Saudagar Minangkabau
Penyuntingan Artikel oleh pengguna baru atau anonim untuk saat ini tidak diizinkan. Lihat kebijakan pelindungan dan log pelindungan untuk informasi selengkapnya. Jika Anda tidak dapat menyunting Artikel ini dan Anda ingin melakukannya, Anda dapat memohon permintaan penyuntingan, diskusikan perubahan yang ingin dilakukan di halaman pembicaraan, memohon untuk melepaskan pelindungan, masuk, atau buatlah sebuah akun. |
Artikel ini menggunakan kata-kata yang berlebihan dan hiperbolis tanpa memberikan informasi yang jelas. |
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Saudagar Minangkabau merujuk pada profesi sekelompok masyarakat yang berasal dari ranah Minangkabau.[1]
Sejarah
Abad ke-7 hingga abad ke-18
Selama berabad-abad, perdagangan hasil tambang dan pertanian Minangkabau telah menjadi sumber utama dalam kemajuan ekonomi Samudra Hindia yang dinamis. Pedagang-pedagang besar Minangkabau telah melakukan perdagangan sejak abad ke-7. Mereka menjadi pedagang berpengaruh yang beroperasi di pantai barat dan pantai timur Sumatra. Perdagangan emas pada mulanya menjadi perdagangan utama masyarakat Minang. Lembah Tanah Datar merupakan tempat penting sebagai penghasil emas untuk ekonomi Minangkabau.[2] Upaya mencari emas kadang-kadang mendorong terjadinya perpindahan penduduk. Keberadaan orang Minangkabau di barat laut Jambi, disebabkan oleh upaya pencarian emas.[3] Diundang oleh Raja Regale dan para pendahulunya, banyak orang Minang menyeberang Selat Malaka menuju Johor untuk mengumpulkan debu emas dan bongkahannya. Pedagang emas Minangkabau sering adalah wiraswastawan terkemuka, yang mengandalkan sistem politik Pagaruyung untuk memberikan perlindungan apabila ia membawa kafilahnya yang terdiri atas seratus orang lebih berjalan menuruni lereng berbatu Bukit Barisan menuju pelabuhan di pantai barat. Pada akhir abad ke-18, tambang-tambang emas mulai habis dan perdagangannya mencapai titik nadir.
Setelah cadangan emas mengalami penurunan, perdagangan komoditas menjadi basis utama bisnis orang-orang Minang. Perdagangan lada, akasia, dan gambir berkembang pesat pada abad ke-15 hingga abad 18.[4] Dilanjutkan dengan perdagangan kopi pada abad ke-18 hingga 19. Mereka membawa barang dagangan dari pedalaman Minangkabau ke Selat Malaka atau Samudra Hindia untuk dijualkan kepada pedagang-pedagang asing. Ke pantai timur, perdagangan banyak dilakukan melalui sungai-sungai besar seperti Kampar, Siak, Indragiri, dan Batang Hari. Dari kegiatan perdagangan ini, banyak pedagang Minang yang bermigrasi dan mendirikan koloni di sepanjang pesisir barat dan timur Sumatra, bahkan hingga ke semenanjung Malaysia. Di pantai barat mereka mendirikan pos-pos dagang di Meulaboh, Tapaktuan, Barus, Sorkam, Natal, Tiku, Pariaman, Padang, hingga Bengkulu. Di pesisir timur, koloni dagang mereka terbentang dari Batubara, Pelalawan, hingga Jambi.
Sejak kemunculan Kerajaan Sriwijaya dan dilanjutkan dengan Kesultanan Malaka, banyak pedagang Minangkabau yang bekerja untuk kerajaan. Peranan pedagang Minangkabau mulai menurun sejak dikuasainya pantai barat Sumatra oleh Kesultanan Aceh, kemudian oleh Belanda.[5] Dibukanya Penang dan Singapura di Selat Malaka, menggairahkan kembali perdagangan antara Minangkabau dengan dunia luar. Dari perdagangan komoditas dengan kota-kota tersebut, banyak desa-desa di Dataran Tinggi Minangkabau yang mendadak kaya raya. Disamping menjadi pedagang perantara, pedagang Minang juga banyak yang menjadi pedagang lintas selat, yang mana peran ini banyak dimainkan oleh pengusaha Minang yang bermukim di Batubara. Dengan kapal-kapal mereka, pedagang ini mengangkut aneka komoditas yang datang dari pedalaman untuk dijual di pasaran Singapura.[2] Selain berdagang di Selat Malaka, para pebisnis lintas selat ini juga beroperasi di pantai barat Sumatra, Kepulauan Karimata, Selat Sunda, Laut Jawa, Laut Sulu, hingga Kepulauan Maluku. Disamping tiga orang bersaudara: Nakhoda Bayan, Nakhoda Intan, dan Nakhoda Kecil; Nakhoda Mangkuto, yang kemudian dilanjutkan oleh putranya Nakhoda Muda, merupakan beberapa pedagang lintas selat yang sukses berdagang komoditas.[6]
Pada paruh kedua abad ke-18, tanaman dan industri baru berkembang pesat di Minangkabau. Hal ini segera merangsang para pengusaha dan pedagang untuk meraih kekayaan yang lebih. Kekayaan inilah kemudian yang meletakkan jalan serta fondasi bagi berkembangnya Gerakan Padri, sebuah gerakan pembaruan keagamaan yang dipelopori oleh Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Di pantai muncul tambak-tambak garam, di daerah Agam budidaya kapas maju dengan pesat dan menyediakan bahan untuk penenunan katun yang makin lama makin giat. Di Luhak Lima Puluh Kota ditanam pohon gambir yang pada waktu itu dipakai sebagai obat, yang kemudian menjadi komoditas ekspor.[7]
Abad ke-19 hingga saat ini
Pada awal abad ke-19, pedagang-pedagang Eropa terutama Belanda, mulai mendominasi perdagangan Minangkabau. Perang Padri yang berlangsung selama 30 tahun lebih berusaha untuk mengusir pedagang-pedagang Belanda yang banyak beroperasi di daerah pedalaman. Mereka berusaha untuk memonopoli semua komoditas dagang yang dihasilkan ranah Minangkabau. Kekalahan pasukan Padri, telah meluluhlantakan perdagangan Minangkabau sekaligus penguasaan wilayah ini di bawah pemerintahan Hindia Belanda.[2] Meski berada di bawah cengkeraman kolonial Hindia Belanda, pada masa inipun ranah Minang juga melahirkan beberapa pengusaha besar, diantaranya ialah Abdul Gani Rajo Mangkuto dan Muhammad Saleh. Pada tahun 1914, beberapa pedagang Minang yang dikepalai oleh Taher Marah Soetan mendirikan Sarikat Usaha. Selain untuk memperkuat bisnis orang Minang, serikat ini juga bertujuan untuk memajukan pendidikan dan perjuangan kemerdekaan.[8] Di tahun 1930-an, berdiri dua perusahaan dagang terkemuka yang dikelola oleh saudagar Minang. Masing-masing adalah Bank Nasional di Bukittinggi dan Djohan Djohor di Jakarta.[9] Jika Bank Nasional didirikan oleh Anwar Sutan Saidi, maka Djohan Djohor dikelola oleh tiga orang pengusaha terkemuka, yakni Ayub Rais, Djohan Soetan Soelaiman, dan Djohor Soetan Perpatih.[10]
Kebangkitan pedagang Minang terjadi kembali pasca-kemerdekaan. Di antara tahun 1950–1965, banyak pengusaha Minangkabau yang sukses berbisnis. Antara lain Hasyim Ning, Rahman Tamin, Sidi Tando, dan Rukmini Zainal Abidin. Pada masa itu, mereka termasuk kelompok masyarakat yang paling besar kekayaannya di Indonesia.[7] Di zaman Orde Baru, kebijakan pemerintah yang berpihak kepada pedagang Tionghoa sangat merugikan pedagang Minangkabau.[10] Kesulitan berusaha dialami oleh pedagang Minang pada saat itu, terutama masalah pinjaman modal di bank serta pengurusan izin usaha. Sebaliknya, di Malaysia mereka justru mendapat kemudahan karena kebijakan pemerintah yang mengutamakan pedagang pribumi. Alhasil, banyak pengusaha Minang yang berhasil di Malaysia, seperti Nasimuddin Amin, Kamarudin Meranun, dan juga keluarga kerajaan Negeri Sembilan yang memiliki beberapa perusahaan. Di penghujung era Orde Baru, beberapa pengusaha Minang yang dimotori oleh Abdul Latief, Aminuzal Amin, Nasroel Chas, dan Fahmi Idris mendirikan perusahaan joint venture Nagari Development Corporation (NDC), yang bertujuan untuk memajukan masyarakat Minangkabau.
Kultur
Berdagang merupakan salah satu kultur yang menonjol dalam masyarakat Minangkabau. Bagi masyarakat Minang, berdagang tidak hanya sekadar mencari nafkah dan mengejar kekayaan, tetapi juga sebagai bentuk eksistensi diri untuk menjadi seorang yang merdeka. Dalam budaya Minang yang egaliter, setiap orang akan berusaha untuk menjadi seorang pemimpin. Menjadi subordinat orang lain, sehingga siap untuk diperintah-perintah, bukanlah sebuah pilihan yang tepat. Prinsip "lebih baik menjadi pemimpin kelompok kecil daripada menjadi anak buah organisasi besar" (elok jadi kapalo samuik daripado ikua gajah) merupakan prinsip sebagian besar masyarakat Minang. Menjadi seorang pedagang merupakan salah satu cara memenuhi prinsip tersebut, sekaligus menjadi orang yang merdeka. Dengan berdagang, orang Minang bisa memenuhi ambisinya, dapat menjalankan kehidupan sesuai dengan keinginannya, hidup bebas tanpa ada pihak yang mengekang, sehingga banyak perantau muda Minangkabau lebih memilih berpanas-panas terik di pinggir jalan, daripada harus kerja menjadi pegawai yang acap kali diperintah.[11]
Berkembangnya kultur dagang dalam masyarakat Minang, disebabkan adanya harta pusaka tinggi yang menjamin kepemilikan tanah dan keberlangsungannya bagi setiap kaum di Minangkabau. Dengan kepemilikan tanah tersebut, posisi masyarakat Minang tidak hanya sebagai pihak penggarap saja, melainkan juga menjadi pedagang langsung yang menjual hasil-hasilnya ke pasaran.[butuh rujukan]
Selain itu, kultur merantau yang menanamkan budaya mandiri, menjadikan profesi berdagang sebagai pekerjaan pemula untuk memenuhi kebutuhan hidup. Oleh karenanya menjadi pedagang kaki lima sering menjadi pekerjaan awal bagi banyak perantau Minang. [butuh rujukan]
Jenis usaha
Restoran
Usaha rumah makan merupakan jenis usaha yang banyak digeluti oleh pedagang Minang. Jaringan restoran Minang atau yang biasa dikenal dengan restoran Padang tersebar ke seluruh kota-kota di Indonesia, Malaysia, Singapura, Australia, bahkan hingga ke Belanda dan Amerika Serikat.[12][13] Disamping itu terdapat juga usaha restoran yang memiliki ciri khas dan merek dagang yang dijalani oleh pedagang dari daerah tertentu. Pedagang asal Kapau (dekat Bukittinggi) biasanya menjual nasi ramas yang dikenal dengan Nasi kapau. Pedagang Pariaman, Dangung-Dangung, dan Padang Panjang banyak yang menjual Sate padang serta Soto padang. Sedangkan pedagang asal Kubang (dekat Payakumbuh) menjadi penjual martabak, dengan merek dagangnya Martabak Kubang.
Restoran Sederhana yang dirintis oleh Bustamam menjadi jaringan restoran Padang terbesar dengan 200 cabang yang tersebar di seluruh Indonesia dan Malaysia.[14] Selain Sederhana, jaringan restoran Minang lainnya yang telah berekspansi ke mancanegara adalah Sari Ratu dan Natrabu.
Pengusaha Minang lainnya Syamsalis dan Evalinda Amir, juga sukses mengembangkan usaha ayam goreng dengan merek Sabana dan D'Besto. Usaha ayam goreng ini cukup berkembang dan kini memiliki outlet masing-masing mencapai 1.000 gerai[15] dan 300 gerai.[16] Dengan sistem kemitraan, keduanya memposisikan produknya sebagai pesaing pewaralaba asal Amerika Serikat, Kentucky Fried Chicken. Pengusaha lain yang bergerak di bidang makanan adalah keluarga Bustanil Arifin yang merupakan pemegang lisensi Pizza Hut dan Marugame Udon. Saat ini jaringan restoran di bawah bendera Sriboga itu sudah memiliki lebih dari 560 cabang di seluruh Indonesia.[17]
Nama Restoran | Jumlah | Lokasi |
---|---|---|
Sederhana | 200 | Jabotabek, Bandung, Semarang, Denpasar, Surabaya, Makassar, Kuala Lumpur, Petaling Jaya[18] |
Putra Minang | 67 | Jabotabek |
Simpang Raya | 46 | Bukittinggi, Jabotabek, Bandung, Balikpapan, Cirebon |
Mak Ciak | 32 | Jabotabek, Bandung |
Garuda | 22 | Medan, Jabotabek, Bandar Lampung, Pekanbaru, Batam[19] |
Sari Ratu | 22 | Jabotabek, Surabaya, Kuala Lumpur, Singapura, Petaling Jaya |
Pagi Sore | 18 | Palembang, Jabotabek, Jambi, Pangkalpinang, Bandung |
Duta Minang | 12 | Yogyakarta, Semarang, Kediri[20] |
Sari Bundo | 10 | Jabotabek, Makassar, Pekanbaru, Yogyakarta[21] |
Sate Padang Mak Syukur | 10 | Padang Panjang, Jabotabek |
Martabak Kubang Hayuda | 9 | Padang, Jabotabek, Bandung, Bukittinggi |
Natrabu | 8 | Jabotabek, Denpasar, Cilegon, Kuala Lumpur |
Sarimande Metropolitan | 8 | Jabotabek[22] |
Nasi Kapau Pak Ciman | 7 | Jabotabek, Palembang[23] |
Nasi Kapau Sutan Mangkuto | 5 | Jabotabek |
Kerajinan
Orang Minang banyak melakukan perdagangan dari hasil kerajinan. Para pedagang ini banyak yang menggeluti kerajinan perak dan kulit. Dari bahan kulit, mereka banyak membuat tas, sepatu, dompet, serta ikat pinggang. Kebanyakan mereka berasal dari Bukittinggi, Pariaman, Payakumbuh, Sawahlunto, dan Solok. Di Jakarta, para pengusaha ini banyak ditemui di kawasan Penggilingan dan Cipulir, di Bandung di sekitar Cibaduyut, serta di Medan, mereka banyak berkumpul di kawasan Sukaramai. Sedangkan kerajinan emas biasa digeluti oleh masyarakat Aur Malintang dan Bukittinggi. Kawasan Blok M dan Cikini, merupakan lokasi utama para pedagang emas Minang di Jakarta. Salah satu pedagang emas yang cukup sukses di Jakarta adalah Azwar "Sagi" Wahid.[24]
Disamping itu, banyak pula yang menggeluti usaha jual-beli barang-barang antik. Bisnis ini biasanya digeluti oleh pedagang asal Sungai Puar.[25] Pedagang barang antik Minangkabau banyak ditemui di Cikini, Jakarta Pusat dan Ciputat, Tangerang Selatan. Jaringan pedagang antik Minang yang telah terbentuk sejak dekade 1930-an itu, banyak mengambil benda-benda keramik zaman Dinasti Ming atau Qing dari wilayah Sulawesi atau Maluku.
Percetakan
Bisnis percetakan merupakan jenis usaha yang banyak dijalankan oleh pedagang Minang. Usaha percetakan yang mereka jalani meliputi percetakan undangan dan buku. Bahkan dari usaha percetakan ini berkembang menjadi usaha penerbitan buku dan toko buku. Usaha percetakan banyak digeluti oleh pedagang asal Sulit Air. Beberapa pengusaha yang sukses menggeluti bisnis ini ialah Lukman Sa'ad (pemilik Yudhistira-Ghalia), Amir Hamzah (Bumi Aksara), Rozali Usman (Remaja Rosdakarya), Muhammad Arbie (Madju),[26] Mawardi Labay El-Sulthani (Al Mawardi Prima), Asril Das (Lubuk Agung), Remon Agus (Zikrul Hakim Bestari), serta Rainal Rais.
Pariwisata
Bisnis pariwisata terutama jaringan perhotelan dan travel juga banyak digeluti oleh pengusaha Minangkabau. Di Jakarta, hotel-hotel kelas menengah banyak yang dimiliki oleh pengusaha Minang. Amir Rasydin Datuk Basa merupakan salah seorang pengusaha hotel yang memiliki jaringan cukup besar. Hotel milik pengusaha Minang yang cukup terkenal antara lain Hotel Ambhara, Hotel Sofyan, Hotel Grand Menteng, Hotel Sentral, Oasis Amir Hotel, Hotel Royal Kuningan, Hotel Treva, Hotel Maharani, dan Hotel Mega. Di Pekanbaru, disamping Grand Suka Hotel milik Zairin Kasim, ada pula Hotel Mutiara Merdeka punya Muhammad Nazir, dan Hotel Pangeran milik Syarifudin Dt. Pangeran. Di Medan, terdapat Hotel Madani yang dikelola oleh Masri Nur dan Garuda Plaza Hotel yang dimiliki Hendra Arbie. Di Bandar Lampung, Yogyakarta, dan Batusangkar ada Hotel Emersia milik Merry Warti. Di Bandung, terdapat Grand Asrilia Hotel punya Asril Das. Sedangkan di Bali ada The Stones Hotel milik Oesman Sapta Odang.[27] Tidak hanya di Indonesia, pengusaha Minang juga menggarap bisnis penginapan hingga ke mancanegara. Salah satunya adalah Fahmi Idris yang mengembangkan Regent Beverly Whilshire, di kawasan Beverly Hills, California.[28]
Di industri travel banyak pula pengusaha Minang yang ikut ambil bagian. Diantaranya ialah Darnelly Guril (Arminareka Perdana) dan Jefri Van Novis (Bonita Tour). Di Sumatra Barat, Nelson Septiadi merupakan salah seorang pengusaha Minang yang bergelut di bisnis taman hiburan. Ia adalah pemilik Minang Fantasi, sebuah arena permainan terbesar kedua di Indonesia.[29] Di Bali, selain mengelola kafe dan toko suvenir, Yunasril Anga merupakan pengusaha Minang yang aktif mempromosikan pulau dewata ke dunia internasional.
Pendidikan
Bisnis pendidikan juga menjadi pilihan bagi orang Minang. Usaha ini biasanya digeluti oleh para pendidik yang pada mulanya bekerja pada sekolah negeri atau swasta. Dari pengalaman tersebut, mereka bisa mengembangkan sekolah, universitas, atau tempat kursus sendiri yang akhirnya berkembang secara profesional. Di Jakarta, terdapat beberapa universitas atau perguruan tinggi milik orang Minang, yaitu Universitas Jayabaya didirikan oleh Moeslim Taher, Universitas Persada Indonesia YAI didirikan oleh Julius Sukur, Universitas Borobudur didirikan oleh Basir Barthos, serta The London School of Public Relations yang didirikan oleh Prita Kemal Gani. Sedangkan di kota Medan, Djanius Djamin, yang dikenal sebagai aktivis, akademisi dan pengusaha juga mendirikan perguruan tinggi yang bernama Universitas Tri Karya.
Media
Bakat menulis dan ilmu jurnalistik yang dimiliki oleh orang Minang, telah melahirkan beberapa perusahaan media besar di Indonesia, diantaranya Kartini Grup yang didirikan oleh Lukman Umar, Femina Grup yang didirikan oleh putra-putri Sutan Takdir Alisjahbana, Galamedia yang didirikan oleh Syamsuyar Adnan, dan stasiun televisi Lativi yang didirikan oleh Abdul Latief. Di Malaysia, Hussamuddin Yaacub merupakan konglomerat Minang yang merajai bisnis media cetak negeri tersebut. Bersama kakaknya Fickry Yaacub, ia mendirikan Karangkraf Grup.[30]
Selain itu, beberapa media ternama yang didirikan oleh orang Minang adalah koran Warta Berita, Soeloeh Melajoe, dan Oetoesan Melajoe oleh Mahyuddin Datuk Sutan Maharadja, majalah Panji Masyarakat oleh Hamka, koran Pedoman oleh Rosihan Anwar, koran Waspada oleh Ani Idrus, dan harian Berita Indonesia oleh Rusli Amran.
Tekstil
Di pasar tradisional kota-kota besar Indonesia, pedagang Minangkabau banyak yang menggeluti perdagangan tekstil. Di Jakarta, pedagang Minangkabau mendominasi pusat-pusat perdagangan tradisional, seperti Pasar Tanah Abang, Pasar Senen, Pasar Blok M, Pasar Jatinegara, dan Pasar Cipulir. Dominasi pedagang tekstil Minangkabau juga terjadi di Medan dan Pekan Baru. Jika di Medan pedagang Minangkabau mendominasi Pajak Sentral dan Pasar Sukaramai, maka di Pekan Baru mereka dominan di Pasar Pusat dan Pasar Bawah. Di luar itu, beberapa sentra pengusaha tekstil Minang adalah Kuala Lumpur, Palembang, Surabaya, Bandung, Batam, Yogyakarta, dan Pekalongan. Di Kuala Lumpur, para pengusaha Minang banyak dijumpai di Wisma Yakin dan Kampung Baru,[31] sedangkan di Surabaya mereka berdagang di Pasar Turi. Disamping itu, di Bandung banyak pedagang Minang yang menempati Pasar Baru Trade Center dan Pasar Kota Kembang, serta di Batam mereka berjualan di Nagoya. Pada masa Orde Lama, Rahman Tamin merupakan salah seorang pengusaha tekstil terbesar di Indonesia.
Fesyen
Selain menjadi pedagang bahan, banyak pula pengusaha Minang yang mengolah bahan menjadi produk-produk fesyen. Diantara mereka yang terjun ke bisnis ini ialah para perancang busana yang kemudian membuka butiknya sendiri. Beberapa diantaranya adalah Itang Yunasz (SZ), Iwan Tirta (Iwan Tirta Private Collection), Ria Miranda (Riamiranda), Sjamsidar Isa (Studio One), Monika Jufry (Sessa), dan Fomalhaut Zamel. Disamping itu ada pula pengusaha yang bukan sebagai perancang namun terjun ke industri fesyen, seperti Elidawati Ali Oemar dan Feny Mustafa. Elzatta yang dikembangkan oleh Elidawati serta Shafira dan Zoya, dua merek besutan Feny, outletnya telah hadir di seluruh Indonesia.[32]
Keuangan
Bisnis di industri keuangan, seperti perbankan, sekuritas, dan asuransi juga merupakan pilihan bagi pengusaha Minang. Bahkan pengusaha Minang, Soetan Sjahsam yang juga adik perdana menteri pertama Indonesia Sutan Sjahrir, merupakan perintis pasar modal di Indonesia. Sjahsam juga seorang pialang saham dan mendirikan perusahaan sekuritas, Perdanas. Disamping Sjahsam, ekonom Syahrir juga aktif dalam bisnis sekuritas dengan mendirikan perusahaan Syahrir Securities. Di bisnis modal ventura dan multi finance, Arwin Rasyid mendirikan TEZ Capital & Finance[33] Sedangkan di bisnis perbankan, pengusaha asal Sungai Puar Anwar Sutan Saidi, mendirikan Bank Nasional pada tahun 1930.[34] Pada masa Orde Baru, beberapa pengusaha Minang yang terjun di bisnis perbankan antara lain Hasyim Ning (Bank Perniagaan Indonesia) dan Anwar Syukur (Bank Anrico).
Kesehatan dan Kosmetik
Industri kesehatan juga merupakan bidang yang banyak digeluti oleh pengusaha Minang. Beberapa dokter dari kalangan Minangkabau, banyak yang membuka rumah sakit serta rumah bersalin yang tersebar di kota-kota besar Indonesia, diantaranya adalah Rizal Sini yang mendirikan Rumah Sakit Bunda, keluarga Awaloeddin yang mengembangkan jaringan Rumah Sakit Primaya,[35] serta Nurzahedi yang mengelola Aulia Hospital.
Disamping itu, ada pula pengusaha Minang yang terjun ke industri obat-obatan. Salah satunya adalah Rukmini Zainal Abidin. Bersama suaminya ia mendirikan pabrik obat PT Tunggal Idaman Abadi dan Apotek Tunggal.[36] Perempuan Minang lainnya, Nurhayati Subakat, berhasil menjual produk-produk kosmetik, dengan merek dagang Wardah dan Zahra.[37]
Properti
Sejak berkembangnya industri properti pada dasawarsa 1980-an, banyak pengusaha Minang yang terjun ke dalam bisnis ini. Mereka banyak membangun proyek perumahan, apartemen, dan sentra bisnis di kota-kota utama Indonesia. Pada tahun 1991, Nasroel Chas meluncurkan pusat bisnis prestisius, Sudirman Central Business District di kawasan Senayan, Jakarta.[38] Proyek ini merupakan proyek percobaan bagi pengembangan pusat-pusat bisnis di seluruh Indonesia. Pengusaha properti lainnya adalah Is Anwar Datuk Rajo Perak, yang mengembangkan gedung perkantoran di kawasan Matraman, Jakarta. Belly Saputra, pemilik Riyadh Group, membangun beberapa kompleks apartemen di Jakarta dan Bandung. Ia juga berencana akan mengembangkan kawasan hunian mewah bagi ekspatriat Jepang di Pulau Batam,[39] serta membangun pusat perbelanjaan di Malaysia.[40] Pengusaha Minang lainnya, Nuzli Arismal yang dijuluki sebagai "raja pasar", banyak mengelola pusat-pusat perbelanjaan. Diantaranya adalah Blok F Tanah Abang (Jakarta), Pasar Cipadu (Tangerang), dan Abdurrahman bin Auf Trade Center (Bandung).
Pertambangan
Industri pertambangan adalah salah satu bisnis yang diminati oleh pengusaha Minang. Mereka mulai banyak menggeluti bidang ini sejak dibukanya permodalan asing pada masa Orde Baru. Pengusaha Minang yang sukses di bidang ini antara lain Aminuzal Amin, Oesman Sapta Odang, Emil Abbas, Yendra Fahmi, Edi Yosfi, dan Bonny Z. Minang. Di Malaysia pada akhir abad ke-19, Mohamed Taib bin Haji Abdul Samad merupakan pengusaha pertambangan yang sukses. Bersama saudaranya, Abbas bin Haji Abdul Samad, dia membuka pertambangan timah di Selangor.[41] Setelah lepas dari Inggris, Tunku Imran dan Tunku Naquiyuddin dari keluarga kerajaan Negeri Sembilan, merupakan pengusaha pertambangan yang memiliki kekayaan cukup besar di Malaysia.
Perfilman
Para pengusaha Minang juga merupakan pelopor dalam pengembangan industri film di Indonesia pasca-kemerdekaan. Usmar Ismail pendiri Perfini dan Djamaluddin Malik pemilik Persari, merupakan dua tokoh perfilman yang dijuluki sebagai "Bapak Film Indonesia".[42] Selain itu, Naziruddin Naib juga merupakan produser film Indonesia yang aktif di masa Orde Lama. Pada masa Orde Baru, keluarga Soekarno M. Noer lewat perusahaannya Karnos Film giat memproduksi aneka sinetron, diantaranya yang cukup melegenda adalah Si Doel Anak Sekolahan. Di era reformasi, Nan Achnas adalah salah satu pengusaha yang aktif memproduksi film-film Indonesia. Di Malaysia, sineas Minang yang cukup aktif memproduksi film adalah Rosnani Jamil dan U-Wei bin Haji Saari.
Saudagar sukses
- Abdul Gani Rajo Mangkuto, saudagar besar komoditas asal Koto Gadang, IV Koto, Agam, dan merupakan orang yang paling besar kekayaannya di Sumatra Tengah pada masa Hindia Belanda.
- Abdul Latief merupakan sosok sukses pengusaha Minangkabau di Jakarta. Bisnis Abdul Latief meliputi properti, agrobisnis, dan hotel di bawah bendera ALatief Corporation. Pasaraya dan Lativi merupakan perusahaan terbesar milik Latief. Selain sukses sebagai pengusaha, Latief juga menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja di pemerintahan Orde Baru.
- Anwar Sutan Saidi, ia merupakan salah satu dari sedikit konglomerat Indonesia sebelum masa kemerdekaan dan merupakan pendiri Bank Nasional.
- Basrizal Koto merupakan pengusaha asal Pariaman yang menggeluti bisnis media, hotel, pertambangan, dan peternakan. Basrizal yang dikenal dengan Basko memiliki hotel yang berbasis di Pekanbaru dan Padang. Selain itu, dia memiliki peternakan sapi terbesar di Asia Tenggara.[43]
- Datuk Hakim Thantawi, merupakan pengusaha yang bergerak di bidang pertambangan dan perdagangan di bawah bendera Grup Thaha.
- Djohan Soetan Soelaiman, menjadi seorang pedagang sukses pada tahun 1930-an. Bersama saudaranya Djohor Soetan Perpatih, dia mendirikan toko Djohan Djohor yang terkenal dengan aksi mendiskon barang yang menyebabkan toko-toko Tionghoa di Pasar Senen, Pasar Baru, dan Kramat (ketiganya berada di Jakarta) menurunkan harga dagangannya.
- Fahmi Idris merupakan salah satu pengusaha Minang yang juga seorang politisi. Fahmi mendirikan grup bisnis Kodel yang bergerak dibidang perdagangan, industri, dan investasi. Fahmi yang telah berbisnis sejak tahun 1967, sempat berhenti kuliah dari FEUI untuk mulai berwirausaha.
- Hasyim Ning, merupakan pengusaha Minang sejak era Orde Lama. Bisnisnya bergerak di bidang otomotif, yaitu sebagai agen tunggal pemegang merek mobil-mobil asal Eropa dan Amerika Serikat. Dia juga merupakan pendiri Lippo Bank. Hasyim pernah dijuluki pers sebagai "Raja Mobil dan Henry Ford Indonesia". Dia sempat dituding sebagai boneka kapitalis ketika pada tahun 1954 perusahan yang dipimpinnya, Indonesia Service Company, mendapat kredit lunak sebesar 2,6 juta dollar AS dari Development Loan Fund.[44] Selain itu, bisnis Hasyim juga merambah perhotelan dan biro perjalanan.
- Rahman Tamin, seorang pengusaha tekstil dengan merek Ratatex (Rahman Tamin Textile) yang terkenal hingga mancanegara. Tamin mengendalikan berbagai macam bisnisnya yang membentang antara Padang-Singapura-Jakarta.
- Kamarudin Meranun, seorang pengusaha Malaysia asal Guguak Tabek Sarojo, Agam, yang merupakan salah satu pendiri AirAsia dan Tune Group.
- Muhammad Saleh adalah seorang nakhoda Minangkabau, yang memulai bisnisnya dengan membawa barang serta aneka komoditas dari satu kota ke kota lainnya di pantai barat Sumatra. Kemudian Saleh memperluas bisnisnya dengan menjadi kontraktor garam, serta komoditas untuk pasaran pedalaman Minangkabau.[45]
- Nasimuddin Amin, seorang pengusaha Malaysia keturunan Minangkabau. Ia merupakan pendiri sekaligus pemilik konglomerasi NAZA Group, yang bergerak pada bisnis otomotif, keuangan, properti, dan perkebunan.
- Nurhayati Subakat, pengusaha kosmetik, pendiri PT Pusaka Tradisi Ibu yang memproduksi kosmetik dengan merek dagang Wardah Cosmetic.
- Tunku Naquiyuddin, konglomerat Malaysia, pemilik dan chairman pada perusahaan Antah Holdings Berhad yang bergerak di banyak bidang usaha.
- Tunku Tan Sri Abdullah, merupakan pengusaha Minang-Malaysia yang sukses. Di bawah bendera Melewar Corporation, bisnisnya meliputi produksi baja dan manufaktur.
Pengusaha muda
Dari kalangan generasi muda, mulai dikenal beberapa nama yang telah memperlihatkan prestasi sebagai pedagang/pengusaha yang tangguh, diantaranya:
- Ahmad Sahroni, pengusaha kapal tongkang yang memulai usahanya benar-benar dari bawah. Prestasinya juga membuat ia dipercaya memimpin komunitas penggemar/pemilik Ferrari Indonesia. Ia kemudian juga terjun ke dunia politik dan duduk sebagai anggota DPR-RI melalui Partai NasDem.
- Iman Usman, pendiri perusahaan teknologi di bidang pendidikan, Ruangguru.
- Ismail Ning, putra dari Hasyim Ning dan Ratna Maida Ning yang mengelola beberapa perusahaan, diantaranya PT Internux, Pacto Ltd, Metropolis Propertindo Utama, PT Gowa Makassar Tourism Development Tbk, dan lainnya.
- Muhammad Lutfi, salah seorang pendiri dan pemilik Mahaka Grup yang bergerak di bidang penerbitan, media massa, energi dan lain-lain. Ia pernah menjabat Ketua HIPMI dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), sebelum menjadi Menteri Perdagangan Indonesia.
- Nadiem Makarim, seorang pengusaha muda yang mengembangkan aplikasi transportasi daring Go-Jek. Untuk melengkapi jasa transportasi, saat ini Go-Jek juga menyediakan fasilitas Go-Food (pesan makan), dan Go-Send (jasa pengiriman barang)
- Pandu Patria Sjahrir, pengusaha muda yang menjadi angel investor beberapa perusahaan rintisan di Asia Tenggara sekaligus pengelola PT TBS Energi Utama Tbk
- Raja Sapta Oktohari, pengusaha muda Indonesia yang mengelola beberapa perusahaan yang tergabung dalam OSO Group. Ia juga pernah dipercaya menjabat Ketua Umum HIPMI.
Lihat pula
Referensi
- ^ "Jejak Para Perantau" Kompas.com, 9 September 2013.
- ^ a b c Dobbin, Christine (2008). Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847. ISBN 979-373-126-5.
- ^ Marsden, William (1966). The History of Sumatra. London: Oxford University Press.
- ^ "Jejak Perdagangan Rempah" Kompas.com, 7 September 2013.
- ^ Reid, Anthony (1992). Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680. Yayasan Obor.
- ^ Mūda, Nakhodā (1961). Gerardus Willebrordus Joannes Drewes, ed. De Biografie van een Minangkabausen Peperhandelaar in de Lampongs (dalam bahasa Belanda). Martinus Nijhoff.
- ^ a b Lombard, Denys (1996). "Jaringan Asia". Nusa Jawa: Silang Budaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- ^ Audrey R. Kahin, Rebellion to Integration: West Sumatra and the Indonesian Polity, 1926-1998, Amsterdam University Press, 1999
- ^ J. Thomas Lindblad, Bridges to New Business: The Economic Decolonization of Indonesia, 2008
- ^ a b "Indonesia, the Rise of Capital" Richard Robison, Equinox Publishing.
- ^ Ratten, Vanessa (2021). Entrepreneurial Connectivity: Network, Innovation and Strategy Perspectives. Singapore: Springer Nature. hlm. 47.
- ^ Selain Indonesia, Ini 7 Negara yang Ada Rumah Makan Padang
- ^ Wow, Rumah Makan Padang Ada di New York!
- ^ Restoran Sederhana, Jaringan Rumah Makan Padang yang Melegenda
- ^ "Franchise Sabana Fried Chicken". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-02-20. Diakses tanggal 2020-04-04.
- ^ Intip Rahasia Sukses d’BestO, Punya 300 Outlet dan Ribuan Karyawan Kurang dari 10 Tahun
- ^ Sarimelati Kencana (PZZA) Rajin Tambah Gerai Pizza Hut di Tahun Ini
- ^ [https://www.restoransederhana.id/lokasi/ Cabang Restoran Sederhana
- ^ "Situs Resmi Restoran Garuda". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-08-06. Diakses tanggal 2022-11-19.
- ^ Situs Resmi Duta Minang
- ^ Situs Resmi Restoran Sari Bundo
- ^ Situs Resmi Restoran Sarimande
- ^ Nasi Kapau Kedai Pak Ciman Buka Cabang ke-7 di Jalan Minangkabau Jakarta Selatan
- ^ Subhanallah, H Sagi Bagikan Rp 3 Miliar
- ^ Naim, Mochtar (1973). Merantau. Gadjah Mada University Press.
- ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-12-29. Diakses tanggal 2009-06-04.
- ^ "President Suite The Stone Hotel Kuta Cetak Rekor Dunia". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-10-06. Diakses tanggal 2018-10-06.
- ^ Majalah Tempo, Rumah BSB, Markas Kodel, 31 Maret 1990
- ^ padang-today.com Mifan, Dufan Terbesar kedua di Tanah Air[pranala nonaktif permanen]
- ^ Antara Rahsia Kejayaan Datuk Hussamuddin Yaacub, Pengasas Kumpulan Karangkraf sinarharian.com.my Diarsipkan 2013-12-16 di Wayback Machine.
- ^ Sismudjito, Rizabuana Ismail and Darul Amin Abdul Munaf, The Rise and Tide of the Minangkabau Traditional Trading in Kuala Lumpur: A Preliminary Research, Indonesian Journal of Geography, Vol. 47 No. 1, June 2015: 69 - 76
- ^ Feny “Shafira” Mustafa: Membangun Bisnis Bermodal Kepercayaan dan Networking
- ^ Gebrakan Perusahaan Multifinance Arwin Rasyid
- ^ Audrey Kahin, Dari Pemberontakan Ke Integrasi Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998, Yayasan Obor Indonesia
- ^ Gaya Bos Awal Bros Didik 12 Anaknya
- ^ Sebuah Hacienda Di Salemba, Majalah Tempo, 27 Oktober 1973
- ^ Jackie Ambadar, Miranty Abidin, Yanty Isa; Rencana Usaha, 2010
- ^ Tanpa Pinjaman dari Luar, Majalah Tempo, 4 Juli 1992
- ^ propertybatam.com Pengembang Jakarta Bangun Rumah Mewah di Kamp Vietnam Barelang
- ^ Akuisisi 2 perusahaan di Malaysia, Riyadh Group akan IPO 30%-40%
- ^ Persatuan Melayu Selangor (PMS), Riwayat Hidup Haji Abdullah bin Haji Mohd. Taib, 15 April 1934
- ^ http://filmindonesia.or.id/movie/name/nmp4b9bce2f4931f_djamaludin-malik#.W7lpJxG-ldg
- ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-06-08. Diakses tanggal 2009-06-03.
- ^ Navis, Ali Akbar (1986). Pasang Surut Pengusaha Pejuang: Otobiografi Hasyim Ning. Grafitipers.
- ^ Nagazumi, Akira (1986). "Rantau Pariaman, Dunia Saudagar Pesisir Minangkabau Abad XIX". Indonesia Dalam Kajian Sarjana Jepang. Yayasan Obor Indonesia.