Kerajaan Sunda
Kerajaan Sunda (bahasa Sunda:
Kerajaan Sunda ᮊᮛᮏᮃᮔ᮪ ᮞᮥᮔ᮪ᮓ | |||||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
932–1579 | |||||||||||||||
Cakupan wilayah Kerajaan Sunda | |||||||||||||||
Ibu kota |
| ||||||||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Sunda Kuno, Kawi, Melayu Kuno | ||||||||||||||
Agama | Hindu, Buddha, Sunda Wiwitan, Islam (mulai abad ke-14) | ||||||||||||||
Pemerintahan | Monarki | ||||||||||||||
Maharaja | |||||||||||||||
• ca 1030-1042 | Sri Jayabhupati | ||||||||||||||
• ca 1371-1475 | Niskala Wastu Kancana | ||||||||||||||
• ca 1482-1521 | Sri Baduga Maharaja | ||||||||||||||
• ca 1521–1535 | Surawisesa | ||||||||||||||
Sejarah | |||||||||||||||
• Prasasti Kebon Kopi II: pemulihan kekuasaan raja Sunda | 932 | ||||||||||||||
• Invasi Kesultanan Banten dan Kesultanan Demak | 1579 | ||||||||||||||
Mata uang | Mata uang emas dan perak | ||||||||||||||
| |||||||||||||||
Sekarang bagian dari | Indonesia | ||||||||||||||
Bagian dari seri mengenai |
---|
Sejarah Indonesia |
Garis waktu |
Portal Indonesia |
Kerajaan Sunda runtuh setelah ibu kota kerajaan ditaklukan oleh Maulana Yusuf pada tahun 1579. Sementara sebelumnya kedua pelabuhan utama Kerajaan Sunda itu juga telah dikuasai oleh Kerajaan Demak pada tahun 1527, Kalapa ditaklukan oleh Fatahillah dan Banten ditaklukan oleh Maulana Hasanuddin.
Sumber sejarah
Data arkeologi
Sejarah Kerajaan Sunda berasal dari sumber primer berupa prasasti dan sumber sekunder berupa naskah-naskah dari abad ke-17. Nama Kerajaan Sunda dapat ditemukan dari berbagai sumber, di anataranya:
Prasasti Kebon Kopi II (932 M)
Prasasti Kebonkopi II ditemukan di Ciaruteun Ilir, Cibungbulang, Bogor, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Prasasti ini diteliti oleh arkeolog F.D.K. Bosch, yang mengemukakan bahwa prasasti ini bertarikh 932 Masehi ditulis menggunakan bahasa Melayu Kuno, dan berisi pernyataan seorang "Raja Sunda yang menduduki kembali takhtanya".[3]
Alih aksara:
Ini sabdakalanda Rakryan Juru Pangambat I kawihaji panyaca pasagi marsandeca ~ ba(r) pulihkan hajiri Sunda
Terjemahan:
Batu peringatan ini adalah ucapan Rakryan Juru Pangambat, pada tahun 854 Saka (932 Masehi), bahwa tatanan pemerintah dikembalikan kepada kekuasaan raja Sunda.
Prasasti Sanghyang Tapak (1030 M)
Menurut Prasasti Sanghyang Tapak yang berangka tahun 1030 (952 Saka), diketahui bahwa kerajaan Sunda dipimpin oleh Maharaja Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwana Mandala Swaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa. Prasasti ini terdiri dari 40 baris yang ditulis dalam Aksara dan bahasa Kawi pada 4 buah batu, ditemukan di tepi sungai Cicatih di Cibadak, Sukabumi. Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional dengan nomor kode D 73 (dari Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi ketiga batu pertama berisi tulisan sebagai berikut:[4]
Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak. Dibuat oleh Sri Jayabhupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah hilir dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan Sumpah.
Catatan sejarah dari Cina
Menurut Hirth dan Rockhill,[5] ada sumber Cina tertentu mengenai Kerajaan Sunda. Pada saat Dinasti Sung Selatan, inspektur perdagangan dengan negara-negara asing, Zhao Rugua mengumpulkan laporan dari para pelaut dan pedagang yang benar-benar mengunjungi negara-negara asing. Dalam laporannya tentang negara Jauh, Zhufan Zhi, yang ditulis tahun 1225, menyebutkan pelabuhan di "Sin-t'o". Zhao melaporkan bahwa:
"Orang-orang tinggal di sepanjang pantai. Orang-orang tersebut bekerja dalam bidang pertanian, rumah-rumah mereka dibangun diatas tiang (rumah panggung) dan dengan atap jerami dengan daun pohon kelapa dan dinding-dindingnya dibuat dengan papan kayu yang diikat dengan rotan. Laki-laki dan perempuan membungkus pinggangnya dengan sepotong kain katun, dan memotong rambut mereka sampai panjangnya setengah inci. Lada yang tumbuh di bukit (negeri ini) bijinya kecil, tetapi berat dan lebih tinggi kualitasnya dari Ta-pan (Tuban, Jawa Timur). Negara ini menghasilkan labu, tebu, telur kacang dan tanaman."
Buku perjalanan Cina Shunfeng xiangsong dari sekitar 1430 mengatakan:
"Dalam perjalanan ke arah timur dari Shun-t'a, sepanjang pantai utara Jawa, kapal dikemudikan 97 1/2 derajat selama tiga jam untuk mencapai Kalapa, mereka kemudian mengikuti pantai (melewati Tanjung Indramayu), akhirnya dikemudikan 187 derajat selama empat jam untuk mencapai Cirebon. Kapal dari Banten berjalan ke arah timur sepanjang pantai utara Jawa, melewati Kalapa, melewati Indramayu, melewati Cirebon."
Catatan Perjalanan Tomé Pires dari Portugal
Dalam bukunya yang berjudul Suma Oriental (1513 - 1515) ia menulis bahwa:
"Beberapa orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda luasnya setengah dari seluruh pulau Jawa; sebagian lagi mengatakan bahwa Kerajaan Sunda luasnya sepertiga dari pulau Jawa dan ditambah seperdelapannya."
Naskah Kuno
Selain dari beberapa prasasti dan berita dari luar, beberapa karya sastra juga digunakan untuk mengetahui keberadaan Kerajaan Sunda,[6] diantaranya :
- Naskah Carita Parahyangan,
- Serat Pararaton,
- Catatan Bujangga Manik,
- Naskah Sanghyang siksakanda ng karesian,
- Naskah Sajarah Banten.[7]
Nama Ibukota
Nama Ibukota kerajaan dapat diketahui dari beberapa sumber, diantaranya :
Prasasti Batutulis (1533 M)
Berdasarkan Prasasti Batutulis berangka tahun 1533 (1455 Saka), disebutkan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, sebagai raja yang bertahta di Pakuan Pajajaran. Prasasti ini terletak di Jalan Batutulis, Kelurahan Batutulis, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. [8]
Prasasti ini dikaitkan dengan Kerajaan Sunda. Pada batu ini berukir kalimat-kalimat dalam bahasa Sunda Kuno dan aksara Kawi. Prasasti ini dibuat oleh Prabu Sanghiang Surawisesa (yang melakukan perjanjian dengan Portugis) dan menceritakan kemashuran ayahandanya tercinta (Sri Baduga Maharaja) sebagai berikut:
Semoga selamat, ini tanda peringatan Prabu Ratu almarhum. Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan.
Dia putera Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusa Larang.
Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, membuat undakan untuk hutan Samida, membuat Sahiyang Telaga Rena Mahawijaya (dibuat) dalam (tahun) Saka "Panca Pandawa Mengemban Bumi".
Penemuan Arkeologi
Di wilayah Jawa Barat ditemukan beberapa candi, antara lain Percandian Batujaya di Karawang (abad ke-2 sampai ke-12) yang bercorak Buddha, serta percandian Hindu yaitu Candi Bojongmenje di Kabupaten Bandung yang berasal dari abad ke-7 (sezaman dengan percandian Dieng), dan Candi Cangkuang di Leles, Garut yang bercorak Hindu Siwa dan diduga berasal dari abad ke-8 Masehi. Siapa yang membangun candi-candi ini masih merupakan misteri, namun umumnya disepakati bahwa candi-candi ini dikaitkan dengan kerajaan Hindu yang pernah berdiri di Jawa Barat, yaitu Tarumanagara, Sunda dan Galuh.
Di Museum Nasional Indonesia di Jakarta terdapat sejumlah arca yang disebut "arca Caringin" karena pernah menjadi hiasan kebun asisten-residen Belanda di tempat tersebut. Arca tersebut dilaporkan ditemukan di Cipanas, dekat kawah Gunung Pulosari, dan terdiri dari satu dasar patung dan 5 arca berupa Shiwa Mahadewa, Durga, Batara Guru, Ganesha dan Brahma. Coraknya mirip corak patung di Jawa Tengah dari awal abad ke-10.
Di situs purbakala Banten Girang, yang terletak kira-kira 10 km di sebelah selatan pelabuhan Banten sekarang, terdapat reruntuhan dari satu istana yang diperkirakan didirikan pada abad ke-10. Banyak unsur yang ditemukan dalam reruntuhan ini yang menunjukkan pengaruh Jawa Tengah.
Situs-situs arkeologi lain yang berkaitan dengan keberadaan Kerajaan Sunda, masih dapat ditelusuri terutama pada kawasan muara Sungai Ciliwung termasuk situs Sangiang di daerah Pulo Gadung (sekarang Pulo Gadung, Jakarta Timur). Hal ini mengingat jalur sungai merupakan salah satu alat transportasi utama pada masa tersebut.[9]
Berdirinya kerajaan Sunda
Kerajaan Sunda merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara yang mengalami keruntuhan.WIlayah kekuasaannya meliputi bagian barat dari pulau Jawa dan membentang dari Ujung Kulon hingga ke Ci Sarayu dan Ci Pamali.[10] Keterangan tentang berdirinya Kerajaan Sunda sebagai penerus Kerajaan Tarumanagara diperoleh dari naskah Wangsakerta, naskah yang oleh sebagian orang diragukan keasliannya serta diragukan sebagai sumber sejarah karena sangat sistematis. Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 669 (591 Saka). Kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan sebagian barat provinsi Jawa Tengah.[butuh rujukan]
Sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bawahan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta dari Ganggasari, dia memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapunta Hyang Sri Jayanasa, yang selanjutnya mendirikan Kerajaan Sriwijaya. Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Kerajaan Galuh yang mandiri. Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara, dan selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai Cipakancilan dimana di daerah tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar, dekat Bogor saat ini. Sedangkan Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Dia dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaannya yaitu sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).
Wilayah kekuasaan
Berdasarkan naskah primer berbahasa Sunda kuno Perjalanan Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah. Kerajaan Sunda yang beribukota di Pajajaran juga mencakup wilayah bagian selatan pulau Sumatra. Setelah Kerajaan Sunda diruntuhkan oleh Kesultanan Banten maka kekuasaan atas wilayah selatan Sumatra dilanjutkan oleh Kesultanan Banten.[2]
Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.
Persekutuan antara Sunda dan Galuh
Putera Tarusbawa yang terbesar, Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih muda, meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini lantas dinikahi oleh Rahyang Sanjaya dari Galuh, sampai mempunyai seorang putera, Rahyang Tamperan.[butuh rujukan]
Ibu dari Sanjaya adalah Sanaha, cucu Ratu Shima dari Kalingga di Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa/Sena/Sanna, Raja Galuh ketiga sekaligus teman dekat Tarusbawa. Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Sena pada tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh Purbasora. Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tetapi lain ayah.[butuh rujukan]
Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan Pajajaran, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Tarusbawa. Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara. Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh dengan bantuan Tarusbawa. Penyerangan ini bertujuan untuk melengserkan Purbasora.[butuh rujukan]
Saat Tarusbawa meninggal (tahun 723), kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan Sanjaya. Di tangan Sanjaya, Sunda dan Galuh bersatu kembali. Tahun 732, Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh kepada puteranya Rarkyan Panaraban (Tamperan). Di Kalingga Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi Sudiwara, yaitu Rakai Panangkaran. Rarkyan Panaraban berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739), lalu membagi kekuasaan pada dua puteranya; Sang Manarah (dalam carita rakyat disebut Ciung Wanara) di Galuh, serta Sang Banga (Hariang Banga) di Sunda.[11]
Sang Banga (Prabhu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja selama 27 tahun (739-766), tetapi hanya menguasai Sunda dari tahun 759. Dari Déwi Kancanasari, keturunan Demunawan dari Saunggalah, Sang Banga mempunyai putera bernama Rarkyan Medang, yang kemudian meneruskan kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan gelar Prabhu Hulukujang. Karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi dari Galuh, yang menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795).[12]
Karena Rakryan Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak perempuan, maka kekuasaan Sunda lantas jatuh ke menantunya, Rakryan Diwus (dengan gelar Prabu Pucukbhumi Dharmeswara) yang berkuasa selama 24 tahun (795-819). Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, Rakryan Wuwus, yang menikah dengan putera dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-842), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh Rakryan Wuwus dengan gelar Prabhu Gajahkulon sampai ia wafat tahun 891.[12]
Sepeninggal Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik iparnya dari Galuh, Arya Kadatwan. Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar dari Sunda, ia dibunuh tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke putranya, Rakryan Windusakti. Kekuasaan ini lantas diturunkan pada putera sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913). Rakryan Kamuninggading menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab kemudian direbut oleh adiknya, Rakryan Jayagiri (916). Rakryan Jayagiri berkuasa selama 28 tahun, kemudian diwariskan kepada menantunya, Rakryan Watuagung, tahun 942. Melanjutkan dendam orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut kekuasaannya oleh keponakannya (putera Kamuninggading), Sang Limburkancana (954-964).[12]
Dari Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan oleh putera sulungnya, Rakryan Sundasambawa (964-973). Karena tidak mempunyai putera dari Sundasambawa, kekuasaan tersebut jatuh ke adik iparnya, Rakryan Jayagiri (973-989). Rakryan Jayagiri mewariskan kekuasaannya ka puteranya, Rakryan Gendang (989-1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu Déwasanghyang (1012-1019). Dari Déwasanghyang, kekuasaan diwariskan kepada puteranya, lalu ke cucunya yang membuat prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri Jayabhupati adalah menantu dari Dharmawangsa Teguh dari Jawa Timur, mertua raja Airlangga (1030-1042).[12]
Dari Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya, Dharmaraja (1042-1064), lalu ke cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi (1064-1154). Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh putranya, Rakryan Jayagiri (1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabhu Dharmakusuma (1156-1175). Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan kepada putranya, Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun (1175-1297). Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12 tahun, tetapi kemudian memindahkan pusat pemerintahan kepada Pakuan Pajajaran, kembali lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.[butuh rujukan]
Sepeninggal Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang terbesar, Rakryan Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama enam tahun (1297-1303). Prabhu Ragasuci kemudian diganti oleh putranya, Prabhu Citraganda, yang berkuasa selama delapan tahun (1303-1311), kemudian oleh keturunannya lagi, Prabu Linggadéwata (1311-1333). Karena hanya mempunyai anak perempuan, Linggadéwata menurunkan kekuasaannya ke menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340), kemudian ke Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan diwariskan ke putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (1350-1357), yang di ujung kekuasaannya gugur saat Perang Bubat. Karena saat kejadian di Bubat, putranya—Niskalawastukancana—masih kecil, kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang Prabu Bunisora (1357-1371).[12]
Sapeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana, Niskala Wastu Kancana, yang kemudian memimpin selama 104 tahun (1371-1475). Dari isteri pertama, Nay Ratna Sarkati, ia mempunyai putera Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang diberi kekuasaan bawahan di daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda). Prabu Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat pemerintahan ini dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur. Dari Nay Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, ia mempunyai putera Ningratkancana (Prabu Déwaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di daerah Galuh (1475-1482).[12]
Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan menikahkan Jayadéwata (putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh Jayadéwata, yang bergelar Sri Baduga Maharaja.[butuh rujukan]
Daftar raja-raja Sunda
Daftar raja-raja Sunda memiliki dua versi dan sumber sejarah. Versi pertama ditemukan berdasarkan temuan arkeologi berupa prasasti dan versi kedua urutan raja Sunda menurut Naskah Wangsakerta.
Berdasarkan arkeologi
Nama raja-raja Sunda dapat ditemukan dalam bentuk arkeologis berupa prasasti-prasasti sebagai berikut:
No | Nama raja | Masa pemerintahan | Ditemukan pada |
---|---|---|---|
1 | Sri Jayabhupati | ca 1030-1042 | Prasasti Sanghyang Tapak (1030 M) |
2 | Niskala Wastu Kancana | ca 1371-1475 | Prasasti Kawali (paruh kedua abad ke-14) |
3 | Sri Baduga Maharaja | ca 1482-1521 | Prasasti Batutulis (1533) |
4 | Surawisesa | ca 1521–1535 | Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal |
Berdasarkan Naskah Wangsakerta
Masa pemerintahan raja-raja Sunda secara terperinci dan lengkap termuat dalam Naskah Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi):
No | Raja | Masa pemerintahan | Keterangan |
---|---|---|---|
1 | Maharaja Tarusbawa | 669-723 | |
2 | Sanjaya Harisdarma | 723-732 | cucu-menantu no. 1 |
3 | Tamperan Barmawijaya | 732-739 | |
4 | Rakeyan Banga | 739-766 | |
5 | Rakeyan Medang Prabu Hulukujang | 766-783 | |
6 | Prabu Gilingwesi | 783-795 | menantu no. 5 |
7 | Pucukbumi Darmeswara | 795-819 | menantu no. 6 |
8 | Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus | 819-891 | |
9 | Prabu Darmaraksa | 891-895 | adik-ipar no. 8 |
10 | Windusakti Prabu Dewageng | 895-913 | |
11 | Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi | 913-916 | |
12 | Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa | 916-942 | menantu no. 11 |
13 | Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa | 942-954 | |
14 | Limbur Kancana | 954-964 | anak no. 11 |
15 | Prabu Munding Ganawirya | 964-973 | |
16 | Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung | 973-989 | |
17 | Prabu Brajawisesa | 989-1012 | |
18 | Prabu Dewa Sanghyang | 1012-1019 | |
19 | Prabu Sanghyang Ageng | 1019-1030 | |
20 | Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati | 1030-1042 |
Catatan: Kecuali Tarusbawa (no. 1), Banga (no. 4), dan Darmeswara (no. 7) yang hanya berkuasa di kawasan sebelah barat Sungai Citarum, raja-raja yang lainnya berkuasa di Sunda dan Galuh.
No | Raja | Masa pemerintahan | Keterangan |
---|---|---|---|
1 | Wretikandayun | 670-702 | |
2 | Rahyang Mandiminyak | 702-709 | |
3 | Rahyang Bratasenawa | 709-716 | |
4 | Rahyang Purbasora | 716-723 | sepupu no. 3 |
5 | Sanjaya Harisdarma | 723-724 | anak no. 3 |
6 | Adimulya Premana Dikusuma | 724-725 | cucu no. 4 |
7 | Tamperan Barmawijaya | 725-739 | anak no. 5 |
8 | Manarah | 739-783 | anak no. 6 |
9 | Guruminda Sang Minisri | 783-799 | menantu no. 8 |
10 | Prabhu Kretayasa Dewakusalesywara Sang Triwulan | 799-806 | |
11 | Sang Walengan | 806-813 | |
12 | Prabu Linggabumi | 813-852 | |
13 | Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus | 819-891 | ipar no. 12 |
Catatan: Sanjaya Harisdarma (no. 5) dan Tamperan Barmawijaya (no. 7) sempat berkuasa di Sunda dan Galuh. Penyatukan kembali kedua kerajaan Sunda dan Galuh dilakukan kembali oleh Prabu Gajah Kulon (no. 13).
No | Raja | Masa pemerintahan | Keterangan |
---|---|---|---|
1 | Darmaraja | 1042-1065 | |
2 | Langlangbumi | 1065-1155 | |
3 | Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur | 1155-1157 | |
4 | Darmakusuma | 1157-1175 | |
5 | Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu | 1175-1297 | |
6 | Ragasuci | 1297-1303 | |
7 | Citraganda | 1303-1311 | |
8 | Prabu Linggadéwata | 1311-1333 | |
9 | Prabu Ajiguna Linggawisésa | 1333-1340 | menantu no. 8 |
10 | Prabu Ragamulya Luhurprabawa | 1340-1350 | |
11 | Prabu Maharaja Linggabuanawisésa | 1350-1357 | gugur dalam Perang Bubat |
12 | Prabu Bunisora | 1357-1371 | paman no. 13 |
13 | Prabu Niskala Wastu Kancana | 1371-1475 | anak no. 11 |
14 | Prabu Susuktunggal | 1475-1482 | anak No.13/ Raja Sunda |
14 | Prabu Dewa Niskala | 1475-1482 | anak No.13/ Raja Galuh |
Raja - Raja Sunda dari tahun (1482 - 1579)
- Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521), bertakhta di Pakuan (Bogor sekarang)
- Surawisesa (1521 – 1535), bertakhta di Pakuan
- Ratu Dewata (1535 – 1543), bertakhta di Pakuan
- Ratu Sakti (1543 – 1551), bertakhta di Pakuan
- Ratu Nilakendra (1551-1567), meninggalkan Pakuan karena serangan Sultan Maulana Hasanuddin dan anaknya, Maulana Yusuf
- Raga Mulya (1567 – 1579), dikenal sebagai Prabu Surya Kencana, memerintah dari Pandeglang.
Perjanjian Dengan Portugal
Pada tahun 1522, Kerajaan Sunda menandatangani Perjanjian Sunda-Portugis yang membolehkan orang Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kelapa. Sebagai imbalannya, Portugis diharuskan memberi bantuan militer kepada Kerajaan Sunda dalam menghadapi serangan dari Demak dan Cirebon [13]yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda.
Garis waktu
Lihat pula
Bacaan lanjut
|
|
Catatan kaki
- ^ Geoffrey C. Gunn, (2011), History Without Borders: The Making of an Asian World Region, 1000-1800, Hong Kong University Press, ISBN 988-8083-34-1
- ^ a b Guillot, Claude. (1990). The Sultanate of Banten. Gramedia Book Publishing Division. ISBN 979-403-922-5.
- ^ Marwati Djoened Poesponegoro; Nugroho Notosusanto (2008). Sejarah Nasional Indonesia: Zaman kuno (dalam bahasa Indonesian). Balai Pustaka. ISBN 979407408X. Diakses tanggal 3 June 2018.
- ^ Zahorka, Herwig (2007). The Sunda Kingdom of West Java From Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with the Royal Center of Bogor. Yayasan Cipta Loka Caraka.
- ^ Hirth, F., Rockhill, W.W., (1911). Chao Ju-kua, His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteen centuries, entitled Chu-fan-chi. St Petersburg
- ^ Noorduyn, Kerajaan Sunda dan Pakuan Pajajaran dilihat dari sumber-sumber prasasti dan naskah-naskah lama, Panitia Seminar, 1991
- ^ Nana Supriatna, Mamat Ruhimat, Kosim, IPS Terpadu (Sosiologi, Geografi, Ekonomi, Sejarah), PT Grafindo Media Pratama, ISBN 979-758-337-6
- ^ Casparis, J. G. de (1975). Indonesian Palaeography: A History of Writing in Indonesia from the Beginnings to C. A.D. 1500 (dalam bahasa Inggris). BRILL. ISBN 978-90-04-04172-1.
- ^ Uka Tjandrasasmita, (2009), Arkeologi Islam Nusantara, Kepustakaan Populer Gramedia, ISBN 979-9102-12-X
- ^ BPS Provinsi Banten (2019). Pariwisata Banten dalam Angka Tahun 2019 (PDF). Dinas Pariwisata Provinsi Banten. hlm. 47–48.
- ^ Parinduri, Alhidayath (4 Februari 2021). "Sejarah Kerajaan Sunda Galuh, Keruntuhan & Peninggalan Pajajaran". Tirto. Diakses tanggal 1 Maret 2021.
- ^ a b c d e f "Sejarah Kerajaan Sunda". Berkas Ilmu. 2 November 2018. Diakses tanggal 1 Maret 2021.
- ^ Herwig Zahorka (2007). The Sunda Kingdoms of West Java: From Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with the Royal Center of Bogor. Yayasan Cipta Loka Caraka.