Keyakinan dalam Buddhisme

Konsep iman dan komitmen religius dalam Buddhisme

Dalam agama Buddha, iman (Pali: saddhā, Sanskerta: śraddhā) merujuk kepada sebuah komitmen diri untuk mempraktikkan ajaran Sang Buddha dan percaya dengan tokoh-tokoh tercerahkan atau sangat berilmu, seperti para Buddha atau bodhisatwa (orang-orang yang berniat untuk menjadi seorang Buddha). Umat Buddha biasanya meraih berbagai obyek iman, namun beberapa umat Buddha secara khusus mencurahkan diri kepada tokoh tertentu, seperti seorang Buddha tertentu. Iman tak hanya pencurahan kepada seseorang, namun berada dalam hubungan dengan konsep Buddha seperti kemanjuran karma dan kemungkinan pencerahan.

Murid Ānanda (kiri) adalah contoh tradisional dari murid saleh dari Buddha.
Terjemahan dari
Iman
Palisaddhā
Sanskertaśraddhā
Tionghoa(T&S)
(Pinyinxìn)
Jepang
(rōmaji: shin)
Korea믿음
(RR: sin-eum)
Tibetanདད་པ
(Wylie: dad pa
THL: dat pa
)
Bengaliশ্রাদ্ধের
Thaiศรัทธา
(RTGS: satthaa)
Vietnamđức tin
Sinhalaශ්‍රද්ධ
Daftar Istilah Buddhis

Iman dalam Buddhisme awal berfokus pada Tiga Mestika, yang meliputi Buddha; ajarannya (dharma); dan terakhir, masyarakat dari para pengikut yang berkembang dalam hal spiritual atau komunitas monastik yang mencari pencerahan (saṅgha). Seorang pengikut saleh disebut upāsaka atau upāsika, sebuah status dimana tak ada persyaratan resmi yang diwajibkan. Buddhisme awal menilai verifikasi pribadi dari keyakinan spiritual memiliki tingkat tertinggi dalam memegang iman semacam itu, dan menganggap naskah-naskah suci, alasan atau iman kepada seorang guru tidaklah sumber-sumber otoritas bernilai. Seperti halnya iman, ini merupakan langkah pertama pada wadah menuju kebijaksanaan dan pencerahan, dan menghadapi rintangan atau menuju tahap akhir dari wadah tersebut. Buddhisme awal tak secara moral menentang persembahan damai kepada dewa-dewi. Sepanjang sejarah agama Buddha, penghormatan dewa-dewi, seringkali berasal dari iman pra-Buddhis dan animis, disepakati atau diubah menjadi praktik dan iman Buddha. Sebagai bagian dari proses tersebut, dewa-dewi semacam itu dinyatakan sebagai bawahan dari Tiga Mestika, yang masih memegang peran utama.

Pada masa berikutnya dari sejarah agama Buddha, khususnya dalam Buddha Mahāyāna, iman memberikan peran yang lebih penting. Mahāyāna mengembangkan konsep Alam Buddha, karena penghormatan kepada para Buddha dan bodhisatwa yang bermukim di Tanah Murni menjadi hal umum. Dengan kebangkitan kultus Sūtra Teratai, iman memegang peran utama dalam praktik agama Buddha, dan perkembangan penghormatan kepada Buddha Amitābha dana Buddhisme Tanah Murni makin mengamplifikasi tren tersebut. Bentuk Jepang dari Buddhisme Tanah Murni, di bawah bimbingan guru Hōnen dan Shinran, meyakini bahwa iman yang dipercaya kepada Buddha Amitābha adalah bentuk praktik yang berbuah, karena aliran tersebut menganggap selibasi, meditasi dan praktik Buddhis lainnya tidaklah terlalu efektif, atau berseberangan dengan nilai iman. Umat Buddha Tanah Murni mengartikan iman sebagai sebuah keadaan yang mirip dengan pencerahan, dengan sebuah esensi dari negasi diri dan humilitas. Dampak iman dalam agama Buddha menjadi hal penting dalam gerakan-gerakan milenarian di beberapa negara Buddha, yang terkadang mengakibatkan kehancuran dinasti-dinasti kerajaan dan perubahan politik penting lainnya.

Kemudian, peran iman meningkat sepanjang sejarah agama Buddha. Namun, dari abad kesembilan belas, di negara-negara seperti Sri Lanka dan Jepang, dan juga di dunia Barat, modernisme Buddha timbul dan mengkritik peran iman dalam agama Buddha. Iman dalam agama Buddha masih memiliki sebuah peran di Asia modern dan dunia Barat, namun dimengerti dan diartikan secara berbeda dari tafsiran-tafsiran tradisional, dengan nilai-nilai modern dan eklestisisme menjadi makin berpengaruh. Komunitas Buddha Dalit, khususnya gerakan Nawayāna, menafsirkan konsep-konsep Buddha dalam sorotan keadaan politik Dalit, dimana terdapat ketegangan antara rasionalisme modernis dan devosi lokal.

Peran dalam ajaran Buddha

Iman diartikan sebagai kepercayaan diri bahwa praktek ajaran Buddha akan membuahkan hasil.[1][2] Iman adalah rasa percaya dan berserah diri kepada tokoh-tokoh yang tercerahkan atau sangat berkembang, seperti para Buddha atau bodhisatwa, atau bahkan bhikkhu atau lama tertentu yang sangat dihormati.[1][3][4] Umat Buddha biasanya mengakui berbagai obyek iman, namun beberapa penganut secara khusus menghormati satu obyek iman tertentu, seperti seorang Buddha tertentu.[1] Namun, agama Buddha tak pernah terorganisir pada sekitaran satu otoritas pusat, baik sebagai orang atau kitab suci. Kitab suci biasanya dijadikan sebagai panduan, dan konsensus soal praktik telah menjadi perdebatan dan diskusi.[5]

Beberapa istilah dipakai dalam agama Buddha untuk iman, yang memiliki aspek kognitif atau afektif:[2]

  • Śraddhā (Sansekerta; Pali: saddhā; Tionghoa klasik: wen-hsin) merujuk kepada sebuah esensi komitmen kepada atau kepercayaan dalam suatu hal lainnya, atau esensi pengikatan atau komitmen untuk berpraktek.[1][6] Contoh-contoh tradisional dari hal ini adalah biksu Ānanda, hadirin Buddha Gautama, dan Vakkali, murid lainnya. Śraddhā seringkali dipandang sebagai kontra-agen dari kehendak buruk dalam pikiran.[7][8] Lawan kata śraddhā adalah āśraddhya, yang merujuk kepada kurangnya kapasitas untuk mengembangkan kepercayaan kepada guru dan ajaran-ajarannya, dan sehingga tak dapat mengembangkan energi pada wadah spiritual.[9] Kata śraddhā berasal dari kata śrat, "dibujuk", dan dhā, "memegang",[note 1] dan sehingga, menurut cendekiawan kajian agama Sung-bae Park, mengindikasikan "kepercayaan diri penuh, tetap berpantang, atau mendukung keyakinan, dalam esensi ketaatan yang kuat".[11]
  • Prasāda (Sansekerta; Pali: pasāda; Tionghoa klasik: ching-hsin) yang lebih afektif ketimbang śraddhā. Dipakai untuk menghormati ritual dan upacara, istilah tersebut merujuk kepada esensi penerimaan diri terhadap pemberkatan dan pengagungan obyek suatu devosi.[12] Kata prasāda berasal dari awalan pra dan sād, yang artinya "tenggelam, duduk", dan diartikan oleh Park sebagai "duduk dalam keadaan jernih dan trankuilitas".[11] Sehingga, prasāda merujuk kepada fokus pikiran penganut, komitmennya dan kualitas puncaknya.[13] Istilah tersebut dideskripsikan dalam istilah yang lebih spontan ketimbang śraddhā.[14]

Iman biasanya dikaitkan dengan Tiga Mestika, yang meliputi Buddha, dharma (ajarannya) dan saṅgha (komunitas). Sehingga, iman seringkali memiliki individual tertentu sebagai obyeknya, namun berbeda dari devosi dalam agama-agama India lainnya (bhakti), ini berhubungan dengan obyek-obyek impersonal seperti kerja karma dan transfer kasih.[15] Ini dipandang berfokus pada atau berujung pada pandangan baik atau pemahaman aspek-aspek utama dari ajaran budaya, seperti kerja karma, kasih dan kelahiran kembali.[16][17][18] Terkait Tiga Mestika, iman berfokus pada dan merasuk dalam karakteristik Buddha, dharma dan saṅgha.[19] Dengan kaitan dengan kerja karma, iman merujuk kepada anggapan bahwa perbuatan memiliki dampak, perbuatan baik menghasilkan dampak baik, dan perbuatan buruk menghasilkan dampak buruk.[20] Sehingga, iman memberikan panduan dalam menuju kehidupan beramal, moralitas dan kualitas relijius.[21] Iman juga meliputi gagasan seperti alam eksistensi, alamnya yang tetap dan terkondisi, dan pada akhirnya, pencerahan Buddha atau Nirwana dan wadah praktik menuju Nirwana.[16][17][18] Iman menganggap keyakinan bahwa terdapat orang-orang yang mencapai Nirwana dan dapat mengajarinya.[22]

Sejarah

Hajime Nakamura membedakan dua arus dalam agama Buddha, yang ia sebut sebagai kesepakatan devosional dan kesepakatan "pengetahuan dalam".[5] Antropolog Melford Spiro mendiskusikan bhakti (devosi) di satu sisi dan magga (wadah penyampaian) di sisi lain.[23] Dalam agama Buddha, dalam perkembangan pemahaman iman, dua lapisan sejarah dapat dibedakan: Buddhisme awal dan kemudian Buddha Mahāyāna. Beberapa cendekiawan awal abad kedua puluh, seperti Louis de La Vallée-Poussin, Arthur Berriedale Keith dan Caroline Rhys Davids, dikritik oleh para cendekiawan Sri Lanka karena tak membedakan dua hal tersebut.[24][25]

Buddhisme awal

Dalam teks-teks Buddha awal, seperti teks-teks Pāli , saddhā biasanya diterjemahkan menjadi "iman", namun dengan konotasi berbeda ketimbang kata Inggris-nya.[26] Kata tersebut terkadang juga diterjemahkan menjadi "kepercayaan diri", dalam hal percaya diri akan doktrin.[18][27] Menurut cendekiawan John Bishop, iman dalam Buddhisme awal secara esensial merupakan "relijius tanpa teistik".[28] Ini tidaklah berfokus pada Tuhan sebagai pusat agama.[29] Berlawanan dengan Brahmanisme Weda, yang mendahului Buddha, gagasan Buddha awal dari iman lebih terhubung dengan ajaran-ajaran untuk memahami dan menerapkan, ketimbang berfokus pada deitas luar.[30] Ini tak berarti bahwa kesepakatan agama Buddha terhadap realitas tak dipengaruhi oleh tradisi lain: pada saat agama Buddha berkembang, beberapa komunitas agama India mengajarkan kesepakatan kritikal dalam pemahaman kebenaran.[31]

Iman tak sekadar komitmen mental untuk serangkaian prinsip,[32] namun juga memiliki kualitas afektif.[2][33] Para cendekiawan dalam Buddhisme awal membedakan antara iman sebagai kebahagiaan dan ketenagan, membesarkan pikiran pada tingkat yang lebih tinggi;[33] dan iman sebagai sebuah energi yang memproduksi kepercayaan diri, wajib menghadapi cobaan dan pengendalian diri.[2][34] Karena iman membantu menghapuskan perpleksitas, ini menginspirasi dan memberikan energi kepada penganut.[35]

Penganut Buddha kemudian mencurahkan iman kepada Tiga Mestika, yang meliputi Buddha, dharma dan saṅgha, serta nilai disiplin. Namun, dalam teks-teks Buddha awal, iman tak mengartikan tanggapan berlawanan atau kurangnya pengakuan atas deitas lainnya. Meskipun Budha menolak pengurbanan hewan berdarah, ia sendiri tidaklah menentang persembahan damai kepada dewa-dewi, namun menganggap hal tersebut kurang berguna ketimbang persembahan amal kepada saṅgha monastik.[36][32] Sehingga, setiap hal diberi tempat dalam hierarki kegunaan, dimana perilaku moral lebih dihargai ketimbang upacara atau ritual.[37]

Iman adalah konsekuensi dari kekekalan dan persepsi bijak dari penderitaan (dukkha). Refleksi pada penderitaan dan kekekalan menuntut para penganut ke rasa takut dan agitasi (Pali: saṃvega), yang memotivasi mereka untuk mengambil perlindungan kepada Tiga Mestika dan menanam iman sebagai sebuah hasil.[38] Iman kemudian menuntun pada beberapa kualitas mental penting lainnya pada wadah menuju Nirwana, seperti kebahagiaan, konsentrasi dan penglihatan.[39] Namun, iman itu sendiri tak pernah dianggap cukup untuk mencapai Nirwana.[40][41]

 
Saṅgha dideskripsikan sebagai "ladang kasih", karena umat Buddha memberikan persembahan kepada mereka sebagai pembuahan karma tertentu.[42]

Kaum awam Buddha saleh laki-laki dan perempuan masing-masing disebut upāsaka atau upāsika. Untuk menjadi kaum awal, tak ada ritual formal yang diwajibkan.[43][44] Beberapa pasal Kitab Pāli, serta para ahli tafsir pada masa berikutnya seperti Buddhaghosa, menyatakan bahwa kaum awam Buddha dapat pergi ke surga hanya dengan memperkuat iman mereka dalam dan kecintaan untuk Buddha, sehingga dalam pasal lainnya, iman didaftarkan bersama dengan kebajikan-kebajikan lainnya, seperti moralitas, sebagai kaulitas yang memandu penganut menuju surga.[45][46] Selain itu, iman adalah bagian penting dari gagasan kaum awam Buddha, karena mereka dideskripsikan sebagai sikap memandang saṅgha, menyimak ajaran mereka, dan yang terpenting, memberi amal untuk saṅgha. Saddhā dalam kehidupan awam sangat berhubungan dengan dāna (generositas): hadiah kesalehan adalah hadiah paling berpengaruh dalam hal spiritual.[47]

Iman masuk dalam daftar kebajikan untuk kaum awam, dan sehingga dideskripsikan sebagai kualitas progresif untuk para penganut, karena penganut yang baru masuk agama Buddha dikarakteriasikan sebagai "muda dalam devosi".[48] Sehingga, terdapat berbagai daftar kebajikan dimana iman diliputkan,[49][45] dan tradisi awal lainnya juga memberikan peran penting kepada iman, seperti tradisi Sarwāstiwāda.[2] Selain itu, Buddhisme awal mendeskripsikan iman sebagai kualitas berpengaruh dalam pemasuk arus, sebuah keadaan yang mendahului pencerahan.[50][51] Dalam deskripsi standar dari orang-orang yang tergerak maju (mengambil penahbisan sebagai biksu), iman disebut sebagai motivasi penting. Disamping peran tersebut, beberapa pakar Indologi seperti André Bareau dan Lily De Silva meyakini bahwa Buddhisme awal tak memegang nilai yang sama dengan kepercayaan seperti dalam beberapa agama lain, seperti Kristen. Bareau berpendapat bahwa "agama Buddha tak memiliki keselarasan [gagasan] iman murni seperti dalam agama Kristen, ... Gagasan kelahiran buta, sebuah iman absolut dalam firman seorang master, secara bulat berjalan melawan jiwa Buddhisme awal."[52][53] Namun, penerjemah Caroline Rhys Davids tak sepakat dengan pernyataan tersebut, dengan menyatakan bahwa "iman tak kurang penting ketimbang iman untuk semua agama yang memakai namanya".[54][55] Indologis Richard Gombrich berpendapat bahwa agama Buddha tak mendeskripsikan kepercayaan kepada seseorang atau suatu hal yang berwujud melawan akal budi. Selain itu, Gombrich meyakini bahwa Buddha tak berniat untuk membuat sebuah agama yang berfokus pada devosi kepada orangnya, meskipun ia mengakui bahwa devosi semacam itu telah dimulai saat Buddha masih hidup.[56][57] Gombrich menyatakan bahwa terdapat sebuah lahan material dalam naskah-naskah awal yang menjelaskan bagaimana pengaruh iman tersebut,[58] namun berpendapat bahwa "perkembangan upacara dan liturgi Buddha benar-benar sebuah konsekuensi tanpa tujuan secara keseluruhan dari kotbah Buddha".[59]

Memegang perlindungan

 
Dalam Kitab Pāli, biksu Buddha memberikan peran signifikan dalam mempromosikan dan menegakkan iman di kalangan kaum awam.[60][61]

Sejak Buddhisme awal, para penganut mengekspresikan iman mereka melalui tindakan memegang perlindungan, yang disebut tiga lipatan. Dalam hal ini, ini terpusat pada otoritas Buddha sebagai sosok yang paling tercerahkan, dengan menempatkan peran untuk Buddha sebagai guru umat manusia dan para dewā (makhluk surgawi). Ini seringkali meliputi para Buddha lain dari masa lampaui, dan Buddha yang tak bangkit. Kedua, memegang perlindungan menghargai kebenaran dan dampak dari doktrin spiritual Buddha, yang meliputi sifat-sifat fenomena (Pali: saṅkhāra) seperti kekekalan (Pali: anicca) mereka, dan wadah menuju pembebasan.[62][63] Memegang perlindungan berakhir dengan penerimaan penghormatan terhadap komunitas pengikut pengembangan spiritual (saṅgha), yang kebanyakan didefinisikan sebagai komunitas monastik, selain juga meliputi kaum awam dan bahkan para dewā menyediakan mereka pencerahan sebagian atau penuh.[42][64] Buddhisme awal tak meliputi para bodhisatwa dalam Tiga Perlindungan, karena mereka dianggap masih berada pada wadah menuju pencerahan.[65]

Teks-teks awal mendeksripsikan saṅgha sebagai "ladang kasih", karena penganut Buddha awal memberikan persembahan kepada mereka biasanya sebagai pembuahan karma.[42] Para penganut awam mendukung dan menghormati saṅgha, yang mereka yakini akan memberikan kasih kepada mereka dan mengirimkan mereka lebih dekat dengan pencerahan.[66] Pada saat yang sama, biksu Buddha memberikan peran signifikan dalam mempromosikan dan menegakkan iman kaum awam. Meskipun beberapa contoh dalam kitab tersebut disebutkan dari para biksu berkelakuan baik, terdapat juga kasus biksu berkelakuan buruk. Dalam kasus semacam itu, teks-teks tersebut mendeskripsikan bahwa Buddha menanggapinya dengan sensitivitas besar kepada sudut-sudut pandang dari komunitas awam. Saat Buddha menghimpun aturan baru dalam kitab monastik terhadap perilaku buruk monastiknya, ia biasanya menyatakan bahwa perilaku semacam itu harus ditindak, karena tak akan "mendorong orang tidak percaya" dan "orang percaya akan berbalik". Ia mengkecualikan biksu, biksuni dan samanera untuk tak hanya memimpin kehidupan spiritual untuk manfaat mereka sendiri, namun juga menegakkan iman masyarakat. Di sisi lain, mereka tak mengambil tugas menginspirasi iman dalam keadaan yang sangat krisis atau tak diinginkan, contohnya, dengan mengambil profesi lain selain dari sebuah monastik, atau dengan menggalang sanjungan dengan memberikan barang-barang kepada kaum awam.[60][61]

Sehingga, memegang perlindungan adalah bentuk aspirasi untuk menuntun kehidupan dengan Tiga Mestika pada intinya. Memegang perlindungan dilakukan lewat rumus pendek dimana seseorang menjadikan Buddha, dharma dan saṅgha sebagai perlindungan.[67][64] Pada naskah-naskah Buddha awal, memegang perlindungan adalah sebuah ekspresi ketentuan untuk mengikuti wadah Buddha, namun tak melepaskan tanggung jawab.[63]

Melalui verifikasi

 
Stūpa Buddha di Kesariya, Bihar, India, didirikan untuk menghormati Kalāma Sutta

Iman dapat menuntun para praktisioner untuk memegang perlindungan dalam Tiga Mestika, yang membukakan mereka ke pengalaman spiritual baru yang sebelum tidak mereka ketahui. Ini adalah aspek devosional atau mistis dari iman. Namun, terdapat juga aspek rasional, dimana nilai pemegangan perlindungan berakar pada verifikasi personal.[5] Dalam catatan (sutta) yang disebut Kalāma Sutta, Buddha berargumen melawan pengikutan otoritas suci, tradiisi, doktrin logika, atau menghormati para guru untuk fakta bahwa mereka adalah guru dari orang tersebut.[68] Pengetahuan yang datang dari sumber semacam itu berdasarkan pada kesombongan, kebencian dan delusi dan para penganut Buddha harus memandang pengetahuan semacam itu secara setengah hati dan tak berbutakan. Mereka harus menemukan apakah suatu ajaran itu benar oleh verifikasi personal alih-alih kebenaran spiritual, membedakan mana yang menuntun menuju kesenangan dan manfaat, dan mana yang tidak.[69][70][note 2] Memberikan contoh dari kesepakatan semacam itu, Buddha menyatakan bahwa praktik meninggalkan kesombongan kebencian dan delusi akan bermanfaat bagi praktisioner, tanpa memandang apakah terdapat ganjalan pada retribusi karma dan kelahiran kembali.[71] Sehingga, pengalaman dan penentuan personal dipakai dalam menerima Buddha dan agama Buddha. Namun, seseorang juga harus meminta nasehat dari orang bijak.[45]

Dalam sebuah catatan yang disebut Canki Sutta, Buddha menekankan bahwa keyakinan orang dapat dibedakan dalam dua cara: mereka dapat menjadi cerdas, faktual dan tidak salah kaprahl atau sia-sia, kosong dan palsu. Sehingga, saat seseorang memegang keyakinan tertentu, mereka tak harus memberikan pernyataan "Hanya ini yang benar, yang lainnya palsu," namun sebagai gantinya "menyajikan kebenaran" dengan kesadaran "Ini adalah keyakinanku".[72][70][note 3] Sehingga, catatan tersebut mengkritik wahyu ilahi, tradisi dan laporan lainnya, karena dianggap "iman tak berdasar" dan pengartian tak lengkap dari akuisisi pengetahuan atau kebenaran spiritual.[45][73] Namun dalam Sandaka Sutta, Buddha juga mengkritik akal budi dan logika sebagai alat untuk mencapai kebenaran.[72][73] Sebagai gantinya, pengetahuan intiuitif langsung dan personal diharuskan untuk mencapai kebenaran, saat pengetahuan semacam itu tak terdampak oleh bias.[74][75] Sehingga, kepercayaan dan iman tak dianggap selaras untuk mendatangkan kebenaran, bahkan dalam materi-materi spiritual dimana tradisi agama lain akan merujuk kepada iman. Buddha tak setuju dengan tradisi yang menuntut kepercayaan buta terhadap kitab suci atau guru.[24][75] Dalam satu catatan, saat ditanya soal otoritas Buddha berdasarkan pada ajaran-ajarannya, ia menjawab bahwa ia tak mendasarkan mereka pada tradisi, iman atau akal budi, namun lebih kepada pengalaman personal sebagai sumber otoritas.[76]

 
Buddha menyatakan dalam beberapa catatan, termasuk Vimaṁsaka Sutta, bahwa para muridnya harus menyelidikan dirinya sendiri apakah ia benar-benar tercerahkan dan bertindak murni, dengan mengamatinya selama jangka panjang.[77][78]

Selain itu, penganut Buddha harus memverifikasi kepastian dan kebenaran moral lewat pengalaman personal. Ini kemudian berujung pada penerimaan sementara, yang disebut "menyajikan kebenaran". Iman berpindah dari satu tangan ke tangan lain dengan sikap terbuka atas kehendak untuk mempelajari dan berusaha, memfamiliarisasikan diri sendiri dengan ajaran. Meskipun verifikasi personal dari iman seseorang mendalam, secara mutlak berubah dari "menyajikan" menuju "menemukan" kebenaran.[45][70] Proses verifikasi melibatkan pengalaman biasa, selain juga pengalaman yoga dari penanaman pikiran.[79] Selain itu, Buddha menerapkan kriteria untuk ajarannya sendiri: ia terkualifikasi untuk mengajarkan dharmanya karena ia memverifikasikannya untuk dirinya sendiri, namun tak mempelajarinya dari orang lain atau tanpa akal budi.[80] Buddha menyatakan dalam beberapa catatan, termasuk Vimaṁsaka Sutta, bahwa para muridnya harus menyelidiki dirinya soal apakah ia tercerahkan atau murni dalam pengaruh, dengan mengamatinya selama jangka panjang.[77][78] Beberapa orang yang dideskripsikan dalam Kitab Pāli mengobservasi Buddha dengan cara semacam itu, dan datang ke iman mendasar.[77] Namun, ini tak berarti bahwa Buddha tak menerima tindakan wahyu apapun kepada umatnya: ia mengajarkan bahwa tindakan devosional dapat membantu meningkatkan pikiran praktisioner awam, dan membantu mereka pada wadah menuju kelahiran kembali yang lebih baik dan pencerahan.[81] Sehingga, devosi adalah subyek yang mewajibkan peminatan praktisioner yang serius.[82]

Sebagai langkah awal

Iman adalah kepercayaan awal pada Buddha sebagai guru spiritual dan penerimaan awal ajaran-ajaran Buddha. Iman dianggap merupakan manfaat besar dari praktisioner permulaan dari ajaran Buddha.[5][34] Dalam Cula-hatthipadopama Sutta, Buddha mendeskripsikan wadah pencerahan sebagai permulaan dari iman di dalamnya, namun tetap mempraktikkan kebaijkan, meditasi dan kebijaksanaan, berpuncak pada pengabdian terhadap pencerahan. Sehingga, iman awal menyediakan kepercayaan diri untuk meneruskan wadah tersebut menuju tujuan akhir,[83] dan untuk alasan ini, dalam ajaran Buddha awal, iman biasanya didaftarkan sebagai kualitas pertama dalam nilai kebajikan progresif.[48]

Selain saddhā, kata lainnya, pasāda, dan sinonim-sinonim terkaitnya pasanna dan pasidati, terkadang juga diterjemahkan menjadi 'iman', namun memberi nilai yang lebih tinggi ketimbang saddhā. Saddhā mendalam saat beberapa orang berjuang di sepanjang wadah spiritual, dan teks-teks awal terkadang menyebutnya sebagai pasāda,[84][85][86] dan terkadang sebagai bhakti.[21] Pasāda adalah iman dan sikap terhadap seorang guru, namun disertai oleh kejelasan iman, penempatan dan pemahaman.[86] Disiplin yang dipraktikkan tersebut mengembangkan dan menstabilisasi imannya, mendasarkannya pada penglihatan spiritual.[34][87] Ini menuntun imannya menuju "ke-tidak terguncang-an".[88][89]

Sehingga, iman itu sendiri tak mendorong untuk meraih pemberian, namun merupakan langkah awal pada wadah menuju kebijaksanaan dan pencerahan.[90] Beberapa ajaran dalam Buddhisme awal menyebut iman sebagai langkah awal, sementara kebijaksanaan disebutkan sebagai yang terakhir.[91][92] Pada tahap akhir wadah Buddhis, untuk menuju arahant, seorang praktisioner secara bulat mengganti iman dengan kebijaksanaan. Pada titik tersebut, arahant tak lagi berada pada iman secara keseluruhan,[93][94][41] meskipun pada tahap tersebut terkadang sebuah bentuk dari iman terrealisasikan dideskripsikan.[95] Sehingga, Buddha memuji sebagian besar muridnya karena kebijaksanaan mereka, ketimbang iman mereka. Dengan pengecualian adalah biksu Wakkali, yang dipuji oleh Buddha sebagai "orang tertinggi dari orang-orang yang memiliki iman", yang juga diajarkan oleh Buddha untuk berkonsentrasi pada ajaran, ketimbang tokoh Buddha.[34][94][41] Buddha dipandang memandang muridnya Ānanda dengan cara yang sama.[96]

Dalam Kitab Pāli, kesepakatan berbeda dari iman dideskripsikan. Iman yang berkembang pada seseorang, bahkan Buddha sendiri, dipakai sedikit saat makin berhubungan dengan fitur-fitur superfisial—seperti penampilan fisik—dan terlalu sedikit pada ajaran Buddha. Kesepakatan untuk iman semacam itu berujung pada kasih sayang dan kemurkaan dan ketidakmajuan lainnya. Ini adalah sebuah impedimen untuk berjalan dalam langkah-langkah Buddha dan meraih pencerahan, seperti dalam kasus Wakkali. Iman dan devosi harus selalu berpindah dari tangan ke tangan dalam esensi kesetaraan.[97][98][99]

Buddha Mahāyāna

 
Buddha Gautama dengan adegan-adegan dari legenda Awadāna

Pada periode kaisar Ashoka (abad ketiga sampai kedua SM), umat Buddha makin menyoroti iman, karena Ashoka membantu mengembangkan Buddha sebagai agama populer untuk menyatukan kekaisarannya. Tren baru ini berujung pada peningkatan pemujaan stūpa dan peningkatan sastra berlandaskan iman Awadāna.[100][101] Pada abad kedua SM, Buddha makin umum digambarkan melalui gambar-gambar, dan terdapat peralihan dalam tujuan agama India menuju devosionalisme emosional. Ini berujung pada perspektif baru dalam agama Buddha, yang dijelaskan oleh cendekiawan kajian Buddha Peter Harvey sebagai "kesalehan, iman dan kebijaksanaan". Perspektif tersebut menghimpun jalan menuju kebangkitan Buddha Mahāyāna.[102][103]

Pada umumnya, peran iman dalam Buddha Mahāyāna mirip dengan Theravāda[85][23]—dalam ajaran keduanya, iman adalah bagian tak terhindarkan dari praktik.[71] Bahkan dalam Buddhisme Theravāda saat ini, yang bermula dari Buddhisme Pāli, iman masih merupakan bagian penting dalam masyarakat Buddhis tradisional. Umat Theravāda memandang iman dalam Tiga Mestika sebagai unsur protektif dalam kehidupan sehari-hari, khususnya saat dipadukan dengan kehidupan moral.[104] Namun, dengan kebangkitan Buddha Mahāyāna, kedalaman dan rangkaian ajaran tentang iman diintensifikasikan. Sejumlah besar bodhisatwa menjadi fokus akan devosi dan iman, memberikan sisi "teistik" kepada Buddha Mahāyāna.[105][106] Dalam Buddhisme awal, terdapat beberapa pasal yang mensugestikan bahwa Buddha dan sosok tercerahkan lainnya memiliki alam yang melampaui dunia. Kemudian, umat Theravāda meyakini bahwa Maitreya, Buddha masa depan, menunggu mereka di surga dan makin menghargai mereka secara bertahap. Selain itu, umat Mahāyāna memegang gagasan lebih lanjut.[107][108] Setelah kematian Buddha, terdapat sebuah esensi menyesal di kalangan komunitas Buddha tentang ketiadaan Buddha di dunia, dan rasa ingin untuk "melihat" Buddha (Sanskerta: darśana) dan meraih kekuatannya.[109][110] Umat Mahāyāna melebarkan pengartian Tiga Mestika untuk meliputkan para Buddha yang berdiam di surga, dan mereka kemudian disebut Buddha sambhogakāya ('perwujudan dari kesenangan Dharma').[110][111] Peningkatan tujuan pada Buddha kelestial tersebut, terwujud di semua waktu dan tempat, dimulai dengan di bawah bayang-bayang peran Buddha Gautama dalam iman Buddha.[112][113] Buddha Tanah Murni banyak memfokuskan imannya ke Buddha kelestial tersebut, khususnya Buddha Amitābha.[114][115]

Dimulai dari devosi kepada para Buddha kelestial,[114][115] memajukan sosok-sosok bodhisatwa, mewakili gagasan-gagasan Mahāyāna, secara bertahap menjadi fokus dari ibadah dan kultus ekstensif. Para bodhisatwa tersebut tak memiliki landasan dalam fakta sejarah.[116] Pada abad keenam, penggambaran para bodhisatwa dalam ikonografi Buddha telah menjadi hal umum,[114] seperti bodhisatwa Awalokiteśwara yang mewakili kesalehan, dan kebijaksanaan Manjusri.[117] Catatan tentang para bodhisatwa adan perbuatan baik mereka seringkali meliputi tindakan-tindakan dengan taruhan-taruhan besar, dan para penulis nampaknya mengartikan catatan tersebut lebih kepada devosional ketimbang eksemplar.[118]

Kemudian, pada abad kedua belas dan ketiga belas, tujuan dalam Buddhisme Jepang beralih dari pencerahan personal ke berhubungan dengan alam Buddha universal dan alam-alam dimana para Buddha bermukim.[119] Dengan perkembangan sistem pemikiran Mādhyamaka, Buddha tak lagi dianggap sebagai tokoh sejarah, dan gagasan persatuan esensial dalam seluruh makhluk hidup menjadi bagian intrinsik dari teori dan praktek Buddha.[120] Perkembangan tersebut berujung pada gerakan devosi dari Buddhisme Tanah Murni, sementara dalam Buddhisme Zen, ini berujung pada tujuan mencari Alam Buddha dalam diri sendiri.[121]

Istilah untuk iman yang umum dipakai dalam Buddha Mahāyāna adalah Xin (Tionghoa) dan shin (Jepang): istilah-istilah tersebut dapat merujuk kepada rasa percaya, selain juga penerimaan tak dipertanyakan dari obyek devosi seseorang. Mereka juga dipakai, seperti dalam Buddhisme Chan dan Zen, dengan kaitan terhadap rasa percaya diri bahwa alam Buddha (tathāgatagarbha) tersembunyi dalam pikiran seseorang, dan dapat ditemukan sebagai hal yang mengatur tindakan dari pikiran.[12][122][2] Sehingga, Buddhis Chan dan Zen menganggap iman sebagai salah satu dari Tiga Esensial dalam praktek meditasi, bersama dengan penyelesaian dan keraguan.[123][124] Di sisi lain, Buddhis Tanah Murni membuat pembedaan antara aspek pikiran yang percaya, dan disadarkan oleh praktek devosi dan kerendahan hati kepada Buddha Amitābha, yang disebut sebagai xinji (Tionghoa) atau shinjin (Jepang); dan kebahagiaan dan percaya diri dapat mempertemukan Buddha Amitābha, yang disebut sebagai xinfa (Tionghoa) atau shingyō (Jepang).[122][125][126] Tradisi Tanah Murni mendeskripsikan kesadaran iman sebagai pengalaman transkendental melampaui waktu, mirip dengan keadaan yang mendahului pencerahan.[127] Dalam ajaran guru Tanah Murni Jepang Shinran, pengalaman iman semacam itu, yang ia sebut "Terang" (Jepang: kōmyō) melibatkan para penganut tak hanya merasa secara bulat disertai Buddha Amitābha sebagai determinasinya dan kebijaksanaan untuk menyelamatkan mereka, namun juga merasa secara penuh selaras dengan Amitābha karena ketidakmampuan personal mereka.[128][129]

Disamping perkembangan penting yang terjadi dalam kebangkitan Buddha Mahayana, kesederhanaan pada keadaan yang tak menjadi gerakan devosional telah ada sebelum Mahāyāna. Devotionalisme menjadi hal umum dalam teks dan praktek dalam periode yang sama saat teks-teks Abhidhamma dikompilasikan, bahkan sebelum Mahāyāna berkembang.[130] Selain itu, Buddhisme Theravāda pada masa berikutnya mulai memajukan catatan-catatan hagiografi dari Buddha dan bodhisatwa lain, dan dalam beberapa catatan, Buddha memainkan peran besar dalam pencerahan orang lain.[131]

Buddha Tiantai, Tendai dan Nichiren

 
Fragmen abad kelima dari manuskrip Sutra Teratai Sansekerta dari Rouran, Wei Utara, yang diangkat dari Hetian, provinsi Xinjiang. Disimpan di Museum Mausoleum Raja Nanyue.

Sūtra Teratai, salah satu teks yang paling banyak dipakai (Sanskerta: sūtra) di Asia Tenggara,[132] memajukan gagasan iman.[133] Di Tiongkok dan Jepang pada abad pertengahan, beberapa legenda mukjizat dikaitkan dengan Sūtra Teratai, berkontribusi pada popularitasnya. Para cendekiawan menyatakan bahwa sūtra tesebut memandang Buddha sebagai seorang bapak yang membantu membuat sūtra tersebut menjadi populer.[134]

Sūtra Teratai dikomposisikan dalam dua abad pertama Masehi. Bagian dari "Kultus Buku", umat Mahāyāna menghargai dan memuja Sūtra Teratai seperti beberapa sutra Mahāyāna lainnya, mirip dengan pemujaan stūpa-stūpa sebelum kebangkitan Buddha Mahāyāna. Mereka memuja Sūtra Teratai melebihi sebagian besar sūtra. Sūtra itu sendiri mendeskripsikan jenis berbeda dari devosi untuknya—meraih dan menjaga, membaca, mengutip ulang, mengajar dan mentranskripsikannya—dan sebetulnya dipuja dalam sebagian besar cara. Dalam beberapa salinan, naskah-naskah menggambarkan setiap surat mirip dengan Buddha, tercerahkan dalam sebuah stūpa.[135][136][137]

Meskipun penerapan teori dari Sūtra Teratai mempengaruhi para cendekiawan tradisional, praktik-praktik devosional terkait sūtra tersebut lebih berdampak pada agama Buddha.[138] Aliran Tiantai Tiongkok (abad ke-6) dan bentuk Jepang-nya pada masa berikutnya, Tendai, makin mempromosikan pemujaan terhadap Sūtra Teratai, dengan memadukan devosi terhadap Buddha Amitābha.[139][140] Aliran-aliran tesebut meyakini bahwa sūtra tersebut merupakan hal tertinggi di antara seluruh ajaran Buddha, dan menuntun menuju pencerahan dalam kehidupan saat ini.[141] Beberapa aliran dari periode Kamakura (abad kedua belas sampai keempat belas), memegang wahyu pada Sūtra Teratai untuk mendirikan apa yang mereka pandang sebagai kendaraan atau wadah tunggal dari dharma, dan mereka hanya meyakini praktik ini yang menuntun masyarakat menuju tanah Buddha ideal.[142]

Contohnya, guru Jepang Nichiren (1222–82) mempromosikan iman dan ibadah sūtra untuk alasan ini, mengkritik aliran dan jenis ibadah lain secara tajam.[143][144] Memandang sutra sebagai nubuat misi gerakannya sendiri,[145][146] Nichiren meyakini bahwa melalui devosi kepada sutra, Tanah Murni di Bumi dapat terrealisasi, sebuah tanah yang merupakan sebuah gambaran gagasan pencerahan dalam Buddha Māhayāna.[147][148] Ia mengajarkan bahwa pemujaan sūtra membuat praktisioner menyatu dengan Buddha primordial, yang ia diyakini merupakan manifestasi dari semua Buddha.[138] Nichiren mempromosikan invokasi judul sutra berdasarkan "pada iman saja".[149] Disamping devosi besar kepada Sūtra Teratai, Nichiren tak berniat mengkaji sutra, meyakini bahwa memuji judul sutra tersebut, adalah praktik paling efektif untuk orang-orang yang tinggal pada "Zaman Penurunan Dharma".[150] (Lihat § Buddhisme Tanah Murni, di bawah.)

Pada masa sekarang, lebih dari empat puluh organisasi meneruskan tradisi Nichiren, beberapa diantaranya adalah organisasi awam.[151][152]

Buddha Tanah Murni

 
Buddha Amitābha

Sūtra-sūtra Tanah Murni diyakini menyatakan bahwa iman dan devosi mencapai sebuah puncak dari pengaruh soteriologi. Saat devosi kepada para Buddha kelestial berkembang dalam Buddha Mahāyāna, gagasan yang berkembang menyatakan bahwa para Buddha tersebut dapat menciptakan 'ladang-ladang Buddha' Sanskerta: buddha-kṣetra), atau Tanah-Tanah Murni (Sanskerta: sukhāwatī).[103] Dalam Buddha Tanah Murni, ini adalah iman seseorang dalam kesalehan terhadap Buddha Amitābha,[153] dipasangkan dengan permintaan terawal untuk memasuki Tanah Murni-nya yang dikatakan memberikan pembebasan disana. Tanah Murni tersebut mempersiapkan penganut untuk masuk kepada kesadaran dan Nirwana.[154][155] Buddha Tanah Murni berbeda dalam beberapa cara dari sebagian besar bentuk Buddhisme pada masanya, yang berdasarkan pada upaya sendiri dan teknik pengendalian diri.[156]

Umat Buddha Mahāyāna menganggap Amitābha (Sansekerta, 'terang tanpa batas') sebagai salah satu Buddha kelestial.[103][157] Sūtra Sukhāvatīvyūha Panjang mendeskripsikan Buddha Amitābha sebagai seorang biksu yang, berpraktek di bawah seorang Buddha pada masa sebelumnya, bersumpah untuk membuat sebuah tanah melalui kekuatan spiritualnya. Meskipun gagasan tersebut menyatakan bahwa ia akan dengan mudah dapat memandu beberapa makhluk hidup menuju pencerahan akhir.[158] Sehingga, ia bersumpah bahwa saat ia mencapai Buddhabhāva, cukup memanggil namanya akan mendorong para makhluk hidup untuk lahir di Tanah Murni tersebut.[159] Tersebar di Jepang, Korea, China dan Tibet, devosi kepada Buddha Amitābha berkembang di India pada sekitaran permulaan Era Masehi.[157][160] Inti dari Buddha Tanah Murni adalah gagasan bahwa manusia masa sekarang hidup dalam Zaman Penurunan Dharma (Tionghoa: mofa, Jepang: mappō), tahap akhir dari dispensasi Buddha saat ini.[154][155] Umat Buddha Tanah Murni meyakini bahwa pada periode ini, orang-orang sangat dibatasi dalam kemampuan mereka untuk meraih keselamatan. Sehingga, mereka harus memegang kekuatan eksternal (Buddha Amitābha) untuk meraih keselamatan, dan menunda perhatian mereka terhadap Nirwana ke kehidupan lain (pada kelahiran kembali mereka di Tanah Murni).[154][155] Ini adalah sentimen karena konflik kekerasan bersaudara, bencana kelaparan, kebakaran dan keretakan lembaga-lembaga monastik.[161] Namun, gagasan kelayakan kekuatan eksternal dapat juga menjadi konsekuensi dari ajaran-ajaran Mahāyāna tentang alam Buddha, yang membuat perbedaan antara ketidaktercerahan dan Buddhabhāva yang lebih besar.[162]

 
Lukisan pendeta dan penulis Tionghoa Shandao

Buddha Tanah Murni berdiri sebagai sebuah lembaga oleh guru Huiyuan (334–416 Masehi) di Gunung Liu dengan pendirian Sekte Teratai Putih.[110] Shandao (613–681) mulai berniat mengutip lagi mantra-mantra yang menghormati Buddha Amitābha (Tionghoa: nianfo; Jepang: nembutsu), berpadu dengan beberapa praktek lain.[163][127] Ini nampak merupakan paradoks dalam iman Tanah Murni dari permulaan, dimana dua gagasan diadvokasikan: di satu sisi, para guru Tanah Murni mengajarkan bahwa para bodhisatwa yang menciptakan Tanah Murni mereka adalah contoh dalam upaya mereka sendiri untuk membuat jasa sebagai energi untuk menciptakan Tanah Murni darinya, menginspirasi penganut untuk mengikuti contoh ini. Di sisi lain, para praktisioner diajarkan harus melakukan devosi sendiri kepada para Buddha di Tanah Murni, utamanya Amitābha, yang akan memberikan keselamatan kepada mereka, suatu gagasan yang banyak diikuti.[164] Namun bahkan di Jepang, terdapat perdebatan besar tentang apa tujuan yang diberikan kepada upaya-upaya aktif dari penganut di satu sisi, dan sikap pasif terhadap Buddha Amitābha dan sumpahnya di sisi lain.[165][166][note 4]

Buddha Tanah Murni sekarang masih menjadi salah satu bentuk agama paling populer di Asia Timur, dan dipraktekkan oleh sebagian besar biksu Asia Timur.[168][169][170] Pada 1990an, generasi lama dari masyarakat Tiongkok masih memakai matra Amitābha dalam penyambutan umum sehari-hari.[171]

Jepang

Cendekiawan Tendai Genshin (942–1017), pendeta Tendai Hōnen (1133–1212) dan muridnya Shinran (1173–1262) menerapkan ajaran Shandao di Jepang, menciptakan Buddha Tanah Murni disana sebagai aliran terpisah untuk pertama kalinya.[172][173][161] Mereka meyakini dan mengajarkan bahwa pikiran penuh yang mengutip ulang nembutsu akan mendorong orang percaya masuk ke Surga Barat.[174][175] Meskipun Hōnen awalnya menyatakan bahwa keseringan mengulang mantra akan membuat keselamatan makin kecil, Shinran kemudian menyatakan bahwa orang yang melakukannya akan terdorong menuju keselamatan (Jepang: ichinengi).[note 5] Repetisi berikutnya akan menjadi ekspresi penghormatan kepada Buddha Amitābha, yang juga dilakukan untuk rutinitas dan praktik keagamaan lainnya. Pemahaman mendalam dari ajaran, praktik moral dan meditasi Buddha tak dibutuhkan, menurut Shinran,[177][178] bahkan menganggap beberapa praktek seperti meditasi merugikan hubungan dengan Buddha Amitābha.[179]

Konsep iman yang diadopsi oleh Shinran berasal dari Shandao:[180] mula-mula, kepercayaan diri dalam tokoh Buddha Amitābha; kedua, kepercayaan mendalam dalam sumpah yang diambil oleh Buddha Amitābha, dan keputusan alam bawah orang itu sendiri, dan terakhir, keinginan untuk mendedikasikan cinta kasih dari melakukan perbuatan baik agar lahir di Tanah Murni dimana Buddha Amitābha diyakini bermukim. Disana, ketiganya disebut sebagai 'ketunggalan hati' (Jepang: isshin).[181][182] Shinran kemudian mengajarkan bahwa iman penuh semacam itu akan membuat orang setara dengan Maitreya, Buddha masa depan, karena pencerahan penuh mereka akan dorongan tanpa keraguan.[183][184]

Shinran memegang ajaran Hōnen secara ekstrim: sejak ia mendorong agar ia pergi ke neraka tanpa bantuan Buddha Amitābha, devosi kepada Buddha Amitābha dan kepercayaan dalam sumpahnya adalah jalan tunggal menuju keselamatan.[185][186] Meskipun Hōnen mendorong sebagian besar devosi kepada Buddha Amitābha, ia tak melakukannya secara sangat eksklusif: di sisi lain, Shinran mengajarkan sebuah wadah devosi hanya kepada Buddha Amitābha.[187] Kemudian, Buddha Tanah Murni pimpinan Shinran berfokus pada serangkaian praktik terbatas, berseberangan dengan beberapa praktik Buddha Tendai. Karakteristik periode ini dalam Buddhisme Jepang adalah alam selektif dari iman: para guru Tanah Murni Jepang seperti Shinran mengajarkan bahwa Tanah Murni adalah satu-satunya bentuk Buddisme yang menjadi wadah yang benar; bentuk Buddhisme lainnya dikritik karena tak efektif untuk Zaman Penurunan Dharma. (Pengembangan dari 'Buddhisme selektif', Jepang:senchaku bukkyō, juga berdampak pada Buddhisme Nichiren.[188][189]) Ketiga, meskipun Buddhisme awal mendorong pendirian diri dalam mempraktikkan dharma, dalam tradisi Tanah Murni pada masa berikutnya, ini makin digambarkan oleh pernyataan bahwa orang-orang harus memberikan seluruh "kekuatan diri" dan menyembuhkan kekuatan Amitābha yang bekerja memberikan keselamatan bagi mereka.[190][191] Kekuatan ini bahkan diyakini melampaui hukum karma. Selain itu, meskipun Honen mengajarkan bahwa iman dapat dibangun dengan praktek nembutsu, Shinran menyatakan bahwa iman dibutuhkan untuk mendahului praktek, dan tak dapat dibangun melaluinya.[192] Sifat keempat dari gerakan trsebut adalah alam demokratisnya:[161][172] dalam beberapa pasal, Shinran menyatakan bahwa orang yang "jahat" memiliki banyak kesempatan untuk mencapai Tanah Murni sebagai orang yang "baik", sebuah gagasan yang mirip dengan konsep "keselamatan pendosa" dari agama Kristen.[193][note 6]

Ordo-ordo Buddhis lama sangat menentang gerakan tersebut, karena memulai aliran baru, menyingkirkan ajaran-ajaran Buddha, dan memelintir Buddha Gautama. Saat kaisar merasa bahwa beberapa monastik Honen bertindak tak diinginkan, Hōnen dicekal pada sebuah provinsi terpencil selama empat tahun.[195][196][197] Saat Shinran mulai mengajarkan penentangan terhadap kebiasaan selibasi, menyatakan bahwa ini mengindikasikan kurangnya kepercayaan terhadap Buddha Amitābha, ia juga dicekal.[195][198] Selain dari Shinran, para pendeta lain yang menunjung iman dalam tafsiran-tafsiran mereka juga dicekal, karena ajaran mereka seringkali tak diterima otoritas arsitokrat yang berkuasa.[166]

Pada abad kelima belas, Rennyo (1415–99), seorang murid dari Shinran menganggap pendiri kedua dari aliran Jōdo Shinshu pimpinan Shinran, berniat untuk mereformasi aliran tersebut. Ia menentang gagasan Shinran bahwa moralitas tak harus memasuki Tanah Murni dan menerima Buddha Amitābha. Ia meyakini bahwa moralitas harus berpindah dari tangan ke tangan dengan iman, dan merupakan cara untuk mengekspresikan penghormatan kepada Amitābha.[199][200] Jōdo Shinshu masih menjadi sekte Buddha terbesar dan paling populer di Jepang pada saat ini,[201][202][203] yang hadir sebagai tradisi Nishi Hongwanji dan Higashi Hongwanji.[204][205]

Buddhisme Zen

 
Lukisan Dōgen, seorang guru Zen Jepang

Seperti Jōdo Shinshu, beberapa bentuk Buddhisme Zen berkembang sebagai reaksi kepada Buddhisme Tendai. Seperti Buddhisme Tanah Murni, iman juga memainkan peran disini, terutama dalam Sōtō Zen. Bentuk Zen tersebut, yang juga disebut sebagai "Zen petani" karena popularitasnya di kalangan pertanian, dikembangkan oleh Dōgen (1200–53). Selain berfokus pada praktek meditasi yang umum dalam Buddhisme Zen, Dōgen memimpin kebangkitan peminatan dalam kajian sūtra-sūtra, yang ia katakan akan menginspirasi iman berdasarkan pada pemahaman. Terinspirasi oleh Buddhisme Chan dari Tiongkok, Dōgen berniat kembali ke kehidupan yang sederhana seperti yang dicontoh oleh Buddha dalam sūtra-sūtra. Ia juga meyakini bahwa meditasi duduk tak hanya merupakan wadah menuju pencerahan, namun juga cara untuk mengekspresikan alam Buddha di dalamnya. Praktisioner harus memiliki iman bahwa alam Buddha berdasarkan pada yang diajarkan oleh Dōgen meskipun Dōgen tak meyakininya berada dalam bentuk sosok kekal.[206] Dōgen meyakini bahwa pencerahan adalah hal yang memungkinkan dalam kehidupan—bahkan kehidupan sekuler—dan ia tak meyakini gagasan Zaman Penurunan Dharma.[207]

Awalokiteśwara

 
Patung Awalokiteśwara, dengan lima Buddha Kelestial di tepi atas luar

Dalam Buddhisme Asia Timur, terdapat fokus kuat terhadap pemujaan bodhisatwa Awalokiteśwara. Pemujaannya bermula di perbatasan utara India, namun ia dihormati karena kesalehannya di beberapa negara, seperti China, Tibet, Jepang, Sri Lanka dan belahan Asia Tenggara lainnya, dan berbagai tingkat masyarakat.[208][209]

Teks yang disebut Sūtra Awalokiteśwara menyatakan bahwa Awalokiteśwara akan membantu siapapun yang menyebut namanya dengan iman, memenuhi berbagai jenis harapan, dan menyadarkan orang-orang akan alam kesalehan Buddha mereka.[210][211] Awalokiteśwara sangat berhubungan dengan Buddha Amitābha, saat ia diyakini tinggal di Tanah Murni yang sama, dan akan datang untuk menyelamatkan orang-orang yang menyebut nama Buddha Amitābha.[212][213] Berfokus pada manfaat mundan dan keselamatan, devosi kepada Awalokiteśwara dipromosikan melalui penyebaran Sūtra Teratai, yang meliputi sebuah bab tentang dirinya,[138][213][214] serta melalui sūtra-sūtra Kesempurnaan Kebijaksanaan.[215] Para pengikut Awalokiteśwara seringkali menggambarkannya sebagai seorang perempuan, dan dalam bentuk perempuannya, ia dikenal sebagai Guanyin di Tiongkok, bermula dari sebuah asosiasi dengan dewi Buddha Tārā.[210][211][216] Saat ini, Awalokiteśwara dan bentuk perempuannya Guanyin adalah salah satu figur yang paling banyak digambarkan dalam agama Buddha, dan Guanyin juga disembah oleh penganut Daois.[217]

Perkembangan sejarah lain

Dewa-dewi

Dalam agama Buddha, para Buddha dan sosok tercerahkan lainnya adalah fokus utama dari penghormatan, sebanding dengan dewa-dewi dalam agama lain. Meskipun agama Buddha mengakui keberadaan dewa-dewi, para Buddha dan sosok tercerahkan lainnya dianggap berbeda, dalam apa yang mereka pandang berada di luar lingkup keberadaan. Ini tak berarti bahwa pemujaan dewa-dewi tak ada dalam agama Buddha. Namun, pemujaan dewa-dewi seringkali tak dianggap menjadi bentuk tertinggi atau bentuk alat terampil untuk memandu orang tak tercerahkan menuju kehidupan yang lebih baik, dan tak lebih dari itu.[218]

Dalam sejarah penyebaran agama Buddha, hubungan antara agama Buddha dan dewa-dewi lokal adalah aspek kesuksesan yang berpengaruh, namun umat Buddha seringkali menolaknya karena gerakan lokal yang bersifat ortodoks. Selain itu, para cendekiawan hanya memberikan sedikit sorotan kepada peran dewa-dewi lokal, karena hal tersebut tak disoroti oleh disiplin akademik standar manapun yang mengkaji agama Buddha, seperti kajian Buddha atau antropologi. Meskipun demikian, dewa-dewi memiliki peran dalam kosmologi Buddha dari masa-masa awal. Namun, tradisi-tradisi Buddha memandang mereka sebagai bawahan Buddha, dan mengaitkan beberapa cerita dari mereka dengan ajaran Buddha dan bahkan menjadi pelindung darinya. Saat para guru Buddha mengadopsi kosmologi yang sama, selain menempatkan Buddha di bagian atas sistem tersebut, sebuah kosmologi Buddha berkembang.[219][220] Bagian dari proses tersebut menggambarkan dewa-dewi tersebut secara kasar dan tak terorganisir, karena berlawanan dengan agama Buddha dan para praktisionernya—ini tak jauh dari kebenaran, karena para misionaris Buddha seringkali berasal dari budaya yang kurang kasar dan lebih tertata. Dalam cara ini, dewa-dewi mirip ular (nāga), dewa-dewi mirip burung dan roh-roh jahat yang sebelumnya menjadi fokus pemujaan-pemujaan pra-Buddha menjadi penjaga dari ajaran Buddha.[221] Proses dari adopsi dewa-dewi sebagai bagian dari agama Buddha seringkali terjadi saat para penganut atau biksu Buddha tak sepenuhnya menarik devosi lama mereka saat menerima agama Buddha.[222] Dalam naskah-naskah Pāli awal, serta dalam beberapa kebiasaan dalam masyarakat Buddha tradisional, penurunan masih dapat ditemukan pada periode dimana agama Buddha bersaing dengan pemujaan nāga dan mengasimilasikan beberapa fitur-fiturnya.[223]

Di beberapa negara Buddha seperti Jepang, sebuah sudut pandang berkembang dari dunia manusia sebagai mikrokosmik dari alam makrokrosmik dari para Buddha. Ini membolehkan peningkatan toleransi terhadap tradisi lokal dan kepercayaan asli, yang dipandang berhubungan dengan makrokosmos tersebut, dan sehingga merupakan bagian dari agama Buddha.[122] Semua perkembangan tersebut membuat agama Buddha memasukkan beberapa dewa-dewi ke dalam sistem imannya, selain setiap dewa diberi tempat dan peran, bawahan dari Buddha.[224][225] Bahkan secara eksklusif, Jōdo Shinshu tak menyingkirkan pemujaan dewa-dewi Shinto yang disebut kami, meskipun aliran tersebut tak membolehkan pemujaan tersebut.[226] Selain itu, di beberapa negara Buddha, para spesialis ritual dari tradisi pra-Buddha diberi tugas disamping para biksu Buddha. Para spesialis tersebut biasanya adalah kaum awam, yang menampilkan fungsi-fungsi tersebut disamping kehidupan awam normal mereka.[227][63]

Agama Buddha tak hanya memasukkan dewa-dewi dalam agama tersebut, namun juga mengadaptasi ajaran-ajarannya sendiri. Menurut cendekiawan kajian agama Donald Swearer, para bodhisatwa, pemujaan relik dan hagiografi para master Buddha adalah cara bagi agama Buddha untuk mengadaptasi dewa-dewi pra-Buddha dan kepercayaan animistik, dengan menyelaraskannya ke dalam sistem pemikiran Buddha. Gerakan-gerakan Buddha Asia Timur seperti Teratai Putih Tiongkok adalah transformasi dari kepercayaan animistik semacam itu. Transformasi semacam itu dari kepercayaan pra-Buddha juga menjelaskan popularitas gerakan-gerakan seperti Buddhisme Tanah Murni Jepang di bawah Hōnen dan Shinran, bahkan meskipun dalam ajaran-ajaran mereka, mereka menentang animisme.[228]

Milenarianisme

Agama Buddha adalah bentuk terkuat dari milenarianisme non-barat.[229] Dalam beberapa tradisi Buddha, terdapat konsep waktu dimana dunia akan berakhir. Konsep figur milenarian yang timbul di dunia pada zaman apokaliptik terhimpun di beberapa tradisi Buddha. Dalam agama Buddha, pertumbuhan dan penurunan dunia diyakini terjadi dalam siklus-siklus, dan periode penurunan diyakini berakhir dengan kebangkitan cakrawartin dan pada akhirnya, kedatangan Buddha masa depan yang akan memulai periode kemakmuran baru. Devosi kepada figur Buddha mesianik semacam itu telah menjadi bagian dari hampir setiap tradisi Buddha.[230] Gerakan milenarian biasanya adalah bentuk kekhasan budaya dari budaya dominan, berseberangan dengan "upaya untuk memegang akal budi dan logika atas iman", menurut ilmuwan politik William Miles.[231]

Tradisi-tradisi Asia Timur secara khusus mengasosiasikan akhir dunia dengan kedatangan Buddha masa depan, yakni Maitreya. Teks-teks Pāli awal hanya secara singkat menyebutkannya, namun ia nampak berpengaruh dalam tradisi-tradisi Sansekerta pada masa berikutnya seperti Mahāsāṃghika. China, Burma dan Thailand, menghormatinya sebagai bagian dari gerakan-gerakan milenarian, dan mereka meyakini bahwa Buddha Maitreya akan hadir pada masa-masa penderitaan dan krisis, untuk menghimpun era kebahagiaan yang baru.[230][232] Dari abad keempat belas, sektarianisme Teratai Putih berkembang di Tiongkok, yang memajukan keyakinan akan kedatangan Maitreya pada zaman apokalips.[233] Para penganut sekte-sekte Teratai Putih meyakini bahwa iman mereka dalam ajaran-ajaran yang benar akan menyelamatkan mereka saat era dunia baru akan datang.[234] Kepercayaan milenarianis Teratai Putih akan menunjang persisten, dan menyelamatkan semua jalan pada abad kesembilan belas, saat Tiongkok mengaitkan zaman Maitreya dengan revolusi politik. Namun, abad kesembilan belas tak menjadi abad pertama dimana kepercayaan milenarian menimbulkan perubahan politik: pada sebagian besar sejarah Tiongkok, iman dan pemujaan terhadap Buddha Maitreya seringkali menginspirasi pemberontakan untuk mengubah masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik, untuk menunggu Maitreya.[235][236] Beberapa pemberontakan tersebut berujung pada revolusi-revolusi berpengaruh dan kehancuran dinasti-dinasti kerajaan.[229] Meskipun demikian, iman dalam kedatangan era baru Maitreya tak sekadar propaganda politik untuk menyulut pemberontakan, namun "mengakar dalam kehidupan pemujaan yang ada secara berkelanjutan" menurut cendekiawan kajian Tiongkok Daniel Overmyer.[237]

Di Jepang, tren-tren milenarian dapat diamati dalam gagasan Zaman Penurunan Dharma, yang banyak berpengaruh dalam Buddha Nichiren. Namun, bentuk-bentuk milenarianisme yang lebih terhimpun penuh berkembang dari abad kesembilan belas, dengan kebangkitan agama-agama baru.[238]

Perkembangan modern

Modernisme Buddhis

Meskipun pada zaman pra-modern, beberapa aliran agama Buddha menyingkirkan iman dalam praktek Buddha,[239] peran iman benar-benar baru dikritik secara besar-besaran pada zaman modern. Pada abad kedelapan belas, Abad Pencerahan, para intelektual barat memandang agama sebagai kerabat budaya, brseberangan dengan kebenaran akal budi tunggal. Pada akhir abad kesembilan belas, pandangan tentang agama tersebut menginformasikan bagaimana dunia Barat menanggapi agama Buddha. Para penulis Barat seperti Edwin Arnold mulai menghadirkan agama Buddha sebagai jawaban untuk kontradiksi antara sains dan agama, karena agama rasional bukanlah budaya. Saat sains barat dan rasionalisme menyebar ke Asia, para intelektual Asia seperti di Sri Lanka mengembangkan gagasan yang sama.[240] Karena ancaman pemerintah kolonial dan agama Kristen, dan kebangkitan kelas menengah perkotaan, pada akhir abad kesembilan belas, Buddhisme Sri Lanka mulai berubah. Dideskripsikan oleh para cendekiawan saat ini sebagai "modernisme Buddhis" atau "Buddhisme protestan", orang-orang Barat dan orang-orang Sri Lanka didikan Inggris mengadvokasikan agama Buddha sebagai filsafat rasional, bebas dari iman dan pemberhalaan buta, menyanjung sains dan gagasan modern.[241][242][243] Mereka memandang praktek tradisional seperti pemujaan relik dan kegiataan devosional lainnya sebagai kesalahan dari sebuah gagasan, bentuk rasional dari agama Buddha,[244][245] sesambil mengasimilasikan nilai-nilai Victorian dan nilai-nilai modern lainnya dan menyebut mereka sebagai Buddhis tradisional, seringkali tanpa kesadaran.[246]

 
Daisetsu Teitarō Suzuki, difoto oleh Shigeru Tamura

Di Jepang, dari zaman Meiji, Jepang sangat menyerang agama Buddha sebagai sistem keyakinan asing dan takhayul. Dalam menanggapinya, aliran-aliran Buddha seperti Zen mengembangkan sebuah gerakan yang disebut "Buddhisme Baru" (Jepang: shin bukkyo), yang memajukan rasionalisme, modernisme dan gagasan keprajuritan.[247] Masih di Buddhisme Jepang, pada abad kedua puluh, tanggapan kritikal terhadap Buddhisme tradisional berkembang, yang dipimpin oleh dua akademisi Hakamaya Noriaki dan Matsumoto Shirō, disebut Buddhisme Kritikal. Aliran pemikiran Noriaki dan Shirō mengkritik gagasan Buddha Tiongkok dan Jepang karena merendahkan pemikiran kritis, mempromosikan kepercayaan buta dan kurang menunjang masyarakat. Namun, cendekiawan kajian Asia Timur Peter Gregory menyatakan bahwa upaya Buddhis Kritikal untuk menemukan Buddhisme murni tanpa campur tangan secara ironi diikuti dengan kritikal terhadap esensialisme yang sangat sama.[248][249] Cendekiawan lain membuat argumen serupa. Buddhisme Kritikal mengkritik kepercayaan buta dan keyakinan dalam Alam Buddha, namun mereka menyajikan sebuah tempat untuk iman: menurut Noriaki, iman Buddha adalah kapasitas kritikal tanpa kompromi untuk membedakan antara Buddhisme benar dan salah dan berkomitmen pada apa yang menjadi Buddhisme benar. Noriaki mengkontraskan iman dengan gagasan harmoni Jepang (wa), yang ia yakini berpindah dari tangan ke tangan dengan penerimaan tanpa kritikal dari gagasan non-Buddhis, termasuk kekerasan.[250][251]

Disamping tren modernis merebak di Asia, para cendekiawan juga menyoroti penurunan rasionalisme dan penimbulan ulang ajaran dan praktek keagamaan pra-modern: Dari 1980an, mereka mengamati bahwa dalam Buddhisme Sri Lanka, relijiusitas devosional, praktik magis, menghormati dewa-dewi serta ambiguitas moral telah makin merebak, karena efek Buddhisme Protestan makin menjadi. Sehingga, Richard Gombrich dan antropolog Gananath Obeyesekere mencanangkan istilah Buddhisme pasca-protestan untuk mendeskripsikan tren tersebut.[252][253][254]

Buddhisme abad kedua puluh di dunia Barat

 
Bhikkhu Bodhi

Dengan persebaran agama Buddha di dunia Barat pada abad kedua puluh, praktek-praktek devosional masih memainkan peran penting di kalangan komunitas etnis Asia, meskipun kurang terjadi pada komunitas Barat yang "berpindah agama". Pengaruh modernisme Buddha juga dapat terasa di dunia Barat, dimana organisasi-organisasi pimpinan kaum awam seringkali menawarkan kursus-kursus meditasi tanpa banyak tujuan pada devosi. Para penulis seperti D. T. Suzuki mendeskripsikan meditasi sebagai praktik trans-kultural dan non-relijius, yang banyak diterapkan di kalangan dunia Barat.[255][note 7] Sehingga, di dunia Barat, meditasi Buddhisme sekuler lebih didorong ketimbang dalam komunitas Buddhis tradisional, dan kurang iman atau devosi.[256][257] Seperti di Asia modern, aspek-aspek rasional dan intelektual dari agama Buddha banyak didorong di dunia Barat, karena agama Buddha seringkali dibandingkan dengan agama Kristen.[258] Pengarang dan guru Buddhis Stephen Batchelor mendorong aadvokasi bentuk agama Buddha yang ia yakini adalah Buddhisme kuno asli, karena itu belum menjadi "terinstitusionalisasi sebagai agama".[259]

Lihat pula

Catatan

  1. ^ Beberapa cendekiawan tak sepakat dengan pengartian tersebut. Selain itu, śraddhā dalam Weda diartikan sebagai "sikap pikiran berdasarkan pada kebenaran".[10]
  2. ^ Catatan tersebut dapat ditemukan di dunia maya di Kalāma Sutta, diterjemahkan oleh Soma Thera
  3. ^ Catatan tersebut dapat ditemukan di: Bhikkhu, Thanissaro. "Canki Sutta: With Canki". Diakses tanggal 2017-05-26. 
  4. ^ Cendekiawan kajian agama Allan A. Andrews menekankan bahwa selain penganut aliran utama Buddha Tanah Murni, aliran-aliran berorientasi monastik juga berdiri. Ini menempatkan visualisasi ketimbang pengutipan kembali nama Buddha Amitābha, dan mendorong pencerahan dalam kehidupan saat ini ketimbang mendatangi Tanah Murni setelah kematian.[167]
  5. ^ Meskipun demikian, dalam beberapa teks, Shinran berpendapat bahwa beberapa kali nembutsu dikutip ulang, entah sekali atau beberapa kali, tak memberikan jawaban lengkap untuk pertanyaan keselamatan.[176]
  6. ^ Namun, bberapa cendekiawan menurunkan peran gerakan-gerakan baru seperti Buddhisme Tanah Murni pada periode Kamakura, dengan alasan bahwa reformasi juga terjadi dalam aliran-aliran Buddhis lama, dan beberapa gerakan baru hanya meraih signifikansi lebih pada masa berikutnya.[194]
  7. ^ Pada kenyataannya, D. T. Suzuki membuat sebuah poin dalam beberapa tulisannya bahwa Zen tak dapat terpisahkan dari agama Buddha.[255]

Kutipan

  1. ^ a b c d Gómez 2004b, hlm. 277.
  2. ^ a b c d e f Buswell & Lopez 2013, Śraddhā.
  3. ^ Kinnard 2004, hlm. 907.
  4. ^ Melton, J. Gordon (2010). "Relics" (PDF). Dalam Melton, J. Gordon; Baumann, Martin. Religions of the world: a comprehensive encyclopedia of beliefs and practices (edisi ke-2nd). Santa Barbara, California: ABC-CLIO. hlm. 2392. ISBN 978-1-59884-204-3. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 22 November 2017. 
  5. ^ a b c d Nakamura 1997, hlm. 392.
  6. ^ Jayatilleke 1963, hlm. 388–9.
  7. ^ Buswell & Lopez 2013, Ānanda, Pañcabala, Śraddhā.
  8. ^ Conze 2003, hlm. 14.
  9. ^ Buswell & Lopez 2013, Āśraddhya.
  10. ^ Rotman 2008, Footnotes n.23.
  11. ^ a b Park 1983, hlm. 15.
  12. ^ a b Gómez 2004b, hlm. 278.
  13. ^ Findly 2003, hlm. 200.
  14. ^ Rotman 2008, Seeing and Knowing.
  15. ^ Rotman 2008, Seeing and Knowing, Getting and Giving.
  16. ^ a b Buswell & Lopez 2013, Śraddhā, Mūrdhan, Pañcabala, Xinxin.
  17. ^ a b Conze 2003, hlm. 78.
  18. ^ a b c Findly 2003, hlm. 203.
  19. ^ Barua 1931, hlm. 332–3.
  20. ^ Findly 2003, hlm. 205–6.
  21. ^ a b Barua 1931, hlm. 333.
  22. ^ Robinson & Johnson 1997, hlm. 35.
  23. ^ a b Spiro 1982, hlm. 34 n.6.
  24. ^ a b Suvimalee 2005, hlm. 601.
  25. ^ Jayatilleke 1963, hlm. 384–5.
  26. ^ De Silva 2002, hlm. 214.
  27. ^ Gombrich 1995, hlm. 69–70.
  28. ^ Bishop, John (30 March 2016). "Faith". Dalam Zalta, Edward N. The Stanford Encyclopedia of Philosophy (edisi ke-Winter 2016). Metaphysics Research Lab, Stanford University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 22 November 2017. Diakses tanggal 17 August 2017. 
  29. ^ Gombrich 1995, hlm. 71.
  30. ^ Findly 1992, hlm. 258.
  31. ^ Jayatilleke 1963, hlm. 277.
  32. ^ a b Lamotte 1988, hlm. 74–5.
  33. ^ a b Werner 2013, hlm. 45.
  34. ^ a b c d De Silva 2002, hlm. 216.
  35. ^ Barua 1931, hlm. 332.
  36. ^ Giustarini, G. (2006). "Faith and renunciation in Early Buddhism: saddhā and nekkhamma". Rivista di Studi Sud-Asiatici (I): 162. Diarsipkan dari versi asli tanggal 18 September 2014. 
  37. ^ Lamotte 1988, hlm. 81.
  38. ^ Trainor 1989, hlm. 185–6.
  39. ^ Harvey, Peter (2013). "Dukkha, non-self, and the "Four Noble Truths"" (PDF). Dalam Emmanuel, Steven M. A companion to Buddhist philosophy. Chichester, West Sussex: Wiley-Blackwell. hlm. 31, 49. ISBN 978-0-470-65877-2. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 22 November 2017. 
  40. ^ Thomas 1953, hlm. 258.
  41. ^ a b c Jayatilleke 1963, hlm. 384.
  42. ^ a b c Harvey 2013, hlm. 246.
  43. ^ Tremblay, Xavier (2007). "The spread of Buddhism in Serindia" (PDF). Dalam Heirman, Ann; Bumbacher, Stephan Peter. The spread of Buddhism (edisi ke-online). Leiden: Brill Publishers. hlm. 87. ISBN 9789004158306. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 22 November 2017. 
  44. ^ Lamotte 1988, hlm. 247.
  45. ^ a b c d e De Silva 2002, hlm. 215.
  46. ^ Thomas 1953, hlm. 56, 117.
  47. ^ Findly 2003, hlm. 200, 202.
  48. ^ a b Findly 2003, hlm. 202.
  49. ^ Lamotte 1988, hlm. 74.
  50. ^ Harvey 2013, hlm. 85, 237.
  51. ^ De Silva 2002.
  52. ^ De Silva 2002, hlm. 214–5.
  53. ^ Ergardt, Jan T. (1977). Faith and knowledge in early Buddhism : an analysis of the contextual structures of an arahant-formula in the Majjhima-Nikāya. Leiden: Brill (penerbit ). hlm. 1. doi:10.2307/2054272. ISBN 9004048413. Der Buddhismus kennt keinen dem des Christentums vergleichbaren reinen Glauben, ... Die Idee eines blinden Glaubens, eines absoluten Vertrauens in die Worte eines Meisters ist dem Geist des alten Buddhismus ganz entgegengesetzt. 
  54. ^ Jayatilleke 1963, hlm. 383.
  55. ^ Findly 2003, hlm. 201.
  56. ^ Gombrich 2006, hlm. 119–22.
  57. ^ Gombrich 2009, hlm. 199.
  58. ^ Gombrich 2006, hlm. 120–22.
  59. ^ Gombrich 2009, hlm. 200.
  60. ^ a b Wijayaratna 1990, hlm. 130–1.
  61. ^ a b Buswell & Lopez 2013, Kuladūșaka.
  62. ^ Harvey 2013, hlm. 245.
  63. ^ a b c Kariyawasam, A.G.S. (1995). Buddhist Ceremonies and Rituals of Sri Lanka. The Wheel Publication. Kandy, Sri Lanka: Buddhist Publication Society. Diarsipkan dari versi asli tanggal 28 March 2013. Diakses tanggal 23 October 2007. 
  64. ^ a b Robinson & Johnson 1997, hlm. 43.
  65. ^ Buswell & Lopez 2013, Paramatthasaṅgha.
  66. ^ Werner 2013, hlm. 39.
  67. ^ Irons 2008, hlm. 403.
  68. ^ Suvimalee 2005, hlm. 604.
  69. ^ Jayatilleke 1963, hlm. 390.
  70. ^ a b c Fuller 2004, hlm. 36.
  71. ^ a b Blakkarly, Jarni (5 November 2014). "The Buddhist Leap of Faith". ABC. Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 July 2017. Diakses tanggal 24 July 2017. 
  72. ^ a b Suvimalee 2005, hlm. 603.
  73. ^ a b Kalupahana 1976, hlm. 27–8.
  74. ^ Kalupahana 1976, hlm. 27–9.
  75. ^ a b Holder 2013, hlm. 225–6.
  76. ^ Jayatilleke 1963, hlm. 169–71.
  77. ^ a b c De Silva 2002, hlm. 215–6.
  78. ^ a b Jayatilleke 1963, hlm. 390–3.
  79. ^ Hoffmann 1987, hlm. 409.
  80. ^ Holder 2013, hlm. 227.
  81. ^ Werner 2013, hlm. 43–4.
  82. ^ Tuladhar-Douglas, William (2005). "Pūjā: Buddhist pūjā" (PDF). Dalam Jones, Lindsay. Encyclopedia of religion. 11 (edisi ke-2nd). Detroit: Thomson Gale. hlm. 7496. ISBN 0-02-865980-5. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-03-02. 
  83. ^ Suvimalee 2005, hlm. 602–3.
  84. ^ De Silva 2002, hlm. 214, 216.
  85. ^ a b Harvey 2013, hlm. 31.
  86. ^ a b Trainor 1989, hlm. 187.
  87. ^ Jayatilleke 1963, hlm. 297.
  88. ^ Suvimalee 2005, hlm. 601–2.
  89. ^ De Silva 2002, hlm. 217.
  90. ^ Findly 1992, hlm. 265.
  91. ^ Harvey 2013, hlm. 237.
  92. ^ Jayatilleke 1963, hlm. 396–7.
  93. ^ Barua 1931, hlm. 336.
  94. ^ a b Lamotte 1988, hlm. 49–50.
  95. ^ Hoffmann 1987, hlm. 405, 409.
  96. ^ Findly 1992, hlm. 268–9.
  97. ^ Harvey 2013, hlm. 28.
  98. ^ Jayatilleke 1963, hlm. 388.
  99. ^ Werner 2013, hlm. 47.
  100. ^ Harvey 2013, hlm. 103.
  101. ^ Swearer, Donald K. (2010). The Buddhist world of Southeast Asia (PDF) (edisi ke-2nd). Albany: State University of New York Press. hlm. 77. ISBN 978-1-4384-3251-9. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 22 November 2017. 
  102. ^ Harvey 2013, hlm. 103, 105.
  103. ^ a b c Smart 1997, hlm. 282.
  104. ^ Spiro 1982, hlm. 15m1.
  105. ^ Harvey 2013, hlm. 172.
  106. ^ Leaman 2000, hlm. 212.
  107. ^ Reynolds & Hallisey 1987, hlm. 1064.
  108. ^ Conze 2003, hlm. 154.
  109. ^ Getz 2004, hlm. 699.
  110. ^ a b c Barber 2004, hlm. 707.
  111. ^ Smart 1997, hlm. 283–4.
  112. ^ Reynolds & Hallisey 1987, hlm. 1067.
  113. ^ Snellgrove 1987, hlm. 1078–9.
  114. ^ a b c Harvey 2013, hlm. 175.
  115. ^ a b Leaman 2000, hlm. 215.
  116. ^ Conze 2003, hlm. 150.
  117. ^ Higham 2004, hlm. 210.
  118. ^ Derris 2005, hlm. 1084.
  119. ^ Bielefeldt 2004, hlm. 389–90.
  120. ^ Murti, T.R.V. (2008) [1955]. The central philosophy of Buddhism: a study of the Mādhyamika system. London: Routledge. hlm. 6. ISBN 1-135-02946-6. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-11-22. 
  121. ^ Kiyota, Minoru (1985). "Tathāgatagarbha Thought: A Basis of Buddhist Devotionalism in East Asia". Japanese Journal of Religious Studies. 12 (2/3): 222. doi:10.2307/30233958 (tidak aktif 2018-01-29). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-20. 
  122. ^ a b c Bielefeldt 2004, hlm. 390.
  123. ^ Buswell & Lopez 2013, Sanyao, Zongmen huomen.
  124. ^ Powers 2013, dai funshi ("great resolve").
  125. ^ Gómez 2004b, hlm. 279.
  126. ^ Buswell & Lopez 2013, Xinxin.
  127. ^ a b Harvey 2013, hlm. 255.
  128. ^ Dobbins 2002, hlm. 29.
  129. ^ Bloom, Alfred (1987). "Shinran" (PDF). Dalam Jones, Lindsay. Encyclopedia of religion. 12 (edisi ke-2nd). Detroit: Thomson Gale. hlm. 8355. ISBN 0-02-865981-3. Archived from the original on 2017-03-02. 
  130. ^ Schopen 2004, hlm. 496.
  131. ^ Derris 2005, hlm. 1085, 1087.
  132. ^ Shields 2013, hlm. 512.
  133. ^ Shields 2013, hlm. 512, 514.
  134. ^ Shields 2013, hlm. 512, 514–5.
  135. ^ Stone 2004a, hlm. 471, 474.
  136. ^ Buswell & Lopez 2013, Saddharmapuṇḍarīkasūtra.
  137. ^ Gummer, Natalie (2005). "Buddhist books and texts: Ritual uses of books" (PDF). Dalam Jones, Lindsay. Encyclopedia of religion. 2 (edisi ke-2nd). Detroit: Thomson Gale. hlm. 1262. ISBN 0-02-865997-X. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-03-02. 
  138. ^ a b c Stone 2004a, hlm. 474.
  139. ^ Harvey 2013, hlm. 227.
  140. ^ Stone 2004a, hlm. 475.
  141. ^ Stone 2004a, hlm. 475–6.
  142. ^ Shields 2013, hlm. 514, 519, 521.
  143. ^ Harvey 2013, hlm. 233–4.
  144. ^ Araki 1987, hlm. 1244.
  145. ^ Stone 2004a, hlm. 476.
  146. ^ Irons 2008, hlm. 366.
  147. ^ Stone 2004a, hlm. 477.
  148. ^ Kotatsu, Fujita (1987). "Pure and Impure Lands" (PDF). Dalam Jones, Lindsay. Encyclopedia of religion. 11. Diterjemahkan oleh Tanaka, Kenneth K. (edisi ke-2nd). Detroit: Thomson Gale. hlm. 7502. ISBN 0-02-865743-8. Archived from the original on 2017-03-02. 
  149. ^ Stone 1998, hlm. 123.
  150. ^ Cabezón, José Ignacio (2004). "Scripture" (PDF). Dalam Buswell, Robert E. Encyclopedia of Buddhism. New York [u.a.]: Macmillan Reference USA, Thomson Gale. hlm. 757. ISBN 0-02-865720-9. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2017-06-14. 
  151. ^ Stone, Jacqueline I. (2004). "Nichiren" (PDF). Dalam Buswell, Robert E. Encyclopedia of Buddhism. New York [u.a.]: Macmillan Reference USA, Thomson Gale. hlm. 595. ISBN 0-02-865720-9. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2017-06-14. 
  152. ^ Stone 2004b, hlm. 595.
  153. ^ Green 2013, hlm. 122.
  154. ^ a b c Hsieh 2009, hlm. 236–7.
  155. ^ a b c Green 2013, hlm. 123.
  156. ^ Irons 2008, hlm. 394.
  157. ^ a b Gómez 2004a, hlm. 14.
  158. ^ Harvey 2013, hlm. 173.
  159. ^ Buswell & Lopez 2013, Dharmākara.
  160. ^ Smart 1997, hlm. 284.
  161. ^ a b c Andrews 1987, hlm. 4119.
  162. ^ Williams 2008, hlm. 247.
  163. ^ Getz 2004, hlm. 701.
  164. ^ Getz 2004, hlm. 698–9.
  165. ^ Hirota, Dennis (19 November 2012). "Japanese Pure Land Philosophy". Dalam Zalta, Edward N. The Stanford Encyclopedia of Philosophy (edisi ke-Winter 2016). Metaphysics Research Lab, Stanford University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 22 November 2017. Diakses tanggal 18 August 2017. 
  166. ^ a b Dobbins 2002, hlm. 19.
  167. ^ Andrews, Allan A. (1993). "Lay and Monastic Forms of Pure Land Devotionalism: Typology and History". Numen. 40 (1): passim. doi:10.2307/3270396. JSTOR 3270396. 
  168. ^ Hsieh 2009, hlm. 236.
  169. ^ Welch 1967, hlm. 396.
  170. ^ Hudson 2005, hlm. 1293.
  171. ^ Robinson & Johnson 1997, hlm. 198.
  172. ^ a b Abe 1997, hlm. 689.
  173. ^ Barber 2004, hlm. 708.
  174. ^ Harvey 2013, hlm. 229.
  175. ^ Green 2013, hlm. 121–3.
  176. ^ Buswell & Lopez 2013, Ichinengi.
  177. ^ Green 2013, hlm. 122–3.
  178. ^ Harvey 2013, hlm. 230, 255.
  179. ^ Hudson 2005, hlm. 1294.
  180. ^ Williams 2008, hlm. 262.
  181. ^ Conze 2003, hlm. 158.
  182. ^ Dobbins 2002, hlm. 34–5.
  183. ^ Dobbins 2002, hlm. 42–3.
  184. ^ Williams 2008, hlm. 264.
  185. ^ Abe 1997, hlm. 692.
  186. ^ Porcu 2008, hlm. 17.
  187. ^ Irons 2008, hlm. 258.
  188. ^ Bielefeldt 2004, hlm. 388–9.
  189. ^ Dobbins 2004a, hlm. 412.
  190. ^ Harvey 2013, hlm. 230.
  191. ^ Conze 2003, hlm. 159.
  192. ^ Shōto 1987, hlm. 4934–5.
  193. ^ Harvey, Peter (2000). An Introduction to Buddhist Ethics: Foundations, Values and Issues (PDF). New York: Cambridge University Press. hlm. 143. ISBN 978-0-511-07584-1. 
  194. ^ Dobbins 2004a, hlm. 414.
  195. ^ a b Abe 1997, hlm. 691–2.
  196. ^ Andrews 1987, hlm. 4120.
  197. ^ Buswell & Lopez 2013, namu Amidabutsu.
  198. ^ Dobbins 2004a, hlm. 413.
  199. ^ Harvey 2013, hlm. 234.
  200. ^ Porcu 2008, hlm. 18.
  201. ^ Green 2013, hlm. 121.
  202. ^ Abe 1997, hlm. 694.
  203. ^ Shōto 1987, hlm. 4933.
  204. ^ Irons 2008, hlm. 268.
  205. ^ Buswell & Lopez 2013, Jodo Shinshu.
  206. ^ Harvey 2013, hlm. 231–2.
  207. ^ Araki 1987, hlm. 1245.
  208. ^ Higham 2004, hlm. 29.
  209. ^ Birnbaum 1987, hlm. 704.
  210. ^ a b Harvey 2013, hlm. 250–1, 253.
  211. ^ a b Irons 2008, hlm. 98.
  212. ^ Gómez 2004a, hlm. 15.
  213. ^ a b Birnbaum 1987, hlm. 705.
  214. ^ Ford, J.L. (2006). Jōkei and Buddhist Devotion in Early Medieval Japan. Oxford University Press. hlm. 90. ISBN 978-0-19-972004-0. 
  215. ^ Powers 2013, Avalokiteśvara.
  216. ^ Snellgrove 1987, hlm. 1079.
  217. ^ Irons, Edward A. (2010). "Statues-Buddhist" (PDF). Dalam Melton, J. Gordon; Baumann, Martin. Religions of the world: a comprehensive encyclopedia of beliefs and practices (edisi ke-2nd). Santa Barbara, California: ABC-CLIO. hlm. 2721. ISBN 978-1-59884-204-3. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 22 November 2017. 
  218. ^ Rambelli 2004, hlm. 465–6.
  219. ^ Glassman, Hank (2004). "Sexuality" (PDF). Dalam Buswell, Robert E. Encyclopedia of Buddhism. New York [u.a.]: Macmillan Reference USA, Thomson Gale. hlm. 762. ISBN 0-02-865720-9. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2017-06-14. 
  220. ^ Rambelli 2004, hlm. 466.
  221. ^ Rambelli 2004, hlm. 467.
  222. ^ Snellgrove 1987, hlm. 1076.
  223. ^ Gombrich, Richard F. (2006). How Buddhism began: the conditioned genesis of the early teachings (edisi ke-2nd). London: Routledge. hlm. 72–5. ISBN 0-415-37123-6. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-11-22. 
  224. ^ Rambelli 2004, hlm. 465–7.
  225. ^ Swearer 1987, hlm. 3154.
  226. ^ Dobbins 2002, hlm. 39, 58.
  227. ^ Rambelli 2004, hlm. 467–8.
  228. ^ Swearer 1987, hlm. 3155–6.
  229. ^ a b Landes, Richard A. (2000). "Millennialism in the Western World" (PDF). Dalam Landes, Richard A. Encyclopedia of Millennialism and Millennial Movements. Hoboken: Taylor & Francis. hlm. 463. ISBN 0-203-00943-6. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 22 November 2017. 
  230. ^ a b DuBois 2004, hlm. 537–8.
  231. ^ Miles, W. F. S. (29 March 2011). "Millenarian Movements as Cultural Resistance: The Karen and Martinican Cases" (PDF). Comparative Studies of South Asia, Africa and the Middle East. 30 (3): 647. doi:10.1215/1089201x-2010-041. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 27 January 2018. 
  232. ^ Lazich 2000, hlm. 66–7.
  233. ^ DuBois 2004, hlm. 537.
  234. ^ Naquin, Susan (1976). Millenarian Rebellion in China: The Eight Trigrams Uprising of 1813. New Haven: Yale University Press. hlm. 13. ISBN 0-300-01893-2. 
  235. ^ DuBois 2004, hlm. 537, 539.
  236. ^ Lazich 2000, hlm. 67–8.
  237. ^ Overmyer, Daniel L. (2013). Folk Buddhist Religion: Dissenting Sects in Late Traditional China. Harvard University Press. hlm. 83–4. ISBN 978-0-674-18316-2. 
  238. ^ Reader, Ian (2000). "Japan" (PDF). Dalam Landes, Richard A. Encyclopedia of Millennialism and Millennial Movements. Hoboken: Taylor & Francis. hlm. 350–1. ISBN 0-203-00943-6. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 22 November 2017. 
  239. ^ Buswell & Lopez 2013, Baotang zong.
  240. ^ Robinson & Johnson 1997, hlm. 302.
  241. ^ Baumann 1987, hlm. 1187.
  242. ^ Harvey 2013, hlm. 378.
  243. ^ Gombrich 2006, hlm. 196–7.
  244. ^ Trainor, Kevin (1997). Relics, ritual, and representation in Buddhism : rematerializing the Sri Lankan Theravāda tradition (edisi ke-digital). Cambridge [u.a.]: Cambridge University Press. hlm. 19–20. ISBN 0-521-58280-6. 
  245. ^ McMahan 2008, hlm. 65, 69.
  246. ^ Gombrich 2006, hlm. 191–2.
  247. ^ Ahn, Juhn (2004). "Popular conceptions of Zen" (PDF). Dalam Buswell, Robert E. Encyclopedia of Buddhism. New York [u.a.]: Macmillan Reference USA, Thomson Gale. hlm. 924. ISBN 0-02-865720-9. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2017-06-14. 
  248. ^ Dennis, Mark (2005). "Buddhism, Schools of: East Asian Buddhism" (PDF). Dalam Jones, Lindsay. Encyclopedia of religion. 2 (edisi ke-2nd). Detroit: Thomson Gale. hlm. 1250. ISBN 0-02-865997-X. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-03-02. 
  249. ^ Gregory, P.N. (1997). "Is Critical Buddhism Really Critical?" (PDF). Pruning the Bodhi Tree: The Storm Over Critical Buddhism. passim. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2016-08-17. 
  250. ^ Swanson 1993, hlm. 133–4.
  251. ^ Williams 2008, hlm. 324 n.61.
  252. ^ Harvey 2013, hlm. 384.
  253. ^ Cousins, L.S. (1997). "Aspects of Esoteric Southern Buddhism" . Dalam Connolly, P.; Hamilton, S. Indian Insights: Buddhism, Brahmanism and Bhakti: Papers from the Annual Spalding Symposium on Indian Religions. Luzac Oriental. hlm. 188. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-11-22. 
  254. ^ Gombrich, Richard; Obeyesekere, Gananath (1990). Buddhism transformed: religious change in Sri Lanka. Dehli: Motilal Banarsidass. hlm. 415–7. ISBN 8120807022. 
  255. ^ a b Robinson & Johnson 1997, hlm. 303.
  256. ^ McMahan 2008, hlm. 5.
  257. ^ Harvey 2013, hlm. 429, 444.
  258. ^ Baumann 1987, hlm. 1189.
  259. ^ McMahan 2008, hlm. 244.

Sumber

Pranala luar