Agama Djawa Sunda adalah kepercayaan sejumlah masyarakat yang tersebar di daerah Kecamatan Cigugur, Kuningan, Jawa Barat.[1] Agama tersebut juga dikenal sebagai Cara Karuhun Urang (tradisi nenek moyang), agama Sunda Wiwitan, ajaran Madrais atau agama Cigugur.[1] Agama Djawa Sunda (ADS) yang berdiri sekitar tahun 1925 di Cigugur, adalah salah satu agama lokal sekaligus juga komunitas masyarakat adat yang berkembang di Jawa Barat.[1] Hal ini dikarenakan ADS, disamping meyakini dan mempertahankan ajaran pendahulunya, Kyai Madrais, juga berupaya melestarikan warisan adat leluhur.[1] Sebagai kelompok minoritas agama lokal, ADS sering mengalami hambatan dan ancaman berupa larangan negara dan tindakan-tindakan diskriminatif dari kelompok mayoritas agama resmi yang membuat komunitas ini semakin terpinggirkan dan terdesak secara politik dan kultural.[1]

Kehidupan Agama di Cigugur

Dalam kehidupan beragama, Kelurahan Cigugur merupakan suatu wilayah yang penduduknya memeluk beraneka ragam agama.[2] Hal ini dibuktikan dari data kependudukan yang menunjukkan jumlah pemeluk agama di Kelurahan Cigugur terdiri dari beragam agama, yaitu pemeluk Islam berjumlah 4.075 jiwa, Katolik 2.620 jiwa, Protestan 195 jiwa, Penghayat Kepercayaan 176 jiwa, Buddha 12 jiwa, dan Hindu 6 jiwa.[2] Warga di Cigugur beragam, bersifat plural, bahkan di dalam sebuah keluarga pun terdapat keberagaman agama, antara agama orang tua dan anak-anaknya berbeda.[2]

Keanekaragaman agama yang dipeluk oleh penduduk di Cigugur tidak menyebabkan hubungan antar pemeluk yang berbeda agama renggang dan kaku.[2] Sikap toleransi dan saling menghargai di antara mereka justru nampak harmonis.[2] Keharmonisan hubungan, dibuktikan dengan adanya kerja sama dan sikap saling gotong-royong antar umat beragama dalam pembangunan berbagai rumah ibadah di Cigugur.[2] Mesjid Al-Hidayah yang didirikan pada tanggal 01 Januari 2005. Mesjid ini dibangun di wilayah, dengan mayoritas warganya adalah penganut Katolik, namun mereka berusaha membantu pendirian mesjid guna memudahkan masyarakat muslim dalam beribadah. [2]

Asal-usul

Pendiri Madrais adalah Pangeran Sadewa Alibasa Kusuma Wijaya Ningrat yang dikenal dengan Pangeran Madrais atau Kyai Madrais.[3] Madrais merupakan anak dari Pangeran Alibasa (Pangeran Gebang yang ke sembilan) dari pernikahannya dengan R. Kastewi, keturunan kelima dari Tumenggung Jayadipura Susukan.[3] Ketika lahir namanya adalah Pangeran Sadewa Alibasa yang dalam silsilah keluarga disebut dengan Pangeran Surya Nata atau Pangeran Kusuma Adiningrat.[3]

Madrais dilahirkan di Susukan Ciawi Gebang pada tahun 1822.[3] Kemudian pada tahun 1825 dia dititipkan kepada Ki Sastra Wedana, seorang Kuwu di Cigugur dengan harapan kelak dapat meneruskan perjuangan leluhurnya menentang penjajah.[3] Untuk mengelabui kompeni diwasiatkan agar anak tersebut diakui sebagai anak Ki Sastra Wadana.[3] Kemudian belakangan diketahui ia bukan anak Ki Sastra Wadana, tapi anak R. Kastewi dari Susukan Ciawigebang yang tidak dijelaskan siapa sebenarnya ayah anak tersebut.[3]

Dalam usia 10 tahun, Pangeran Kusuma Adiningrat bekerja pada Kuwu Sagarahiang sebagai gembala kerbau dikenal dengan nama Taswan.[3] Ketika akan meninggalkan Sagarahiang, ia berpesan kepada teman-temannya bahwa nama sebenarnya adalah Madrais (singkatan dari Mohamad Rais), anak Ki Sastra Wadana dari Cigugur.[3] Sekitar tahun 1840 Pangeran Kusuma Adinigrat kembali ke Cigugur dan sewaktu-waktu ia berkelana keliling Jawa Barat.[3] Sampai akhirnya kembali lagi ke Cigugur dan mendirikan peguron/ pesantren dan mengajarkan agama Islam.[3] Ia populer dipanggil dengan nama Kyai Madrais. Nama Kyai Madrais terkenal juga di Pesantren Heubel Isuk dan Ciwedus (daerah Gebang) sebagai seorang yang pandai dan berpengaruh.[3] Selain mengajarkan agama Islam, ia juga menyampaikan ajaran agama-agama untuk ditemukan titik persamaannya dalam Ketuhanan Yang Maha Esa.[3] Pedoman tersebut akan menjadi dasar dari kesadaran berprikemanusiaan dalam mewujudkan cinta kasih terhadap sesamanya.[3] Oleh karena itu, Kyai Madrais disebut-sebut mendirikan Agama Jawa Sunda (ADS).[3]

Pandangan hidup Agama Djawa Sunda (ADS), tentunya tidak terlepas dari pandangan hidup dari Pangeran Madrais selaku pendiri dari ADS tersebut, pada awalnya sebagai pedoman filsafat atau pedoman teologis Pangeran Madrais mengekspresikan pemikirannya dalam bentuk sebagai berikut.[4]

  • Percaya ka Gusti Sikang Sawiji-wiji (percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa);[4]
  • Ngaji Badan (mawas diri/introspeksi/retrospeksi);[4]
  • Akur Rukun Jeung Sasama Bangsa (hidup rukun dengan sesama);[4]
  • Hirup Ulah Pisah ti Mufakat (mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat);[4]
  • Hirup Kudu Silih Tulungan (hidup harus saling tolong menolong).[4]

Ajaran

Konsep ketuhanan

Dalam keyakinan ADS, posisi Tuhan berada di posisi yang tertinggi, tempat yang berada di atas segala-galanya.[3] Tuhan begitu sempurna karena sifat-Nya.[3] Tuhan tidak berada di sisi yang jauh, tapi selalu dekat.[3] Bahkan, tidak dapat dipisahkan dari ciptaan-Nya, terutama dari manusia yang merupakan makhluk ciptaan-Nya yang paling sempurna.[3] Para penghayat ADS menyebut Tuhan dengan sebutan Gusti Sikang Sawiji-Wiji. Wiji artinya adalah inti, yaitu inti dari kelangsungan kehidupan di dunia.[3] Sebagai inti dari segala kehidupan, eksistensi Tuhan dapat ditransformasikan menjadi daya atau energi yang sifatnya konkrit.[3] Dalam hal ini, Tuhan melekat pada setiap ciptaan-Nya atau dengan kata lain inheren pada setiap entitas yang ada.[3] Tuhan adalah penyebab eksistensi manusia di muka bumi karena itu keberadaan manusia tergantung sepenuhnya pada eksistensi Tuhan.[3] Adanya manusia merupakan bukti yang paling riil dari adanya Tuhan.[3] Pemahaman Agama Jawa Sunda tentang Tuhan bisa pula ditelisik melalui ungkapan Tri Panca Tunggal.[3] Penganut ADS meyakini bahwa manusia dan Tuhan adalah manunggal.[3] Arti kata manunggal adalah menyatu, karena dalam pandangan ageman ini tidak ada keterpisahan antara Tuhan sebagai Pencipta dan manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya.[3] Dengan kata lain, penyatuan itu telah lengkap karena adanya kemanunggalan yang sempurna antara Tuhan yang transenden dan Tuhan yang imanen.[3]

Pikukuh tilu

Pandangannya memperoleh wujud yang semakin jelas lewat ajaran pemikiran yang disebut dengan Pikukuh Tilu yang masih diterapkan dan masih dijalankan oleh para penghayat ADS di Cigugur.[5] Pikukuh Tilu berasal dari kata “pikukuh” dan “tilu”.[5] Pikukuh artinya adalah peneguh.[5] Kata ini berasal dari kata kerja kukuh yang diberi awalan pi, dimana kukuh berarti pasti, tetap, teguh dan konsisten, sementara awalan pi mempunyai fungsi untuk membentuk kata kerja menjadi kata benda.[5] Kata tilu sendiri adalah tingkatan bilangan yang dalam bahasa Indonesia berarti tiga.[5] Jadi pikukuh tilu artinya adalah “tiga peneguh yang menjadi landasan hidup manusia untuk mencapai kesempurnaan sebagai manusia”.[5] Tiga peneguh ini adalah pedoman yang berupa tiga ketentuan yang harus selalu dipegang dan dilakukan secara konsisten dalam kehidupan.[5] Isi pikukuh tilu tersebut ialah ngaji badan, tuhu mituhu kana tanah, dan madep ka ratu-raja 3-2-4-5 lilima 6.[5] Ngaji badan berarti kita harus menyadari tentang adanya sifat-sifat lain yang ada di sekitar kita.[5] Tuhu kana Tanah adalah tuhu atau bersikukuh kepada kebangsaan, jadi yang dimaksud dengan tuhu kana tanah adalalah agar kita selaku manusia yang telah diciptakan menjadi anggota suatu bangsa harus mencintai bangsanya dengan cara melestarikan cara ciri bangsa sendiri.[5]

Madep ka ratu raja 3-2-4-5 lilima 6, madep berati mengarah kepada tujuan ratanya di atas 3, 2, 4, 5, lilima enam yang mengandung arti sebagai berikut.[5]

  • Ratu-raja 3: Cipta rasa dan karsa atau Sir, Rasa dan Pikir. Dalam hidup kita selalu diselubungi oleh macam ragam kehendak atau keinginan oleh karena itu kita harus selalu waspada terhadap jalannya Sir, Rasa dan Pikir, sesuai dengan kehendak sang Pencipta atau tidak;[5]
  • Ratu-raja 2: hukum keseimbangan dalam hidup atau adanya sifat berpasangan.[5] Manusia harus sadar jangan sampai tergerak oleh pengaruh nafsu yang tidak selaras dengan sifat manusia dan sifat bangsa;[5]
  • Ratu-raja 4: aktivitas sepasang tangan dan sepasang kaki. Ketika kita menggunakan kedua tangan dan kedua kaki hendaklah waspada dan sadar dalam gerak dan tingkah laku serta tindakan, Karena harus sesuai dengan sifat dan cara-ciri sebagai manusia;[5]
  • Ratu-raja 5: disebut dengan panca indera. Kita harus waspada suatu menggunakan panca indera, karena panca indera merupakan jembatan penghubung antara kita dan alam sekitar;[5]
  • Ratu-raja lilima: sifat dari fungsi indera artinya walaupun dalam sifat panca indera kita sama, tetapi sifat-sifat bangsa yang satu dengan yang lain berbeda cara-cirinya;
  • Ratu-Raja 6: tunggal wujud manusia seutuhnya.[5] Wujud kita adalah manusia, makhluk ciptaan Tuhan yang diberi tugas untuk mewujudkan kedamaian di alam lahir sesuai dengan sifat dan kodrat yang diberikan kepada manusia yaitu peri kemanusiaan.[5]

Hukum

Sunat

Para pengikut ADS tidak diperkenankan oleh pemimpinnya untuk melakukan sunat.[6] Khitan (sunat) dalam kepercayaan Madrais adalah sama halnya dengan menghilangkan sebagian anggota tubuh manusia.[6] Tindakan itu sama sekali tidak dianjurkan dalam kepercayaan Madrais karena Tuhan telah menciptakan manusia dengan sangat sempurna, tidak perlu lagi ada yang dikurangi ataupun ditambahkan.[6] Jika manusia melakukan praktek sunat, yang berarti tidak menjaga kesempurnaan yang diberikan Tuhan kepada manusia.[6] Dengan demikian, orang yang melakukan sunat dianggap sebagai orang yang tidak dapat bersyukur dan juga sangat kufur.[6] Para penghayat Agama Djawa Sunda (ADS) meyakini bahwa Gusti Kang Sawiji-Wiji atau Tuhan Yang Maha Esa telah menciptakan seluruh alam beserta isinya itu dengan sangat lengkap dan sempurna.[6] Manusia, sebagai salah satu ciptaan-Nya, diharuskan untuk menjaga apa yang telah diciptakan oleh Penguasa Alam ini.[6]

Pernikahan

Dalam adat dan tradisi ADS, pernikahan itu bertumpu pada apa yang disebut sebagai awal tunggal akhir jadi sawiji (awalnya satu, akhirnya jadi menyatu).[7] Artinya, setiap manusia itu pada mulanya tunggal (satu atau sendiri) sebagai hamba Tuhan dan tunggal hirup (hidup sendiri).[7] Tetapi kemudian pada akhirnya ia akan menyatu dengan pasangannya masing-masing dalam kehidupan melalui suatu hukum dan hubungan batin yang terjalin.[7] Dalam ajaran ADS, pernikahan itu bukanlah semata-mata untuk menunaikan ibadah dan rasa cinta kepada Tuhan semata, namun juga jalan untuk memelihara keturunan manusia, menjaga keadaan alam semesta dan jalan untuk meraih kesempurnaan hidup.[7] Calon pengantin diharuskan meminta persetujuan kepada kedua orang tuanya masing-masing.[7] Ketika sudah disetujui, maka mereka akan diwajibkan menjalani tradisi masar, yaitu masa saling mengenal yang sekurang-kurangnya adalah 100 hari.[7] Hal ini dilakukan dengan tujuan agar kedua calon pasangan yang akan menikah itu jimah, tidak lagi berubah pikiran.[7] Para penghayat kepercayaan ADS, tidak diperkenankan untuk mengikat janji suci perkawinan di depan seorang penghulu yang resmi ditunjuk pemerintah karena pemimpin upacara pernikahannya adalah penggawa khusus yang telah ditentukan oleh pimpinan ADS.[7] Pernikahan yang telah terbina itu biasanya bersifat langgeng karena dalam ADS tidak ada kata berpisah.[7]

Kematian

Untuk menghadapi kematian biasanya pengikut Madrais yang menghadapi sakarotul maut oleh kawan-kawannya ditunggu sambil dikatakan wajon lawan, artinya ayo lawan, dan bila ia meninggal mereka berkata: Hih Bet olehan sama artinya dengan Lo, tukang kalah.[8] Setiap warga pengikut Agama Djawa Sunda (ADS) yang meninggal dunia, jenazahnya dibungkus dengan kain hitam, dimasukkan ke dalam peti mati kayu jati.[8] Setelah dimasukkan ke dalam liang kubur, tempat peristirahatan jenazah itu ditaburi dengan arang, kapur dan beras di sekitar peti mati.[8] Posisi orang yang meninggal itu diatur dengan sedemikian rupa, di mana posisi kaki dan tangannya harus agak terlipat (mentongkrong), dan sebisanya makam dari jenazah itu tidak berada satu tempat dengan pemakaman umat beragama lain, termasuk dengan makam orang Islam.[8]

Istilah-istilah keagamaan

  • Syahadat agama Djawa Sunda dalam bahasa sunda yang artinya, tidak Ada tuhan melainkan Allah dan Madrais ialah Rasullah.[7] Rasullah menurut ajaran Madrais bukan berarti utusan Allah, tetapi Rosulullah artinya rasa sejati.[7] Madrais artinya bukan nama orang tetapi hakikat dari nama tersebut ialah cahaya sejati.[7]
  • Kupasan dari kejadian manusia berasal dari api, air, angin dan tanah.[7] Yang dipandang sumber dari segala kejadian menurut ajaran Madrais ialah api, oleh karena itu Madrais memuliakan api sejati, yang tidak tampak dipandang oleh mata dan tidak dapat diraba dengan indera yang manapun hanya dapat diraba dengan raba batin dan yakin.[7] Di rumah Madrais selalu menyalakan api unggun.[7]
  • Wajib menyembah kepada guru, ratu (pemerintah) dan kedua orang tua.[7] Memelihara tanah dengan bercocok tanam dengan baik dan mengenai penghidupan, istilah menyembah tanah, mengkiblat ka ratu (artinya mentaati pemerintah).[7]
  • Dilarang menentang adat desa, sedangkan agama Islam disebut agama yang baik untuk orang Arab.[7]
  • Perkawinan, kematian dan sebagainya mempunyai cara sendiri di luar cara yang biasa dilakukan oleh umat Islam, dasar perkawinan suka-sama suka, pengikut Madrais dilarang kawin di penghulu.[7] Untuk urusan cerai tidak ada, namun bila satu pasangan sudah tidak cocok satu sama lain mereka boleh berpisah begitu saja. Laki-laki kaum ADS dilarang untuk bersunat dan tidak boleh solat secara Islam.[7] Soal warisan diatur berdasarkan hukum adat.[7]
  • Pikukuh tilu merupakan ajaran kuno suku sunda, istilah ini merupakan frase berbahasa Sunda di lihat dari segi bahasa pikukuh tilu berasal dari dua kata, pikukuh dan tilu, pikukuh berarti yang bermakna suatu hal yang harus dipegang teguh karena sudah menjadi satu kepastian.[7] Sedangkan kata tilu merupakan kata bilangan yang dalam bahasa Indonesia berarti tiga, jadi secara sederhana pikukuh tilu, bisa diartikan tiga hal yang harus senantiasa dipegang dalam kehidupan.[7]

Cara menyebarkan ajaran

Wayang menjadi media yang ampuh dipakai oleh Madrais dalam menyebarkan ajarannya.[7] Biasanya muridnya menonton dan Madrais menjadi dalangnya, selain wayang Madrais juga mengajarkan ajarannya melalui Tayuban atau tari-tarian.[7] Nuansa hiburan dalam penyebaran ajaran ADS sangat disukai oleh pengikutnya karena tingkat pendidikan dan pemahaman masyarakat Cigugur Kuningan pada saat itu masih rendah, maka melalui pertunjukan seni, inti sari ajaran ADS mudah masuk dan diserap oleh pengikutnya ditambah pengetahuan dasar tentang ajaran Islam sangat lemah di antara mereka.[7] Setiap bulan maulud murid-murid Madrais berkumpul di Cigugur, mereka datang dari Cirebon, Sumedang, Garut jumlahnya hampir 2500 orang.[7] Pada waktu itu Madrais hanya dengan menggunakan cawat saja tiarap di atas api unggun yang dinyalakan di dalam suatu dapur, sehingga Madrais dan api terhalang oleh tembok.[7] Dari tubuh Madrais keluar keringat bercucuran yang ditampung dalam satu tempat yang penuh air, air campuran dengan keringat Madrais ini di bagi-bagikan kepada pengikutnya yang disambut sebagai berkah dari sang guru.[7]

Pengikut Madrais sangat berani berkorban untuk kepentingan gurunya.[9] Pada zaman Belanda kehidupan Madrais beserta keluarga sangat mewah seperti seorang bupati.[9] Madrais meninggal pada usia 65 tahun.[9] Setelah kepergian pemimpin ADS digantikan oleh anaknya pangeran Teja Buana, tetapi pemahamannya tentang ajaran ADS tidak sebaik bapaknya dan cara dia menarik dana dari pengikutnyapun tidak sehalus ayahnya hingga banyak pengikutnya yang kecewa dan akhirnya berkurang.[9]

Selama kepemimpinan Teja buana aliran Madrais mengalami pasang surut.[9] Pada tahun 1944, Teja buana mengumumkan ADS telah di bubarkan karena tekanan dari pihak Jepang.[9] Tapi, ketika pertengahan tahun 1948 ADS dihidupkan kembali oleh Tejanbuana, karena yang berkuasa bukan Jepang lagi tetapi Belanda sampai waktu pemberontakan Kartosuwiryo menyerang kelompok ADS, maka Teja buana pindah dari Cigugur dan tinggal di Cirebon.[9] Pada tanggal 10 januari 1959 Tejambuana berusaha mengadakan Kongres Agama-agama Djawa dengan maksud untuk menghidupkan kembali ajaran ini. Tetapi perkembangan ADS tidak pesat seperti dulu dan semakin hari semakin melemah.[9]

Teja buana mendaftarkan ADS pada badan koordinasi kebatinan Indonesia (BKKI), setelah himpunan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa (HPK) berdiri pada tahun 1981.[9] Pada perkembangan selanjutnya ADS memanifestasikan diri menjadi Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU) di bawah pimpinan Pangeran Djatikusuma.[9] Paguyuban tersebut juga terdaftar pada Direktorat Bina Hayat sebagai lembaga formal dengan No. 192/R.3/N.1/1982 yang bekerja di wilayah Jawa Barat dan sekitarnya.[9]

Akibat pendirian PACKU ini, mantan anggota dari ADS yang sudah bepindah ajaran menjadi Katolik sebanyak 2000 orang menyatakan ke luar dari keanggotaan gereja dan berbalik arah menjadi anggota PACKU.[9] Banyak terjadi pertengkaran antara sesama anggota keluarga, bapak dengan anaknya, istri dengan suaminya.[9] Setahun setelah kejadian tersebut PACKU kemudian dilarang dengan Surat Keputusan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Nomor: Kep. 44/K.2.3/8/82.[9]

Sebagai akibat larangan tersebut, secara hukum status sekitar 2.000 orang penganut PACKU tersebut menjadi ilegal dan secara politik menjadi tidak benar (legally and politically incorrect).[9] Menghadapi situasi tersebut, sebagian besar dari mereka segera kembali menjadi Katolik yang diterima kembali dengan penuh curiga, sebagian kecil masuk Islam, beberapa masuk Kristen Pasundan.[9] Sisanya termasuk Pangeran Djatikusumah beserta keluarganya tetap menyatakan diri secara resmi sebagai penghayat aliran kepercayaan.[9]


Rujukan

  1. ^ a b c d e Didi Wiardi, “Bertahan Untuk Tidak Gugur, Religi (Adat) Cigugur” dalam Sisi Senyap Politik Bising, Budi Susanto, S.J. (ed.), (Yogyakarta: PT. Kanisius, 2007), h. 172.
  2. ^ a b c d e f g Qodim, Husnul (2017-12-31). "Strategi Bertahan Agama Djawa Sunda (ADS) Cigugur". KALAM. 11 (2): 329. doi:10.24042/klm.v11i2.1912. ISSN 2540-7759. 
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab P. Djatikusuma, Spritual Culture of Karuhun Urang Tradition, (Cagar Budaya Nasional, Cigugur Kuningan Jawa Barat, 1999), h. 1.
  4. ^ a b c d e f Hariyanto, Didik, Implementasi Kepercayaan Sunda Wiwitan Sebagai Falsafah Dalam Kehidupan Masyarakat Cigugur (Skripsi UIN Syarif Hidayatullah, 2013)
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7195/1/UJANG%20MA%27MUN-FUH.pdf
  6. ^ a b c d e f g Siti Umi Aqiqah, “Praktik-Praktik Diskriminasi terhadap Penghayat Kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa (Studi Kasus Sunat pada Kepercayaan Madrais”, Skripsi tidak diterbitkan, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014), hlm. 53.
  7. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac Kartapraja, Kamil, 1990. Aliran Kebatinan Dan Kepercayaan Di Indonesia, CV Haji Masagung, Jakarta.
  8. ^ a b c d S, Suwarno Imam. 2005. Konsep Tuhan, Manusia, Mistik dalam berbagai Kebatinan Jawa. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
  9. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q http://journal.uinsgd.ac.id/index.php/Religious/article/view/1389/pdf_8

Pranala luar