Maluku
Maluku adalah sebuah provinsi yang meliputi bagian selatan Kepulauan Maluku, Indonesia. Provinsi ini berbatasan dengan Laut Seram di Utara, Samudra Hindia dan Laut Arafura di Selatan, Papua di Timur, dan Sulawesi di Barat.[5] Ibu kota dan kota terbesarnya ialah kota Ambon. Provinsi Maluku berada di urutan ke-28 provinsi menurut jumlah penduduk di Indonesia, pada pertengahan tahun 2023, populasi provinsi Maluku berjumlah 1.900.914 jiwa.[2][6][7]
Maluku | |
---|---|
Julukan: The Spice Island | |
Motto: Siwalima (Ambon) Milik bersama | |
Negara | Indonesia |
Dasar hukum pendirian | UU RI No. 20 Tahun 1958 |
Hari jadi | 19 Agustus 1945[a] |
Ibu kota | Ambon |
Kota besar lainnya | Tual |
Jumlah satuan pemerintahan | Daftar
|
Pemerintahan | |
• Gubernur | Murad Ismail |
• Wakil Gubernur | Barnabas Orno |
• Sekretaris Daerah | Sadali Ie |
• Ketua DPRD | Benhur Watubun |
Luas | |
• Total | 46.914,03 km2 (18,113,61 sq mi) |
Ketinggian tertinggi | 3.027 m (9,931 ft) |
Populasi | |
• Total | 1.900.914 |
• Peringkat | 28 |
• Kepadatan | 41/km2 (100/sq mi) |
Demonim |
|
Demografi | |
• Agama | |
• Bahasa | Indonesia (resmi), Melayu Ambon (bahasa daerah utama) |
• IPM | 70,20 (2022) tinggi[3] |
Zona waktu | UTC+09:00 (WIT) |
Kode pos | 971xx-976xx |
Kode area telepon | Daftar
|
Kode ISO 3166 | ID-MA |
Pelat kendaraan | DE |
Kode Kemendagri | 81 |
Kode BPS | 81 |
DAU | Rp 1.721.885.692.000,00 (2020)[4] |
Lagu daerah |
|
Rumah adat | Baileo |
Senjata tradisional |
|
Flora resmi | Anggrek larat |
Fauna resmi | Nuri-raja ambon |
Situs web | www |
Sebelum masa penjajahan, Maluku menjadi poros perdagangan rempah dunia dengan cengkih dan pala sebagai barang dagangan utama. Hal ini membuat Maluku dijuluki sebagai "Kepulauan Rempah" hingga hari ini. Rakyat Maluku berdagang dengan para pedagang dari berbagai daerah di Nusantara maupun mancanegara seperti pedagang-pedagang Tionghoa, Arab, dan Eropa. Kekayaan rempah ini pun menjadi daya tarik bangsa-bangsa Eropa yang pada akhirnya menguasai Maluku, dimulai oleh Portugis dan terakhir Belanda.[8]
Sejarah Maluku sebagai satu kesatuan dimulai dari pembentukan tiga kegubernuran oleh Perusahaan Hindia Timur Belanda pada abad ke-18, yaitu Ambon, Kepulauan Banda, dan Ternate yang disatukan oleh Belanda pada awal abad ke-19 dalam satu nama, yaitu Maluku. Setelah masa penjajahan, Maluku tetap dipertahankan seutuhnya sebagai provinsi sebelum Maluku Utara dimekarkan menjadi provinsi sendiri pada akhir abad ke-20.[9]
Penamaan
Kata pertama yang dapat diidentifikasi dengan Maluku berasal dari Nagarakretagama, sebuah kakawin berbahasa Jawa Kuno dari tahun 1365. Pupuh 14 bait 5 menyebutkan Maloko, yang Pigeaud identifikasikan dengan Ternate atau Maluku.[10][11]
Nama Maluku bisa berasal dari konsep "Maluku Kie Raha". “Raha” berarti empat, sedangkan “kie” berarti gunung yang mengacu pada empat pulau bergunung yaitu Ternate, Tidore, Bacan, and Jailolo (Halmahera). Walaupun bisa juga mengacu pada daerah lain. Masing-masing memiliki pemimpin yang disebut Kolano yang kemudian bergelar Sultan. Ada berbagai macam ide untuk asal kata Maluku. “Moloku” berarti menggenggam, yang memiliki asal kata "Loku" yaitu unit dalam perdagangan. Menggunakan makna ini "Moloku Kie Raha" bisa berarti "persatuan empat kerajaan" Tetapi kata "Loku" merupakan kata serapan dari bahasa melayu. Asal kata lain berupa “Maloko” merupakan gabungan kata “Ma” yaitu penunjang dan “Loko” yang kemudian berubah menjadi "Luku" yang berarti tempat atau dunia, jika digabungkan berarti "Maloko Kie Raha" artinya “Dunia berdirinya empat gunung”.[12]
Sejarah
Prasejarah
Kepulauan Maluku mulai terbentuk antara 150 hingga satu juta tahun yang lalu, antara zaman Kehidupan Tengah dan zaman Es. Kepulauan Maluku tergabung dalam rangkaian Dangkalan Sahul yang terhubung dengan Australia.[13] Kepulauan Maluku pertama kali diduduki sekitar 30.000 tahun yang lalu oleh bangsa Austronesia-Melanesia yang terdiri dari Negrito dan Wedda, kemudian dilanjutkan oleh kedatangan bangsa Melayu Tua, Melayu Muda, kemudian Mongoloid, mengingat letak Maluku sebagai daerah lintas perpindahan penduduk Asia Tenggara ke Melanesia dan Mikronesia.[14][15] Meskipun demikian, Austronesia-Melanesia dan kebudayaannya tetap menjadi yang terbesar di Maluku.[16] Pulau Seram sebagai nusa ina (pulau ibu) memegang kunci sebagai pusat penyebaran penduduk ke seluruh penjuru Kepulauan Maluku.[15]
Budaya prasejarah Maluku dimulai oleh budaya Batu Tua, didukung oleh peninggalan berupa kapak genggam, meskipun manusia pendukung kebudayaan tersebut beserta peninggalan kebudayaan lainnya belum ditemukan. Sementara itu, peninggalan kebudayaan Batu Tengah berupa gua-gua beserta bekas-bekasnya yang dapat ditemukan di Seram dan Kei.[17] Gua-gua di Maluku memiliki lukisan yang menyerupai lukisan gua Papua yang tidak hanya berupa lukisan telapak tangan layaknya gua-gua di Sulawesi, melainkan juga lukisan kehidupan manusia dan hewan.[18] Kebudayaan dilanjutkan oleh kebudayaan Batu Baru dengan budaya bercocok tanam, seiring ditemukannya kapak dan cangkul, yang menjadi dasar perkembangan kebudayaan Maluku hingga saat ini.[19] Selanjutnya, kebudayaan perunggu dan besi meninggalkan nekara, kapak perunggu, gelang, dan patung yang hingga kini dipelihara penduduk setempat sebagai benda pusaka dan lambang kebesaran suku. Sebagian besar nekara yang berada di Maluku merupakan hasil perdagangan dengan daratan Asia Tenggara, Tiongkok Selatan, dan Tonkin sekitar abad pertama masehi.[20] Berbeda dengan daerah lainnya di Asia Tenggara, Batu Besar hanya meninggalkan sedikit peninggalan, yakni punden berundak dan batu pemali (dolmen) yang biasanya diletakaan di atas bukit atau di dekat baileo.[21]
Prapenjajahan
Maluku menjadi salah satu tempat terpenting dalam perdagangan dunia karena hasil buminya berupa rempah, terutama pala dan cengkih, yang ramai dicari pedagang dari Barat. Perdagangan dunia konon terbagi menjadi dua jalur, yakni jalur sutra dan jalur rempah di mana keduanya melalui Maluku. Karenanya, Maluku ramai dikunjungi para pedagang asing seperti dari Arab, Persia, Gujarat, dan Tiongkok.[22] Pada abad ke-7, pedagang dari Tiongkok menguasai perdagangan rempah Maluku, kemudian perdagangan dikuasai oleh para pedagang Arab dan Persia pada abad-abad setelahnya. Meskipun demikian, pedagang Arab dan Persia telah tercatat beramai-ramai memasarkan rempah dari Maluku seperti cengkih ke Eropa sejak abad ke-7.[23] Pedagang Arab pun mengenalkan abjad Arab yang berkembang menjadi abjad Jawi kepada masyarakat Maluku serta angka Arab yang digunakan dalam segala pembayaran dalam perdagangan di Maluku.[24] Sriwijaya menguasai Maluku pada abad ke-12, kemudian Majapahit pada abad ke-14. Pada masa ini, pedagang Jawa mengambil alih kuasa dagang Maluku. Pada masa yang sama pula Islam mulai disebarkan kepada penduduk Maluku—sebelumnya Islam hanya dipeluk oleh kalangan musafir dan pedagang—melalui hubungan dagang dengan Timur Tengah serta mubalig Jawa dan Melaka.[25][26][27]
Selain perdagangan rempah, sejarah Maluku tidak bisa lepas dari empat kerajaan besar Maluku Utara, yaitu Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo yang telah ada sejak abad ke-13. Penguasa kerajaan-kerajaan tersebut bergelar kolano (kelana), kemudian diubah menjadi sultan sejak para kolano memeluk Islam pada abad ke-15.[28] Meskipun keempatnya merupakan kerajaan besar, hanya Ternate dan Tidorelah yang memiliki kedudukan penting. Ternate yang membidik barat memperluas wilayahnya hingga Ambon dan barat Seram, terutama pada masa Sultan Khairun dan Sultan Baabullah pada abad ke-16. Sementara itu, Tidore yang membidik timur berhasil menguasai timur Seram. Persaingan antarkedua kerajaan yang sudah menjadi kesultanan tersebut membuat keduanya sering bertikai seperti dalam persaingan untuk bekerja sama dengan mitra asing, khususnya Barat, memicu kekuasaan Barat di Maluku di kemudian hari.[29][30] Wilayah kekuasaan Ternate disebut sebagai Uli Lima atau persekutuan lima negeri, sedangkan wilayah kekuasaan Tidore disebut sebagai Uli Siwa atau persekutuan sembilan negeri.[31]
Masa penjajahan
Masa penjajahan portugis
Setelah menaklukkan Melaka pada 1511, Portugis di bawah Francisco Serrão mencari Kepulauan Maluku.[32][33] Serrão yang pada awalnya berlabuh di Ambon berakhir di Ternate sebagai sekutunya pada 1512.[34] Sejak itu, Portugis berhasil menanamkan kekuasaannya di Maluku. Portugis membangun beberapa loji dan benteng di Ambon[b] serta Banda di mana terjadi penginjilan dan perkawinan campur di permukiman yang tumbuh di sekitarnya.[37] Banda berperan sebagai pusat perdagangan, sementara Ambon menjadi bandar.[38]
Masa penjajahan spanyol
Kedudukan Portugis sempat terguncang oleh Spanyol yang tiba pada 1521.[39] Kehadiran Spanyol yang bersekutu dengan Tidore menimbulkan pertikaian dengan Portugis, meski dapat diakhiri dengan penandatanganan Perjanjian Saragosa pada 1529 yang memaksa Spanyol untuk meninggalkan Maluku.[40][41] Selama berkuasa di Maluku, Portugis mengenalkan teknologi pembangunan Eropa dan tanaman-tanaman asing seperti ketela serta merintis pendidikan barat di Maluku.[42] Dua Sultan Ternate yang kala itu menguasai sebagian besar Maluku tercatat secara resmi menyerahkan Maluku kepada Raja Portugal, pada 1545 oleh Tabariji dan setahun setelahnya oleh Khairun.[43] Namun demikian, pusat kedudukan Portugis berpindah dari Ternate ke Ambon sejak Portugis diusir oleh Baabullah pada 1575.[44] Spanyol sempat kembali lagi ke Maluku pasca pembentukan Uni Iberia di bawah Mahkota Spanyol pada 1580 juga dengan bersekutu bersama Tidore.[45][46]
Masa penjajahan Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda (VOC)
Belanda pertama kali menginjakaan kakinya di Maluku pada 1599 di bawah pimpinan Wybrand van Warwijck dengan mengunjungi Ambon dan Banda.[47][48] Kedatangan Belanda disusul Inggris yang datang di bawah pimpinan James Lancaster pada 1601.[c] Mereka membangun loji di Banda.[50] Setahun setelahnya, Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) dibentuk.[d][52] Persaingan Inggris-Belanda pun terjadi pasca Inggris yang kini datang sebagai Perusahaan Hindia Timur Inggris tiba kembali di Maluku pada 1604.[53] Namun, setahun setelahnya, Portugis menyerah tanpa perlawanan kepada Belanda di Ambon pada 1605 dan segera meninggalkan Maluku.[54] Sejak itu, Ambon menjadi pusat VOC di Nusantara sebelum pindah ke Batavia pada 1619.[55] VOC sempat mengizinkan Inggris mendirikan kantor dagang di Ambon pada 1920 karena urusan diplomatik, meski Inggris harus meninggalkan Maluku pada 1623 setelah Pembantaian Amboyna terjadi.[56] Monopoli VOC menimbulkan perlawanan dari penghasil setempat dalam bentuk penyelundupan. Hal inilah yang menyebabkan Pembantaian Banda oleh VOC pada 1621 dan kekerasan VOC terhadap Ambon-Lease yang berakhir menjadi Perang Ambon pada 1624–1658 di mana banyak rakyat Maluku dijadikan budak.[57][58]
VOC yang menerapkan kebijakan pelayaran hongi dan ekstirpasi membatasi penanaman cengkih hanya di Ambon-Lease setelah Perang Huamual antara Huamual dan VOC-Ternate berakhir pada 1658.[59] VOC benar-benar menjadi kekuatan terdepan Eropa di Maluku setelah Spanyol diusir dari Tidore dengan bantuan VOC pada 1663.[60]
Sebagai jajahan VOC, Kepulauan Maluku terbagi menjadi tiga kegubernuran: Ambon, Kepulauan Banda, dan Ternate.[61]
Masa penjajahan britania raya
Pada 17 Februari 1796, VOC menyerah kepada laksamana Britania Raya, Pieter Ramier sehingga Kota Ambon menjadi bagian dari wilayah Britania Raya.[62] Britania Raya memerintah di kota sampai tahun 1803.[62]
Masa penjajahan Jepang
Pecahnya Perang Pasifik tanggal 7 Desember 1941 sebagai bagian dari Perang Dunia II mencatat era baru dalam sejarah penjajahan di Indonesia. Gubernur Jenderal Belanda A.W.L. Tjarda van Starkenborgh, melalui radio, menyatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda dalam keadaan perang dengan Jepang.
Tentara Jepang tidak banyak kesulitan merebut kepulauan di Indonesia. Di Kepulauan Maluku, pasukan Jepang masuk dari utara melalui pulau Morotai dan dari timur melalui pulau Misool. Dalam waktu singkat seluruh Kepulauan Maluku dapat dikuasai Jepang. Perlu dicatat bahwa dalam Perang Dunia II, tentara Australia sempat bertempur melawan tentara Jepang di desa Tawiri. Dan untuk memperingatinya dibangun monumen Australia di negeri negeri Tawiri (tidak jauh dari Bandara Pattimura).
Dua hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Maluku dinyatakan sebagai salah satu provinsi Republik Indonesia. Namun pembentukan dan kedudukan Provinsi Maluku saat itu terpaksa dilakukan di Jakarta, sebab segera setelah Jepang menyerah, Belanda (NICA) langsung memasuki Maluku dan menghidupkan kembali sistem pemerintahan kolonial di Maluku. Belanda terus berusaha menguasai daerah yang kaya dengan rempah-rempahnya ini, bahkan hingga setelah keluarnya pengakuan kedaulatan pada tahun 1949 dengan mensponsori terbentuknya Republik Maluku Selatan (RMS).
Pemerintahan
Pemerintah
Maluku ditetapkan sebagai salah satu provinsi yang merupakan daerah swatantra tingkat I melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1958 tertanggal 17 Juni 1958 yang juga dapat disebut sebagai Undang-Undang Pembentukan Maluku. Undang-undang tersebut merupakan penetapan dari Undang-Undang Darurat Nomor 22 Tahun 1957 yang memiliki tujuan yang sama. Pada undang-undang tersebut, Pemerintah Provinsi Maluku ditetapkan berkedudukan di Ambon.[63]
Provinsi Maluku dipimpin oleh seorang gubernur sebagai kepala daerah beserta wakilnya yang dipilih langsung oleh rakyat dan bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Maluku (DPRD Provinsi Maluku) yang memiliki 45 anggota.[64] Gubernur dan wakilnya memiliki masa jabatan lima tahun dan dapat diperbarui sekali. Anggota DPRD pun dipilih langsung oleh rakyat dengan masa bakti lima tahun. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, gubernur dibantu oleh perangkat daerah: sekretariat daerah, sekretariat DPRD, inspektorat, 23 dinas daerah, dan 11 badan.[65]
Pembagian administratif
Provinsi Maluku terbagi menjadi 9 kabupaten dan 2 kota. Di bawahnya, terdapat 118 kecamatan yang terdiri dari 35 kelurahan dan 1.198 desa dan negeri. Di antara seluruh kabupaten dan kota, ibu kota provinsi, Ambon merupakan yang terbesar menurut jumlah penduduk dan Maluku Tengah merupakan yang terbesar menurut luas wilayah.[7] Sepanjang sejarah Maluku, terdapat beberapa usaha mengubah nama kabupaten. Hingga kini, yang baru terwujud ialah pengubahan nama Maluku Tenggara Barat menjadi Kepulauan Tanimbar.[66]
Berikut daftar kabupaten dan/atau kota di Provinsi Maluku
Ekonomi
Maluku merupakan ekonomi terkecil ke-3 di Indonesia, setelah Maluku Utara dan Gorontalo, menurut PDRB lapangan usaha dan juga merupakan ekonomi termiskin ke-3 di Indonesia, juga setelah Maluku Utara dan Gorontalo, menurut PDRB pengeluaran.[67][68] Dengan kata lain, pada tahun 2018, Maluku menyumbang 0,29% dari nilai PDB Indonesia.[69] Menurut pendapatan per kapitanya, Maluku merupakan provinsi termisikin ke-2 di Indonesia, setelah Nusa Tenggara Timur, dengan PDRB lapangan usaha per kapita senilai Rp24.278.490,00 pada tahun 2018.[70] Meskipun demikian, pertumbuhan ekonomi Maluku berada di atas rata-rata nasional dengan pertumbuhan PDRB senilai 5,94% dan pertumbuhan PDRB per kapita senilai 4,20%.[71][72]
Pertanian, kehutanan, dan perikanan memberikan topangan terbesar terhadap ekonomi Maluku, diikuti dengan administrasi pemerintahan dan pertahanan serta perdagangan besar dan eceran. Lapangan-lapangan usaha tersebut pun menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi provinsi.[73] Pertumbuhan industri Maluku merupakan salah satu yang terpesat di Indonesia dengan pertumbuhan industri mikro dan kecil di atas tiga belas persen pada 2019.[74] Pada tahun yang sama, angka pengangguran terbuka provinsi merupakan kedua tertinggi setelah Jawa Barat dengan kisaran tujuh persen.[75]
Infrastruktur
Dengan bentuk kepulauan, transportasi di Maluku dikuasai oleh transportasi laut. Meskipun demikian, infrastruktur transportasi laut Maluku belum mampu memenuhi permintaan. Kini, di Maluku terdapat 31 pelabuhan penyeberangan dengan 66 lintas penyeberangan yang dilayani 25 unit kapal. Maluku dilalui 3 lintas Tol Laut dengan 9 pelabuhan singgah yang tersebar di seluruh penjuru kepulauan.[76] Sebagai pulau terbesar, transportasi darat dan jalan terpusat di Seram.[77] Maluku memiliki 13 bandara dengan 13 rute komersial dan 7 rute perintis.[78] Pelabuhan terbesar Maluku adalah Pelabuhan Yos Sudarso, sementara bandara terbesarnya adalah Bandara Pattimura.
Pada akhir 2019, rasio elektrifikasi Maluku baru mencapai 89%. Lebih dari empat perlima listrik Maluku dihasilkan oleh kapal pembangkit listrik, terutama Kota Ambon. Maluku masih membangun beberapa pembangkit listrik, sebagian besar mesin gas dengan salah satunya panas bumi.[79] Dari seluruh listrik yang dihasilkan, hanya 85% yang terjual.[80] Maluku tidak memiliki sistem gas kota; sebagian besar masyarakat menggunakan kayu bakar dan minyak tanah untuk memasak.[81] Sebagian besar masyarakat Maluku masih memanfaatkan air sumur sebagai sumber air minumnya.[82]
Demografi
Dengan penduduk sebesar 1.533.506 jiwa pada sensus 2010,[83] tumbuh menjadi 1.831.880 menurut proyeksi 2020, Maluku merupakan provinsi terbesar ke-29 di Indonesia.[84] Kawasan Ambon-Maluku Tengah mencakup hampir setengah dari seluruh penduduk provinsi dengan ibu kota, Ambon, sendiri mencakup hampir sepertiga.[85] Kepadatan penduduk Maluku merupakan salah satu yang terendah dengan 36 jiwa per kilometer persegi.[86] Umur harapan hidup Maluku mencapai 65,82 tahun, terendah ketiga.[87] Angka kesuburan Maluku sebesar 3,20 anak lahir tiap wanita merupakan salah satu yang tertinggi di negara.[88]
Suku bangsa
Sebagian besar penduduk Maluku merupakan penduduk asli Maluku yang terdiri dari berbagai suku bangsa seperti suku-suku Alifuru, suku Ambon, Buru, Kei dan Tanimbar.[89] Suku-suku pendatang—sebagian besar mendiami Ambon dan Maluku Tengah— di antaranya Bugis, Makassar, dan Buton serta suku-suku dari Jawa yang datang beriringan dengan Majapahit.[90][91] Meskipun demikian, penduduk asli Maluku tercatat sejak dahulu kala telah melakukan berbagai perkawinan campuran dengan suku-suku pendatang tersebut serta Minahasa dan suku-suku dari Sumatra.[92] Selain itu, mengingat peran Maluku dalam sejarah perdagangan dunia, penduduk asli Maluku telah bercampur dengan bangsa Arab, India, dan Eropa (umunya Belanda dan Portugis), dapat dilihat dari marga-marga asing yang masih digunakan orang Maluku hingga kini.[93] Hal ini pun menjadi salah satu penyebab mengapa Maluku menjadi satu-satunya kawasan mestizo di Indonesia.[92]
Berdasarkan data dari Sensus Penduduk Indonesia 2010, berikut ini komposisi etnis atau suku bangsa di provinsi Maluku:[94]
No | Suku | Jumlah 2010 | % |
---|---|---|---|
1 | Asal Maluku | 1.127.148 | 73,83% |
2 | Asal Sulawesi | 247.266 | 16,20% |
3 | Jawa | 79.340 | 5,20% |
4 | Bugis | 25.419 | 1,66% |
5 | Asal NTT | 8.624 | 0,56% |
6 | Makassar | 6.414 | 0,42% |
7 | Tionghoa | 4.556 | 0,30% |
8 | Sunda | 4.457 | 0,30% |
9 | Suku Lainnya | 23.486 | 1,53% |
Provinsi Maluku | 1.526.710 | 100% |
Agama
Islam
Masuknya agama Islam juga melalui para pedagang Islam yang datang dari Jawa Timur. Pusat Islam di Jawa Timur sesudah runtuhnya Mojopahit adalah Gresik. Dari Gresik inilah datang mubaliq-mubaliq Islam ·bersama para pedagang ke pulau Ambon, dan mereka semuanya berpusat di kota pelabuhan Hitu. Jadi Hitu merupakan daerah pertama masuknya Islam dan selanjulnya menjadi pusat penyebaran Islam di daerah sekitarnya, sekitar tahun 1500. Di Hitu dijumpai banyak pedagang-pedagang Jawa yang kemudian menetap dan ber-mukim disana.[96][97]
Kristen katolik & protestan
Katolik dibawa oleh Portugis pada abad ke-16 dengan tokoh penting Fransiskus Xaverius sebagai pelopor, lalu diteruskan oleh Yesuit dengan penganut besar di Ambon.[98] Kemudian, setelah Belanda mengambil alih Maluku, Protestanisme mulai menyebar.[99]
Gereja Protestan terbesar Maluku merupakan Gereja Protestan Maluku (GPM) yang melayani Maluku dan Maluku Utara serta merupakan hasil kemandirian dari Gereja Protestan di Indonesia (GPI). Keduanya didirikan di Ambon sebelum pada masa VOC-Belanda dan terpengaruh oleh para zending Belanda.[100] Sementara itu, Maluku juga memiliki keuskupannya sendiri, yaitu Keuskupan Amboina yang merupakan keuskupan sufragan dari Keuskupan Agung Makassar. Kesukupan Amboina juga melayani Maluku Utara atau dengan kata lain melayani seluruh Kepulauan Maluku.[101]
Hindu
Penganut Hindu tercatat ada di seluruh kabupaten dan kota dengan Buru, Buru Selatan, dan Maluku Tenggara sebagai kabupaten yang memiliki penduduk Hindu terbanyak.
Budha & konghucu
Buddha dan Konghucu tidak memiliki penganut di seluruh kabupaten dan kota Maluku. Buddha memiliki penganut terbanyak di Seram Bagian Timur, Maluku Tengah, dan Buru, sedangkan tercatat tidak memiliki penganut di Seram Bagian Barat, Maluku Barat Daya, Buru Selatan, dan Tual. Sebagai agama terkecil, penganut Konghucu hanya terdapat di daerah-daerah seperti Kepulauan Tanimbar, Maluku Tenggara, Maluku Tengah, Buru, dan Kepulauan Aru.[102][103]
Pertikaian Agama 1999
Pertikaian antar agama besar pernah terjadi pada akhir abad ke-20 hingga permulaan abad ke-21. Krisis politik melanda Indonesia pada saat itu setelah terjadinya krisis ekonomi,[104] kemudian dipertajam lagi oleh rencana pemekaran Maluku Utara dari Maluku yang disebabkan oleh permasalahan politik yang menyangkut agama.[105] Hal ini menimbulkan pertikaian antara kedua belah pihak Kristen dan Islam pada awal 1999. Pertikaian ini pun berkembang menjadi pertempuran dengan warga sipil sebagai sasaran kekerasan setelah pecahnya kerusuhan di Batu Merah, Ambon pada Januari 1999.[106][107] Kerusuhan pun menyebar ke seluruh penjuru provinsi serta Maluku Utara yang baru dibentuk pada saat itu.[108] Pertikaian dihentikan setelah berbagai upaya pemerintah dan turun tangan dari TNI serta diakhiri dengan Piagam Malino II pada 2002.[109] Setelah sekian lama ketegangan mereda, kerusuhan serupa terjadi lagi di Ambon pada 2011, namun tidak sebesar kerusuhan sebelumnya dan tidak menyebar ke seluruh bagian provinsi. Meskipun demikian, kerusuhan ini menuai kritik dari kalangan agama seperti sinode GPM.[108] Pertikaian-pertikaian keagamaan yang terjadi di Maluku dipercayai memiliki akar kuat yang berasal dari kedatangan Eropa, di mana Kepulauan Maluku secara sosioagama terbelah menjadi Maluku Utara yang beragama Islam dan berada dalam pengaruh Ternate dan Maluku Selatan (kini Provinsi Maluku) yang berada dalam pengaruh zending-zending Belanda.[110]
Bahasa
Bahasa Indonesia yang berperan sebagai bahasa resmi digunakan secara luas bersama-sama dengan bahasa Ambon (juga dikenal sebagai bahasa Melayu Ambon atau Melayu Maluku) sebagai bahasa pengantar provinsi. Hingga 2020, Maluku tercatat memiliki 62 bahasa daerah.[e][111] Meskipun demikian, Maluku merupakan salah satu pusat kepunahan bahasa di Indonesia. Dalam tiga tahun terakhir, bahasa daerah yang punah di Indonesia berjumlah 11 bahasa dengan 8 di antaranya merupakan bahasa daerah Maluku.[112] Kepunahan bahasa daerah disebabkan salah satunya oleh pengaruh bahasa Ambon yang dulunya merupakan bahasa kedua (bahasa pengantar) bagi sebagian besar penduduk Maluku, kini menjadi bahasa ibu, menggantikan bahasa daerah sebagai bahasa ibu di hampir seluruh wilayah Provinsi Maluku.[113]
Bahasa Ambon yang sebenarnya merupakan salah satu dialek bahasa Melayu berkembang pesat sejak masa VOC. Dimulai dari gereja, di kalangan masyarakat Kristen terdidik, bahasa Melayu kian lama menggantikan bahasa tanah (bahasa daerah atau bahasa asli).[114][115] Setelah itu, pada masa Hindia Belanda, pemerintah melarang penggunaan bahasa tanah dalam usaha menuntut masyarakat menggunakan bahasa Ambon. Kini, bahasa tanah hanya bertahan di beberapa kampung Kristen terpencil dan kampung Islam.[116][113] Penggunaan bahasa Indonesia pun menjadi salah satu penyebab terancam punahnya bahasa tanah.[116] Bahasa tanah digunakan secara luas hanya oleh tokoh adat saat upacara adat dan dicap sebagai tuturan-tuturan adat.[117][114]
Pendidikan
Pendidikan barat atau pendidikan modern mulai memasuki Maluku seiring dengan masuknya Kekristenan pada masa Portugis. Portugis mendirikan sekolah-sekolah gereja dengan tujuan memberantas buta huruf sehingga masyarakat yang telah masuk Kristen dapat membaca Alkitab. Namun, setelah Belanda datang, semua sekolah dibebaskan dari pengaruh agama dan dijadikan sekolah negeri. Kemajuan pendidikan umum maupun pendidikan agama di Maluku pun terjadi pada masa ini. Meskipun demikian, di kemudian hari, para misionaris tetap mendirikan sekolah Kristen. Peran pendidikan pun sangat penting dalam perkembangan bahasa Ambon yang pada awalnya digunakan secara luas pada masyarakat Kristen terdidik. Sepanjang masa penjajahan Belanda, pendidikan di Ambon merupakan yang termaju di Hindia Belanda.[115]
Kini, Maluku mencanangkan wajib belajar dua belas tahun bagi warga negara berumur antara 7 hingga 18 tahun, sejenjang di atas wajib belajar nasional yang hanya sembilan tahun, seiring dengan telah tercapainya standar pelayanan minimal.[118] Terlepas dari keadaan ekonominya, Maluku merupakan provinsi paling terdidik ketiga di Indonesia, setelah DKI Jakarta dan Kepulauan Riau, dengan rata-rata lama sekolah selama 9,81 tahun pada 2019.[119] Dengan didorong oleh partisipasi pendidikan dasar, menengah pertama, dan menengah atas yang tinggi, partisipasi pendidikan tinggi Maluku merupakan kedua tertinggi nasional setelah DI Yogyakarta.[120] Terdapat 43 perguruan tinggi di Maluku yang terdiri dari 31 sekolah tinggi, 4 universitas, akademi dan politeknik masing-masing berjumlah 3, dan 2 institut.[121]
Kesehatan
Maluku menerapkan sistem pelayanan kesehatan gugus pulau dengan 56 pusat gugus tersebar di segala penjuru provinsi pada 2018. Sistem ini bertujuan untuk mengatasi kendala kesehatan Maluku selama ini, yaitu biaya pengangkutan yang mahal dan penyaluran perlengkapan yang tidak merata.[122] Gugus pulau dibagi berdasarkan kedekatan suatu pulau dengan pusat gugus yang memiliki sarana dan prasarana kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit pratama. Di bawah pusat gugus, terdapat pulau satelit sebagai tempat puskesmas pembantu, polindes, dan bidan desa.[123]
Maluku memiliki jaringan puskesmas yang besar dengan hampir dua puskesmas tiap kecamatan. Meskipun demikian, hanya dua dari lima puskesmas memberikan layanan sesuai standar. Setengah dari seluruh rumah sakit di Maluku belum terakreditasi.[124] RSUP dr. J. Leimena yang terletak di Ambon merupakan rumah sakit rujukan tertinggi dan RSUP pertama di Maluku; RSUP melayani Provinsi Maluku dan sekitarnya.[125]
Seni dan Budaya
Musik
Alat musik yang terkenal adalah Tifa (sejenis gendang) dan Totobuang. Masing-masing alat musik dari Tifa Totobuang memiliki fungsi yang bereda-beda dan saling mendukung satu sama lain hingga melahirkan warna musik yang sangat khas. Namun musik ini didominasi oleh alat musik Tifa. Terdiri dari Tifa yaitu, Tifa Jekir, Tifa Dasar, Tifa Potong, Tifa Jekir Potong dan Tifa Bas, ditambah sebuah Gong berukuran besar dan Toto Buang yang merupakan serangkaian gong-gong kecil yang di taruh pada sebuah meja dengan beberapa lubang sebagai penyanggah. Adapula alat musik tiup yaitu Kulit Bia (Kulit Kerang).[butuh rujukan]
Dalam kebudayaan Maluku, terdapat pula alat musik petik yaitu Ukulele dan Hawaiian seperti halnya terdapat dalam kebudayaan Hawaii di Amerika Serikat. Hal ini dapat dilihat ketika musik-musik Maluku dari dulu hingga sekarang masih memiliki ciri khas di mana terdapat penggunaan alat musik Hawaiian baik pada lagu-lagu pop maupun dalam mengiringi tarian tradisional seperti Katreji.
Musik lainnya ialah Sawat. Sawat adalah perpaduan dari budaya Maluku dan budaya Timur Tengah. Pada beberapa abad silam, bangsa Arab datang untuk menyebarkan agama Islam di Maluku, kemudian terjadilah campuran budaya termasuk dalam hal musik. Terbukti pada beberapa alat musik Sawat, seperti rebana dan seruling yang mencirikan alat musik gurun pasir.
Tarian
Tari yang terkenal dari negeri Maluku adalah tari Cakalele yang menggambarkan keperkasaan orang Maluku. Tari ini biasanya diperagakan oleh para pria dewasa sambil memegang Parang dan Salawaku (Perisai). Tarian lain seperti Saureka-Reka yang menggunakan pelepah pohon sagu. Tarian yang dilakukan oleh enam orang gadis ini sangat membutuhkan ketepatan dan kecepatan sambil diiringi irama musik.[butuh rujukan]
Tarian yang merupakan penggambaran pergaulan anak muda adalah Katreji. Tari Katreji dimainkan secara berpasangan antara wanita dan pria dengan gerakan bervariasi yang enerjik dan menarik. Tari ini hampir sama dengan tari-tarian Eropa pada umumnya karena Katreji juga merupakan suatu akulturasi dari budaya Eropa (Portugis dan Belanda) dengan budaya Maluku. Hal ini lebih tampak pada setiap aba-aba dalam perubahan pola lantai dan gerak yang masih menggunakan bahasa Portugis dan Belanda sebagai suatu proses biligualisme. Tarian ini diiringi alat musik biola, suling bambu, ukulele, karakas, guitar, tifa, dan bas gitar dengan pola rithm musik barat (Eropa) yang lebih menonjol. Tarian ini masih tetap hidup dan digemari oleh masyarakat Maluku sampai sekarang.
Selain Katreji, pengaruh Eropa yang terkenal adalah Polonaise yang biasanya dilakukan orang Maluku pada saat kawinan oleh setiap anggota pesta tersebut dengan berpasangan, membentuk formasi lingkaran serta melakukan gerakan-gerakan ringan yang dapat diikuti setiap orang baik tua maupun muda. Tarian bambu gila, tarian khusus yang bersifat magis, berasal dari Desa Suli. Keunikan tarian ini adalah para penari seakan-akan dibebani oleh bambu yang dapat bergerak tidak terkendali dan tarian ini bisa diikuti oleh siapa saja.[butuh rujukan]
Lihat pula
Catatan kaki
Catatan
- ^ Provinsi dibentuk oleh PPKI saat sidang keduanya pada tanggal 19 Agustus 1945. Kini, tanggal tersebut dikenal sebagai Hari Jadi Provinsi Maluku. Provinsi ditetapkan pada 17 Juni 1958 berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 1958.[1]
- ^ Istilah Ambon dapat merujuk pada Pulau Ambon, Kepulauan Ambon yang meliputi Pulau Ambon dan Kepulauan Lease (Saparua, Haruku, dan Nusalaut),[35] atau kawasan Maluku Tengah yang meliputi Kepulauan Ambon-Lease, Seram, dan Buru dengan pengecualian Kepulauan Banda.[36]
- ^ Inggris telah datang sebelumnya ke Maluku. Inggris menjadi bangsa Eropa ketiga yang menginjakkan kakinya di Maluku, yakni pada 1579 di bawah pimpinan Francis Drake. Pada kala itu, Inggris mengunjungi Banda dan Buru.[49]
- ^ Dalam peranan selanjutnya, VOC akan bertindak seperti negara. VOC diizinkan mendirikan benteng, mengangkat gubernur, memiliki tentara, dan membuat perjanjian dengan penguasa asing di Asia atas nama Republik Belanda.[51] VOC memiliki semacam kedaulatannya sendiri. Dengannya, VOC dapat mengadministrasi wilayah taklukannya sesuka hatinya.[35]
- ^ Jumlah dapat berubah dari waktu ke waktu. Penelitian terus dilakukan oleh para ahli bahasa di Kantor Bahasa Maluku, Badan Pengembangan dan Pembinaaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Referensi
- ^ Direktorat Penataan Daerah, Otonomi Khusus, dan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia (2018). Pembentukan Daerah-Daerah di Indonesia Sampai Dengan Tahun 2014 (PDF). hlm. 27. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2019-07-12. Diakses tanggal 2020-02-16.
- ^ a b c d "Visualisasi Data Kependudukan - Kementerian Dalam Negeri 2023" (Visual). www.dukcapil.kemendagri.go.id. Diakses tanggal 21 Oktober 2023.
- ^ "Indeks Pembangunan Manusia Menurut Provinsi 2019-2021". www.bps.go.id. Diakses tanggal 21 Oktober 2023.
- ^ "Rincian Alokasi Dana Alokasi Umum Provinsi/Kabupaten Kota Dalam APBN T.A 2020" (PDF). www.djpk.kemenkeu.go.id. (2020). Diakses tanggal 11 April 2021.
- ^ Kembauw, Sahusilawane & Sinay 2017, hlm. 134.
- ^ "Provinsi Maluku Dalam Angka 2021" (pdf). www.maluku.bps.go.id. hlm. 5, 71. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-04-11. Diakses tanggal 11 April 2021.
- ^ a b c d "Kode dan Data Wilayah Provinsi Maluku" (PDF). Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. Juni 2023. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-03-13. Diakses tanggal 21 Oktober 2023. Kesalahan pengutipan: Tanda
<ref>
tidak sah; nama ":0" didefinisikan berulang dengan isi berbeda - ^ Latuconsina, Leirissa & Ohorella 1999, hlm. 8–9.
- ^ Thalib 2011, hlm. 14–15.
- ^ Pigeaud, Theodoor Gautier Thomas (1960c). Java in the 14th Century: A Study in Cultural History, Volume III: Translations (edisi ke-3 (revisi)). The Hague: Martinus Nijhoff. ISBN 978-94-011-8772-5.
- ^ Pigeaud, Theodoor Gautier Thomas (1962). Java in the 14th Century: A Study in Cultural History, Volume IV: Commentaries and Recapitulations (edisi ke-3 (revisi)). The Hague: Martinus Nijhoff. ISBN 978-94-017-7133-7.
- ^ Amal, Muhammad Adnan (2016). Kepulauan Rempah-Rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950. Jakarta: Gramedia. ISBN 978-6024241667.
- ^ Suwondo 1977, hlm. 5–6.
- ^ Amal 2016, hlm. 1.
- ^ a b Suwondo 1977, hlm. 7.
- ^ Amal 2016, hlm. 2.
- ^ Suwondo 1977, hlm. 9.
- ^ Suwondo 1977, hlm. 11.
- ^ Suwondo 1977, hlm. 9–10.
- ^ Suwondo 1977, hlm. 12–13.
- ^ Suwondo 1977, hlm. 14.
- ^ Latuconsina, Leirissa & Ohorella 1999, hlm. 18.
- ^ Thalib 2011, hlm. 23.
- ^ Thalib 2011, hlm. 19–20.
- ^ Brown 2004, hlm. 169.
- ^ Thalib 2011, hlm. 24.
- ^ Latuconsina, Leirissa & Ohorella 1999, hlm. 16.
- ^ Thalib 2011, hlm. 31.
- ^ Amal 2016, hlm. 10–12.
- ^ Brown 2004, hlm. 178.
- ^ Suwondo 1977, hlm. 24.
- ^ Leonardo de Argensola 1708, hlm. 4.
- ^ Soekmono 1981, hlm. 49.
- ^ Leonardo de Argensola 1708, hlm. 5.
- ^ a b Widjojo 2009, hlm. 19.
- ^ Bartels 2017a, hlm. 388.
- ^ Abdurachman 2008, hlm. 4, 127.
- ^ Abdurachman 2008, hlm. 127.
- ^ Leonardo de Argensola 1708, hlm. 13–14.
- ^ Leonardo de Argensola 1708, hlm. 14, 30–32.
- ^ Vogel 1877, hlm. 132–133.
- ^ Abdurachman 2008, hlm. 7–8.
- ^ Abdurachman 2008, hlm. 10–11, 238–239.
- ^ Soekmono 1981, hlm. 50.
- ^ Abdurachman 2008, hlm. 240.
- ^ Abdurachman 2008, hlm. 99–100.
- ^ Brown 2004, hlm. 179.
- ^ Widjojo 2009, hlm. 16.
- ^ Drake & Fletcher 1854, hlm. 177.
- ^ Widjojo 2009, hlm. 11.
- ^ Widjojo 2009, hlm. 14.
- ^ Widjojo 2009, hlm. 13.
- ^ Ricklefs 2008, hlm. 54–55.
- ^ Widjojo 2009, hlm. 11, 19.
- ^ Ricklefs 2008, hlm. 54, 58.
- ^ Ricklefs 2008, hlm. 56.
- ^ Ricklefs 2008, hlm. 57.
- ^ Widjojo 2009, hlm. 1, 20.
- ^ Widjojo 2009, hlm. 20–21.
- ^ Ricklefs 2008, hlm. 128.
- ^ Widjojo 2009, hlm. 1.
- ^ a b "Kota Ambon Masa Lalu" (PDF). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Badan Pelestarian Nilai Budaya Ambon. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2017-12-04. Diakses tanggal 4 Desember 2017.
- ^ Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1958 tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 22 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat I Maluku (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 79) Sebagai Undang-Undang (PDF). Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 17 Juli 1958. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2020-12-05. Diakses tanggal 2020-04-09.
- ^ "Penyerahan Dokumen Pengusulan Pelantikan 45 Calon Terpilih Anggota DPRD Provinsi Maluku Pemilu 2019". Komisi Pemilihan Umum Provinsi Maluku. 20 Agustus 2019. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-02-18. Diakses tanggal 27 Februari 2020.
- ^ Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 2 Oktober 2014. hlm. 115. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-10. Diakses tanggal 2020-04-09.
- ^ Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2019 tentang Perubahan Nama Kabupaten Maluku Tenggara Barat Menjadi Kabupaten Kepulauan Tanimbar di Provinsi Maluku (PDF). 23 Januari 2019. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-01-14. Diakses tanggal 2020-04-09.
- ^ "[Seri 2010] Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Provinsi, 2010-2018 (Miliar Rupiah)". Badan Pusat Statistik. 15 Agustus 2019. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-02-28. Diakses tanggal 28 Februari 2020.
- ^ "PDRB Triwulanan Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Pengeluaran (2010=100), 2014-2019". Badan Pusat Statistik. 7 Februari 2020. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-02-28. Diakses tanggal 28 Februari 2020.
- ^ "[Seri 2010] Distribusi PDRB Terhadap Jumlah PDRB 34 Provinsi Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Provinsi, 2010-2018 (Persen)". Badan Pusat Statistik. 15 Agustus 2019. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-02-28. Diakses tanggal 28 Februari 2020.
- ^ "[Seri 2010] Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Provinsi, 2010-2018 (Ribu Rupiah)". Badan Pusat Statistik. 15 Agustus 2019. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-02-28. Diakses tanggal 28 Februari 2020.
- ^ "[Seri 2010] Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2010 Menurut Provinsi (Persen)". Badan Pusat Statistik. 15 Agustus 2019. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-02-28. Diakses tanggal 28 Februari 2020.
- ^ "[Seri 2010] Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita Atas Dasar Harga Konstan 2010 (Persen)". Badan Pusat Statistik. 15 Agustus 2019. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-02-28. Diakses tanggal 28 Februari 2020.
- ^ Perkembangan Ekonomi Provinsi Maluku Triwulan IV-2019. Badan Pusat Statistk. hlm. 6, 8. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-03-01. Diakses tanggal 2020-03-01.
- ^ "Pertumbuhan Produksi Tahunan Industri Mikro dan Kecil Y on Y (2010=100) menurut Provinsi, 2012-2019". Badan Pusat Statistik. 6 Februari 2020. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-24. Diakses tanggal 1 Maret 2020.
- ^ Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Agustus 2019. Badan Pusat Statistik. hlm. 11. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-03-01. Diakses tanggal 2020-03-01.
- ^ "Menhub Temui Gubernur dan Bupati Se-Provinsi Maluku Bahas Percepatan Pembangunan Infrastruktur Transportasi". Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenhub. Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. 12 November 2019. Diakses tanggal 9 April 2020.
- ^ BPS Provinsi Maluku 2019, hlm. 510.
- ^ BPS Provinsi Maluku 2019, hlm. 527–530.
- ^ Komisi VII (19 Desember 2019). "Tinjau Kapal Pembangkit Listrik, Komisi VII Dorong 100 Persen Elektrifikasi Maluku". Parlementaria Terkini. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-01-16. Diakses tanggal 9 April 2020.
- ^ BPS Provinsi Maluku 2019, hlm. 416.
- ^ "Banyaknya Desa/Kelurahan Menurut Jenis Bahan Bakar Untuk Memasak Yang Digunakan Oleh Sebagian Besar Keluarga Dan Keberadaan Agen/Penjual Bahan Bakar, 2018". Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku. 23 Januari 2019. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-11-15. Diakses tanggal 9 April 2020.
- ^ "Banyaknya Desa/Kelurahan Menurut Sumber Air Minum Sebagian Besar Keluarga, 2018". Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku. 23 Januari 2019. Diakses tanggal 9 April 2020.
- ^ "Provinsi Maluku". Badan Pusat Statistik. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-05-09. Diakses tanggal 6 April 2020.
- ^ "Proyeksi Penduduk menurut Provinsi, 2010-2035 (Ribuan)". Badan Pusat Statistik. 18 Februari 2014. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-04-27. Diakses tanggal 6 April 2020.
- ^ "Proyeksi Penduduk Maluku Menurut Kabupaten/Kota, 2010-2020". Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku. 14 Juni 2019. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-09-24. Diakses tanggal 6 April 2020.
- ^ "Kepadatan Penduduk menurut Provinsi, 2000-2015". Badan Pusat Statistik. 2 Maret 2017. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-08-06. Diakses tanggal 6 April 2020.
- ^ "Umur Harapan Hidup Saat Lahir (UHH) Menurut Provinsi [Metode Baru], 2010-2019". Badan Pusat Statistik. 18 Februari 2020. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-12-25. Diakses tanggal 6 April 2020.
- ^ "Angka Fertilitas Total menurut Provinsi 1971, 1980, 1990, 1991, 1994, 1997, 2000, 2002, 2007, 2010 dan 2012". Badan Pusat Statistik. 20 Agustus 2014. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-11-14. Diakses tanggal 6 April 2020.
- ^ "Suku Bangsa". Indonesia.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-04-21. Diakses tanggal 6 April 2020.
- ^ Fitriati et al. 2020, hlm. 39.
- ^ Pieris 2004, hlm. 86–87.
- ^ a b Suryana 2012, hlm. 403.
- ^ Suryana 2012, hlm. 404.
- ^ "Kewarganegaraan Suku Bangsa, Agama, Bahasa 2010" (PDF). demografi.bps.go.id. Badan Pusat Statistik. 2010. hlm. 23, 36–41. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-07-12. Diakses tanggal 18 Oktober 2021.
- ^ BPS Provinsi Maluku 2020, hlm. 248–249.
- ^ Zuhdi & Wulandari 1997, hlm. 34.
- ^ Suwondo 1977, hlm. 59.
- ^ Aritonang & Steenbrink 2008, hlm. 28.
- ^ Aritonang & Steenbrink 2008, hlm. 103.
- ^ Van den End & Weitjens 2008, hlm. 77.
- ^ Rahardi 2007, hlm. 156.
- ^ BPS Provinsi Maluku 2019, hlm. 226–227.
- ^ "Persentase Pemeluk Agama Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku 2019". www.maluku.kemenag.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-09-28. Diakses tanggal 24 September 2020.
- ^ Bertrand 2004, hlm. 122.
- ^ Bertrand 2004, hlm. 129–131.
- ^ Hedman 2008, hlm. 50.
- ^ Lindawaty 2011, hlm. 272.
- ^ a b Lindawaty 2011, hlm. 273.
- ^ Bertrand 2004, hlm. 133.
- ^ Jati 2013, hlm. 403.
- ^ "Bahasa di Provinsi Maluku". Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-12-14. Diakses tanggal 8 April 2020.
- ^ "Cegah Bertambah Punahnya Bahasa Daerah, Kemendikbud Lakukan Pelindungan Bahasa". Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 25 Februari 2020. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-11-11. Diakses tanggal 19 April 2020.
- ^ a b Wahidah (10 Juli 2018). "Keterancaman Bahasa-Bahasa Daerah di Maluku Akibat Dominasi Bahasa Melayu Ambon". Kantor Bahasa Maluku. Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-10-08. Diakses tanggal 19 April 2020.
- ^ a b Latuconsina, Leirissa & Ohorella 1999, hlm. 37.
- ^ a b Latuconsina, Leirissa & Ohorella 1999, hlm. 31.
- ^ a b Bartels 2017, hlm. 17.
- ^ Asrif (28 Februari 2019). "Bahasa Tanah". Kantor Bahasa Maluku. Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-11-17. Diakses tanggal 19 April 2020.
- ^ Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor: 09 Tahun 2011 tentang Program Wajib Belajar 12 (Dua Belas) Tahun di Provinsi Maluku. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Maluku. 7 Februari 2011. hlm. 119 dan 128. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-03-01. Diakses tanggal 2020-03-01.
- ^ "Rata-Rata Lama Sekolah Menurut Provinsi [Metode Baru], 2010-2019". Badan Pusat Statistik. 18 Februari 2020. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-03-01. Diakses tanggal 2 Maret 2020.
- ^ "Angka Partisipasi Sekolah (APS) menurut Provinsi, 2011-2019". Badan Pusat Statistik. 5 Februari 2020. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-03-01. Diakses tanggal 2 Maret 2020.
- ^ Statistik Pendidikan Tinggi 2018 (PDF). Pusat Data dan Informasi Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. 2018. hlm. 15. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2020-03-01. Diakses tanggal 2020-03-01.
- ^ "Menerobos Tantangan Pelayanan Kesehatan di Gugus Kepulauan". Sehat Negeriku!. Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. 8 April 2019. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-02-14. Diakses tanggal 10 April 2020.
- ^ Qf, Ahmad Jilul (25 November 2018). Mayasari, Deasy, ed. "Ekspedisi Gubernur: Rumah Sakit Apung, Cara Maluku Beri Layanan Kesehatan Daerah Terpencil". Times Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-02-03. Diakses tanggal 10 April 2020.
- ^ "Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia 2018" (PDF). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2020-04-11. Diakses tanggal 11 April 2020.
- ^ "Kemenkes Segera Operasikan Rumah Sakit di Ambon". Sehat Negeriku!. Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. 24 September 2019. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-12-02. Diakses tanggal 10 April 2020.
Daftar pustaka
- Kembauw, Esther; Sahusilawane, Aphrodite M.; Sinay, Lexy J. (2017). Pembangunan Perekonomian Maluku. Yogyakarta: Deepublish. hlm. 134. ISBN 978-602-475-237-8. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-24. Diakses tanggal 2020-02-16.
- Latuconsina, Djuariah; Leirissa, R.Z; Ohorella, G.A. (1999). Sejarah Kebudayaan Maluku (PDF). Jakarta: Proyek lnventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. ISBN 979-9335-07-8. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2020-10-09. Diakses tanggal 2020-02-16.
- Thalib, Usman (2011). Sejarah Masuknya Islam di Maluku (PDF). Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Provinsi Maluku dan Maluku Utara. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-09-17. Diakses tanggal 2020-02-22.
- Amal, M. Adnan (2016). Kepulauan Rempah-Rempah. Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 978-602-424-166-7. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-24. Diakses tanggal 2020-02-24.
- Brown, Iem (2004). The Territories of Indonesia (dalam bahasa Inggris). Routledge. ISBN 978-113-535-540-1. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-24. Diakses tanggal 2020-05-16.
- Zuhdi, Susanto; Wulandari, Triana (1997). Kerajaan Tradisional di Indonesia: Bima. Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-24. Diakses tanggal 2020-03-02.
- Suwondo, Bambang (1977). Sejarah Daerah Maluku. Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-14. Diakses tanggal 2020-06-14.
- Leonardo de Argensola, Bartolomé (1708) [1609]. The Discovery and Conquest of the Molucco and Philippine Islands (dalam bahasa Inggris). Diterjemahkan oleh Stevens, John. London. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-24. Diakses tanggal 2020-04-18.
- Soekmono, R. (1981) [1973]. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3 (edisi ke-3). Yogyakarta: Kanisius. ISBN 978-979-413-291-3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-09-27. Diakses tanggal 2020-05-02.
- Abdurachman, Paramita R. (2008). Thung, Ju Lan; Widodo, Eko; Adenan, Musiana, ed. Bunga Angin Portugis di Nusantara: Jejak-Jejak Kebudayaan Portugis di Nusantara (dalam bahasa Indonesia dan Inggris). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. ISBN 978-602-433-027-9. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-24. Diakses tanggal 2020-04-18.
- Widjojo, Muridan Satrio (2009). The Revolt of Prince Nuku: Cross-Cultural Alliance-Making in Maluku, C.1780-1810 (dalam bahasa Inggris). Leiden: Koniklijke Brill NV. ISBN 978-90-04-17201-2. ISSN 1871-6938. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-24. Diakses tanggal 2020-05-22.
- Vogel, Theodore (1877). A Century of Discovery: Biographical Sketches of the Portuguese and Spanish Navigators from Prince Henry to Pizarro (dalam bahasa Inggris). Diterjemahkan oleh Seeley; Jackson; Halliday. New York: D. Appleton and Co. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-24. Diakses tanggal 2020-05-02.
- Drake, Francis; Fletcher, Francis (1854). The World Encompassed by Sir Francis Drake, Being His Next Voyage to That to Nombre de Dios (dalam bahasa Inggris). Hakluyt Society. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-24. Diakses tanggal 2020-05-02.
- Ricklefs, Merle Calvin (2008). Nugraha, Moh. Sidik, ed. Sejarah Indonesia Modern 1200–2008 (edisi ke-4). Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. ISBN 979-16-0012-0. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-24. Diakses tanggal 2020-05-22.
- BPS Provinsi Maluku (2019). Provinsi Maluku dalam Angka 2019. BPS Provinsi Maluku. ISSN 0215-4471. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-11-27. Diakses tanggal 2020-04-09.
- Fitriati, Rachma; Gunawan, Budhi; Irfan, Maulana; Nulhaqim, Soni A. (2020). Merawat Perdamaian: 20 Tahun Konflik Maluku. M&C Gramedia. ISBN 978-602-480-659-0. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-24. Diakses tanggal 2020-04-06.
- Pieris, John (2004). Tragedi Maluku: Sebuah Krisis Peradaban. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-513-7. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-24. Diakses tanggal 2020-04-06.
- Suryana, Dayat (2012). Provinsi di Indonesia. CreateSpace Independent Publishing Platform. ISBN 978-148-012-226-0. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-24. Diakses tanggal 2020-04-06.
- Aritonang, Jan Sihar; Steenbrink, Karel (2008). A History of Christianity in Indonesia (dalam bahasa Inggris). Leiden: Koniklijke Brill NV. ISBN 978-90-04-17026-1. ISSN 0924-9389. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-24. Diakses tanggal 2020-03-02.
- Van den End, Th.; Weitjens, J. (2008) [1989]. Ragi carita 2: sejarah gereja di Indonesia 1860-an–sekarang. Jakarta: Gunung Mulia. ISBN 978-979-415-606-3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-24. Diakses tanggal 2020-04-09.
- Rahardi, F. (2007). Darman, Flavianus, ed. Menguak Rahasia Bisnis Gereja. Jakarta: visimedia. ISBN 979-1043-56-6. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-24. Diakses tanggal 2020-03-04.
- Bertrand, Jacques (2004). Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. ISBN 0-521-81889-3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-24. Diakses tanggal 2020-04-06.
- Hedman, Eva-Lotta E. (2008). Conflict, Violence, and Displacement in Indonesia (dalam bahasa Inggris). Ithaca: Cornel Southeast Asia Program. ISBN 978-0-87727-775-0. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-24. Diakses tanggal 2020-04-06.
- Lindawaty, Debora Sanur (2011). "Konflik Ambon: Kajian Terhadap Beberapa Akar Permasalahan dan Solusinya". Politica. 2 (2). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-07-17. Diakses tanggal 2020-04-08.
- Jati, Wasisto Raharjo (2013). "Kearifan Lokal Sebagai Resolusi Konflik Keagamaan". Walisongo. 21 (2). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-02-09. Diakses tanggal 2020-04-08.
- Bartels, Dieter (2017a) [1994]. Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku: Muslim-Kristen Hidup Berdampingan di Maluku Tengah. Jilid I: Kebudayaan. Diterjemahkan oleh Rijoly, Frans. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 978-602-424-150-6. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-24. Diakses tanggal 2020-04-19.
- Bartels, Dieter (2017b) [1994]. Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku: Muslim-Kristen Hidup Berdampingan di Maluku Tengah. Jilid II: Sejarah. Diterjemahkan oleh Rijoly, Frans. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 978-602-424-151-3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-24. Diakses tanggal 2020-05-24.
Pranala luar
- (Indonesia) Situs resmi Pemerintah Provinsi Maluku
- (Indonesia) Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku