Orang Banyumasan

suku bangsa di Indonesia
Revisi sejak 25 Maret 2022 13.50 oleh Prince ovy (bicara | kontrib) (clean)

Suku Banyumasan (Ngoko Aksara Jawa: ꦮꦺꦴꦁꦨꦚꦸꦩꦱꦤ꧀,[1] Madya Aksara Jawa: ꦠꦶꦪꦁꦡꦺꦴꦪꦗꦼꦤꦺꦲꦤ꧀,[2] Krama Aksara Jawa: ꦥꦿꦶꦪꦤ꧀ꦠꦸꦤ꧀ꦡꦺꦴꦪꦗꦼꦤꦺꦲꦤ꧀,[3] Ngoko Gêdrìk: wòng Banyumasan,[4] Madya Gêdrìk: tiyang Toyåjênéan, Krama Gêdrìk: priyantun Toyåjênéan, Aksara Sunda Baku: ᮅᮛᮀ ᮘᮑᮥᮙᮞᮔ᮪, bahasa Sunda: Urang Banyumasan, Indonesia: Orang Banyumasan)[5] adalah kelompok etnis yang berasal dari Jawa Tengah bagian barat. Etnis ini sedikit berbeda dari etnis Jawa pada umumnya, budaya bahasa dan karakter yang hidup dan berkembang di masyarakat Jawa Tengah di wilayah Banyumasan. Orang Banyumasan lebih dikenal dengan sebutan wong ngapak karena ciri khas logatnya yang ngapak dan slogan: "Ora Ngapak Ora Kepenak". Wilayah Banyumasan adalah sebuah wilayah yang terletak di bagian paling barat provinsi Jawa Tengah, Indonesia atau wilayah yang mengitari Gunung Slamet dan Sungai Serayu. Eks Karesidenan Banyumas pada masa pemerintahan yang dipimpin oleh keluarga Wiryodiharjo , dan umumnya adalah wilayah yang dianggap meliputi sebaran budaya masyarakat Banyumasan. Bahasa Banyumasan menjadi salah satu ciri identitas masyarakat Banyumasan.

Banyumasan
ꦮꦺꦴꦁꦨꦚꦸꦩꦱꦤ꧀ /ꦠꦶꦪꦁꦡꦺꦴꦪꦗꦼꦤꦺꦲꦤ꧀ /ꦥꦿꦶꦪꦤ꧀ꦠꦸꦤ꧀ꦡꦺꦴꦪꦗꦼꦤꦺꦲꦤ꧀
Wòng Banyumasan / Tiyang Toyåjênéan / Priyantun Toyåjênéan
Bahasa
Bahasa Jawa Banyumasan,
Indonesia, Sunda
Agama
Mayoritas
Islam
Minoritas Kristen Katolik dan Kristen Protestan
Kelompok etnik terkait
sub etnis Jawa lainya dan Suku Sunda
Peta Pulau Jawa yang menunjukkan kawasan penuturan Bahasa Banyumasan

Wilayah Banyumasan secara umum terdiri dari wilayah terdiri dari Cilacap, Kebumen, Banjarnegara, Purbalingga dan Banyumas. Hal ini merupakan implikasi dari regionalisasi yang dilakukan pada zaman dahulu. Walaupun terdapat sedikit perbedaan (nuansa) adat-istiadat dan logat bahasa, tetapi secara umum daerah-daerah tersebut dapat dikatakan "sewarna", yaitu sama-sama menggunakan Bahasa Jawa Banyumasan.

Teori Kutai

Berdasarkan catatan sejarawan Belanda Van Der Meulen pada Abad ke-1 Masehi, terbentuklah Kerajaan Galuh Purba di Gunung Slamet. Inilah kerajaan pertama dan terbesar di Jawa tengah. Para pendiri Kerajaan Galuh Purba itu merupakan pendatang dari Kutai, Kalimantan Timur sebelum periode Kerajaan Kutai Hindu dan Zaman pra-Hindu. Para pendatang itu pertama kali menginjakkan kakinya di Cirebon kemudian masuk ke pedalaman dan terpencar. Sebagian dari mereka ada yang menetap di sekitar Gunung Ceremai, Gunung Slamet dan lembah Sungai Serayu . Mereka yang menetap di sekitar Gunung Ceremai kemudian mengembangkan peradaban Sunda. Sedang yang berada di Gunung Slamet , Mendirikan kerajaan Galuh purba. Dari kerajaan inilah para penguasa raja-raja di Jawa terlahir. Kerajaan Galuh purba bertahan hingga abad ke-6 dengan wilayah kekuasaan yang meliputi daerah Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Bumiayu, Banyumas, Cilacap, Banjarnegara, Purbalingga , Kebumen.

Penurunan Kekuasaan

Berdasarkan Prasasti Bogor pamor Kerajaan Galuh Purba sempat mengalami penurunan saat Wangsa Syailendra di Jawa Tengah mulai berkembang. Pusat kota Kerajaan Galuh Purba sempat dipindah ke Kawali (dekat Garut). Di sinilah kerajaan pertama di Jawa tengah itu mengganti namanya menjadi Kerajaan Galuh Kawali serta dimulailah kemunduran Kerajaan Galuh Purba. Pada saat itu di wilayah timur berkembang Kerajaan Kalingga yang konon merupakan kelanjutan dari Kerajaan Galuh Kalingga, sebuah kerajaan di Galuh purba. Sedangkan di wilayah barat berkembang Kerajaan Tarumanegara yang merupakan kelanjutan dari Kerajaan Salakanagara.

Pengaruh Tarumanegara

Pada saat Purnawarman menjadi Raja Tarumanegara, Kerajaan Galuh Kawali berada di bawah Kerajaan Tarumanegara. Masa kejayaan Kerajaan Galuh Purba mulai beranjak naik, saat Tarumanegara di perintah oleh Raja Candrawarman, kerajaan bawahan Tarumanegara mendapatkan kekuasaannya kembali termasuk Galuh Kawali. Pada masa Tarumanegara pemerintahan Raja Tarusbawa Wretikandayun, Raja Galuh Kawali memisahkan diri (merdeka) dari Tarumanegara dan mendapatkan dukungan dari Kerajaan Kalingga kemudian kerajaan ini mengubah kembali namanya menjadi Kerajaan Galuh dengan pusat pemerintahan di Banjar Pataruman. Kerajaan Galuh inilah yang kemudian berkembang menjadi Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat. Untuk melestarikan keturunannya, masing-masing keturunan Kerajaan Galuh melangsungkan perkawinan. Hasil perkawinan itulah yang melahirkan raja-raja Jawa.

Jejak kebesaran Kerajaan Galuh ini dapat dilihat dari kajian bahasa E.M. Uhlenbeck tahun 1964, dalam bukunya: "A Critical Survey of Studies on the Languages of Java and Madura" yang menyatakan bahwa bahasa keturunan Galuh purba masuk ke dalam basa Jawa bagian kulon. Wilayah yang menggunakan Bahasa Jawa subdialek Barat meliputi sub-dialek Banten lor , sub Dialek Cirebon/Indramayu, sub Dialek Tegalan , dan sub Dialek Banyumas dan sub Dialek Bumiayu (peralihan Tegalan dan Banyumasan). [6]

Era Kerajaan Hindu dan Buddha

Pada awal masa kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia, wilayah Banyumasan terbagi dalam pengaruh Kerajaan Tarumanagara di barat dan Kerajaan Kalingga di timur dengan Sungai Cipamali atau Kali Brebes sebagai batas alamnya. Kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha lainnya yang mempunyai pengaruh di wilayah ini selanjutnya adalah Kerajaan Galuh, Kerajaan Medang, Kerajaan Kediri, Kerajaan Singasari dan Majapahit. Saat Majapahit runtuh, wilayah Banyumasan menjadi bagian dari Kesultanan Demak.

Akhir Kesultanan Demak hingga Awal Mataram

Pembagian Kekuasaan

Pada zaman Kesultanan Demak (1478–1546), wilayah Banyumasan terdiri dari beberapa Kadipaten, di antaranya Kadipaten Pasirluhur dengan Adipatinya Banyak Belanak juga Kadipaten Wirasaba dengan Adipatinya Wargo Utomo I. Luasnya kekuasaan Kesultanan Demak membuat Sultan Trenggono (Sultan Demak ke III) merasa perlu memiliki angkatan perang yang kuat. Untuk itu wilayah-wilayah Kesultanan Demak pun dibagi-bagi secara militer menjadi beberapa daerah komando militer. Untuk wilayah Barat, Sultan Trenggono mengangkat Adipati Banyak Belanak sebagai Panglima Komando Wilayah Pertahanan Barat dengan cakupan wilayah meliputi Karawang sampai Gunung Sumbing (Wonosobo). Sebagai salah seorang Panglima Perang Kesultanan Demak, Adipati Pasirluhur dianugerahi gelar Pangeran Senopati Mangkubumi I sedangkan adiknya yang bernama Wirakencana diangkat menjadi Patih.

Setelah Sultan Trenggono wafat, Kesultanan Demak terpecah menjadi 3 bagian, salah satunya adalah Pajang yang diperintah oleh Joko Tingkir dan bergelar Sultan Adiwijaya (1546–1587). Pada masa ini, sebagian besar wilayah Banyumasan termasuk dalam kekuasaan Pajang. Mengikuti kebijakan pendahulunya, Sultan Adiwijaya juga mengangkat Adipati Pasirluhur yang saat itu dijabat Wirakencana, menjadi Senopati Pajang dengan gelar Pangeran Mangkubumi II. Sementara itu Adipati Kadipaten Wirasaba, Wargo Utomo I wafat dan salah seorang putranya bernama R. Joko Kaiman diangkat oleh Sultan Adiwijaya menjadi Adipati Wirasaba dengan gelar Wargo Utomo II, dia menjadi Adipati Wirasaba ke VII.

Awal Kesultanan Mataram

Menjelang berakhirnya kejayaan kerajaan Pajang dan mulai berdirinya Kesultanan Mataram (1587), Adipati Wargo Utomo II menyerahkan kekuasaan Kadipaten Wirasaba ke saudara-saudaranya, sementara dia sendiri memilih membentuk Kadipaten baru dengan nama Kadipaten Banyumas dan dia menjadi Adipati pertama dengan gelar Adipati Marapat.

Selanjutnya, Kadipaten Banyumas inilah yang berkembang pesat, telebih setelah pusat Kadipatennya dipindahkan ke Sudagaran – Banyumas, pengaruh kekuasaannya menyebabkan Kadipaten-Kadipaten lainnya semakin mengecil. Seiring dengan berkembangnya Kerajaan Mataram, Kadipaten-Kadipaten di wilayah Banyumasan pun tunduk pada kekuasaan Mataram.

Kekuasaan Mataram atas Kadipaten-Kadipaten di wilayah Banyumasan tidak secara otomatis memasukkan wilayah Banyumasan ke dalam “lingkar dalam” kekuasaan Mataram sehingga Kadipaten-Kadipaten di wilayah Banyumasan tersebut masih memiliki otonomi dan penduduk Mataram pun menyebut wilayah Banyumasan sebagai wilayah Mancanegara Kulon.

Awal pembentukan karesidenan & kabupaten

Sebelum Belanda masuk, wilayah Banyumasan disebut sebagai daerah Mancanegara Kulon dengan rentang wilayah meliputi antara Bagelen (Purworejo) sampai Majenang (Cilacap). Disebut Mancanegara Kulon karena pusat pemerintahan waktu itu memang berada di wilayah Surakarta atau wilayah wetan.

Terhitung sejak tanggal 22 Juni 1830, daerah Mancanegara Kulon ini secara politis masuk di bawah kontrol Pemerintah Kolonial Belanda. Pada saat itulah awal penjajahan Belanda sekaligus akhir dari pendudukan Kesultanan Mataram atas Bumi Banyumasan. Selanjutnya, para Adipati di wilayah Banyumasan pun tidak lagi tunduk pada Raja Mataram. Mereka selanjutnya dipilih dan diangkat oleh Gubernur Jenderal dan dipilih dari kalangan penduduk pribumi, umumnya putera atau kerabat dekat Adipati terakhir.

Karesidenan Banyumas

Pemerintahan di wilayah Banyumasan diatur berdasarkan Konstitusi Nederland yang pada pasal 62 ayat 2 disebutkan bahwa pemerintahan umum di Hindia Belanda (Indonesia) dilakukan oleh Gubernur Jenderal atas nama kerajaan Belanda. Gubernur Jenderal adalah kepala eksekutif yang berhak mengangkat serta memberhentikan para pejabat di Hindia Belanda, termasuk para Adipatinya. Saat itu yang menjadi Gubernur Jenderal adalah Johannes Graaf van den Bosch (16 Januari 1830 – 2 Juli 1833).

Upaya untuk mengontrol para Adipati ini sebenarnya agar Belanda mudah melakukan mobilisasi rakyat untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan milik Belanda yang lebih dikenal dengan tanam paksa. Persiapan pembentukan pemerintahan kolonial Belanda di wilayah Banyumasan dilakukan oleh Residen Pekalongan bernama Hallewijn. Hallewijn tiba di wilayah Banyumasan pada 13 Juni 1830 dengan tugas utama mempersiapkan penyelenggaraan pemerintahan sipil di wilayah Banyumasan. Dia dibantu antara lain oleh Vitalis sebagai administrator juga Kapiten Tak sebagai komandan pasukan.

Tanggal 20 September 1830, Hallewijn memberikan laporan umum hasil kerjanya kepada Komisaris Kerajaan yaitu Jenderal De Kock di Sokaraja, di antara isi laporan tersebut adalah tentang cakupan wilayah Banyumasan yang meliputi (dari timur): Kebumen, Banjar (Banjarnegara), Panjer, Ayah, Prabalingga (Purbalingga), Banyumas, Kroya, Adiraja, Patikraja, Purwakerta (Purwokerto), Ajibarang, Karangpucung, Sidareja, Majenang sampai ke Daiyoe-loehoer (Dayeuhluhur) termasuk juga di dalamnya tanah-tanah Perdikan (daerah Istimewa) seperti Donan dan Kapungloo. Pada pertemuan di Sokaraja akhirnya diresmikan pendirian Karesidenan Banyumas yang meliputi sebagian besar wilayah mancanegara kulon, selanjutnya tanggal 1 November 1830 de Sturler dilantik sebagai Residen Banyumas pertama.

Pada tanggal 18 Desember 1830, melalui Beslit Gubernur Jenderal J.G. van den Bosch, Karesidenan Banyumas diperluas dengan dimasukkannya Distrik Karangkobar (Banjarnegara, terletak di dekat Dieng), pulau Nusakambangan, Madura (sebelumnya termasuk wilayah Cirebon, sekarang termasuk dalam wilayah Wanareja, Cilacap) dan Karangsari (sebelumnya termasuk wilayah Tegal).

Awal pembentukan kabupaten-kabupaten

Untuk mengefektifkan jalannya pemerintahan, Pemerintah Kolonial Belanda pada tanggal 22 Agustus 1831 membentuk 4 Regentschap (Kabupaten) di wilayah Karesidenan Banyumas yaitu Kabupaten Banyumas, Ajibarang, Daiyoe-loehoer dan Prabalingga yang masing-masing dipimpin oleh seorang bupati pribumi. Selain itu, Residen de Sturler juga melakukan perubahan ejaan nama dan pembentukan struktur Afdeling yang berfungsi sebagai Asisten Residen di masing-masing Kabupaten. Di antara yang mengalami perubahan nama adalah Prabalingga menjadi Poerbalingga, Daiyoe-Loehoer menjadi Dayoehloehoer dan Banjar menjadi Banjarnegara, selanjutnya wilayah Banjarnegara diperluas dengan memasukkan Distrik Karangkobar dan statusnyapun ditingkatkan menjadi sebuah Kabupaten.

Pembentukan Afdeling meliputi Kabupaten Dayoehloehoer dan Kabupaten Ajibarang menjadi satu Afdeling yaitu Afdeling Ajibarang dengan ibu kota Ajibarang dan D.A. Varkevisser diangkat sebagai Asisten Residen di Ajibarang sekaligus sebagai ”pendamping” Bupati Ajibarang Mertadiredja II dan Bupati Dayoehloehoer R. Tmg. Prawiranegara. Tiga Kabupaten lainnya yaitu Kabupaten Banyumas, Purbalingga dan Banjarnegara masing-masing memiliki Afdeling sendiri-sendiri.

Pemerintahan

Wilayah Banyumasan merupakan sebuah wilayah yang meliputi 7 kabupaten yaitu Kabupaten Kebumen, Kabupaten Wonosobo (bagian barat) Kabupaten Cilacap, Kabupaten Pemalang (bagian selatan), Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Purbalingga dan Kabupaten Banyumas.

Kota-kota di wilayah Banyumasan antara lain: Banjarnegara, Kebumen, Cilacap, Purwokerto, Purbalingga, Gombong, Mandiraja, Karanganyar, Majenang, Ajibarang, Sumpiuh, Kroya, Wangon, Tanjung, Bobotsari, Purwareja, Sokaraja, Sidareja dll.

Bahasa

Orang Banyumasan berbicara dengan Bahasa Banyumasan (Dialek Bahasa Jawa), bahasa Banyumasan masih mempertahankan kosakata dari Jawa Kuno. Banyumasan tetap menggunakan kata "a" bukan "O" seperti pada Bahasa Jawa Kuno , ini terkenal karena Bahasa Banyumasan tidak terpengaruh Bahasa Jawa Mataram.

Seperti orang Jawa di Indonesia, kebanyakan orang Banyumasan yang bilingual fasih berbahasa Indonesia dan Banyumasan. Dalam jajak pendapat publik yang diadakan sekitar tahun 1990, sekitar 12% orang Jawa menggunakan bahasa Indonesia, sekitar 18% menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia dan sisanya menggunakan bahasa Jawa secara eksklusif.

Pengaruh Sunda

Di beberapa daerah terutama di Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Brebes, sebagian penduduknya merupakan Suku Sunda, karena pengaruh historis dari wilayah Priangan bagian timur dan masuknya orang-orang Sunda Jawa Barat yang bermigrasi ke arah timur sejak kerajaan Sunda dan menikah dengan penduduk Suku Jawa di wilayah Jawa Tengah.

Budaya

Budaya Banyumasan memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan wilayah lain di Jawa Tengah dikarenakan adanya pengaruh Budaya Sunda (Priangan timur) yang bersebelahan, walaupun akarnya masih merupakan budaya Jawa. Ini juga sangat terkait dengan karakter masyarakatnya yang sangat egaliter tanpa mengenal istilah ningrat atau priyayi. Hal ini juga tercermin dari bahasanya yaitu Bahasa Jawa Banyumasan yang pada dasarnya tidak mengenal tingkatan status sosial.

Penggunaan bahasa halus (kromo) pada dasarnya merupakan serapan akibat interaksi intensif dengan masyarakat Jawa lainnya (wetanan) dan ini merupakan kemampuan masyarakat Banyumasan dalam mengapresiasi budaya luar. Penghormatan kepada orang yang lebih tua umumnya ditampilkan dalam bentuk sikap hormat, sayang serta sopan santun dalam bertingkah laku.

Selain egaliter, masyarakat Banyumasan dikenal memiliki kepribadian yang jujur serta berterus terang atau biasa disebut cablaka/blakasuta.

Kesenian

Kesenian khas Banyumasan tersebar di hampir seluruh pelosok daerah. Kesenian itu sendiri umumnya terdiri atas seni pertunjukan rakyat yang memiliki fungsi-fungsi tertentu yang berkaitang dengan kehidupan masyarakat pemilik-nya. Adapun bentuk-bentuk kesenian yang tumbuh dan berkembang antara lain:

  • Wayang Kulit Gagrag Banyumasan, yaitu jenis seni pertunjukan wayang kulit yang bernapaskan Banyumasan. Di daerah ini dikenal ada dua gragak atau gaya, yaitu Gragak Kidul Gunung dan Gragak Lor Gunung. Spesifikasi dari wayang kulit gragak Banyumasan adalah napas kerakyatannya yang begitu kental dalam pertunjukannya.
  • Bégalan, yaitu seni tutur tradisional yang digunakan sebagai yang digunakan sebagai sarana upacara pernikahan, propertinya berupa alat-alat dapur yang masing-masing memiliki makna-makna simbolis yang berisi falsafah jawa & berguna bagi kedua mempelai dalam mengarungi hidup berumah tangga.

Musik

 
Salah satu contoh alat musik calung banyumasan

Musik-musik tradisional Banyumasan memiliki perbedaan yang cukup jelas dengan musik Jawa lainnya.

  • Calung. Alat musik yang juga umum ditemukan di Tatar Sunda ini terbuat dari potongan bambu yang diletakkan melintang dan dimainkan dengan cara dipukul. Perangkat musik khas Banyumasan yang terbuat dari bambu wulung mirip dengan gamelan jawa, terdiri atas gambang barung, gambang penerus, dhendhem, kenong, gong & kendang. Selain itu ada juga Gong Sebul dinamakan demikian karena bunyi yang dikeluarkan mirip gong tetapi dimainkan dengan cara ditiup (sebul), alat ini juga terbuat dari bambu dengan ukuran yang besar. Dalam penyajiannya calung diiringi vokalis yang lazim disebut sinden. Aransemen musikal yang disajikan berupa gending-gending Banyumasan, gending gaya Banyumasan, Surakarta-Yogyakarta dan sering pula disajikan lagu-lagu pop yang diaransir ulang
  • Kenthongan – sebagian menyebut Tek-Tek. Kentongan juga terbuat dari bambu. Kenthong adalah alat utamanya, berupa potongan bambu yang diberi lubang memanjang disisinya dan dimainkan dengan cara dipukul dengan tongkat kayu pendek. Kenthongan dimainkan dalam kelompok yang terdiri dari sekitar 20 orang dan dilengkapi dengan Beduk, seruling, kecrek dan dipimpin oleh mayoret. Dalam satu grup kenthongan, Kenthong yang dipakai ada beberapa macam sehingga menghasilkan bunyi yang selaras. Lagu-lagu yang dibawakan kebanyakan lagu Jawa dan Dangdut.
  • Salawatan Jawa, yaitu salah satu seni musik bernapaskan Islam dengan perangkat musik berupa terbang Jawa. Dalam pertunjukan kesenian ini menyajikan lagu-lagu yang diambil dari kitab Barzanji.

Tarian

  1. Lengger,yaitu jenis tarian tradisional yang tumbuh subur diwilayah sebaran budaya Banyumasan. Kesenian ini umumnya disajikan oleh dua orang wanita atau lebih. Pada pertengahan pertunjukkan hadir seorang penari pria yang lazim disebut badhud (badut/bodor), Lengger disajikan di atas panggung pada malam hari atau siang hari, dan diiringi oleh perangkat musik calung.
  2. Sintren, adalah seni traditional yang dimainkan oleh seorang pria yang mengenakan busana wanita. Biasanya kesenian ini melekat pada kesenian ébég. Ditengah pertunjukkan ebeg para pemain melakukan trance/mendem, kemudian salah seorang pemain mendem badan, kemudian ditindih dengan lesung dan dimasukkan ke dalam kurungan. Di dalam kurungan itu ia berdandan secara wanita dan menari bersama-sama dengan pemain yang lain. Pada beberapa kasus, pemain itu melakukan thole-thole, yaitu penari membawa tampah dan berkeliling arena untuk meminta sumbangan penonton.
  3. Aksi Muda, adalah kesenian bernapas Islam yang tersaji dalam bentuk atraksi Pencak Silat yang digabung dengan tari-tarian.
  4. Angguk, yaitu kesenian bernapaskan Islam yang tersaji dalam bentuk tari-tarian. Dilakukan oleh delapan orang pemain, & pada bagian akhir pertunjukkan para pemain Trance (tidak sadar)
  5. Aplang atau Daeng, Kesenian yang serupa dengan Angguk, pemainnya terdiri atas remaja Putri.
  6. Bongkel, Musik Traditional yang mirip dengan angklung, hanya terdiri atas satu buah instrumen dengan empat bilah berlaras slendro, dengan nada 2, 3, 5, 6. Dalam pertunjukkannya Bongkel disajikan gendhing – gendhing khusus bongkel.
  7. Buncis, yaitu perpaduan antara seni musik & seni tari yang disajikan oleh delapan orang pemain. Dalam pertunjukkannya diiringi dengan perangkat musik Angklung. Para pemain buncis selain menjadi penari juga menjadi pemusik & vokalis. Pada bagian akhir sajian para pemain Buncis Intrance atau mendem.
  8. Ebeg, adalah bentuk tari tradisional khas Banyumasan dengan Properti utama berupa ebeg atau kuda kepang. Kesenian ini menggambarkan kegagahan prajurit berkuda dengan segala atraksinya. Biasanya dalam pertunjukkan ebeg dilengkapi dengan atraksi barongan, penthul & cépét. Dalam pertunjukkannya ebeg diiringi oleh gamelan yang lazim disebut bendhe. Kesenian ini mirip dengan jathilan, kuda kepang dan kuda lumping di daerah lain.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Kamus Pepak Basa Jawa, Sudaryanto/Pranowo, 2001, #1359
  2. ^ Lihat: Bahasa Jawa
  3. ^ Lihat: Bahasa Jawa
  4. ^ Pramono, S.B. (2013). Piwulang Basa Jawa Pepak. Grafindo Litera Media. ISBN 978-979-3896-38-0. 
  5. ^ Harjawiyana, Haryana; Theodorus Supriya, (2001). Kamus unggah-ungguh basa Jawa. Kanisius. hlm. 185. ISBN 978-979-672-991-3. 
  6. ^ Gunung Slamet Dan Sejarah Kerajaan Galuh Purba Daerah.sindonews.com