Pengguna:Mdnghtrn/Barbie (film)

Hubungan antara penggunaan media digital dan kesehatan jiwa telah diselidiki oleh beragam peneliti—utamanya psikolog, sosiolog, antropolog, dan pakar medis—terutama sejak pertengahan dasawarsa 1990-an setelah pertumbuhan Waring Wera Wanua. Sejumlah besar penelitian telah mendalami fenomena "penggunaan berlebihan" yang umumnya dikenal sebagai "kecanduan digital" atau "ketergantungan digital". Fenomena ini telah berkelindan dalam banyak komunitas dan kebudayaan melalui jalur yang berbeda-beda. Beberapa pakar telah menyelidiki manfaat penggunaan media digital yang cukup dalam berbagai sisi, termasuk dalam kesehatan jiwa, dan perawatan masalah kesehatan jiwa dengan penyelesaian teknologi baru.

Batas antara penggunaan media digital yang bermanfaat dan patologis sendiri belum ditetapkan. Tidak ada kriteria diagnosis yang diterima secara luas, walaupun beberapa pakar menganggap penggunaan berlebihan sebagai manifestasi dari gangguan psikiatris yang mendasarinya. Pencegahan dan perawatan penggunaan media digital patologis juga tidak dibakukan, walaupun pedoman penggunaan media yang lebih aman bagi anak dan keluarga telah dikembangkan. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Health Disorders (DSM-5) dan Klasifikasi Penyakit Internasional (ICD-11) tidak mencakup diagnosis untuk penggunaan internet bermasalah dan penggunaan media sosial bermasalah; ICD-11 mencakup diagnosis untuk penyakit permainan (umumnya dikenal sebagai kecanduan permainan video). Banyak pakar masih memperdebatkan cara dan waktu mendiagnosis keadaan ini. Penggunaan istilah kecanduan untuk merujuk kepada fenomena dan diagnosis ini juga dipertanyakan.

Media digital dan waktu layar telah mengubah cara anak-anak berpikir, berinteraksi, dan berkembang baik secara positif maupun negatif, tetapi peneliti tidak pasti mengenai keberadaan hubungan sebab-akibat yang dihoptesiskan antara penggunaan media digital dan hasil kesehatan mental. Kaitan tersebut bergantung kepada individu dan platform yang mereka gunakan. Beberapa perusahaan teknologi besar telah berkomitmen atau mengumumkan strategi untuk mengurangi risiko penggunaan media digital.

Sejarah dan terminologi

Hubungan antara teknologi digital dan kesehatan mental telah diselidiki dari banyak sudut pandang.[1][2][3] Manfaat penggunaan media digital dalam perkembangan anak-anak dan remaja telah ditemukan.[4] Kekhawatirkan telah diangkat oleh peneliti, dokter, dan masyarakat sehubungan dengan perilaku kompulsif pengguna media digital, karena korelasi antara penggunaan teknologi berlebihan dan masalah kesehatan jiwa menjadi jelas.[1][5][6]

Terminologi yang digunakan untuk merujuk kepada perilaku kompulsif penggunaan media digital tidak dibakukan atau diakui secara umum. Istilah tersebut di antaranya adalah "kecanduan digital", "ketergantungan digital", "penggunaan bermasalah", atau "penggunan berlebihan", yang sering digambarkan oleh platform media digital yang digunakan atau sedang dipelajari (seperti pengunaan ponsel cerdas bermasalah atau penggunaan internet bermasalah).[7] Penggunaan perangkat teknologi yang tidak terkendali dapat berpengaruh terhadap kesejahteraan perkembangan, sosial, mental, dan fisik serta berujung pada gejala yang mirip dengan sindrom ketergantungan psikologis atau kecanduan perilaku.[6][8] Fokus pada penggunaan teknologi bermasalah dalam penelitian, terutama dalam kaitannya terhadap paradigma kecanduan perilaku, menjadi lebih diterima, terlepas dari pembakuan yang lemah dan penelitian yang saling bertentangan.[9]

Kecanduan internet telah diusulkan sebagai diagnosis sejak pertengahan 1990-an,[10] dan media sosial dan hubungannya dengan kecanduan telah diuji sejak 2009.[11] Laporan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) tahun 2018 mencatat manfaat penggunaan internet yang terstruktur dan terbatas pada anak-anak dan remaja untuk tujuan perkembangan dan pendidikan, tetapi penggunaan yang berlebihan dapat berdampak negatif pada kesejahteraan mental. Laporan ini juga mencatat peningkatan 40% secara keseluruhan dalam penggunaan internet pada anak-anak usia sekolah antara 2010 dan 2015, serta bahwa negara-negara OECD telah menandai variasi dalam tingkat penggunaan teknologi masa kanak-kanak, serta perbedaan dalam platform yang digunakan.[12]

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (Manual Diagnostik dan Statistis Gangguan Mental) belum secara resmi mengodifikasikan penggunaan media digital yang bermasalah dalam kategori diagnosis, tetapi menganggap gangguan permainan internet sebagai kondisi untuk studi lebih lanjut pada tahun 2013.[13] Gangguan permainan, umumnya dikenal sebagai kecanduan permainan video, telah diakui dalam ICD-11.[14][15] Rekomendasi yang berbeda dalam DSM dan ICD sebagian disebabkan oleh kurangnya konsensus ahli, perbedaan dalam penekanan dalam manual klasifikasi, serta kesulitan menggunakan hewan model untuk kecanduan perilaku.[8]

Kegunaan istilah kecanduan sehubungan dengan penggunaan media digital berlebihan telah dipertanyakan, terkait dengan kesesuaiannya untuk menggambarkan kategori psikiatris baru yang dimediasi secara digital, yang bertentangan dengan penggunaan berlebihan sebagai manifestasi dari gangguan kejiwaan lainnya.[2][3] Penggunaan istilah ini juga telah dikritik karena membandingkan fenomena tersebut dengan perilaku penggunaan narkoba. Penggunaan yang ceroboh dari istilah ini dapat menyebabkan lebih banyak masalah—baik mengecilkan risiko bahaya pada orang yang terkena dampak serius, maupun menyangatkan risiko penggunaan media digital non-patologis yang berlebihan.[3] Evolusi terminologi yang menghubungkan penggunaan media digital berlebihan dengan penggunaan bermasalah daripada kecanduan telah dianjurkan oleh Panova dan Carbonell, psikolog di Universitas Ramon Llull, dalam sebuah tinjauan tahun 2018.[16]

Sebab kurangnya pengakuan dan konsensus tentang konsep yang digunakan, diagnosis dan pengobatan sulit dibakukan atau dikembangkan. Meningginya tingkat kegelisahan masyarakat terhadap media baru (termasuk media sosial, ponsel cerdas, dan permainan video) kian mengaburkan asesmen berdasarkan populasi serta mengangkat dilema penanganan.[2] Radesky dan Christakis, penyunting JAMA Pediatrics tahun 2019, menerbitkan sebuah tinjauan yang menyelidiki "kekhawatiran kesehatan dan risiko perkembangan/perilaku dari penggunaan media berlebihan untuk perkembangan kognitif, bahasa, literasi, dan sosial-emosional pada anak."[17] Akibat ketersediaan teknologi siap pakai untuk anak-anak di seluruh dunia, masalahnya menjadi dua arah, karena menyingkirkan peramban digital mungkin berdampak buruk dalam bidang seperti pembelajaran, dinamika hubungan keluarga, dan perkembangan secara keseluruhan.[18]

Penggunaan bermasalah

Meskipun asosiasi antara penggunaan media digital dan gejala atau diagnosis kesehatan jiwa telah diamati, kausalitas belum diterapkan; salah paham di antara khalayak ramai dan misinterpretasi oleh media kerap terjadi dalam menerima nuansa dan peringatan peneliti.[3] Penggunaan media sosial berlebihan cenderung terjadi pada perempuan, demikian halnya dengan laki-laki dan permainan video.[19] Menyusul ini, penggunaan media digital bermasalah mungkin bukan sebuah konstruksi tunggal, mungkin digambarkan berdasarkan platform digital yang digunakan, atau dinilai kembali dari sisi kegiatan spesifik (daripada kecanduan terhadap medium digital).[20]

Waktu layar dan kesehatan jiwa

Selain catatan ahli biologi evolusioner George C. Williams dalam pengembangan kedokteran evolusioner bahwa kebanyakan kondisi medis kronis adalah konsekuensi dari ketidaksesuaian evolusioner antara lingkungan tak bernegara kehidupan nomaden pemburu-pengumpul dalam gerombolan dan kehidupan kontemporer manusia dalam negara masyarakat yang berteknologi modern dan menetap,[21] psikiater Randolph M. Nesse berpendapat bahwa ketidaksesuaian evolusioner merupakan faktor penting dalam pengembangan gangguan jiwa.[22] Pada tahun 1890, 1% rumah tangga di AS memiliki setidaknya satu telepon, sebelum meningkat menjadi mayoritas sejak 1946 dan 75% sejak 1957.[23] Pada tahun 1908, 1% rumah tangga di AS memiliki setidaknya satu automobil, dan naik hingga 50% sejak 1948 kemudian 75% sejak 1960.[24][25] Pada tahun 1948, 1% rumah tangga di AS memiliki setidaknya satu televisi, sementara 75% di antaranya demikian sejak 1955,[24] dan sejak 1992, 60% dari seluruh rumah tangga di AS telah menerima layanan televisi kabel.[26] Pada tahun 1980, 60% rumah tangga di AS memiliki setidaknya satu perekam kaset video, dan meningkat hingga 75% pada 1992.[24] Sejak tahun 1970 hingga 1999, persentase orang Amerika berusia 11–12 tahun dengan televisi dalam kamar tidur mereka tumbuh dari 6% menjadi 77%.[27] Pada tahun 2000, mayoritas rumah tangga di AS memiliki setidaknya satu komputer pribadi dan akses internet setahun setelahnya.[28]

Pada tahun 2002, mayoritas responden sebuah survei AS melaporkan memiliki sebuah telepon genggam.[29] Luksemburg dan Belanda, masing-masing pada September dan Desember 2006, menjadi dua negara pertama untuk sepenuhnya beralih dari televisi analog menuju digital,[30] sementara Amerika Serikat menyelesaikan transisi mereka pada tahun 2009.[31] Pada September 2007, mayoritas responden sebuah survei di AS melaporkan memiliki internet pita lebar di rumah.[32] Pada Januari 2013, mayoritas responden sebuah survei di AS melaporkan memiliki sebuah ponsel cerdas.[33] Menurut perkiraan Nielsen Media Research, sekitar 45,7 juta rumah tangga di AS pada tahun 2006 (atau 40% dari sekitar 114,4 juta) memiliki sebuah konsol permainan video rumah,[34][35] dan meningkat menjadi 51% sejak 2015, menurut laporan industri tahunan dari Asosiasi Perangkat Lunak Hiburan.[36][37]

Sebuah pemetaan tinjauan sistematis tahun 2019 mengindikasikan asosiasi antara beberapa tipe penggunaan internet yang berpotensi bermasalah dan gangguan psikiatris atau perilaku seperti depresi, kegelisahan, kekasaran, agresi, dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD). Kajian-kajian tidak dapat menentukan apakah terdapat hubungan sebab-akibat, dan peninjau menekankan kepentingan rancangan studi prospektif pada masa depan.[1] Sementara penggunaan media digital berlebihan telah diasosiasikan dengan gejala depresif, media digital juga bisa digunakan dalam beberapa situasi untuk memperbaiki suasana hati.[38][39] Gejala ADHD telah dikorelasikan secara positif dengan penggunaan media digital dalam sebuah studi prospektif besar.[40] Meskipun demikian, hiperfokus, salah satu gejala ADHD, mungkin menyebabkan individu menggunakan permainan video, media sosial, atau obrolan daring secara berlebihan; korelasi antara hiperfokus dan penggunaan media sosial bermasalah ini lemah.[41]

Sebuah laporan teknis tahun 2016 oleh Chassiakos, Radesky, dan Christakis mengidentifikasi manfaat dan kekhawatiran dalam kesehatan jiwa remaja sehubungan dengan penggunaan media digital. Laporan tersebut menunjukkan bahwa cara penggunaan media sosial merupakan faktor kunci, daripada jumlah waktu yang dihabiskan. Penurunan kesejahteraan dan kepuasan dalam hidup ditemukan pada remaja lebih dewasa yang mengonsumsi media sosial secara pasif, tetapi hal-hal ini tidak tampak pada remaja yang lebih aktif di media sosial. Laporan ini juga menemukan hubungan kurvilinear berbentuk U antara jumlah waktu yang dihabiskan untuk media digital dengan risiko depresi yang meningkat, baik pada puncak maupun dasar penggunaan internet.[4] Sebuah tinjauan tahun 2018 terhadap platform media sosial Tiongkok WeChat menemukan asosiasi antara gejala kesehatan jiwa yang dilaporkan secara mandiri dengan penggunaan platform yang berlebihan. Namun, motivasi dan pola pengunaan dari pengguna WeChat berdampak terhadap kesehatan psikologis secara keseluruhan, daripada jumlah waktu pemakaian platformnya.[6] Di Britania Raya, sebuah kajian dari 1.479 individu berusia 14–24 tahun membandingkan manfaat dan masalah psikologis dari lima platform media sosial: Facebook, Instagram, Snapchat, Twitter, dan YouTube. Kajian tersebut menyimpulkan bahwa hanya YouTube yang mendapat rating net positif "berdasarkan 14 pertanyaan mengenai kesehatan dan kesejahteraan", dan platform lainnya yang diukur memiliki rating net negatif, dengan Instagram sebagai yang terendah. Kajian ini mengidentifikasi beberapa dampak positif dari Instagram, seperti dalam ekspresi diri, jati diri, dan komunitas, tetapi menemukan bahwa hal-hal tersebut tertindih oleh efek negatifnya, terutama terhadap tidur, citra tubuh, dan "fear of missing out".[42]

Hubungan antara gangguan bipolar dan penggunaan teknologi telah diselidiki dalam sebuah survei tunggal dari 84 peserta untuk Computers in Human Behavior. Survei tersebut menemukan variasi menonjol dalam penggunaan teknologi berdasarkan keadaan suasana hati yang dilaporkan sendiri. Para penulis laporan tersebut kemudian berasumsi bahwa untuk pasien gangguan bilopar, teknologi bisa menjadi "pedang bermata dua", dengan kemungkinan manfaat maupun bahaya.[43]

Pada Februari 2019, ahli psikologi eksperimental Amy Orben dan Anrew K. Przybylski menerbitkan sebuah analisis kurva spesifikasi data dari survei Monitoring the Future, Millenium Cohort Study, dan Youth Risk Behavior Surveillance System yang mencakup sejumlah 355.358 subjek dalam Nature Human Behavior untuk memeriksa bukti korelasional untuk dampak negatif dari teknologi digital pada kesejahteraan remaja dan menemukan bahwa penggunaan teknologi digital hanya menyumbangkan 0,4% dari variansinya dan bahwa perubahan kecil serupa tidak memerlukan perubahan kebijakan publik dan bahwa bobot yang diberikan kepada waktu layar digital dalam diskursus ilmiah dan publik telah dilebih-lebihkan.[44] Pada Mei 2019, Orben dan Przybylski menerbitkan sebuah analisis kurva spesifikasi selanjutnya dalam Psychological Science dari tiga sampel nasional representatif dari set data yang meliputi 17.247 subjek dari Amerika Serikat, Britania Raya, dan Republik Irlandia termasuk kajian diari waktu-penggunaan dan menemukan hanya sedikit bukti untuk asosiasi negatif yang substansial antara penggunaan layar digital dan kesejahteraan remaja dan mencatat bahwa korelasi antara lapor diri retrospeksi dan diari waktu terlalu renadah untuk menjadikan lapor diri retrospeksi berguna.[45]

Sebuah pemeriksaan tinjauan sistematis, diterbitkan pada tahun 2019, menyimpulkan bahwa bukti, walaupun kebanyakan berkualitas rendah hingga menengah, menunjukkan sebuah asosiasi antara waktu layar dengan berbagai masalah kesehatan, termasuk "adipositas, pola makan tidak sehat, gejala depresif, dan kualitas hidup". Mereka juga menyimpulkan bahwa penggunaan moderat media digital mungkin bermanfaat bagi pemuda sehubungan dengan integrasi sosial, sebuah hubungan kurvilinear yang ditemukan bersama gejala depresif dan kesejahteraan secara keseluruhan.[5]

Sebuah kajian penelitian yang dilaksanakan kepada remaja perkotaan di Tiongkok mengungkapkan bahwa lebih dari seperempat remaja di negara tersebut terpapar lebih dari 2 jam waktu layar setiap harinya. Mereka menemukan bahwa waktu layar dan kegaiatan fisik diasosiasikan dengan kesehatan mental secara terpisah. Khususnya, sebuah peningkatan dalam waktu layar dan berkurangnya kegaian fisik menyumbangkan risiko tambahan untuk produktivitas kesehatan mental dengan menaikkan gejala kegelisahan depresif dan ketidakpuasan dalam hidup.[46]

Sebuah kajian UK berskala besar tahun 2017 tentang "hipotesis Goldilocks"—yakni menghindari kelebihan dan kekurangan penggunaan media digital[47]—digambarkan sebagai bukti "berkualitas terbaik" hingga kini oleh para pakar dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang melaporkan kepada sebuah komite parlementer UK tahun 2018. Studi tersebut menyimpulkan bahwa penggunaan sedang media digital mungkin memiliki dampak yang merugikan, dan beberapa asosiasi positif sehubungan dengan kesejahteraan.[48]

Media sosial dan kesehatan jiwa

Sebuah tinjauan menyeluruh tahun 2022 menemukan bahwa terdapat "peningkatan mencengangkan" dalam studi terkini tentang hubungan kesehatan jiwa dan penggunaan media sosial.[49] Menghabiskan waktu berlebihan di media sosial mungkin lebih berbahaya dari waktu layar digital secara keseluruhan. Studi tersebut melaporkan bahwa beberapa artikel tingkat tinjauan yang diterbitkan antara tahun 2019 dan pertengahan 2021 menemukan asosiasi "substansial" antara penggunaan media sosial dan isu kesehatan jiwa, tetapi kebanyakan hanya menemukan hubungan yang lemah atau inkonsisten.[49][50][51] Salah satu meta-kajian tahun 2022 yang menemukan hanya sedikit asosiasi negatif antara penggunaan media sosial dan hasil kesehatan jiwa negatif tetap menggambarkannya sebagai signifikan.[52] Sebuah tinjauan sistematis yang diterbitkan pada tahun 2023 menemukan bahwa terdapat bukti bernuansa untuk hubungan antara penggunaan media sosial dan flourishing, dengan potensi hubungan ini akan menguat.[53]

Kajian Orben dan Przybylski tahun 2019 telah banyak dikutip, dan berpengaruh dalam mendukung pandangan bahwa terdapat sedikit bukti untuk menautkan penggunaan digital dengan hasil negatif kesehatan jiwa. Kajian tersebut menarik respons dari psikolog Jean Twenge, Andrew B. Blake, Jonathan Haidt, dan W. Keith Campbell. Mereka setuju bahwa akan dicapai kesimpulan yang sama apabila mereka menganalisis datanya dengan cara layaknya Orben dan Przybylski. Namun, mereka menemukan bukti yang lebih kuat untuk sebuah asosiasi negatif jika mereka berfokus pada media sosial, daripada waktu layar digital dalam makna terluasnya, yang mencakup menonton televisi dan memainkan permainan video. Menggunakan data yang sama dengan Orben dan Przybylski, mereka menemukan sebuah asosiasi negatif antara media sosial dan kesehatan jiwa jika mereka berfokus hanya pada dampak penggunaan media sosial terhadap perempuan.[54][55]

Sebuah kajian oleh The Lancet Child & Adolescent Health pada tahun 2019 menunjukkan hubungan antara penggunaan media sosial oleh perempuan dan peningkatan eksposur mereka terhadap perundungan serta penurunan tidur dan latihan fisik.[56]

Sebuah kajian tahun 2019 di AS menemukan asosiasi antara media sosial dan depresi pada remaja. Berdasarkan perbandingan sosial ke atas, mungkin eksposur terhadap citra teridealisiasi yang berkelanjutan dapat menurunkan harga diri remaja, menimbulkan depresi, dan menguatkan depresi dari waktu ke waktu. Lebih lanjutnya, pengguna media sosial yang depresi terlihat terdampak lebih buruk oleh waktu yang mereka habiskan di media sosial, mungkin oleh sifat informasi yang mereka pilih (cth unggahan blog tentang isu harga diri), yang kemudian mungkin mempertahankan dan menguatkan depresinya dari waktu ke waktu.[57] Sebuah meta-kajian tahun 2022 juga menemukan sebuah asosiasi signifikan antara penggunaan media sosial dan depresi, yang terutama tinggi bagi perempuan remaja.[58]

Fear of missing out (FOMO) adalah fenomena perilaku disruptif yang menyebabkan stres emosional. Kajian menunjukkan bahwa lebih banyak akun media sosial yang dimiliki seorang individu, maka lebih tinggi pula kemungkinan mereka mengalami FOMO. Terdapat sebuah korelasi langsung antara jumlah akun yang dimiliki seorang individu dan tingkat kegelisahan dan depresi individu tersebut.[59]

Media sosial bisa menjadi berbahaya, terutama bagi para pra-remaja dan remaja yang memiliki sedikit pengalaman dengan kesadaran citra tubuh. Dalam sebuah artikel tertelaah sejawat berjudul "The paradox of TikTok anti-pro anorexia videos: How social media can promote non-suicidal self-injury and anorexia", para penulis menyatakan dampak yang telah ditimbulkan TikTok terhadap generasi ini, terutama sejak permulaan Covid-19. Sementara eksposur tubuh pengidap anoreksia dapat membahayakan remaja, para penulis mengklaim bahwa akan membantu apabila peristiwa tersebut diperbincangkan. Tampaknya video yang menunjukkan tubuh yang lebih ramping menerima lebih banyak eksposur, suka, dan interaksi dibandingkan dengan video yang menunjukkan tubuh dengan rangka yang lebih besar.[60]

Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa 84% peserta yang terpapar media sosial pro ED telah mengembangkan gejala gangguan makan dan kegelisahan. Sebuah studi menunjukkan bahwa hanya 14% dari individu yang mengalami gejala telah menerima pengobatan. Halangan umum dalam mendapatkan pengobatan adalah tidak memercayai bahwa gejala mereka itu begitu serius hingga membutuhkan pertolongan, atau pemikiran bahwa mereka dapat menolong diri sendiri. Hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa mayoritas orang yang terdampak oleh gangguan makan akibat media sosial tidak akan mendapatkan pertolongan yang mereka perlukan untuk kembali pulih.[61]

ADHD

Pada September 2014, Developmental Psychology menerbitkan sebuah metaanalisis dari 45 kajian untuk menyelidiki hubungan antara penggunaan media dan perilaku terkait ADHD pada anak-anak dan remaja. Analisis tersebut menemukan hubungan yang kecil sekaligus signifikan antara penggunaan media dan perilaku terkait ADHD.[62] Pada Maret 2016, Frontiers in Psychology menerbitkan sebuah survei dari 457 pelajar pasca-menengah pengguna Facebook (menyusul sebuah eksperiman pendahuluan validitas muka dari 47 pelajar pasca-menengah pengguna Facebook lainnya) di sebuah universitas besar di Amerika Utara yang menunjukkan bahwa keparahan gejala ADHD memiliki sebuah korelasi positif yang signifikan secara statistis dengan penggunaan Facebook selagi mengemudikan sebuah kendaraan bermotor dan bahwa impuls menggunakan Facebook sementara berkendara lebih kuat di antara pengguna pria daripada pengguna wanita.[63] Pada Juni 2018, Children and Youth Services Review menerbitkan sebuah analisis regresi dari 283 pengguna Facebook remaja di region Piemonte dan Lombardia di Italia Utara (yang mereplika penemuan sebelumnya di antara pengguna dewasa) menunjukkan bahwa remaja yang melaporkan gejala ADHD yang lebih tinggi secara positif memprediksi kecanduan Facebook, sikap negatif yang berkelanjutan terhadap masa lalu dan bahwa masa depan telah ditentukan sebelumnya dan tidak dipengaruhi oleh tindakan masa kini, dan orientasi menentang mencapai tujuan masa depan, dengan gejala ADHD juga meningkatkan manifestasi kategori ketergantungan psikologis yang telah diusulkan dan disebut sebagai "penggunaan media sosial bermasalah".[64]

Pada April 2015, Pew Research Center menerbitkan sebuah survei dari 1.060 remaja AS berusia 13 sampai 17 tahun yang melaporkan bahwa hampir tiga per empat dari mereka antara memiliki atau mempunyai akses ke sebuah ponsel cerdas, 92% di antaranya berkoneksi secara daring, dengan 24% mengatakan "hampir secara konstan" berada dalam jaringan.[65] Mengutip data Pusat Pengendalian Penyakit Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa hampir seperempat kematian di AS pada tahun 2014 untuk orang yang berusia 15 sampai 24 tahun diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, psikiater Randolph M. Nesse mencatat bahwa ketakutan akan bahaya dalam mengemudikan sebuah kendaraan bermotor tidak dapat memiliki sebuah modul pembelajaran pendahuluan, dan bersama ahli biologi evolusioner George C. Williams dan psikiater Isaac Marks, Nesse mencatat bahwa orang-orang dengan respons ketakutan terhadap fobia adaptif (cth basifobia, ofidiofobia, araknofobia) yang defisien secara sistematis lebih ceroboh secara temperamen dan lebih berkemungkinan mengalami cedera tidak disengaja yang bisa menjadi fatal, dan Marks, Williams, dan Nesse telah mengusulkan bahwa fobia defisien serupa sebaiknya digolongkan sebagai "hipofobia" akibat konsekuensi gen egois yang dimilikinya.[66]

Pada Juli 2018, Journal of the American Medical Association menerbitkan sebuah survei kohort longitudinal dari 3.051 remaja AS yang berusia 15 dan 16 tahun (direkrut dari 10 sekolah menengah di County Los Angeles, California dengan convience sampling) melaporkan keterlibatan mereka dalam 14 kegiatan media digital modern pada frekuensi tinggi. Pada titik awal, 2.587 di antaranya tidak mengalami gejala ADHD yang signifikan, dengan jumlah mean 3,62 kegiatan media digital modern digunakan pada frekuensi tinggi dan setiap kegiatan tambahan yang sering digunakan pada titik awal berkorelasi positif dengan gejala ADHD yang berfrekuensi secara signifikan lebih tinggi pada tindakan lanjutan. 495 remaja yang tidak melaporkan melakukan kegiatan media digital berfrekuensi tinggi pada titik awal memiliki suku mean 4,6% mengalami gejala ADHD pada tindakan lanjutan, sementara 114 di antaranya yang melaporkan 7 kegiatan berfrekuensi tinggi memiliki suku mean 9,5%, dan 51 remaja dengan 14 kegiatan berfrekuensi tinggi memiliki suku mean 10,5% (mengindikasikan asosiasi menengah yang signifikan secara statistis antara frekuensi yang lebih tinggi dari penggunaan media digital dan gejala ADHD selanjutnya).[67][68][69] Pada Oktober 2018, Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America menerbitkan sebuah tinjauan sistematis penelitian dari empat dekade tentang hubungan antara penggunaan layar media pada anak-anak dan remaja dengan perilaku terkait ADHD dan menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang kecil secara statistis antara penggunaan media pada anak dan perilaku terkait ADHD.[70]

Pada April 2019, PLOS One menerbitkan hasil sebuah studi kohort kelahiran longitudinal dari penggunaan waktu layar yang dilaporkan oleh orang tua 2.322 anak di Kanada yang berusia 3 dan 5 tahun dan menemukan bahwa dibandingkan dengan anak-anak yang terpapar kurang dari 30 menit waktu layar per hari, anak-anak dengan waktu layar lebih dari 2 jam setiap harinya memiliki risiko 7,7 kali lipat lebih tinggi dalam memenuhi kriteria ADHD.[71] Pada Januari 2020, Italian Journal of Pediatrics menerbitkan sebuah kajian potong-lintang dari 1.897 anak-anak berusia 3 hingga 6 tahun yang menghadiri 42 taman kanak-kanak di Wuxi, Tiongkok yang juga menemukan bahwa anak-anak yang terpapar lebih dari 1 jam waktu layar per hari berisiko lebih tinggi mengembangkan ADHD dan mencatat kemiripannya dengan sebuah penemuan terkait waktu layar dan pengembangan autisme (ASD).[72] Pada November 2020, Infant Behavior and Development menerbitkan sebuah kajian dari 120 anak berusia 3 tahun dengan atau tanpa riwayat keluarga ASD atau ADHD (20 dengan ASD, 14 dengan ADHD, dan 86 lainnya untuk perbandingan) memeriksa hubungan antara waktu layar, hasil perilaku, dan pengembangan bahasa baik ekspresif maupun reseptif yang menemukan bahwa waktu layar yang lebih tinggi berhubungan dengan skor bahasa ekspresif/reseptif yang lebih rendah daripada kelompok perbandingan dan bahwa waktu layar berhubungan dengan fenotipe perilaku, bukan riwayat keluarga ASD atau ADHD.[73]

Dalam jurnal Globalization and Health, Shuai et al. menerbitkan sebuah studi berjudul "Influences of digital media use on children and adolescents with ADHD during COVID-19 pandemic". Mereka menyelidiki pengaruh media digital terhadap gejala inti, keadaan emosional, peristiwa kehidupan, fungsi eksekutif, dan lingkungan keluarga pada anak dan remaja yang didiagnosis mengidap ADHD. Mereka mengikutsertakan peserta dari usia 8 hingga 16 tahun pengidap ADHD yang mengalami penggunaan media digital bermasalah dan kelompok yang memenuhi kriteria ADHD tanpa mengalami penggunaan bermasalah. Kajian tersebut menganalisis perbedaan antara kedua kelompok menurut gejala ADHD, fungsi eksekutif, kegelisahan dan depresi, stres dari peristiwa kehidupan, motivasi belajar, dan lingkungan keluarga yang masing-masing dibandingkan. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa anak-anak ADHD dengan penggunaan bermasalah menunjukkan gejala yang lebih parah, emosi negatif, kerusakan fungsi eksekutif, kesulitan dalam fungsi keluarga, tekanan dari peristiwa kehidupan, dan motivasi belajar yang lebih rendah daripada yang tidak mengalami penggunaan bermsalah. Penelitian ini mengindikasikan bahwa bagi anak-anak dan remaja yang kesulitan menghadapi ADHD, penting untuk mengawasi penggunaan media digital dan meningkatkan latihan fisik demi mengelola gejala inti dan kesulitan terkait ADHD lainnya dengan lebih baik.[74]

Pada tahun 2021, peneliti Siddarth Sagar dan Navin Kumar menerbitkan sebuah kajian potong-lintang dalam Psychology and Education yang bertujuan untuk menguji hubungan antara penggunaan media sosial dan ADHD secara empiris. Mereka berhipotesis bahwa pengguna media sosial akan memiliki perbedaan signifikan dalam variabel demografi seperti usia, jenis kelamin, dan pendidikan dan bahwa ADHD akan secara signifikan berhubungan dengan penggunaan media sosial. Kajian tersebut mengindikasikan bahwa ADHD secara signifikan berhubungan dengan penggunaan media sosial adiktif atau berlebihan dan bahwa penggunaan media sosial adiktif berhubungan dengan perempuan, individu muda, dan individu berusia mahasiswa. Kajian tersebut lebih lanjut menyimpulkan bahwa ADHD lebih lazim pada individu dengan pengunaan media sosial yang lebih tinggi. Para penulis mengatakan bahwa ini mungkin disebabkan oleh media sosial yang menjadi sarana ideal untuk menyentuh, mengutik, dan perubahan yang sering dari satu aktivitas ke yang lain ketika bosan atau merasa lengah, yang merupakan perilaku umum ADHD.[75]

Autisme

Pada Februari 2017, PLOS One menerbitkan sebuah tinjauan sistematis dari 35 studi untuk memeriksa prevalensi kegiatan dan perilaku kurang bergerak dan hal pelengkap potensial pada anak dengan gangguan spektrum autisme (ASD). Tinjauan tersebut menemukan bahwa 15 studi melaporkan prevalensi kegiatan fisik, 10 melaporkan kegiatan fisik pelengkap, 18 melaporkan prevalensi perilaku kurang bergerak, dan 10 melaporkan perilaku kurang bergerak pelengkap. Usia secara konsisten dan terbalik berhubungan dengan kegiatan fisik, tetapi dicatat bahwa setiap kajian kecuali satu telah digolongkan sebagai memiliki risiko bias seleksi yang tinggi dan bahwa diperlukan lebih banyak penelitian untuk mengidentifikasi pelengkap perilaku-perilaku tersebut.[76] Pada September 2017, Scientific Reports menerbitkan sebuah metaanalisis dari 15 studi epidemiologis dengan jumlah 49.937.078 peserta termasuk 1.045.538 dengan ASD menggunakan model efek acak untuk memeriksa asosiasi antara obesitas, kelebihan berat badan, dan ASD. Analisis tersebut menemukan bahwa sementara prevalensi peserta kelebihan berat badan dengan ASD tidak berbeda secara signifikan dari kelompok kontrol, prevalensi obesitas secara signifikan lebih tinggi di antara peserta ASD di kelompok kontrolnya.[77]

Pada April 2018, Child and Adolescent Psychiartic Clinics of North America menerbitkan sebuah kajian data dari Akademi Psikiatri Anak dan Remaja Amerika Serikat yang menemukan bahwa anak dengan ASD yang disurvei menghabiskan terpapar 4,5 jam lebih waktu layar per hari dibandingkan dengan anak berkembang sebaya lainnya, dan bahwa anak dengan ASD memainkan permainan video 1 jam lebih perhari daripada anak berkembang sebaya tipikal dan cenderung memilih permainan video daripada televisi. Sebaliknya, lebih dari setengah anak dengan ASD yang disurvei belum pernah bermain bersama teman melalui media elektronik, dengan hanya 15% di antaranya berinteraksi dengan teman dengan cara tersebut setiap minggunya dan 64% di antaranya menggunakan media elektronik utamanya secara non-sosial (cth untuk bermain permainan video sendiri atau bersama orang asing, atau menelusuri situs web tentang permainan).[78]

Pada Oktober 2018, Evidence-Based Mental Health menerbitkan sebuah metaanalisis dari 46 set data menggunakan model efek acak untuk memeriksa asosiasi antara masalah tidur dan ASD dalam 14 parameter tidur baik secara subjektif maupun objektif dan menemukan bahwa seperti dibandingkan dengan kelompok kontrol, peserta dengan ASD secara signifikan berbeda dalam 10 dari 14 parameter subjektif dan 7 dari 14 parameter objektif.[79] Pada November 2018, Journal of Autism and Developmental Disorders menerbitkan sebuah kajian yang memeriksa asosiasi antara faktor lingkungan dengan kegiatan fisik dan waktu layar pada 1.380 anak dengan ASD dan 1.411 anak tanpa ASD dan menemukan bahwa ketiadaan sebuah televisi di kamar tidur dan dukungan dari lingkungan sekitar untuk anak tanpa ASD berhubungan dengan kegiatan fisik, sementara televisi kamar tidur dan ketidakhadiran batasan waktu layar dari orang tua diasosiasikan dengan waktu layar untuk anak dengan ASD.[80]

Pada Mei 2019, Behavioral Sciences menerbitkan sebuah survei daring dari orang tua 327 anak dengan ASD dan menemukan bahwa anak dengan ASD kebanyakan menggunakan televisi dan setelah melaksanakan 13 wawancara langsung dengan orang tua, para peneliti menyimpulkan bahwa penggunaan media layar oleh anak dengan ASD sebaiknya diawasi.[81] Pada Februari 2021, Frontiers in Psychiatry menerbitkan sebuah kajian dari 101 anak dengan ASD dan 57 anak tanpa ASD untuk memeriksa hubungan antara waktu layar anak dengan ASD dan kuosien perkembangan mereka. Kajian tersebut menemukan bahwa waktu layar untuk anak dengan ASD (3,34 ± 2,64 jam) lebih lama daripada anak tanpa ASD (0,91 ± 0,93 jam) dan waktu layar untuk anak dengan ASD secara positif berhubungan dengan Skala Penilaian Austime Anak.[82]

Insomnia

Pada Agustus 2018, Sleep Medicine Review menerbitkan sebuah metaanalisis oleh psikiater Wai Sze Chan, Meredith P. Levsen, dan Christina S. McCrae dari 67 studi yang diterbitkan sejak 2008 yang menemukan bahwa model efek acak multitingkat menunjukkan bahwa peluang mengidap obesitas di antara orang yang memiliki diagnosis insomnia tidak secara signifikan lebih besar dari peluang mengidap obesitas dan tidak menerima diagnosis insomnia, sementara sebuah korelasi potong-lintang yang kecil lagi signifikan ditemukan antara gejala insomnia dan indeks massa tubuh, data longitudinal hanya ditemukan di tiga studi yang menunjukkan bahwa mengembangkan gejala insomnia pada masa depan di antara para pengidap obesitas tidak secara signifikan lebih besar dari yang tidak mengidap obesitas, menemukan penelitiannya tidak berksimpulan.[83]

Pada Mei 2019, Sleep Medicine menerbitkan sebuah studi dari tindakan lanjutan 2.865 remaja di AS yang berusia 15 tahun di Fragile Familis and Child Wellbeing Study yang menyelesaikan survei mengukur durasi tidur pribadi dan gejala insomnia, penggunaan waktu layar untuk perpesanan sosial, penelusuran web, menonton televisi dan film, dan permainan, dan sistem depresif dan para peneliti mengostruksikan sebuah model beberapa mediasi sementara mengendalikan untuk gejala depresif pada usia 9 tahun untuk mengidentifikasi asosiasi antara waktu layar usia 15 tahun, tidur, dan gejala depresif. Ditemukan melalui pemodelan persamaan struktural bahwa dalam asosiasi untuk perpesanan sosial, penelusuran web, dan menonton televisi dan film, ketiga variabel tidur sepenuhnya memediasikan asosiasi positif antara waktu layar dan gejala depresif, sementara untuk permainan, ketiga variabel tidur hanya menyumbangkan 38,5% dari asosiasi antara permainan dan gejala depresif.[84]

Pada November 2019, Psychiatry Research menerbitkan sebuah kajian dari sampel representatif nasional 14.603 remaja di AS berusia 14–18 tahun dari Youth Risk Behavior Survey tahun 2017 untuk memeriksa asosiasi antara waktu dan perilaku layar berlebihan dan tidak cukup tidur pada remaja menggunakan regresi logistik dengan tidak cukup tidur dan waktu layar berlebihan masing-masing sebagai variabel hasil dan penjelasan dan menemukan bahwa peluang remaja yang terpapar waktu layar berlebihan untuk tidak cukup tidur (mengontrol untuk setiap prediktor lain) 1,34 kali lebih tinggi daripada remaja yang tidak mengalami perilaku waktu layar berlebihan, dengan 74,8% remaja dalam survei menerima kurang dari 8 jam tidur pada suatu malam sekolah biasa dan 43% terlibat dalam perilaku waktu layar berlebihan.[85]

Pada Desember 2019, Eating and Weight Disorders – Studies on Anorexia, Bulimia and Obesity menerbitkan sebuah survei dari sampel 6.419 orang dewasa di Meksiko dari National Health and Nutrition Survey tahun 2016 tentang perbedaan laporan mandiri dalam durasi tidur, gejala insomnia, waktu layar televisi, waktu layar keseluruhan, dan derajat kegiatan fisik, dengan indeks massa tubuh digunakan untuk menggolongkan peserta dan menemukan bahwa 39% dan 37% peserta masing-masing tergolong kelebihan berat badan dan obesitas, waktu layar televisi, waktu layar keseluruhan, durasi tidur, dan kegiatan fisik secara signifikan terhubung dengan keadaan kelebihan berat badan atau obesitas, dengan peserta Obesitas I dan Obesitas II rata-rata menghabiskan 30 menit lebih lama daripada peserta berat normal di depan layar dan Obesitas II melaporkan jumlah tidur 30 menit lebih sedikit dan Obesitas III cenderung kurang melakukan kegiatan fisik.[86]

Pada Februari 2020, Sleep Medicine Reviews menerbitkan sebuah tinjauan sistematis dari 31 studi untuk memeriksa asosiasi antara waktu layar atau perilaku bergerak (kurang bergerak vs. kegiatan fisik) dan hasil tidur pada anak kurang dari 5 tahun mengikuti pedoman Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses dan melaksanakan Grading of Recommendations Assessment, Development and Evaluation dengan subjek digolongkan berdasarkan tingkat usia dan menemukan bahwa waktu layar terhubung dengan hasil tidur yang lebih buruk pada anak kurang dari 5 tahun, dengan metaanalisis hanya mengonfirmasi hasil tidur yang buruk pada anak kurang dari 2 tahun sementara untuk perilaku bergerak, buktinya campur aduk, tetapi kegiatan fisik dan permainan luar ruangan pada anak usia 1–4 tahun terhubung secara positif.[87]

NPD

Pada Juli 2018, sebuah metaanalisis yang diterbitkan dalam Psychology of Popular Media menemukan bahwa narsisisme muluk secara positif berhubungan dengan waktu yang dihabiskan di media sosial, frekuensi pembaruan status, jumlah teman atau pengikut, dan frekuensi mengunggah gambar diri digital,[88] sementara sebuah metaanalisis dalam Journal of Personality pada April 2018 menemukan bahwa korelasi positif antara narsisisme muluk dan penggunaan layanan jejaring sosial ini sama untuk sejumlah platform (termasuk Facebook dan Twitter).[89] Pada Maret 2020, Journal of Adult Development menerbitkan sebuah analisis diskontinuitas regresi dari 254 pengguna Facebook Milenial untuk menyelidiki perbedaan dalam narsisisme dan penggunaan Facebook antara kohort usia kelahiran 1977 hingga 1990 dan dari 1991 hingga 2000 dan menemukan bahwa Milenial yang dilahirkan lebih akhir mencetak skor yang secara signifikan lebih tinggi dalam kedua hal.[90] Pada Juni 2020, Addictive Behaviors Reports menerbitkan sebuah tinjauan sistematis yang menemukan sebuah korelasi konsisten, positif, dan signifikan antara narsisisme muluk dan penggunaan media sosial berlebihan.[91] Pada tahun 2018, ahli psikologi sosial Jonathan Haidt dan presiden FIRE, Greg Lukianoff, mencatat dalam The Coddling of the American Mind bahwa mantan presiden Facebook, Sean Parker, menyatakan pada sebuah wawancara tahun 2017 bahwa tombol suka Facebook didesain secara sadar sehingga pengguna prima yang menerima suka merasakan suatu sensasi dopamin sebagai bagian dari sebuah "perulangan umpan balik validasi sosial".[92]

"Belas kasihan mencolok" adalah praktik mendonasikan sejumlah besar uang secara publik kepada yayasan amal untuk meningkatkan prestise sosial sang donor, dan terkadang digambarkan sebagai sejenis konsumsi mencolok.[93][94] Jonathan Haidt dan Greg Lukianoff berpendapat bahwa pelatihan mikroagresi di kampus kolese di Amerika Serikat telah menyebabkan budaya penolakan dan iklim penyensoran diri karena ketakutan akan dipermalukan oleh mob virtue signalling di media sosial dengan pengguna yang sering kali awanama dan cenderung mendeindividuasi sebagai akibatnya.[95] Mengutip data survei Februari 2017 oleh Pew Research Center yang menunjukkan bahwa unggahan kritis di Facebook yang mengekspresikan "pertidaksetujuan marah" lebih berpotensi mendapatkan suka, komentar, dan pembagian (di samping sebuah penemuan serupa untuk unggahan PNAS USA di Twitter pada Juli 2017),[96][97] Haidt dan Tobias Rose-Stockwell mengutip frasa "kesombongan moral" dalam The Atlantic pada Desember 2019 untuk menggambarkan bagaimana memiliki audiens di forum media sosial telah mengubah sebagian besar komunikasi interpersonal menjadi penampilan publik.[98]

Menyusul pembunuhan George Floyd pada Mei 2020 dan berbagai unjuk rasa yang mengatasnamakan dirinya, jajak pendapat Civiqs dan YouGov/Economist menunjukkan bahwa sementara dukungan net untuk Black Lives Matter di antara orang kulit putih Amerika meningkat dari −4 poin menjadi +10 poin pada awal Juni 2020 (dengan 43% mendukung), poinnya menurun hingga −6 pada awal Agustus 2020,[99] dan sejak April 2020, jajak pendapat Cviqs selanjutnya telah menunjukkan bahwa dukungan untuk Black Lives Matter di antara orang kulit putih Amerika kira-kira telah kembali ke tingkat dukungan sebelum pembunuhan George Floyd (37% mendukung dan 49% menentang).[100] Dalam sebuah wawancara pada Februari 2021 di acara Firing Line, jurnalis Charles M. Blow mengkritik minoritas pengunjuk rasa kulit putih muda pada protes George Floyd di Amerika Serikat. Ia berpendapat bahwa mereka menggunakan unjuk rasa tersebut untuk pertumbuhan pribadi mereka, menggantikan ritus peralihan sosial (cth malam perpisahan) dan perkumpulan sosial musim panas (cth menghadiri teater film atau konser) yang terhalangi oleh karantina wilayah Covid-19 dan tindakan pembatasan sosial, mencatat bahwa sementara karantina wilayah mulai dilonggarkan dan dicabut, dukungan untuk Black Lives Matter di antara orang kulit putih mulai menurun.[101]

Pada Februari 2021, Psychologial Medicine menerbitkan sebuah survei yang meninjau 14.785 pembunuhan yang dilaporkan secara publik dalam berita bahasa Inggris di seluruh dunia antara tahun 1900 dan 2019 yang dihimpun dalam sebuah pangkalan data oleh psikiater di Institut Psikiatris Negara Bagian New York dan Pusat Medis Universitas Columbia yang menemukan bahwa dari 1.315 pembunuhan massal atas alasan personal (yakni didorong oleh motivasi personal dan tidak terjadi dalam konteks perang, terorisme yang disponsori negara atau kelompok, kegiatan geng, atau kejahatan terorganisasi) hanya 11% pembunuh massal dan hanya 8% penembak massal mengdidap "penyakit jiwa serius" (cth skizofrenia, gangguan bipolar, gangguan depresi mayor), bahwa penembakan massal telah menjadi lebih umum dibandingkan bentuk pembunuhan massal lainnya sejak 1970 (dengan 73% terjadi di Amerika Serikat), dan bahwa penembak massal di Amerika Serikat lebih berpotensi memiliki riwayat legal, terlibat dalam penggunaan zat adiktif atau penyalahgunaan alkohol, dan menunjukkan gejala psikiatris non-psikotik atau neurologis.[102][103][104]

Salah satu penulis survei tersebut, psikiater Paul S. Appelbaum berpendapat bahwa data dari survei tersebut mengindikasikan bahwa "kesulitan menghadapi peristiwa kehidupan tampaknya adalah fokus yang lebih bermanfaat untuk pencegahan dan kebijakan [penembakan massal] daripada penekanan terhadap penyakit jiwa serius",[105] sementara psikiater Ronald W. Pies menyarankan bahwa psikopatologi sebaiknya dimengerti sebagai kontinum tiga gradasi dari gangguan jiwa, perilaku, dan emosional dengan kebanyakan penembak massal tergolong ke dalam kategori tengah "gangguan emosional berkelanjutan".[106] Pada tahun 2015, psikiater James L. Knoll dan George D. Annas mencatat bahwa kecenderungan sebagian besar perhatian media menyusul penembakan massal mengenai kesehatan jiwa menyebabkan faktor sosial budaya lebih terabaikan secara komparatif. Sebagai gantinya, Knoll dan Annes mengutip penelitian ahli psikologi sosial Jean Twenge dan W. Keith Campbell mengenai narsisisme dan penolakan sosial dalam riwayat pribadi penembak massal, serta saran ilmuwan kognitif Steven Pinker dalam The Better Angles of Our Nature (2011) bahwa pengurangan lebih lanjut dalam kekerasan manusia mungkin bergantung pada mengurangi narisisme manusia.[107][108]

Referensi

  1. ^ a b c K., Dickson; M., Richardson; I., Kwan; W., MacDowall; H., Burchett; C., Stansfield; G., Brunton; K., Sutcliffe; J., Thomas (Januari 2019). Screen-based activities and children and young people's mental health and psychosocial wellbeing: A systematic map of reviews (PDF) (dalam bahasa Inggris). EPPI-Centre, Unit Penelitian Ilmu Sosial, UCL Institut Pendidikan, Universitas Kolese London. ISBN 978-1-911605-13-3. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 22 Mei 2023. Diakses tanggal 12 Juni 2023. 
  2. ^ a b c Ryding, Francesca C.; Kaye, Linda K. (2018). "'Internet addiction': A conceptual minefield". International Journal of Mental Health and Addiction (dalam bahasa Inggris). 16 (1): 225–232. doi:10.1007/s11469-017-9811-6 . PMC 5814538 . PMID 29491771. 
  3. ^ a b c d Kardefelt-Winther, Daniel (Februari 2017). "How does the time children spend using digital technology impact their mental well-being, social relationships and physical activity? An evidence-focused literature review" (PDF). Innocenti Discussion Paper (dalam bahasa Inggris). Kantor Penelitian UNICEF – Innocenti. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 8 Juni 2023. Diakses tanggal 12 Juni 2023. 
  4. ^ a b Reid Chassiakos, Yolanda Linda; Radesky, Jenny; Christakis, Dimitri; Moreno, Megan A.; Cross, Corrinn (November 2016). "Children and adolescents and digital media". Pediatrics (dalam bahasa Inggris). 138 (5): e20162593. doi:10.1542/peds.2016-2593 . PMID 27940795. 
  5. ^ a b Stiglic, Neza; Viner, Russell M. (2019). "Effects of screentime on the health and well-being of children and adolescents: A systematic review of reviews". BMJ Open. 9 (1): e023191. doi:10.1136/bmjopen-2018-023191 . PMC 6326346 . PMID 30606703. 
  6. ^ a b c Montag, Christian; Becker, Benjamin; Gan, Chunmei (2018). "The multipurpose application WeChat: A review on recent research". Frontiers in Psychology (dalam bahasa Inggris). 9: 2247. doi:10.3389/fpsyg.2018.02247 . PMC 6297283 . PMID 30618894. 
  7. ^ * Stiglic, Neza; Viner, Russell M. (2019). "Effects of screentime on the health and well-being of children and adolescents: A systematic review of reviews". BMJ Open. 9 (1): e023191. doi:10.1136/bmjopen-2018-023191. PMC 6326346 . PMID 30606703. 
  8. ^ a b Grant, Jon E.; Chamberlain, Samuel R. (Agustus 2016). "Expanding the definition of addiction: DSM-5 vs. ICD-11". CNS Spectrums (dalam bahasa Inggris). 21 (4): 300–303. doi:10.1017/S1092852916000183. PMC 5328289 . PMID 27151528. Diakses tanggal 12 Juni 2023. 
  9. ^ Ellis, David A. (Agustus 2019). "Are smartphones really that bad? Improving the psychological measurement of technology-related behaviors". Computers in Human Behavior. 97: 60–66. doi:10.1016/j.chb.2019.03.006. S2CID 150864248. Diarsipkan dari versi asli tanggal 21 Mei 2023. Diakses tanggal 12 Juni 2023. 
  10. ^ Young, Kimberly S. (1998). Caught in the net: How to recognize the signs of Internet addiction—and a winning strategy for recovery (dalam bahasa Inggris). John Wiley & Sons. ISBN 978-0-471-19159-9. 
  11. ^ La Barbera, Daniele; La Paglia, Filippo; Valsavoia, Rosaria (2009). "Social network and addiction". Studies in Health Technology and Informatics (dalam bahasa Inggris). 144: 33–36. doi:10.3233/978-1-60750-017-9-33. PMID 19592725. 
  12. ^ Cornford, Kate; Hewlett, Emily (2018). "Children & young people's mental health in the digital age: Shaping the future" (PDF) (dalam bahasa Inggris). Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 28 Mei 2023. Diakses tanggal 12 Juni 2023. 
  13. ^ Parekh, Ranna (Juni 2018). "Internet gaming" (dalam bahasa Inggris). Asosiasi Psikiatris Amerika. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 September 2018. Diakses tanggal 12 Juni 2023. 
  14. ^ "Addictive behaviours: Gaming disorder" (dalam bahasa Inggris). Organisasi Kesehatan Dunia. 22 Oktober 2020. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 Mei 2023. Diakses tanggal 12 Juni 2023. 
  15. ^ "6C51 Gaming disorder". ICD-11 for Mortality and Morbidity Statistics (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 12 Juni 2023. Diakses tanggal 12 Juni 2023. 
  16. ^ Panova, Tayana; Carbonell, Xavier (Juni 2018). "Is smartphone addiction really an addiction?". Journal of Behavioral Addiction (dalam bahasa Inggris). 7 (2): 252–259. doi:10.1556/2006.7.2018.49 . PMC 6174603 . PMID 29895183. 
  17. ^ Radesky, Jenny S.; Christakis, Dimitri A. (Oktober 2016). "Increased screen time: Implications for early childhood development and behavior". Pediatrics Clinics of North America (dalam bahasa Inggris). 63 (5): 827–839. doi:10.1016/j.pcl.2016.06.006. PMID 27565361. 
  18. ^ * Hsin, Ching-Ting; Li, Ming-Chaun; Tsai, Chin-Chung (2014). "The influence of young children's use of technology on their learning: A review". Educational Technology & Society (dalam bahasa Inggris). 17 (4): 85–99. JSTOR jeductechsoci.17.4.85. 
    • Gordo López, Angel J.; Contreras, Pilar Parra; Cassidy, Paul (Agustus 2015). "The (not so) new digital family: Disciplinary functions of representations of children and technology". Feminism & Psychology (dalam bahasa Inggris). 25 (3): 326–246. doi:10.1177/0959353514562805. S2CID 146174524. 
    • Subrahmanyam, Kaveri; Kraut, Robert E.; Greenfield, Particia M.; Gross, Elisheva F. (2000). "The impact of home computer use on children's activities and development". The Future of Children. 10 (2): 123–144. doi:10.2307/1602692. JSTOR 1602692. PMID 11255703. 
  19. ^ * Hawi, Nazir; Samaha, Maya (2019). "Identifying commonalities and differences in personality characteristics of Internet and social media addiction profiles: Traits, self-esteem, and self-construal". Behavior & Information Technology (dalam bahasa Inggris). 38 (2): 110–119. doi:10.1080/0144929X.2018.1515984. S2CID 59523874. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 April 2023. Diakses tanggal 12 Juni 2023. 
  20. ^ * Hawi, Nazir; Samaha, Maya (2019). "Identifying commonalities and differences in personality characteristics of Internet and social media addiction profiles: Traits, self-esteem, and self-construal". Behavior & Information Technology (dalam bahasa Inggris). 38 (2): 110–119. doi:10.1080/0144929X.2018.1515984. S2CID 59523874. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 April 2023. Diakses tanggal 12 Juni 2023. 
  21. ^ Nesse & Williams 1994, hlm. 9.
  22. ^ Nesse 2005, hlm. 904–905; Nesse 2016, hlm. 1008–1009; Nesse 2019, hlm. 31–36.
  23. ^ Putnam 2000, hlm. 217, 167.
  24. ^ a b c Putnam 2000, hlm. 217.
  25. ^ Statistical Abstract of the United States: 1955 (PDF) (Laporan). Abstrak Statistis Amerika Serikat (dalam bahasa Inggris) (edisi ke-76). Biro Sensus Amerika Serikat. 1955. hlm. 554. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 4 April 2023. Diakses tanggal 13 Juni 2023. 
  26. ^ Hillstrom, Laurie Collier (2007). "4. The rise of cable television". Television in American society: Almanac (dalam bahasa Inggris). Thomson Gale. hlm. 73. ISBN 978-1-4144-0222-2. 
  27. ^ Putnam 2000, hlm. 223.
  28. ^ File, Thom (Mei 2013). Computer and Internet use in the United States (PDF) (Laporan). Survei Populasi Terkini. Biro Sensus Amerika Serikat. hlm. 2. Diarsipkan dari versi asli tanggal 13 Juni 2023. Diakses tanggal 13 Juni 2023. 
  29. ^ Tuckel, Peter; O'Neill, Harry (2005). Ownership and usage patterns of cell phones: 2000–2005 (PDF) (Laporan). JSM Proceedings, Seksi Metode Penelitian Survei. Asosiasi Statistis Amerika. hlm. 4002. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 16 Agustus 2021. Diakses tanggal 13 Juni 2023. 
  30. ^ van Eijk, Nico; van der Sloot, Bart (September 2011). "Mapping digital media: How television went digital in the Netherlands" (PDF) (dalam bahasa Inggris). Open Society Foundations. hlm. 1. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 4 April 2023. Diakses tanggal 13 Juni 2023. 
  31. ^ Hart, Jeffrey A. (2010). "The transition to digital television in the United States: The endgame". International Journal of Digital Television (dalam bahasa Inggris). 1 (1): 7–29. doi:10.1386/jdtv.1.1.7/1. S2CID 143998675. 
  32. ^ "Internet/broadband fact sheet" (dalam bahasa Inggris). Pew Research Center. 7 April 2021. Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 Juni 2023. Diakses tanggal 13 Juni 2023. 
  33. ^ "Mobile fact sheet" (dalam bahasa Inggris). Pew Research Center. 7 April 2021. Diarsipkan dari versi asli tanggal 9 Juni 2023. Diakses tanggal 13 Juni 2023. 
  34. ^ Arendt, Susan (5 Maret 2007). "Game consoles in 41% of homes". Wired (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 April 2023. Diakses tanggal 13 Juni 2023. 
  35. ^ Statistical abstract of the United States: 2008 (PDF) (Laporan). Abstrak Statistis Amerika Serikat (dalam bahasa Inggris). Biro Sensus Amerika Serikat. 2008. hlm. 52. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 22 Mei 2023. Diakses tanggal 13 Juni 2023. 
  36. ^ North, Dale (14 April 2015). "155M Americans play video games, and 80% of households own a gaming device". VentureBeat (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 April 2023. Diakses tanggal 13 Juni 2023. 
  37. ^ 2015 sales, demographic and usage data: Essential facts about the computer and video game industry (Laporan) (dalam bahasa Inggris). Asosiasi Perangkat Lunak Hiburan. hlm. 2. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 April 2023. Diakses tanggal 13 Juni 2023. 
  38. ^ Hoge, Elizabeth; Bickham, David; Cantor, Joanne (November 2017). "Digital media, anxiety, and depression in children". Pediatrics (dalam bahasa Inggris). 140 (Supplement 2): S76–S80. doi:10.1542/peds.2016-1758G . PMID 29093037. 
  39. ^ Elhai, John D.; Dvorak, Robert D.; Levine, Jason C.; Hall, Brian J. (Januari 2017). "Problematic smartphone use: A conceptual overview and systematic review of relations with anxiety and depression psychopathology". Journal of Affective Disorders (dalam bahasa Inggris). 207: 251–259. doi:10.1016/j.jad.2016.08.030. 
  40. ^ Krull, Kevin K.; Chan, Eugenia. "Attention deficit hyperactivity disorder in children and adolescents: Clinical features and diagnosis" (dalam bahasa Inggris). UpToDate. Diarsipkan dari versi asli tanggal 9 April 2023. Diakses tanggal 13 Juni 2023. 
  41. ^ Kooij, J. J. S.; Bijlenga, D.; Salerno, L.; Jaeschke, R.; Bitter, I.; Balázs, J.; Thome, J.; Dom, G.; Kasper, S.; et al. (Februari 2019). "Updated European consensus statement on diagnosis and treatment of adult ADHD". European Psychiatry (dalam bahasa Inggris). 56 (1): 14–34. doi:10.1016/j.eurpsy.2018.11.001 . PMID 30453134. 
  42. ^ "#StatusOfMind: Social media and young people's mental health and wellbeing" (PDF) (dalam bahasa Inggris). Royal Society for Public Health. Mei 2017. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 1 April 2023. 
  43. ^ Matthews, Mark; Murnane, Elizabeth; Snyder, Jaime; Guha, Shion; Chang, Pamara; Doherty, Gavin; Gay, Geri K. (Oktober 2017). "The double-edged sword: A mixed methods study of the interplay between bipolar disorder and technology use". Computers in Human Behavior (dalam bahasa Inggris). 75: 288–300. doi:10.1016/j.chb.2017.05.009. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 April 2023. Diakses tanggal 13 Juni 2023. 
  44. ^ Orben, Amy; Przybylski, Andrew K. (2019). "The association between adolescent well-being and digital technology use". Nature Human Behavior (dalam bahasa Inggris). 3: 173–182. doi:10.1038/s41562-018-0506-1. PMID 30944443. S2CID 58006454. 
  45. ^ Orben, Amy; Przybylski, Andrew K. (Mei 2019). "Screens, teens, and psychological well-being: Evidence from three time-use-diary studies". Psychological Science (dalam bahasa Inggris). 30 (5): 682–696. doi:10.1177/0956797619830329. PMC 6512056 . PMID 30939250. 
  46. ^ Cao, Hui; Qian, Qingwen; Weng, Tingting; Yuan, Changjiang; Sun, Ying; Wang, Hui; Tao, Fangbiao (Oktober–November 2011). "Screen time, physical activity and mental health among urban adolescents in China". Preventive Medicine (dalam bahasa Inggris). 53 (4–5): 316–320. doi:10.1016/j.ypmed.2011.09.002. PMID 21933680. S2CID 39903719. 
  47. ^ Przybylski, Andrew K.; Weinstein, Netta (Februari 2017). "A large-scale test of the Goldilocks hypothesis: Quantifying the relations between digital-screen use and the mental well-being of adolescents". Psychological Science (dalam bahasa Inggris). 28 (2): 204–215. doi:10.1177/0956797616678438 . PMID 28085574. S2CID 9669390. 
  48. ^ Impact of social media and screen-use on young people's health (PDF) (Laporan) (dalam bahasa Inggris). Komite Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Dewan Rakyat Britania Raya. 31 Januari 2019. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 23 Januari 2023. Diakses tanggal 13 Juni 2023. 
  49. ^ a b Valkenburg, Patti M.; Meier, Adrian; Beyens, Ine (April 2022). "Social media use and its impact on adolescent mental health: An umbrella review of the evidence". Current Opinion in Psychology (dalam bahasa Inggris). 44 (Adolescent Development): 58–68. doi:10.1016/j.copsyc.2021.08.017 . PMID 34563980. S2CID 237941749. 
  50. ^ Meier, Adrian; Reinecke, Leonard (Oktober 2020). "Computer-mediated communication, social media, and mental health: A conceptual and empirical meta-review". Communication Research (dalam bahasa Inggris). 48 (8): 1182–1209. doi:10.1177/0093650220958224. S2CID 226332693. 
  51. ^ Ivie, Elizabeth J.; Pettitt, Adam; Moses, Louis J.; Allen, Nicholas B. (2020). "A meta-analysis of the association between adolescent social media use and depressive symptoms". Journal of Affective Disorders (dalam bahasa Inggris). 275: 165–174. doi:10.1016/j.jad.2020.06.014. PMID 32734903. S2CID 220892285. 
  52. ^ Huang, Chiungjung (Februari 2022). "A meta-analysis of the problematic social media use and mental health". International Journal of Social Psychiatry (dalam bahasa Inggris). 68 (1): 12–23. doi:10.1177/0020764020978434 . PMID 33295241. S2CID 228079914. 
  53. ^ Gudka, Maya; Gardiner, Kirsty L. K.; Lonas, Tim (2023). "Towards a framework for flourishing through social media: A systematic review of 118 research studies". The Journal of Positive Psychology (dalam bahasa Inggris). 18 (1): 86–105. doi:10.1080/17439760.2021.1991447 . S2CID 255968367. 
  54. ^ Twenge, Jean M.; Blake, Andrew B.; Haidt, Jonathan; Campbell, W. Keith (2020). "Commentary: Screens, teens, and psychological well-being: Evidence from three time-use-diary studies". Frontiers in Psychology (dalam bahasa Inggris). 11: 181. doi:10.3389/fpsyg.2020.00181 . PMC 7040178 . PMID 32132949. 
  55. ^ Twenge, Jean M.; Haidt, Jonathan; Joiner, Thomas E.; Campbell, W. Keith (2020). "Underestimating digital media harm". Nature Human Behavior (dalam bahasa Inggris). 4: 346–48. doi:10.1038/s41562-020-0839-4. PMID 32303719. S2CID 215804486. 
  56. ^ Asmelash, Leah (13 Agustus 2019). "Social media use may harm teenss mental health by disrupting positive activities, study says". CNN (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 April 2023. Diakses tanggal 13 Juni 2023. 
  57. ^ Boers, Elroy; Afzali, Mohammad H.; Newton, Nicola; Conrod, Patricia (September 2019). "Association of screen time and depression in adolescence". JAMA Pediatrics (dalam bahasa Inggris). 173 (9): 853–859. doi:10.1001/jamapediatrics.2019.1759 . PMC 6632122 . PMID 31305878. 
  58. ^ Liu, Mingli; Kamper-DeMarco, Kimberly E.; Zhang, Jie; Xiao, Jia; Dong, Daifeng; Xue, Peng (Mei 2022). "Time spent on social media and risk of depression in adolescents: A dose–response meta-analysis". International Journal of Environmental Research and Public Health. 19 (9): 5164. doi:10.3390/ijerph19095164 . PMC 9103874  . PMID 35564559. 
  59. ^ Barry, Christopher T.; Sidoti, Chloe L.; Briggs, Shanelle M.; Reiter, Shari R.; Lindsey, Rebecca A. (Desember 2017). "Adolescent social media use and mental health from adolescent and parent perspectives". Journal of Adolescence (dalam bahasa Inggris). 61 (1): 1–11. doi:10.1016/j.adolescence.2017.08.005. PMID 28886571. 
  60. ^ Logrieco, Giuseppe; Marchili, Maria Rosaria; Roversi, Marco; Villani, Alberto (Februari 2021). "The paradox of TikTok anti-pro-anorexia videos: How social media can promote non-suicidal self-injury and anorexia". International Journal of Environmental Research and Public Health (dalam bahasa Inggris). 18 (3): 1041. doi:10.3390/ijerph18031041 . PMC 7908222 . PMID 33503927. 
  61. ^ Fitzsimmons-Craft, Ellen E.; Krauss, Melissa J.; Costello, Shaina J.; Floyd, Glennon M.; Wilfley, Denise E.; Cavavos-Rehg, Patricia A. (Desember 2021). "Adolescents and young adults engaged with pro-eating disorder social media: Eating disorder and comorbid psychopathology, health care utilization, treatment barriers, and opinions on harnessing technology for treatment". Eating and Weight Disorders – Studies on Anorexia, Bulimia and Obesity (dalam bahasa Inggris). 25 (6): 1681–1692. doi:10.1007/s40519-019-00808-3. PMC 7195229 . PMID 31679144. 
  62. ^ Nikkelen, Sanne W. C.; Valkenburg, Patti M.; Huizinga, Mariëtte; Bushman, Brad J. (2014). "Media use and ADHD-related behaviors in children and adolescents: A meta-analysis" (PDF). Developmental Psychology (dalam bahasa Inggris). 50 (9): 2228–2241. doi:10.1037/a0037318. PMID 24999762. S2CID 15418721. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 9 April 2023. 
  63. ^ Turel, Ofir; Bechara, Antoine (2016). "Social networking site use while driving: ADHD and the mediating roles of stress, self-esteem and craving". Frontiers in Psychology (dalam bahasa Inggris). 7: 455. doi:10.3389/fpsyg.2016.00455 . PMC 4812103 . PMID 27065923. 
  64. ^ Settani, Michele; Marengo, Davide; Fabris, Matteo Angelo; Longobardi, Claudio (Juni 2018). "The interplay between ADHD symptoms and time perspective in addictive social media use: A study on adolescent Facebook users". Children and Youth Services Review (dalam bahasa Inggris). 89: 165–170. doi:10.1016/j.childyouth.2018.04.031. S2CID 149795392. 
  65. ^ Lenhart, Amanda (9 April 2015). "Teens, social media & technology overview 2015". Pew Research Center. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 Juni 2023. Diakses tanggal 14 Juni 2023. 
  66. ^ Nesse & Williams 1994, hlm. 212–214; Nesse 2005, hlm. 911–913; Nesse 2016, hlm. 1014; Nesse 2019, hlm. 64–76.
  67. ^ Ra, Chaelin K.; Cho, Junhan; Stones, Matthew D.; De La Cerda, Julianne; Goldenson, Nicholas I.; Moroney, Elizabeth; Tung, Irene; Lee, Steve S.; Leventhal, Adam M. (17 Juli 2018). "Association of digital media use with subsequent symptoms of attention-deficit/hyperactivity disorder among adolescents". Journal of the American Medical Association (dalam bahasa Inggris). 320 (3): 255–263. doi:10.1001/jama.2018.8931 . PMC 6553065 . PMID 30027248. 
  68. ^ Chatterjee, Rhitu (17 Juli 2018). "More screen time for teens linked to ADHD symptoms". NPR (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 17 April 2023. Diakses tanggal 14 Juni 2023. 
  69. ^ Clopton, Jennifer (20 November 2018). "ADHD rising in the US, but why?". WebMD (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 16 Maret 2023. Diakses tanggal 14 Juni 2023. 
  70. ^ Beyens, Ine; Valkenburg, Patti M.; Piotrowski, Jessica Taylor (2 Oktober 2018). "Screen media use and ADHD-related behaviors: Four decades of research". Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America (dalam bahasa Inggris). 115 (40): 9875–9881. Bibcode:2018PNAS..115.9875B. doi:10.1073/pnas.1611611114 . PMC 6176582 . PMID 30275318. 
  71. ^ Tamana, Sukhpreet K.; Ezeugwu, Victor; Chikuma, Joyce; Lefebvre, Diana L.; Azad, Meghan B.; Moraes, Theo J.; Subbarao, Padmaja; Becker, Allan B.; Turvey, Stuart E.; et al. (2019). "Screen-time is associated with inattention problems in preschoolers: Results from the CHILD birth cohort study". PLOS One (dalam bahasa Inggris). 14 (4): e0213995. Bibcode:2019PLoSO..1413995T. doi:10.1371/journal.pone.0213995 . PMC 6469768 . PMID 30995220. 
  72. ^ Xie, Guodong; Deng, Qianye; Cao, Jing; Chang, Qing (2020). "Digital screen time and its effect on preschoolers' behavior in China: Results from a cross-sectional study". Italian Journal of Pediatrics (dalam bahasa Inggris). 46: 9. doi:10.1186/s13052-020-0776-x . PMC 6979375 . PMID 31973770. 
  73. ^ Hill, Monique Moore; Gangi, Devon; Miller, Meghan; Rafi, Sabrina Mohamed; Ozonoff, Sally (November 2020). "Screen time in 36-month-olds at increased likelihood for ASD and ADHD". Infant Behavior and Development (dalam bahasa Inggris). 61: 101484. doi:10.1016/j.infbeh.2020.101484. PMC 7736468 . PMID 32871326. 
  74. ^ Shuai, Lan; He, Shan; Zheng, Hong; Wang, Zhouye; Qiu, Meihui; Xia, Weiping; Cao, Xuan; Lu, Lu; Zhang, Jinsong (2021). "Influences of digital media use on children and adolescents with ADHD during COVID-19 pandemic". Globalization and Health (dalam bahasa Inggris). 17: 48. doi:10.1186/s12992-021-00699-z . PMC 8054232  . PMID 33874977. 
  75. ^ Sagar, Siddarth; Kumar, Navin (2021). "Usages of social media and symptoms of attention deficit hyperactivity disorder (ADHD): A cross-sectional study". Psychology and Education (dalam bahasa Inggris). 58 (4): 879–887. ISSN 0033-3077. Diarsipkan dari versi asli tanggal 14 Juni 2023. Diakses tanggal 14 Juni 2023. 
  76. ^ Jones, Rachel A.; Downing, Katherine; Rinehart, Nicole J.; Barnett, Lisa M.; May, Tamara; McGillivray, Jane A.; Papadopoulus, Nicole V.; Souteris, Helen; Timperio, Anna; et al. (2017). "Physical activity, sedentary behavior and their correlates in children with autism spectrum disorder: A systematic review". PLOS One. 12 (2): e0172482. Bibcode:2017PLoSO..1272482J. doi:10.1371/journal.pone.0172482 . PMC 5330469 . PMID 28245224. 
  77. ^ Zheng, Zhen; Zhang, Li; Li, Shiping; Zhao, Fengyan; Wang, Yan; Huang, Lan; Huang, Jinglan; Zou, Rong; Qu, Yi; et al. (2017). "Association among obesity, overweight and autism spectrum disorder: A systematic review and meta-analysis". Scientific Reports (dalam bahasa Inggris). 7: 11697. Bibcode:2017NatSR...711697Z. doi:10.1038/s41598-017-12003-4. PMC 5601947 . PMID 28916794. 
  78. ^ Gqynette, McLeod Frampton; Sidhu, Shawn S.; Ceranoglu, Tolga Atilla (April 2018). "Electronic screen media use in youth with autism spectrum disorder". Child and Adolescent Psychiatric Clinics of North America (dalam bahasa Inggris). 27 (2): 203–219. doi:10.1016/j.chc.2017.11.013. PMID 29502747. 
  79. ^ Díaz-Román, Amparo; Zhang, Junhua; Delorme, Richard; Beggiato, Anita; Cortese, Samuele (November 2018). "Sleep in youth with autism spectrum disorders: Systematic review and meta-analysis of subjective and objective studies". Evidence-Based Mental Health (dalam bahasa Inggris). 21 (4): 146–154. doi:10.1136/ebmental-2018-300037 . PMID 30361331. S2CID 53103694. 
  80. ^ Healy, Seán; Garcia, Jeanette M.; Haegele, Justin A. (2020). "Environmental factors associated with physical activity and screen time among children with and without autism spectrum disorder". Journal of Autism and Developmental Disorders (dalam bahasa Inggris). 50 (5): 1572–1579. doi:10.1007/s10803-018-3818-0. PMID 30446873. S2CID 53568482. 
  81. ^ Stiller, Anja; Weber, Jan; Strube, Finja; Mößle (Mei 2019). "Caregiver reports of screen time use of children with autism spectrum disorder: A qualitative study". Behavioral Sciences (dalam bahasa Inggris). 9 (5): 56. doi:10.3390/bs9050056 . PMC 6562753 . PMID 31121966. 
  82. ^ Dong, Han-Yu; Wang, Bing; Li, Hong-Hua; Yue, Xiao-Jing; Jia, Fei-Yong (2021). "Correlation between screen time and autistic symptoms as well as development quotients in children with autism spectrum disorder". Frontiers in Psychiatry (dalam bahasa Inggris). 12: 619994. doi:10.3389/fpsyt.2021.619994 . PMC 7920949 . PMID 33664683. 
  83. ^ Chan, Wai Sza; Levsen, Meredith P.; McCrae, Christina S. (Agustus 2018). "A meta-analysis of associations between obesity and insomnia diagnosis and symptoms". Sleep Medicine Reviews. 40: 170–182. doi:10.1016/j.smrv.2017.12.004. PMID 29366543. S2CID 1135275. 
  84. ^ Li, Xian; Buxton, Orfeu M.; Lee, Soomi; Chang, Anne-Marie; Berger, Lawrence; Hale, Lauren (Mei 2019). "Sleep mediates the association between adolescent screen time and depressive symptoms". Sleep Medicine (dalam bahasa Inggris). 57: 51–60. doi:10.1016/j.sleep.2019.01.029. PMC 6511486 . PMID 30897456. 
  85. ^ Baiden, Philip; Tadeo, Savarra K.; Peters, Kersley E. (November 2019). "The association between excessive screen-time behaviors and insufficient sleep among adolescents: Findings from the 2017 Youth Risk Behavior Surveillance System". Psychiatry Research. 281: 112586. doi:10.1016/j.psychres.2019.112586. PMID 31629305. S2CID 203462333. 
  86. ^ Kolovos, Spyros; Jimenez-Moreno, Aura Cecilia; Pinedo-Villanueva, Rafael; Cassidy, Sophie; Zavala, Gerardo A. (2021). "Association of sleep, screen time and physical activity with overweight and obesity in Mexico". Eating and Weight Disorders – Studies on Anorexia, Bulimia and Obesity. 26 (1): 169–179. doi:10.1007/s40519-019-00841-2 . PMC 7895770 . PMID 31893356. 
  87. ^ Janssen, Xanne; Martin, Anne; Hughes, Adrienne R.; Hill, Catherine M.; Kotronoulas, Grigorious; Hesketh, Kathryn R. (Februari 2020). "Associations of screen time, sedentary time and physical activity with sleep in under 5s: A systematic review and meta-analysis". Sleep Medicine Reviews (dalam bahasa Inggris). 49: 101226. doi:10.1016/j.smrv.2019.101226 . PMC 7034412 . PMID 31778942. 
  88. ^ McCain, Jessica L.; Campbell, W. Keith (2018). "Narcissism and social media use: A meta-analytic review". Psychology of Popular Media (dalam bahasa Inggris). 7 (3): 308–327. doi:10.1037/ppm0000137. S2CID 152057114. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 April 2023. Diakses tanggal 15 Juni 2023. 
  89. ^ Gnambs, Timo; Appel, Markus (April 2018). "Narcissism and social networking behavior: A meta-analysis". Journal of Personality (dalam bahasa Inggris). 86 (2): 200–212. doi:10.1111/jopy.12305. PMID 28170106. 
  90. ^ Brailovska, Julia; Bierhoff, Hans-Werner (2020). "The narcissistic Millenial generation: A study of personality traits and online behavior on Facebook". Journal of Adult Development (dalam bahasa Inggris). 27: 23–35. doi:10.1007/s10804-018-9321-1. S2CID 149564334. 
  91. ^ Casale, Silvia; Banchi, Vanessa (Juni 2020). "Narcissism and problematic social media use: A systematic literature review". Addictive Behaviors Reports. 11: 100252. doi:10.1016/j.abrep.2020.100252 . PMC 7244927 . PMID 32467841. 
  92. ^ Lukianoff & Haidt 2018, hlm. 147.
  93. ^ West, Patrick (2004). Conspicuous compassion: Why sometimes it really is cruel to be kind (dalam bahasa Inggris). Civitas, Institut Studi Masyarakat Sipil. ISBN 978-1903386347. 
  94. ^ Payton, Robert L.; Moody, Michael P. (2008). Understanding philanthrophy: Its meaning and mission (dalam bahasa Inggris). Indiana University Press. hlm. 140. ISBN 978-0-253-35049-7. JSTOR j.ctt16gzg8s. 
  95. ^ Lukianoff & Haidt 2018, hlm. 71–73.
  96. ^ "Partisan conflict and congressional outreach" (PDF) (dalam bahasa Inggris). Pew Research Center. Februari 2017. hlm. 30. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 1 Januari 2022. Diakses tanggal 16 Juni 2023. 
  97. ^ Brady, Williams J.; Wills, Julian A.; Jost, John T.; Tucker, Joshua A.; Van Bavel, Jay J. (11 Juli 2017). "Emotion shapes the diffusion of moralized content in social networks". Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America. 114 (28): 7313–7318. Bibcode:2017PNAS..114.7313B. doi:10.1073/pnas.1618923114 . PMC 5514704 . PMID 28652356. 
  98. ^ Haidt, Jonathan; Rose-Stockwell, Tobias (Desember 2019). "The Dark Psychology of Social Networks". The Atlantic (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 Juni 2023. Diakses tanggal 16 Juni 2023. 
  99. ^ Tesler, Michael (19 Agustus 2020). "Support for Black Lives Matter surged during protests, but is waning among white americans". FiveThirtyEight (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 Mei 2023. Diakses tanggal 16 Juni 2023. 
  100. ^ Samuels, Alex (13 April 2021). "How views on Black Lives Matter have changed—and why that makes police reform so hard". FiveThrityEight (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 18 Mei 2023. Diakses tanggal 16 Juni 2023. 
  101. ^ Blow, Charles M. (5 Februari 2021). "Charles M. Blow". Fire Lining (Wawancara) (dalam bahasa Inggris). Wawancara dengan Margaret Hoover. WNET. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 April 2023. Diakses tanggal 16 Juni 2023. 
  102. ^ Brucato, Gary; Appelbaum, Paul S.; Hesson, Hannah; Shea, Eileen A.; Dishy, Gabriella; Lee, Kathryn; Syed, Faizan; Villalobos, Alexandra; Wall, Melanie M.; et al. (2021). "Psychotic symptoms in mass shootings v. mass murders not involving firearms: Findings from the Columbia mass murder database" (PDF). Psycholigical Medicine (dalam bahasa Inggris). 52 (15): 1–9. doi:10.1017/S0033291721000076. PMID 33595428. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2 Juni 2023. Diakses tanggal 16 Juni 2023. 
  103. ^ Preidt, Robert (25 Februari 2021). "Mental illness not a factor in most mass shootings". HealthDay News (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 11 April 2023. Diakses tanggal 16 Juni 2023. 
  104. ^ Ramsland, Katherine (26 Februari 2021). "Is there a link between madness and mass murder?". Psychology Today (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 16 Juni 2023. Diakses tanggal 16 Juni 2023. 
  105. ^ "Researchers issue first report on mass shootings from the Columbia mass murder database" (dalam bahasa Inggris). Departemen Psikiatri, Universitas Columbia. 18 Februari 2021. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 April 2023. Diakses tanggal 16 Juni 2023. 
  106. ^ Pies, Ronald W. (17 Februari 2020). "Mass shooters and the psychopathology spectrum". Psychiatric Times (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 April 2023. Diakses tanggal 16 Juni 2023. 
  107. ^ Knoll, James L.; Annas, George D. (2016). "4. Mass shootings and mental illness". Dalam Gold, Liza H.; Simon, Robert I. Gun violence and mental illness (dalam bahasa Inggris). Asosiasi Psikiatris Amerika Serikat. hlm. 91–94. ISBN 978-1-58562-498-0. 
  108. ^ Karya-karya yang dikutip adalah:

Daftar pustaka