus, dan sistem genitourinari. Pada paru-paru, batuk dan bersin secara mekanis mengeluarkan patogen dan iritan lainnya dari sistem pernapasan. Pengeluaran air mata dan urin juga secara mekanis mengeluarkan patogen, sementara ingus dikeluarkan oleh saluran pernapasan dan sistem pencernaan untuk menangkap mikroorganisme.[6]

Perisai kimia juga melindungi terhadap infeksi. Kulit dan sistem pernapasan mengeluarkan peptida antimikroba seperti β-defensin.[7] Enzim seperti lisozim dan fosfolipase A2 pada air liur, air mata dan air susu ibu juga antiseptik.[8][9] Sekresi Vagina merupakan perisai kimia selama menarche, ketika mereka menjadi agak bersifat asal, sementara semen memiliki pertahanan dan zinc untuk membunuh patogen.[10][11] Pada perut, asam lambung dan protase menyediakan pertahanan kimia yang kuat melawan patogen yang tertelan ketika dimakan.

Dalam saluran pencernaan dan sistem genitourinari, flora komensal merupakan perisai biologi dengan bersaing dengan patogen untuk makanan dan tempat, dan pada beberapa kasus, dengan mengubah kondisi lingkungan mereka, seperti pH atau besi yang ada.[12] Hal ini mengurangi kemungkinan bahwa patogen akan menyebabkan penyakit. Namun, sejak kebanyakan antibiotik mengincar bakteri dan tidak menyerang fungi, antibiotik oral dapat menyebabkan "pertumbuhan lebih" fungi dan dapat menyebabkan kondisi seperti kandiasis vagina.[13] Terdapat bukti baik bahwa perkenalan kembali flora probiotik, seperti budaya asli lactobacillus yang ada pada yogurt, menolong mengembalikan keseimbangan kesehatan populasi mikrobial pada infeksi usus anak-anak dan mendorong data pendahuluan pada penelitian Gastroenteritis bakterial, radang usus, infeksi saluran urin dan infeksi setelah operasi.[14][15][16]

Imunitas bawaan

Mikroorganisme yang berhasil memasuki organisme akan bertemu dengan sel dan mekanisme sistem imun bawaan. Respon bawaan biasanya dijalankan ketika mikroba diidentifikasi oleh reseptor pengenal pola, yang mengenali komponen lestari antara kelompok mikroorganisme.[17] Sistem imun bawaan tidak spesifik, berarti bahwa respon sistem tersebut pada patogen berada pada cara yang umum.[5] Sistem imun bawaan adalah sistem dominan pertahanan seseorang pada kebanyakan organisme.[2]

Pelindung humoral dan kimia

Peradangan

Peradangan adalah salah satu dari respon pertama sistem imun terhadap infeksi.[18] Gejala peradangan adalah kemerahan dan bengkak yang diakibatkan oleh peningkatan aliran darah ke jaringan. Peradangan diproduksi oleh eikosanoid dan sitokin, yang dikeluarkan oleh sel yang terinfeksi atau terluka. Eikosanoid termasuk prostaglandin yang memproduksi demam dan pembesaran pembuluh darah berkaitan dengan peradangan, dan leukotrien yang menarik sel darah putih (leukosit).[19][20] Sitokin umum termasuk interleukin yang bertanggung jawab untuk komunikasi antar sel darah putih; kemokin yang mendorong kemotaksis; dan interferon yang memiliki pengaruh antivirus, seperti melemahkam sintesis protein pada sel manusia.[21] Faktar pertumbuhan dan faktor sitotoksik juga dapat dirilis. Sitotokin tersebut dan kimia lainnya merekrut sel imun ke tempat infeksi dan menyembuhkan jaringan yang mengalami kerusakan yang diikuti dengan pemindahan patogen.[22]

Sistem komplemen

Sistem komplemen adalah kaskade biokimia yang menyerang permukaan sel asing. Sistem komplemen memiliki lebih dari 20 protein yang berbeda dan dinamakan karena kemampuannya untuk "melengkapi" pembunuhan patogen oleh antibodi. Komplemen adalah komponen humoral utama dari respon imun bawaan.[23][24] Banyak spesies memiliki sistem komplemen, termasuk spesies bukan mamalia seperti tumbuhan, ikan, dan beberapa invertebrata.[25]

Pada manusia, respon ini diaktivasi dengan melilit komplemen ke antibodi yang dipasang pada mikroba tersebut atau protein komplemen yang dililit pada karbohidrat di permukaan mikroba. Pengenalan sinyal menjalankan respon membunuh dengan cepat.[26] Kecepatan respon adalah hasil dari pengerasan yang muncul mengikuti aktivas proteolisis dari molekul kompleman, yang juga termasuk protease. Setelah protein komplemen melilit pada mikroba, mereka mengaktifkan aktivitas proteasenya, yang mengaktivasi protease komplemen lainnya. Hal ini menyebabkan produksi kaskade katalisis yang memperbesar sinyal oleh arus balik positif yang dikontrol.[27] Hasil kaskade adalah produksi peptida yang menarik sel imun, meningkatkan permeabilitas vaskular , dan opsonin permukaan patogen, menandai kehancurannya. Pemasukan komplemen juga dapat membunuh sel secara langsung dengan menyerang membran plasma mereka.[23]

Perisai seluler sistem imun bawaan

 
Gambar darah manusia dari mikroskop elektron. Dapat terlihat sel darah merah, dan juga terlihat sel darah putih termasuk limfosit, monosit, neutrofil dan banyak platelet kecil lainnya.

Leukosit (sel darah putih) bergerak bebas dan merupakan sel fungsional dalam sistem imun bawaan.[5] Leukosit termasuk fagosit (makrofag, neutrofil, dan sel dendritik), mastosit, eosinofil, basofil dan sel NK. Sel tersebut mengidentifikasikan dan membunuh patogen dengan menyerang patogen yang lebih besar melalui kontak atau dengan menelan dan lalu membunuh mikroorganisme.[25] Sel bawaan juga merupakan mediator penting pada kativasi sistem imun adaptif.[3]

Fagositosis adalah fitur imunitas bawaan penting yang dilakukan oleh sel yang disebut fagosit. Fagosit menelan, atau memakan patogen atau partikel. Fagosit biasanya berpatroli mencari patogen, tetapi dapat dipanggil ke lokasi spesifik oleh sitokin.[5] Ketika patogen ditelan oleh fagosit, patogen terperangkap di vesikel intraselular yang disebut fagosom, yang sesudah itu menyatu dengan vesikel lainnya yang disebut lisosom untuk membentuk fagolisosom. Patogen dibunuh oleh aktivitas enzim pencernaan atau respiratory burst yang mengeluarkan radikal bebas ke fagolisosom.[28][29] Fagositosis berevolusi sebagai sebuah titik pertengahan penerima nutrisi, tetapi peran ini diperluas di fagosit untuk memasukan menelan patogen sebagai mekanisme pertahanan.[30] Fagositosis mungkin mewakili bentuk pertahanan tertua, karena fagosit telah diidentifikasikan ada pada vertebrata dan invertebrata.[31]

Neutrofil dan makrofaga adalah fagosit yang berkeliling di tubuh untuk mengejar dan menyerang patogen.[32] Neutrofil dapat ditemukan di sistem kardiovaskular dan merupakan tipe fagosit yang paling melimpah, normalnya sebanyak 50% sampai 60% jumlah peredaran leukosit.[33] Selama fase radang akut, terutama sebagai akibat dari infeksi bakteri, neutrofil bermigrasi ke tempat radang pada proses yang disebut kemotaksis, dan biasanya sel pertama yang tiba pada saat infeksi.

Makrofaga adalah sel serba guna yang terletak pada jaringan dan memproduksi susunan luas bahan kimia termasuk enzim, protein komplemen, dan regulator seperti interleukin 1.[34] Makrofaga juga beraksi sebagai pemakan, membersihkan tubuh dari sel mati dan debris lainnya, dan sebagai sel penyaji antigen yang mengaktivasi sistem imun adaptif.[3]

Sel dendritik adalah fagosit pada jaringan yang berhubungan dengan lingkungan luar; oleh karena itu, mereka terutama berada di kulit, hidung, paru-paru, perut, dan usus.[35] Mereka dinamai untuk kemiripan mereka dengan dendrit, memiliki proyeksi mirip dengan dendrit, tetapi sel dendritik tidak terhubung dengan sistem saraf. Sel dendritik merupakan hubungan antara sistem imun adaptif dan bawaan, dengan kehadiran antigen pada sel T, salah satu kunci tipe sel sistem imun adaptif.[35]

Mastosit terletak di jaringan konektif dan membran mukosa dan mengatur respon peradangan.[36] Mereka berhubungan dengan alergi dan anafilaksis.[33] Basofil dan eosinofil berhubungan dengan neutrofil. Mereka mengsekresikan perantara bahan kimia yang ikut serta melindungi tubuh terhadap parasit dan memainkan peran pada reaksi alergi, seperti asma.[37] Sel NK adalah leukosit yang menyerang dan menghancurkan sel tumor, atau sel yang telah terinfeksi oleh virus.[38]

Imunitas adaptif

Imunitas adaptif berevolusi pada vertebrata awal dan membuat adanya respon imun yang lebih kuat dan juga memori imunologikal, yang tiap patogen diingat oleh tanda antigen.[39] Respon imun adaptif spesifik-antigen dan membutuhkan pengenalan antigen "non-self" spesifik selama proses disebut presentasi antigen. Spesifisitas antigen menyebabkan produksi respon yang disesuaikan pada patogen atau sel yang terinfeksi patogen. Kemampuan tersebut ditegakan di tubuh oleh "sel memori". Patogen akan menginfeksi tubuh lebih dari sekali, sehingga sel memori tersebut digunakan untuk segera memusnahkannya.

Limfosit

Sel sistem imun adaptif adalah tipe spesial leukosit yang disebut limfosit. Sel B dan sel T adalah tipe utama limfosit yang berasal dari sel punca hematopoietik pada sumsum tulang.[25] Sel B ikut serta pada imunitas humoral, sedangkan sel T ikut serta pada respon imun seluler.

Baik sel B dan sel T membawa molekul reseptor yang mengenali target spesifik. Sel T mengenali target "non-self", seperti patogen, hanya setelah antigen (fragmen kecil patogen) telah diproses dan disajikan pada molekul major histocompatibility complex (MHC).

Terdapat dua subtipe utama sel T: sel T pembunuh dan sel T pembantu. Sel T pembunuh hanya mengenali antigen dirangkaikan pada molekul MHC kelas I, sementara sel T pembantu hanya mengenali antigen dirangkaikan pada molekul MHC kelas II. Dua mekanisme presentasi antigen tersebut memunculkan peran berbeda dua tipe sel T. Yang ketiga, subtipe minor adalah sel T γδ yang mengenali antigen yang tidak melekat pada reseptor MHC.[40]

Reseptor antigel sel B adalah molekul antibodi pada permukaan sel B dan mengenali semua patogen tanpa perlu adanya proses antigen. Tiap keturunan sel B memiliki antibodi yang berbeda, sehingga kumpulan resptor antigen sel B yang lengkap melambangkan semua antibodi yang dapat diproduksi oleh tubuh.[25]

Sel T pembunuh

 
Sel T pembunuh secara langsung menyerang sel lainnya yang membawa antigen asing atau abnormal di permukaan mereka.[41]

Sel T pembunuh adalah subkelompok dari sel T yang membunuh sel yang terinfeksi dengan virus (dan patogen lainnya), atau merusak dan mematikan patogen.[42] Seperti sel B, tiap tipe sel T mengenali antigen yang berbeda. Sel T pembunuh diaktivasi ketika reseptor sel T mereka melekat pada antigen spesifik pada kompleks dengan reseptor MHC kelas I dari sel lainnya. Pengenalan MHC:kompleks antigen ini dibantu oleh ko-reseptor pada sel T yang disebut CD8. Sel T lalu berkeliling pada tubuh untuk mencari sel yang reseptor MHC kelas I tmengikat antigen. Ketika sel T yang aktif menghubungi sel lainnya, sitotoksin dikeluarkan yang membentuk pori pada membran plasma sel, membiarkan ion, air dan toksin masuk. Hal ini menyebabkan sel mengalami apoptosis.[43] Sel T pembunuh penting untuk mencegah replikasi virus. Aktivasi sel T membutuhkan sinyal aktivasi antigen/MHC yang sangat kuat, atau penambahan aktivasi sinyal yang disediakan oleh sel T pembantu.[43]

Sel T pembantu

Sel T pembantu mengatur baik respon imun bawaan dan adaptif dan membantu menentukan tipe respon imun mana yang tubuh akan buat pada patogen khusus.[44][45] Sel tersebut tidak memiliki aktivitas sitotoksik dan tidak membunuh sel yang terinfeksi atau membersihkan patogen secara langsung, namun mereka mengontrol respon imun dengan mengarahkan sel lain untuk melakukan tugas tersebut.

Sel T pembantu mengekspresikan reseptor sel T yang mengenali antigen terikat pada molekul MHC kelas II. Kompleks MHC:antigen juga dikenali oleh reseptor sel pembantu CD4 yang merekrut molekul di dalam sel T yang bertanggung jawab untuk aktivasi sel T. Sel T pembantu memiliki hubungan lebih lemah dengan kompleks MHC:antigen daripada pengamatan sel T pembunuh, berarti banyak reseptor (sekitar 200-300) pada sel T pembantu yang harus diikat pada MHC:antigen untuk mengaktifkan sel pembantu, sementara sel T pembunuh dapat diaktifkan dengan pertempuran molekul MHC:antigen. Kativasi sel T pembantu juga membutuhkan durasi pertempuran lebih lama dengan sel yang memiliki antigen.[46] Aktivasi sel T pembantu yang beristirahat menyebabkan dikeluarkanya sitokin yang memperluas aktivitas banyak tipe sel. Sinyal sitokin yang diproduksi oleh sel T pembantu memperbesar fungsi mikrobisidal makrofag dan aktivitas sel T pembunuh.[5] Aktivasi sel T pembantu menyebabkan molekul diekspresikan pada permukaan sel T, seperti CD154), yang menyediakan sinyal stimulasi tambahan yang dibutuhkan untuk mengaktifkan sel B yang memproduksi antibodi.[47]

Sel T γδ

Sel T γδ memiliki reseptor sel T alternatif yang berlawanan dengan sel T CD4+ dan CD8+ (αβ) dan berbagi karakteristik dengan sel T pembantu, sel T sitotoksik dan sel NK. Kondisi yang memproduksi respon dari sel T γδ tidak sepenuhnya dimengerti. Sel ini menghasilkan reseptor sel T konstan, seperti CD1d yang dibatasi sel T pembunuh alami, sel T γδ terletak di perbatasan antara imunitas adaptif dan bawaan.[48] Sel T γδ adalah komponen dari sistem imun adaptif karena mereka menyusun kembali gen reseptor sel T untuk memproduksi perbedaan reseptor dan dapat mengembangkan memori. Berbagai subset adalah bagian dari sistem imun bawaan, karena reseptor sel T atau reseptor NK yang dilarang dapat digunakan sebagai reseptor pengenalan latar belakang, contohnya, jumlah besar respon sel T Vγ9/Vδ2 dalam waktu jam untuk molekul umum yang diproduksi oleh mikroba, dan melarang sel T Vδ1+ T pada epitelium akan merespon untuk menekan sel epitelial.[49]

 
Sebuah antibodi terbuat dari dua rantai berat dan dua rantai ringan. Variasi unik daerah membuat antibodi mengenali antigen yang cocok.[41]

Antibodi dan limfosit B

Sel B mengidentifikasi patogen ketika antibodi pada permukaan melekat pada antigen.[50] Kompleks antigen/antibodi kompleks ini diambil oleh sel B dan diprosesi oleh proteolisis ke peptids. Sel B lalu menampilkan peptida antigenik pada permukaan molekul MHC kelas II. Kombinasi MHC dan antigen menarik sel T pembantu yang cocok, yang melepas limfokin dan mengaktifkan sel B.[51] Sel B yang aktif lalu mulai berdiferensiasi menjadi (sel plasma) mengeluarkan jutaan antibodi yang mengenali antigen itu. Antibodi tersebut diedarkan pada plasma darah dan limfa, mengikat patogen dan menandainya untuk dihancurkan oleh aktivasi komplemen atau untuk penghancuran oleh fagosit. Antibodi juga dapat menetralkan toksin bakteri atau dengan mengganggu dengan reseptor yang digunakan virus dan bakteri untuk menginfeksi sel.[52]

Imunitas adaptif alternatif

Walaupun molekul klasik sistem imun adaptif (seperti antibodi dan reseptor sel T) ada hanya pada vertebrata berahang, molekul berasal dari limfosit ditemukan pada vertebrata tak berahang primitif, seperti lamprey dan hagfish. Binatang tersebut memproses susunan besar molekul disebut reseptor limfosit variabel yang seperti reseptor antigen vertebrata berahang, diproduksi dari jumlah kecil (satu atau dua) gen. Molekul tersebut dipercaya melilit pada patogen dengan cara yang sama dengan antibodi dan dengan tingkat spesifisitas yang sama.[53]

Memori imunologi

Ketika sel B dan sel T diaktivasi dan mulai untuk bereplikasi, beberapa dari keturunan mereka akan menjadi sel memori yang hidup lama. Sel memori tersebut akan mengingat tiap patogen spesifik yang ditemui dan dapat melakukan respon kuat jika patogen terdeteksi kembali. Hal ini adaptif karena muncul selama kehidupan individu sebagai adaptasi infeksi dengan patogen tersebut dan mempersiapkan imunitas untuk tantangan di masa depan. Memori imunologi dapat berbentuk memori jangka pendek pasif atau memori jangka panjang aktif.

Memori pasif

Imunitas pasif biasanya berjangka pendek, hilang dalam beberapa hari sampai beberapa bulan. Bayi yang baru lahir tidak memiliki paparan pada mikroba dan rentan terhadap infeksi. Beberapa lapisan perlindungan pasif disediakan oleh ibu. Selama kehamilan, tipe antibodi yang disebut IgG, dikirim dari ibu ke bayi secara langsung menyebrangi plasenta, sehingga bayi manusia memiliki antibodi tinggi bahkan saat lahir, dengan spesifisitas jangkauan antigen yang sama dengan ibunya.[54] Air susu ibu juga mengandung antibodi yang dikirim ke sistem pencernaan bayi dan melindungi bayi terhadap infeksi bakteri sampai bayi dapat mensintesis antibodinya sendiri.[55] Imunitas pasif ini disebabkan oleh fetus yang tidak membuat memori sel atau antibodi apapun, tetapi hanya meminjam. Pada ilmu kedokteran, imunitas pasif protektif juga dapat dikirim dari satu individu ke individu lainnya melalui serum kaya-antibodi.[56]

 
Lama waktu respon imun dimulai dengan penemuan patogen dan menyebabkan formasi memori imunologikal aktif.

Memori aktif dan imunisasi

Memori aktif jangka panjang didapat mengikuti infeksi oleh aktivasi sel B dan sel T. Imunitas aktif dapat juga dibuat yaitu melalui vaksinasi. Prinsip di balik vaksinasi (juga disebut imunisasi) adalah untuk memperkenalkan antigen dari patogen untuk menstimulasikan sistem imun dan mengembangkan imunitas spesifik melawan patogen tanpa menyebabkan penyakit yang berhubungan dengan organisme tersebut.[5] Hal ini menyebabkan induksi respon imun dengan sengaja berhasil karena mengeksploitasi spesifisitas alami sistem imun. Penyakit infeksi tetap menjadi salah satu penyebab kematian pada populasi manusia, maka vaksinasi muncul sebagai manipulasi sistem imun manusia yang paling efektif.[25][57]

Kebanyakan vaksin virus berasal dari selubung virus, sementara banyak vaksin bakteri berasal dari komponen aselular dari mikroorganisme, termasuk komponen toksin yang tidak melukai.[5] Sejak banyak antigen berasal dari vaksin aselular tidak dengan kuat menyebabkan respon adaptif, kebanyakan vaksin bakteri disediakan dengan penambahan adjuvan yang mengaktifkan sel yang memiliki antigen pada sistem imun bawaan dan memaksimalkan imunogensitas.[58]

Gangguan pada imunitas

Sistem imun adalah struktur efektif yang menggabungkan spesifisitas dan adaptasi. Kegagalan pertahanan dapat berups defisiensi imun, autoimunitas, dan hipersensitivitas.

Defisiensi imun

Defisiensi imun muncul ketika satu atau lebih komponen sistem imun tidak aktif. Kemampuan sistem imun untuk merespon patogen berkurang pada baik golongan muda dan golongan tua, dengan respon imun mulai untuk berkurang pada usia sekitar 50 tahun karena immunosenescence.[59][60] Di negara-negara berkembang, obesitas, penggunaan alkohol dan narkoba adalah akibat paling umum dari fungsi imun yang buruk.[60] Namun, kekurangan nutrisi adalah akibat paling umum yang menyebabkan defisiensi imun di negara berkembang.[60] Diet kekurangan cukup protein berhubungan dengan gangguan imunitas seluler, aktivitas komplemen, fungsi fagosit, konsentrasi antibodi IgA dan produksi sitokin. Defisiensi nutrisi seperti zinc, selenium, zat besi, tembaga, vitamin A, C, E, dan B6, dan asam folat (vitamin B9) juga mengurangi respon imun.[60]

Defisiensi imun juga bisa didapat.[5] Chronic granulomatous disease, penyakit yang menyebabkan kemampuan fagosit untuk menghancurkan fagosit berkurang, adalah contoh dari defisiensi imun dapatan. AIDS dan beberapa tipe kanker menyebabkan defisiensi imun dapatan.[61][62]

Autoimunitas

Respon imun terlalu aktif menyebabkan disfungsi imun yang disebut autoimunitas. Sistem imun gagal untuk memusnahkan dengan tepat antara "self" dan "nonself", dan menyerang bagian dari tubuh. Dibawah keadaan sekitar yang normal, banyak sel T dan antibodi bereaksi dengan peptida "self".[63] Satu fungsi sel (terletak di timus dan sumsum tulang) adalah untuk memunculkan limfosit muda dengan antigen self yang diproduksi pada tubuh dan untuk membunuh sel tersebut yang dianggap antigen sendiri, mencegah autoimunitas.[50]

Hipersensitivitas

Hipersensitivitas adalah respon imun yang berlebihan yang dapat merusak jaringan tubuh sendiri. Mereka terbagi menjadi empat kelas (tipe I – IV) berdasarkan mekanisme yang ikut serta dan lama waktu reaksi hipersensitif. Hipersensitivitas tipe I atau reaksi segera atau anafilaksis sering berhubungan dengan alergi. Gejala dapat bervariasi dari ketidaknyamanan sampai kematian. Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh IgE yang dikeluarkan dari sel mast dan basofil.[64] Hipersensitivitas tipe II muncul ketika antibodi mengikat pada antigen sel pasien, menandai mereka untuk penghancuran. Hal ini juga disebut hipersensitivitas sitotoksik, dan diperantarai oleh antibodi IgG dan IgM.[64] Kompleks imun (kesatuan antigen, protein komplemen dan antibodi IgG dan IgM) ada pada berbagai jaringan yang menjalankan reaksi hipersensitivitas tipe III.[64] Hipersensitivitas tipe IV (melibatkan sel, bukan antibodi) biasanya membutuhkan waktu antara dua dan tiga hari untuk berkembang. Reaksi tipe IV ikut serta dalam berbagai autoimun dan penyakit infeksi, tetapi juga dalam ikut serta dalam dermatitis kontak. Reaksi tersebut diperantarai oleh sel T, monosit dan makrofag.[64]

Pertahanan dan mekanisme lainnya

Sistem imun bangun dengan vertebrata pertama, sementara invertebrata tidak menghasilkan limfosit atau respon humoral yang berdasarkan antibodi.[1] Namun, banyak spesies yang memanfaatkan mekanisme yang muncul sebagai tanda aspek imunitas vertebrata tersebut. Imunitas muncul pada bentuk kehidupan yang paling sederhana, dengan bakteri menggunakan mekanisme pertahanan unik yang disebut sistem modifikasi restriksi untuk melindungi diri mereka dari patogen virus yang disebut bakteriofag.[65]

Reseptor pengenal pola adalah protein yang digunakan oleh hampir semua organisme untuk mengidentifikasi molekul yang berhubungan dengan patrogen mikrobial. Peptida antimikrobial yang disebut defensin adalah komponen evolusioner sistem imun bawaan yang ditemukan pada semua jenis binatang dan tumbuhan, dan menampilkan bentuk utama imunitas sistemik invertebrata.[1] Sistem komplemen dan sel fagositik juga dimanfaatkan oleh hampir semua bentuk kehidupan invertebrata. Ribonuklease dan jalan gangguan RNA digunakan pada semua eukariot, dan diketahui memainkan peran pada respon imun terhadap virus dan material genetika asing lainnya.[66]

Tidak seperti binatang, tumbuhan memiliki sedikit sel fagositik, dan kebanyakan respon imun tumbuhan melibatkan sinyal sistemik bahan kimia yang dikirim melalui tumbuhan.[67] Ketika bagian dari tumbuhan terinfeksi, tumbuhan memproduksi respon hipersensitif, untuk sel pada tempat infeksi mengalami apoptosis cepat untuk mencegah penyebaran penyakit terhadap bagian lain tumbuhan. Perlawanan sistemik dapatan adalah tipe respon pertahanan yang digunakan oleh tumbuhan yang mengubah seluruh tumbuhan melawan pada penyebab infeksi.[67] Mekanisme menghilangkan RNA sangat penting pada sistem respon karena mereka dapat menghalangi replikasi virus.[68]

Imunologi tumor

 
Makrofaga telah mengidentifikasikan sel kanker. Ketika melampaui batas menyatukan dengan sel kanker, makrofaga (sel putih yang lebih kecil) akan menyuntkan toksin yang akan membunuh sel tumor. Imunoterapi untuk perawatan kanker merupakan salah satu hal yang diteliti oleh penelitian medis.[69]

Peran penting imunitas lainnya adalah untuk menemukan dan menghancurkan tumor. Sel tumor menunjukan antigen yang tidak ditemukan pada sel normal. Untuk sistem imun, antigen tersebut muncul sebagai antigen asing dan kehadiran mereka menyebabkan sel imun menyerang sel tumor. Antigen yang diekspresikan oleh tumor memiliki beberapa sumber;[70] beberapa berasal dari virus onkogenik seperti papillomavirus, yang menyebabkan kanker leher rahim,[71] sementara lainnya adalah protein organisme sendiri yang muncul pada tingkat rendah pada sel normal tetapi mencapai tingkat tinggi pada sel tumor. Salah satu contoh adalah enzim yang disebut tirosinase yang ketika diekspresikan pada tingkat tinggi, mengubah beberapa sel kulit (seperti melanosit) menjadi tumor yang disebut melanoma.[72][73] Kemungkinan sumber ketiga antigen tumor adalah protein yang secara normal penting untuk mengatur pertumbuhan dan proses bertahan hidup sel, yang umumnya bermutasi menjadi kanker sehingga sel termodifikasi sehingga meningkatkan keganasan sel tumor. Sel yang termodifikasi sehingga meningkatkan keganasan sel tumor disebut onkogen.[70][74][75]

Respon utama sistem imun terhadap tumor adalah untuk menghancurkan sel abnormal menggunakan sel T pembunuh, kadang-kadang dengan bantuan sel T pembantu.[73][76] Antigen tumor ada pada molekul MHC kelas I pada cara yang mirip dengan antigen virus. Hal ini menyebabkan sel T pembunuh mengenali sel tumor sebagai sel abnormal.[77] Sel NK juga membunuh sel tumor dengan cara yang mirip, terutama jika sel tumor memiliki molekul MHC kelas I lebih sedikit pada permukaan mereka daripada keadaan normal; hal ini merupakan fenomena umum pada tumor.[78] Terkadang antibodi dihasilkan melawan sel tumor yang menyebabkan kehancuran mereka oleh sistem komplemen.[74]

Beberapa tumor menghindari sistem imun dan terus berkembang sampai menjadi kanker.[79] Sel tumor sering memiliki jumlah molekul MHC kelas I yang berkurang pada permukaan mereka, sehingga dapat menghindari deteksi oleh sel T pembunuh.[77] Beberapa sel tumor juga mengeluarkan produk yang mencegah respon imun; contohnya dengan mengsekresikan sitokin TGF-β, yang menekan aktivitas makrofaga dan limfosit.[80] Toleransi imunologis dapat berkembang terhadap antigen tumor, sehingga sistem imun tidak lagi menyerang sel tumor.[79]

Makrofaga dapat meningkatkan perkembangan tumor [81] ketika sel tumor mengirim sitokin yang menarik makrofaga yang menyebabkan dihasilkannya sitokin dan faktor pertumbuhan yang memelihara perkembangan tumor. Kombinasi hipoksia pada tumor dan sitokin diproduksi oleh makrofag menyebabkan sel tumor mengurangi produksi protein yang menghalangi metastasis dan selanjutnya membantu penyebaran sel kanker.

Regulasi fisiologis

Hormon dapat mengatur sensitivitas sistem imun. Contohnya, hormon seks wanita diketahui menstimulasi baik respon imun adaptif [82] dan respon imun bawaan.[83] Beberapa penyakit autoimun seperti lupus erythematosus sering menyerang wanita, dan serangan sering bertepatan dengan pubertas. Androgen seperti testosteron tampak menekan sistem imun.[84] Hormon lainnya muncul untuk mengatur sistem imun, dan yang paling penting adalah prolaktin, hormon pertumbuhan dan vitamin D.[85][86] Diduga bahwa kemunduran progresif pada tingkat hormon dengan umur bertanggung jawab untuk melemahnya respon imun pada individu yang menua.[87] Sebaliknya, beberapa hormon diatur oleh sistem imun, misal aktivitas hormon tiroid.[88]

Sistem imun bertambah dengan tidur dan beristirahat,[89] dan diganggu oleh kondisi stress.[90]

Diet dapat memengaruhi sistem imun, contohnya buah segar, sayuran dan makanan yang kaya akan asam lemak dapat membantu perkembangan sistem imun yang sehat.[91] Demikian dengan perkembangan prenatal dapat menyebabkan gangguan panjang imunitas.[92] Pada pengobatan tradisional, beberapa obat-obatan tradisional dipercaya dapat menstimulasi imunitas, seperti ekinasea, akar manis, ginseng, astragalus, saga, bawang putih, sangitan, jamur shiitake dan lingzhi, dan hyssop, dan juga madu. Penelitian telah menunjukan bahwa obat-obatan tradisional dapat menstimulasi sistem imun,[93] walaupun cara aksi mereka kompleks dan sulit untuk dikarakterisasikan.

Manipulasi pada kedokteran

 
Obat imunosupresif deksametason

Respon imun dapat dimanipulasi untuk menekan respon yang disebabkan dari autoimunitas, alergi dan penolakan transplantasi, dan untuk menstimulasi respon protektif terhadap patogen yang sebagian besar menghindari sistem imun. Obat imunosupresif digunakan untuk mengontrol kekacauan autoimun atau inflamasi ketika terlalu banyak kerusakan jaringan yang muncul, dan untuk mencegah penolakan transplantasi setelah transplantasi organ.[25][94]

Obat anti-inflamasi sering digunakan untuk mengontrol pengaruh peradangan. Glukokortikoid adalah obat anti-inflamasi yang paling kuat, namun obat tersebut memiliki banyak efek samping (seperti obesitas pusat, hiperglikemia, osteoporosis) dan penggunaan obat tersebut harus dikontrol dengan baik.[95] Oleh sebab itu, dosis obat anti-inflamasi yang lebih sedikit sering digunakan pada hubungan dengan sitotoksik atau obat imunosupresif seperti metotreksat atau azatioprin. Obat sitotoksik mencegah respon imun dengan membunuh sel yang terbagi seperti sel T yang sudah diaktivasi. Namun, pembunuhan sel dilakukan sembarangan dan organ lain serta tipe sel terpengaruh, yang dapat menyebabkan efek samping berupa toksin.[94] Obat imunosupresif seperti siklosporin mencegah sel T dari merespon sinyal dengan menghalangi transduksi sinyal.[96]

Obat yang lebih besar (>500 Da) dapat menyebabkan netralisir respon imun, terutama jika obat digunakan berulang-ulang atau pada dosis yang lebih besar. Batasan efektivitas obat berdasarkan dari peptida dan protein yang lebih besar (yang lebih besar daripada 6000 Da). Pada beberapa kasus, obat tersebut tidak imunogenik, tetapi dapat dilakukan dengan campuran imunogenik, seperti pada kasus taksol.

Metode komputerisasi telah dikembangkan untuk memprediksi imunogenisitas peptida dan protein yang berguna untuk menentukan pengobatan antibodi, memperkirakan kejahatan mutasi pada partikel virus, dan validasi perawatan obat berdasarkan peptida. Teknik awal didasarkan pada observasi bahwa asam amino hidrofil dilambangkan pada daerah epitop daripada asam amino hidrofob;[97] namun banyak perkembangan terkini bersandar pada teknik pembelajaran mesin menggunakan basis data epitop yang diketahui ada, biasanya pada protein yang sudah diteliti dengan baik sebagai kumpulan percobaan.[98] Basis data yang dapat diakses publik telah dibuat untuk mengkatalogkan epitop dari patogen yang diketahui dapat dikenali oleh sel B.[99] Penelitian berdasarkan bioinformatika terhadal imunogenisitas merujuk pada sebutan imunoinformatika.[100]

Manipulasi oleh patogen

Keberhasilan patogen bergantung pada kemampuannya untuk menghindar dari respon imun. Patogen telah mengembangkan beberapa metode yang menyebabkan mereka dapat menginfeksi sementara patogen menghindari kehancuran akibat sistem imun.[101] Bakteri sering menembus perisai fisik dengan mengeluarkan enzim khusus contohnya dengan menggunakan sistem sekresi tipe II.[102] Sebagai kemungkinan, patogen dapat menggunakan sistem sekresi tipe III. Mereka dapat memasukan tuba palsu pada sel, yang menyediakan saluran langsung untuk protein agar dapat bergerak dari patogen ke inang; protein yang dikirim melalui tuba sering digunakan untuk mematikan pertahanan.[103]

Strategi menghindar digunakan oleh beberapa patogen untuk mengelakan sistem imun bawaan adalah replikasi intraselular (juga disebut patogenesis intraselular). Disini, patogen mengeluarkan mayoritas lingkaran hidupnya ke dalam sel yang dilindungi dari kontak langsung dengan sel imun, antibodi, dan komplemen. Beberapa contoh patogen intraselular termasuk virus, toksin makanan, bakteri Salmonella dan parasit eukariot yang menyebabkan malaria (Plasmodium falciparum) dan leismaniasis (Leishmania spp.). Bakteri lain, seperti Mycobacterium tuberculosis, hidup di dalam kapsul protektif yang mencegah lisis oleh komplemen.[104] Banyak patogen mengeluarkan senyawa yang mengurangi respon imun atau mengarahkan respon imun ke arah yang salah.[101] Beberapa bakteri membentuk biofilm untuk melindungi diri mereka dari sel dan protein sistem imun. Biofilm ada pada banyak infeksi yang berhasil, seperti Pseudomonas aeruginosa kronik dan Burkholderia cenocepacia karakteristik infeksi sistik fibrosis.[105] Bakteri lain menghasilkan protein permukaan yang meengikat pada antibodi, mengubah mereka menjadi tidak efektif; contoh termasuk Streptococcus (protein G), Staphylococcus aureus (protein A), dan Peptostreptococcus magnus (protein L).[106]

Mekanisme yang digunakan oleh virus untuk menghindari sistem imun adaptif lebih menyulitkan. Kemunculan paling sederhana dengan cepat mengubah epitop yang tidak esensial (asam amino dan gula) pada permukaan penyerang, sementara membiarkan epitop esensial disembunyikan. HIV tetap memutasikan protein pada selubung virus yang esensial untuk masuk pada sel target. Perubahan tersebut pada antigen dapat menjelaskan kegagalan vaksin yang diarahkan pada protein tersebut.[107] Antigen tersembunyi dengan molekul inang adalah strategi umum lainnya untuk menghindari deteksi oleh sistem imun. Pada HIV, selubung yang menutupi virus dibentuk dari membran paling luar sel; virus tersembunyi membuat sistem imun kesulitan untuk mengidentifikasikan mereka sebagai benda asing.[108]

Sejarah imunologi

Imunologi adalah ilmu yang mempelajari struktur dan fungsi imunitas. Imunologi awalnya berasal dari ilmu mikrobiologi. Sebutan imunitas yang pertama kali diketahui adalah selama wabah Athena tahun 430 SM. Thucydides mencatat bahwa orang yang sembuh dari penyakit sebelumnya menjadi tahan tanpa terkena penyakit lagi.[109] Pengamatan imunitas berikutnya diteliti oleh Louis Pasteur pada perkembangan vaksinasi dan teori penyakit kuman.[110] Teori Pasteur merupakan perlawanan dari teori penyakit saat itu, seperti teori penyakit miasma. Robert Koch membuktikan teori ini pada tahun 1891, untuk itu ia diberikan hadiah nobel pada tahun 1905. Ia membuktikan bahwa mikroorganisme merupakan penyebab dari penyakit infeksi.[111] Virus dikonfirmasi sebagai patogen manusia pada tahun 1901 dengan penemuan virus demam kuning oleh Walter Reed.[112]

Imunologi membuat perkembangan hebat pada akhir abad ke-19 melalui perkembangan cepat pada penelitian imunitas humoral dan imunitas seluler.[113] Paul Ehrlich mengusulkan teori rantai-sisi yang menjelaskan spesifisitas reaksi antigen-antibodi. Kontribusinya pada pengertian imunitas humoral diakui dengan penghargaan hadiah nobel pada tahun 1908, yang bersamaan dengan penghargaan untuk pendiri imunologi seluler, Elie Metchnikoff.[114]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b c Beck, Gregory (November 1996). "Immunity and the Invertebrates" (PDF). Scientific American: 60–66. Diakses tanggal 2007-01-01. 
  2. ^ a b Litman G, Cannon J, Dishaw L (2005). "Reconstructing immune phylogeny: new perspectives". Nat Rev Immunol. 5 (11): 866–79. PMID 16261174. 
  3. ^ a b c Mayer, Gene (2006). "Immunology - Chapter One: Innate (non-specific) Immunity". Microbiology and Immunology On-Line Textbook. USC School of Medicine. Diakses tanggal 2007-01-01. 
  4. ^ Smith A.D. (Ed) Oxford dictionary of biochemistry and molecular biology. (1997) Oxford University Press. ISBN 0-19-854768-4
  5. ^ a b c d e f g h i Alberts, Bruce (2002). Molecular Biology of the Cell; Fourth Edition. New York and London: Garland Science. ISBN 0-8153-3218-1. 
  6. ^ Boyton R, Openshaw P. "Pulmonary defences to acute respiratory infection". Br Med Bull. 61: 1–12. PMID 11997295. 
  7. ^ Agerberth B, Gudmundsson G. "Host antimicrobial defence peptides in human disease". Curr Top Microbiol Immunol. 306: 67–90. PMID 16909918. 
  8. ^ Moreau J, Girgis D, Hume E, Dajcs J, Austin M, O'Callaghan R (2001). "Phospholipase A(2) in rabbit tears: a host defense against Staphylococcus aureus". Invest Ophthalmol Vis Sci. 42 (10): 2347–54. PMID 11527949. 
  9. ^ Hankiewicz J, Swierczek E (1974). "Lysozyme in human body fluids". Clin Chim Acta. 57 (3): 205–9. PMID 4434640. 
  10. ^ Fair W, Couch J, Wehner N (1976). "Prostatic antibacterial factor. Identity and significance". Urology. 7 (2): 169–77. PMID 54972. 
  11. ^ Yenugu S, Hamil K, Birse C, Ruben S, French F, Hall S (2003). "Antibacterial properties of the sperm-binding proteins and peptides of human epididymis 2 (HE2) family; salt sensitivity, structural dependence and their interaction with outer and cytoplasmic membranes of Escherichia coli". Biochem J. 372 (Pt 2): 473–83. PMID 12628001. 
  12. ^ Gorbach S (1990). "Lactic acid bacteria and human health". Ann Med. 22 (1): 37–41. PMID 2109988. 
  13. ^ Hill L, Embil J (1986). "Vaginitis: current microbiologic and clinical concepts". CMAJ. 134 (4): 321–31. PMID 3510698. 
  14. ^ Reid G, Bruce A (2003). "Urogenital infections in women: can probiotics help?". Postgrad Med J. 79 (934): 428–32. PMID 12954951. 
  15. ^ Salminen S, Gueimonde M, Isolauri E (2005). "Probiotics that modify disease risk". J Nutr. 135 (5): 1294–8. PMID 15867327. 
  16. ^ Reid G, Jass J, Sebulsky M, McCormick J (2003). "Potential uses of probiotics in clinical practice". Clin Microbiol Rev. 16 (4): 658–72. PMID 14557292. 
  17. ^ Medzhitov R (2007). "Recognition of microorganisms and activation of the immune response". Nature. 449 (7164): 819–26. doi:10.1038/nature06246. PMID 17943118. 
  18. ^ Kawai T, Akira S (2006). "Innate immune recognition of viral infection". Nat Immunol. 7 (2): 131–7. PMID 16424890. 
  19. ^ Miller, SB (2006). "Prostaglandins in Health and Disease: An Overview". Seminars in Arthritis and Rheumatism. 36 (1): 37–49. PMID 16887467. 
  20. ^ Ogawa Y, Calhoun WJ. (2006). "The role of leukotrienes in airway inflammation". J Allergy Clin Immunol. 118 (4): 789–98. PMID 17030228. 
  21. ^ Le Y, Zhou Y, Iribarren P, Wang J (2004). "Chemokines and chemokine receptors: their manifold roles in homeostasis and disease" (PDF). Cell Mol Immunol. 1 (2): 95–104. PMID 16212895. 
  22. ^ Martin P, Leibovich S (2005). "Inflammatory cells during wound repair: the good, the bad and the ugly". Trends Cell Biol. 15 (11): 599–607. PMID 16202600. 
  23. ^ a b Rus H, Cudrici C, Niculescu F (2005). "The role of the complement system in innate immunity". Immunol Res. 33 (2): 103–12. PMID 16234578. 
  24. ^ Mayer, Gene (2006). "Immunology - Chapter Two: Complement". Microbiology and Immunology On-Line Textbook. USC School of Medicine. Diakses tanggal 2007-01-01. 
  25. ^ a b c d e f Janeway CA, Jr.; et al. (2005). Immunobiology (edisi ke-6th ed.). Garland Science. ISBN 0-443-07310-4. 
  26. ^ Liszewski M, Farries T, Lublin D, Rooney I, Atkinson J. "Control of the complement system". Adv Immunol. 61: 201–83. PMID 8834497. 
  27. ^ Sim R, Tsiftsoglou S (2004). "Proteases of the complement system" (PDF). Biochem Soc Trans. 32 (Pt 1): 21–7. PMID 14748705. 
  28. ^ Ryter A (1985). "Relationship between ultrastructure and specific functions of macrophages". Comp Immunol Microbiol Infect Dis. 8 (2): 119–33. PMID 3910340. 
  29. ^ Langermans J, Hazenbos W, van Furth R (1994). "Antimicrobial functions of mononuclear phagocytes". J Immunol Methods. 174 (1–2): 185–94. PMID 8083520. 
  30. ^ May R, Machesky L (2001). "Phagocytosis and the actin cytoskeleton". J Cell Sci. 114 (Pt 6): 1061–77. PMID 11228151. 
  31. ^ Salzet M, Tasiemski A, Cooper E (2006). "Innate immunity in lophotrochozoans: the annelids". Curr Pharm Des. 12 (24): 3043–50. PMID 16918433. 
  32. ^ Zen K, Parkos C (2003). "Leukocyte-epithelial interactions". Curr Opin Cell Biol. 15 (5): 557–64. PMID 14519390. 
  33. ^ a b Stvrtinová, Viera (1995). Inflammation and Fever from Pathophysiology: Principles of Disease. Computing Centre, Slovak Academy of Sciences: Academic Electronic Press. Diakses tanggal 2007-01-01. 
  34. ^ Bowers, William (2006). "Immunology -Chapter Thirteen: Immunoregulation". Microbiology and Immunology On-Line Textbook. USC School of Medicine. Diakses tanggal 2007-01-04. 
  35. ^ a b Guermonprez P, Valladeau J, Zitvogel L, Théry C, Amigorena S. "Antigen presentation and T cell stimulation by dendritic cells". Annu Rev Immunol. 20: 621–67. PMID 11861614. 
  36. ^ Krishnaswamy G, Ajitawi O, Chi D. "The human mast cell: an overview". Methods Mol Biol. 315: 13–34. PMID 16110146. 
  37. ^ Kariyawasam H, Robinson D (2006). "The eosinophil: the cell and its weapons, the cytokines, its locations". Semin Respir Crit Care Med. 27 (2): 117–27. PMID 16612762. 
  38. ^ Middleton D, Curran M, Maxwell L (2002). "Natural killer cells and their receptors". Transpl Immunol. 10 (2–3): 147–64. PMID 12216946. 
  39. ^ Pancer Z, Cooper M. "The evolution of adaptive immunity". Annu Rev Immunol. 24: 497–518. PMID 16551257. 
  40. ^ Holtmeier W, Kabelitz D. "gammadelta T cells link innate and adaptive immune responses". Chem Immunol Allergy. 86: 151–83. PMID 15976493. 
  41. ^ a b "Understanding the Immune System: How it Works" (PDF). National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID). Diakses tanggal 2007-01-01. 
  42. ^ Harty J, Tvinnereim A, White D. "CD8+ T cell effector mechanisms in resistance to infection". Annu Rev Immunol. 18: 275–308. PMID 10837060. 
  43. ^ a b Radoja S, Frey A, Vukmanovic S (2006). "T-cell receptor signaling events triggering granule exocytosis". Crit Rev Immunol. 26 (3): 265–90. PMID 16928189. 
  44. ^ Abbas A, Murphy K, Sher A (1996). "Functional diversity of helper T lymphocytes". Nature. 383 (6603): 787–93. PMID 8893001. 
  45. ^ McHeyzer-Williams L, Malherbe L, McHeyzer-Williams M. "Helper T cell-regulated B cell immunity". Curr Top Microbiol Immunol. 311: 59–83. PMID 17048705. 
  46. ^ Kovacs B, Maus M, Riley J, Derimanov G, Koretzky G, June C, Finkel T (2002). "Human CD8+ T cells do not require the polarization of lipid rafts for activation and proliferation". Proc Natl Acad Sci U S A. 99 (23): 15006–11. PMID 12419850. 
  47. ^ Grewal I, Flavell R. "CD40 and CD154 in cell-mediated immunity". Annu Rev Immunol. 16: 111–35. PMID 9597126. 
  48. ^ Girardi M (2006). "Immunosurveillance and immunoregulation by γδ T cells". J Invest Dermatol. 126 (1): 25–31. PMID 16417214. 
  49. ^ Holtmeier W, Kabelitz D (2005). "γδ T cells link innate and adaptive immune responses". Chem Immunol Allergy. 86: 151–183. PMID 15976493. 
  50. ^ a b Sproul T, Cheng P, Dykstra M, Pierce S (2000). "A role for MHC class II antigen processing in B cell development". Int Rev Immunol. 19 (2–3): 139–55. PMID 10763706. 
  51. ^ Kehry M, Hodgkin P (1994). "B-cell activation by helper T-cell membranes". Crit Rev Immunol. 14 (3–4): 221–38. PMID 7538767. 
  52. ^ Bowers, William (2006). "Immunology - Chapter nine: Cells involved in immune responses". Microbiology and Immunology On-Line Textbook. USC School of Medicine. Diakses tanggal 2007-01-04. 
  53. ^ M.N. Alder, I.B. Rogozin, L.M. Iyer, G.V. Glazko, M.D. Cooper, Z. Pancer (2005). "Diversity and Function of Adaptive Immune Receptors in a Jawless Vertebrate". Science. 310 (5756): 1970–1973. PMID 16373579. 
  54. ^ Saji F, Samejima Y, Kamiura S, Koyama M (1999). "Dynamics of immunoglobulins at the feto-maternal interface" (PDF). Rev Reprod. 4 (2): 81–9. PMID 10357095. 
  55. ^ Van de Perre P (2003). "Transfer of antibody via mother's milk". Vaccine. 21 (24): 3374–6. PMID 12850343. 
  56. ^ Keller, Margaret A. and E. Richard Stiehm (2000). "Passive Immunity in Prevention and Treatment of Infectious Diseases". Clinical Microbiology Reviews. 13 (4): 602–614. PMID 11023960. 
  57. ^ Death and DALY estimates for 2002 by cause for WHO Member States. World Health Organization. Retrieved on 2007-01-01.
  58. ^ Singh M, O'Hagan D (1999). "Advances in vaccine adjuvants". Nat Biotechnol. 17 (11): 1075–81. PMID 10545912. 
  59. ^ Aw D, Silva A, Palmer D (2007). "Immunosenescence: emerging challenges for an ageing population". Immunology. 120 (4): 435–446. PMID 17313487. 
  60. ^ a b c d Chandra, RK (1997). "Nutrition and the immune system: an introduction". American Journal of Clinical Nutrition. Vol 66: 460S–463S. PMID 9250133.  Free full-text pdf available
  61. ^ Joos L, Tamm M (2005). "Breakdown of pulmonary host defense in the immunocompromised host: cancer chemotherapy". Proc Am Thorac Soc. 2 (5): 445–8. PMID 16322598. 
  62. ^ Copeland K, Heeney J (1996). "T helper cell activation and human retroviral pathogenesis". Microbiol Rev. 60 (4): 722–42. PMID 8987361. 
  63. ^ Miller J (1993). "Self-nonself discrimination and tolerance in T and B lymphocytes". Immunol Res. 12 (2): 115–30. PMID 8254222. 
  64. ^ a b c d Ghaffar, Abdul (2006). "Immunology - Chapter Seventeen: Hypersensitivity Reactions". Microbiology and Immunology On-Line Textbook. USC School of Medicine. Diakses tanggal 2007-01-01. 
  65. ^ Bickle T, Krüger D (1993). "Biology of DNA restriction". Microbiol Rev. 57 (2): 434–50. PMID 8336674. 
  66. ^ Stram Y, Kuzntzova L. (2006). "Inhibition of viruses by RNA interference". Virus Genes. 32 (3): 299–306. PMID 16732482. 
  67. ^ a b Schneider, David (Spring 2005). "Innate Immunity - Lecture 4: Plant immune responses". Stanford University Department of Microbiology and Immunology. Diakses tanggal 2007-01-01. 
  68. ^ Baulcombe D (2004). "RNA silencing in plants". Nature. 431 (7006): 356–63. PMID 15372043. 
  69. ^ Morgan R; et al. (2006). "Cancer regression in patients after transfer of genetically engineered lymphocytes". Science. 314: 126–129. PMID 16946036. 
  70. ^ a b Andersen MH, Schrama D, Thor Straten P, Becker JC (2006). "Cytotoxic T cells". J Invest Dermatol. 126 (1): 32–41. PMID 16417215. 
  71. ^ Boon T, van der Bruggen P (1996). "Human tumor antigens recognized by T lymphocytes". J Exp Med. 183: 725–29. PMID 8642276. 
  72. ^ Castelli C, Rivoltini L, Andreola G, Carrabba M, Renkvist N, Parmiani G (2000). "T cell recognition of melanoma-associated antigens". J Cell Physiol. 182: 323–31. PMID 10653598. 
  73. ^ a b Romero P, Cerottini JC, Speiser DE (2006). "The human T cell response to melanoma antigens". Adv Immunol. 92: 187–224. PMID 17145305. 
  74. ^ a b Guevara-Patino JA, Turk MJ, Wolchok JD, Houghton AN (2003). "Immunity to cancer through immune recognition of altered self: studies with melanoma". Adv Cancer Res. 90: 157–77. PMID 14710950. 
  75. ^ Renkvist N, Castelli C, Robbins PF, Parmiani G (2001). "A listing of human tumor antigens recognized by T cells". Cancer Immunol Immunother. 50: 3–15. PMID 11315507. 
  76. ^ Gerloni M, Zanetti M. (2005). "CD4 T cells in tumor immunity". . Springer Semin Immunopathol. 27 (1): 37–48. PMID 15965712. 
  77. ^ a b Seliger B, Ritz U, Ferrone S (2006). "Molecular mechanisms of HLA class I antigen abnormalities following viral infection and transformation". Int J Cancer. 118 (1): 129–38. PMID 16003759. 
  78. ^ Hayakawa Y, Smyth MJ. (2006). "Innate immune recognition and suppression of tumors". Adv Cancer Res. 95: 293–322. PMID 16860661. 
  79. ^ a b Seliger B (2005). "Strategies of tumor immune evasion". BioDrugs. 19 (6): 347–54. PMID 16392887. 
  80. ^ Frumento G, Piazza T, Di Carlo E, Ferrini S (2006). "Targeting tumor-related immunosuppression for cancer immunotherapy". Endocr Metab Immune Disord Drug Targets. 6 (3): 233–7. PMID 17017974. 
  81. ^ Stix, Gary (July 2007). "A Malignant Flame" (PDF). Scientific American: 60–67. Diakses tanggal 2007-01-01. 
  82. ^ Wira, CR (2004). "Endocrine regulation of the mucosal immune system in the female reproductive tract". Dalam In: Ogra PL, Mestecky J, Lamm ME, Strober W, McGhee JR, Bienenstock J (eds.). Mucosal Immunology. San Francisco: Elsevier. ISBN 0-12-491543-4. 
  83. ^ Lang, TJ (2004). "Estrogen as an immunomodulator". Clin Immunol. 113: 224–230. PMID 15507385. 
    Moriyama, A (1999). "Secretory leukocyte protease inhibitor (SLPI) concentrations in cervical mucus of women with normal menstrual cycle". Molecular Human Reproduction. 5: 656–661. PMID 10381821. 
    Cutolo, M (2004). "Sex hormones influence on the immune system: basic and clinical aspects in autoimmunity". Lupus. 13: 635–638. PMID 15485092. 
    King, AE (2000). "Presence of secretory leukocyte protease inhibitor in human endometrium and first trimester decidua suggests an antibacterial role". Molecular Human Reproduction. 6: 191–196. PMID 10655462. 
  84. ^ Fimmel (2005). "Influence of physiological androgen levels on wound healing and immune status in men". Aging Male. 8: 166–174. PMID 16390741. 
  85. ^ Dorshkind, K (2000). "The Roles of Prolactin, Growth Hormone, Insulin-Like Growth Factor-I, and Thyroid Hormones in Lymphocyte Development and Function: Insights from Genetic Models of Hormones and Hormone Receptor Deficiency". Endocrine Reviews. 21: 292–312. PMID 10857555. 
  86. ^ Nagpal, Sunil (2005). "Noncalcemic Actions of Vitamin D Receptor Ligands". Endocrine Reviews. 26 (5): 662–687. PMID 15798098.  .
  87. ^ Hertoghe, T (2005). "The "multiple hormone deficiency" theory of aging: Is human senescence caused mainly by multiple hormone deficiencies?". Annals of the New York Academy of Science. 1051: 448–465. PMID 16399912. 
  88. ^ Klein, JR (2006). "The immune system as a regulator of thyroid hormone activity". Exp Biol Med. 231: 229–236. PMID 16514168. 
  89. ^ Lange, T (2003). "Sleep Enhances the Human Antibody response to Hepatitis A Vaccination". Psychosomatic Medicine. 65: 831–835. PMID 14508028. 
  90. ^ Khansari, DN (1990). "Effects of stress on the immune system". Immunology Today. 11: 170–175. PMID 2186751. 
  91. ^ Pond, CM (2005). "Adipose tissue and the immune system". Prostaglandins, Leukotrienes, and Essential Fatty Acids. 73: 17–30. PMID 15946832. 
  92. ^ Langley-Evans, SC (2006). "Diet and the developing immune system". Lupus. 15: 746–752. PMID 17153845. 
  93. ^ Spelman, K (2006). "Modulation of cytokine expression by traditional medicines: a review of herbal immunomodulators". Alternative Medicine reviews: 128–150. PMID 16813462.  Teks " volume 11 " akan diabaikan (bantuan);
    Brush, J (2006). "The effect of Echinacea purpurea, Astragalus membranaceus and Glycyrrhiza glabra on CD69 expression and immune cell activation in humans". Phytotherapy Research. 20: 687–695. PMID 16807880. 
  94. ^ a b Taylor A, Watson C, Bradley J (2005). "Immunosuppressive agents in solid organ transplantation: Mechanisms of action and therapeutic efficacy". Crit Rev Oncol Hematol. 56 (1): 23–46. PMID 16039869. 
  95. ^ Barnes P (2006). "Corticosteroids: the drugs to beat". Eur J Pharmacol. 533 (1–3): 2–14. PMID 16436275. 
  96. ^ Masri M (2003). "The mosaic of immunosuppressive drugs". Mol Immunol. 39 (17–18): 1073–7. PMID 12835079. 
  97. ^ Welling GW, Wiejer WJ, van der Zee R, Welling-Werster S. (1985). "Prediction of sequential antigenic regions in proteins". J Mol Recognit. 88 (2): 215–8. PMID 2411595. 
  98. ^ Sollner J, Mayer B. (2006). "Machine learning approaches for prediction of linear B-cell epitopes on proteins". 19 (3): 200–8. PMID 16598694. 
  99. ^ Saha S, Bhasin M, Raghava GP. (2005). "Bcipep: a database of B-cell epitopes". BMC Bioinformatics. 6 (1): 79. PMID 15921533. 
  100. ^ Flower DR, Doytchinova IA. (2002). "Immunoinformatics and the prediction of immunogenicity". Appl Bioinformatics. 1 (4): 167–76. PMID 15130835. 
  101. ^ a b Finlay B, McFadden G (2006). "Anti-immunology: evasion of the host immune system by bacterial and viral pathogens". Cell. 124 (4): 767–82. PMID 16497587. 
  102. ^ Cianciotto NP. (2005). "Type II secretion: a protein secretion system for all seasons". Trends Microbiol. 13 (12): 581–8. PMID 16216510. 
  103. ^ Winstanley C, Hart CA (2001). "Type III secretion systems and pathogenicity islands". J Med Microbiol. 50 (2): 116–26. PMID 11211218. 
  104. ^ Finlay B, Falkow S (1997). "Common themes in microbial pathogenicity revisited" (PDF). Microbiol Mol Biol Rev. 61 (2): 136–69. PMID 9184008. 
  105. ^ Kobayashi H (2005). "Airway biofilms: implications for pathogenesis and therapy of respiratory tract infections". Treat Respir Med. 4 (4): 241–53. PMID 16086598. 
  106. ^ Housden N, Harrison S, Roberts S, Beckingham J, Graille M, Stura E, Gore M (2003). "Immunoglobulin-binding domains: Protein L from Peptostreptococcus magnus" (PDF). Biochem Soc Trans. 31 (Pt 3): 716–8. PMID 12773190. 
  107. ^ Burton, Dennis R. (2005). "Antibody vs. HIV in a clash of evolutionary titans". Proc Natl Acad Sci U S A. 102 (42): 14943–8. PMID 16219699. 
  108. ^ Cantin R, Methot S, Tremblay MJ. (2005). "Plunder and stowaways: incorporation of cellular proteins by enveloped viruses". J Virol. 79 (11): 6577–87. PMID 15890896. 
  109. ^ Retief F, Cilliers L (1998). "The epidemic of Athens, 430-426 BC". S Afr Med J. 88 (1): 50–3. PMID 9539938. 
  110. ^ Plotkin S (2005). "Vaccines: past, present and future". Nat Med. 11 (4 Suppl): S5–11. PMID 15812490. 
  111. ^ The Nobel Prize in Physiology or Medicine 1905 Nobelprize.org Accessed January 8 2007.
  112. ^ Major Walter Reed, Medical Corps, U.S. Army Walter Reed Army Medical Center. Accessed January 8 2007.
  113. ^ Metchnikoff, Elie (1905). Immunity in Infective Diseases (Full Text Version: Google Books). Cambridge University Press. ISBN 68025143. 
  114. ^ The Nobel Prize in Physiology or Medicine 1908 Nobelprize.org Accessed January 8 2007

Pranala luar