Khawārij (bahasa Arab: خوارج atau dibaca Khowaarij, secara harfiah memiliki arti "Mereka yang Keluar") ialah istilah umum yang mencakup sejumlah aliran dalam Islam yang awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib, lalu menolaknya. Disebut Khowarij disebabkan karena keluarnya mereka dari barisan Ali yang saat itu dianggap sebagai pemimpin kaum muslimin yang sah.[1]

Awal keluarnya mereka dari pemimpin kaum muslimin yaitu pada zaman khalifah Ali bin Abi Thalib ketika terjadi (musyawarah) dua utusan. Mereka berkumpul disuatu tempat yang disebut Khoruro (satu tempat di daerah Kufah). Oleh sebab itulah mereka juga disebut Al Khoruriyyah.[2]

Etimologi

Istilah Al-Khariji digunakan sebagai eksonim oleh lawan mereka ketika kelompok tersebut meninggalkan tentara Khalifah Ali selama Perang Saudara Islam I. Istilah ini berasal dari akar bahasa Arab خ ر ج, yang memiliki arti utama "meninggalkan" atau "keluar",[3] seperti pada kata dasarnya خرج, ḵẖaraja, "keluar". Mereka menyebut diri mereka sendiri Asy-Syurah ("Para Pedagang"), yang mereka pahami dalam konteks kitab suci Islam (Qur'an Al-Baqarah:207) dengan pemaknaan bahwa "mereka telah memperdagangkan barang fana, yaitu kehidupan dunia, dengan kehidupan lain yang lebih kekal, yaitu "kehidupan akhirat".[4][5]

Sumber primer dan klasik

Hampir tidak ada sumber Khawarij utama yang bertahan, kecuali karya penulis dari satu-satunya sekte Khawarij yang masih hidup yaitu Ibadiyah. Kebanyakan sumber mengenai Khawarij berasal dari kutipan yang ada dalam karya non-Kharwarij.[6] Karena kebanyakan sumber informasi utama berasal dari karya di luar golongan mereka dan berasal dari periode berikutnya,[7] maka transmisi, pengumpulan, dan klasifikasi mengenai golongan Khawarij sering kali telah mengalami perubahan dan distorsi.[8]

Sumber-sumber non-Khawarij terbagi dalam dua kategori, yaitu sejarah dan karya heresiografi yang saat itu disebut sebagai sastra al-firaq (persektean).[6] Sejarah Khawarij ditulis jauh lebih lambat dari peristiwa yang sebenarnya, dan banyak perselisihan teologis serta politik di antara umat Islam awal telah diselesaikan pada saat itu. Sebagai perwakilan dari ortodoksi yang muncul,[9] penulis Sunni serta Syiah [10] yang menulis tentang Khawarij memandang peristiwa asli sejarah Khawarij melalui kacamata pandangan mereka.[9] Sumber-sumber mengenai Khawarij yang berasal dari luar golongan mereka sering kali langsung memicu polemik, hal ini dikarenakan penulis cenderung menggambarkan sekte mereka sendiri sebagai perwakilan sebenarnya dari Islam asli dan menempatkan Khawarij sebagai sekte sesat yang wajib dimusuhi.[6][11] Meskipun penulis Sunni maupun Syiah menggunakan sumber Khawarij yang sebelumnya sudah tidak ada lagi dan juga sumber non-Khawarij, terjemahan mereka tentang peristiwa kemunculan Khawarij tersebut telah banyak diubah sebagai topos sastra.[8][a]

Berdasarkan hadits Nabi Muhammad yang menubuatkan munculnya 73 sekte dalam Islam, yang salah satunya akan diselamatkan dan yang lainnya dikutuk sebagai sesat, para heresiografer (peneliti aliran sesat) kemudian sangat mementingkan pengklasifikasian apa yang mereka anggap sebagai sekte sesat dan doktrin sesat mereka.[14] Akibatnya, pandangan sekte tertentu kemudian diubah dan dikarang-karang sendiri agar sesuai dengan klasifikasi kesesatan, dan terkadang ada beberapa sekte fiktif yang dibuat-buat dengan tujuan untuk disesat-sesatkan.[8][15] Selain itu, laporan para heresiografer sering kali membingungkan dan kontradiktif karena mereka membuat rekonstruksi tentang "apa yang sebenarnya terjadi" dengan mencocok-cocokkan motif sebenarnya dari kaum Khawarij agar sesuai dengan keinginan penulis.[16] Menurut sejarawan Hannah-Lena Hagemann dan Peter Verkinderen, sumber sejarah non-Khawarij kadang-kadang menggunakan Khawarij sebagai contoh buruk dalam berbagai masalah, seperti masalah "status Ali, bahaya perselisihan komunal, atau aspek hukum pemberontakan".[17] Sumber Ibadi, di di sisi lain, dapat dikategorikan sebagai hagiografi dan sumber-sumber tersebut memiliki muatan pelestarian identitas kelompok Khawarij. Untuk tujuan tersebut, sumber Ibadi sering kali membuat-buat cerita atau mengubah peristiwa yang pernah terjadi untuk meromantisasi dan mengagungkan pemberontakan Khawarij awal dan pemimpin mereka sebagai simbol identitas kelompok.[18] Meski begitu, sumber-sumber Ibadi juga memusuhi kelompok Khawarij lainnya.[19] Sumber-sumber tentang Khawarij, baik yang berasal dari Ibadi, historiografis, atau heresiografis, sering kali tidak melaporkan peristiwa sebagaimana yang sebenarnya terjadi. Para penulis tersebut lebih suka menunjukkan bagaimana cara dirinya dalam memandang Khawarij, dan ingin pembacanya melihat peristiwa yang mereka baca sebagai kenyataan.[8][20]

Sumber-sumber mengenai Khawarij yang temasuk ke dalam kategori historiografi antara lain adalah Sejarah Para Nabi dan Raja karya Ath-Thabari (wafat 923), Al-Asyraf dari Al-Baladzuri (w. 892),[b] Al-Kamil dari al-Mubarrad (wafat 899), dan Padang Emas dari Al-Mas'udi (w. 956).[22] Sumber penting lainnya termasuk sejarah dari Ibnul Atsir al-Jaziri (w. 1233), dan Ibnu Katsir (w. 1373), tetapi kedua penulis tersebut banyak mengambil materi dari Ath-Thabari.[6] Inti informasi dalam sumber-sumber historiografi tersebut didasarkan pada karya sejarawan terdahulu seperti Abu Mikhnaf (wafat 773), Ma'mar bin al-Mutsanna (wafat 825), dan Al-Mada'ini (wafat 843).[22] Penulis yang pada umumnya masuk ke dalam kategori heresiografi meliputi Al-Asy'ari (wafat 935),[c] Abu Mansur Al-Baghdadi (w. 1037),[d] Ibnu Hazm (w. 1064),[e] Asy-Syahrastani (w. 1153 ),[f] dan lain-lainnya.[6][11] Karya terkemuka di antara orang Ibadi yang bertahan adalah tulisan heresiografi abad kedelapan dari Salim bin Dzakwan.[23] Tulisan ini membedakan para Ibadi dengan kelompok Khawarij lain yang diperlakukan sebagai ekstremis.[24] Al-Kasyf wal Bayan, sebuah karya abad ke-12 oleh Al-Qalhati, adalah contoh lain dari tulisan heresiografi Ibadi dan membahas asal-usul kaum Khawarij dan perpecahan di dalam pergerakan Khawarij.[6]

Asal-usul

 
Pemberontakan di kota garnisun Kufah, Basrah, dan Fustat berakhir dengan kematian Khalifah Utsman. Perang Saudara Muslim Pertama yang terjadi berikutnya melahirkan kaum Khawarij.

Kaum Khawarij merupakan bagian dari sekte pertama yang muncul dalam Islam.[25] Mereka berasal dari Fitnah Pertama, perebutan kepemimpinan politik atas umat, setelah pembunuhan khalifah ketiga Utsman pada tahun 656 M.[26]

Tahun-tahun terakhir pemerintahan Utsman ditandai dengan meningkatnya ketidakpuasan dari berbagai kelompok dalam komunitas Muslim. Pengunggulan atas kerabatnya yang berasal dari Dinasti Umayyah dikritik oleh beberapa Sahabat di Madinah.[g] Para pemukim Muslim awal di kota garnisun Kufah dan Fustat, merasa statusnya terancam oleh beberapa faktor selama periode Utsman. Utsman benar-benar melakukan campur tangan dalam urusan provinsi,[h] Kepadatan kota-kota garnisun karena masuknya suku Arab secara terus-menerus, mengurangi pendapatan dari penaklukan Muslim awal, dan mengembangkan pengaruh dari bangsawan suku Arab pra-Islam.[30] Oposisi yang dilakukan oleh pendatang awal Irak, yang dikenal sebagai qurra (yang mungkin berarti "pembaca Al-Qur'an"), dan orang Mesir berubah menjadi pemberontakan terbuka pada tahun 656. Didorong oleh beberapa elit Madinah yang tidak puas, para pemberontak berbaris di Madinah, membunuh Utsman pada Juni 656 M.[29] Pembunuhannya memicu perang saudara.[31]

Setelah itu, sepupu dan menantu Muhammad, Ali, menjadi khalifah dengan bantuan orang-orang Madinah dan para pemberontak. Dia segera ditantang oleh sahabat awal Muhammad, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam serta janda Muhammad, Aisyah, yang berpendapat bahwa pemilihannya adalah tidak sah karena melibatkan pembunuh Utsman dan karenanya, majelis syura harus dipanggil untuk memilih khalifah baru. Ali mengalahkan mereka pada bulan November 656 di Pertempuran Unta.[32] Kemudian, Muawiyah bin Abi Sufyan, Kerabat Utsman dan gubernur Suriah, mencela pemilihan Ali, berpendapat bahwa pembunuh Utsman berada di kamp Ali dan menghindari hukuman. Keduanya saling berhadapan di Pertempuran Siffin pada Juli 657. Di ambang kekalahan, Muawiyah memerintahkan prajuritnya untuk mengibarkan mushaf Al-Quran di tombak mereka sebagai sinyal untuk menghentikan pertarungan dan merundingkan perdamaian. Orang-orang qurra yang ada di pasukan Ali digerakkan oleh isyarat,[33] yang mereka tafsirkan sebagai seruan kepada Kitabullah,[34][35] dan menuntut agar Ali segera menghentikan pertempuran. Meskipun awalnya tidak mau, Ali kemudian menyerah di bawah tekanan dan ancaman kekerasan terhadapnya oleh orang-orang qurra.[33][36][35] Panitia arbitrase yang terdiri dari perwakilan Ali dan Muawiyah dibentuk dengan mandat untuk menyelesaikan perselisihan menurut Al-Qur'an dan sunnah.[33][37][i] Ketika sebagian besar pasukan Ali menerima kesepakatan tersebut, ada satu kelompok yang mencakup sebagian besar dari suku Tamim, dengan keras menolak arbitrase dan mengangkat slogan "Tiada hukum kecuali hukum Allah" Lā hukma illā Allah.[36]

Harurah

 
Gambaran Pertempuran Siffin yang diambil dari sebuah manuskrip abad ke-14 yang berjudul Tarikh-i Bal'ami

Saat Ali berbaris kembali ke ibukotanya di Kufah, kebencian yang meluas terhadap arbitrase berkembang di pasukannya. Sebanyak 12.000 pembangkang[j] memisahkan diri dari satuan dan mendirikan kemah di Harurah, sebuah tempat dekat Kufah. Dengan demikian mereka dikenal sebagai orang Haruriyyah.[40] Mereka berpendapat bahwa Utsman pantas mati karena nepotismenya dan tidak memerintah sesuai dengan Al-Qur'an, dan bahwa Ali adalah khalifah yang sah , sementara Muawiyah adalah seorang pemberontak.[41] Mereka percaya bahwa Al-Qur'an dengan jelas menyatakan bahwa sebagai seorang pemberontak, Muawiyah tidak berhak atas arbitrase, melainkan harus diperangi sampai dia bertobat, menunjuk ke ayat Al-Qur'an:[41]

Dan apabila ada dua golongan orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. (Al-Qur'an Surah Al-Hujurat ayat 9)

Mereka berpendapat bahwa dengan menyetujui arbitrasi, Ali melakukan dosa besar karena menolak hukum Allah dan berusaha untuk menggantikan hukum Allah yang jelas terdapat dalam Al-Qur'an dengan hukum manusia. Motivasi itulah yang mendorong orang-orang Haruriyyah ini mengangkat slogan "hukum hanya milik Allah semata".[42] Dari ungkapan mereka itu, orang-orang Haruriyyah dikenal sebagai Muhakimmah.[43]

Ali mengunjungi perkemahan Harurah dan berusaha untuk membawa kembali orang-orang Haruriyah tersebut ke dalam satuannya. Ali beralasan bahwa merekalah yang memaksanya untuk menerima pengajuan arbitrase meskipun dia keberatan. Mereka mengakui bahwa mereka telah berdosa tetapi bersikeras bahwa mereka bertobat dan meminta Ali untuk melakukan hal yang sama, yang kemudian dilakukan oleh Ali secara umum dan ambigu. Pasukan di Harurah kemudian mengembalikan kesetiaan mereka kepada Ali dan kembali ke Kufah, dengan syarat perang melawan Muawiyah dilanjutkan dalam waktu enam bulan.[44]

Nahrawan

 
Pertempuran Nahrawan terjadi di dekat Kanal Nahrawan, yang membentang sejajar dengan tepi timur Tigris.

Ali menolak untuk mengecam proses arbitrase yang terus berlanjut meskipun pasukan di Harura kembali setia padanya. Pada bulan Maret 658, Ali mengirim delegasi, yang dipimpin oleh Abu Musa Al-Asy'ari, untuk melaksanakan pembicaraan.[36] Pasukan yang menentang arbitrase setelah itu mengutuk keputusan Ali dan memilih Abdullah bin Wahab Ar-Rasibi yang saleh sebagai khalifah mereka. Untuk menghindari deteksi, mereka keluar dari Kufah dalam kelompok kecil dan pergi ke sebuah tempat bernama Nahrawan di tepi timur Tigris. Sekitar lima ratus rekan mereka yang berada di Basrah diberitahu dan bergabung dengan mereka di Nahrawan. Gabungan atas pasukan Ali yang menolak arbitrase dan sebagian rekan mereka dari Basrah dilaporkan berjumlah hingga 4.000 orang.[45][46] Mereka menyatakan Ali dan para pengikutnya sebagai kafir, dan dianggap telah membunuh beberapa orang yang tidak memiliki pandangan yang sama.[45][47]

Sementara itu, para arbiter menyatakan bahwa Utsman telah dibunuh secara tidak adil oleh para pemberontak. Mereka tidak dapat menyepakati hal-hal substantif lainnya dan prosesnya gagal. Ali mencela perilaku pihak delegasi Muawiyah, yaitu Amru bin Ash karena bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah, dan mengumpulkan para pendukungnya untuk mengobarkan perang baru melawan Muawiyah.[48][49] Dia mengundang Khawarij untuk bergabung dengannya seperti sebelumnya. Mereka menolak dan tetap menunggu pengakuan Ali bahwa dirinya telah tersesat dan mau bertobat. Melihat tidak ada peluang rekonsiliasi, Ali memutuskan untuk berangkat ke Suriah tanpa mereka.[50] Namun, dalam perjalanan, dia menerima berita tentang pembunuhan seorang musafir oleh kaum Khawarij, yang kemudian diikuti dengan pembunuhan terhadap utusannya, yang telah dikirim untuk menyelidiki mereka.[k] Dia didesak oleh para pengikutnya, yang mengkhawatirkan keluarga dan harta benda mereka di Kufah, untuk berurusan dengan kaum Khawarij terlebih dahulu.[53] Setelah Khawarij menolak untuk menyerahkan para pembunuh, anak buah Ali menyerang perkemahan mereka, yang berakibat pada kekalahan telak di pihak Khawarij di Pertempuran Nahrawan (Juli 658 M), di mana Ar-Rasibi dan sebagian besar pendukungnya dibunuh.[54] Sekitar 1.200 Khawarij menyerah dan selamat.[55] Pertumpahan darah menyegel perpecahan Khawarij dari pengikut Ali,[54] dan mereka terus melancarkan pemberontakan melawan kekhalifahan. Lima pemberontakan kecil Khawarij yang mengikuti Nahrawan, masing-masing berjumlah sekitar 200 orang, dipadamkan selama pemerintahan Ali.[55][56] Khawarij menyerukan balas dendam yang akhirnya menyebabkan pembunuhan Ali oleh seorang Khawarij yang terkenal bernama Abdurrahman bin Muljam.[54] Ibnu Muljam membunuh Ali dengan pedang beracun saat Ali memimpin salat subuh pada tanggal 26 Januari 661 di masjid Kufah.[57]

Sejarah berikutnya

Di bawah Muawiyah

 
Sebuah foto tahun 1909 yang memotret Kanal Nahrawan.

Diangkatnya Muawiyah ke tampuk kekuasaan kekhalifahan pada Agustus 661 memberikan dorongan baru bagi pemberontakan Khawarij. Para Khawarij di Nahrawan yang tidak mau melawan Ali dan telah meninggalkan medan perang, memberontak melawan Muawiyah. Di bawah kepemimpinan Farwah bin Naufal al-Asyja'i dari Bani Murrah, sekitar 500 dari orang-orang Khawarij menyerang perkemahan Muawiyah di Nukhailah (sebuah tempat di luar Kufah) di mana Farwah mampu mendapatkan baiat dari orang-orang Kufah. Dalam pertempuran berikutnya, kaum Khawarij memukul mundur serangan mendadak pertama yang dilakukan oleh pasukan Muawiyah, meski pada akhirnya dikalahkan dan kebanyakan dari mereka terbunuh.[58][59] Tujuh pemberontakan kemudian dilancarkan oleh orang-orang Khawarij Kufah, dengan jumlah pemberontak dalam pemberontakan bervariasi antara 20 hingga 400 orang, dikalahkan oleh gubernur Al-Mughirah bin Syu'bah.[59] Pemberontakan yang paling terkenal adalah Mustawrid bin Ullafah, yang diakui sebagai khalifah oleh orang Khawarij Kufah pada tahun 663. Dengan sekitar 300 pengikut, dia meninggalkan Kufah dan pindah ke Behrasir.[60][61] Di sana, dia menghadapi wakil gubernur Simak bin Ubaid al-Absi dan mengundangnya untuk mencela Utsman dan Ali "yang telah membuat bid'ah dalam agama dan mengingkari kitab suci".[62] Simak menolak dan Mustawrid, alih-alih melawannya secara langsung, memutuskan untuk menghabiskan dan memecah pasukan Simak dengan memaksa mereka untuk mengejar pasukannya. Mustawrid kemudian pindah ke Madhar dekat Basra dan disusul oleh 300 pasukan terdepan dari pasukan Simak. Meskipun Mustawrid mampu menahan pasukan kecil ini, dia melarikan diri lagi menuju Kufah ketika pasukan utama Simak, di bawah komando Ma'qil bin Qais tiba. Menghindari penjaga depan Ma'qil yang terdiri dari 600 orang, Mustawrid memimpin serangan mendadak ke pasukan utama Ma'qil dan menghancurkannya. Sementara itu, penjaga terdepan kembali dan menyerang kaum Khawarij dari belakang. Hampir semua pemberontak tersebut terbunuh.[60][61]

Perkembangan Khawarij di Kufah mati sekitar tahun 663,[l] dan Basrah menjadi pusat Khawarij. Ziyad bin Abihi dan putranya Ubaydullah bin Ziyad, yang secara berturut-turut menjadi gubernur Irak, menangani kaum Khawarij dengan kasar, dan lima pemberontakan yang dilancarkan oleh orang Khawarij yang biasanya melibatkan sekitar 70 orang, ditumpas.[59] Tokoh terkemuka Khawarij di Basrah di antaranya adalah sepupu Qarib bin Murrah al-Azdi dan Zuhhaff ibn Zahr al-Tayyi. Pada tahun 672/673 M, mereka memberontak di Basrah dengan pasukan berkekuatan 70 orang. Mereka dilaporkan telah terlibat dalam pembunuhan acak orang-orang di jalan-jalan dan masjid Basrah sebelum terpojok di sebuah rumah, di mana mereka akhirnya dibunuh dan tubuh mereka disalib. Setelah itu, Ziyad dilaporkan telah menganiaya pengikut mereka dengan kejam.[64] Ibnu Ziyad memenjarakan Khawarij mana pun yang dia curigai berbahaya dan mengeksekusi beberapa simpatisan Khawarij yang secara terbuka mencela dirinya.[65] Di saat memerintah, Ziyad dan putranya dikatakan telah membunuh 13.000 Khawarij. Sebagai hasil dari tindakan represif ini, beberapa Khawarij meninggalkan aksi militer, mengadopsi pasifisme politik dan menyembunyikan keyakinan agama mereka.[66] Di antara orang-orang Khawarij yang pasif tersebut, yang paling terkenal adalah Abu Bilal Mirdas bin Udayyah al-Tamimi. Salah satu orang Khawarij paling awal yang memisahkan diri di Siffin, dia sangat dihormati oleh para pasifis Khawarij di Basrah. Diprovokasi oleh penyiksaan dan pembunuhan seorang wanita Khawarij oleh Ibnu Ziyad, Abu Bilal meninggalkan Basrah dan memberontak pada tahun 680/681 dengan 40 orang. Tak lama setelah mengalahkan pasukan Basrah berkekuatan 2.000 orang di Ahwaz, dia bertemu dengan pasukan yang lebih besar yang terdiri dari 3.000 atau 4.000 di Fars yang terletak di selatan Persia.[67] Tindakannya dikatakan telah membangkitkan para pasifs dan berkontribusi pada peningkatan militansi Khawarij di periode berikutnya.[68]

Fitnah Kedua

 
Selama Fitnah Kedua, Najdah menguasai Yamamah di Arab tengah, sedangkan Azariqah menguasai Fars dan Kirman di selatan Persia.

Setelah kematian Muawiyah pada tahun 680 M, perang saudara terjadi lagi yang disebabkan karena keinginan untuk mendapatkan kepemimpinan komunitas Muslim. Orang-orang Hijaz (di mana Mekah dan Madinah berada) memberontak melawan putra dan penerus Muawiyah, Yazid. Abdullah bin Zubair, putra Zubair bin al-Awwam yang berbasis di Mekah adalah lawan Yazid yang paling menonjol.[69] Ketika Yazid mengirim pasukan untuk menumpas pemberontakan pada tahun 683 M dan melakukan pengepungan terhadap Mekah, Khawarij dari Basrah turut memperkuat barisan Ibnu Zubair.[66] Setelah kematian Yazid pada bulan November, Ibnu Zubair memproklamasikan dirinya sebagai khalifah dan secara terbuka mengutuk pembunuhan Utsman. Kedua tindakan tersebut mendorong Khawarij untuk meninggalkan barisan Ibnu Zubair.[70] Mayoritas orang-orang Khawarij, termasuk Nafi bin al-Azraq dan Najdah bin Amir al-Hanafi, pergi ke Basrah, sedangkan sisanya berangkat ke Yamamah, di Arabia tengah, di bawah pimpinan Abu Talut Salim ibn Matar. Kemudian Ibnu Ziyad diusir oleh kepala suku di Basrah yang saat itu terjadi perselisihan antar suku. Ibnu al-Azraq dan Khawarij militan lainnya mengambil alih kota, membunuh wakil yang ditinggalkan oleh Ibnu Ziyad dan membebaskan 140 orang Khawarij dari penjara.[71][72] Selepas kejadian tersebut, orang-orang Basrah mengakui Ibnu Zubair dan menunjuk Umar bin Ubaidullah bin Ma'mar sebagai gubernur kota. Umar mengusir orang-orang Ibnu al-Azraq dari Basrah dan mereka melarikan diri ke Ahwaz.[73][74]

Azariqah

Dari Ahwaz, Ibnu al-Azraq menyerbu pinggiran kota Basrah. Pengikutnya disebut Azariqah berdasarkan nama pemimpin mereka, dan dijelaskan dalam berbagai sumber sebagai kelompok Khawarij yang paling fanatik, karena mereka menyetujui doktrin isti'rad, pembunuhan tanpa pandang bulu atas Muslim non-Khawarij, termasuk wanita dan anak-anak mereka. Pasukan yang dikirim melawan mereka oleh gubernur Basrah yang menjadi wakil dari Ibnu Zubair pada awal tahun 685 M mengalahkan kelompok Azariqah, dan Ibnu al-Azraq terbunuh. Orang-orang Azariqah memilih Ubaidullah bin Mahuz sebagai pemimpin baru mereka. Kelompok tersebut kemudian solid kembali dan memaksa tentara Ibnu Zubair mundur, dan melanjutkan serangan mereka. Setelah mengalami lebih banyak kekalahan, Ibnu Zubair mengerahkan komandannya yang paling cakap, Muhallab bin Abi Sufrah, melawan kelompok Azariqah. Muhallab mengalahkan mereka di pertempuran Sillabrah pada Mei 686 dan membunuh Ibnu Mahuz. Kelompok Azariqah mundur ke Fars. Pada akhir tahun 686 M, Muhallab menghentikan kampanyenya karena dia dikirim untuk mengendalikan penguasa Kufah yang pro-Ali, Mukhtar Ats-Tsaqafi, dan kemudian diangkat menjadi gubernur Mosul untuk bertahan dari kemungkinan serangan Umayyah dari Suriah. Azariqah menjarah al-Mada'in dan kemudian mengepung Isfahan, tetapi mereka kemudian dikalahkan. Mereka melarikan diri dan akhirnya berkumpul kembali di Kerman. Orang-orang Azariqah kemudian mendapatkan pemimpin baru, Qatari bin al-Fuja'ah, dan menyerang lingkungan Basrah sesudahnya dan Muhallab dikerahkan kembali untuk menekan mereka. Meskipun orang-orang Azariqah tidak diusir dari Fars dan Kerman, Muhallab mencegah pergerakan mereka ke Irak.[74] Qatari mencetak koinnya sendiri dan mengadopsi gelar kekhalifahan amirul mukminin (pemimpin orang beriman).[75] Setelah Bani Umayyah merebut kembali Irak dari orang-orang pro Ibnu Zubair pada tahun 691 M, para pangeran Umayyah mengambil alih komando dari Muhallab, yang kemudian berakibat pada kekalahan telak mereka oleh Azariqah. Pada tahun 694 M, komandan Hajjaj bin Yusuf diangkat menjadi gubernur Irak dan mengangkat kembali Muhallab untuk memimpin perang melawan orang-orang Azariqah. Muhallab memaksa mereka mundur ke Kerman, di mana mereka terpecah menjadi dua kelompok dan kemudian dihancurkan pada tahun 698–699.[74]

 
Koin dirham Arab dari pemimpin Azariqah Qatari bin al-Fuja'ah. Dia mencetak koin tersebut sekitar tahun 694–695, dengan slogan Khawarij yang terkenal La hukma illa li-llah di tepi depan.

Najdah

Selama berada di Ahwaz, Najdah memutuskan hubungan dengan Ibnu al-Azraq karena Ibnu al-Azraq menganut ideologi yang ekstrem.[76] Najdah, bersama para pengikutnya, pindah ke Yamamah, tanah air Banu Hanifah.[70] Dia menjadi pemimpin faksi Khawarij Abu Talut, yang kemudian dikenal sebagai Najdah berdasarkan namanya.[70][77] Najdah menguasai Bahrain, memukul mundur 14.000 tentara Ibnu Zubair yang dikerahkan untuk melawannya. Letnannya, Atiyyah bin al-Aswad, merebut Oman dari penguasa setempat, meskipun penguasa tersebut merebut kembali wilayah mereka beberapa bulan kemudian. Najdah merebut Hadramaut dan Yaman pada tahun 687 M dan kemudian merebut Thaif, sebuah kota dekat dengan ibu kota Ibnu Zubair, yaitu Mekah. Najdah membuat Ibnu Zubair terpojok di Hijaz karena dia menguasai sebagian besar Arab. Tidak lama kemudian, para pengikut Najdah menjadi kecewa dengannya karena dugaan korespondensinya dengan khalifah Umayyah Abdul Malik, gaji yang diberikan secara tidak teratur kepada tentaranya, dan penolakannya untuk menghukum seorang tentara yang telah mengkonsumsi anggur, serta membebaskan cucu perempuan khalifah Utsman yang tertawan. Dia kemudian digulingkan karena dianggap tersesat dan kemudian dieksekusi pada tahun 691 M.[78] Atiyyah yang berlepas diri dari Najdah kemudian pindah ke Sistan di timur Persia atau kemungkinan di Sind, dan akhirnya dia dibunuh di sana [79].[80] Di Sistan, pengikutnya terpecah menjadi berbagai sekte, termasuk Atawiyyah dan Ajaridah.[8] Di Arab, Abu Fudaik Abdullah bin Tsaur mengambil alih kepemimpinan Najdah dan mengalahkan beberapa serangan tentara Ibnu Zubair dan kemudian Umayyah. Dia akhirnya dibunuh bersama dengan 6.000 pengikutnya pada tahun 692 M oleh pasukan Umayyah di Bahrain.[81][82] Dimusnahkan secara politis, kelompok Najdah mundur ke dalam ketidakjelasan dan menghilang sekitar abad kesepuluh.[83][84]

Catatan

  1. ^ Banyak laporan pemberontakan Khawarij misalnya, mengikuti pola yang berbeda: pengumpulan anggota Khawarij; penunjukan pemimpin yang pada awalnya enggan untuk ditunjuk; khotbah yang mengharuskan umat untuk mengobarkan semangat jihad; dan akhirnya pemberontakan.[12] Gambaran lain tentang Khawarij sering kali termasuk kesalehan ekstrem, keinginan untuk perang suci dan kesyahidan, dan kekerasan ekstrim.[13]
  2. ^ Al-Baladzuri agak bersimpati terhadap kaum Khawarij karena dia lebih mementingkan penggambaran Bani Umayyah sebagai tiran, yang kezaliman rezim tersebut dia lawankan dengan kesalehan Khawarij. Sebaliknya, Ath-Tabari berfokus pada kecaman terhadap militan Khawarij.[21]
  3. ^ Kitab Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Musallin.
  4. ^ Al-farq bainal firaq.
  5. ^ Kitab al-Fasl fi'l-Milal wa'l-Ahwa wa'l-Nihal.
  6. ^ Kitab Al-Milal wa'l-Nihal.
  7. ^ Dia menunjuk kerabatnya untuk semua jabatan gubernur penting dan memberikan hibah uang dan tanah untuknya kerabat dekatnya.[27]
  8. ^ Dia menuntut agar pendapatan surplus dari provinsi dikirim ke Madinah. Dia juga menegaskan bahwa tanah pertanian yang ditaklukkan di Irak, yang telah dinyatakan oleh khalifah kedua Umar sebagai aset negara yang pendapatannya dibayarkan kepada para pejuang, adalah milik negara yang dapat digunakan sesuai kebijaksanaan Khalifah.[28][29]
  9. ^ Dokumen arbitrase tidak menyatakan dengan jelas masalah apa yang harus diselesaikan. Juga tidak jelas apa arti istilah sunnah al-adilah (terj. har.'praktek yang adil'). Versi dokumen palsu selanjutnya merevisi istilah tersebut menjadi sunnah Muhammad. Kaum Khawarij menentang hal ini karena menyiratkan bahwa Al-Quran bukanlah dasar yang cukup untuk membuat keputusan.[38]
  10. ^ Angka ini dari al-Baghdadi. Al-Mubarrad melaporkan 2.000, sedangkan al-Qalhati 10.000.[39]
  11. ^ Musafir tersebut dikatakan sebagai Abdullah, putra dari sahabat Muhammad, Khabbab. Ceritanya, dalam berbagai varian, ditemukan di hampir setiap sumber yang berhubungan dengan Khawarij awal. Dalam versi paling terkenal, Ibnu Khabbab bertemu dengan sekelompok Khawarij. Menanggapi pertanyaan mereka, dia menceritakan sebuah hadits tentang Muhammad yang menubuatkan munculnya Fitnah (secara harfiah berarti tuduhan palsu, tetapi secara historis kata itu merujuk pada perang saudara) dan menginstruksikan bahwa orang-orang beriman berada di pihak 'terbunuh' daripada 'pembunuh'. Orang-orang Khawarij yang marah kemudian membawanya sebagai tawanan. Salah satu dari mereka mengeluarkan kurma, yang dia temukan di jalan, ketika orang lain keberatan bahwa dia telah mengambilnya tanpa izin pemiliknya. Belakangan, dia menemukan dan membayar pemilik babi yang baru saja dia bunuh tanpa izin. Ibnu Khabbab secara keliru menyimpulkan bahwa orang dengan keberatan seperti itu tidak akan membunuhnya. Dia disembelih di atas bangkai babi; gadis budaknya yang hamil juga dibunuh dan rahimnya dirobek. Sejarawan Adam Gaiser dan Hannah-Lena Hagemann berpendapat bahwa cerita tersebut, karena prevalensinya pada sumber, kemungkinan besar memiliki inti kebenaran, tetapi telah banyak dimodifikasi untuk berbagai tujuan dan detailnya tidak dapat diandalkan. Ini mengontraskan kesalehan ekstrem Khawarij dengan kekerasan ekstrem yang dilakukan oleh mereka untuk menekankan kekosongan religiusitas mereka, menekankan bahaya yang terkait dengan ekstremisme agama, dan membenarkan serangan Ali terhadap mereka di Nahrawan. Versi cerita tertentu memiliki referensi anakronus ke isti'rad, sedangkan struktur keseluruhan mirip dengan kejadian di kemudian hari. Cerita itu juga menggambarkan karakter Khawarij generasi awal yang meniru karakteristik tindakan dari kelompok Azariqa yang datang kemudian. Apa yang dapat dikatakan dengan tingkat kepastian tertentu adalah bahwa Ibnu Khabbab dibunuh oleh beberapa Khawarij, untuk alasan yang tidak diketahui, dan sisanya menolak untuk menyerahkannya kepada Ali di Nahrawan.[51][52]
  12. ^ Pemberontakan terisolasi dari pengikut Mustawrid yang masih hidup terjadi pada tahun 678 dan dengan mudah dipadamkan.[63]

Referensi

Kutipan

  1. ^ Fat, juz 12 hal. 283
  2. ^ Mu'jam Al-Buldan li Yaqut Al-Hamawi, juz 2 hal. 245
  3. ^ Francesca 2006, hlm. 84.
  4. ^ Della Vida 1978, hlm. 1075.
  5. ^ Gaiser 2016, hlm. 1–2.
  6. ^ a b c d e f Gaiser 2013.
  7. ^ Hagemann 2021, hlm. 3.
  8. ^ a b c d e Gaiser 2020.
  9. ^ a b Kenney 2006, hlm. 25.
  10. ^ Gaiser 2016, hlm. 2.
  11. ^ a b Kenney 2006, hlm. 28–29.
  12. ^ Hagemann 2021, hlm. 122.
  13. ^ Hagemann 2021, hlm. 86ff.
  14. ^ Kenney 2006, hlm. 28.
  15. ^ Lewinstein 1992, hlm. 75–77, 92–96.
  16. ^ Hagemann 2021, hlm. 64–65.
  17. ^ Hagemann & Verkinderen 2020, hlm. 501.
  18. ^ Gaiser 2016, hlm. 169.
  19. ^ Lewinstein 1991.
  20. ^ Hagemann & Verkinderen 2020, hlm. 490.
  21. ^ Hagemann 2016.
  22. ^ a b Della Vida 1978, hlm. 1077.
  23. ^ Crone & Zimmermann 2001.
  24. ^ Sonn & Farrar 2009.
  25. ^ Crone & Zimmermann 2001, hlm. 1.
  26. ^ Watt 1973, hlm. 9.
  27. ^ Donner 2010, hlm. 152–153.
  28. ^ Donner 2010, hlm. 148–149.
  29. ^ a b Kennedy 2016, hlm. 63.
  30. ^ Donner 2010, hlm. 148–154.
  31. ^ Donner 2010, hlm. 155.
  32. ^ Donner 2010, hlm. 157–159.
  33. ^ a b c Wellhausen 1901, hlm. 3.
  34. ^ Wellhausen 1901, hlm. 7.
  35. ^ a b Madelung 1997, hlm. 238.
  36. ^ a b c Della Vida 1978, hlm. 1074.
  37. ^ Hinds 1972, hlm. 100.
  38. ^ Hinds 1972, hlm. 100–102.
  39. ^ Wilkinson 2010, hlm. 139.
  40. ^ Wellhausen 1901, hlm. 4.
  41. ^ a b Watt 1973, hlm. 14.
  42. ^ Hawting 1978, hlm. 460.
  43. ^ Djebli 2000, hlm. 107.
  44. ^ Madelung 1997, hlm. 248–249.
  45. ^ a b Wellhausen 1901, hlm. 17–18.
  46. ^ Madelung 1997, hlm. 251–252.
  47. ^ Gaiser 2016, hlm. 48.
  48. ^ Donner 2010, hlm. 163.
  49. ^ Madelung 1997, hlm. 257.
  50. ^ Madelung 1997, hlm. 258.
  51. ^ Hagemann 2021, hlm. 101 –103.
  52. ^ Gaiser 2016, hlm. 95–97.
  53. ^ Madelung 1997, hlm. 259.
  54. ^ a b c Della Vida 1978, hlm. 1074–1075.
  55. ^ a b Wellhausen 1901, hlm. 18.
  56. ^ Watt 1973, hlm. 19.
  57. ^ Madelung 1997, hlm. 308.
  58. ^ Gaiser 2016, hlm. 52.
  59. ^ a b c Hagemann & Verkinderen 2020, hlm. 495.
  60. ^ a b Gaiser 2016, hlm. 54–56.
  61. ^ a b Wellhausen 1901, hlm. 20–23.
  62. ^ Wellhausen 1901, hlm. 21.
  63. ^ Gaiser 2016, hlm. 56–57.
  64. ^ Gaiser 2016, hlm. 59.
  65. ^ Wellhausen 1901, hlm. 25–26.
  66. ^ a b Morony 1984, hlm. 472.
  67. ^ Gaiser 2016, hlm. 62–66.
  68. ^ Wilkinson 2010, hlm. 144.
  69. ^ Donner 2010, hlm. 177, 181.
  70. ^ a b c Rotter 1982, hlm. 80.
  71. ^ Morony 1984, hlm. 473.
  72. ^ Rubinacci 1960, hlm. 810.
  73. ^ Watt 1973, hlm. 21.
  74. ^ a b c Rubinacci 1960, hlm. 810–811.
  75. ^ Bosworth 2009.
  76. ^ Wilkinson 2010, hlm. 148.
  77. ^ Dixon 1971, hlm. 169–170.
  78. ^ Dixon 1971, hlm. 171–173.
  79. ^ Watt 1961, hlm. 219.
  80. ^ Dixon 1971, hlm. 171.
  81. ^ Dixon 1971, hlm. 175–176.
  82. ^ Wellhausen 1901, hlm. 30–32.
  83. ^ Crone 1998, hlm. 56.
  84. ^ Gaiser 2010, hlm. 131.

Daftar pustaka