Aksara Bali

jenis aksara untuk menuliskan sebuah bahasa
Revisi sejak 10 Februari 2020 07.13 oleh 202.67.40.209 (bicara) (Ishom)

Aksara Bali (ᬅᬓ᭄ᬱᬭᬩᬮᬶ), dikenal juga sebagai hanacaraka (ᬳᬦᬘᬭᬓ), adalah salah satu aksara tradisional Nusantara yang berkembang di Pulau Bali, Indonesia. Aksara ini umum digunakan untuk menulis bahasa Bali dan bahasa Sanskerta. Dengan sedikit perubahan, aksara ini juga digunakan untuk menulis bahasa Sasak yang digunakan di Lombok.[1] Aksara ini berkerabat dekat dengan dengan aksara Jawa.

Aksara Bali
ᬅᬓ᭄ᬱᬭᬩᬮᬶ
Jenis aksara
Abugida
BahasaBali, Sasak, Sanskerta
Periode
± abad 10 hingga sekarang
Arah penulisanKiri ke kanan
Aksara terkait
Silsilah
Aksara kerabat
Batak
Baybayin
Bugis
Incung
Jawa
Lampung
Makassar
Rejang
Sunda
ISO 15924
ISO 15924Bali, 360 Sunting ini di Wikidata, ​Bali
Pengkodean Unicode
Nama Unicode
Balinese
U+1B00–U+1B7F
 Artikel ini mengandung transkripsi fonetik dalam Alfabet Fonetik Internasional (IPA). Untuk bantuan dalam membaca simbol IPA, lihat Bantuan:IPA. Untuk penjelasan perbedaan [ ], / / dan  , Lihat IPA § Tanda kurung dan delimitasi transkripsi.

Aksara Bali masih diajarkan di sekolah-sekolah Bali sebagai muatan lokal, tetapi penggunaannya terbatas pada lingkup yang sempit. Dalam penggunaan sehari-hari, sebagian besar aksara Bali telah tergantikan dengan huruf Latin.ishom

Ciri

 
Suku kata /ka/ ditulis dengan satu huruf. Tanda baca mengubah, menambah, atau menghilangkan vokal suku kata tersebut. Huruf mempunyai bentuk subskrip untuk menulis tumpukan konsonan.

Aksara Bali adalah sebuah abugida. Tiap hurufnya merepresentasikan sebuah suku kata dengan vokal /a/ atau /ə/ di akhir kata yang dapat diubah dengan penggunaan tanda baca.[2] Aksara ditulis tanpa spasi (scriptio continua).

Aksara Bali memiliki 47 huruf. Bahasa Bali murni dapat ditulis dengan 18 huruf konsonan dan 7 vokal saja, sementara terjemahan Sanskerta atau kata serapan dari bahasa Sanskerta dan Kawi menggunakan keseluruhan set huruf. Huruf untuk menulis bahasa Sanskerta dan Kawi ini umum diucapkan setara dengan padanan Bali-nya, walau dalam bahasa Sanskerta huruf-huruf tersebut merepresentasikan bunyi yang berbeda. Semisal pengucapan vokal panjang seringkali dibaca pendek, karena bahasa Bali tidak membedakan arti kata dari panjang vokal.[1]

Sejumlah tanda baca mengubah vokal (layaknya harakat pada abjad Arab), menambahkan konsonan akhir, dan menandakan ejaan asing. Beberapa tanda baca dapat digunakan bersama-sama, tetapi tidak semua kombinasi diperbolehkan. Tanda baca teks termasuk koma, titik, titik dua, serta tanda untuk memulai dan mengakhiri bagian-bagian teks. Notasi musik ditulis dengan simbol mirip-huruf dengan tanda baca untuk informasi metrik.[1]

Terdapat pula sejumlah huruf suci yang disebut modre. Kebanyakan darinya dibentuk dengan menambahkan tanda baca ulu candra pada huruf tertentu. Beberapa modre unik masih dipelajari dan kemungkinan diproposalkan sebagai aksara Bali tambahan pada masa mendatang.[1]

Warga

Dalam aksara Bali, huruf dibagi berdasarkan pengucapannya dalam kelompok yang disebut warga aksara. Pembagian ini didasarkan kaidah Sanskerta Panini. Terdapat 5 warga utama, yaitu:[3]

Nama Tempat pengucapan Keterangan
Kanthya
(Guttural)
 
Warga kanthya adalah kelompok fonem yang berasal dari langit-langit dekat kerongkongan. Beberapa di antaranya termasuk konsonan celah suara.
Talawya
(Palatal)
 
Warga talawya adalah kelompok fonem yang berasal dari langit-langit mulut.
Murdhanya
(Retroflex)
 
Warga murdhanya adalah kelompok fonem yang berasal dari tarikan lidah ke belakang menyentuh langit-langit. Beberapa di antaranya juga termasuk konsonan rongga-gigi.
Dantya
(Gigi)
 
Warga dantya adalah kelompok fonem yang berasal dari sentuhan lidah dengan gigi. Beberapa di antaranya termasuk konsonan rongga-gigi.
Osthya
(Bibir)
 
Warga osthya adalah kelompok fonem yang berasal dari pertemuan bibir atas dan bawah.

Huruf

Konsonan

Huruf konsonan disebut wyanjana (ᬯ᭄ᬬᬦ᭄ᬚᬦ). Terdapat 33 huruf konsonan dalam aksara Bali dengan 18 huruf dasar (disebut wreṣāstra ᬯᬺᬱᬵᬲ᭄ᬢ᭄ᬭ) yang paling umum digunakan. Sisanya biasa dipakai dalam kata serapan bahasa Sanskerta dan Kawi.

Aksara wianjana (Konsonan)
Warga Pancawalimukha Ardhasuara
(Semivokal)
Usma
(Sibilan)
Wisarga
(Frikatif)
Bersuara Nirsuara Anusika
(Sengau)
Kanthya
 
(Ka)
Ka1
 
(Kha)
Ka mahaprana
 
(Ga)
Ga1
 
(Gha)
Ga gora
 
(Nga)
Nga1
 
(Ha)
Ha12
Talawya
 
(Ca)
Ca1
 
(Cha)
Ca laca3
 
(Ja)
Ja1
 
(Jha)
Ja jera
 
(Nya)
Nya1
 
(Ya)
Ya1
 
(Śa)
Sa saga
Murdhanya
 
(Ṭa)
Ta latik
 
(Ṭha)
Ta latik m.5
 
(Ḍa)
Da murda a.4
 
(Ḍha)
Da murda m.5
 
(Ṇa)
Na rambat
 
(Ra)
Ra1
 
(Ṣa)
Sa sapa
Dantya
 
(Ta)
Ta1
 
(Tha)
Ta tawa
 
(Da)
Da1
 
(Dha)
Da madu
 
(Na)
Na kojong1
 
(La)
La1
 
(Sa)
Sa danti16
Osthya
 
(Pa)
Pa1
 
(Pha)
Pa kapal
 
(Ba)
Ba1
 , (Bha)
Ba kembang7
 
(Ma)
Ma1
 
(Wa)
Wa1

^1Aksara wreṣāstra. Dalam urutan tradisonal ialah: ha na ca ra ka / da ta sa wa la / ma ga ba nga / pa ja ya nya.
^2 Konsonan /h/ kadang tidak dibaca. Semisal hujan dibaca ujan.[4]
^3 Bentuk ca laca tidak diketahui pasti, karena hanya gantungan-nya yang masih dipakai.[5] Namun bentuk aksaranya diikut-sertakan dalam Unicode.[6]
^4 alpaprana ^5 mahaprana
^6 Sebenarnya sebuah konsonan alveolar, tetapi diklasifikasikan sebagai dental
^7 Bentuk pertama lebih sering digunakan.

Vokal

Aksara swara (Vokal)
Warga Suara hresua
(vokal pendek)
Suara dirgha
(vokal panjang)
Nama
Aksara Bali Transkripsi IPA Aksara Bali Transkripsi IPA
Kantya
 
A [a]
 
Ā [ɑː] A kara
Talawya
 
I [i]
 
Ī [iː] I kara
Murdhanya
 
[ɹ̩]
 
[ɹ̩ː] Ra repa
Dantya
 
[l̩]
 
[l̩ː] La lenga
Osthya
 
U [u]
 
Ū [uː] U kara
Kanthya-talawya
 
E [e]; [ɛ]
 
Ai [aj] E kara (E)
Airsanya (Ai)
Kanthya-osthya
 
O [o]; [ɔ]
 
Au [au] O kara (O)
Au kara (Au)

Nama untuk aksara dirgha dibuat dengan dengan menambahkan kata tedung setelah nama hresua-nya, seperti a kara tedung dan i kara tedung, dengan pengecualian /e/ dan /o/ panjang yang menjadi sebuah diftong.

Pangangge

Pangangge (lafal: /pəŋaŋge/) atau dalam bahasa Jawa disebut sandhangan, adalah lambang yang tidak dapat berdiri sendiri, ditulis dengan melekati suatu aksara wianjana maupun aksara suara dan memengaruhi cara membaca dan menulis aksara Bali. Ada berbagai jenis pangangge, antara lain pangangge suara, pangangge tengenan (lafal: /t̪əŋənan/), dan pangangge aksara.

Pangangge suara

Bila suatu aksara wianjana (konsonan) dibubuhi pangangge aksara suara (vokal), maka cara baca aksara tersebut akan berubah. Contoh: huruf Na dibubuhi ulu dibaca Ni; Ka dibubuhi suku dibaca Ku; Ca dibubuhi taling dibaca Cé. Untuk huruf Ha ada pengecualian. Kadangkala bunyi /h/ diucapkan, kadangkala tidak. Hal itu tergantung pada kata dan kalimat yang ditulis.

Warga aksara Aksara Bali Huruf Latin Alfabet Fonetis Internasional Letak penulisan Nama
Kanthya
(tenggorokan)
Suara hresua
(vokal pendek)
 
e; ě [ə] di atas huruf pepet
Suara dirgha
(vokal panjang)
 
ā [aː] di belakang huruf tedung
Talawya
(langit-langit lembut)
Suara hresua
(vokal pendek)
 
i [i] di atas huruf ulu
Suara dirgha
(vokal panjang)
 
ī [iː] di atas huruf ulu sari
Murdhanya
(langit-langit keras)
Suara hresua
(vokal pendek)
 
re; ṛ [rə] di bawah huruf guwung macelek
Suara dirgha
(vokal panjang)
 
[rəː] kombinasi di belakang dan bawah huruf guwung macelek matedung
Dantya
(gigi)
Suara hresua
(vokal pendek)
 
le; ḷ [lə] kombinasi di atas dan bawah huruf gantungan La mapepet
Suara dirgha
(vokal panjang)
 
[ləː] kombinasi di atas, bawah, dan belakang huruf gantungan La mapepet lan matedung
Osthya
(bibir)
Suara hresua
(vokal pendek)
 
u [u] di bawah huruf suku
Suara dirgha
(vokal panjang)
 
ū [uː] di bawah huruf suku ilut
Kanthya-talawya
(tenggorokan & langit-langit lembut)
Suara hresua
(vokal pendek)
 
e; é [e]; [ɛ] di depan huruf taling
Suara dirgha
(vokal panjang)
 
e; ai [e]; [aːi] di depan huruf taling detya
Kanthya-osthya
(tenggorokan & bibir)
Suara hresua
(vokal pendek)
 
o [o]; [ɔ] mengapit huruf taling tedung
Suara dirgha
(vokal panjang)
 
o; au [o]; [aːu] mengapit huruf taling detya matedung

Pangangge tengenan

Pangangge tengenan (kecuali adeg-adeg) merupakan aksara wianjana yang bunyi vokal /a/-nya tidak ada. Pangangge tengenan terdiri dari: bisah, cecek, surang, dan adeg-adeg. Jika dibandingkan dengan aksara Dewanagari, tanda bisah berfungsi sama seperti tanda wisarga; tanda cecek berfungsi seperti tanda anusuara; tanda adeg-adeg berfungsi seperti tanda wirama.

Simbol Alfabet Fonetis
Internasional
Letak penulisan Nama
 
[h] di belakang huruf bisah
 
[r] di atas huruf surang
 
[ŋ] di atas huruf cecek
 
- di belakang huruf adeg-adeg

Pangangge aksara

Pangangge aksara letaknya di bawah aksara wianjana. Pangangge aksara (kecuali La) merupakan gantungan aksara ardhasuara. Pangangge aksara terdiri dari:

Simbol Alfabet Fonetis
Internasional
Nama
 
[r] guwung/cakra
 
[w] suku kembung
 
[ia] nania

Gantungan

Karena adeg-adeg tidak boleh dipasang di tengah dan kalimat, maka agar aksara wianjana bisa "mati" (tanpa vokal) di tengah kalimat dipakailah gantungan. Gantungan membuat aksara wianjana yang dilekatinya tidak bisa lagi diucapkan dengan huruf "a", misalnya aksara Na dibaca /n/; huruf Ka dibaca /k/, dan sebagainya. Dengan demikian, tidak ada vokal /a/ pada aksara wianjana seperti semestinya. Setiap aksara wianjana memiliki gantungan tersendiri. Untuk "mematikan" suatu aksara dengan menggunakan gantungan, aksara yang hendak dimatikan harus dilekatkan dengan gantungan. Misalnya jika menulis kata "Nda", huruf Na harus dimatikan. Maka, huruf Na dilekatkan dengan gantungan Da. Karena huruf Na dilekati oleh gantungan Da, maka Na diucapkan /n/.

Gantungan dan pangangge diperbolehkan melekat pada satu huruf yang sama, tetapi bila dua gantungan melekat di bawah huruf yang sama, tidak diperbolehkan. Kondisi di mana ada dua gantungan yang melekat di bawah suatu huruf yang sama disebut tumpuk telu (tiga tumpukan). Untuk menghindari hal tersebut maka penggunaan adeg-adeg di tengah kata diperbolehkan.[7]


Gantungan dan Gempelan
Warga Pancawalimukha Ardhasuara
(Semivokal)
Ūṣma
(Frikatif)
Wisarga
(Glotal)
Bersuara Nirsuara Anunāsika
(Nasal)
Alpaprāṇa
Mahāprāṇa
Alpaprāṇa
Mahāprāṇa
Kaṇṭhya
 

Ka
 

Ka mahaprana
 

Ga
 

Ga gora
 

Nga
 

Ha
Tālawya
 

Ca murca
 

Ca laca
 

Ja
 

Ja jera
 

Nya
 

Ya
 

Sa saga
Mūrdhanya
 

Ta latik
 

Ta latik m.
 

Da madu a.
 

Da madu m.
 

Na rambat
 

Ra
 

Sa sapa
Dantya
 

Ta
 

Ta tawa
 

Da lindung
 

Da madu
 

Na kojong
 

La
 

Sa danti
Oṣṭhya
 

Ba
 

Ba kembang
 

Pa
 

Pa kapal
 

Ma
 

Wa

Pasang pageh

Dalam lontar, kakawin dan kitab-kitab dari zaman Jawa-Bali Kuno banyak ditemukan berbagai aksara wianjana khusus, beserta gantungannya yang istimewa. Penulisan aksara seperti itu disebut pasang pageh, karena cara penulisannya memang demikian, tidak dapat diubah lagi.[8] Aksara-aksara tersebut juga memiliki nama, misalnya Na rambat, Ta latik, Ga gora, Ba kembang, dan sebagainya. Hal itu disebabkan karena setiap aksara harus diucapkan dengan intonasi yang benar, sesuai dengan nama aksara tersebut. Namun kini ucapan-ucapan untuk setiap aksara tidak seperti dulu.[9] Aksara mahaprana (hembusan besar) diucapkan sama seperti aksara alpaprana (hembusan kecil). Aksara dirgha (suara panjang) diucapkan sama seperti aksara hrasua (suara pendek). Aksara usma (desis) diucapkan biasa saja. Meskipun cara pengucapan sudah tidak dihiraukan lagi dalam membaca, tetapi dalam penulisan, pasang pageh harus tetap diperhatikan.

Pasang pageh berguna untuk membedakan suatu homonim. Misalnya:

Aksara Bali Aksara Latin
(IAST)
Arti
 
asta adalah
 
astha tulang
 
aṣṭa delapan
 
pada tanah, bumi
 
pāda kaki
 
padha sama-sama

Aksara maduita

Aksara maduita khusus digunakan pada bahasa serapan. Umumnya orang Bali menyerap kata-kata dari bahasa Sanskerta dan Kawi untuk menambah kosakata. Contoh penggunaan aksara maduita:

Aksara Bali Aksara Latin
(IAST)
Arti
 
Buddha Yang telah sadar
 
Yuddha perang
 
Bhinna beda

Dengan melihat contoh di atas, ternyata ada huruf konsonan yang ditulis dua kali. Hal tersebut merupakan ciri-ciri aksara maduita.

Angka

Aksara Bali Aksara Latin Nama (dalam bhs. Bali) Aksara Bali Aksara Latin Nama (dalam bhs. Bali)
 
0 Bindu/Windu
 
5 Lima
 
1 Siki/Besik
 
6 Nem
 
2 Kalih/Dua
 
7 Pitu
 
3 Tiga/Telu
 
8 Kutus
 
4 Papat
 
9 Sanga/Sia

Menulis angka dengan menggunakan angka Bali sangat sederhana, sama seperti sistem dalam aksara Jawa dan Arab. Bila hendak menulis angka 10, cukup dengan menulis angka 1 dan 0 menurut angka Bali. Demikian pula jika menulis angka 25, cukup menulis angka 2 dan 5. Bila angka ditulis di tengah kalimat, untuk membedakan angka dengan huruf maka diwajibkan untuk menggunakan tanda carik, di awal dan di akhir angka yang ditulis.

Di bawah ini contoh penulisan tanggal dengan menggunakan angka Bali (tanggal: 1 Juli 1982; lokasi: Bali):


Aksara Bali Transliterasi dengan Huruf Latin
 
Bali, 1 Juli 1982.
Bali, 1 Juli 1982.


Pada contoh penulisan di atas, angka diapit oleh tanda carik untuk membedakannya dengan huruf.

Tanda baca dan aksara khusus

Ada beberapa aksara khusus dalam aksara Bali. Beberapa di antaranya merupakan tanda baca, dan yang lainnya merupakan simbol istimewa karena dianggap keramat. Beberapa di antaranya diuraikan sebagai berikut:

Simbol Nama Keterangan
 
Carik atau Carik Siki. Ditulis pada akhir kata di tengah kalimat. Fungsinya sama dengan koma dalam huruf Latin. Dipakai juga untuk mengapit aksara anceng.
 
Carik Kalih atau Carik Pareren. Ditulis pada akhir kalimat. Fungsinya sama dengan titik dalam huruf Latin.
 
Carik pamungkah. Dipakai pada akhir kata. Fungsinya sama dengan tanda titik dua pada huruf Latin.
  Pasalinan. Dipakai pada akhir penulisan karangan, surat dan sebagainya. Pada geguritan bermakna sebagai tanda pergantian tembang.
 
Panten atau Panti. Dipakai pada permulaan suatu karangan, surat dan sebagainya.
 
Pamada. Dipakai pada awal penulisan. Tujuannya sama dengan pengucapan awighnamastu, yaitu berharap supaya apa yang dikerjakan dapat berhasil tanpa rintangan.
 
Ongkara. Simbol suci umat Hindu. Simbol ini dibaca "Ong" atau "Om".

Unicode

Aksara Bali sudah masuk ke dalam standar Unicode versi 5.0 pada bulan Juli tahun 2006.

Blok

Blok Unicode aksara Bali terletak pada kode U+1B00–U+1B7F. Sel abu-abu menunjukkan titik kode yang belum terpakai.

Balinese[1][2]
Official Unicode Consortium code chart (PDF)
  0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A B C D E F
U+1B0x
U+1B1x
U+1B2x
U+1B3x ᬿ
U+1B4x
U+1B5x
U+1B6x
U+1B7x
Catatan
1.^Per Unicode versi 13.0
2.^Abu-abu berarti titik kode kosong

Fon Aksara Bali

Font Aksara Bali untuk komputer pertama kali dibuat adalah Bali Simbar. Font ini dibuat oleh I Made Suatjana dengan memanfaatkan alokasi dari kodifikasi ASCII untuk dikamuflasekan ke dalam bentuk karakter Aksara Bali.[10]. Namun, font ini memiliki kelemahan yaitu hanya terbatas dalam keperluan pengetikan menggunakan templat untuk Microsoft Word.

Sejak tahun 2006, Aksara Bali telah masuk ke dalam standar Unicode dan memiliki kodifikasi U+1B00–U+1B7F. Dengan adanya standar Unicode ini, karakter-karakter Aksara Bali bisa digunakan untuk berbagai keperluan yang lebih luas seperti penulisan halaman internet, surat elektronik, blog, dsb. Namun karena implementasi yang sangat rumit, penggunaan Unicode dari Aksara Bali masih terbatas dalam sistem operasi Linux dan keluarganya saja. Sistem operasi BlankOn Linux merupakan distribusi Linux pertama yang menyediakan font dan sistem input untuk Aksara Bali semenjak versi 6.0 (Ombilin).[11]

Galeri

Referensi

  1. ^ a b c d "Proposal Pengkodean Aksara Bali dalam UCS" (PDF). Diakses tanggal 2013-11-13. 
  2. ^ Ida Bagus Adi Sudewa (14 May 2003). "The Balinese Alphabet, v0.6". Yayasan Bali Galang. Diakses tanggal 9 November 2013. 
  3. ^ Surada, hal. 6-7.
  4. ^ Tinggen, p. 16
  5. ^ Tinggen, p. 23
  6. ^ "Unicode Table" (PDF). Diakses tanggal 2013-11-13. 
  7. ^ Tinggen, hal. 27.
  8. ^ Simpen, hal. 44.
  9. ^ Tinggen, hal. 7
  10. ^ Situs resmi font Bali Simbar, diakses tanggal 5 Maret 2011
  11. ^ Catatan rilis BlankOn 6.0, diakses tanggal 5 Maret 2011

Bacaan lanjutan

  • Tinggen, I Nengah. 1993. Pedoman Perubahan Ejaan Bahasa Bali dengan Huruf Latin dan Huruf Bali. Singaraja: UD. Rikha.
  • Surada, I Made. 2007. Kamus Sanskerta-Indonesia. Surabaya: Penerbit Paramitha.
  • Simpen, I Wayan. Pasang Aksara Bali. Diterbitkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Tingkat I Bali.

Pranala luar