Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

pengadilan tertinggi konstitusi di Indonesia

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (disingkat MKRI) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung.

Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia
Garuda Pancasila
Gambaran umum
Didirikan18 Agustus 2003; 21 tahun lalu (2003-08-18)
Dasar hukumPerubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
YurisdiksiIndonesia
Jenis perkaraMenguji undang-undang, sengketa kewenangan lembaga negara, pembubaran partai politik dan perselisihan hasil pemilu
Jumlah perkara masuk380 (tahun 2013 [1])
LokasiJakarta
Pimpinan
KetuaAnwar Usman
Wakil KetuaAswanto
Hakim Konstitusi
Jumlah jabatanMaksimal 9 orang
Sistem seleksiDiajukan 3 orang oleh DPR, 3 orang oleh Presiden, dan 3 orang oleh MA dengan penetapan Presiden
Panitera
Kasianur Sidauruk
Sekretaris Jenderal
M. Guntur Hamzah
Situs Web
www.mahkamahkonstitusi.go.id

Sejarah

Latar belakang

Lembaran awal sejarah praktik pengujian Undang-undang (judicial review) bermula di Mahkamah Agung (MA) (Supreme Court) Amerika Serikat saat dipimpin William Paterson dalam kasus Danil Lawrence Hylton lawan Pemerintah Amerika Serikat tahun 1796. Dalam kasus ini, MA menolak permohonan pengujian UU Pajak atas Gerbong Kertera Api 1794 yang diajukan oleh Hylton dan menyatakan bahwa UU a quo tidak bertentangan dengan konstitusi atau tindakan kongres dipandang konstitusional. Dalam kasus ini, MA menguji UU a quo, namun tidak membatalkan UU tersebut. Selanjutnya pada saat MA di pimpin John Marshall dalam kasus Marbury lawan Madison tahun 1803. Kendati saat itu Konstitusi Amerika Serikat tidak mengatur pemberian kewenangan untuk melakukan judicial review kepada MA, tetapi dengan menafsirkan sumpah jabatan yang mengharuskan untuk senantiasa menegakkan konstitusi, John Marshall menganggap MA berwenang untuk menyatakan suatu Undang-undang bertentangan dengan konstitusi.

Adapun secara teoretis, keberadaan Mahkamah Konstitusi baru diintrodusir pertama kali pada tahun 1919 oleh pakar hukum asal Austria, Hans Kelsen (1881-1973). Hans Kelsel menyatakan bahwa pelaksanaan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini tidak konstitusional. Untuk itu perlu diadakan organ khusus yang disebut Mahkamah Konstitusi (constitutional court).

Masa Penyusunan UUD 1945

Bila ditelusuri dalam sejarah penyusunan UUD 1945, ide Hans Kelsen mengenai pengujian Undang-undang juga sebangun dengan usulan yang pernah diungkapkan oleh Muhammad Yamin dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Yamin mengusulkan bahwa seharusnya Balai Agung (atau Mahkamah Agung) diberi wewenang untuk "membanding Undang-undang" yang maksudnya tidak lain adalah kewenangan judicial review. Namun usulan Yamin ini disanggah oleh Soepomo dengan alasan bahwa; pertama, konsep dasar yang dianut dalam UUD yang telah disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of power); kedua, tugas hakim adalah menerapkan Undang-undang bukan menguji Undang-undang; dan ketiga, kewenangan hakim untuk melakukan pengujian Undang-undang bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sehingga ide akan pengujian Undang-undang terhadap UUD yang diusulkan Yamin tersebut tidak diadopsi dalam UUD 1945.

Masa Reformasi 1998

Seiring dengan momentum perubahan UUD 1945 pada masa reformasi (1999-2004), ide pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia makin menguat. Puncaknya terjadi pada tahun 2001 ketika ide pembentukan MK diadopsi dalam perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR, sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945 dalam Perubahan Ketiga.

Masa pembentukan dasar hukum

Selanjutnya untuk merinci dan menindak lanjuti amanat Konstitusi tersebut, Pemerintah bersama DPR membahas Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. Setelah dilakukan pembahasan beberapa waktu lamanya, akhirnya RUU tersebut disepakati bersama oleh pemerintah bersama DPR dan disahkan dalam Sidang Paripurna DPR pada 13 Agustus 2003. Pada hari itu juga, UU tentang MK ini ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dan dimuat dalam Lembaran Negara pada hari yang sama, kemudian diberi nomor UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Ditilik dari aspek waktu, Indonesia merupakan negara ke-78 yang membentuk MK dan sekaligus sebagai negara pertama di dunia yang membentuk lembaga ini pada abad ke-21. Tanggal 13 Agustus 2003 inilah yang kemudian disepakati para hakim konstitusi menjadi hari lahir MKRI.

Masa penetapan Hakim Konstitusi

Bertitik tolak dari UU Nomor 24 Tahun 2003, dengan mengacu pada prinsip keseimbangan antar cabang kekuasaan negara, dilakukan rekrutmen hakim konstitusi yang dilakukan oleh tiga lembaga negara, yaitu DPR, Presiden dan MA. Setalah melalui tahapan seleksi sesuai mekanisme yang berlaku pada masing-masing lembaga tersebut, masing-masing lembaga mengajukan tiga calon hakim konstitusi kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai hakim konstitusi.

DPR mengajukan Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H., Letjen. TNI (Purn.) H. Achmad Roestandi, S.H. dan I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. Sedangkan Presiden mengajukan Prof. H. Ahmad Syarifuddin Natabaya, S.H., LL.M., Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. dan DR. Harjono, S.H., MCL.Sementara MA mengajukan Prof. DR. H. Mohammad Laica Marzuki, S.H., Soedarsono, S.H. dan Maruarar Siahaan, S.H.

Pada 15 Agustus 2003, pengangkatan hakim konstitusi untuk pertama kalinya dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara, pada 16 Agustus 2003. Setelah mengucapkan sumpah, para hakim konstitusi langsung bekerja menunaikan tugas konstitusionalnya sebagaimana tercantum dalam UUD 1945.

Masa pemantapan kelembagaan

Dalam melaksanakan tugas konstitusionalnya, para hakim konstitusi membutuhkan dukungan administrasi aparatur pemerintah, baik yang bersifat administrasi umum maupun administrasi yustisial. Terkait dengan hal itu, untuk pertama kalinya dukungan administrasi umum dilaksanakan oleh Sekretaris Jenderal MPR. Oleh sebab itu, dengan persetujuan Sekretaris Jenderal MPR, sejumlah pegawai memberikan dukungan terhadap pelaksanaan tugas konstitusional para hakim konstitusi. Sebagai salah satu wujudnya adalah Kepala Biro Majelis MPR, Janedjri M. Gaffar, ditetapkan sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Sekretris Jenderal MK sejak tanggal 16 Agustus 2003 hingga 31 Desember 2003. Kemudian pada 2 Januari 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan Anak Agung Oka Mahendra, S.H. sebagai Sekretaris Jenderal MK definitif. Dalam perkembangganya, Oka Mahendra mengundurkan diri karena sakit, dan pada 19 Agustus 2004 terpilih Janedjri M. Gaffar sebagai Sekretaris Jenderal MK yang baru menggantikan Oka Mahendra.

Sejalan dengan itu, ditetapkan pula Kepaniteraan MK yang mengemban tugas membantu kelancaran tugas dan wewenang MK di bidang administrasi yustisial. Panitera bertanggungjawab dalam menangani hal-hal seperti pendaftaran permohonan dari para pemohon, pemeriksaan kelengkapan permohonan, pencatatan permohonan yang sudah lengkap dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi, hingga mempersiapkan dan membantu pelaksanaan persidangan MK. Bertindak sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Panitera mendampingi Plt. Sekjen MK adalah Marcel Buchari, S.H. yang di kemudian hari secara definitif digantikan oleh Drs. H, Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum.

Lintasan perjalan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada 15 Oktober 2003, yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945. Mulai beroperasinya kegiatan MK juga menandari berakhirnya kewenangan MA dalam melaksanakan kewenangan MK sebagaimana diamanatkan oleh Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945.

Setelah bekerja penuh selama lima tahun, halim konstitusi periode pertama (2003-2008) telah memutus 205 perkara dari keseluruhan 207 perkara yang masuk. Perkara-perkara tersebut meliputi 152 perkara Pengujian Undang-undang (PUU), 10 perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) dan 45 perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU). Periode pertama hakim konstitusi berakhir pada 16 Agustus 2008. Dalam perjalanan sebelum akhir periode tersebut tiga hakim konstitusi berhenti karena telah memasuki usia pensiun (berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c UU MK, usia pensiun hakim konstitusi adalah 67 tahun), yakni Letjen. TNI (Purn.) H. Achmad Roestandi, S.H.yang kemudian diganti oleh Prof. DR. Mohammad Mahfud MD., S.H., Prof. DR. H. Mohammad Laica Marzuki, S.H. yang posisinya diganti oleh DR. H. Mohammad Alim, S.H., M.Hum. dan Soedarsono, S.H. yang kedudukannya diganti oleh DR. H. Muhammad Arsyad Sanusi, S.H., M.Hum. Tiga nama yang baru menggantikan tersebut sekaligus meneruskan jabatannya sebagai hakim konstitusi untuk periode kedua (2008-2013).

Di periode kedua ini, enam hakim konstitusi lainnya terpilih Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. (untuk yang kedua kali), Prof. DR. Achmad Sodiki, S.H. dan Prof. DR. Maria Farida Indrati, S.H. yang diajukan Presiden. Kemudian Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H. (untuk yang kedua kali) dan Muhammad Akil Mochtar, S.H., M.H. yang diajukan DPR. Sementara MA mengajukan kembali Maruarar Siahaan, S.H. yang sebelumnya telah menjadi hakim konstitusi periode pertama. Dengan demikian di periode kedua MK terdapat tiga nama lama dan enam nama baru. Akan tetapi dalam perkembangannya, Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H. mengundurkan diri sebagai hakim konstitusi yang berlaku efektif mulai tanggal 1 November 2008 dan digantikan oleh DR. Harjono, S.H., MCL. yang mengucapkan sumpah pada tanggal 24 Mare 2009, sedangkan Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. dan Maruarar Siahaan, S.H. mulai 1 Januari 2010 memasuki usia pensiun dan digantikan oleh DR. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. dan Drs. H. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum. yang mengucapkan sumpah pada tanggal 7 Januari 2010. Formasi sembilan hakim konstitusi inilah yang sekarang menjalankan tugas-tugas konstitusional Mahkamah Konstitusi.

Setelah sembilan Hakim Konstitusi mengucapkan sumpah di Istana Negara pada 16 Agustus 2003, belum ada aparatur yang ditugaskan memberikan pelayanan dan dukungan terhadap pelaksanaan tugas para Hakim Konstitusi. Demikian pula belum ada kantor sebagai tempat bekerja para Hakim Konstitusi. Pada saat itu, alamat surat menyurat menggunakan nomor telepon seluler Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H.

Masa pemenuhan sarana dan prasarana

Keterbatasan sarana dan kurangnya dukungan teknis bagi pelaksanaan tugas-tugas Hakim Konstitusi merupakan persoalan yang menjadi prioritas untuk diselesaikan dengan segera. Setelah melalui pembahasan di kalangan Hakim Konstitusi, akhirnya diputuskan dua hal.

 
Gedung Mahkamah Kontitusi pada malam hari.

Pertama, meminta bantuan tenaga dari Sekretariat Jenderal MPR untuk memberikan dukungan administrasi umum dan MA untuk tenaga administrasi justisial. Kedua, menyewa ruangan di Hotel Santika yang terletak di Jalan KS. Tubun, Slipi, Jakarta Barat, untuk dijadikan kantor sementara. Tidak lama kemudian, MK berpindah kantor dengan menyewa ruangan di gedung Plaza Centris di Jalan HR. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, tepatnya di lantai 4 dan lantai 12A. Namun, ruangan yang tersedia bagi MK di Plaza Centris masih jauh dari memadai. Karena keterbatasan ruang tersebut, para pegawai MK berkantor di lahan parkir kendaraan yang disulap menjadi ruang kantor modern. Seiring dengan itu, Ketua MK mengangkat Janedjri M. Gaffar sebagai Plt. Sekjen pada tanggal 4 September 2003 dan pada 1 Oktober 2003 menangkan Marcel Buchari, S.H. sebagai Plt. Panitera.

Meskipun sudah memiliki kantor, keterbatasan saran masih menjadi persoalan bagi MK. Selama berkantor di Hotel Santika dan Plaza Centris, MK harus meminjam Gedung Nusantara IV (Pusaka Loka) Kompleks MPR/DPR, salah satu ruang di Mabes Polri dan salah satu ruang di Kantor RRI sebagai ruang sidang karena belum memiliki ruang sidang yang representatif. Hal ini tentu saja menjadi hambatan bagi mobilitas kerja para Hakim Konstitusi sekaligus ironi bagi lembaga negara sekaliber MK yang mengawal konstitusi sebagai hukum tertinggi di negeri ini. Karena itu, ketika merumuskan Cerak Biru "Membangun Mahkamah Konstitusi sebagai Institusi Peradilan Konstitusi yang Modern dan Terpercaya", gagasan pembangunan gedung MK mendapat penekanan tersendiri.

Setelah menempati gedung di Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat milik Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi (Kominfo) pada tahun 2004, barulah MK bisa menggelar persidangan di kantor sendiri. Meski demikian, ruangan dan fasilitas yang tersedia di gedung tersebut masih belum memadai, terutama ketika MK harus menangani perkara yang menumpuk dan membutuhkan peralatan-peralatan canggih sebagaimana terjadi pada Pemilu 2004. Ketika melakukan pemeriksaan perkara perselisihan hasil pemilihan umum Legislatif 2004, ruang persidangan yang ada di gdung MK tidak mencukupi sehingga MK meminjam ruang di gedung RRI yang terletak tidak jauh dari kantor MK. Begitu juha ketika haru menggelar persidangan jarak jauh, MK harus meminjam ruang dan fasilitas teleconference.

Kewajiban dan wewenang mahkamah konstitusi

Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945.

Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d UU 24/2003, kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 yang ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2) UU 24/2003, kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

Struktur Organisasi

Pimpinan

Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi untuk masa jabatan 3 tahun. Masa jabatan Ketua MK selama 3 tahun yang diatur dalam UU 24/2003 ini sedikit aneh, karena masa jabatan Hakim Konstitusi sendiri adalah 5 tahun, sehingga berarti untuk masa jabatan kedua Ketua MK dalam satu masa jabatan Hakim Konstitusi berakhir sebelum waktunya (hanya 2 tahun).

Ketua MK yang pertama adalah Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.. Guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia kelahiran 17 April 1956 ini terpilih pada rapat internal antar anggota hakim Mahkamah Konstitusi tanggal 19 Agustus 2003. Jimly terpilih lagi sebagai ketua untuk masa bakti 2006-2009 pada 18 Agustus 2006 dan disumpah pada 22 Agustus 2006 dengan Wakil Ketua Prof. Dr. M. Laica Marzuki, SH. Bersama tujuh anggota hakim pendiri lainnya dari generasi pertama MK, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH dan Prof. Dr. M. Laica Marzuki berhasil memimpin lembaga baru ini sehingga dengan cepat berkembang menjadi model bagi pengadilan modern dan terpercaya di Indonesia. Di akhir masa jabatan Prof. Jimly sebagai Ketua, MK berhasil dipandang sebagai salah satu ikon keberhasilan reformasi Indonesia. Atas keberhasilan ini, pada bulan Agustus 2009, Presiden menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama kepada para hakim generasi pertama ini, dan bahkan Bintang Mahaputera Adipradana bagi mantan Ketua MK, Prof. Jimly Asshiddiqie.

Selama 5 tahun sejak berdirinya, sistem kelembagaan mahkamah ini terbentuk dengan sangat baik dan bahkan gedungnya juga berhasil dibangun dengan megah dan oleh banyak sekolah dan perguruan tinggi dijadikan gedung kebanggaan tempat mengadakan studi tour. Pada 19 Agustus 2008, Hakim Konstitusi yang baru diangkat untuk periode (2008-2013), melakukan pemilihan untuk memilih Ketua dan Wakil Ketua MK masa bakti 3 tahun berikutnya, yaitu 2008-2011 dan menghasilkan Mohammad Mahfud MD sebagai ketua serta Abdul Mukthie Fadjar sebagai wakil ketua. Sesudah beberapa waktu sesudah itu, pada bulan Oktober 2009, Prof. Jimly Asshiddiqie, S.H. mengunduran diri dari anggota MK dan kembali menjadi guru besar tetap hukum tata negara Universitas Indonesia.

Pada periode 2013-2015 terpilih ketua yaitu Akil Mochtar, namun dia mencoreng nama institusi ini dengan terlibat kasus suap sengketa pemilu Kabupaten Lebak dengan terdakwa Tubagus Chairi Wardana, dan melibatkan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, Akil Mochtar menjadi terdakwa dan diberhentikan pada tanggal 5 Oktober 2013, dan jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi diserahkan kepada Hamdan Zoelva pada tanggal 1 November 2013, Hamdan saat itu menjabat sebagai wakil ketua MK.

Pada tanggal 7 Januari 2015, Hamdan Zoelva resmi mengakhiri jabatannya sebagai hakim konstitusi sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi. Posisinya digantikan oleh Arief Hidayat yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. Arief Hidayat terpilih secara aklamasi sebagai ketua sementara untuk wakilnya Anwar Usman, terpilih melalui voting pada rapat yang digelar oleh sembilan hakim konstitusi pada tanggal 12 Januari 2015 [2]. Pada tanggal 14 Januari 2015, Arief Hidayat dan Anwar Usman resmi membacakan sumpah jabatan di hadapan Wakil Presiden Jusuf Kalla.[3]

Hakim

Para hakim menjalankan wewenang Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman. Jabatan Hakim Konstitusi berjumlah sembilan orang dan merupakan Pejabat Negara yang ditetapkan oleh Presiden. Hakim Konstitusi diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. Masa jabatan Hakim Konstitusi adalah lima tahun, dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya.

Hakim konstitusi hanya dapat dikenai tindakan kepolisian atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan tertulis dari Presiden, kecuali dalam hal:

  1. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; atau
  2. berdasarkan bukti permulaan yang cukup disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara, atau tindak pidana khusus.

Sekretariat Jenderal

Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi mempunyai tugas melaksanakan dukungan administrasi umum kepada para hakim konstitusi. Sekretariat Jenderal dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal.

Kepaniteraan

Kepaniteraan MK memiliki tugas pokok memberikan dukungan di bidang administrasi justisial. Susunan organisasi kepaniteraan MK terdiri dari sejumlah jabatan fungsional Panitera. Kepaniteraan merupakan supporting unit hakim konstitusi dalam penanganan perkara di MK.

Persidangan

Sidang Panel

Sidang Panel merupakan sidang yang terdiri dari tiga orang hakim konstitusi yang diberi tugas untuk melakukan sidang pemeriksaan pendahuluan. Persidangan ini diselenggarakan untuk memeriksa kedudukan hukum pemohon dan isi permohonan. Hakim konstitusi dapat memberi nasihat perbaikan permohonan.

Rapat Permusyawaratan Hakim

Rapat Permusyawaratan Hakim (disingkat RPH) bersipat tertutup dan rahasia. Rapat ini hanya dapat diikuti oleh Hakim konstitusi dan Panitera. Dalam rapat inilah perkara dibahas secara mendalam dan rinci serta putusan MK diambil yang harus dihadiri sekurang-kurangnya tujuh hakim konstitusi. Pada saat RPH, Panitera mencatat dan merekam setiap pokok bahasan dan kesimpulan.

Sidang Pleno

Sidang Pleno adalah sidang yang dilakukan oleh majelis hakim konstitusi minimal dihadiri oleh tujuh hakim konstitusi. Persidangan ini dilakukan terbuka untuk umum dengan agenda pemeriksaan persidangan atau pembacaan putusan. Pemeriksaan persidangan meliputi mendengarkan pemohon, keterangan saksi, ahli dan pihak terkait serta memeriksa alat-alat bukti.

Anggaran

Sebagai lembaga negara pelaku kekuasaan kehakiman, pelaksanaan tugas-tugas MK berikut aktivitas dukungan yang diberikan oleh Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK dibiayai oleh Anggaaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Dalam setiap tahunnya, MK mendapat anggaran berdasarkan Dokumen Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) atau Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL). BPK memberikan Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas laporan keuangan MK tahun anggaran 2006. Kemudian pada laporan keuangan tahun 2007, 2008 dan 2009 MK kembali meraih predikat WTP berturut-turut dari BPK.

Lihat pula

Referensi