Hamengkubuwana IX

Sultan Yogyakarta (1940–1988), Wakil Presiden Indonesia ke-2 (1973–1978), dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta ke-1 (1950–1988)

Sri Sultan Hamengkubuwana IX (bahasa Jawa: ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦨꦸꦮꦤ꧇꧙꧇; 12 April 1912 – 2 Oktober 1988,[a] lahir dengan nama Gusti Raden Mas Dorodjatun) adalah Sultan Yogyakarta kesembilan dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang pertama. Ia merupakan Wakil Presiden Indonesia kedua yang menjabat pada tahun 1973–1978. Hamengkubuwana IX juga merupakan Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka yang pertama dan dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia.

Ingkang Sinuwun Sri Sultan
Hamengkubuwana IX
ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦨꦸꦮꦤ꧇꧙꧇
Sri Sultan Hamengkubuwana IX
Sultan Yogyakarta ke-9
Bertakhta
1940–1988
Penobatan18 Maret 1940
Wakil Presiden Indonesia ke-2
Masa jabatan
23 Maret 1973 – 23 Maret 1978
PresidenSoeharto
Sebelum
Pengganti
Adam Malik
Sebelum
Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Indonesia ke-1
Masa jabatan
25 Juli 1966 – 29 Maret 1973
PresidenSoeharto
Sebelum
Pendahulu
Tidak ada, jabatan baru
Sebelum
Wakil Perdana Menteri Indonesia ke-5
Masa jabatan
6 September 1950 – 27 April 1951
PresidenSoekarno
Perdana MenteriMohammad Natsir
Sebelum
Pendahulu
Abdul Hakim
Pengganti
Suwiryo
Sebelum
Masa jabatan (ad interim)
18 Maret 1966 – 27 Maret 1966
Menjabat bersama Johannes Leimena, Adam Malik (a.i.), Idham Chalid, Roeslan Abdulgani
Perdana MenteriSoekarno
Sebelum
Pendahulu
Soebandrio
(Wakil Perdana Menteri I)
Pengganti
Petahana
Sebelum
Masa jabatan
31 Maret 1966 – 25 Juli 1966
Menjabat bersama Johannes Leimena, Adam Malik, Soeharto, Idham Chalid
Pengganti
Jabatan dihapuskan
Sebelum
Menteri Negara Indonesia
1948; 1949Menteri Negara
1948–1950
1952–1953
Menteri Pertahanan
1964–1966Menteri/Ketua Badan Pemeriksa Keuangan
1966Menteri Pariwisata
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta ke-1
Masa jabatan
4 Maret 1950 – 2 Oktober 1988
WakilPaku Alam VIII
Ketua Kwartir Nasional ke-1
Masa jabatan
14 Agustus 1961 – 27 November 1974
Sebelum
Pendahulu
Tidak ada, jabatan baru
Pengganti
M. Sarbini
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir
Gusti Raden Mas Dorodjatun

(1912-04-12)12 April 1912
Ngasem, Ngayogyakarta Hadiningrat
Meninggal2 Oktober 1988(1988-10-02) (umur 76)
Washington, D.C., Amerika Serikat
Pemakaman
Nama takhta
Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati-ing-Ngalaga 'Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga ing Ngayogyakarta Hadiningrat
WangsaMataram
AyahSultan Hamengkubuwana VIII
IbuKanjeng Raden Ayu Adipati Anom Hamengkunegara (Raden Ajeng Kustilah)
AgamaIslam
Tanda tangan
Karier militer
Dinas/cabang
TNI Angkatan Darat
Masa dinas1945–1953
Pangkat
Jenderal TNI (Tit.)[1]
Pertempuran/perang
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Kehidupan awal dan pendidikan

Masa kecil

Lahir di Ngasem, Sompilan, Yogyakarta dengan nama Gusti Raden Mas Dorodjatun, Hamengkubuwana IX merupakan anak kesembilan[2] Gusti Pangeran Puruboyo dari permaisurinya, Raden Ajeng Kustilah.[3] Pada tahun 1914, ketika Dorodjatun belum genap tiga tahun, Gusti Pangeran Puruboyo diangkat menjadi Putra Mahkota Yogyakarta.[b] Karena suaminya menjadi Putra Mahkota, Raden Ajeng Kustilah mendapat gelar Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom pada tahun 1915.[5] Meskipun demikian, KRA Adipati Anom tidak sempat menjadi Ratu Yogyakarta. Ia dipulangkan ke rumah ayahnya, KGPA Mangkubumi, sekitar tahun 1918–1919.[6] Monfries serta Roem dkk. menuliskan bahwa penyebab pemulangan ini adalah retaknya hubungan antara KRA Adipati Anom dengan mertuanya;[7] sementara Romo Tirun[c] mengatakan bahwa penyebabnya adalah KRA Adipati Anom merupakan keturunan Untung Suropati yang merupakan musuh Belanda, sehingga kejadian ini bermaksud untuk keamanan KRA Adipati Anom.[8]

Ketika berumur empat tahun, Dorodjatun mulai diperintah ayahnya untuk tinggal terpisah dari keraton.[4] Ketika diperintahkan untuk itu, Dorodjatun kecil menangis keras dan terus memeluk salah satu tiang di keraton sebelum dapat dipisahkan.[9] Dorodjatun tinggal bersama keluarga Mulder, orang Belanda yang menjabat sebagai Kepala Sekolah Neutrale Hollands Javaanse Jongens School dan tinggal di daerah Gondokusuman.[10] Ketika tinggal bersama keluarga Mulder, Dorodjatun diberi nama panggilan Henkie yang diambil dari nama Pangeran Hendrik dari Belanda.[11] Nama panggilan ini terus digunakan hingga ia bersekolah dan kuliah di Belanda, serta oleh teman-teman dekatnya tetap digunakan sampai masa tuanya sebagai Hamengkubuwana IX.[12]

Henkie mendapatkan pendidikan pertamanya di taman kanak-kanak Frobel School dan Eerste Europese Lagere School B untuk pendidikan dasarnya. Setahun kemudian ia pindah ke kediaman keluarga Cock dan bersekolah di Neutrale Europese Lagere School hingga lulus pada bulan Juli 1925.[13] Ayahnya diangkat menjadi Hamengkubuwana VIII ketika ia duduk di kelas III sekolah tersebut,[14] yaitu pada bulan Februari 1921.[15] Di sekolah tersebut, Dorodjatun bertemu dan berteman dengan Sultan Hamid II yang dijuluki Mozes saat itu.[16]

Dorodjatun mengenyam pendidikan menengahnya di Hogere Burgerschool (HBS) Semarang mulai bulan Juli 1925. Ia tinggal di keluarga Voskuil, keluarga seorang sipir penjara di Semarang. Karena iklim Semarang yang cukup panas, Dorodjatun merasa tidak cocok dan kemudian dipindahkan oleh ayahnya ke HBS Bandoeng pada tahun 1928. Di sana, ia bersama kakaknya, BRM Tinggarto, tinggal bersama dengan seorang tentara militer Belanda, Letnan Kolonel De Boer.[17]

Bersekolah di Belanda

Sebelum menyelesaikan pendidikan menengahnya di HBS Bandung, ayah Dorodjatun dan Tinggarto memerintahkan mereka untuk belajar ke Belanda. Mereka berangkat melalui jalur laut bulan Maret 1930 dengan ditemani oleh keluarga Hofland, keluarga seorang direktur pabrik gula di Gesikan.[18] Mereka berdua bersekolah di Gymnasium atau Lyceum Haarlem, Belanda yang merupakan gabungan dari dua lembaga berbeda, yaitu Hoogere Burgerschool B (HBS-B) dan Stedelijk Gymnasium.[19] Di Haarlem, mereka tinggal di kediaman kepala sekolahnya, Mourik Broekman.[20] Dorodjatun kerap dipanggil Sultan Henk ketika menuntut ilmu di sekolah tersebut.[21] Karena perbedaan kualitas pendidikan dengan Hindia Belanda, Dorodjatun harus turun dua kelas di Haarlem.[22] Dorodjatun bukanlah siswa yang istimewa maupun cemerlang di sana. Meskipun beberapa nilainya tergolong baik, Dorodjatun harus mengulang di beberapa mata pelajaran, terutama hingga dua kali di pelajaran geometri dan trigonometri.[23] Kakaknya, Tinggarto, juga mengalami hal yang sama di Haarlem.[24] Dorodjatun bersama Tinggarto berhasil lulus dari sekolah ini pada tahun 1934.[25]

Dorodjatun dan kakaknya kemudian pindah ke Leiden. Mereka masuk ke perguruan tinggi Rijksuniversiteit Leiden—Universitas Leiden saat ini. Dorodjatun mengambil studi Indologi, studi yang mempelajari administrasi kolonial, etnologi, dan kesusastraan di Hindia Belanda;[26] sementara Tinggarto memilih studi yang lebih populer, yakni di bidang hukum.[27] Belum sempat menyelesaikan tesis untuk gelar doktorandusnya, Dorodjatun bersama saudara-saudaranya yang di luar negeri dipanggil oleh keluarga di Jogja untuk kembali ke Hindia Belanda setelah terjadinya Penyerbuan Jerman ke Polandia tahun 1939.[28] Tesis yang hampir selesai itu dibawa kembali oleh Dorodjatun dalam kepulangannya ke Jawa dalam bentuk manuskrip dan belum pernah dikumpulkan. Naskah itu hilang dan hanya menyisakan judulnya saja, yaitu "Kontrak Politik antara Sunan Solo dan Pemerintah Belanda".[29][d] Hingga akhir hayatnya, Hamengkubuwana IX belum mendapatkan gelar apapun dari universitas karena belum sempat mengikuti wisuda kelulusannya.[31]

Menjadi Sultan Yogyakarta

Pulang ke Hindia Belanda

Setelah tiba di Batavia pada bulan Oktober 1939, GRM Dorodjatun dijemput oleh keluarganya di Pelabuhan Tanjung Priok.[32] Paman-paman yang menjemputnya bersikap hormat serta menggunakan krama inggil untuk menegurnya, bukan ngoko seperti biasanya.[33] Dorodjatun beserta rombongan penjemputnya kemudian pergi menuju Hotel des Indes, tempat ayah dan anggota keluarga lainnya menginap di Batavia.[34]

Ketika seorang penguasa swapraja sedang berada di Batavia, umumnya ada banyak agenda kegiatan yang harus dipenuhi. Salah satu acara yang dihadiri keluarga kerajaan bersama Dorodjatun di Batavia adalah undangan santapan malam di Istana Gubernur Jenderal Hindia Belanda.[35] Pada saat bersiap untuk menghadiri undangan tersebut, Dorodjatun disematkan keris Kyai Jaka Piturun oleh ayahnya. Keris ini umumnya diwariskan kepada putra penguasa yang dikehendaki menjadi putra mahkota. Oleh karena itu, penyematan ini menandakan bahwa Dorodjatun adalah pewaris takhta Kesultanan Yogyakarta.[36]

Setelah menghadiri agenda selama tiga hari di Batavia, keluarga kerajaan beserta Dorodjatun kembali ke Yogyakarta menggunakan Kereta api Eendaagsche Express. Dalam perjalanan, Hamengkubuwana VIII jatuh sakit hingga tak sadarkan diri. Sesampainya di Yogyakarta, Sultan segera dilarikan ke Rumah Sakit Onder de Bogen dan dirawat hingga akhir hayatnya pada 22 Oktober 1939.[37]

Kontrak politik

Sejak abad ke-18, para Penguasa Mataram diharuskan menandatangani kontrak politik baru dengan Pemerintah Kolonial Belanda sebelum naik takhta. Hal ini juga terjadi ketika Dorodjatun akan naik takhta.[38] Sebelum pejabat Belanda dapat melakukan negosiasi dengan calon Sultan baru, proses suksesi di internal keluarga kerajaan harus diselesaikan terlebih dahulu.[39] Dengan ini, Dorodjatun sebagai putra mahkota kemudian mengumpulkan para saudara dan pamannya untuk bermusyawarah siapa yang akan menjadi Sultan selanjutnya. Kesemua kerabatnya tidak keberatan jika Dorodjatun sebagai Sultan selanjutnya.[40] Banyak penulis dan sejarawan yang mengatakan bahwa secara de facto dari sini Dorodjatun sebenarnya sudah menjadi Sultan Yogyakarta ke-9, tepatnya sekitar tanggal 26 Oktober 1939, dua hari setelah pemakaman ayahnya.[41]

 
Hamengkubuwana IX (kedua dari kiri) dan Gubernur Lucien Adam (depan kanan) dalam peresmian suatu rumah sakit di Yogyakarta.

Untuk membuat kontrak baru, Dorodjatun harus bernegosiasi dengan Gubernur Yogyakarta Lucien Adam sebagai perwakilan Pemerintah Hindia Belanda. Lucien Adam merupakan seorang pejabat senior Hindia Belanda dan seorang Javanicus (ahli adat istiadat Jawa).[42] Monfries mencatat bahwa Gubernur Adam ingin segera membentuk hubungan yang baik dengan Dorodjatun dalam laporan-laporannya kepada pemerintah pusat di Batavia.[43] Mereka berdua pun memiliki satu kesamaan, yaitu pernah mengambil studi di Universitas Leiden, meskipun terpaut umur yang cukup jauh.[44] Adam yang umurnya sudah mendekati 50 tahun merasa harus menjadi seperti figur ayah yang bertanggung jawab bagi Dorodjatun. Keduanya sebenarnya termasuk cukup akrab dan bahkan sering saling meminjam buku bacaan satu sama lain.[43]

Hampir setiap hari Dorodjatun harus berunding dengan Gubernur Lucien Adam sejak awal November 1939 mengenai kontrak politiknya. Perjanjian ini digunakan untuk memperbarui kontrak politik yang ditandatangani pada masa Hamengkubuwana VIII berkuasa dan memiliki isi yang lebih detail.[45] Terdapat dua versi dari proses perundingan ini, yakni dari penuturan Sultan Hamengkubuwana IX yang banyak dikutip penulis biografi dari Indonesia; versi lainnya adalah versi laporan-laporan Gubernur Adam ke Batavia yang banyak dikutip penulis biografi Barat, salah satunya Monfries.[46]

Dituliskan dalam buku Takhta untuk Rakyat, yang membuat perundingan berlangsung alot yaitu topik mengenai jabatan Patih Danurejo yang selain bertanggung jawab kepada Sultan juga menjadi pegawai Belanda, adanya dewan penasihat dari Pemerintah Hindia Belanda, serta prajurit keraton yang diminta agar berada di bawah KNIL.[47] Monfries yang mengutip laporan-laporan Gubernur Adam menuliskan bahwa Gubernur mengalami kesulitan dalam perundingan di bidang anggaran sipil, polisi, hutan, dan jangkauan otoritas hukum Sultan atas rakyat-rakyatnya.[48] Monfries berpendapat bahwa sangat sulit menemukan penjelasan dari bukti-bukti yang ada atas perbedaan yang sangat besar dari versi Hamengkubuwana dengan laporan-laporan Gubernur Adam, bahkan hingga saat ini.[49]

Di lain hal, Gubernur Adam dalam laporannya kepada pemerintah pusat di Batavia mengatakan bahwa Dorodjatun memiliki perilaku yang baik.[50] Ia juga menambahkan bahwa Dorodjatun telah mengubah sistem pembelian di kraton dengan cepat.[50] Rencana kebijakan lain yang disorot oleh Adam adalah reformasi besar-besaran di keraton oleh Dorodjatun, yaitu dalam hal tingkat kekuasaan kepada rakyatnya, pembagian antara kekayaan keraton dan kesultanan yang lebih jelas, dan pengaturan pembayaran kepada anggota keluarganya.[50] Selain itu, Dorodjatun ingin mengurangi jumlah pegawai negeri dan menaikkan gaji mereka, juga mengubah peran tentara dengan menambahkan tugas jaga kepada mereka.[50]

Setelah empat bulan berunding dengan alot, Dorodjatun tiba-tiba menyetujui kontrak politik tersebut secara langsung tanpa adanya penolakan atas isi-isinya sebagaimana yang telah disampaikan dalam perundingan-perundingan tersebut. Ia melakukannya setelah mendapatkan wisik (bisikan) dari almarhum ayahnya yang mendatanginya dalam mimpi.[51]

Wis, Tholé, tekena waé. Landa bakal lunga saka bumi kéné.
(Sudahlah, Nak, tanda tangani saja. Belanda akan pergi dari bumi sini.)

— [52]

Kegiatan perundingan selesai lebih cepat daripada laporan Gubernur Adam tanggal 18 Februari 1940 yang menyatakan bahwa perundingan mungkin selesai pada bulan April sebelum Grebeg diadakan. Dengan demikian, prosesi upacara penobatan dilaksanakan sebulan lebih cepat daripada pelaksanaan Grebeg.[53] Kontrak politik yang terdiri atas 17 bab dan 59 pasal tersebut kemudian ditandatangani oleh kedua pihak pada tanggal 12 Maret 1940 meskipun dalam surat tertanggal 18 Maret 1940.[54]

Penobatan

 
Gubernur Lucien Adam dan Hamengkubuwana IX di Siti Hinggil, Keraton Yogyakarta dalam prosesi penobatan Hamengkubuwana IX.

GRM Dorodjatun dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengkubuwana IX pada tanggal 18 Maret 1940,[e] sesuai dengan tanggal berlakunya kontrak politik dengan Pemerintah Hindia Belanda. Gubernur Lucien Adam menobatkan GRM Dorodjatun untuk dua gelar sekaligus. Gelar pertama adalah gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibya Raja Putra Narendra Mataram, gelarnya sebagai Putra Mahkota. Setelahnya, dinobatkanlah Sri Sultan Hamengkubuwana IX dengan gelar Sampéyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengkubuwana Sénapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga.[56]

Upacara ini dihadiri oleh Sri Paku Alam, KGPAA Mangkunegara, serta dua pangeran dari Solo. Beberapa pejabat senior Belanda juga hadir seperti H.J. van Mook, Gubernur Semarang, dan Gubernur Solo.[57] Dalam acara ini, Hamengkubuwana IX menyampaikan pidato yang bernada progresif dan teguh pendirian serta menegaskan identitasnya sebagai orang Jawa.[58]

Karier dan masa pemerintahan

Perang Dunia II

Di bawah pendudukan Belanda

Bulan Mei 1940, Panglima Angkatan Laut Kerajaan Belanda akan menghadiri perayaan naik takhta Hamengkubuwana IX di Yogyakarta yang dilaksanakan pada tanggal 8 Mei 1940. Belum sempat sampai di Yogyakarta, Panglima dipanggil kembali ke Belanda. Dua hari setelah perayaan dilangsungkan, Jerman menduduki Belanda.[59] Pemerintah Hindia Belanda berusaha untuk mengumpulkan dana perang; Gubernur Adam di Yogyakarta mengadakan Komite Dukungan dengan sumbangan sebesar 2.000 gulden dari Hamengkubuwana IX, 3.000 gulden dari Kesultanan, dan 1.500 gulden dari Pakualaman. Meskipun demikian, otoritas Belanda agak kecewa kepada Hamengkubuwana karena hanya sedikit berbicara untuk hal ini, berbeda dengan Paku Alam yang menyatakan dukungannya kepada Gubernur Adam.[60]

Pada bulan April–Mei 1941, Menteri Koloni Charles Walter sempat berkunjung ke Hindia Belanda namun tidak mengunjungi Vorstenlanden meskipun telah didesak oleh pers lokal.[60] Tanggal 6 Desember 1941, Gubernur Jenderal Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer menyatakan perang terhadap Jepang setelah Pengeboman Pearl Harbor.[61] Gubernur Adam dalam pertemuannya dengan Gubernur Jenderal di Batavia menyusun rencana apabila Jepang menyerang Hindia Belanda. Monfries mencatat bahwa empat penguasa Vorstenlanden rencananya akan dibawa oleh Belanda untuk mengungsi ke Jakarta atau Bandung;[f] sementara Sultan mengatakan bahwa keempat penguasa akan dibawa oleh Belanda untuk mengungsi ke Australia.[64] Hamengkubuwana menolak ajakan tersebut dan menyatakan akan tetap berada di Yogyakarta.[65] Dalam beberapa catatan dan wawancara, ia juga mengatakan bahwa Belanda memiliki rencana untuk menculiknya dan menjadikannya tawanan, tetapi pergerakan tentara Jepang yang sangat cepat menyebabkan rencana ini gagal.[66]

Apa pun yang akan terjadi, saya tak akan meninggalkan Yogya. Justru bila bahaya memuncak, saya wajib berada di tempat demi keselamatan Keraton dan rakyat.

— [67]

Di bawah pendudukan Jepang

Tanggal 5 Maret 1942, Yogyakarta diduduki oleh Jepang.[68] Tentara Jepang yang datang kemudian menyerahkan kekuasaan di Yogyakarta kepada Gubernur Adam untuk sementara.[69] Gubernur Adam dan Sultan Hamengkubuwana selalu aktif memberikan pesan publik agar tidak terjadi kepanikan di masyarakat.[70] Setelah keadaan Yogyakarta lebih tenang, Sultan dan Patih mengunjungi beberapa daerah kekuasaannya. Sultan menyimpulkan bahwa rakyat tetap tenang dan tidak terlalu terganggu dengan keadaan perang.[71] Hamengkubuwana yang mudah mengadaptasikan pemerintahannya dengan tentara Jepang, ditambah Gubernur Adam dan Patih Danurejo yang sangat aktif dalam mengumumkan dan mengimplementasikan sebagian besar isi dekret pemerintahan militer Jepang, membuat atmosfer pendudukan di Yogyakarta terasa lebih damai.[72] Terlepas dari itu, Lucien Adam diturunkan jabatannya menjadi residen pada akhir bulan Maret dan diasingkan secara tiba-tiba pada tanggal 21 April oleh tentara Jepang.[73]

Sultan Hamengkubuwana IX diberi otonomi untuk menjalankan pemerintahan di daerahnya di bawah Pemerintah Kolonial Jepang. Jabatan Pepatih Dalem yang sebelumnya harus bertanggung jawab kepada Sultan dan Pemerintah Kolonial Belanda kini hanya bertanggung jawab kepada Sultan saja.[74] Pada tanggal 1 Agustus 1942, Panglima Besar Tentara Pendudukan Jepang di Jakarta menjadikan Yogyakarta sebuah Kooti atau Kochi,[75] sementara Hamengkubuwana IX menjadi Koo (penguasa) wilayah tersebut.[76] Jepang menganggap Sunan Pakubuwana sebagai primus inter pares di antara keempat penguasa Vorstenlanden, sehingga ketika ada undangan pertemuan dengan petinggi tentara Jepang maka Sunan sering mewakili keempat penguasa tersebut. Jika Sunan dan Sultan bersama-sama hadir, Sunan mewakili Surakarta dan Mangkunegaran, sementara Sultan mewakili Yogyakarta dan Pakualaman. Bulan September 1944, Pakubuwana XI jatuh sakit, Hamengkubuwana IX menggantikannya menjadi perwakilan di antara para penguasa Vorstenlanden. Peran ini kemudian diambil kembali oleh Pakubuwana XII ketika naik takhta menggantikan ayahnya yang mangkat.[77]

Di tengah banyaknya pengambilan penduduk menjadi romusa, banyak catatan mengatakan bahwa Sultan mampu mencegahnya dengan memanipulasi data statistik produktivitas pertanian dan peternakan.[78] Sultan mengajukan pembangunan sebuah kanal irigasi yang menghubungkan Kali Progo dan Kali Opak agar pengairan sawah dapat dilakukan sepanjang tahun yang sebelumnya masih bersistem tadah hujan. Usulan ini diterima oleh pihak Jepang.[79] Monfries mencatat bahwa pemerintah kolonial hingga membantu pendanaan pembangunannya sebanyak 1 juta gulden.[80] Pembangunan saluran irigasi ini kemudian dijadikan alasan agar tidak banyak romusa yang diambil dari Yogyakarta sehingga masyarakat lebih difokuskan di sini.[81] Saluran irigasi ini kemudian dinamakan Selokan Mataram dan dalam bahasa Jepang dinamakan Gunsei Hasuiro atau Gunsei Yosuiro (Kanal Yosuiro).[82] Pembangunan ini dinilai berhasil yang ditandai dengan meningkatnya produktivitas pertanian sehingga sumbangan bahan pangan kepada tentara Jepang juga meningkat.[83] Meskipun telah berhasil mengurangi jumlah romusa yang diambil kolonial, Romo Tirun mengungkapkan bahwa tetap ada penduduk yang diambil menjadi romusa, tetapi jika dibandingkan dengan daerah lain maka jumlah di Yogyakarta lebih sedikit.[84] Klaim ini dibantah oleh Monfries yang menuliskan bahwa walaupun memang jumlahnya lebih kecil daripada keseluruhan Jawa, laporan tahun 1944 mengatakan bahwa jumlah romusa yang dikirim malah melebihi jumlah yang diminta Jepang.[85]

Di masa pendudukan Jepang ini, Hamengkubuwana IX melakukan beberapa reformasi di Kesultanan. Akhir bulan Juli 1942, Sultan mengganti nama-nama institusi pemerintahan daerah yang sebelumnya berbahasa Belanda menjadi bahasa Jawa.[86] Pada tahun 1944, Sultan membuat layanan publik dapat diakses dari kelas dan kelompok masyarakat manapun sehingga banyak pegawai negeri yang diterima dari kalangan biasa, membentuk komite daerah untuk membantu para panewu (camat), juga mengeluarkan instruksi agar pelatihan pegawai negeri dilakukan lebih intensif.[87] Selain itu ia menghapus distrik dan menjadikan kapanewon (kecamatan) sebagai institusi administratif terbawah, juga menghapus pengadilan khusus bagi bangsawan. Selo Soemardjan mencatat bahwa sebagian besar reformasi-reformasi itu adalah uji coba, sehingga tidak semuanya berjalan dengan sukses.[88]

Akhir tahun 1944, kesehatan Patih Danurejo yang merupakan sepupu ayah Sultan mulai menurun. Pada tanggal 17 Juli 1945, Patih Danurejo mengundurkan diri dengan alasan umur yang sudah lanjut dan telah mengabdi selama 12 tahun di jabatan tersebut. Hamengkubuwana IX mengambil alih tugas-tugasnya sejak 1 Agustus 1945 dan berkantor di Kepatihan, tempat para patih bekerja. Meskipun dalam dekret pembentukan Kooti dijelaskan bahwa Pemerintahan Tentara Jepang harus menunjuk seorang Somutyokan (Patih), pemerintah saat itu tidak mempermasalahkan kejadian ini. Sejak saat itu, jabatan Patih Danurejo dihapuskan dan bisa dibilang Kesultanan Yogyakarta bersistem monarki absolut karena Sultan sendiri yang menjalankan pemerintahan di dalamnya.[88]

Bergabung dengan Indonesia

Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Hamengkubuwana IX dan Sri Paku Alam VIII mengirimkan telegram ucapan selamat kepada Soekarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat atas kemerdekaan Indonesia.[89] Pada tanggal 20 Agustus 1945,[g] dikirimkan lagi telegram oleh Hamengkubuwana IX sebagai Ketua Badan Kebaktian Rakyat (Hokokai) Yogyakarta[91] dan menegaskan bahwa Yogyakarta "sanggup berdiri di belakang pimpinan" yang juga diikuti oleh Sri Paku Alam VIII.[92] Peristiwa ini menjadikan Yogyakarta sebagai kerajaan di Indonesia pertama yang bergabung dengan Republik Indonesia.[93] 5 September 1945, Sultan mengeluarkan amanat posisi Yogyakarta sebagai daerah istimewa dengan Sultan sebagai pemimpinnya yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Paku Alam VIII menyatakan amanat juga setelahnya atas Kadipaten Pakualaman dan menjadi wakil pemimpin Yogyakarta.[94] Amanat ini diterima dengan baik oleh pemerintah pusat yang ditandai dengan tibanya Mr. Sartono dan Mr. A.A. Maramis di Yogyakarta sebagai perwakilan pemerintah pusat untuk menyerahkan piagam penetapan kedudukan Yogyakarta. Piagam ini ditandatangani Soekarno pada tanggal 19 Agustus 1945, sehari setelah telegram dari Yogyakarta tiba dan menandakan bahwa Yogyakarta telah menjadi bagian Indonesia.[95]

Revolusi Nasional Indonesia

 
Sultan Hamengkubuwana IX dalam masa Revolusi Nasional Indonesia sekitar akhir 1940-an.

Awal masa Revolusi Nasional

Dengan banyaknya laskar pemuda setelah kemerdekaan, termasuk di Yogyakarta, Hamengkubuwana meminta para pemuda melapor kepadanya di kantornya (Kepatihan) agar lebih mudah mengorganisasikan mereka.[96] Ia kemudian membentuk Laskar Rakyat Mataram, yang kemudian dikenal dengan sebutan Tentara Rakyat Mataram, dari laskar-laskar ini.[96] Sri Sultan menjadi panglimanya sementara Selo Soemardjan menjadi kepala stafnya.[97] Setelahnya, Hamengkubuwana diterima menjadi perwira kehormatan senior dari Tentara Keamanan Rakyat, menjadi anggota dewan tertinggi tentara bersama tiga penguasa Catur Sagotra yang lain, serta menerima pangkat jenderal kehormatan bulan November 1945.[96]

Bulan November 1945, pada saat Pertempuran Surabaya terjadi, Sri Sultan melawat ke Surabaya. Ia bertemu dengan Gubernur Soerjo di Mojokerto sebelum tiba di pinggiran Kota Surabaya. Sultan mengatakan kepada wartawan bahwa pertempuran ini menunjukkan kekejaman Inggris serta kebijakan diplomasi bukanlah hal yang tepat. Terdapat cerita terkenal dari kunjungan ini, yaitu ketika Sultan mencapai daerah sekitar Madiun, ia dicegat sekelompok pemuda bersenjata yang menanyakan, "Mana Dorodjatun?" Sultan menjawab, "Saya Suyono," dan lolos.[98]

Yogyakarta sebagai ibu kota

3 Januari 1946, sidang kabinet memutuskan ibu kota dipindah dari Jakarta ke Yogyakarta.[99] Pemindahan ini pada awalnya merupakan tawaran Sri Sultan dalam sebuah surat yang dikirimkan melalui kurir ke Jakarta.[100] Sore tanggal 4 Januari 1946, Soekarno, Mohammad Hatta, dan para pejabat negara kala itu berangkat dengan perjalanan kereta luar biasa ke Yogya.[101] Kedatangan mereka di Stasiun Tugu disambut oleh Sultan Hamengkubuwana sendiri.[102]

Untuk kebutuhan pemerintahan RI, banyak gedung di Yogyakarta dijadikan kantor-kantor pemerintah. Salah satunya adalah Gedung Agung menjadi kantor presiden yang hingga saat ini masih menjadi Istana Presiden Indonesia.[103] Selain itu, operasional pemerintahan juga membutuhkan dana yang tidak sedikit. Selama Yogyakarta menjadi ibu kota, Sultan Hamengkubuwana yang membantu pendanaan operasional ini.[104]

Dukungan kepada Pemerintah RI

Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, keadaan perekonomian sangat buruk. Kas negara kosong, pertanian dan industri rusak berat akibat perang. Blokade ekonomi yang dilakukan Belanda membuat perdagangan dengan luar negeri terhambat. Kekeringan dan kelangkaan bahan pangan terjadi di mana-mana, termasuk di Yogyakarta. Oleh karena itu, untuk menjamin agar roda pemerintahan RI tetap berjalan, Sultan Hamengkubuwana IX menyumbangkan kekayaannya sekitar 6.000.000 Gulden, baik untuk membiayai pemerintahan, kebutuhan hidup para pemimpin dan para pegawai pemerintah lainnya. Setelah Perundingan Renville, pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melakukan Agresi Militer yang ke-2. Sasaran penyerbuan adalah Ibu kota Yogyakarta. Selanjutnya pada tanggal 22 Desember 1948 Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Sutan Syahrir dan para pembesar lainnya di tangkap Belanda dan diasingkan ke Pulau Bangka. Sementara itu, Sultan Hamengkubuwana IX tidak ditangkap karena kedudukannya yang istimewa, dikhawatirkan akan mempersulit keberadaan Belanda di Yogyakarta. Selain itu, waktu itu Belanda sudah mengakui Yogyakarta sebagai kerajaan dan menghormati kearifan setempat. Akan tetapi, Sultan menolak ajakan Belanda untuk bekerja sama dengan Belanda. Untuk itu, Sultan Hamengkubuwana IX menulis surat terbuka yang disebarluaskan ke seluruh daerah Yogyakarta. Dalam surat itu dikatakan bahwa Sultan "meletakkan jabatan" sebagai Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengunduran diri Sultan kemudian diikuti oleh Sri Paku Alam. Hal ini bertujuan agar masalah keamanan di wilayah Yogyakarta menjadi beban tentara Belanda. Selain itu dengan demikian, Sultan tidak akan dapat diperalat untuk membantu musuh. Sementara itu, secara diam-diam Sultan membantu para pejuang RI, dengan memberikan bantuan logistik kepada para pejuang, pejabat pemerintah RI dan orang-orang Republiken. Bahkan di lingkungan keraton, Sultan memberikan tempat perlindungan bagi kesatuan-kesatuan TNI. Pada Februari 1949, dengan bantuan kurir, Sultan menghubungi Panglima Besar Sudirman untuk meminta persetujuannya melaksanakan serangan umum terhadap Belanda. Setelah mendapat persetujuan Panglima Sudirman, Sultan langsung menghubungi Letkol Soeharto untuk memimpin serangan umum melawan Belanda di Yogyakarta. Serangan ini berhasil menguasai Yogyakarta selama sekitar enam jam. Kemenangan ini penting untuk menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia masih terus berjuang untuk mempertahankan kemerdekaannya. Sesuai dengan hasil Perundingan Roem-Royen, maka pasukan Belanda harus ditarik dari daerah Yogyakarta. Pihak Belanda minta jaminan keamanan selama penarikan itu berlangsung. Untuk itu, Presiden Sukarno mengangkat Sri Sultan sebagai penanggung jawab keamanan dan tugas itu dilaksanakannya dengan baik. Pada tanggal 27 Desember 1949 ketika di Belanda berlangsung penyerahan kedaulatan, maka di Istana Rijkswik (Istana Merdeka) Jakarta, juga terjadi penyerahan kedaulatan dari Wakil Tinggi Mahkota Belanda kepada Pemerintah RIS. Sri Sultan Hamengkubuwana IX kembali mendapatkan kepercayaan untuk menerima penyerahan kedaulatan itu sebagai wakil dari pemerintahan RIS.

Serangan Umum 1 Maret 1949

 
Sri Sultan Hamengkubuwana IX saat sumpah jabatan sebagai Wakil Presiden RI pada 24 Maret 1973 di Gedung DPR/MPR RI.

Peranan Sultan Hamengkubuwana IX dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 oleh TNI masih tidak sinkron dengan versi Soeharto. Menurut Sultan, ialah yang melihat semangat juang rakyat melemah dan menganjurkan serangan umum. Sedangkan menurut Suharto, ia baru bertemu Sultan malah setelah penyerahan kedaulatan. Sultan menggunakan dana pribadinya (dari istana Yogyakarta) untuk membayar gaji pegawai republik yang tidak mendapat gaji semenjak Agresi Militer ke-2.

 
Mata uang Indonesia yang bergambar Hamengkubuwana IX.

Sejak 1946 ia pernah beberapa kali menjabat menteri pada kabinet yang dipimpin Presiden Sukarno. Jabatan resminya pada tahun 1966 adalah ialah Menteri Utama di bidang Ekuin. Pada tahun 1973 ia diangkat sebagai wakil presiden. Pada akhir masa jabatannya pada tahun 1978, ia menolak untuk dipilih kembali sebagai wakil presiden dengan alasan kesehatan. Namun, ada rumor yang mengatakan bahwa alasan sebenarnya ia mundur adalah karena tak menyukai Presiden Soeharto yang represif seperti pada Peristiwa Malari dan hanyut pada KKN.

Ia ikut menghadiri perayaan 50 tahun kekuasaan Ratu Wilhelmina di Amsterdam, Belanda pada tahun 1938.

Kepramukaan

Berkas:Kwarnas I.jpg
Potret sebagai Bapak Pramuka

Sejak usia muda Hamengkubuwana IX telah aktif dalam organisasi pendidikan kepanduan. Menjelang tahun 1960-an, Hamengkubuwana IX telah menjadi Pandu Agung (Pemimpin Kepanduan). Pada tahun 1961, ketika berbagai organisasi kepanduan di Indonesia berusaha disatukan dalam satu wadah, Sri Sultan Hamengkubuwana IX memiliki peran penting di dalamnya. Presiden RI saat itu, Sukarno, berulang kali berkonsultasi dengan Sri Sultan tentang penyatuan organisasi kepanduan, pendirian Gerakan Pramuka, dan pengembangannya.

Pada tanggal 9 Maret 1961, Presiden Sukarno membentuk Panitia Pembentukan Gerakan Pramuka. Panitia ini beranggotakan Sri Sultan Hamengkubuwana IX, Prof. Prijono (Menteri P dan K), Dr.A. Azis Saleh (Menteri Pertanian), dan Achmadi (Menteri Transmigrasi, Koperasi dan Pembangunan Masyarakat Desa). Panitia inilah yang kemudian mengolah Anggaran Dasar Gerakan Pramuka dan terbitnya Keputusan Presiden RI Nomor 238 Tahun 1961, tanggal 20 Mei 1961.

Pada tanggal 14 Agustus 1961, yang kemudian dikenal sebagai Hari Pramuka, selain dilakukan penganugerahan Panji Kepramukaan dan defile, juga dilakukan pelantikan Mapinas (Majelis Pimpinan Nasional), Kwarnas dan Kwarnari Gerakan Pramuka. Sri Sultan Hamengkubuwana IX menjabat sebagai Ketua Kwarnas sekaligus Wakil Ketua I Mapinas (Ketua Mapinas adalah Presiden RI).

Sri Sultan bahkan menjabat sebagai Ketua Kwarnas (Kwartir Nasional) Gerakan Pramuka hingga empat periode berturut-turut, yakni pada masa bakti 1961-1963, 1963-1967, 1967-1970 dan 1970-1974. Sehingga selain menjadi Ketua Kwarnas yang pertama kali, Hamengkubuwana IX pun menjadi Ketua Kwarnas terlama kedua, yang menjabat selama 13 tahun (4 periode) setelah Letjen. Mashudi yang menjabat sebagai Ketua Kwarnas selama 15 tahun (3 periode).

Keberhasilan Sri Sultan Hamengkubuwana IX dalam membangun Gerakan Pramuka dalam masa peralihan dari “kepanduan” ke “kepramukaan”, mendapat pujian bukan saja dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri. Dia bahkan akhirnya mendapatkan Bronze Wolf Award dari World Organization of the Scout Movement (WOSM) pada tahun 1973. Bronze Wolf Award merupakan penghargaan tertinggi dan satu-satunya dari World Organization of the Scout Movement (WOSM) kepada orang-orang yang berjasa besar dalam pengembangan kepramukaan.

Atas jasa tersebutlah, Musyawarah Nasional (Munas) Gerakan Pramuka pada tahun 1988 yang berlangsung di Dili (Ibu kota Provinsi Timor Timur, sekarang negara Timor Leste), mengukuhkan Sri Sultan Hamengkubuwana IX sebagai Bapak Pramuka Indonesia. Pengangkatan ini tertuang dalam Surat Keputusan nomor 10/MUNAS/88 tentang Bapak Pramuka.

Pelarangan hak milik tanah atas kaum Tionghoa

Pada 1948, saat Revolusi Nasional Indonesia, Hamengkubuwana IX mencabut hak milik etnis Tionghoa karena dianggap memihak Belanda.[105]

Karier seni dan kebudayaan

Meskipun sibuk di bidang pemerintahan, Hamengkubuwana IX juga peduli akan seni dan budaya di Yogyakarta.[2] Ia mewariskan Tari Golek Menak yang terinspirasi dari cerita wayang golek dan Serat Menak yang bersumber kepada Hikayat Amir Hamzah.[106] Ia juga mewariskan Tari Bedhaya Sapta[h] yang dimainkan oleh tujuh orang tidak seperti pada umumnya yang dimainkan sembilan orang.[107] Selain itu, ada pula Bedhaya Sangaskara[i] atau Bedhaya Manten yang dimainkan enam orang pada saat pernikahan putra putrinya.[108] Tari Bedhaya Arya Penangsang dan Bedhaya Damarwulan juga diciptakan olehnya.[109]

Selain menekuni bidang tari, Sultan juga menekuni bidang fotografi.[110] Ada dua kamera yang senantiasa dipakainya yang kini disimpan di Museum Hamengkubuwana IX, Keraton Yogyakarta. Beberapa hasil potret Hamengkubuwana IX adalah ketika Mohammad Hatta bersalaman dengan pemain sepak bola asal Mozambik, pada tahun 1955. Di tahun yang sama, Ia juga sempat memotret atlet kejuaraan atletik Ikada (Ikatan Atletik Djakarta) di Stadion Ikada, Jakarta. Pada tahun 1972, Sultan juga sempat mengabadikan Candi Borobudur sebelum dipugar.[111][112]

Kematian

Minggu malam 2 Oktober 1988, Sri Sultan Hamengkubuwana IX meninggal dunia di George Washington University Medical Center, Amerika Serikat karena serangan jantung dan dimakamkan di pemakaman para sultan Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, Indonesia.

Kehidupan pribadi

 
Sri Sultan Hamengkubuwana IX bersama istri kelimanya, Kanjeng Raden Ayu Norma Nindya Kirana

Silsilah

  • Anak kesembilan dari Sultan Hamengkubuwana VIII dan permaisuri Raden Ajeng Kustilah/Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom Hamengkunegara/Kanjeng Ratu Alit.
Istri Anak Mantu
BRA Pintakapurnama/KRA Pintakapurnama, putri R.B. Suryokusumo, buyut HB VI (1940) BRM Murtyanta/GBPH Adi Kusuma/GBPH Hadikusuma Dr. Sri Hardani
BRM Kaswara/GBPH Hadisurya Andinidevi
BRA Gusti Sri Murhanjati/GKR Anom Kolonel Budi Permana/KPH Adibrata
BRA Sri Murdiyatun/GBRAy Murdakusuma KRT Murdakusuma
BRA Dra. Sri Murywati/GBRAy Dra. Darmakusuma KRT Ir Suyono Darmakusuma
RA Siti Kustina/BRA Windyaningrum/KRA Widyaningrum/RAy Adipati Anom, putri Raden Wedana Purwowinoto, buyut HB III (1943) BRM Herjuna Darpita/KGPH Mangkubumi, SH/KGPAA Mangkubumi/Sri Sultan Hamengkubuwana X Tatiek Drajad Suprihastuti/BRA Mangkubumi/GKR Hemas
BRM Sumyandana/GBPH Joyokusumo Hj. Nuraida
BRM Ibnu Prastawa/KGPH Hadiwinoto Aryuni Utari
BRA Dr Sri Kuswarjanti/GBRAy Dr. Riyakusuma KRT Riyakusuma
KRA Hastungkara/BRA Kusyadinah, putri Raden Panji Trusthajumena, buyut HB VII (1948) BRM Harumanta/GBPH Prabukusuma, S.Psi Kuswarini
BRM Kuslardiyanta Jeng Yeni
BRM Sulaksmana/GBPH Yudhaningrat, MM. Raden Roro Endang Hermaningrum
BRM Abirama/GBPH Candradiningrat Hery Iswanti
BRA Kushandanari
BRA Sri Kusulodewi/ GBRAy Padmokusumo KRT Padmokusumo Sastronegoro
KRA Ciptamurti, putri KPH/BRA Brongtodiningrat, cucu HB VII BRM Anindita/GBPH Pakuningrat Nurita Afridiana
BRM Prasasta/GBPH Cakraningrat Lakhsmi Indra Suharjana
BRM Arianta/GBPH Suryodiningrat Farida Indah
BRM Sarsana/GBPH Suryomataram
BRM Harkomoyo/GBPH Hadinegoro Iceu Cahyani
BRM Swatindra/GBPH Suryonegoro Rr. Endang Retno Werid Soelasmi Lim
Norma Musa/KRA Norma Nindya Kirana, putri Handaru Widharna
(1977)

Jabatan

Penghargaan

Pahlawan nasional

Atas jasa-jasanya kepada Republik Indonesia, Sri Sultan Hamengkubuwana IX dianugerahi gelar pahlawan nasional pada tahun 1990 berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 53/TK/Tahun 1990.[2]

Tanda kehormatan Indonesia

Tanda kehormatan luar negeri

Galeri

Lihat pula

Catatan kaki

  1. ^ Sultan wafat tanggal 2 Oktober pukul 20:05 waktu Washington, DC atau tanggal 3 Oktober pukul 07:05 Waktu Indonesia Barat.
  2. ^ Bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibya Raja Putra Narendra ing Mataram.[4]
  3. ^ Panggilan KRT H. Jatiningrat, cucu Hamengkubuwana VIII juga sepupu Hamengkubuwana X.
  4. ^ Dalam buku Takhta untuk Rakyat, dituliskan bahwa naskahnya ikut terbawa oleh tentara Belanda pada saat Kompleks Kepatihan diserbu mereka semasa Revolusi Nasional.[30]
  5. ^ Bertepatan dengan 8 Sapar tahun Dal 1871 Jawa.[55]
  6. ^ Saat itu, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan Bandung menjadi tempat pertahanan terakhir mereka.[62] Selain itu, Surabaya juga akan dipertahankan karena pangkalan utama Angkatan Laut berada di sana. Dengan demikian, Jawa Tengah akan dibiarkan kosong tanpa pertahanan karena tentara dikonsentrasikan ke kedua tempat tersebut.[63]
  7. ^ 21 Agustus 1945 menurut catatan Monfries.[90]
  8. ^ Sapta berarti tujuh.
  9. ^ Kadang ditulis Bedhaya Sanghaskara.[2]

Referensi

  1. ^ "Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat Nomor 14 Tahun 1950 Tentang Pemberian Pangkat Militair Titulair Jenderal kepada J.M. Hamengku Buwono IX". Sistem Informasi Kearsipan Nasional. Arsip Nasional Republik Indonesia. 4 Januari 1950. Diakses tanggal 2021-09-29. 
  2. ^ a b c d "Sri Sultan Hamengku Buwono IX". Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Diakses tanggal 2021-09-11. 
  3. ^ Roem et al. 2011, hlm. 7–8; Monfries 2018, hlm. 35; Suyono & Parera 2015, hlm. 35–36.
  4. ^ a b Roem et al. 2011, hlm. 9; Monfries 2018, hlm. 36; Suyono & Parera 2015, hlm. 36.
  5. ^ Roem et al. 2011, hlm. 9; Monfries 2018, hlm. 35; Suyono & Parera 2015, hlm. 36.
  6. ^ Monfries 2018, hlm. 38.
  7. ^ Roem et al. 2011, hlm. 9; Monfries 2018, hlm. 38.
  8. ^ Suyono & Parera 2015, hlm. 36.
  9. ^ Monfries 2018, hlm. 36–37.
  10. ^ Roem et al. 2011, hlm. 9; Suyono & Parera 2015, hlm. 34, 36.
  11. ^ Roem et al. 2011, hlm. 11; Monfries 2018, hlm. 36; Suyono & Parera 2015, hlm. 36.
  12. ^ Roem et al. 2011, hlm. 13.
  13. ^ Monfries 2015, hlm. 45–46.
  14. ^ Suyono & Parera 2015, hlm. 37.
  15. ^ Monfries 2018, hlm. 37.
  16. ^ Roem et al. 2011, hlm. 14–16; Monfries 2018, hlm. 45.
  17. ^ Roem et al. 2011, hlm. 17–18; Monfries 2018, hlm. 46; Suyono & Parera 2015, hlm. 37–39.
  18. ^ Roem et al. 2011, hlm. 18; Monfries 2018, hlm. 46.
  19. ^ Monfries 2018, hlm. 47.
  20. ^ Roem et al. 2011, hlm. 18; Monfries 2018, hlm. 47; Suyono & Parera 2015, hlm. 41–42.
  21. ^ Suyono & Parera 2015, hlm. 41–43.
  22. ^ Roem et al. 2011, hlm. 18.
  23. ^ Monfries 2018, hlm. 47–48; Suyono & Parera 2015, hlm. 43.
  24. ^ Monfries 2018, hlm. 48.
  25. ^ Roem et al. 2011, hlm. 18; Monfries 2018, hlm. 48; Suyono & Parera 2015, hlm. 43.
  26. ^ Roem et al. 2011, hlm. 18–21; Soemardjan 1989, hlm. 115; Monfries 2018, hlm. 48–50; Suyono & Parera 2015, hlm. 44–46.
  27. ^ Monfries 2018, hlm. 50.
  28. ^ Roem et al. 2011, hlm. 22–23; Monfries 2018, hlm. 59–60; Suyono & Parera 2015, hlm. 59–60.
  29. ^ Monfries 2018, hlm. 60.
  30. ^ Roem et al. 2011, hlm. 84.
  31. ^ Suyono & Parera 2015, hlm. 48–49.
  32. ^ Roem et al. 2011, hlm. 26–27; Monfries 2018, hlm. 75; Suyono & Parera 2015, hlm. 60.
  33. ^ Roem et al. 2011, hlm. 26–27; Monfries 2018, hlm. 75; Suyono & Parera 2015, hlm. 61.
  34. ^ Roem et al. 2011, hlm. 27; Monfries 2018, hlm. 75; Suyono & Parera 2015, hlm. 60.
  35. ^ Roem et al. 2011, hlm. 27.
  36. ^ Roem et al. 2011, hlm. 28; Monfries 2018, hlm. 75; Suyono & Parera 2015, hlm. 58–59.
  37. ^ Roem et al. 2011, hlm. 28–29; Monfries 2018, hlm. 75; Suyono & Parera 2015, hlm. 61–62.
  38. ^ Roem et al. 2011, hlm. 30–31; Monfries 2018, hlm. 86; Suyono & Parera 2015, hlm. 64.
  39. ^ Monfries 2018, hlm. 89.
  40. ^ Roem et al. 2011, hlm. 31–32; Monfries 2018, hlm. 89–90; Suyono & Parera 2015, hlm. 62.
  41. ^ Roem et al. 2011, hlm. 41; Monfries 2018, hlm. 90.
  42. ^ Roem et al. 2011, hlm. 31; Monfries 2018, hlm. 87; Suyono & Parera, hlm. 67.
  43. ^ a b Monfries 2018, hlm. 88.
  44. ^ Monfries 2018, hlm. 87.
  45. ^ Monfries 2018, hlm. 96.
  46. ^ Suyono & Parera 2015, hlm. 66.
  47. ^ Roem et al. 2011, hlm. 35–36; Suyono & Parera 2015, hlm. 66.
  48. ^ Monfries 2018, hlm. 90; Suyono & Parera 2015, hlm. 66.
  49. ^ Monfries 2018, hlm. 92, 93, 95–96.
  50. ^ a b c d Monfries 2018, hlm. 91.
  51. ^ Roem et al. 2011, hlm. 36–37, 40; Monfries 2018, hlm. 92; Suyono & Parera 2015, hlm. 63–64, 68.
  52. ^ Roem et al. 2011, hlm. 37; Suyono & Parera 2015, hlm. 63.
  53. ^ Monfries 2018, hlm. 92, 98.
  54. ^ Roem et al. 2011, hlm. 37, 40–41; Suyono & Parera 2015, hlm. 68.
  55. ^ Roem et al. 2011, hlm. 42.
  56. ^ Roem et al. 2011, hlm. 43, 46.
  57. ^ Monfries 2018, hlm. 98.
  58. ^ Roem et al. 2011, hlm. 47; Monfries 2018, hlm. 99–100.
  59. ^ Roem et al. 2011, hlm. 48.
  60. ^ a b Monfries 2018, hlm. 102.
  61. ^ Roem et al. 2011, hlm. 48, 50.
  62. ^ Roem et al. 2011, hlm. 50; Monfries 2018, hlm. 132.
  63. ^ Monfries 2018, hlm. 132.
  64. ^ Roem et al. 2011, hlm. 52–53.
  65. ^ Roem et al. 2011, hlm. 50; Monfries 2018, hlm. 133.
  66. ^ Roem et al. 2011, hlm. 52–53; Monfries 2018, hlm. 132–133.
  67. ^ Roem et al. 2011, hlm. 50.
  68. ^ Roem et al. 2011, hlm. 54.
  69. ^ Monfries 2018, hlm. 134.
  70. ^ Monfries 2018, hlm. 135–136.
  71. ^ Monfries 2018, hlm. 136.
  72. ^ Monfries 2018, hlm. 141.
  73. ^ Monfries 2018, hlm. 142.
  74. ^ Roem et al. 2011, hlm. 54; Suyono & Parera 2015, hlm. 72.
  75. ^ Roem et al. 2011, hlm. 55; Monfries 2018, hlm. 137.
  76. ^ Monfries 2018, hlm. 137.
  77. ^ Monfries 2018, hlm. 137–138.
  78. ^ Roem et al. 2011, hlm. 55–56; Monfries 2018, hlm. 148; Suyono & Parera 2015, hlm. 69–70.
  79. ^ Roem et al. 2011, hlm. 56–57; Monfries 2018, hlm. 145; Suyono & Parera 2015, hlm. 70–72.
  80. ^ Monfries 2018, hlm. 145.
  81. ^ Roem et al. 2011, hlm. 57; Monfries 2015, hlm. 146; Suyono & Parera 2015, hlm. 72–73.
  82. ^ Roem et al. 2011, hlm. 57; Monfries 2018, hlm. 145, 169.
  83. ^ Roem et al. 2011, hlm. 57.
  84. ^ Suyono & Parera 2015, hlm. 73.
  85. ^ Monfries 2018, hlm. 146.
  86. ^ Monfries 2018, hlm. 158.
  87. ^ Monfries 2018, hlm. 158–159.
  88. ^ a b Monfries 2018, hlm. 159.
  89. ^ Roem et al. 2011, hlm. 61; Monfries 2018, hlm. 177; Suyono & Parera 2015, hlm. 12–13.
  90. ^ Monfries 2018, hlm. 178.
  91. ^ Roem et al. 2011, hlm. 61; Monfries 2018, hlm. 178; Suyono & Parera 2015, hlm. 13.
  92. ^ Roem et al. 2011, hlm. 61; Suyono & Parera 2015, hlm. 13.
  93. ^ Suyono & Parera 2015, hlm. 13.
  94. ^ Roem et al. 2011, hlm. 61–62; Monfries 2018, hlm. 183; Suyono & Parera 2015, hlm. 15–16.
  95. ^ Roem et al. 2011, hlm. 62; Monfries 2018, hlm. 183.
  96. ^ a b c Monfries 2018, hlm. 187.
  97. ^ Roem et al. 2011, hlm. 67; Monfries 2018, hlm. 187.
  98. ^ Monfries 2018, hlm. 188; Suyono & Parera 2015, hlm. 5.
  99. ^ Roem et al. 2011, hlm. 65.
  100. ^ Suyono & Parera 2015, hlm. 19.
  101. ^ Roem et al. 2011, hlm. 65–66; Suyono & Parera 2015, hlm. 18–19.
  102. ^ Roem et al. 2011, hlm. 66; Monfries 2018, hlm. 191; Suyono & Parera 2015, hlm. 20.
  103. ^ Suyono & Parera 2015, hlm. 20.
  104. ^ Roem et al. 2011, hlm. 75–77.
  105. ^ http://nusantarakini.com/2016/11/20/sikap-sri-sultan-hamengkubuwono-ix-terhadap-etnis-tionghoa-begini-kisahnya/
  106. ^ "Tari Golek Menak". Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. 9 Oktober 2018. Diakses tanggal 2021-09-12. 
  107. ^ "Bedhaya Sapta". Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. 18 Oktober 2020. Diakses tanggal 2021-09-12. 
  108. ^ "Bedhaya : Wiwaha Sangaskara, Sang Amurwabhumi, Bedhaya Kakung, Bedhaya Madiun". Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta. 4 Maret 2014. Diakses tanggal 2021-09-12. 
  109. ^ Suyono & Parera 2015, hlm. 159.
  110. ^ "Sejarah Dokumentasi Visual Keraton Yogyakarta". Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Diakses tanggal 2021-09-13. 
  111. ^ "Sejeli Mata Kamera" . Majalah Tempo. 17 Agustus 2015. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-09-13. Diakses tanggal 2021-09-13. 
  112. ^ Suyono & Parera 2015, hlm. 164–166.
  113. ^ a b c d e f g h i j k l m Roem et al. 2011, hlm. 435.
  114. ^ "Daftar WNI yang Menerima Tanda Kehormatan Bintang Republik Indonesia Tahun 1959–sekarang" (PDF). Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia. Diakses tanggal 2021-09-12. 
  115. ^ a b "Daftar Warga Negara Republik Indonesia yang Mendapat Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Tahun 1959 s.d. 2003" (PDF). Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia. Diakses tanggal 2021-09-12. 
  116. ^ "Bintang Gerilya dari Pemerintah yang diberikan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX". Sistem Informasi Kearsipan Statis. Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Istimewa Yogyakarta. Diakses tanggal 2021-09-12. 
  117. ^ "Keputusan Presiden Nomor 176 Tahun 1959". Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional. Diakses tanggal 2022-01-05. 
  118. ^ "Keputusan Presiden Nomor 230 Tahun 1962" (PDF). Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional. Diakses tanggal 2022-01-05. 
  119. ^ "Senarai Penuh Penerima Darjah Kebesaran, Bintang dan Pingat Persekutuan Tahun 1972" (PDF). Bahagian Istiadat dan Urusetia Persidangan Antarabangsa. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2018-10-16. Diakses tanggal 2021-09-12. 
  120. ^ Roem et al. 2011, hlm. 394.

Daftar pustaka

Pranala luar

Jabatan politik
Jabatan lowong
Terakhir dijabat oleh
Mohammad Hatta
Wakil Presiden Indonesia
1973–1978
Diteruskan oleh:
Adam Malik
Didahului oleh:
Lucien Adam
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
1945–1988
Diteruskan oleh:
Sri Paku Alam VIII
Jabatan menteri baru Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Indonesia
1966–1973
Diteruskan oleh:
Widjojo Nitisastro
Didahului oleh:
Soebandrio
Wakil Perdana Menteri Indonesia
1966
Jabatan dihapuskan
Didahului oleh:
R. Mas Sewaka
Menteri Pertahanan Indonesia
1952–1953
Diteruskan oleh:
Abdoel Halim
Didahului oleh:
Abdoel Hakim
Wakil Perdana Menteri Indonesia
1950–1951
Diteruskan oleh:
Wilopo
Didahului oleh:
Amir Sjarifoeddin
Menteri Pertahanan Indonesia
1948–1950
Diteruskan oleh:
Abdoel Halim
Gelar kebangsawanan
Didahului oleh:
Hamengkubuwono VIII
Raja Kesultanan Yogyakarta
1940–1988
Diteruskan oleh:
Hamengkubuwono X
Jabatan lain
Didahului oleh:
Jabatan baru
Ketua Kwartir Nasional
1961–1974
Diteruskan oleh:
M. Sarbini