Zoroastrianisme
Bagian dari seri |
Zoroastrianisme |
---|
Topik utama |
Malaikat dan iblis |
Kitab dan penyembahan |
|
Cerita dan legenda |
Sejarah dan kultur |
Penganut |
Artikel ini adalah bagian dari seri: |
Topik Indo-Eropa |
---|
Zoroastrianisme atau Mazdayasna adalah sebuah agama yang berasal dari Iran Raya dan merupakan salah satu agama terorganisir tertua yang masih terus dianut hingga sekarang, yang didasarkan pada ajaran seorang Nabi berbahasa Iran yakni Zoroaster (juga dikenal sebagai Zaraθuštra dalam Bahasa Avesta atau sebagai Zartosht dalam Bahasa Persia).[1][2] Penganutnya disebut juga sebagai Zoroastrian. Agama ini memiliki kosmologi dualistik yang memisahkan antara kebaikan dan kejahatan, dan eskatologi yang meramalkan akan terjadinya penaklukan pamungkas terhadap kejahatan oleh kebaikan.[3] Zoroastrianisme menganggap Ahura Mazda ('Tuhan Bijaksana') sebagai Tuhan yang tidak berawal lagi maha bijaksana.[4] Secara historis, fitur-fitur unik dari Zoroastrianisme, seperti monoteisme,[5] mesianisme, kepercayaan akan kehendak bebas, penilaian oleh Tuhan setelah kematian, konsep surga, neraka, malaikat, dan setan bisa jadi telah mempengaruhi sistem dari agama-agama dan filosofis-filosofis lain, termasuk Agama-Agama Samawi dan Gnostisisme,[6][7][8] Buddhisme Utara,[7] dan filsafat Yunani.[9]
Dengan kemungkinan berakar dari milenia ke-2 SM, Zoroastrianisme memasuki sejarah tertulis semenjak abad ke-5 SM.[10] Agama ini berfungsi sebagai agama negara di Kerajaan-Kerajaan Iran Kuno selama lebih dari satu milenium, dari sekitar 600 SM hingga 650 M, tetapi menurun dari abad ke-7 M dan seterusnya sebagai akibat langsung dari penaklukan Muslim terhadap Persia (633-654 M) yang mengarah pada penganiayaan dalam skala besar terhadap orang-orang Zoroastrianisme.[11] Estimasi tertinggi jumlah penganut Zoroastrianisme saat ini adalah 110.000-120.000 orang,[12] dengan mayoritasnya tinggal di India, Iran, dan Amerika Utara; jumlah mereka dianggap mengalami penurunan.[13][14]
Teks-Teks terpenting bagi Zoroastrianisme ialah apa yang terkandung dalam Avesta, terutama yang mencakup tulisan dari Zoroaster, yang dikenal sebagai Gatha, serta puisi-puisi di dalam Yasna yang mendefinisikan ajaran Zoroaster, yang berfungsi sebagai basis dalam melaksanakan ibadah. Filosofi agama Zoroaster memisahkan Tuhan-Tuhan dari tradisi Iran awal menjadi Ahura dan Daeva, yang mana Daeva dianggap tidak layak disembah. Zoroaster menyatakan bahwa Ahura Mazda ialah pencipta tertinggi, sang kreatif dan energi penopang dari alam semesta melalui Asha, dan bahwa umat manusia diberikan pilihan untuk memilih berada pada pihak Ahura Mazda atau tidak, membuat umat manusia bertanggung jawab atas pilihan yang diambilnya. Meskipun tidak ada yang dapat melawan Ahura Mazda dalam segi kekuatan, Angra Mainyu (roh perusak), yang mana terlahir dari Aka Manah (pikiran jahat), dianggap merupakan sebagai entitas musuh utama dalam agama, berdiri melawan Spenta Mainyu (roh kreatif). Literatur Persia Tengah kemudian mengembangkan karakter Angra Mainyu lebih lanjut menjadi Ahriman, meningkatkannya menjadi penentang utama Ahura Mazda.
Selain itu, energi kehidupan yang berasal dari Ahura Mazda, yang dikenal sebagai Asha (kebenaran, tatanan kosmik), berdiri sebagai lawan dari Druj (kebohongan, tipu daya). Ahura Mazda dianggap sebagai Tuhan yang Maha Baik dengan tanpa ada sedikitpun kebencian ataupun kejahatan berasal dari dirinya. Ahura Mazda bertempat di Gētīg (alam material yang terlihat) dan Mēnōg (alam mental dan spiritual yang tidak terlihat)[22] melalui tujuh (enam jika tanpa Spenta Mainyu) Amesha Spentas[23] (emanasi langsung dari Ahura Mazda).
Zoroastrianisme tidak sepenuhnya seragam dalam pemikiran teologis dan filosofis, terutama dengan pengaruh sejarah dan modern yang memiliki dampak signifikan pada kepercayaan, praktik, kosa kata, serta nilai-nilai dari segi individual dan lokal, yang terkadang menyatu dengan tradisi dan dalam kasus-kasus lain menggusurnya.[24] Tujuan utama dalam kehidupan seorang penganut Zoroastrianisme adalah menjadi seorang ashavan (ahli mengenai Asha) dan membawa kebahagiaan ke dunia, yang berkontribusi pada pertempuran kosmik melawan kejahatan. Inti ajaran Zoroastrianisme meliputi:
- Mengikuti tiga jalan Asha: Humata, Hūxta, Huvarshta (lit. 'pikiran baik, kata-kata baik, perbuatan baik').[25]
- Melakukan amal untuk menjaga supaya jiwa selaras dengan Asha, dan dengan demikian selaras pula dalam menyebarkan kebahagiaan.[26]
- Kesetaraan dalam spiritual dan kewajiban bagi laki-laki dan perempuan.[27]
- Menjadi baik demi kebaikan dan tanpa mengharap imbalan.
Latar Belakang Munculnya Zoroastrianisme
Zarathustra atau Zoroaster adalah pelopor berdirinya Zoroastrianisme di Iran (Persia).[15] Ia hidup sekitar abad ke-6 SM.[15] Zarathustra berasal dari keturunan suku Media.[15] Ia adalah seorang imam yang dididik dalam tradisi Indo-Iran.[16] Sebelumnya, agama yang ada di Iran (Persia) bersumber pada macam-macam ajaran seperti politeisme, paganisme, dan animisme.[15] Zarathustra yang merasa tidak puas dengan ajaran-ajaran yang berkembang di Iran pada waktu itu berusaha membawa pembaruan.[15] Oleh sebab itu, oleh para ahli ia kemudian dianggap sebagai salah satu tokoh pembaru agama tradisional.[15] Zarathustra dikenal sebagai nabi yang mempunyai karunia untuk menyembuhkan dan sanggup melakukan berbagai mujizat.[17] Selama bertahun-tahun ia berusaha menemukan penyingkapan-penyingkapan dari kebenaran spiritual.[16]
Zarathustra ingin memperbaiki sistem kepercayaan dan cara penyembahan kepada dewa-dewa yang berkembang di Persia saat itu.[15] Pada usia tiga puluh tahun, Zarathustra menerima sebuah penglihatan.[16] Menurut legenda, ia melihat cahaya besar yang kemudian membawanya masuk dalam hadirat Ahura Mazda.[16] Sejak perjumpaannya dengan Ahura Mazda, Zarathustra menjadi semakin giat menyebarkan ajaran bahwa segala sesuatu yang baik berasal dari Ahura Mazda.[16] Ajarannya yang sangat berbeda dengan kepercayaan yang ada pada waktu itu menyebabkan Zarathustra mendapat tekanan.[15]
Ia pun akhirnya memutuskan untuk melarikan diri dan pergi ke Chorasma atau (Qarazm).[15] Pada tahun 618 SM Raja Chorasma yaitu Vitaspa dan menterinya Yasasp yang menikahi Pauron Chista kemudian menjadi penganut Zoroastrianisme.[15] Barulah Zoroastrianisme mengalami perkembangan dan semakin bertambah banyak yang menjadi pengikutnya.[15] Zarathustra meninggal di usia 77 tahun.[16] Ketika Islam berkuasa di Persia tahun 636-637 Masehi, Zoroastrianisme sempat mengalami kemunduran.[15] Banyak penduduk Persia yang lebih tertarik kepada agama Islam.[15] Sekelompok pemeluk Zoroastrianisme kemudian pergi ke India dan menetap di Bombay[15] Di sana mereka dikenal dengan sebutan orang-orang Parsi.[15]
Ajaran-ajarannya
Konsep Ketuhanan
Di dalam ajaran Zoroastrianisme, hanya ada satu Tuhan yang universal dan Maha Kuasa, yaitu Ahura Mazda.[15] Ia dianggap sebagai Sang Maha Pencipta, segala puja dan sembah ditujukan hanya kepadanya.[15] Pengakuan ini adalah bentuk penegasan bahwa hanya Ahura Mazda yang harus disembah di tengah konteks kepercayaan tradisional masyarakat Iran yang kuat dengan pengaruh politeisme.[18]
Zoroastrianisme mempunyai prinsip dualisme yang mempercayai bahwa ada dua kekuatan yang bertentangan dan saling beradu yakni kekuatan kebaikan dan kejahatan.[15] Dalam tradisi Zoroastrianisme, yang jahat diwakili oleh Angra Mainyu atau Ahriman, sedangkan yang baik diwakili oleh Spenta Mainyu.[15] Manusia harus selalu memilih akan berpihak pada kebaikan atau kejahatan selama hidupnya.[18] Akan tetapi, dengan paham dualisme ini tidak berarti bahwa Zoroastrianisme tidak mengakui monoteisme karena Ahura Mazdalah satu-satunya Tuhan yang disembah.[18] Ahura Mazda, pada saatnya akan mengalahkan kekuatan yang jahat dan berkuasa penuh.[15] Ahriman dan para pengikutnya akan dimusnahkan untuk selamanya.[15] Meskipun ajaran Zarathustra mengajarkan monoteisme dengan Ahura Mazda sebagai satu-satunya dewa yang harus disembah namun keberadaan dewa-dewa lain pun tetap diakui.[15] Dewa-dewa yang turut diakui keberadaanya ada lima yaitu:[15]
- Asha Vahista, dewa tata tertib dan kebenaran yang berkuasa atas api
- Vohu Manah, dewa yang digambarkan sebagai sapi jantan ini dikenal sebagai dewa hati nurani yang baik
- Keshatra Vairya, yaitu dewa yang berkuasa atas segala logam
- Spenta Armaity, yaitu dewa yang berkuasa atas bumi dan tanah
- Haurvatat dan Amertat, yaitu dewa-dewa yang berkuasa atas air dan tumbuh-tumbuhan
Konsep mengenai Penciptaan
Alam semesta dalam ajaran Zoroastrianisme berusia 12000 tahun.[15] Setelah masa 12000 tahun berakhir barulah akan terjadi kiamat.[15] Masa 12000 tahun ini terbagi menjadi beberapa periode:
- Periode 3000 tahun pertama, yaitu masa ketika Ahura Mazda menciptakan alam semesta.[15] Ahriman kemudian berusaha menyerang dan menghancurkan alam yang diciptakan Ahura Mazda.[19] Hal ini disebabkan karena kehendak Ahriman adalah menyakiti dan merusak alam ciptaan.[19]
- Periode 3000 tahun kedua, yaitu periode Ahura Mazda dan Angra Mainyu beradu kekuatan, keduanya berusaha saling kalah mengalahkan.[15] Dalam peristiwa inilah terjadi terang dan gelap serta siang dan malam[15]
- Periode 3000 tahun ketiga, yaitu masa ketika nabi Zarathustra lahir dan menerima penglihatan dari Ahura Mazda.[19] Selanjutnya, penglihatan ini kemudian disebarkannya kepada umat manusia.[15]
- Periode 3000 tahun terakhir, yaitu masa munculnya seorang Saoshayant setiap seribu tahun, yang diyakini sebagai penyelamat yang akan memerintah dan memelihara bumi.[15] Ketiga Saoshayant yang akan datang itu adalah keturunan Zarathustra yang pada akhirnya akan memimpin manusia untuk melawan dan menghancurkan Ahriman serta para pengikutnya.[15] Barulah setelah itu perdamaian dunia akan terwujud.[15]
Konsep Eskatologi: Kehidupan Setelah Kematian
Dalam pemahaman Zoroastrianisme, setiap orang akan mengalami penghakiman setelah meninggal.[20] Penganut Zoroaster meyakini bahwa ketika seseorang meninggal, ia harus dapat membuktikan dirinya telah melakukan lebih banyak kebaikan daripada kejahatan.[20] Mereka percaya setiap roh manusia yang telah meninggal harus melewati Jembatan Cinvat yaitu jembatan yang menuju ke sorga.[16] Jiwa manusia sesudah meninggal akan tetap tinggal selama tiga hari di dalam tubuhnya dan baru pada hari ke empat dibawa menuju penghakiman di Jembatan Cinvat.[20]
Setelah berhasil melewati jembatan ini maka seseorang akan hidup bahagia dengan rahmat Ahura Mazda.[16] Semakin banyak kebaikan yang dibuat seseorang maka akan semakin lebarlah jembatan itu dan sebaliknya, semakin besar kejahatannya maka semakin sempitlah jembatan itu hingga rohnya tidak dapat melewatinya dan jatuh dari Jembatan Cinvat.[16] Di bawah jembatan inilah terdapat neraka yang penuh api, sebuah tempat yang suram dan penuh kesedihan.[16] Menurut ajaran Zoroastrianisme, dunia akan mengalami pembaruan menuju kesempuranaan dan jiwa-jiwa baik yang masih hidup dan sudah mati akan dibebaskan selamanya dari kuasa jahat.[16] Pembaruan dunia dan kebangkitan kembali seluruh ciptaan disebut Frashokeveti[16]
Konsep mengenai Etika Hidup
Dalam pandangannya mengenai etika hidup yang ideal, ada tiga hal utama yang ditekankan dalam Zoroastrianisme yaitu pikiran yang baik, perkataan yang baik dan perbuatan yang baik.[21] Zoroastrianisme memberikan kebebasan bagi setiap penganutnya untuk memilih hidup yang baik atau jahat bagi dirinya sendiri.[21] Menurut mereka dunia yang akan datang akan mengalami pembaruan.[16] Pembaruan dunia ini tidak dapat dapat dikerjakan oleh satu orang saja tetapi membutuhkan keterlibatan banyak orang.[16] Oleh karena itu, Zoroastrianisme sangat menekankan tanggung jawab moral dari masing-masing orang untuk melakukan kebaikan.[16] Dosa bagi penganut Zoroastrianisme adalah penolakan untuk bersekutu dengan aspek kebaikan dari Ahura Mazda.[21] Mereka meyakini bahwa tidak ada yang ditakdirkan atau dikodratkan sebelumnya.[16] Apa yang dilakukan, dikatakan dan dipikirkan selama hidup akan menentukan apa yang akan terjadi setelah meninggal. Mereka pun menolak konsep pertapaan karena mereka memahami bahwa dunia itu baik.[21] Tidak ada ruang untuk penyangkalan diri dan bertapa karena menolak dunia berarti menolak ciptaan dan menolak ciptaan berarti menolak Sang Pencipta.[21]
Ritus Kematian dalam Zoroastrianisme
Zoroastrianisme tidak mengizinkan penguburan dan pembakaran tubuh orang yang telah meninggal karena dianggap akan menodai air, udara, bumi dan api.[20] Mereka menyelenggarakan ritus kematian dengan menempatkan mayat di atas Dakhma atau Menara Ketenangan.[20] Di sana terdapat pembagian tempat yang jelas bagi kaum laki-laki, perempuan dan anak-anak.[20] Adapun tahap-tahap yang dilakukan saat upacara kematian adalah sebagai berikut:[20]
- Mayat dibiarkan di dalam sebuah ruangan di rumah selama tiga hari sebelum dibawa ke Dakhma, tempat untuk melaksanakan upacara kematian.
- Sesudah itu, mayat lalu dibawa ke Dakhma atau Menara Ketenangan.
- Di sana mayat akan ditelanjangi dan ditidurkan di atas menara yang terbuka dan dibiarkan agar dimakan oleh burung-burung.
- Sisa-sisa tulang kemudian dibuang ke dalam sumur.
Ritus Naojote
Ritus Naojote merupakan sebuah ritus yang dijalani oleh anak-anak yang berusia antara tujuh hingga sepuluh tahun.[20] Istilah Naojote berasal dari kata nao yang berarti baru dan jote atau zote yang artinya mempersembahkan doa-doa.[20] Dalam ritus ini, anak-anak laki-laki dan perempuan diberikan Sadre dan Kusti, pakaian kudus yang harus dipakai seumur hidup.[20] Setelah mengikuti ritus Naojote, anak-anak dianggap sudah punya kewajiban dan tanggung jawab untuk menjalankan ritus-ritus keagamaan dalam Zoroastrianisme.[20]
Tempat Ibadah
Para penganut Zoroastrianisme beribadah di dalam kuil yang disebut dengan Kuil Api.[22] Disebut demikian karena di dalam kuil, api dibiarkan menyala terus-menerus sebagai lambang kehadiran dewa.[22] Api bukan saja menyimbolkan kehadiran Tuhan tetapi juga sebagai simbol kesucian.[21]
Upacara Keagamaan Sehari-Hari dan Berbagai Hari Raya
Untuk melangsungkan upacara keagamaan sehari-hari, penganut Zoroaster tidak diharuskan pergi ke kuil.[20] Mereka dapat berdoa di mana saja seperti di gunung-gunung, sungai-sungai, ladang-ladang ataupun di rumah.[20] Mereka dapat menyampaikan nazar, penyesalan dosa,ungkapan terima kasih, dan sebagainya.[20] Waktu yang dirasakan tepat untuk melakukan upacara agama sehari-hari adalah di pagi hari.[20] Zoroastrianisme mempunyai beberapa hari raya atau disebut Gahambars.[20] Perayaan Tahun Baru (Naw Ruz atau Noruz) merupakan hari raya yang dirayakan paling meriah.[20] Selain itu, ada juga Festival Seribu Hari (Sada) yang dirayakan di dekat sungai, Pengenangan akan orang-orang yang telah meninggal, dan perayaan Ulang Tahun Zoroaster.[20]
Kitab Suci
Kitab suci orang-orang penganut Zoroaster adalah kumpulan tulisan-tulisan sakral yang dikenal dengan Avesta yang terbagi menjadi empat bagian.[20] Keempat bagian itu terdiri atas:
- Kitab Yasna yaitu kumpulan doa-doa dan aturan-aturan ibadah.[20] Kitab Yasna juga mencakup Ghata yakni kumpulan puji-pujian yang dipercayai sebagai hasil tulisan dari Zoroaster.[20] Ghata terdiri dari 17 puji-pujian yang dibuat dalam bentuk puisi yang sulit diterjemahkan dan hanya bisa dimengerti oleh orang-orang tertentu.Puisi ini menceritakan tentang perjumpaan Zoroaster dengan Tuhan dalam suatu penglihatan.[22]
- Kitab Visparat berisi puji-pujian penuh hormat serta permohonan kepada Tuhan.[20]
- Kitab Videvdat (Vendidad) yaitu tulisan-tulisan yang berkaitan dengan ritual pemurnian.[20]
- Kitab Khode Avesta, yaitu buku kumpulan doa sehari-hari yang di dalamnya juga mencakup Yashts, kumpulan puji-pujian dan puisi tentang kepahlawanan.[20]
Sekte-sekte dalam Zoroastrianisme
Terbaginya Zoroastrisme ke dalam beberapa kelompok bukan disebabkan karena perbedaan pemahaman teologi.[20] Pembagian sekte-sekte ini karena waktu perayaan Tahun Baru yang berbeda-beda.[20] Terdapat tiga sekte dalam Zoroastrianisme:[20]
Perkembangan Zoroastrianisme Masa Kini
Zoroastrianisme tidak menekankan pentingnya konversi.[16] Mereka berusaha mempertahankan agamanya sebagai agama yang khas dalam komunitas mereka.[16] Akan tetapi, mereka tetap membuka peluang bagi siapa saja yang hendak menjadi penganut Zoroastrianisme.[16] Sepanjang abad 20, banyak orang-orang penganut Zoroastrianisme yang menetap di Iran dan India melakukan migrasi ke negara-negara lain.[16] Kini, komunitas Zoroastrianisme dapat ditemukan di kota-kota besar seperti London,New York,Chicago,Boston dan Los Angeles dan telah hidup berbaur dengan komunitas-komunitas beragama lain.[16]
Referensi
- ^ "Zarathustra – Iranian prophet". Diakses tanggal 9 June 2017.
- ^ "Welcome to Encyclopaedia Iranica". www.iranicaonline.org. Diakses tanggal 2021-03-29.
- ^ Skjærvø, Prods Oktor (2005). "Introduction to Zoroastrianism" (PDF). Iranian Studies at Harvard University.
- ^ "AHURA MAZDĀ – Encyclopaedia Iranica". Encyclopædia Iranica. Diakses tanggal 2019-07-13.
- ^ Dastur, Francoise (1996). Death: An Essay on Finitude. A&C Black. hlm. 11. ISBN 978-0-485-11487-4.; Mehr, Farhang (2003). The Zoroastrian Tradition: An Introduction to the Ancient Wisdom of Zarathushtra. Mazda Publishers. hlm. 44. ISBN 978-1-56859-110-0.; Russell, James R. (1987). Zoroastrianism in Armenia. Harvard University, Department of Near Eastern Languages and Civilizations. hlm. 211, 437. ISBN 978-0-674-96850-9.; Boyd, James W. (1979). "Is Zoroastrianism Dualistic Or Monotheistic?". Journal of the American Academy of Religion. XLVII (4): 557–88. doi:10.1093/jaarel/xlvii.4.557. ISSN 0002-7189.; Karaka, Dosabhai Framji (1884). History of the Parsis. Macmillan and Company. hlm. 209–.
- ^ Nigosian, Solomon Alexander (1993). Zoroastrian Faith: Tradition and Modern Research. McGill-Queen's Press. hlm. 95–97, 131. ISBN 9780773511330.
- ^ a b Boyce 2001, hlm. 1, 77.
- ^ Grabbe, Lester L. (2006). A History of the Jews and Judaism in the Second Temple Period (vol. 1): The Persian Period (539-331BCE). Bloomsbury Publishing. hlm. 361–364. ISBN 9780567216175.
- ^ "Greece iii. Persian Influence on Greek Thought". Encyclopaedia Iranica. Diakses tanggal 2019-07-14.
- ^ "ZOROASTRIANISM i. HISTORY TO THE ARAB CONQUEST – Encyclopaedia Iranica". Encyclopædia Iranica. Diakses tanggal 2019-07-13.
- ^ Hourani 1947, hlm. 87.
- ^ Rivetna, Roshan. "The Zarathushti World, a 2012 Demographic Picture" (PDF). Fezana.org.
- ^ "Zoroastrians Keep the Faith, and Keep Dwindling". Laurie Goodstein. 6 September 2006. Diakses tanggal 25 September 2017.
- ^ Deena Guzder (9 December 2008). "The Last of the Zoroastrians". Time. Diakses tanggal 25 September 2017.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af (Indonesia)H.M Arifin. 1986. Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar. Golden Trayon. Hlm. 18, 20-24.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u (Inggris)Mary Pat Fisher. 1997. An Encyclopedia of The World's Faith Living Religions. Tauris Publisher. Hal. 208-214.
- ^ (Inggris)Elizabeth Dowling, George Scarlett. 2006. Encyclopedia of Religious aand Spiritual Development. California: Sage Publications. Hlm. 495.
- ^ a b c (Indonesia)M.Dhavamony. 1995. Fenomenologi Agama. Jogjakarta: Kanisius. Hlm. 124.
- ^ a b c (Inggris)Mary Boyce. 1996. A History of Zoroastrianism. Leiden:E.J Brill. Hlm. 286.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa (Inggris)S.A Nigosian. 1990. World's Faiths. St.Martin's Press. hlm. 81, 87-91.
- ^ a b c d e f (Inggris)Diane Morgan. 2001. The Best Guide to Eastern Philosophy and Religion. Renaissance Books. Hlm. 301.
- ^ a b c (Indonesia)Michael Keene. 2006. Agama-Agama Dunia. Jogjakarta: Kanisius. Hlm. 175.