Filsafat India

Revisi sejak 30 Agustus 2023 04.16 oleh Wagino Bot (bicara | kontrib) (Lihat pula: Bot: Merapikan artikel)

Filsafat India mengacu pada tradisi filsafat kuno di Subbenua India. Aliran-aliran filsafat utama diklasifikasikan dalam ortodoks atau heterodoksāstika atau nāstika – tergantung pada satu dari tiga kriteria pilihan: aliran itu percaya pada Weda sebagai sumber pengetahuan yang valid atau tidak; aliran itu percaya pada premis Brahman dan Atman atau tidak; dan aliran itu percaya pada kehidupan setelah kematian dan Dewa-Dewa atau tidak.[1][2][3]

Suatu metode klasifikasi membagi enam aliran utama filsafat Hindu India ortodoks, yaitu Nyaya, Waisesika, Samkhya, Yoga, Mimamsa, dan Wedanta, dan lima aliran Sramana utama, yaitu Jainisme, Buddhisme, Ājīvika, Ajñana, dan Carwaka. Metode klasifikasi lainnya: misalnya Vidyaranya mengidentifikasikan enam belas aliran filsafat India dengan menyertakan yang termasuk tradisi Saiwa dan Raseswara.[4][5]

Aliran-aliran utama filsafat India diformalkan terutama antara tahun 1000 SM hingga awal abad-abad Era Umum. Persaingan dan integrasi di antara berbagai aliran meningkat dalam tahun-tahun pembentukan mereka, khususnya antara tahun 800 SM dan 200 M. Beberapa aliran bertahan, seperti Jainisme, Buddhisme, Yoga, Śaiwa, dan Wedanta, tapi lainnya tidak, seperti Ajñana, Carwaka, dan Ājīvika.

Naskah-naskah filsafat India kuno dan abad pertengahan mencakup diskusi-diskusi ekstensif mengenai Ontologi (metafisika, Brahman-Atman, Sunyata-Anatta), sarana pengetahuan yang dapat diandalkan (epistemologi, Pramana), sistem nilai (aksiologi), dan topik-topik lain.[6][7][8][9]

Tema-tema umum

Tradisi filsafat India
Galeri gambar
Filsafat Hindu paling awal disusun dan dikodifikasi oleh orang-orang bijak Zaman Weda Hindu, seperti Yajnavalkya (c. abad ke-8 SM), yang dianggap sebagai salah satu filsuf paling awal dalam sejarah tertulis, setelah Aruni (c. abad ke-8 SM).[10]
Filsafat Jain disebarkan oleh para Tirthankara, terutama Parshvanatha (c. 872-772 SM) dan Mahawira (c. 549–477 SM).
Filsafat Buddha dibangun oleh Gautama Buddha (c. 563–483 SM).
Filsafat Sikh dikristalisasi dalam Guru Granth Sahib yang diabadikan oleh Guru Gobind Singh (c. 1666–1708 SM).

Filsafat India menyebarkan banyak konsep, seperti dharma, karma, samsara, reinkarnasi, dukkha, penolakan, meditasi, dan hampir semuanya berfokus pada tujuan akhir pembebasan individu melalui beragam praktik spiritual (moksa, nirwana).[11] Mereka berbeda dalam asumsi-asumsi mengenai sifat keberadaan serta kekhususan jalan menuju pembebasan akhir, sehingga menghasilkan banyak aliran yang tidak saling sejalan. Doktrin-doktrin kuno mereka menjangkau berbagai filsafat yang ditemukan dalam budaya kuno lain.[12]

Aliran-aliran ortodoks

 
Filsafat Hindu memiliki keragaman tradisi dan banyak orang suci dan cendekiawan, seperti Adi Shankara dari aliran Wedanta Adwaita.

Banyak tradisi intelektual Hindu diklasifikasikan dalam skolastik Brahman-Sanskrit abad pertengahan menjadi suatu daftar standar yang terdiri atas enam aliran (darshana) ortodoks (Astika), "Enam Filsafat" (ṣaḍ-darśana), yang seluruhnya menerima kebenaran Weda.[13][14][15]

  • Samkhya, aliran rasionalisme dengan tema dualisme dan ateistis,[16][17]
  • Yoga, serupa dengan Samkhya, tapi secara personal menerima tema-tema teistis yang jelas,[18]
  • Nyaya, aliran realisme yang menekankan analitik dan logika,[19][20]
  • Waisesika, aliran naturalisme dengan tema-tema atomistis dan berelasi dengan aliran Nyaya,[21][22]
  • Purwa Mimamsa (atau hanya Mimamsa), aliran ritualisme dengan eksegesis Weda dan penekanan filologi,[23][24] dan
  • Wedanta (juga disebut Uttara Mimamsa), tradisi Upanisad, dengan banyak subaliran mulai dari dualisme hingga nondualisme.[25][26]

Keenam aliran di atas sering dipasangkan menjadi tiga kelompok berdasarkan alasan historis dan konseptual, yaitu Nyaya-Waisesika, Samkhya-Yoga, dan Mimamsa-Wedanta. Aliran Wedanta kemudian dibagi menjadi enam subaliran: Adwaita (monisme/nondualisme), juga mencakup konsep Ajatiwada, Wisistadwaita (monisme dari seluruh yang memenuhi syarat), Dwaita (dualisme), Dwaitadwaita (dualisme-nondualisme), Suddhadwaita, dan Achintya Bheda Abheda.

Selain itu, aliran Mādhawa Widyāraṇya juga mencakup yang mengikuti filsafat-filsafat teistis di atas berdasarkan Agama dan Tantra:[4]

  • Pasupata, aliran Shaiwisme oleh Nakulisa
  • Saiwa, aliran Samkhya teistis
  • Pratyabhijña, aliran yang dikenal
  • Raseśwara, aliran tak diduga
  • Pāṇini Darśana, aliran tata bahasa (yang menjelaskan teori Sphoṭa)

Sistem yang disebutkan di sini bukan satu-satunya sistem ortodoks, tapi merupakan yang utama, dan ada aliran-aliran ortodoks lain. Sistem ini menerima pengaruh Weda dan dianggap sebagai aliran filsafat Hindu ortodoks (astika). Selain mereka, aliran-aliran yang tidak menerima pengaruh Weda masuk dalam sistem heterodoks (nastika), seperti Buddhisme, Jainisme, Ajiwika, dan Charwaka.[27][28][29] Terminologi ortodoks-heterodoks ini adalah suatu susunan dari bahasa Barat, dan tidak memiliki dasar keilmuan dalam bahasa Sanskerta. Menurut Andrew Nicholson, ada beragam terjemahan heresiologis dari Āstika dan Nāstika dalam literatur abad ke-20 mengenai filsafat India, tapi cukup banyak yang sederhana dan lemah.[3]

Heterodoks (aliran-aliran Sramana)

Beberapa gerakan Sramana telah ada sebelum abad ke-6 SM dan gerakan ini berpengaruh terhadap tradisi āstika dan nāstika dalam filsafat India.[30] Gerakan Sramana memunculkan beragam keyakinan heterodoks, mulai dari menerima atau menolak konsep jiwa, atomisme, etika antinomian, materialisme, ateisme, agnostisisme, fatalisme, hingga kehendak bebas, idealisasi asketisme ekstrem pada kehidupan keluarga, ahimsa yang ketat (tanpa kekerasan), dan vegetarianisme terhadap kemungkinan kekerasan dan makan daging.[31] Filsafat-filsafat terkenal yang muncul dari gerakan Sramana adalah Jainisme, Buddhisme awal, Charwaka, Ajñana, dan Ājīvika.[32]

Filsafat Ajñana

Ajñana adalah salah satu aliran nāstika atau "heterodoks" dari filsafat India kuno dan aliran kuno dari skeptisime India radikal. Ajñana termasuk gerakan Śramaṇa dan pesaing utama Buddhisme awal dan Jainisme. Mereka tercatat dalam naskah-naskah Buddha dan Jain. Mereka berpendapat bahwa tidak mungkin memperoleh pengetahuan tentang hal-hal metafisika atau memastikan nilai kebenaran dari proposis filosofis; bahkan jika itu mungkin, tidak berguna dan tidak menguntungkan untuk pembebasan akhir. Pengikut aliran ini adalah sofis dengan spesialisasi dalam pembuktian kesalahan tanpa menyebarkan doktris positif mereka sendiri.

Filsafat Jain

 
Rishabhanatha, yang diyakini telah hidup lebih dari sejuta tahun yang lalu, dianggap sebagai pendiri filsafat Jain.

Filsafat Jain adalah filsafat India tertua yang sepenuhnya memisahkan tubuh (materi) dari jiwa (kesadaran).[33] Jainisme dihidupkan dan dibentuk kembali setelah Mahawira, Tirthankara ke-24 dan terakhir, menyintesis dan menyebarkan kembali filsafat dan tradisi Śramaṇa kuno yang dasar-dasarnya berasal dari Tirthankara pertama, yaitu Rishabhanatha berjuta-juta tahun lalu.[34] Menurut Dundas, di luar tradisi Jain, para sejarawan memperkirakan Mahawira itu sezaman dengan Buddha pada abad ke-5 SM dan menurut Parshwanatha historis, selisih sekitar 250 tahun, yaitu pada abad ke-8 atau 7 SM.[35]

Jainisme adalah suatu agama Śramaṇa dan menolak pengaruh Weda. Namun, seperti semua agama India, agama ini menyebarkan konsep-konsep inti, seperti karma, kehidupan beretika, kelahiran kembali, samsara, dan moksha. Jainisme menekankan kuat pada asketisisme, ahimsa (tanpa kekerasan), dan anekantawada (relativititas sudut pandang) sebagai sarana pembebasan spiritual, pemikiran-pemikiran yang memengaruhi tradisi-tradisi India lainnya.[36]

Filsafat Buddhisme

 
Filsafat Buddhisme didasarkan pada ajaran Buddha.

Filsafat Buddhisme adalah suatu sistem pemikiran yang dimulai dengan ajaran Siddhartha Gautama, sang Buddha, atau "yang dibangunkan". Buddhisme didirikan atas unsur-unsur gerakan Śramaṇa, yang berkembang pada paruh pertama milenium 1 SM, tetapi pondasinya mengandung pemikiran-pemikiran baru yang tidak ditemukan atau diterima oleh gerakan Sramana lain. Paul Williams menyatakan bahwa Buddhisme dan Hinduisme secara mutualisme saling memengaruhi dan berbagi banyak konsep, tapi kini sulit untuk mengidentifikasikan dan menggambarkan pengaruh-pengaruh itu.[37] Buddhisme menolak konsep Weda tentang Brahman (realitas tertinggi) dan Atman (jiwa, diri) yang menjadi dasar filsafat Hindu.[38][39][40]

Buddhisme berbagi banyak pandangan filosofis dengan sistem India lainnya, seperti kepercayaan pada karma – suatu hubungan sebab-akibat, samsara – pemikiran-pemikiran mengenai siklis kehidupan setelah kematian dan kelahiran kembali, dharma – pemikiran mengenai etika, kewajiban, dan nilai, ketidakkekalan semua materi dan tubuh, dan kemungkinan pembebasan spiritual (nirwana atau moksa).[41][42] Perbedaan besar dari filsafat Hindu dan Jain adalah penolakan pengikut Buddha terhadap jiwa yang abadi (atman) dan mendukung anatta (tanpa diri).[43]

 
Kehidupan biara telah menjadi bagian dari semua tradisi filsafat India. Gua-gua kaum fakir dari Ājīvika yang telah hilang di Bihar.[44]

Filsafat Ajīvika

Filsafat Ājīvika dibangun oleh Makkhali Gosala, merupakan suatu gerakan Sramana dan pesaing utama Buddhisme awal dan Jainisme.[45] Ājīvika diorganisasi oleh orang-orang yang terasing yang membentuk komunitas kebiaraan berbeda yang cenderung pada gaya hidup pertapa dan sederhana.[46]

Kitab suci aliran filsafat Ājīvika mungkin pernah ada, tapi saat ini tidak tersedia dan mungkin hilang. Teori-teori mereka ditarik dari penyebutan-penyebutan tentang Ajivika dalam sumber-sumber sekunder literatur India kuno, terutama dari Jainisme dan Buddhisme yang secara polemik mengkritik Ajivika.[47] Aliran Ājīvika terkenal dengan doktrin Niyati-nya mengenai determinisme absolut (takdir), premisnya adalah tidak ada kehendak bebas, semua yang telah terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi sepenuhnya ditakdirkan dan suatu fungsi dari prinsip-prinsip kosmis.[47][48] Ājīvika menganggap doktrin karma sebagai suatu kekeliruan.[49] Ājīvika termasuk ateis[50] dan menolak pengaruh Weda, tapi mereka percaya bahwa dalam setiap makhluk hidup ada ātman – suatu premis pusat aliran Hinduisme dan Jainisme.[51][52]

Filsafat Carwaka

Carwaka atau Lokāyata adalah suatu filsafat tentang skeptisisme dan materialisme, dibangun pada periode Maurya. Carwaka sangat kritis terhadap aliran filsafat lain pada masa itu. Carwaka menganggap Weda telah dinodai oleh tiga kesalahan, yaitu ketidakbenaran, kontradiksi diri, dan tautologi.[53] Demikian pula mereka menyalahkan Buddhisme dan Jain, dengan mengejek konsep pembebasan, reinkarnasi, dan akumulasi kebaikan atau keburukan melalui karma.[54] Mereka percaya bahwa sudut pandang melepaskan kesenangan untuk menghindari rasa sakit adalah "alasan orang-orang bodoh".[53]

Charwaka adalah suatu aliran pemikiran materialistis dan ateistis dan patut diperhatikan sebagai bukti gerakan materialistis dalam agama Hindu.[55]

Lihat pula

Referensi

Kutipan

  1. ^ Bowker, John, ed. (1997). Oxford Dictionary of World Religions (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. hlm. 259. 
  2. ^ Doniger, Wendy (2014). On Hinduism. Oxford University Press. hlm. 46. ISBN 978-0-19-936008-6. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-03. Diakses tanggal 2020-03-02. 
  3. ^ a b Nicholson 2014, Chapter 9.
  4. ^ a b Cowell & Gough 2001, hlm. xii.
  5. ^ Nicholson 2014, hlm. 158-162.
  6. ^ Perrett, Roy W. (2001). Indian Philosophy: Metaphysics. Routledge. ISBN 978-0-8153-3608-2. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-03. Diakses tanggal 2020-03-02. 
  7. ^ Phillips, Stephen H. (2013). Epistemology in Classical India: The Knowledge Sources of the Nyaya School. Routledge. ISBN 978-1-136-51898-0. 
  8. ^ Sharma, Arvind (1982). The Puruṣārthas: A Study in Hindu Axiology. Asian Studies Center, Michigan State University. 
  9. ^ Bilimoria, Purusottama; Prabhu, Joseph; Sharma, Renuka M. (2007). Indian Ethics: Classical traditions and contemporary challenges. Ashgate. ISBN 978-0-7546-3301-3. 
  10. ^ Scharfstein, Ben-Ami (1998). A comparative history of world philosophy: from the Upanishads to Kant. Albany: State University of New York Press. hlm. 9-11. 
  11. ^ Kuiper, Kathleen (2010). The Culture of India. The Rosen Publishing Group. hlm. 174–178. ISBN 978-1-61530-149-2. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-03. Diakses tanggal 2020-03-02. 
  12. ^ Hamilton, Sue (2001). Indian Philosophy: A Very Short Introduction. Oxford University Press. hlm. 1–17, 136–140. ISBN 978-0-19-157942-4. 
  13. ^ Flood 1996, hlm. 231-232.
  14. ^ Michaels 2004, hlm. 264.
  15. ^ Nicholson 2010.
  16. ^ Burley, Mike (2012). Classical Samkhya and Yoga - An Indian Metaphysics of Experience (dalam bahasa Inggris). Routledge. hlm. 43-46. ISBN 978-0415648875. 
  17. ^ Flynn, Tom; Dawkins, Richard (2007). The New Encyclopedia of Unbelief (dalam bahasa Inggris). Prometheus. hlm. 420-421. ISBN 978-1591023913. 
  18. ^ Bryant, Edwin. "The Yoga Sutras of Patanjali". Internet Encyclopedia of Philosophy (dalam bahasa Inggris). Rutgers University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-05-18. Diakses tanggal 03-03-2020. 
  19. ^ Chadha, Monima (22-06-2015). "2.2 Nyāya realism". Perceptual Experience and Concepts in Classical Indian Philosophy. Stanford Encyclopedia of Philosophy (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-26. Diakses tanggal 03-03-2020. 
  20. ^ "Nyaya: Indian Philosophy". Encyclopædia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 03-03-2020. 
  21. ^ Riepe, Dale (1996). Naturalistic Tradition in Indian Thought (dalam bahasa Inggris). hlm. 227-246. ISBN 978-8120812932. 
  22. ^ Ganeri, Jonardon (29-05-2019). "2.2 Vaiśeṣika Atomism". Analytical philosophy in early modern India. Stanford Encyclopedia of Philosophy (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-18. Diakses tanggal 03-03-2020. 
  23. ^ Leaman, Oliver (2006). "Shruti". Encyclopaedia of Asian Philosophy. Routledge. hlm. 503. ISBN 978-0415862530. 
  24. ^ "Mimamsa". Encyclopædia Britannica (dalam bahasa Inggris). 2014. Diakses tanggal 03-03-2020. 
  25. ^ Leaman, Oliver (2000). Eastern Philosophy: Key Readings (dalam bahasa Inggris). Routledge. hlm. 251. ISBN 978-0415173582. 
  26. ^ Prasad, R. (2009). A Historical-developmental Study of Classical Indian Philosophy of Morals (dalam bahasa Inggris). Concept Publishing. hlm. 345-347. ISBN 978-8180695957. 
  27. ^ Perrett, Roy (2000). Indian Philosophy (dalam bahasa Inggris). Routledge. hlm. 88. ISBN 978-0815336112. 
  28. ^ Thursby, Gene (2004). The Hindu World (dalam bahasa Inggris). Routledge. hlm. 729-730. ISBN 978-0415772273. 
  29. ^ Flood 1996, hlm. 82, 224–249.
  30. ^ Ray, Reginald (1999). Buddhist Saints in India. Oxford University Press. hlm. 237-240, 247-249. ISBN 978-0195134834. 
  31. ^ Jaini, Padmanabh S. (2001). Collected papers on Buddhist Studies. Motilal Banarsidass. hlm. 57-77. ISBN 978-8120817760. 
  32. ^ Basham 1951, hlm. 94-103.
  33. ^ "Dravya: Jainism". Encyclopædia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 03-03-2020. 
  34. ^ Patel, Haresh (03-2009). Thoughts from the Cosmic Field in the Life of a Thinking Insect [A Latter-Day Saint]. ISBN 9781606938461. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-03. Diakses tanggal 2020-03-02. 
  35. ^ Dundas 2002, hlm. 30–31.
  36. ^ Garfield, Jay L.; Edelglass, William (2011). The Oxford Handbook of World Philosophy. Oxford University Press. hlm. 168. ISBN 978-0-19-532899-8. 
  37. ^ Williams, Paul (2008). Mahayana Buddhism: The Doctrinal Foundations. Routledge. hlm. 84–85. ISBN 978-1-134-25057-8. 
  38. ^ Neville, Robert (2004). Hackett, Jeremiah, ed. Philosophy of Religion for a New Century: Essays in Honor of Eugene Thomas Long. Jerald Wallulis. Springer. hlm. 257. ISBN 978-1-4020-2073-5. , Quote: "[Buddhism's ontological hypotheses] that nothing in reality has its own-being and that all phenomena reduce to the relativities of pratitya samutpada. The Buddhist ontological hypothesese deny that there is any ontologically ultimate object such a God, Brahman, the Dao, or any transcendent creative source or principle."
  39. ^ "Anatta: Buddhism". Encyclopædia Britannica (dalam bahasa Inggris). 2013. Diakses tanggal 03-03-2020. 
  40. ^ [a] Humphreys, Christmas (2012). Exploring Buddhism. Routledge. hlm. 42–43. ISBN 978-1-136-22877-3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-11. Diakses tanggal 2020-03-02. 
    [b] Gombrich, Richard F. (2009). What the Buddha Thought. Oxford Centre for Buddhist Studies monographs. hlm. 47. , Quote: "(...) Buddha's teaching that beings have no soul, no abiding essence. This 'no-soul doctrine' (anatta-vada) he expounded in his second sermon."
  41. ^ Smith, Brian K. (1998). Reflections on Resemblance, Ritual, and Religion. Motilal Banarsidass. hlm. 14. ISBN 978-81-208-1532-2. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-03. Diakses tanggal 2020-03-02. 
  42. ^ Claus, Peter J.; Diamond, Sarah; Mills, Margaret Ann (2003). South Asian Folklore: An Encyclopedia: Afghanistan, Bangladesh, India, Nepal, Pakistan, Sri Lanka. Routledge. hlm. 322–323. ISBN 978-0-415-93919-5. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-03. Diakses tanggal 2020-03-02. 
  43. ^ [a] "Anatta: Buddhism". Encyclopædia Britannica (dalam bahasa Inggris). 2013. Diakses tanggal 03-03-2020.  , Quote: "Anatta in Buddhism, the doctrine that there is in humans no permanent, underlying soul. The concept of anatta, or anatman, is a departure from the Hindu belief in atman ("the self").";
    [b] Collins, Steven (1994). Reynolds, Frank; Tracy, David, ed. Religion and Practical Reason. State Univ of New York Press. hlm. 64. ISBN 978-0791422175. , Quote: "Central to Buddhist soteriology is the doctrine of not-self (Pali: anattā, Sanskrit: anātman, the opposed doctrine of ātman is central to Brahmanical thought). Put very briefly, this is the [Buddhist] doctrine that human beings have no soul, no self, no unchanging essence.";
    [c] John C. Plott et al (2000), Global History of Philosophy: The Axial Age, Volume 1, Motilal Banarsidass, ISBN 978-8120801585, page 63, Quote: "The Buddhist schools reject any Ātman concept. As we have already observed, this is the basic and ineradicable distinction between Hinduism and Buddhism";
    [d] Javanaud, Katie (2013). "Is The Buddhist 'No-Self' Doctrine Compatible With Pursuing Nirvana?". Philosophy Now. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-02-06. Diakses tanggal 2020-03-02. 
    [e] Loy, David (1982). "Enlightenment in Buddhism and Advaita Vedanta: Are Nirvana and Moksha the Same?". International Philosophical Quarterly. 23 (1): 65–74. 
  44. ^ Brancaccio, Pia (2014). Cave Architecture of India, in Encyclopaedia of the History of Science, Technology, and Medicine in Non-Western Cultures. Springer. hlm. 1–9. doi:10.1007/978-94-007-3934-5_9848-1. ISBN 978-94-007-3934-5. 
  45. ^ Long, Jeffrey D. (2009). Jainism: An Introduction. Macmillan. hlm. 199. ISBN 978-1845116255. 
  46. ^ Basham 1951, hlm. 145-146.
  47. ^ a b Basham 1951, Chapter 1.
  48. ^ Lochtefeld, James. Ajivika. The Illustrated Encyclopedia of Hinduism. 1: A–M. Rosen Publishing. hlm. 22. ISBN 978-0823931798. 
  49. ^ "Ajivikas". Overview of World Religions Project (dalam bahasa Inggris). University of Cumbria. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-07-17. Diakses tanggal 03-03-2020. 
  50. ^ Quack, Johannes (2014). Bullivant, Stephen; Ruse, Michael, ed. The Oxford Handbook of Atheism. Oxford University Press. hlm. 654. ISBN 978-0199644650. 
  51. ^ Analayo (2004). Satipaṭṭhāna: The Direct Path to Realization. hlm. 207–208. ISBN 978-1899579549. 
  52. ^ Basham 1951, hlm. 240-261, 270-273.
  53. ^ a b Cowell & Gough 2001, hlm. 4.
  54. ^ Bhattacharya, Ramkrishna (21-08-2011). "Materialism in India: A Synoptic View". cārvāka 4 india (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-04. Diakses tanggal 03-03-2020. 
  55. ^ Radhakrishnan, Sarvepalli; Moore, Charles A. (1989). A Sourcebook in Indian Philosophy (dalam bahasa Inggris). hlm. 249. ISBN 0-691-01958-4. 

Sumber

Bacaan lanjutan

Pranala luar