Aksara Bali

jenis aksara untuk menuliskan sebuah bahasa
Revisi sejak 14 November 2013 13.14 oleh Marcus Cyron (bicara | kontrib) (File renamed: File:Bali Lalenga dirgha.pngFile:Bali vowel La lenga-tedung.png File renaming criterion #6: Harmonize file names of a set of images (so that only one part of all names differs) ...)

Aksara Bali adalah aksara tradisional masyarakat Bali dan berkembang di Bali. Aksara Bali merupakan suatu abugida yang berpangkal pada huruf Pallawa. Aksara ini mirip dengan aksara Jawa. Perbedaannya terletak pada lekukan bentuk huruf.

Aksara Bali
Jenis aksara
Abugida
BahasaBali, Sasak
Periode
sekitar abad ke-10 hingga sekarang
Arah penulisanKiri ke kanan
Aksara terkait
Silsilah
Menurut hipotesis hubungan antara abjad Aramea dengan Brahmi, maka silsilahnya sebagai berikut:
Dari aksara Brahmi diturunkanlah:
Aksara kerabat
Batak
Baybayin
Bugis
Incung
Jawa
Lampung
Makassar
Rejang
Sunda
ISO 15924
ISO 15924Bali, 360 Sunting ini di Wikidata, ​Bali
Pengkodean Unicode
Nama Unicode
Balinese
U+1B00–U+1B7F
 Artikel ini mengandung transkripsi fonetik dalam Alfabet Fonetik Internasional (IPA). Untuk bantuan dalam membaca simbol IPA, lihat Bantuan:IPA. Untuk penjelasan perbedaan [ ], / / dan  , Lihat IPA § Tanda kurung dan delimitasi transkripsi.

Aksara Bali berjumlah 47 karakter, 14 di antaranya merupakan huruf vokal (aksara suara). Huruf konsonan (aksara wianjana) berjumlah 33 karakter. Aksara wianjana Bali yang biasa digunakan berjumlah 18 karakter. Juga terdapat aksara wianjana Kawi yang digunakan pada kata-kata tertentu, terutama kata-kata yang dipengaruhi bahasa Kawi dan Sanskerta.

Meski ada aksara wianjana Kawi yang berisi intonasi nada tertentu, pengucapannya sering disetarakan dengan aksara wianjana Bali. Misalnya, aksara dirgha (pengucapan panjang) yang seharusnya dibaca panjang, seringkali dibaca seperti aksara hresua (pengucapan pendek).

Warga aksara

Osthya Dantya Murdhanya Talawya Kanthya
 
 
 
 
 

Dalam aksara Bali, terdapat suatu sistem pengelompokkan huruf menurut dasar pengucapannya yang disebut warga aksara. Dalam bahasa Bali, warga berarti "jenis"/"kelompok" dan aksara berarti "huruf"/"lambang penulisan", bukan sistem tulisan. Dalam aturan menulis aksara Bali, ada 5 warga aksara yang utama, yaitu:[1]

  • Kanthya. Warga kanthya adalah kelompok fonem yang berasal dari langit-langit dekat kerongkongan. Beberapa di antaranya termasuk konsonan celah suara. Yang termasuk warga kanthya adalah konsonan langit-langit belakang/guttural dan celah suara (glotal). Huruf konsonan yang termasuk warga kanthya terdiri dari: Ka (k), Ga (g), Ga gora (gh), Nga (ng). Sedangkan huruf vokal yang termasuk warga kanthya adalah A.
  • Talawya. Warga talawya adalah kelompok fonem yang berasal dari langit-langit mulut. Yang termasuk warga talawya adalah konsonan langit-langit/palatal. Huruf konsonan yang termasuk warga talawya terdiri dari: Ca (c), Ca laca (ch), Ja (j), Ja jera (jh), Nya (ny), Sa saga (sy). Sedangkan huruf vokal yang termasuk warga talawya adalah I.
  • Osthya. Warga osthya adalah kelompok fonem yang berasal dari pertemuan bibir atas dan bawah. Yang termasuk warga oshtya adalah konsonan dwibibir/labial. Huruf konsonan yang termasuk warga talawya terdiri dari: Pa (p), Pa kapal (ph), Ba (b), Ba kembang (bh), Ma (m), Wa (w). Sedangkan huruf vokal yang termasuk warga talawya adalah U.

Aksara suara (vokal)

Aksara suara disebut pula huruf vokal/huruf hidup dalam aksara Bali. Fungsi aksara suara sama seperti fungsi huruf vokal dalam huruf Latin. Jika suatu aksara wianjana (konsonan) diberi salah satu pangangge (tanda diakritik) aksara suara, maka cara baca aksara wianjana tersebut juga berubah, sesuai dengan fungsi pangangge yang melekati aksara wianjana tersebut. Berikut ini adalah aksara suara dalam aksara Bali:

Warga aksara Aksara suara hresua
(huruf vokal pendek)
Nama Aksara suara dirgha
(huruf vokal panjang)
Aksara Bali Huruf Latin Alfabet Fonetis Internasional Aksara Bali Huruf Latin Alfabet Fonetis Internasional
Kantya
(tenggorokan)
 
A [a] A kara
 
Ā [ɑː]
Talawya
(langit-langit lembut)
 
I [i] I kara
 
Ī [iː]
Murdhanya
(langit-langit keras)
 
[ɹ̩] Ra repa
 
[ɹ̩ː]
Dantya
(gigi)
 
[l̩] La lenga
 
[l̩ː]
Osthya
(bibir)
 
U [u] U kara
 
Ū [uː]
Kanthya-talawya
(tenggorokan & langit-langit lembut)
 
E [e]; [ɛ] E kara (E)
Airsanya (Ai)
 
E; Ai [e]; [aːi]
Kanthya-osthya
(tenggorokan & bibir)
 
O [o]; [ɔ] O kara
 
O; Au [o]; [aːu]

Aksara wianjana (konsonan)

Aksara wianjana disebut pula konsonan atau huruf mati dalam aksara Bali. Meskipun penulisannya tanpa huruf vokal, setiap aksara dibaca seolah-olah dibubuhi huruf vokal /a/ atau /ə/[3] karena merupakan suatu abugida.

Aksara ardhasuara adalah semivokal. Kata ardhasuara (dari bahasa Sanskerta) secara harfiah berarti "setengah suara" atau semivokal. Dengan kata lain, aksara ardhasuara tidak sepenuhnya huruf konsonan, tidak pula huruf vokal. Yang termasuk kelompok aksara ardhasuara adalah Ya, Ra, La, Wa. Gantungan-nya termasuk pangangge aksara (kecuali gantungan La), yaitu nania (gantungan Ya); suku kembung (gantungan Wa); dan guwung atau cakra (gantungan Ra).


Warga aksara Pancawalimukha Ardhasuara
(semivokal)
Usma
(sibilan)
Wisarga
(frikatif)
Tajam
(bersuara)
Lembut
(nirsuara)
Anunasika
(sengau)
Alpaprana Mahaprana Alpaprana Mahaprana
Kanthya
(tenggorokan)
 
(Ka)
Ka
 
(Kha)
Ka mahaprana
 
(Ga)
Ga
 
(Gha)
Ga gora
 
(Nga)
Nga
 
(Ha)
Ha
Talawya
(langit-langit lembut)
 
(Ca)
Ca
 
(Cha)
Ca laca
 
(Ja)
Ja
 
(Jha)
Ja jera
 
(Nya)
Nya
 
(Ya)
Ya
 
(Śa)
Sa saga
Murdhanya
(langit-langit keras)
 
(Ṭa)
Ta latik
 
(Ṭha)
Ta latik[4]
 
(Ḍa)
Da madu m.[5]
 
(Ḍha)
Da madu m.[6]
 
(Ṇa)
Na rambat
 
(Ra)
Ra
 
(Ṣa)
Sa sapa
Dantya
(gigi)
 
(Ta)
Ta
 
(Tha)
Ta tawa
 
(Da)
Da
 
(Dha)
Da madu
 
(Na)
Na
 
(La)
La
 
(Sa)
Sa danti
Osthya
(bibir)
 
(Ba)
Ba
 
(Bha)
Ba kembang
 
(Pa)
Pa
 
(Pha)
Pa kapal
 
(Ma)
Ma
 
(Wa)
Wa

Pangangge

Pangangge (lafal: /pəŋaŋge/) atau dalam bahasa Jawa disebut sandhangan, adalah lambang yang tidak dapat berdiri sendiri, ditulis dengan melekati suatu aksara wianjana maupun aksara suara dan memengaruhi cara membaca dan menulis aksara Bali. Ada berbagai jenis pangangge, antara lain pangangge suara, pangangge tengenan (lafal: /t̪əŋənan/), dan pangangge aksara.

Pangangge suara

Bila suatu aksara wianjana (konsonan) dibubuhi pangangge aksara suara (vokal), maka cara baca aksara tersebut akan berubah. Contoh: huruf Na dibubuhi ulu dibaca Ni; Ka dibubuhi suku dibaca Ku; Ca dibubuhi taling dibaca Cé. Untuk huruf Ha ada pengecualian. Kadangkala bunyi /h/ diucapkan, kadangkala tidak. Hal itu tergantung pada kata dan kalimat yang ditulis.

Warga aksara Aksara Bali Huruf Latin Alfabet Fonetis Internasional Letak penulisan Nama
Kanthya
(tenggorokan)
Suara hresua
(vokal pendek)
 
e; ě [ə] di atas huruf pepet
Suara dirgha
(vokal panjang)
 
ā [aː] di belakang huruf tedung
Talawya
(langit-langit lembut)
Suara hresua
(vokal pendek)
 
i [i] di atas huruf ulu
Suara dirgha
(vokal panjang)
 
ī [iː] di atas huruf ulu sari
Murdhanya
(langit-langit keras)
Suara hresua
(vokal pendek)
 
re; ṛ [rə] di bawah huruf guwung macelek
Suara dirgha
(vokal panjang)
 
[rəː] kombinasi di belakang dan bawah huruf guwung macelek matedung
Dantya
(gigi)
Suara hresua
(vokal pendek)
 
le; ḷ [lə] kombinasi di atas dan bawah huruf gantungan La mapepet
Suara dirgha
(vokal panjang)
 
[ləː] kombinasi di atas, bawah, dan belakang huruf gantungan La mapepet lan matedung
Osthya
(bibir)
Suara hresua
(vokal pendek)
 
u [u] di bawah huruf suku
Suara dirgha
(vokal panjang)
 
ū [uː] di bawah huruf suku ilut
Kanthya-talawya
(tenggorokan & langit-langit lembut)
Suara hresua
(vokal pendek)
 
e; é [e]; [ɛ] di depan huruf taling
Suara dirgha
(vokal panjang)
 
e; ai [e]; [aːi] di depan huruf taling detya
Kanthya-osthya
(tenggorokan & bibir)
Suara hresua
(vokal pendek)
 
o [o]; [ɔ] mengapit huruf taling tedung
Suara dirgha
(vokal panjang)
 
o; au [o]; [aːu] mengapit huruf taling detya matedung

Pangangge tengenan

Pangangge tengenan (kecuali adeg-adeg) merupakan aksara wianjana yang bunyi vokal /a/-nya tidak ada. Pangangge tengenan terdiri dari: bisah, cecek, surang, dan adeg-adeg. Jika dibandingkan dengan aksara Dewanagari, tanda bisah berfungsi sama seperti tanda wisarga; tanda cecek berfungsi seperti tanda anusuara; tanda adeg-adeg berfungsi seperti tanda wirama.

Simbol Alfabet Fonetis
Internasional
Letak penulisan Nama
 
[h] di belakang huruf bisah
 
[r] di atas huruf surang
 
[ŋ] di atas huruf cecek
 
- di belakang huruf adeg-adeg

Pangangge aksara

Pangangge aksara letaknya di bawah aksara wianjana. Pangangge aksara (kecuali La) merupakan gantungan aksara ardhasuara. Pangangge aksara terdiri dari:

Simbol Alfabet Fonetis
Internasional
Nama
 
[r] guwung/cakra
 
[w] suku kembung
 
[j] nania

Gantungan

Karena adeg-adeg tidak boleh dipasang di tengah dan kalimat, maka agar aksara wianjana bisa "mati" (tanpa vokal) di tengah kalimat dipakailah gantungan. Gantungan membuat aksara wianjana yang dilekatinya tidak bisa lagi diucapkan dengan huruf "a", misalnya aksara Na dibaca /n/; huruf Ka dibaca /k/, dan sebagainya. Dengan demikian, tidak ada vokal /a/ pada aksara wianjana seperti semestinya. Setiap aksara wianjana memiliki gantungan tersendiri. Untuk "mematikan" suatu aksara dengan menggunakan gantungan, aksara yang hendak dimatikan harus dilekatkan dengan gantungan. Misalnya jika menulis kata "Nda", huruf Na harus dimatikan. Maka, huruf Na dilekatkan dengan gantungan Da. Karena huruf Na dilekati oleh gantungan Da, maka Na diucapkan /n/.

Gantungan dan pangangge diperbolehkan melekat pada satu huruf yang sama, namun bila dua gantungan melekat di bawah huruf yang sama, tidak diperbolehkan. Kondisi dimana ada dua gantungan yang melekat di bawah suatu huruf yang sama disebut tumpuk telu (tiga tumpukan). Untuk menghindari hal tersebut maka penggunaan adeg-adeg di tengah kata diperbolehkan.[7]

Pasang pageh

Dalam lontar, kakawin dan kitab-kitab dari zaman Jawa-Bali Kuno banyak ditemukan berbagai aksara wianjana khusus, beserta gantungannya yang istimewa. Penulisan aksara seperti itu disebut pasang pageh, karena cara penulisannya memang demikian, tidak dapat diubah lagi.[8] Aksara-aksara tersebut juga memiliki nama, misalnya Na rambat, Ta latik, Ga gora, Ba kembang, dan sebagainya. Hal itu disebabkan karena setiap aksara harus diucapkan dengan intonasi yang benar, sesuai dengan nama aksara tersebut. Namun kini ucapan-ucapan untuk setiap aksara tidak seperti dulu.[9] Aksara mahaprana (hembusan besar) diucapkan sama seperti aksara alpaprana (hembusan kecil). Aksara dirgha (suara panjang) diucapkan sama seperti aksara hrasua (suara pendek). Aksara usma (desis) diucapkan biasa saja. Meskipun cara pengucapan sudah tidak dihiraukan lagi dalam membaca, namun dalam penulisan, pasang pageh harus tetap diperhatikan.

Pasang pageh berguna untuk membedakan suatu homonim. Misalnya:

Aksara Bali Aksara Latin
(IAST)
Arti
 
asta adalah
 
astha tulang
 
aṣṭa delapan
 
pada tanah, bumi
 
pāda kaki
 
padha sama-sama

Aksara maduita

Aksara maduita khusus digunakan pada bahasa serapan. Umumnya orang Bali menyerap kata-kata dari bahasa Sanskerta dan Kawi untuk menambah kosakata. Contoh penggunaan aksara maduita:

Aksara Bali Aksara Latin
(IAST)
Arti
 
Buddha Yang telah sadar
 
Yuddha perang
 
Bhinna beda

Dengan melihat contoh di atas, ternyata ada huruf konsonan yang ditulis dua kali. Hal tersebut merupakan ciri-ciri aksara maduita.

Angka

Aksara Bali Aksara Latin Nama (dalam bhs. Bali) Aksara Bali Aksara Latin Nama (dalam bhs. Bali)
 
0 Bindu/Windu
 
5 Lima
 
1 Siki/Besik
 
6 Nem
 
2 Kalih/Dua
 
7 Pitu
 
3 Tiga/Telu
 
8 Kutus
 
4 Papat
 
9 Sanga/Sia

Menulis angka dengan menggunakan angka Bali sangat sederhana, sama seperti sistem dalam aksara Jawa dan Arab. Bila hendak menulis angka 10, cukup dengan menulis angka 1 dan 0 menurut angka Bali. Demikian pula jika menulis angka 25, cukup menulis angka 2 dan 5. Bila angka ditulis di tengah kalimat, untuk membedakan angka dengan huruf maka diwajibkan untuk menggunakan tanda carik, di awal dan di akhir angka yang ditulis.

Di bawah ini contoh penulisan tanggal dengan menggunakan angka Bali (tanggal: 1 Juli 1982; lokasi: Bali):


Aksara Bali Transliterasi dengan Huruf Latin
 
Bali, 1 Juli 1982.
Bali, 1 Juli 1982.


Pada contoh penulisan di atas, angka diapit oleh tanda carik untuk membedakannya dengan huruf.

Tanda baca dan aksara khusus

Ada beberapa aksara khusus dalam aksara Bali. Beberapa di antaranya merupakan tanda baca, dan yang lainnya merupakan simbol istimewa karena dianggap keramat. Beberapa di antaranya diuraikan sebagai berikut:

Simbol Nama Keterangan
 
Carik atau Carik Siki. Ditulis pada akhir kata di tengah kalimat. Fungsinya sama dengan koma dalam huruf Latin. Dipakai juga untuk mengapit aksara anceng.
 
Carik Kalih atau Carik Pareren. Ditulis pada akhir kalimat. Fungsinya sama dengan titik dalam huruf Latin.
 
Carik pamungkah. Dipakai pada akhir kata. Fungsinya sama dengan tanda titik dua pada huruf Latin.
  Pasalinan. Dipakai pada akhir penulisan karangan, surat dan sebagainya. Pada geguritan bermakna sebagai tanda pergantian tembang.
 
Panten atau Panti. Dipakai pada permulaan suatu karangan, surat dan sebagainya.
 
Pamada. Dipakai pada awal penulisan. Tujuannya sama dengan pengucapan awighnamastu, yaitu berharap supaya apa yang dikerjakan dapat berhasil tanpa rintangan.
 
Ongkara. Simbol suci umat Hindu. Simbol ini dibaca "Ong" atau "Om".

Unicode

Aksara Bali sudah masuk ke dalam standar Unicode versi 5.0 pada bulan Juli tahun 2006.

Blok

Blok Unicode aksara Bali terletak pada kode U+1B00–U+1B7F. Sel abu-abu menunjukkan titik kode yang belum terpakai.

Balinese[1][2]
Official Unicode Consortium code chart (PDF)
  0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A B C D E F
U+1B0x
U+1B1x
U+1B2x
U+1B3x ᬿ
U+1B4x
U+1B5x
U+1B6x
U+1B7x
Catatan
1.^Per Unicode versi 13.0
2.^Abu-abu berarti titik kode kosong

Font Aksara Bali

Font Aksara Bali untuk komputer pertama kali dibuat adalah Bali Simbar. Font ini dibuat oleh I Made Suatjana dengan memanfaatkan alokasi dari kodifikasi ASCII untuk dikamuflasekan ke dalam bentuk karakter Aksara Bali. [10]. Namun, font ini memiliki kelemahan yaitu hanya terbatas dalam keperluan pengetikan menggunakan templat untuk Microsoft Word.

Sejak tahun 2006, Aksara Bali telah masuk ke dalam standar Unicode dan memiliki kodifikasi U+1B00–U+1B7F. Dengan adanya standar Unicode ini, karakter-karakter Aksara Bali bisa digunakan untuk berbagai keperluan yang lebih luas seperti penulisan halaman internet, surat elektronik, blog, dsb. Namun karena implementasi yang sangat rumit, penggunaan Unicode dari Aksara Bali masih terbatas dalam sistem operasi Linux dan keluarganya saja. Sistem operasi BlankOn Linux merupakan distribusi Linux pertama yang menyediakan font dan sistem input untuk Aksara Bali semenjak versi 6.0 (Ombilin). [11]

Catatan kaki

  1. ^ Surada, hal. 6-7.
  2. ^ Susungguhnya Sa termasuk konsonan alveolar, namun secara tradisional dimasukkan ke dalam konsonan dental.
  3. ^ Dibaca /ə/ bila tertulis di akhir kata/pada suku kata terakhir.
  4. ^ Disamakan saja atau diberi tedung.
  5. ^ disebut Da madu murdania.
  6. ^ Jarang ditemukan dalam aksara Bali. Disamakan saja dengan Da madu murdania, hanya diberi tedung.
  7. ^ Tinggen, hal. 27.
  8. ^ Simpen, hal. 44.
  9. ^ Tinggen, hal. 7
  10. ^ Situs resmi font Bali Simbar, diakses tanggal 5 Maret 2011
  11. ^ Catatan rilis BlankOn 6.0, diakses tanggal 5 Maret 2011

Referensi

  • Tinggen, I Nengah. 1993. Pedoman Perubahan Ejaan Bahasa Bali dengan Huruf Latin dan Huruf Bali. Singaraja: UD. Rikha.
  • Surada, I Made. 2007. Kamus Sanskerta-Indonesia. Surabaya: Penerbit Paramitha.
  • Simpen, I Wayan. Pasang Aksara Bali. Diterbitkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Tingkat I Bali.

Pranala luar